Anda di halaman 1dari 20

PERTEMUAN KE-3

POKOK-POKOK AJARAN / SYARIAT ISLAM

A. Tujuan Pembelajaran
1. Menjelaskan pengertian syariat Islam atau rukun Islam, seperti syahadat, shalat,
puasa, zakat, dan haji
2. Menjelaskan perbedaan syariat dan fiqih Islam serta cakupannya masing-masing.
3. Memahami praktik pelaksanaan syariat Islam, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat,
dan haji.
4. Menganalisa manfaat dan hikmah pelaksanaan syariat Islam, yaitu: syahadat, shalat,
puasa, zakat, dan haji bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial.

B. URAIAN MATERI
1. Pengertian dan Ruang lingkup Syariah
Syariah menurut bahasa berarti jalan, sedangkan menurut istilah adalah sistem
norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia dan hubungan manusia dengan alam. Syariah merupakan aspek norma atau
hukum dalam ajaran Islam yang keberadaanya tidak terlepas dari akidah Islam. Oleh
karena itu, isi syariah meliputi aturan-aturan implementasi dari kandungan Al-Quran dan
Al-Sunnah.
Aturan-aturan syariat yang sudah dikodifikasi disebut fiqih. Dengan demikian fiqih
dapat disebut sebagai hasil kodifikasi syariat Islam yang bersumber dari Al-Quran dan
Sunnah. Syariat Islam mengatur perbuatan seorang muslim, di dalamnya terdapat hukum-
hukum yang terdiri atas:
 Wajib, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan diberi pahala apabila ditinggalkan
berdosa
 Sunnat, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala apabila
ditinggalkan tidak berdosa
 Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan tidak diberi
pahala ataupun dosa
 Makruh, yaitu apabila ditinggalkan mendapat pahala apabila dikerjakan tidak
berdosa

 Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan berdosa apabila ditinggalkan


mendapat pahala.
Syariah adalah hukum yang mengatur kehidupan manusia di dunia dalam rangka
mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Syariah mencakup semua aspek kehidupan
manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, dalam hubungan diri
sendiri, manusia lain, alam lingkungan maupun dengan Tuhan.
Syariah mengatur hubungan manusia dengan Tuhan yang disebut dengan akidah
ubudiyah atau ibadah khusus. Hubungan manusia dengan manusia lainnya atau alam
lainnya yang disebut mu’amalah atau disebut sebagai ibadah umum.
Dengan demikian, syariat Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia agar
seorang muslim dapat melaksanakan ajaran Islam secara utuh. Utuh disini, tidak berarti
semua aspek sudah diatur syariat secara detail, sebab hanya masalah ibadah yang telah
diatur oleh syariat secara ketat. Selain itu, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan
sosial atau muamalah, syariat memberikan landasan hukum yang memberi makna dan arah
bagi manusia. Walaupun demikan, secara operasiaonal urusan muamalah diserahkan
kepada manusia, hanya prinsip-prinsip dasar bagi hubungan tersebut didasari syariah
sehingga aspek-aspek kehidupan manusia dapat terwujud secara Islami.

2. Fungsi Syariah
Syariat Islam diturunkan Allah kepada manusia sebagai pedoman yang
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada manusia agar mereka dapat melaksanakan
tugas hidupnya didunia dengan benar sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu syariat
berfungsi sebagai berikut:
a. Mengarahkan pada pencapaian tujuan manusia sebagai hamba Allah
Syariat adalah aturan-aturan Allah yang berisi perintah Allah untuk ditaati dan
dilaksanakan, serta aturan tentang larangan Allah untuk dijauhi dan dihindari. Ketaatan
terhadap aturan tersebut menunjukkan ketundukan manusia terhadap Allah dan
perhambaan manusia kepada-Nya. Perhambaan secara total dan utuh merupakan tujuan
dari penciptaan manusia di muka bumi, sebagaimana firman Allah:

‫ت ا وا س ل ع دون‬ ‫وما خ‬
‫ْلجن ِْل ْن ِا ْل ب‬ ‫َلق‬
Tidaklah Kami ciptakan manusia dan Jin, melainkan agar mereka menyembah-Ku (QS
Adz-Dzariyat [51]: 56)
b. Mengarahkan manusia pada pencapaian tujuan sebagai khalifah Allah
Penyembahan dan penghambaan secara utuh dan total hanya kepada Allah
membebaskan manusia dari keterikatan dan ketundukan terhadap makhluk. Manusia akan
bebas bertindak dalam kaitan dengan makhluk lainnya, tidak diperbudak atau
memperbudak makhluk lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dapat berperan
sebagai khalifah Allah dimuka bumi yang melaksanakan dan membumikan sifat-sifat Allah
dalam batas kemanusiaan.
Aturan-aturan syariah akan memberikan batasan yang jelas dari kebebasan yang
dimiliki manusia. Dengan demikian, kekhalifahan manusia diatur dalam tatanan
pencapaian kesejahteraan lahir batin manusia dan terhindar dari kesesatan. Firman Allah:

‫ح ِق‬
‫ْول‬ ‫س‬ ‫ض ْين‬ ‫ ِفى‬#ً‫يدا ٗو د اِنَّا ج ْل خ ِل ْيفَة‬
‫ِبا ْل‬ ‫النَّا‬ ‫فَاحكم‬ ‫اْلَر‬ ‫ٰنك‬
‫ن س ّٰل ِال‬ ‫ك س ْيل ل ّالِٰ ن ن َيضلُّو‬ ‫ا ْل ه ٰو ى‬ ‫تَتَّ ِب‬
‫عن ِب‬ ‫َّذ ْي‬# ‫ِا ال‬ ‫ضلَ عن‬#‫ُي‬
‫ْ يل‬
ࣖ ‫وم ا س ا ب‬ ‫ما‬ ‫عذَاب شد‬ ‫لَهم‬
‫ْل ح‬ ‫َنسوا‬ ‫ْيد‬
“Hai Daud sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) dimuka
bumi,maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS As-Shaad [38]: 26)

c. Membawa Manusia pada Kebahagiaan Hakiki Dunia dan Akhirat


Syariat mengarahkan manusia pada jalan yang harus ditempuh atau dihindarkan.
Manusia dapat mencapai tujuannya yang hakiki. Dengan Syariat manusia dapat memilah
dan memilih jalan yang akan ditempuhnya sesuai dengan kebebasannya sehingga apapun
akibatnya akan dipertanggungjawabkan sendiri dihadapan Allah. Dengan demikian syariat
menunjukkan jalan menuju tercapainya kebahagiaan yang abadi, yaitu kebahagiaan dunia
danakhirat sebagai hakekat tujuan manusia. Hal ini tampak dalam do’a yang seyogyanya
diucapkan setiap muslim dalam firman Allah:
‫حس و عذَ;ا‬ ‫وىا‬ ‫ي َُّق ْول رَبّن ا ِت ى الدُّ; ْن حس ;ن‬ ‫وم ْنهم‬
‫نَ ة ِق نَ ا ب‬ ‫ْٰلخر‬ ‫َيا ة‬ ‫من ا نَ ا‬
‫النَّار‬
Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan peliharalah kami
dari siksa neraka. (QS Al-Baqarah [2]: 201)
3. Syariah dan Fiqih
Agama mengatur tata kehidupan seorang muslim dengan hukum-hukum syariah
berdasarkan Al-quran dan As-Sunnah. Hukum syariah dari Al-quran tersebut
dikodifikasikan dalam bentuk aturan-aturan yang lebih jelas, rinci dan operasional melalui
ijtihad para ulama. Kodifikasi hukum syariah disebut Fiqih. Karena itu fiqih tidak lain
adalah ilmu yang membahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat Al-quran yang berkenaan
dengan hukum. Pemahaman dan penafsiran memerlukan ijtihad, yakni upaya keras dalam
bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentuan hukum agama dari sumber-
sumbernya.
Fikih berisi peraturan-peraturan pelaksanaan yang memberi pegangan dan pedoman
dalam berperilaku. Jadi boleh dikatakan, fikih merupakan operasionalisasi hukum syari’at
berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Aturan syariah yang telah dikodifikasikan secara luas adalah hukum-hukum yang
berkaitan dengan aspek ibadah dalam bentuk fikih ibadah. Misalnya fikih Mazhab Syafii,
Maliki, Hanafi dan sebagainya. Aspek aspek lainya masih belum dikodifikasikan
sebagaimana yang telah dilakukan oleh aspek ibadah, sehingga umat Islam masih harus
mengupayakan ijtihad untuk menyusun fikih fikih lainnya, seperti fikih politik, ekonomi,
budaya dan sebagainya.
Fikih berisi peraturan peraturan pelaksanaan yang memberi pegangan dan pedoman
dalam berprilaku. Jadi boleh dikatakan, fikih merupakan oprasionalisasi hukum syariat
berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.

4. Ibadah
Ibadah adalah perhambaan seorang kepada Allah sebagai pelaksanaan tugas hidup
sebagai makhluk. Ibadah meliputi ibadah khusus atau ibadah mahdhah dan ibadah umum
atau ibadah ghair mahdhah. Ibadah khusus adalah ibadah yang langsung ditujukan kepada
Allah. Ibadah ini telah ditentukan macam, tata cara, dalam rukunnya oleh Allah.
Pelanggaran terhadap tata cara dan syarat rukun dalam ibadah ini menjadikan ibadah
tersebut tidak sah atau batal. Ibadah yang termasuk dalam jenis ini adalah shalat, puasa,
zakat dan haji.
Ibadah khusus sedapat mungkin dilaksanakan sesuai perintah Allah atau contoh
Rasulullah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan ibadah khusus, seorang
muslim harus berpegang teguh kepada ketentuan yang sudah pasti berdasarkan perintah
Allah dan contoh yang dilakukan oleh Rasulullah. Beribadah yang tidak sesuai dengan
perintah Allah atau contoh Rasulullah dapat dikategorikan sebagai perbuatan “bid‘ah”,
yaitu mengadakan sesuatu yang baru dan tidak memiliki dasar yang jelas dari Al-Quran
dan Sunnah. Perbuatan bid‘ah dalam ibadah khusus ditolak karena adanya tambahan atau
pengurangan dan tidak sesuai dengan perintah atau contoh yang ditentukan.
Ibadah umum atau ibadah ghair mahdhah adalah ibadah yang jenis dan macamnya
tidak ditentukan, baik dalam Al-Quran maupun sunah Rasulullah. Ibadah ini menyangkut
segala perbuatan yang dilakukan seorang muslim. Perbuatan tersebut dapat dipandang
sebagai ibadah apabila tidak termasuk yang dilarang Allah atau Rasul-Nya dan dilakukan
karena Allah.
Untuk melihat suatu perbuatan termasuk ibadah umum atau bukan, dapat dirujuk
pada kaidah: “Semua ibadah umum boleh dilakukan kecuali yang dilarang Allah atau
Rasul-Nya”. Ibadah umum berkaitan dengan segala kegiatan manusia atau muamalah yang
tidak dirinci jenisnya satu per satu.

5. Ibadah Khusus
a. Thaharah dan Hikmahnya
Thaharah atau bersuci merupakan syarat pelaksanaan ibadah lainnya, seperti shalat,
tawaf, dan sebagainya. Bersuci terdiri atas bersuci dari najis dan hadas. Bersuci dari najis
adalah menghilangkan najis dari badan, pakaian, dan tempat dengan bahan atau alat
penghilang najis, yaitu air, tanah, atau benda lain yang disahkan oleh syariat, seperti batu,
daun yang kasap, atau kertas.
Bersuci dari hadas adalah menghilangkan hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil
dihilangkan dengan wudhu dan hadas besar dengan mandi janabat (mandi wajib karena
bersetubuh, keluar air mani, usai haid atau nifas). Baik wudhu maupun mandi dapat
digantikan dengan tayamum, jika tidak didapatkan air, di perjalanan atau karena halangan
tertentu, seperti sakit.
Wudhu adalah menghilangkan hadas kecil dengan cara berniat, membasuh muka,
dua tangan, dan dua kaki sampai mata kaki. Firman Allah:

‫اغسُل ْوا ْ ه ْ َ كم‬ ‫ص‬ ‫يٓاَ;ُي ها ذ ْين امن ذَ;ا قُ;متُ; ْم اَِلى‬
‫و كم ي ي ِالَى‬ ‫ال‬ ‫ْٓوا‬ َ‫ال‬
َ‫وا‬ ‫وج‬ ‫ٰل;و‬
‫د‬
‫كم اَِلى ا ع َب ْي ِن‬ ‫وار ج‬
َ ‫ْوسكم‬ ‫ق وامسح‬ ‫ا م‬
‫ْلك‬ ‫رء ل‬ ‫ْوا‬ ‫ْل را‬
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu hendak berdiri melakukan shalat, basuhlah
mukamu dengan tanganmu sampai ke siku, lalu sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu
hingga dua mata kaki…. (QS Al-Ma’idah [5]: 6)
Mandi janabat dinyatakan sah ketika berniat dan mengalirkan air secara merata ke
seluruh tubuh.
Apabila mandi dan wudhu tidak bisa dilakukan karena sakit atau tidak ada air,
dapat diganti dengan tayamum. Tayamum, baik untuk menggantikan wudhu atau mandi
adalah mengusap tanah (debu) ke muka atau telapak tangan dengan niat mengganti wudhu
atau mandi. Thaharah atau bersuci mengandung hikmah, yaitu:
Hikmah Thaharah adalah sebagai berikut:
 Membiasakan hidup bersih yang menjadi syarat hidup sehat
 Wudhu yang di dalamnya terkandung kewajiban membasuh anggota, wudhu
mengisyaratkan kewajiban untuk mensucikan diri setiap saat dari dosa.
 Tayamum menggunakan tanah mengisyaratkan manusia untuk rendah hati, tidak
sombong atau takabur

b. Shalat dan Hikmahnya


Shalat adalah ucapan-ucapan dan gerakan-gerakan yang di mulai dari takbiratul
ihram dan diakhiri salam. Ketentuan shalat ditetapkan dalam syariat Islam dalam
berdasarkan Al-Quran dan contoh yang dilakukan Nabi yang termuat dalam hadisnya. Oleh
karena itu, shalat dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan contoh Nabi pada saat
shalat. Sabdanya:
)‫ص ُّلوا كما رأَ; ْيتُ;مو ِني أُ;ص ِلِّي ( رواه البخاري‬
Salatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. (HR Al-Bukhari)
“Melihat Nabi Saw. shalat” berarti mengetahui cara Nabi Saw. mengerjakan shalat.
Keterangan tentang bagaimana Nabi shalat dapat diungkap dari hadis-hadisnya.
Shalat merupakan pokok ibadah dalam agama Islam bahkan hal yang pertama kali
ditanyakan Allah pada hari kiamat, seperti disabdakan Nabi:
‫إن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة من عمله صالته‬,

Sesungguhnya amal pertama yang akan dimintai pertanggungjawaban dari


manusia pada hari kiamat adalah shalat. (HR Abu Dawud)
Sebagai ibadah khusus, tata cata telah ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi.
Karena itu, bekenaan dengan shalat, tidak diperkenankan menambah atau menguranginya
walaupun sedikit. Penambahan atau penguarangan dalam shalat termasuk perbuatan
bid’ah, setiap pebuatan bid’ah adalah sesat. Oleh Karena itu, mengetahui cara dan dalil-
dalil tentang shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim (fardhu ‘ain).
Kewajiban shalat bagi umat muslim tidak pernah berhenti dalam kondisi apapun,
sepanjang akalnya sehat. Mengerjakan shalat wajib bagi orang-orang yang berada
diperjalanan diberikan keringanan-keringanan, yaitu dengan melakukan shalat jamak dan
shalat qashar.
Shalat jamak adalah mengumpulkan shalat Zuhur dengan shalat Asar atau shalat
Maghrib dengan shalat Isya. Apabila shalat Asar dilakukan pada waktu Zuhur, atau shalat
Isya di disatukan dengan shalat Maghrib dan dilakukan pada waktu Maghrib disebut shalat
jamak taqdim. Apabila shalat Zuhur disatukan dengan shalat Asar dilakukan pada waktu
Asar dan shalat Isya disatukan dengan shalat Maghrib dilakukan pada waktu Isya disebut
shalat jamak ta’khir.
Shalat Qashar adalah meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, yaitu
salat-shalat Zuhur, Asar dan Isya. Shalat jamak dilakukan sekaligus dengan
mengqasharnya sehingga salat-shalat yang tidak bisa dijamak dan diqashar adalah shalat
Subuh sedangkan yang tidak bisa diqashar adalah shalat Maghrib dan shalat subuh.
Keringanan-keringanan shalat tersebut sebagai bukti bahwa beribadah dalam ajaran
Islam tidak memberatkan penganutnya, sesuai kemampuan yang dimilikinya. Dalam
keadaan tertentu seperti tersebut di atas, keringanan merupakan hak bukan kewajiban bagi
orang muslim. Oleh karena itu, boleh diambil dan boleh juga tidak diambil, yang penting
kewajiban shalat tetap dilaksanakan.
Shalat yang wajib selain shalat lima waktu adalah shalat jumat. Shalat ini dilakukan
pada hari jumat, waktu zhuhur, secara berjamaah dan diawali dengan dua khutbah.
Kewajiban shalat jumat didasarkan kepada firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari
jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Jumuah, 62:9)
Di samping shalat wajib seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat juga shalat
sunnat, yaitu shalat yang dianjurkan untuk dilakukan.
Macam-macam shalat sunnat, antara lain:
 Shalat sunnat yang mengiringi waktu shalat fardhu, yaitu shalat rawatib (shalat
sunnat yang dilakukan sebelum atau sesudah shalat fardhu) baik yang sunnat muakkad
maupun yang bukan muakkad.
 Shalat sunnat malam hari, yaitu shalat tahhajud, shalat istikharah, shalat witir, dsb.
 Shalat sunnat yang dilakukan pada hari-hari tertentu, yaitu shalat idul fitri dan idul
adha.
 Shalat sunnat yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan saja, yaitu shalat
tarawih.
 Shalat sunnat yang dilakukan pada peristiwa-peristiwa tertentu saja, seperti shalat
gerhana (bulan maupun matahari) dan shalat istisqa (meminta hujan).
Shalat-shalat sunnat tersebut merupakan ibadah yang seyogyanya dilakukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, membina pribadi, dan menjaga diri, tidak terjerumus
kepada dosa, dan kemungkaran serta selalu dalam perlindungan Allah Swt.

Hikmah Ibadah Shalat


Shalat adalah ibadah yang paling pokok dan menjadi ciri antara muslim dengan
kafir. Ibadah yang bersifat ritual ini menyimpan makna yang besar bagi setiap muslim
yang melaksanakannya. Shalat yang mengandung makna pembinaan pribadi, yaitu dapat
menghindar dari perbuatan dosa dan kemungkaran. Orang yang melakukan shalat
hidupnya akan terkontrol dengan baik. Setiap waktu shalat, seorang muslim menghadapkan
dirinya ke hadapan Allah, meminta ampunan dan petunjuknya melalui bacaan shalat yang
diucapkannya. Setelah shalat ia dapat kembali dalam kegiatan rutinnya dengan jiwa yang
sudah bersih, semangat baru, dan harapan yang segar. Pribadi yang terkontrol sedemikian
rupa, minimal lima kali sehari semalam, akan cenderung bertingkah laku baik, terhindar
dari perbuatan dosa. Karena itu, orang shalat dengan benar menghayati dan khusuk akan
terhindar dari perbuatan dosa dan ingkar, sebagaimana firman Allah:

‫ ْون‬#‫ص نَ ُع‬#َ‫ك َبر َ لٰوُّال َيعَلم ما ت‬#َ‫ ْن ٰهى عن ا ْلَفحش ۤاء وا ْلم ْنكر َوَل ِذكر ل ّالِٰ ا‬#‫ َت‬#َ‫ِان الص ٰلوة‬
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar dan sesungguhnya
mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain) . (QS Al-
‘Ankabut [29]: 45)

c. Puasa dan Hikmahnya


Puasa adalah menahan makan minum serta segala yang membatalkannya sejak
terbit fajar sampai terbenam matahari. Ibadah puasa hukumnya ada yang wajib dan ada
pula yang sunnah. Adapun puasa wajib adalah puasa selama sebulan penuh pada bulan
Ramadhan dan puasa nadzar (puasa yang di nadzarkan, misalnya: saya bernadzar akan
puasa jika lulus ujian. Jika lulus, maka ia wajib berpuasa).
Kewajiban puasa Ramadhan didasarkan pada firman Allah:
‫َيٓأَ; ُّيها ٱلَّ ِذين ءا َمُنو ۟ا ك ِتب علَ ْيك ُم ٱل ِّص َيا ُم ك َما ك ِتب علَى ٱلَّ ِذين من َق ْب ِلك ْم َعلَّك ْم تَ;تَّ;ُقون‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah [2]:
183)
Puasa sunnat adalah puasa yang hukumnya sunnat, seperti puasa hari Senin dan hari
Kamis, puasa enam hari pada bulan Syawal, puasa pada hari Arafah, dan sebagainya.
Ibadah puasa termasuk ibadah khusus sehingga tata caranya ditetapkan berdasarkan aturan
syariat Islam. Berpuasa pada dasarnya berfungsi mengendalikan hawa nafsu pada diri
setiap orang sehingga dapat terkendali dan terarah pada hal-hal yang positif.
Tujuan puasa adalah mencapai derajat takwa, yaitu keadaan seorang muslim yang
tunduk dan patuh kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam melaksa-
nakan puasa, seorang muslim memiliki keyakinan sehingga lapar dan sakit dapat
ditahannya. Oleh karena itu, wajarlah kalau orang yang demikian dipandang memiliki
salah satu kriteria bertakwa.

Hikmah Ibadah Puasa


Puasa merupakan ibadah ritual yang memiliki makna yang tinggi. Ia merupakan
suatu proses pendidikan dan latihan intensif untuk menguji kekuatan iman dan sekaligus
mengendalikan hawa nafsu. Ibadah ritual ini dapat melahirkan sikap-sikap positif yang
ditampakkan dalam kehidupan sehari hari, seperti kepedulian kepada fakir dan miskin.
Sebab, orang yang berpuasa akan merasakan betapa lapar dan dahaga orang fakir dan
miskin yang kekurangan makanan dan minuman serta sering menahan rasa lapar dan
dahaga di saat orang lain berlebihan makanan.
Puasa dapat juga mendidik manusia untuk berdisiplin terhadap waktu. Pada saat
imsak, kita disiplin untuk menahan diri dari larangan-larangan puasa. Begitu pula pada saat
berbuka, kita tidak boleh melanjutkan puasa dan dibolehkan menikmati larangan-larangan
puasa.
Puasa juga melatih kita untuk menahan dan mengendalikan diri dari keinginan-
keinginan atau dorongan nafsu untuk melakukan perbuatan yang dilarang Allah. Dorongan
nafsu akan senantiasa datang pada diri setiap orang. Seseorang dapat terbawa oleh atau
terlepas dari dorongan itu bergantung pada pertahanan dan pengendalian dirinya. Dengan
puasa, seorang mukmin dilatih untuk mengendalikan dan menahan dorongan nafsu
sehingga tidak mudah hanyut dan terseret terhadap arus dosa yang mencelakakan dirinya.

d. Zakat dan Hikmahnya


Zakat adalah memberikan harta apabila telah mencapai nisab dan haul kepada
orang yang berhak menerimanya dengan syarat tertentu dari harta yang dimiliki yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Sedangkan haul adalah berjalan genap satu tahun.
Jenis barang yang wajib dizakati adalah hasil pertanian, perkebunan, perternakan,
perdagangan, serta kekayaan lain yang termasuk kategori zakat mal. Zakat sebagai
kewajiban umat Islam didasarkan pada firman Allah:

‫ْي‬ ‫ص‬
‫ّلُوال س ِم‬ ْ ‫س; ك‬ ‫ص ُ ْ وتُ; َز ّ ِ;ك َ وصل علَ ْي ِه ْم‬ ‫اَ ْم َوا ِل‬ ‫خ ْذ‬
‫ٌم‬
‫ْيع‬ ‫م‬ ‫ن‬ ‫ٰلوتَ;ك‬ ‫ن‬ ‫َدَقةً ت ر م ْي ِه ْم ه‬ ‫ِه ْم من‬
‫ع‬
‫ا‬ ‫ط‬
‫ِل‬
‫ه‬ ‫ه‬
‫ِه‬

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersikan dan
menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS
At-Taubah [9]: 103)
Bagi orang yang megeluarkannya (muzakki), zakat yang memiliki fungsi sebagai
pelaksana perintah dan ibadah kepada Allah dan sekaligus merupakan cara pembersihan
dan penyucian harta yang dimilikinya. Segala yang dimakan dan digunakan adalah harta
yang telah bersih dari hak-hak orang lain yang melekat pada hartanya. Dengan demikian,
ia akan terhindar dari memakan harta yang bukan haknya.
Harta yang dikumpulkan dari para muzakki diberikan kepada orang-orang yang
berhak menerima zakat (mustahik). Mereka ini adalah:
a. Fakir (orang yang penghasilannya tidak cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari)
b. Miskin (orang yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari
dan tidak dapat membeli sandang dan papan)
c. Amilin (orang yang bertugas mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat
sampai ke mustahiknya)
d. Muallaf (orang yang tertarik untuk memeluk agama Islam sehingga apabila diberi zakat
akan memantapkan imannya)
e. Hamba sahaya (orang yang berstatus budak belian)
f. Gharim (orang yang banyak berutang atau yang bangkrut usahanya)
g. Fi Sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah dengan ikhlas)
h. Ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di jalan; yang terlantar atau terlunta-lunta di
jalanan)
Mustahik zakat dijelaskan dalam firman Allah berikut:

‫عل وا ؤلَّف قُل و ِفى ’رقَا‬ ‫وا سك وا ْل ام ِل‬ ‫ما الصد ل ر‬ ‫ن‬
ْ
‫ال ب‬ ‫ْيها ْلم ة ْوب م‬ ‫ْين‬ ‫ْلم ْين‬ ‫ٰقت ْل ُفَق ۤاء‬
‫ه‬
‫حك‬ ‫ع‬ ٰ ‫لِّٰال‬ ‫ْ ض ’م‬ ‫وا ا لس ِ ب ْ ي‬ ٰ ‫س ِب‬ ‫ارم ْين و‬ ‫وا ْل‬
‫ْيم‬ ‫ِل ْيم‬ ّ‫ل‬ ‫َو‬ ‫ي ة ن‬ ‫ِل‬ ‫ْبن‬ ‫ْيل‬ ‫ِفي‬
‫ل‬ ِ‫لا‬
ُ‫ا‬ ‫ر‬

Sesungguhnya zaka-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,


pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS At-Taubah [9]: 60)
Zakat dapat diberikan secara langsung untuk penyantunan kaum dhuafa yang
termasuk dalam mustahik zakat di atas. Zakat juga dapat diberikan dalam bentuk bahan
konsumtif atau dengan diarahkan pada kegiatan produktif untuk peningkatan kemampuan
kaum ekonomi lemah sehingga mereka dapat keluar dari kemiskinannya.
Karena itu, kewajiban zakat dalam Islam mengandung implikasi ekonomi yang
sangat luas. Zakat memiliki makna keberpihakan Islam kepada kaum yang lemah
(mustahik zakat) serta mengupayakan adanya perubahan nasib kaum yang tertinggal.

Hikmah Ibadah Zakat


Zakat memiliki hikmah yang besar, baik bagi muzaki, mustahik, maupun bagi
masyarakat muslim pada umumnya. Bagi muzaki zakat berarti mendidik jiwa untuk suka
berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong, dan angkuh yang biasanya
menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih.
Bagi mustahik, zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan
sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki, dan su’uzhan (buruk sangka) terhadap orang-
orang kaya. Dengan demikian jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dapat
dihilangkan.
Bagi masyarakat muslim, melalui zakat akan terdapat pemerataan pendapatan dan
pemilikan harta di kalangan umat Islam. Dalam tata masyarakat muslim tidak terjadi
monopoli, melainkan sistem ekonomi yang menekankan kepada mekanisme kerja sama
dan tolong menolong. Zakat fitrah lebih bermakna praktis, yaitu pemberian yang bersifat
konsumtif mendorong kebersamaan umat dalam menandai hari raya dengan kegembiraan
bersama, menghilangkan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin.

e. Haji dan Hikmahnya


Haji adalah ibadah ritual, mengunjungi baitullah pada bulan Zul hijjah dengan
syarat-syarat tertentu. Ibadah haji diwajibkan kepada setiap muslim yang memiliki
kemampuan (kuasa) untuk mengerjakannya, sebagaimana firman Allah:

‫ي‬
‫وم ك َف ِان َٰ ِ عن‬ ‫ط ع ل س ِب‬#َ‫ت ست‬ ‫و ِ ه ا ْل َب‬
‫ن ف ر لّال ن‬ ‫من ا ا ْيه ًْيل‬ ‫ْي حج‬ ِّ ‫ِ ل‬
َ ‫ل علَى النَّاس‬
‫غ‬
‫ا ع م ْين‬
‫ْل َل‬
….mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa (mengingkari kewajiban
haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
(QS Ali ‘Imran [3]: 97)
Ibadah haji adalah bentuk ibadah yang memiliki aspek-aspek keimanan, ritual, dan
fisik yang ditunjang oleh aspek ekonomi dan politik.
Aspek keimanan, berarti untuk berangkat naik haji seorang muslim dituntut untuk
berkorban harta, waktu, dan tenaga. Keimananlah yang mendorong seorang muslim untuk
berangkat ibadah haji. Kegiatan ritual, maksudnya ibadah haji berisi gerakan-gerakan,
pekerjaan-pekerjaan dan bacaan-bacaan yang bersifat ritual. Kegiatan ibadah haji dapat
dilakukan seorang muslim apabila ia memiliki kemampuan ekonomi yang dapat
digunakannya untuk membiayai haji. Aspek politik juga berperan dalam ibadah haji karena
tempat ibadah, yaitu Mekah dan Madinah berada dinegara lain dengan tata aturan hukum
tersendiri. Di sini diperlukan hubungan politik antara pemerintah Saudi dengan negara
kaum muslimin berada sehingga ibadah haji dapat berlangsung dengan aman dan tertib.

Hikmah Ibadah Haji


Haji merupakan ibadah ritual yang sarat dengan makna simbolik, mendorong
lahirnya perilaku yang menjadi tujuan setiap orang.
Setiap muslim yang melaksanakan ibadah haji mengharapkan dirinya menjadi haji
yang mabrur karena pahalanya sangat besar. Hal ini terungkap dalam tanya jawab antara
Rasulullah Saw. dengan sahabatnya yang tersurat dalam hadis yang dirawikan oleh Al-
Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa seorang sahabat bertanya kepada
Rasulullah: “Amal apakah yang paling utama?” Rasul menjawab: “Iman kepada Allah dan
Rasul-Nya”. Sahabat itu bertanya lagi: “Kemudian apa? Rasul menjawab: “Jihad di jalan
Allah”. Sahabat bertanya lagi: “Kemudian apa?” Rasul menjawab: “Haji mabrur”.
Dari dialog itu dapat diungkapkan bahwa haji mabrur merupakan amaliah utama
yang kadarnya disejajarkan dengan iman dan jihad.
Iman bukanlah sesuatu yang terjadi pada suatu waktu saja tetapi berjalan terus
menerus, Demikian pula jihad harus dilakukan secara terus menerus sepanjang hayat.
Perang sebagai jihad hanya dilakukan pada saat diperlukan. Ini pun dinyatakan Nabi
sebagai jihad yang kecil, sedangkan jihad yang besar adalah melawan hawa nafsu yang
terus menerus berkobar di dalam jiwa.
Sebagaimana iman dan jihad, haji mabrur tidak hanya setelah pulang haji,
melainkan terus menerus selama menyandang titel haji. Bahkan, menurut para ulama, haji
mabrur pada dasarnya adalah membekasnya ritual haji dalam kehidupan sehari-hari setelah
ibadah haji dilakukan. Jadi, haji mabrur itu ditandai dalam kehidupan yang lebih baik
setelah kembali ke tanah air, bukan sebatas kegiatan ritual di tanah haram. Bekas-bekas
dari ibadah haji itu ditampilkan dalam bentuk keyakinan yang lebih kuat terhadap Allah
Swt. serta meletakkan keyakinan itu sebagai poros kehidupannya.
Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji akan meningkatkan kualitas hidup dan
penghidupannya secara lebih bermakna untuk mencari kemuliaan yang hakiki. Ia akan
meninggalkan segala niat dan perilaku yang buruk dan menggantikannya dengan niat dan
perilaku yang bersih dan suci.

f. Muamalah
Muamalah adalah hubungan antar manusia, hubungan sosial atau hablun minan-
nâs. Dalam syariat Islam, hubungan antar manusia tidak dirinci jenisnya tetapi diserahkan
kepada manusia mengenai bentuknya. Islam hanya membatasi bagian-bagian yang penting
dan mendasar berupa larangan Allah dalam Al-Quran atau larangan Rasul-Nya yang
ditemukan di dalam As-Sunnah.
Ruang lingkup muamalah tidak terbatas. Al-Quran banyak membicarakan
persoalan muamalah dibandingkan ibadah ritual. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al-Quran
merupakan pedoman hidup bagi manusia. Sebab, kegiatan yang paling banyak dilakukan
manusia adalah hubungan dengan sesamanya.
Para ahli telah mengkodifikasi sebagian persoalan muamalah dalam hukum-hukum
syariat yang berkaitan dengan aturan pernikahan, pewarisan, ekonomi, pidana, dan
sebagainya, yang menyangkut tata hukum dalam hubungan sosial. Hasil kodifikasi ini telah
tersusun secara sistematis dalam kitab-kitab fiqih, seperti fiqih mazhab Maliki, Syafi‘i,
Hanafi, Hanbali.

C. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Shalat fardu merupakan ibadah pokok yang dilaksanakan lima kali sehari semalam.
Bagaimana Anda menjelaskan secara logis pelaksanaan shalat tersebut dengan upaya
pencegahan terhadap perbuatan dosa dan kemungkaran?
2. Jelaskan pendapat anda bagaimana sebenarnya Islam itu mengatur kaidah-
kaidah yang berkaitan dengan ibadah vertikal dan ibadah horizontal
(muamalah) ?
3. Jelaskan Konsep kebersihan (Thaharah) Menurut Islam dan Sebutkan Hikmah dari
pelaksanaan thaharah!

Untuk Non-Muslim

1. Jelaskan pendapat anda bagaimana sebenarnya Agama Anda mengatur kaidah-


kaidah yang berkaitan dengan ibadah vertikal dan ibadah horizontal?

2. Jelaskan ibadah pokok apa saja yang Anda kerjakan dalam agama Anda? Apakah di
dalam agama Anda mengenal tuntunan/konsep kebersihan (thaharah) seperti wudhu
dan mandi wajib (jinabah) setelah menstruasi atau setelah berhubungan suami istri?
Jelaskan!

Selamat mengerjakan. Terima kasih


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2004


Daud Ali, Mohammad, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004
Faridl, Miftah, Pokok-pokok Ajaran Islam, Bandung: Pustaka, 1991
Gazalba, Sidi, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiolografi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979
Al-Ghazâli, Abû Hâmid, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Habsyi, Muhammad Bagir, Fiqih Praktis Menurut Al-Quran, As-Sunnah, dan Pendapat
para Ulama, Bandung: Karisma, 2002
Nasution, Ahmad Taufik, Metode Menjernihkan Hati, Melejitkan Kecerdasan Emosi dan
Sprititual Melalui Rukun Iman, Bandung: Al-Bayan, 2004
Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Semarang: PT Al-Ma’arif, 1971.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Penerbit Mizan, 1992
Suryana Af, A. Toto, dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Bandung:
Tiga Mutiara, 1997
Yakub, Hamzah, Etika Islam, Jakarta: Publicita, 1978

Anda mungkin juga menyukai