Oleh :
PERBANKAN SYARIAH
PADANGSIDEMPUAN
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan petunjuk dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat merampungkan
penulisan makalah ulumul hadist ini.
Ulumul hadist (ilmu hadist) adalah salah satu bidang yang penting didalam islam,yang
sangat diperlukan dalam mengenal dan memahami hadist-hadist Nabi SAW. Hadist adalah
sumber ajaran dan hukum islam kedua,setelah,dan berdampingan dengan Al-Quran. Penerimaan
hadist sebagai sumber ajaran dan hukum islam adalah merupakan realisasi dan iman kepada
Rasul SAW dan dua kalimat syahadat yang diikrarkan oleh setiap muslim, selain karena fungsi
dari hadist itu sendiri,yaitu sebagai penjelas dan penaksir terhadap ayat-ayat Al- Quran yang
bersifat umum.
Ahkirnya,kepada Allah jugalah penulis menyerahkan diri serta memohon taufik dan
hidayah-Nya, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, Amin.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qur‟an Hadis adalah salah satu dari mata pelajaran pendidikan agama Islam, yang
keberadaannya sangat penting bagi kemajuan pendidikan Islam di Indonesia khususnya.
Al-Qur‟an dan Hadis adalah dua pedoman yang ditinggalkan Rasulullah SAW untuk
umat manusia di dunia.
Al-Qur‟an amat dicintai oleh kaum muslimin, karena fashahah serta balaqhahnya dan
sebagai sumber petunjuk kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini terbukti
dengan perhatian yang amat besar terhadap pemeliharaannya semenjak turunnya di masa
Rasulullah SAWsampai tersusunnya mushhaf sampai akhir zaman.
Ayat Al-Qur‟an yang pertama kali diturunkan mengandung perintah untuk membaca
yang disampaikan malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW, pengulangan atas perintah
tersebut menunjukan betapa pentingnya kemampuan membaca, karena dengan membaca
dapat diperoleh pengetahuan yang dibutuhkan dan selanjutnya dengan perantara baca
tulislah Allah SWT mengajarkan manusia.
Al-Qur‟an Hadis adalah bagian dari mata pelajaran pendidikan agama islam yang
diberikan untuk memahami dan mengamalkan Al- Qur‟an sehingga mampu membaca
dengan fasih, menerjemahkan, menyimpulkan isi kandungan, menyalin dan menghafal
ayat-ayat yang terpilih serta memahami dan mengamalkan hadis-hadis pilihan sebagai
pendalaman dan perluasan kajian dari pelajaran Al-Qur‟an Hadis dari Madrasah
Ibtidaiyah dan sebagai bekal untuk mengikuti jenjang pendidikan berikutnya.
Mempelajari Al-Qur‟an Hadis bertujuan agar peserta didik gemar membaca Al-Qur‟an
dan Hadis dengan benar, serta mempelajarinya, memahami, meyakini kebenarannya, dan
mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya sebagai petunjuk dan pedoman
dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian pembelajaran Al-Qur‟an Hadis
memiiki fungsi lebih istimewa dibanding dengan yang lain dalam hal mempelajari Al-
Qur‟an.
1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa dasar kehujjahan hadist?
2. Apa fungsi hadist terhadap Al-Qur‟an?
3. Apa kedudukan hadist?
4. Apa fungsi hadist dalam ajaran islam?
5. Apa kolerasi hadist dengan dalil-dalil hukum yang lain?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa saja dasar kehujjahan hadist
2. Untuk mengetahui fungsi hadist terhadap Al-Qur‟an
3. Untuk mengetahui kedudukan hadist
4. Untuk mengetahui fungsi hadist dalam ajaran islam
5. Untuk kolerasi hadist dengan dalil-dalil hukum yang lain
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
hukum-hukum baru diluar al-Quran. Dan ia sendiri tidak menerima hadist
melainkan dari orang yang dipercayainya.
Pada intinya, Imam Malik membina hukum-hukum Islam dengan
berdasrkan al-Quran sebagai sumber pembinaan yang pertama,kemudian sunnah
sebagai sumber pembinaan yang kedua. Dalam hal hadist, Imam Malik menerima
hadis masyhur, hadis mursal dan hadis mutawir serta hadis ahad. Sementara
khusus hadis ahad, Imam Malik memberi syarat, yaitu tidak bertentangan dengan
amalam-amalam ulama Madinah.
3. Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i dalam membina hukum islam, ia menempatkan al-Quran dan
hadist sebagai tempat bersandarnya ijma‟,qawl sahabat dan qiyas. Dengan kata
lain bahwa sumber yang digunakan Imam Syafi‟i dalam membina hukum,
hanyalah dua, yaitu al-Quran dan hadist. Adapun dalil-dalil lain dalam urutan
tingkatan diatas, hanyalah merujuk kepada al-Quran dan hadist.
Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam Syafi‟I mengajukan sejumlah dalil yang
membuktikan ke-hujjah-an al-sunnah. Hadis ahad, Imam Syafi‟I menerimanya,
namun dengan syarat sebagai berikut:
a) Periwayatnya adalah orang yang dipercaya
b) Periwayatnya berakal atau memahami apa yang diriwayatkan
c) Periwayatnya dhabith
d) Periwayatnya benar-benar mendengar hadis itu dari orang yang
meriwayatkannya
e) Periwayatnya tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan
hadis yang sama.
4
Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar dengan jelas, bahwa Imam
Syafi‟I dalam menetapkan hukum menempatkan sunnah sejajar dengan al-Quran.
Menurutnya, kedua dalil itu sama-sama berasal dari Allah dan keduanya
merupakan sumber ajaran Islam.
Imam Syafi‟I memakai ijma‟, qawl sahabat dan qiyas dengan merujuk
pada kedua sumber ajaran islam tersebut. Selanjutnya, Imam Syafi‟I menerima
hadis ahad sebagai hujjah dengan syarat, harus dari periwayat yang dapat
dipercaya dan memenuhi kriteria tamal-dhabit. Imam syafi‟I menerima juga
hadist mursal dengan syarat, periwayatnya banyak berjumpa dengan sahabat dan
sanad-nya dapat dipercaya. Menurutnya, posisi hadist mutawir lebih tinggi dari
pada hadist ahad dan hadist mursal.
5
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan tersebut,
dapat dikatakan, bahwa para Imam Mazhab Empat dalam kegiatan menetapkan
hukum terhadap seluruh masalah masalah yang dihadapi pada masa hidupnya
sebagai ulama mujtahid, menggunakan hadist sebagai sumber yang kedua. Namun
demikian, diantara mereka menekankan persyaratan-persyaratan bagi sebuah
hadist yang dapat diterimanya sebagai hujjah.1
1) Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta‟kid dan bayan al-itsbat.
Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa
yang telah diterangkan didalam al-Quran. Fungsi hadist dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan al-Quran, suatu contoh hadis yang diriwayatkan
muslim dari Ibnu Umar.
Suatu contoh hadist diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi
sebagai berikut :
“Apabila kalian melihay (ru‟yah) bulan, maka berpuasalah juga apabila
melihat (ru‟yah) itu maka berbukalah.”(HR. Muslim).
Hadist ini datang men-taqrir ayat al-quran dibawah ini
1
M.Nasri Hamang, vol. 9, Jurnal Hukum Diktum, Januari 2011, hlm 93-98
6
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan,
hendaklah ia berpuasa” (Q.S Al-Baqarah (2) : 185).
Hadist ini mentaqrir ayat-ayat al-quran tentang syahadah (Q.S Al-Hujurat
[49]: 15), shalat dan zakat (Q.S Al-Nur [24]: 56), puasa (QS Al-Baqarah [2]:
182 dan 185), dan tentang haji (QS. Ali Imran [3]: 97).
Abu hamadah menyebutkan bayan taqrir atau bayan ta‟kid ini dengan
istiliah bayan al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya
hadis-hadis itu sealur (sesuai) dengan nas al-quran.
2) Bayan al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis
berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-qur‟an
yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan(taqyid)
ayat-ayat al-qur‟an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan(takhsish)
terhadap ayat-ayat al-qur‟an yang masih bersifat umum. Diantara contoh
tentang ayat-ayat al-qur‟an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan
shalat,puasa,zakat,disyariatkan jual beli,nikah,qhisas,hudud,dan sebagainya.
Ayat-ayat al-qur‟an tentang masalah ini masih bersifat mujmal,baik mengenai
cara mengerjakan,sebab-sebabnya,syarat-syarat, atau halangan-halangannya,
oleh karena itu,Rasullah SAW, melalui hadisnya menafsirkan dan
menjelaskan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh dibawah ini akan
dikemukakan beberapa hadis yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir:
“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”. (HR.Bukhari)
Hadist ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-
quran tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan
shalat adalah:
“Dan kerjakanlah shalat,tunaikan zakat dan rukuklah beserta orang-orang
yang rukuk.(QS Al-Baqarah [2]: 43).
3) Bayan at-Tasyir
Yang dimaksud dengan bayan at-tasyir adalah mewujudkan suatu hukum
atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-quran, atau dalam al-quran
hanya terdapat pokok-pokok nya (ashl) saja. Abbas Muttawalli Hammadah
7
juga menyebut bayan ini dengan “za‟id „ala al-karim”. Hadist Rasul SAW
dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi‟li maupun taqrir) berusaha
menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai kesoalan yang
muncul, yang tidak terdapat dalam al-quran. Ia berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak
diketahuinya, dengan menunjukkan bimbingan dan menjelaskan duduk
persoalannya.
Hadis-hadis Rasul SAW yang termasuk dalam kelompok ini, diantaranya
hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara
(antara istri dan bibinya), hukum syuf‟ah hukum rajam perzina wanita yang
masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu
contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
“Bahwasannya Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat
islam pada bulan Ramadhan satu sukay (sha‟) kurna atau gandum untuk setiap
orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim”.
(HR.Muslim)
Hadis Rasul SAW yang termasuk bayan at-tasyri‟ ini, wajib diamalkan,
sebagaimana kewajiban mengamalkan hadis-hadis lainnya. Ibnu al-Qayyin
berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-
qur‟an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh
menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap(Rsaul SAW)
mendahului al-qur‟an melainkan semata-mata karena perintah-nya.
4) Bayan al-Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan diatas disepakati oleh
para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit oleh para ulama,
meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama
menyangkut defenisi(pengertian) nya saja.
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat
tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh
terhadap sebagian hukum al-qur‟an da nada juga yang menolaknya.
8
Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah
(menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taqhyir (mengubah). Para ulama
mengartikan bayab al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa,
sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam dalam
menta‟rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin
dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari
ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara‟
yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah
berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syari‟
(pembuatan syari‟at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk
selama-lamanya (temporal).
Jadi, intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus
ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas
dan lebih cocok dengan nuansanya. Ketidakberlakuan suatu hukumm (naskh
wa al-muansukh) harus memenuhi syarat-syaratnya yang ditentukan, terutama
syarat atau ketentuan adanya naskh dan mansukh. Pada akhirnya, hadis
sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-quran dapat menghapus
ketentuan dan isi kandungan al-quran. Demikian menurut pendapat ulama
yang menganggap adanya fungsi bayan al-nasakh. Kelompok yang
membolehkan adanya naskh jenis ini adalah golongan Mu‟tazilah, Hanafiyah,
dan Mazhab Ibn hazm Al-Dhahiri.
Hanya saja Mu‟tazilah membatasi fungsi naskh ini hanya berlaku untuk
hadis-hadis yang mutawatir. Sebab al-kitab itu nasakhnya diriwayatkan secara
mutawatir (mutawatir lafdzi). Sementara golongan Hanafiyah yang dikenal
agak longgar dalam hal naskh al-qur‟an dengan sunnah ini, tidak
mensyaratkan hadisnya mutawatir, bahkan hadis masyhur (yang merupakan
hadis ahad) pun bisa menaskh hukum sebagian ayatnya al-qur‟an. Bahkan
Ibnu Hazm sejalan dengan adanya naskh kitab dengan sunnah ini meskipun
dengan hadis ahad. Ibnu Hazm memandang bahwa naskh termasuk bagian
dari bayan Al-qur‟an.
9
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama ialah hadis yang
berbunyi:
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Hadis menurut mereka menaskh isi firman ALLAH SWT:
“ Diwajibkan atas kamu,apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma‟ruf (ini adalah ) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa”.(QS.Al-Baqarah(2):180)
Sementara yang menolak naskh jenis ini adalah Imam syafi‟i dan sebagian
besar pengikutnya,meskipun naskh tersebut dengan hadis yang mutawatir.
Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab
zhahiriyah dan kelompok khawarij.2
2
Dr.H.Munzier Suparta M.A Ilmu Hadist (Jakarta:Rajawali Pers,2016) hlm 57-67
10
dijelaskan (al-mubayyan) tidak ada; akan tetapi jika tidak ada al-bayan hal itu
tidaklah berarti bahwa al-mubayyan juga tidak ada. Dengan demikian,
eksistensi dan keberadaan hadis sebagai al-bayan tergantung kepada eksistensi
Al-Quran sebagai al-mubayyan, dan hal ini menunjukkan didahulukannya Al-
Quran dari hadis dalam hal status dan tingkatannya.
c. Sikap para sahabat yang merujuk kepada Al-Quran terlebih dahulu apabila
mereka bermaksud mencari jalam keluar atas suatu masalah, dan jika didalam
Al-Quran tidak ditemui penjelasannya, barulah mereka merujuk kepada Al-
Sunnah yang mereka ketahui, atau menanyakan Hadis kepada sahabat yang
lain.
d. Hadis Mu‟adz secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara Al-Quran
dan Al-Sunnah (hadis) sebagai berikut:
11
Argumen diatas menjelaskan bahwa kedudukan hadis Nabi SAW berada pada
peringkat kedua setelah Al-Quran. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah mengurangi
nilai hadist, karena keduanya, Al-Quran dan hadist, pada hakikatnya sama-sama berasal
dari wahyu Allah SWT. Karena nya, keduanya adalah seiring dan berjalan. Banyak ayat
Al-Quran yang menjelaskan dan memerintahkan agar kita bersikap patuh dan taat kepada
Allah dan Rasulnya, dan kepatuhan kita kepada Rasulnya adalah bukti atas kepatuhan
kita kepada Allah SWT, sebagaimana yang telah dijelaskan uraiannya dimuka dalam
pembahasan kedudukan hadis sebagai sumber ajaran islam.
Tentang hubungan Al-Quran dengan sunnah ini, Ibn Hazmin berkomentar bahwa
ketika kita menjelaskan Al-Quran sebagai sumber hukum syara‟, maka didalem Al-Quran
itu sendiri terdapat keterangan Allah SWT yang mewajibkan kita untuk menaati Rasul
SAW yang berhubungan dengan hukum syara‟ pada dasarnyaadalah wahyu yang datang
dari Allah SWT juga. Hal tersebut termuat dalam firman Allah dalam surah Al-najm ayat:
3-4:
“Dan tiadalah yang diucapkan beliau(Rasul SAW) itu (bersumber) dari hawa
nafsunya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan(Allah SWT) kepadanya.
Allah SWT telah mewajibkan umat islam untuk menaati wahyu dalam bentuknya
yang kedua ini (yaitu hadis dan sunnah), sebagaimana menaati wahyu dalam bentuknya
yang pertama (Al-Quran) tanpa membedakannya dalam menaatinya.
Dari penjelasaan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran dan sunnah adalah
dua sumber hukum syara‟ yang tidak dapat dipisahkan antra yang satu dengan yang
lainnya. Tidak mungkin seseorang untuk memahami hukum syara‟ secara baik kecuali
dengan merujuk kepada keduannya.
Dia (Ibn Qayyim) berkata, bahwa perintah Allah untuk menaatinya dan menaati
Rasullnya tampak jelas dari pengulangan kata-kata tha‟at yang mendahului kata Allah
dan Rasul. Hal tersebut adalah sebagai pemberitahuan bahwa menaati Rasul SAW adalah
wajib secara mutlak, baik yag diperintahkan Rasul SAW itu sesuatu yang terdapat
12
didalam Al-Quran maupun karena kepada Rasul SAW telah Allah berikan sebuah kitab,
yaitu Al-Quran al-karim, dan yang sama dengannya, yaitu sunnah.3
“Dan ta‟atlah kamu kepada Allah dan ta‟atlah kamu kepada Rasul
(nya) dan berhati hatilah jika kamu berpaling,maka ketahuilah bahwa
sesunggahya kewajiban Rasuk kami. Hanyalah menyampaikan ( amanat Allah
dengan terang)
3
DR. Nawir Yuslem, MA Ulumul Hadis (PT. Mutiara Sumber Widya, 2001) hlm 62-68
13
“Katakanlah ta‟aati Allah dan Rasul-nya. Jika kamu berpaling
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir”
“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan sesuai Rasul apabila
Rasuk menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa
kedudukan hadis dalam syariat islam sebagai landasan hukum dan dalil dalam ke dua
sesudah Al-Qur‟an yang menempati tempat yang pertama dan uatama. Nya, Muhammad
SAW. Serta nilai keorisionalnya. Al-Quran adalah qath‟I al-wurud dari Allah ,sedangkan
hadis adalah dzaniy al0wurud dari Rasul-Nya kuga karena Al-Quran adalah wahyu
langsung dari Allah kepada Rasul-Nya melalui jibril. Dengan demikian, selayaknya kalau
yang berhasil dari Allah kedudukannya lebih tinggi dan terhomat dari Rasul-Nya (hadis).4
4
M. Jayadi,vol. 11 no 2, Jurnal Adabiyah, Februari 2011
14
istilah ini mempunyai makna bahwa kitab suci Al-Qur‟an merupakan pegangan hidup
umat islam yang sangat lengkap isi kandungannya.
Adapun dari segi kandungannya, ayat Al-Qur‟an terbagi dua
a. Qath‟iy Al-Dilalah
Qath‟iy dilalah (pasti maknanya) ialah ayat-ayat yang terdapat dalam kitab
AL-Qur‟an yang sudah jelas maknanya(tidak butuhkan penafsiran)‟ dalam
Q,S al-nisa :11 didalamnya berisi tentang warisan hudud, kuffarat.
15
b. Zanny Al Dilalah
Zanny al Dilalah (relative maknanya) ialah ayat-ayat dari kitab Al-Quran
yang masih membutuhkan penafsiran, sehingga memungkinkan para ulama
dan pemikir islam dari zaman berbeda pendapat (Umar Syihab,1996), seperti
yang dikemukakan oleh syatibi mengenai perintah shalat. Apabila perintah
shalat dipahami hanya dari firman Allah SWT. Yang potongannya berbunyi
“aqimu al-salah,” maka akan bersifat zanni (Abu Ishaq al-Syatibi,2003).
Al-Quran secara absolut berarti Al-Quran bersifat mutlak,lengkap,dan
tidak terbatas oleh waktu. Sedangkan apabila kitab Al-Quran dikatakan
relative berarti kebalikannya yaitu tidak mutlak, terbatas dan tidak lengkap
(Quraish-Shihab,1992). Apabila Al-Quran dikatakan relativisme, berarti
paham yang menyatakan bahwa nilai-nilai kehidupan itu bersifat relative,
berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai kehidupan itu tidak berubah sifatnya,
tidak relative mengikuti zaman, dan brsifat mutlak dan tidak akan terjadi
perubahan dalam kondisi dan situasinya, budaya dan lainnya tidak mengalami
perubahan.
Beberapa keterkaitan penting antara Al-Quran, dinamika kehidupan
manusia dan hukum islam. Pertama, perkembangan muamalah manusia tidak
akan pernah berhenti selama masih ada denyut kehidupan dimuka bumi ini.
Sebab di antara karakter masyarakat manusia adalah bereksperimen dan
berinovasi. Kedua, kesempurnaan dan keuniversalan Al-Qur‟an sebagimana
yang telah disebutkan di atas sangat membuka peluang untuk mewadahi setiap
kesungguhan ulama itu sendiri dan menggali, merumuskan, dan yang
berkaitkan dengan hukum muamalah jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat
yang terkaitkan dengan hukum ibadah ritual.
2. Berdasarkan Nabi Muhammad SAW
Menurut istilah, hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari nabi Muhammad
SAW,bsik berupa sabdanya (qauliyah),perbuatannya (fiq‟liyah), maupun berupa
persetujuannya(taqruruyah),berdasarkan pengertian tersebut, hadis digolongkan
menjadi 3 bentuk; pertama hadis qauliyah, kedua hadis fi‟lliyah dan, ketiga berupa
hadis taqririyah ( umar syihab,1996)
16
Hadis atau sunnah adalah sumber hukum islam setelah kitab Al Qur‟an.
Sedangkan fungsi dan adanya hadis nabi Muhammad SAW terhadap kitab Al-Qur‟an.
Antara lain
a. Hadis merupkan sebagai penganut hukum sebagai macam peristiwa yang sudah
ditetapkan dalam kitab Al-Qur‟an;
b. Hadis sebagai memperjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟an yang bersifat global
Hadis merupakan segala perilaku Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan,
perilaku, dan ketetapan (taqrir). Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum
dan perilaku yang disampaikan Nabi Muhammad SAW fiqih dan ushnul fiqih. Dapat
dipastikan hampir semua kitab dua disiplin tersebut memuat hadis ini. Hadis tersebut
adalah hadist Mu,adz bin jabal –radhiyallahu‟anhu ketika diutus Rasulullah kenegri
yaman.
3. Ushul Fiqh
a. Definisi Ushul Fiqh
Dilihat dari sudurt tata bahasa, rangkaian kata ushul fiqh tersebut
dinamakan “tarkib idhafi”, sehingga dua kata tersebut memberi pengertian
17
ushul bagi fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari ashl yang mempunyai
arti, segala sesuatu yang dijadikan dasar bagi sesuatu yang lain, dengan
kata lain ushul fiqh artinya sesuatu yang dijadikan dasar dalam fiqh.
Menurut Abu Zahra, ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang menjelaskan
kepada mustahid tentang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam
mengambil hukum-huku dari nash dan dari dalil-dalil yang didasarkan
kepada nash itu sendiri (alaiddin koto,2004).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa salah satu fungsi dari
ilmu ushul fiqh adalah melakukan pemberian dalil- diantanya Al-Quran
dan sunnah- kepada hukum fiqh. Atau ilmu yang berfungsi menganalisa
sebuah dalil untuk disimpulkan hukumnya yang bersifat aplikatif fiqh
(wahbah az juhaili,1986). Disamping itu,konsep pemberian dalil tersebut
tentunya membutuhkan sebuah perangkat metodologis yang jamak dikelas
dalam studi islam ushul fiqh dengan istidlal atau turuq istimbadh ahkam
(metode istimbadh hukum) sebagai salah satu objek terpenting dalam
ushul fiqh.
b. Hubungan antara fiqih dan ushul fiqih
Hubungan fikih dan ushul fiqih merupakan dua hal yang berbeda,
tetapi antara keduanya terdapat hubungan yang saling bergantung dan
melengkapi. Keberadaan fiqih ditentukan oleh ushul fiqh, demikin pula
ushul fiqih ada karena ada fiqih. Sehingga, keberadaan keduanya bisa
diibaratkan dua sisi dari satu mata uang.
Fikih merupakan tuntunan hidup praktis aplikatif dalam bentuk
hukum yang dirumuskan secara sistematis; sementara ushul fiqih
merupakan konsep dasar, kaidah, dan metode yang dijadikan ajuan atau
landasan dalam merumuskan hukum-hukum dalam fiqh. Sehingga ushul
fiqih merupakan dasar atau landasan keberadaan fikih.5
5
M.Saefudin Mughini, vol.5 no 2,Jurnal Pendidikan Kreativitas Anak,2020
18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Quran dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam
islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu
kesatuan. Al-Quran sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran
yang bersifat umum dan global. Allah SWT menurunkan Al-Quran bagi umat manusia,
agar Al-Quran ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk
menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui
hadis-hadisnya. Dari penjelasaan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran dan sunnah
adalah dua sumber hukum syara‟ yang tidak dapat dipisahkan antra yang satu dengan
yang lainnya. Tidak mungkin seseorang untuk memahami hukum syara‟ secara baik
kecuali dengan merujuk kepada keduannya.
19
DAFTAR PUSTAKA
20