Oleh :
1. Andar Prayuda Nasution 2140100097
2. Zuya Leurenza Siagian 2140100085
Dosen Pengampu :
Wanda KhairunNasirin, S.E., M.E.
ii
4. Prinsip saling menguntungkan, disini bisnis harus dijalankan sesuai
dengan perencanaan yang matang sehingga dapat menguntungkan semua
pihak. Selain itu para karyawan juga harus bekerja sama untuk mencapai
tujuan perusahaan, agar semua pihak sama-sama berusaha untuk saling
menguntungkan.
5. Prinsip integritas moral, dalam hal ini para pelaku bisnis perlu
menjalankan bisnis sesuai aturan yang ada dan selalu menjaga nama baik
pimpinan maupun perusahaannya.
6. Tanggung Jawab Sosial Dalam Bisnis Tanggung jawab sosial merupakan
strategi bisnis yang memiliki kaitan erat dengan keberlangsungan
perusahaan dalam jangka waktu yang panjang. 1
Model Etika Dalam Bisnis menurut Carroll dan Buchollz (2005) dalam
Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku
bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya, yaitu :2
a. Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model
manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang
memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan
apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya
maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis
yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan
dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan
keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka.
Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika.
Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan
bisnisnya.
b. Amoral Manajemen
1
Siti Nur Hazizah And Nuri Aslami, “Peranan Etika Dan Tanggung Jawab Sosial Dalam
Bisnis Internasional,” Ekonomi Bisnis Manajemen Dan Akuntansi (Ebma) 2, No. 2 (2021): 189–
95.
2
Npm Sungkono, “Analisis Implementasi Corporate Social Responsibility Untuk
Meningkatkan Reputasi Perusahaan (Studi Pada Pt. Pupuk Kujang Cikampek),” 2016.
iii
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam
manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen,
manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama
sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini,
yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional
amoral manager).
Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa
dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak
langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan
menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah
memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat
baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis
mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak.
Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum
yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam
beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen
dengan pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus
dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin
melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang
berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak
untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari
pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
Widyahartono mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan
“bisnis adalah bisnis dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-
adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai berikut :3
1) Bisnis adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan
mendahulukan kepentingan ego-pribadi. Bisnis diperlakukan seperti
3
Kunio Igusa And Hiromitsu Shimada, “AFTA And Japan,” AFTA In The Changing
International Economy. Singapore: Institute Of Southeast Asia Studies, 1996, 139–63.
iv
permainan (game) yang aturannya sangat berbeda dari aturan yang ada
dalam kehidupan sosial pada umumnya.
2) Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial
responsiveness) akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di
tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang menghasilkan
segala cara.
3) Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku dan karena law enforcement-nya lemah), maka
para penganut bisnis amoral itu justru menyatakan bahwa praktek bisnis
itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran mereka) dapat dibenarkan.
Pembenaran diri itu merupakan sesuatu yang ”wajar’ menurut
mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi tidak mau
menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-
buang waktu, dan mematikan usaha mencapai laba.
c. Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas
dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai
etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk
prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya
menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa
meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer
yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi
hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar
etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat
untuk mematuhi hukum yang berlaku.
Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus
mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk
melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang
bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti,
keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman
dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.
v
B. Kode etik
Kode Etik adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat,
(Balai Pustaka, 1997:271). Dengan demikian Kode etik profesional adalah kaedah
yang berlaku dalam kelompok profesional bersangkutan. Kode Etik Penilaian
adalah kaedah profesi yang dibuat oleh anggota profesi melalui konsensus dan
berlaku untuk waktu tertentu mengenai hal tertentu. Dalam kegiatan usaha jasa
penilai landasan kerja penilaian adalah Kode etik GAPPI. Berdasarkan Kode Etik
GAPPI ada beberapa macam pertanggungjawaban dan praktek-praktek yang tidak
etis, yang harus ditaati oleh setiap anggota, yaitu sebagai berikut:4
1. Tanggung jawab terhadap Integritas Perusahaan Penilai Dalam hal ini :
a. Perusahaan Penilai harus cukup mempunyai Penilai dengan keahlian
khusus yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan penilaian, seperti
yang dikehendaki oleh langganan. apabila Perusahaan Penilai merasa
bahwa ruang lingkup keahliannya tidak mencukupi untuk melakukan
pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, seharusnya Perusahaan Penilai
menolak pekerjaan ini.
b. Perusahaan Penilai harus selalu berusaha untuk meningkatkan
pengetahuan, keahlian dan keterampilan penilaian dalam pekerjaan
penilaian.
c. Perusahaan Penilai harus mampu mengekang diri untuk hanya
membatasi kepentingan pada upah jasa yang menjadi haknya.
d. Perusahaan Penilai sekali-kali tidak akan mempunyai kepentingan lain
diluar upah yang ditentukan bersama antara Perusahaan Penilai dan
langganan.
2. Tanggung Jawab Terhadap Langganan.
4
SH Joni Emirzon and Bisnis FH Unsri, “Kode Etik Dan Permasalahan Hukum Jasa
Penilai Dalam Kegiatan Bisnis Di Indonesia,” Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya 3, no. 5
(2005): 1–13.
vi
a. Tanggung jawab utama dari Perusahaan Penilai terhadap langganannya
ialah memberikan penilaian yang lengkap, teliti dan bertanggungjawab
tanpa menghiraukan keinginan-keinginan langganan yang sifatnya
mengubah hasil penilaian yang obyektif. Hubungan antara Perusahaan
Penilai dan langganan bukanlah hubungan antara prinsipal dan agen,
mengingat tanggung jawab Perusahaan Penilai yang lebih luas lagi
terhadap masyarakat dan pihak ketiga.
b. Perusahaan Penilai harus merahasiakan hasil penilaiannya kepada
pihak manapun. Laporan penilaian adalah hak milik langganan. Oleh
karenanya, Perusahaan Penilai tidak dapat menggunakan laporan ini
sebagai referensi atas kemampuan pekerjaan dan tidak dapat
mengumumkannya tanpa persetujuan dari langganan.
c. Apabila jasa penilai diperlukan dalam rangka suatu perselisian,
Perusahaan Penilai tidak akan menyembunyikan kenyataan-kenyataan
data dan pendapat-pendapat dengan maksud mengumumkan
langganannya.
d. Apabila dua pihak minta bantuan jasa penilai untuk melakukannya
pada proyek yang sama, Perusahaan Penilai hanya menerima
penguasaan dari salah satu pihak saja, kecuali apabila kedua belah
pihak menyetujui bahwa Perusahaan Penilai bekerja untuk kedua belah
pihak.
e. Adalah praktek yang baik bahwa hubungan penugasan dari penerima
penugasan pekerjaan penilaian dituangkan dalam perjanjian secara
tertulis dan jelas.
f. Perusahaan Penilai harus dapat memberikan penjelasan kepada
langganan mengenai luasnya ruang lingkup pekerjaan yang akan
dilakukannya sesuai dengan tujuan langganan. Atas dasar ini
Perusahaan Penilai harus dapat memberikan perkiraan upah jasa yang
dikehendakinya.
g. Upah jasa semata-mata harus didasarkan atas jumlah jam yang
diperlukan untuk melakukan pekerjaan penilaian. Ini tidak mengurangi
vii
kemungkinan bahwa penugasan pekerjaan diterima dengan kedua
belah pihak, asal perkiraan besarnya upah ini didasarkan atas perkiraan
jumlah jam yang diperlukan dan tariff/jam yang lazim berlaku.
viii
e. Kecuali tanggung jawabnya terhadap pihak ketiga seperti yang
tercantum pada nomor 4 di atas. Perusahaan Penilai bertanggung jawab
atas laporan penilaiannya kepada masyarakat umum yang luas.
ix
3) Hasil penjualan barang tertentu yang dinilainya.
Pada umumnya, semua usaha untuk menentukan upah jasanya
yang lain daripada berdasarkan jumlah yang diperlukan dalam
pekerjaan penilaian adalah tidak etis.
b. Adalah tidak etis bagi Perusahaan Penilai untuk menerima pekerjaan
penilai terhadapnya obyek-obyek penilaian tertentu, untuk obyek-
obyek mana dia mempunyai kepentingan ataupun mempunyai untuk
berkepentingan di kemudian hari. Penilaian terhadap obyek yang juga
merupakan kepentingan dari Perusahaan Penilai hanya bisa dilakukan
apabila kepentingan ini atau kemungkinan memperoleh kepentingan
dari obyek ini sebelumnya dinyatakan dengan jelas kepada pihak
langganannya, dan langganan tetap memberikan penugasan kepadanya
untuk melakukan pekerjaan penilaian.
Pada umumnya, semua usaha yang menentukan upah
jasanya yang lain daripada berdasarkan jumlah jam yang diperlukan
dalam pekerjaan penilai adalah tidak etis. Kemudian adalah tidak etis
bagi Perusahaan Penilai untuk menerima pekerjaan penilaian terhadap
obyekobyek penilaian tertentu, untuk obyek-obyek mana dia
mempunyai kepentingan atau mempunyai kepentingan di kemudian
hari. Penilaian terhadap obyek yang juga merupakan kepentingan dari
Perusahaan Penilai hanya bisa dilakukan apabila kepntingan ini atau
kemungkinan memperoleh kepentingan dari obyek ini sebelumnya
dinyatakan dengan jelas kepada pihak langganannya, dan langganan
tetap memberikan penugasan kepadanya untuk melakukan penilaian.
Penilaian yang dimaksud di atas adalah proses pekerjaan
seorang penilai dalam memberikan estimasi dan pendapatan atas nilai
ekonomis suatu harta pada saat tertentu sesuai dengan Standar
Penilaian. Sedangkan Standar Penilaian Indonesia adalah pedoman
dasar mengenai prosedur dan praktek kegiatan penilaian. Disamping
itu si penilai harus berpedoman pada Kode etik Penilaian Indonesia
(KEPI) dalam melakukan kegiatan. Dalam melakukan kegiatan
x
penilaian Perusahaan Jasa Penilai adalah sebagai pihak yang menjadi
kepercayaan masyarakat, karena mempunyai nilai obyek yang
memerlukan penilaian.
C. Etika SDI
Seseorang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam
sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada sutu keyakinan yang sangat
mendalam bahwa kerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Ada semacam
panggilan dari hatinya suntuk terus-menerus memperbaiki diri, mencari prestasi
bukan prestise, dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik (khairu ummah).
Salah satu tujuan dari usaha dan tindakan manusia adalah mencapai falah.
Falah adalah selamat, bahagia, sukses (berhasil atau jaya), bernasib baik, makmur.
Falah juga berarti orang yang mempersiapkan lahan dan segala kondisi yang
dibutuhkan untuk berkembangnya benih, sehingga karena kondisi tanah dan air
yang mendukung maka benih itu menjadi tanah yang luas yang sangat
menguntungkan. Jika manusia menyiapkan kondisi yang membantu dirinya untuk
menjadi manusia yang layak di setiap aspek dan dimensi eksistensinya, maka dia
akan terbebaskan dari egoisme dan hawa nafsu yang membelenggu dirinya. Kerja
merupakan kunci untuk memanfaatkan sumber daya alam. Pada dasarnya, tak ada
kerja berarti tak ada pendapatan.
Dalam Islam, orang yang bekerja keras mencari nafkah adalah setara
dengan orang yang berjuang di jalan Allah bertujuan untuk memperkuat basis
integritas dan moralitas manusia dan memasyarakatkan keadilan sosial. Akan
tetapi malas-malasan dan menganggur merupakan tindakan dan keadaan yang
dibenci oleh Allah.5 Menurut Toto Tasmara, seorang muslim itu sangat kecanduan
untuk beramal saleh. Jiwanya gelisah apabila dirinya hampa tidak segera berbuat
kesalehan. Ada semacam dorongan yang luar biasa untuk memenuhi keinginan
yang terpenuhinbila dia berbuat kesalehan. Seseorang yang mempunyai dan
menghayati etos kerja Islam, akan tampak dalam sikap dan tingkah laku dalam
dirinya bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah
5
Arif, “Need Assesment SDM Ekonomi Islam,” 17
xi
Allah yang akan memuliakan dan memanusiakan dirinya sebagai bagian dari
manusia pilihan. Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti
kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan
menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan
memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan
tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi
setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna.6
Berikut ini adalah kualitas etos kerja Islam:7
1. Baik dan Bermanfaat
Baik dan bermanfaat merupakan dua komponen yang sangat
penting dalam menunjang etos kerja Islami.
2. Al-Itqan (Kemantapan atau Perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan,
kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang Islami. Rahmat Allah telah
dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai
standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan
pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam
mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan
ilmunya dan tetap berlatih. Suatu ketrampilan yang sudah dimiliki
dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya
besar untuk masyarakat. Karena melepas atau menterlantarkan
ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep Itqan
memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau
terbatas, tetapi berkualitas, dari pada output yang banyak, tetapi kurang
bermutu.
3. Al-Ihsan (Melakukan yang terbaik atau lebih baik lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan,
yaitu sebagai berikut. Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang
dapat dilakukan. Kedua, ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari
6
Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, 103.
7
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), 40.
xii
prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan
peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya
pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah
suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin.
Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang
muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia
tetap berbuat yang lebih baik, ketika membalas keburukan orang lain.
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang
bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya
sedang dilihat oleh Allah SWT.
4. Al-Mujahadah (Kerja keras dan Optimal)
Al-Qur’an meletakkan kualitas mujahadah dalam bekerja pada
konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri agar nilai
guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. Mujahadah dalam arti
luas yang didefinisikan oleh Ulama ialah merupakan mengerahkan
segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap
pekerjaan yang baik. Diartikan juga sebagai mobilisasi serta
optimalisasi sumber daya.
5. Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih, yang
bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah“ fastabiqul khairat” (maka,
berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan). Mencermati
Waktu Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh
sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai
waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan
dengan cara mengisinya dengan amal solih, dan tidak menyia-
nyiakannya.
Waktu adalah sumpah Allah. Semua macam pekerjaan ubudiyah
(ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan
kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, berbalik kepada manusia itu
sendiri, apakah mau melaksanakannya atau tidak.
xiii
Etika SDI juga harus bertakwa, berakhlakul karimah (memiliki sifat-sifat
jujur, adil, amanah, dan lainnya), rajin dan bekerja keras, bersikap haus akan
ilmu,serta kreatif dalam mengembangkan keilmuan.8
D. Etika Bisnis
Perkataan etika atau seperti lazim disebut etik, berasal dari bahasa latin
ethica. Ethos dalam bahasa Yunani artinya norma – norma, nilai, kaidah, ukuran
bagi tingkah laku yang baik.9 Etika perlu dipahami sebagai sebuah cabang filsafat
yang berbicara mengenai nilai dan norma moral. Etika bermaksud membantu
manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena
setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu
bersedia untuk mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut karena ada alasan
yang jelas atas tindakannya.10
Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan
dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu lahir dari
keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia mempertanggungjawabkan
tindakannya itu karena terdapat alasan – alasan dan pertimbangan dalam setiap
tindakannya. Etika bisnis dapat dilihat sebagai suatu usaha untuk merumuskan
dan menerapkan prinsip-prinsip dasar etika di bidang hubungan ekonomi
antarmanusia. Dapat juga dikatakan bahwa etika bisnis menyoroti segi-segi moral
dalam hubungan antar berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan bisnis.
Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis yang
mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan
masyarakat. Etika bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma
dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan
sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham dan masyarakat. Dalam
8
Yutisa Tricahyani, “Urgensi Sumber Daya Insani Dalam Institusi Perbankan Syariah,”
Muslim Heritage 3, no. 1 (2018): 93–114.
9
Simorangkir, ETIKA: Bisnis, Jabatan dan Perbankan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003),
hlm 82
10
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur,
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 20
xiv
menciptakan etika bisnis, menurut Dalimunthe dalam Kharis11 menganjurkan
untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengendalian Diri. Pelaku bisnis dapat mengendalikan diri untuk tidak
memperoleh apapun dari siapapun dalam bentuk apapun. Tidak
mendapatkan keuntungan dengan jalan curang atau memakan puhak lain
dengan menggunakan keuntungan tersebut.
2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial. Pelaku bisnis dituntut untuk
peduli dengan keadaan masyarakat bukan hanya dalam bentuk “uang”
dengan memberikan sumbangan melainkan lebih kompleks lagi.
3. Mempertahankan Jati Diri.
4. Menciptakan Persaingan yang Sehat
5. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan”. Yaitu memikirkan
bagaimana keadaan di masa yang akan datang. Pelaku bisnis dituntut
untuk tidak mengeksploitasi lingkungan dan keadaan sekarang tanpa
mempertimbangkan keadaan di masa mendatang.
6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan
Komisi).12
11
Kharis Raharjo, “Coorporate Responsibility: Dari Etika Bisnis menuju Implementasi
Good Coorporate Governance”, Universitas Pandanaran. Tanpa Tahun
12
Sonny Keraf and Robert H Imam, “Etika Bisnis,” Yogyakarta: Kanisius, 1998.
13
Galih Chandra Kirana and Aprita Wati, “Pengaruh Pengendalian Intern, Kepatuhan,
Etos Kerja Dan Kompensasi Manajemen Terhadap Perilaku Etis Karyawan (Studi Kasus: Toko
Buku Gramedia Central Park Jakarta),” Jurnal Liabilitas 1, no. 2 (2016): 58–78.
xv
3. Integritas Untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan publik,
para anggota harus melaksanakan seluruh tanggung jawab profesionalnya
dengan tingkat integritas tinggi.
4. Objektivitas dan Independensi Anggota harus mempertahankan
objektivitas dan bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan
tanggung jawab profesionalnya.
5. Keseksamaan Anggota harus mempertahankan standar teknis dan etis
profesi, terus berusaha keras meningkatkan kompetensi dan mutu jasa
yang diberikannya, serta melaksanakan tanggung jawab professional serta
sesuai dengan kemampuan terbaiknya.
6. Ruang Lingkup dan Sifat Jasa Anggota yang berpraktik bagi publik harus
memperhatikan prinsip-prinsip Kode Perilaku Profesional dalam
menentukan ruang lingkup dan sifat jasa yang akan disediakan.
14
George A. Steiner and JohnF. Steine Business, Government and SocietyA Managerial
Perspectif, (Singapure: McGrawBook Co,1994), hal.109.
xvi
seperti demikian, maka dapat dibayangkan berbagai akibat-akibat negatif yang
ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan suatu perusahaan terhadap lingkungan
sosial sekitarnya.
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab moral
perusahaan terhadap masyarakat Tanggung jawab inidapat diarahkan mulai dari
dinnya sendiri, karyawan, perusahaan lain, lingkungan sosial bahkan sampai
kepada Negara. Untuk melihatsecara jelas tentang tanggungjawab sosial
perusahaan ini harus dibedakan antara tanggung jawab ekonomis dan tanggung
jawab sosial. Tanggung jawab ekonomis biasanya diukur dengan keberhasilan
kinerja perusahaan dan laba yang didapat. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan
milik permerintah, seperti perusahaan Kereta Api, walaupun darisisi ekonomis
selalu rugi, tetapikarena alasan tanggung jawab sosial perusahaan ini tetap
dipertahankan.
Dari pandangan ini maka dapat ditarik benang merah sementara bahwa
tanggung jawab sosial berada di luar tanggungjawab ekonomisebuah perusahaan.
Berdasarkan padaprinsip ajaran "persamaan" {equality menurutIslam, seorang
manager harus memperlakukan pembayaran, pengembangan danperlakuan lainnya
terhadap karyawannya berdasarkan prinsip kejujuran dan keadilan. Besarnya upah
yang diberikan harus sepadan berdasarkan keadilan, sehingga tidak merugikan
kedua belah pihak (perusahaan dan pekerja), Tindakan etis lain yang menyangkut
hubungan perusahaan dengan pekerja adalah keharusan bagikeduanya untuk
menghormatiprivacy masing-masing. Pekerja harus menjaga baik, kerahasiaan.
Sebaliknya perusahaan juga harus menjaga namabaik, rahasia kejelekan
pekerja. Singkatnya, keduabelahpihakberkewajiban membangun hubungan
dialpgal danmanusiawi, menghindari suasana hubungan konfliktual yangdapat
merugikan kedua belah pihak. Hubungan antara perusahaan dan pekerja harus
didasarkan pada nilai dasar ihsdn (kebaikan) serta rasa tanggimg jawab, baik
tanggung jawab kepada Allah maupun kepada manusia. Tanggung jawab
inisendihmerupakan suatu prinsip dtnamis yang berhubungan dengan keseluruhan
perilaku manusia dalam hubungannya dengan masyarakat ataupun situasi. Suatu
xvii
tanggung jawab bahkan mempunyai kekuatan dinamis untuk mempertahankankan
kualitas kesetimbangan dalam masyarakat.15
xviii
Sedangkan dampak negatifnya ialah timbul penyakit pernafasan,
kemacetan, dan jalan rusak. 16
xix
Mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu akidah, syariah dan akhlak yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya
1. Nilai akidah
Akidah adalah urusan yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati,
menentramkan jiwa, dan menjadi keyakinan yang tidak bercampur dengan
keraguan. Karakteristik akidah Islam bersifat murni, baik dalam isi maupun
prosesnya, dimana hanyalah Allah yang wajib diyakini, diakui dan disembah.
Keyakinan tersebut sedikitpun tidak boleh dialihkan kepada yang lain, karena
akan berakibat penyekutuan yang berdampak pada motivasi ibadah yang tidak
sepenuhnya didasarkan atas panggilan Allah swt,
Akidah ini termanifestasi dalam kalimat thoyyibah (laa Ilaaha illallah).
Dalam prosesnya, keyakinan tersebut harus langsung, tidak boleh melalui
perantara. Akidah demikian yang akan melahirkan bentuk pengabdian hanya
kepada Allah, berjiwa bebas, merdeka dan tidak tunduk pada manusia dan
makhluk Tuhan lainnya.20 Akidah ini bagaikan ikatan perjanjian yang kokoh
dan tertanam jauh didalam lubuk hati nurani manusia. Oleh karena datang dari
sang Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan penguasa alam semesta, akidah
bersifat kekal dan tidak berubah, sejak manusia pertama Nabi Adam sampai
akhir zaman, selama tidak ada penyimpangan yang di buat manusia :
Karakteristik Islam yang dapat di ketahui melalui bidang akidah ini
adalah bahwa akidah Islam bersifat murni baik isinya maupun prosesnya.
Yang diyakini dan diakui sebagai Tuhan yang wajib di sembah hanya Allah.
Keyakinan tersebut tidak boleh sedikitpun di berikan kepada yang lain, karena
akan berakibat musyrik yang berdampak pada motivasi kerja yang tidak
sepenuhnya didasarkan atas panggilan Allah. Dalam prosesnya, keyakinan
tersebut harus langsung, tidak boleh melalui perantara, akidah yang demikian
yang akan membentuk pengabdian hanya pada Allah, yang selanjutnya
20
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 84.
xx
berjiwa bebas, merdeka dan tidak tunduk pada manusia dan lainnya yang
menggantikan posisis Tuhan.21
2. Nilai Syariah
Kosa kata syariah dalam bahasa Arab memiliki arti jalan yang
ditempuh atau garis yang seharusnya dilalui. Dari sisi terminologi, syariah
bermakna pokok- pokok aturan hukum yang digariskan oleh Allah SWT untuk
dipatuhi dan dilalui oleh seorang muslim dalam menjalani segala aktivitas
hidupnya (ibadah) di dunia.
3. Nilai Akhlak
Akhlak sering juga disebut sebagai ihsan (dari kata ‘hasan’ yang
berarti baik). Manajemen sumber daya insani atau disingat dengan MSDI
adalah sistem yang terdiri dari banyak aktivitas interdependen (saling terkait
satu sama lain) melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan pengendalian. Sumber daya insani merupakan satu-satunya sumber daya
yang memiliki akal, perasaan, keinginan, keterampilan, pengetahuan,
dorongan, daya, dan karya (rasio, rasa, dan karsa).
Melalui ihsan, seorang akan selalu merasa bahwa dirinya dilihat
oleh Allah SWT yang mengetahui, melihat dan mendengar sekecil apapun
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, walaupun dikerjakan di tempat yang
tersembunyi. Bahkan Allah SWT mengetahui segala pikiran dan lintasan hati
makhluknya. Dengan memiliki kesadaran seperti ini, seorang mukmin akan
selalu terdorong untuk berprilaku baik, dan menjauhi perilaku buruk. Akhlak
dalam islam mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan Rasul dengan
sesama manusia dan alam serta dengan dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
21
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 84.
xxi
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur,
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 20
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.
84.
Aditya Bagus Pratama, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (jakarta: Afifa Media
Press, 2015).308
Adiwarman A Karim, Bank Islam, analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 2014), h. 1
Arif, “Need Assesment SDM Ekonomi Islam,” 17
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 40.
Galih Chandra Kirana and Aprita Wati, “Pengaruh Pengendalian Intern,
Kepatuhan, Etos Kerja Dan Kompensasi Manajemen Terhadap Perilaku
Etis Karyawan (Studi Kasus: Toko Buku Gramedia Central Park Jakarta),”
Jurnal Liabilitas 1, no. 2 (2016): 58–78.
George A. Steiner and JohnF. Steine Business, Government and SocietyA
Managerial Perspectif, (Singapure: McGrawBook Co,1994), hal.109.
Kharis Raharjo, “Coorporate Responsibility: Dari Etika Bisnis menuju
Implementasi Good Coorporate Governance”, Universitas Pandanaran.
Tanpa Tahun
Kunio Igusa And Hiromitsu Shimada, “AFTA And Japan,” AFTA In The
Changing International Economy. Singapore: Institute Of Southeast Asia
Studies, 1996, 139–63.
Muhammad Anas, “Penerapan Etika Bisnis Islam Dalam Konteks Produsen Dan
Konsumen: Ke Arah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,” Millah:
Journal of Religious Studies, 2008, 49–65.
Npm Sungkono, “Analisis Implementasi Corporate Social Responsibility Untuk
Meningkatkan Reputasi Perusahaan (Studi Pada Pt. Pupuk Kujang
Cikampek),” 2016.
SH Joni Emirzon and Bisnis FH Unsri, “Kode Etik Dan Permasalahan Hukum
Jasa Penilai Dalam Kegiatan Bisnis Di Indonesia,” Jurnal Manajemen &
xxii
Bisnis Sriwijaya 3, no. 5 (2005): 1–13.
Simorangkir, ETIKA: Bisnis, Jabatan dan Perbankan, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2003), hlm 82
Siti Nur Hazizah And Nuri Aslami, “Peranan Etika Dan Tanggung Jawab Sosial
Dalam Bisnis Internasional,” Ekonomi Bisnis Manajemen Dan Akuntansi
(Ebma) 2, No. 2 (2021): 189–95.
Sonny Keraf and Robert H Imam, “Etika Bisnis,” Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Sri Nurhayati, wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jilid 3; Jakarta:salemba
empat, ), h. 12.
Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, 103.
Yeni Herisa Dharmawati, “Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(Corporate Social Responsibility) Di Mall Solo Paragon,” 2014, 1.
Yutisa Tricahyani, “Urgensi Sumber Daya Insani Dalam Institusi Perbankan
Syariah,” Muslim Heritage 3, no. 1 (2018): 93–114.
xxiii