Anda di halaman 1dari 18

TAFSIR BIL RA’YI

KELEBIHAN DAN
KEKURANGANNYA
Sopyan Sauri 221411062
Samiyah 221411058
PENDAHULUAN
 Pengklasifikasian tafsir al-Qur’an dilihat dari sumber penafsirannya, dibagi
dalam tiga kategori, yaitu :
1. tafsir bi al-ma’tsūr atau tafsir bi al-riwāyah,
2. tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirāyah, dan
3. tafsir bi al-iqtirāni atau campuran antara nas dan akal pikiran manusia
 Dari ketiga macam tafsir di atas yang menjadi bahan perdebatan antar para ulama
tafsir adalah tafsir bi al-ra’yi, karena dikhawatirkan, menurut mereka yang anti
tafsir bi al-ra’yi, hanya ditafsirkan secara subjektif untuk mendukung
kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
 Namun, juga sangat disayangkan sekali ketika anugerah akal yang memang
seharusnya diperuntukkan manusia untuk mencari kebenaran dan hikmah di
balik ayat-ayat-Nya, baik yang tersurat maupun yang tersirat selama tetap dalam
koridor syariah yang telah baku, tidak difungsikan sebagaimana mestinya.
PENDAHULUAN
 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari tafsir bi al-ra’yi ?


2. Apa syarat Syarat-syarat mufassir bi al-ra’yi ?
3. Apa saja Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir bi al-Ra’yi ?
4. Apa saja kelebihan dan kekurangan pada tafsir bi al-Rayi?
PEMBAHASAN
 Pengertian tafsir bi al-ra’yi
 Menurut Bahasa
Al-ra’yu memiliki akar kata dari ra’a-yara-ra’yan-ru’yatan. Memiliki kata jamak ārā’un atau ar’ā’un
yang bisa berarti pendapat, opini berfikir tentang dasar sesuatu (al-fikr), keyakinan (al-I’tiqād), analogi
(al-qiyās), atau ijtihad.
al-tafsīr bi al-ra’yi sering disebut juga dengan istilah
1. al-tafsīr bi al-dirāyah,
2. al-tafsīr bi al-ma’qūl,
3. al-tafsīr al-‘aqliy, atau
4. al-tafsīr al-ijtihādiy.
PEMBAHASAN
 Pengertian tafsir bi al-ra’yi
 Menurut Istilah
1. al-Dhahābiy = tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran
mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil
hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbāb al-nuzūl, al-
nāsikh wa al-mansūkh, dan sebagainya.
2. Al-Farmāwiy = cara menafsirkan al-Qur’an dengan jalan ijtihad setelah terlebih
dahulu mufassir mengetahui metode kosa kata bahasa Arab beserta muatannya.
3. Musa’īd Muslīm ‘Abdullāh = menerangkan isi ayat-ayat al-Qur’an dengan berpijak
pada kekuatan akal pikiran setelah terlebih dahulu memahami ilmu bahasa Arab dan
pengetahuan terahadap hukum-hukum sharī’ah sehingga tidak ada pertentangan
dengan produk tafsir yang dihasilkannya
4. Kesimpulan = metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran si mufassir
yang sudah memenuhi syarat dan memiliki legitimasi dari para ulama untuk
menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya harus tetap selaras dengan hukum
shari’ah, tanpa ada pertentangan sama sekali
PEMBAHASAN
 Syarat-syarat mufassir bi al-ra’yi
1. Mempunyai keyakinan (al-i’tiqād) yang lurus dan memegang teguh ketentuan-ketentuan agama
2. Mempunyai tujuan yang benar, ikhlas semata-mata untuk mendekatkan diri (al-taqarrub) kepada
Allah swt.
3. Bersandar pada naql pada Nabi saw. dan para sahabat, serta menjauhi bid’ah.
4. Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir, antara lain; ilmu al- naḥwu, al-
lughah, al-taṣrīf, al-istiqāq, ‘ilm al-ma’āniy,’ ilm al-badī’, ‘ilm al-qirā’at, uṣūl al-dīn, uṣūl al-fiqh,
asbāb al-nuzūl, ‘ilm al-nāsikh wa al-mansūkh, fiqh, hadis-hadis yang menjelaskan tafsir al-mujmāl
dan al-mubhām, serta ‘ilm al-mauhibah.
PEMBAHASAN
 Menurut al-Dzahabi, ada lima perkara yang harus dijauhi oleh seorang
mufassir agar tidak jatuh dalam kesalahan dan tidak termasuk pentafsir bi al-
ra’yi yang fasid, yaitu :
1. Menjelaskan maksud Allah Swt. dalam al-Qur’an dengan tanpa memenuhi terlebih dahulu
syarat-syarat sebagai seorang mufassir.
2. Mencampuri hal-hal yang merupakan monopoli Allah untuk mengetahuinya, seperti ayat-
ayat al-mutashābihāt yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah sendiri.
3. Melakukan penafsiran seiring dengan dorongan hawa nafsu dan kepentingan pribadi
4. Menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung madzhab yang fasid, sehingga faham aliran
menjadi pokok dan tafsir dipaksakan selaras untuk mengikuti keinginan madzhabnya.
5. Menafsirkan dengan memastikan, “demikianlah kehendak Allah” terhadap tafsirannya
sendiri padahal tanpa ada dalil yang mendukungnya.
PEMBAHASAN
 Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir bi al-Ra’yi
 bibit-bibit ta’wil al-Qur’an sudah dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Aliy bin Abi Ṭālib,
‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās ra.
 Mula-mula tafsir al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke mulut).
 Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir al-Qur’an
dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang
terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per
surat, dari permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul
pembahasan.
 Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyah, di tengah-
tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir al-Qur’an mulai
memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap
ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf.
PEMBAHASAN
 Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir bi al-Ra’yi
 Dalil yang menolak :

( ٣٦:‫ وال تقف ما ليس لك به علم (االسرأ‬


 “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS. Al-Isra’ : 36)

 ٢٨ : ‫اتقولون على هللا ما ال تعلمون (األعراف‬


 “Apakah kamu berani menyatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-A’raf : 28)

 Dari Ibnu ‘Abbas ra. dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa ilmu,
maka bersiaplah tempatnya di neraka” (HR. Tirmidzi)
 “Bumi manakah yang akan menahanku dan langit mana yang akan meneduhiku jika aku menyatakan tentang al-Qur’an
dengan akal pikiranku” (Abu Bakar Ash-Shiddiq RA)
 Ibnu Taimiyah berkata, “Barang siapa mengatakan tentang al-Qur’an dengan dasar pikirannya saja, maka berarti dia
telah menentukan beban yang tidak ada ilmu di dalam hal ini, dan berarti telah menempuh hal yang tidak diperintahkan.
Maka sekalipun dia mungkin tepat mengartikan hal itu, namun dia tetap bersalah karena dia tidak mendatangi sesuatu di
pintunya, seperti halnya seorang hakim yang memutuskan perkara orang dengan kebodohan, maka dia akan masuk
neraka sekalipun keputusannya itu sesuai dengan kebenaran. Tetapi hal itu hanya lebih ringan dasarnya dari pada orang
berbuat salah.”
PEMBAHASAN
 Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir bi al-Ra’yi
 Dalil yang mendukung :
 sebagian besar ulama membolehkan menafsirkan dengan menggunakan metode tafsir bi al-ra’yi. Dengan tingkat
kehati-hatian (ikhtiyāṭ) yang tinggi, mereka menempuh jalur al-jam’u wa al-tafrīq (mengkompromikan dan memilah-
milah) sehingga mereka memunculkan beberapa syarat bagi mufassir sebagai ketentuan baku yang telah disepakati.

(٢٩ : ‫ (ص‬.‫ كتاب انزلناه اليك مبارك ليدبروا اياته وليتذكر اولوا االلباب‬
 “Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepada engkau penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-
ayatnya, dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal.” (QS. Shad: 29)
 Jika tafsir bi al-ra’yi tidak boleh, maka ijtihad pun tidak boleh sehingga hukum banyak yang terkantung-kantung.
PEMBAHASAN
 Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
1. Tafsir al-Maḥmūdah
2. Tafsir al-Madzmumah

3. Tafsir al-Maḥmūdah
 Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at),
jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya
dalam memahami nas-nas Qur’aniyah.
 Hukum tafsir bi al-ra’yi al-maḥmūd menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya
(menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-
makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al–maḥmūd atau tafsir al-masyrū’.
PEMBAHASAN
 Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
Contoh Tafsir al-Maḥmūdah :
 Mafātiḥ al-Ghayb, oleh: Fakhr al-Dīn al-Rāziy

 Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, oleh Al-Baiḍawi

 Madārik al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq al-Ta’wīl, oleh: Al-Nasāfi

 Lubāb al-Ta’wīl fi Ma’ān al-Tanzīl, oleh: Al-Khāzin

 Al-Bahr al-Muḥīṭ, oleh: Abū Hayyān

 Al-Tafsīr al Jalālayn, oleh: Jalāl al-Dīn Al-Maḥalliy dan Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭi

 Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān, oleh: Al-Naisabūriy

 Al-Sirāj al-Munīr, oleh: Al Khātib Al-Sharbiniy

 Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū al-Sa’ūd

 Rūḥ al-Ma’āniy, oleh Al-Alūsiy.


PEMBAHASAN
 Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
2. Tafsir al-Madzmumah
 adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa
mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak
maupun bid’ahnya yang tersesat.
Contoh Tafsir al-Madzmumah :
 tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhshāriy
 Sekilas memang banyak ulama tafsir yang memuji ketajaman analisa bahasa dan kesusastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir al-
Kasysyaf.
 Namun disayangkan sekali ketika penafsiran-penafsiran yang dilakukan dirasuki pula dengan dukungan ajaran paham mu’tazilah
sering menggunakan al-amthīl (perumpamaan) dan al-takhyīl (pengandaian) sehingga banyak yang menyimpang atau ada
ketidakcocokan dengan makna lahir ayat yang sebenarnya, mencela wali Allah, selalu mengarahkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
ke jalur madzhab mereka, dan lain-lain.
 Sehingga kalau memang sudah sedemikian parah, sebagaimana pendapat Subhi Salih dan Manī’ ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd, tafsir al-
Kasysyaf dapat digolongkan sebagai tafsir bi al-ra’yi yang madzmumah.
PEMBAHASAN
 Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
Contoh Tafsir al-Madzmumah :
)٧٢ :‫ و من كان في هـذه أعمى فهـو في اآلخـرة أعمى و أضـل سبيـال (اإل ســــراء‬
 “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat
dari jalan (yang benar)”. (QS, Al-Isra’: 72)
 Pada ayat ini, sebagian orang bodoh dan tersesat menafsirkan bahwasanya setiap orang yang buta (matanya) di dunia,
maka di akhiratpun mereka tetap buta mata, dan akan sengsara dan menderita di akhirat kelak dengan dimasukkannya
mereka ke dalam neraka. Padahal yang dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta hati ( ‫)عمى القلوب‬, dengan
dalil firman Allah swt,

(٤٦ :‫ فٍانها ال تعمى األ بصـار و لكن تعمى القلوب التي في الصـدور (الحـج‬
 “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS, Al Hajj:
46)
PEMBAHASAN
 Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
Contoh Tafsir al-Madzmumah :
(١٦٤ : ‫ وكلم هللا موسى تكليما (النساء‬
 “dan Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung” (Al-Nisa’: 164)

 Menurut pandangan mereka kata kallama (telah berbicara) dalam ayat tersebut bukan berasal dari akar kata kalam
(berbicara), melainkan dari akar kata al-jarh (luka).
 Dengan demikian ayat tersebut bermakna, “Allah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan”.
PEMBAHASAN
 Kelebihan Tafsir Bi Ra’yi
1. Mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat Al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga dengan tafsir bir-ra’yi memungkinkan untuk menjelaskan beberapa ayat yang
sebelumnya dipahami secara sempit oleh mufassir, menjadi luas dan dinamis, seperti halnya kata qalam yang
awalnya hanya di artikan sebagai pena, dapat di artikan sebagai teknologi di zaman modern seperti mesin ketik atau
komputer. (Prof. Dr. Amin Suma, Ulumul Qur’an)
2. Mufassir bisa memberikan cakrawala yang luas dalam menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kondisi dan situasi.
3. Kemungkinan mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Menjadikan tafsir al-Qur’an dapat berkembang dalam menjawab segala permasalahan yang timbul seiring dengan
kehidupan umat islm sepanjang masa.
5. Mendorong umat islam untuk senantiasa berfikir dan bertadabbur atas kebesaran ayat-ayat al-Qur’an, dan tidak lekas
menerima apa adanya (taqlid) terhadap ulama’-ulama’ salaf.
6. Lebih rasional, relatif dinamis dan mudah menyesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi
PEMBAHASAN
 Kekurangan Tafsir Bi Ra’yi
1. Penafsiran yang dipaksakan, subjektif dan pada hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah
yang sesungguhnya dengan kecenderungan subjektivitas mufassirnya.
2. Mufassir menjustifikasikan pendapatnya dengan al-Qur’an padahal al-Qur’an tidak demikian.
3. Mufassir akan menafsirkan al-Qur’an dengan penafsiran yang salah, karena kedangkalan ilmu pengetahuan mufassir
atau tidak memenuhi persyaratan sebagai mufassir.
4. Sulit menghidarkan diri dari subyektivitas mufassirnya dan dalam hal-hal tertentu cenderung dipaksakan.
JAZAKUMULLAHU KHAIRAN
ATAS PERHATIAN DAN WAKTUNYA

Anda mungkin juga menyukai