1 3
Universitas Wahid Hasyim, Semarang A.A. Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah (London: The
2
Achmad Warsun, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Islamic Foundation, 1988), 10
(Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 567
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/muamalat 111 112 https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/muamalat
Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari mengartikan muzara’ah Terdapat beberapa hasist yang mengindikasi sistem
sebagai pemburuhan pemilik bumi kepada orang lain (pekerja) muzara’ah pernah dilakukan oleh rasulullah saw dan para sahabat
agar menggarapnya, dengan janji pekerja memperoleh bagian antara lain yang artinya “dari Rafi’i bin Khadij, keluarganya
tertentu dari hasilnya, sedang bibit dari pemilik bumi.4 Sedangkan pernah menyewa tanah dengan berdasarkan bagi hasil sebanyak
Afzalur Rahman memaknai muzara’ah sebagai persewaan tanah sepertiga, seperempat atau dengan jumlah hasil panen yang telah
dengan sistem bagi hasil (batai). 5 ditetapkan”8 “Rasulullah saw telah mengizinkan bagi hasil antara
Muzara’ah dapat diartikan sama dengan musaqah, yang kaum Muhajirin dan Anshar ketika beliau menyetujui permintaan
memiliki pengertian sebagai kebun yang disewakan kepada kaum Anshar agar kaum Muhajirin dapat bekerja dikebun buah-
penggarap dengan sistem bagi hasil. 6 Sistem kerja yang buahan mereka dan membagi buah-buahan tersebut dengan
digunakan dalam kedua jenis sistem ini adalah dengan hubungan mereka”9 “Diriwayatkan bahwa setiap keluarga di madinah pernah
kerja sama antara pemilik lahan dengan petani penggarap, dengan menyewa tanah berdasarkan bagi hasil dengan pemilik tanah, Abu
dasar pengupahan sebagai perangkat aturan untuk menentukan Bakar, Umar, Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar
kompensasi atau imbalan atas kerja. Istilah lain yang memiliki bin Abdul Aziz, Qasim dan Urwah pernah menyewakan tanah-
tema mirip ialah muhaqualah, mukhabira, muzaqah, haqal, tanah mereka dengan dasar bagi hasil”10 “Usman telah
muzanba, kira al ard.7 Istilah-istilah ini dianggap memiliki arti menyewakan tanah-tanah kepada Abdullah bin Mas’ud, Ammar
sama dengan muzara’ah . bin Yasar, Khabbab bin Arat dan Sa’ad bin Malik dan Abdullah
Dari berbagai perbedaan mengenai definisi muzara’ah ibn Mas’ud pernah mengizinkan tanah-tanah mereka diolah
tersebut melahirkan sebuah ambiguitas terhadap pemaknaan dengan dasar bagi hasil”11 dan “dari Ibnu Umar r.a bahwasanya
muzara’ah namun secara substansi kesemua definisi di atas Nabi saw pernah menyuruh kerja penduduk Khaibar dengan syarat
memiliki kesamaan, yakni sebuah akad kerjasama pengolahan upahnya separuh dari hasil buah-buahan atau tanaman yang keluar
lahan pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap dari tanah tersebut”12
untuk ditanami dan sebagai kontribusinya petani penggarap
memberikan jasanya untuk mengolah lahan yang dipercayakan Prinsip Penetapan Sewa Tanah
oleh pemilik tanah dengan imbalan tertntu dari hasil panen. Ada dua prinsip yang mendasari muzara’ah yakni
keadilan dan kemurahan hati.13 Keadilan yakni sewa yang
4
Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in, pertukaran kurma yang telah dibersihkan dengan kurma yang ada di atas
terj. Abul Hiyadh (Surabaya: Al-Hidayah, tt), 36 pohon. Kira al-ard yakni sewa tanah. Ibid., 281-283
5 8
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Vol.II (Yogyakarta: Musthafa Diyab al-Bagha, at-Tadzhib fi adillati. Matan al-Ghoyah
Dana Bakti Wakaf, 1995), 260 wa al Taqrib (Surabaya: T.p.tt), 143
6 9
Ibid., 260 Bukhari, dikutip oleh Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi…., 261
7 10
Muhaqualah yakni penyewaan tanah, mukhabira yakni Ibid., 261
11
memadukan penggarapan tanah antara pemilik tanah dengan penggarap yang Ibid., 261
12
menyepakati bahwa apapun yang dihasilkan tanah tersebut keduanya akan Hafidh Ibn Hajar al-Abqalani, Bulugh al-Maram min Adillati al-
mendapatkan bagian tertentu. Muzaqah yakni pembagian buah-buahan , Ahkam (Beirut: Dar al Fikr, Tt), 157
13
haqal yakni pemberian tanah dengan system persewaan. Muzanba adalah Afzalur rahman, Doktrin Ekonomi Islam. Vol II. (Yogyakarta:
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/muamalat 129 130 https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/muamalat
Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah
dibebankan kepada petani penggarap sesuai dengan kemampuan yang lainnya, mereka seharusnya berusaha agar dapat memperoleh
mereka untuk membayar sehingga mereka dapat merasa bahagia ridha Allah swt. Oleh karena itu tidak heran jika pemilk tanah
dan puas. Dengan demikian harus bekerja dengan sungguh- bersikap adil dan pemurah, tetapi tetap diimbangi oleh sikap yang
sungguh untuk meningkatkan produktivitas tanah tersebut. dipegang oleh petani penggarap yang bekerja dengan sungguh-
Sedangkan kemurahan hati yakni sewa yang hanya akan dipungut sungguh dan memiliki loyalitas terhadap pekerjaannya.
ketika petani penggarap menghasilkan panen melebihi di atas Dalam sewa tanah ada tiga unsure yang menjadi
kebutuhan mereka. Al-Qur’an memerintahkan keadilan dan pertimbangan yakni produktivitas tanah, penggarap dan
kemurahan hati dalam semua lingkup kehidupan sesuai dengan kesejahteraannya dan biaya pengolahan, sebelum penetapan sewa
Q.S. An Nahl ayat 90 yang artinya “Sesungguhnya Allah atas tanah. Dari ketiga unsure di atas, kesejahteraan petani
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan… ” penggarap menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan sewa atas
Ayat ini menunjukkan adanya sifat-sifat keadilan dan tanah dan pemilik tanah dianggap tidak adil jika menetapkan sewa
kebajikan tertanam dalam diri setiap muslim dalam berhubungan atas tanah melebihi dari apa yang dapat dihasilkan tanah tersebut.
dengan anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu sehubungan Sebenarnya sistem bagi hasil adalah suatu jenis perjanjian
dengan sewa tanah, Islam menginginkan tidak hanya keadilan dimana petani menerima berdasarkan upah atas kerjanya berupa
tetapi bermurah hati dan bersifat baik kepada para petani hasil produksi. Demikian pula petani membayar sewa kepada
penggarap, maka dengan sendririnya mereka akan bekerja pemilik tanah dalam bentuk hasil produksi. Jika terkandung nilai
sungguh-sungguh dengan kemampuan atau kekuatan mereka kebajikan dan kedermawanan dibalik perjanjian ini dan tidak
untuk meningkatkan produktivitas tanah agar mendapatkan lebih hanya berharap menerima bagian atas tanahnya atau tenaga yang
banyak keuntungan. dikeluarkan, maka akan menciptakan sebentuk kerjasama yang
Sebagaimana yang ditegaskan dalam Q.S. Al Baqarah baik. Tetapi jika semangat ini berkurang dan lemah, dan petani
ayat 286 yang artinya “Allah tidak membebani seseorang tidak berdaya, menjadi alat penindasan serta eksploitasi dari
melainkan sesuai dengan kesanggupannya” Prinsip dalam ayat ini pemilk tanah, atau ketakutan dan ketidakjujuran sebagai pihak
tidak langsung menerapkan bahwa sewa harus dijalankan dengan atau terdapat kemungkinan perselisihan dalam bentuk kerjasama
cara tidak merugikan pihak pemilik tanah maupun pihak petani ini tidak dibenarkan.
penggarap. Tidak membebankan terlalu tinggi kepada para petani
tidak juga terlalu rendah, sehingga mengakibatkan kerugian bagi Muzara’ah (Pra Islam dan Pasca Islam)
pemilik tanah. Prinsip tersebut harus dijalankan secara adil dan Historisitas Muzara’ah Pra Islam
baik terhadap kedua pihak tersebut agar kepentingan keduanya Cara pemungutan sewa sebelum kedatangan Islam
aman dan terlindungi. yang kerap dijalankan sangat bertentangan dengan ajaran Islam
Bagi pemilk lahan pertanian atau petani penggarap . Sistem yang digunakan memiliki kecendrungan sistem feudal
hendaknya berusaha mengamalkan ajaran dari ayat berikut yang sebagai manifestasi berkuasanya kaum Quraisy yang tidak
artinya “maka berlomba-lombalah berbuat kebajikab” (Q.S. Al sejalan dengan prinsif pemerataan dan keadilan yang diajarkan
Maaidah ayat 48). Dalam berbuat kebaikan antara satu dengan
oleh Islam . Cara-cara yang lazim digunakan dianggap tidak mau menolong para petani tersebut.
adil dan menindas para petani yang terbebani dengan Sedangkan di Madinah dan taklukan lainnya ada
mahalnya pembayaran yang lebih dari hasil panen sebenarnya. beberapa cara yang digunakan dalam pemungutan dan
Dibawah kekuasaan orang-orang Romawi dan Persia, pembayaran sewa15 Pertama, petak tanah cadangan untuk
para petani merasa berat dengan peraturan-peraturan sewa pemilk tanah. Petak tanah yang lebih subur disimpan sebagai
yang bersifat menindas. Mereka menjadi sasaran berbagai cadangan untuk pengganti pembayaran sewa kepada pemilk
kekejaman yang dilakukan oleh para pemungut sewa tanah dan tanah yang tidak subur diberikan kepada petani
sebagaimana yang dijelaskan berikut ini14 Pertama, tingginya pengolah. Kedua, pengairan yang lebih baik diperuntukkan
sewa yang ditetapkan tanpa mempertimbangkan kondisi tanah bagi pemilk tanah. Hasil dari lahan yang diairi dari perigi dank
dan kemampuan membayar para petani. Kedua, dalam masa anal-kanal diberikan kepada pemilik tanah sedangkan hasil
pemungutan sewa, petani tidak diberikan kesempatan setelah yang diambil oleh pengolah berasal dari lahan yang diairi oleh
masa panen. Ketiga, hukuman-hukuman yang tidak curah hujan. Ketiga, bagi hasil untuk pemilik tanah. Petani
berprikemanusiaan diberikan kepada para petani yang pengolah memberikan bagian khusus dari hasil panen kepada
menunda atau tidak membayar sewa. Mereka dipaksa berdiri pemilik tanah. Keempat, jumlah tertentu dari hasil panen untuk
di atas bara, leher mereka digantungi benda-benda berat, tidak pemilik tanah.
jarang mereka dipenjarakan dan disiksa, singkatnya mereka Sementara di Mesir pemungutan sewa berdasarkan
diberi hukuman yang sangat kejam. Keempat, selain sewa dan pada hasil pendapatan tanah, baik secara tunai atau bagi hasil
pajak penghasilan tanah, mereka juga dituntut membayar tapi petani tidak diberi waktu yang cukup untuk
pembayaran tambahan berdasarkan berbagai peristiwa yang mengumpulkan sumber-sumber hasil yang tersebar setelah
ada dalam masyarakat, seperti pembayaran dalam rangka panen untuk pembayaran sewa berdasarkan hasil panen rata-
upacara perkawinan dan kematian, tunjangan dalam rata dalam beberapa tahun, penetapan sewa tanah selama masa
pembangunan rumah dan sebagainya. Kelima, mereka dipaksa pemerintahan raja-raja Mesir, penetapan hasil sewa tanah
bekerja oleh tuan tanah dan para pejabat pemerintah dengan dilakukan selama tiap empat tahun, haisl panen rata-rata selama
gaji yang rendah tanpa imbalan sama sekali. Keenam, jika ada empat tahun diambil untuk menentukan sewa tanah yang dapat
tugas yang dipercayakan kepada pemerintah kepada tuan dilakukan selama kurun waktu empat tahun tanpa melihat apa
tanah, langsung diterimanya, setelah itu dibebankan yang terjadi pada petani atau pada tanaman-tanaman. Unsure-
sepenuhnya kepundak para petani miskin secara paksatanpa unsur dalam persewaan diperuntukkan pada raja, tentara,
ada bayaran. Para pejabat setempat dan pemungut sewa sangat perbaikan tanah dan untuk menghadapi bencana yang tak
kejam dan tidak berprikemanusiaan dalam menghadapi para terduga.
petani. Mereka memperlakukan para petani dengan hina dan Historisitas Muzara’ah Pasca Islam
mempekerjakan mereka seperti budak-budak. Sebenarnya Semua cara pemungutan sewa di Madinah setelah
untuk memenuhi kebutuhan kemewahan hidup mereka kedatangan Islam yang digambarkan sebelumnya, kecuali
dibebankan kepada orang miskin tapi sebaliknya mereka tidak
14
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi…., 196-197 15
Ibid., 186
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/muamalat 129 130 https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/muamalat
Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah
sewa dengan cara bagi hasil, dilarang oleh Rasulullah saw. penetapan sewa tanah disembarang waktu, tapi harus dibuat
Cara-cara yang lazim digunakan dianggap tidak adil dan waktu yang tepat dan sesuai, hal tersebut sangat memudahkan
menindas para petani yang terbebani dengan halnya petani, karena dari sistem hokum dianggap sebagai perampas
pembayaran dan dipaksa oleh pemilik tanah untuk membayar hak. Jika pemerintah muslim ingin mengambil gandum dari
lebih dari hasil panen. Rasulullah saw tetap membenarkan Mesir untuk suplai jatah bagi tentara atau untuk tujuan lainnya,
syarat-syarat sewa dengan bagi hasil, tetapi lebih memilih maka harus membayar dengan harga tanpa potongan khusus
pembayaran secara tunia. atau keringanan.
Ketika Irak ditaklukkan, Umar menunjuk Usman bin
Hanif dan Huzaifah bin Yaman untuk menyelesaikan masalah Perbedaan Pendapat Mengenai Kebolehan Muzara’ah
tanah di Negara tersebut. Tanh yang menjadi milik tempat- Dikalangan ahli fiqh Islam terdapat perbedaan mengenai
tempat ibadah, orang-orang yang tidak memiliki keturunan, keabsahan sistem bagi hasil dalam pengolahan tanah. Sebagian
orang-orang yang melarikan diri, pemberontakan dan jalan- ahli fiqh menganggap bahwa kesepakatan bagi hasil sama dengan
jalan raya, tanah milik kerajaan daerah hutan, tanah dibawah persekutuan dalam perdagangan, sedangkan yang lain menolak
sungai dan disediakan untuk perluasan perlabuhan, semuanya sistem bagi hasil karena dianggap terlalu berat dan menindas.
dinyatakan sebagai milik Negara. Sedangkan tanahy yang lain Pro Muzara’ah
mempuntai pemilik masing-masing. Perbedaan sewa dipungut Muzara’ah diartikan sebagai penyerahan lahan
dari tanah yang berbeda berdasarkan jenis tanah dan tanaman- pertanian atau perkebunan oleh pemilik kepada buruh tani
tanaman yang tumbuh didalamnya. Ketiga hal ini digunakan untuk menggarapnya, dengan kompensasi pembagian hasil
sebagai bahan perbandingan dalam penentuan sewa tanah. panen antara kedua belah pihak. Atau dapat diartikan sebagai
Setelah penaklukan Mesir, pemimpin Umat Islam pengolahan atas tanah atau perkebunan antara pemilik tanah
memanggil Muqauqis Raja Mesir dan penduduk setempat dengan petani penggarap, dengan kompensasi yang diterima
untuk membicarakan masalah sewa dengan mereka dan masing-masing adalah pembagian hasil panen.
kemudian mengeluarkan peraturan bagi mereka. Sewa akan Sistem bagi hasil menjadi penting ketika pemilik lahan
dipungut dengan tunai atau sejenisnya tapi pemungutan harus pertanian membutuhkan tenaga kerja untuk mengelola lahan
memudahkan dan meringankan petani. Peraturan ini pertaniannya, atau pemilik lahan pertanian yang tidak memiliki
menghapuskan sistem yang dijalankan bangsa Romawi modal dan tenaga kerja. Sehingga dalam kondisi seperti ini
dimana mereka tidak memberikan tempo kepada para petani pemilik lahan pertanian secara otomatis membutuhkan tenaga
dalam pembayaran sewa. Sewa akan ditetapkan berdasarkan kerjaatau bahkan tenaga kerja yang memiliki modal untuk
jenis tanah dan tanaman dengan persetujuan petani. Peraturan menggarap memanfaatkan dan meningkatkan keuntungan atas
ini menghapuskan sistem penetapan tanah yang dijalankan kepemilikannya. Dengan melakukan hubungan kerjasama
oleh orang-orang Roma dengan sewa yang ditentukan saling bantu membantu sistem bagi hasil merupakan sarana
berdasarkan hasil panen rata-rata dalam beberapa tahun. efektif untuk meningkatkan hasil produksi dan tentunya dari
Pembaharuan penetapan tanah akan dibuat tiap tahun agar hubungan kerja sama ini akan melahirkan keuntungan bagi
dapat menaksir hasil tanah. Tidak boleh menentukan kedua belah pihak.
16
Abdul Sami’ al-Misri. Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Muqawwimat Pelajar. 2006), 110
17
al-Iqtishad al-Islami. Alih bahasa Dimyauddin Djuaini (Yogyakarta: Pustaka Ibid.,110
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/muamalat 129 130 https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/muamalat
Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah
18
Musthafa Diyab al-Bagha, at-Tadzhib fi Adillati : Matan al- Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 257
20
Ghoyah wa al-Taqrib.., 143 Charles Hemilton, The Hedaya, Dikutip Oleh Afzalur Rahman
19
Umer Chapra. Islam dan Tantangan Ekonomi. The Islamic dalam Doktrin Ekonomi…, 283
Foundation and The International Institute of Islamic Thought. Alih Bahasa
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/muamalat 129 130 https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/muamalat
Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah
memperoleh bagian tertentu dariu hasil. masih menginginkannya dan akan terhapuskan
b. Apabila tanah, peralatan pertanian dan benih semuanya kepemilikannya jika pemilik tanah menghendakinya.
dibebankan kepada pemilik tanah sedangkan buruh e. Ketika petani dan pemilik tanah sepakat membagi hasil tanah
dibebankan kepada petani maka harus ditetapkan pemilik tapi satu pihak menyediakan bibit dan yang lainnya
tanah mendapat bagian tertentu dari hasil. menyediakan alat-alat pertanian.
c. Perjanjian dimana tanah dan benih dari pemilik tanah f. Apabila tanah menjadi milik pihak pertama, benih dibebankan
sedangkan peralatan pertanian dan buruh adalah dari petani pada pihak kedua, alat-alat pertanian kepada pihak ketiga, dan
dan pembagian dari hasil tersebut harus ditetapkan secara tenaga kerja kepada pihak keempat, atau dalam hal ini tenaga
proporsional. kerja dan alat-alat pertanian termasuk dalam tanggungan pihak
d. Apabila keduanya sepakat atas tanah, perlengkapan pertanian, ketiga.
benih dan buruh serta menetapkan bagian masing-masing g. Perjanjian pengolahan menetapkan tenaga kerja dan tanah
yang akan diperoleh dari hasil. menjadi tanggung jawab pihak pertama dan benih serta alat-
alat pertanian menjadi tanggungan pihak lainnya.
Bentuk Muzara’ah yang Tidak Diperbolehkan h. Bagian seseorang harus ditetapkan dalam jumlah misalnya
Berikut ini bentuk-bentuk sistem bagi hasil yang sepuluh atau dua puluh maunds gandum untuk satu pihak dan
dianggap tidak sah: sisanya untuk satu pihak.
a. Suatu bentuk perjanjian yang menetapkan sejumlah hasil i. Ditetapkan jumlah tertentu dari hasil panen yang harus dibayar
tertentu yang harus diberikan kepada pemilik tanah, yaitu kepada satu pihak selain dari bagiannya dari hasil tersebut.
suatu syarat yang menentukan bahwa apapun hasilnya yang j. Adanya hasil panen lain (selain dari pada yang ditanam
akan diperoleh, pemilik tanah akan menerima lima atau diladang atau dikebun) harus dibayar oleh satu pihak sebagai
sepuluh maund dari hasil panen. suatu tambahan kepada hasil pengeluaran tanah.
b. Apabila hanya bagian-bagian tertentu dari lahan itu yang
berproduksi, misalnya bagian utara atau bagian selatan dan Penutup
lain sebagainya, maka bagian-bagian tersebut diperuntukkan Muzara’ah merupakan perkongsian antara pemilik lahan
bagi pemilik tanah. dan petani penggarap untuk emngelola lahan pertanian dengan
c. Apabila hasil itu berada pada bagian tertentu, misalnya kompensasi pembagian hasil panen. Bentuk muzara’ah dapat
disekitar aliran sungai atau didaerah yang mendapatkan dianalogikan sebagai sistem kerjasama mudharabah, ijarah dan
cahaya matahari yang cukup, semua bentuk pengolahan musyarakah.
semacam ini dianggap terlarang karena bagian untuk satu Singkatnya perjanjian dengan sistem muzara’ah akan sah
pihak telah ditentukan sementara bagian lain masih diragukan, jika tidak seorang pun yang dikorbankan haknyadan tidak yang
atau bagian untuk keduanya tergantung pada nasib baik atau dimanfaatkan secara tidak adil atas kelemahan dan kebutuhan
buruk sehingga satu pihak akan menanggung rugi. seseorang, tidak boleh ada syarat-syarat sejenisnya yang dapat
d. Penyerahan tanah kepada seseorang dengan syarat tanah menimbulkan perselisihan antara kedua belah pihak, tidak satupun
tersebut tetap akan menjadi miliknya sepanjang pemilik tanah syarat yang tidak diberi ketetapan pada saat perjanjian itu
Daftar Pustaka
Achmad Warsun, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
(Surabaya.: Pustaka Progresif., 2002)
A.A. Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah (London.:The
Islam ic Foundation, 1988)
Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in,
terj. Abul Hiyadh (Surabaya: Al-Hidayah, tt)
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Vol.II (Yogyakarta:
Dana Bakti Wakaf, 1995)
Musthafa Diyab al-Bagha, at-Tadzhib fi adillati. Matan al-
Ghoyah wa al Taqrib (Surabaya: T.p.tt.)
Hafidh Ibn Hajar al-Abqalani, Bulugh al-Maram min Adillati al-
Ahkam (Beirut: Dar al Fikr. tt.)
Abdul Sami’ al-Misri. Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Muqawwimat
al-Iqtishad al-Islami. Alih bahasa Dimyauddin Djuaini
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi. The Islamic
Foundation and The International Institute of Islamic
Thought. Alih Bahasa Ikhwan Abidin Basri (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000)