Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kabupaten Dharmasraya merupakan salah satu kabupaten di
Provinsi Sumatera Barat. Dharmasraya merupakan kawasan yang
strategis, berbatasan dengan Propinsi Jambi dan Propinsi Riau, serta
berada pada jalur lintas regional. Sebagian besar kegiatan
perekonomian masyarakat di Kabupaten Dharmasraya bergerak di
sektor pertanian, terutama bidang perkebunan, tanaman pangan, dan
hortikultura. Sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan Produk Domestik
Bruto Kabupaten Dharmasraya. Sektor pertanian tanaman pangan
yang dominan adalah tanaman padi (BaPPeDa Kabupaten
Dharmasraya, 2010).
Dengan adanya kegiatan perekonomian yang pesat di
Kabupaten Dharmasraya, perlu adanya pembahasan tentang ekonomi
Islam sebagai ekonomi rabbaniyah di Dharmasraya. Pijakan dari
ekonomi rabbaniyah didasarkan pada ajaran tauhid rububiyah yaitu
mengesakan Allah melalui segala hal yang telah diciptakan-Nya,
dengan selalu meyakini bahwa Allah merupakan pencipta alam
semesta. Allah yang memberi rezeki dan Allah adalah Tuhan pengatur
alam semesta (Riyadi dan Fauzia, 2014: 9).
Seperti Firman Allah dalam Qs. Hud: 6,

             

    

1
2

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan


Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Tujuan ekonomi Islam adalah mashlahah (kemaslahatan) bagi
umat manusia. Usahanya dengan mengupayakan segala aktivitas demi
tercapainya hal-hal yang berakibat pada adanya kemaslahatan bagi
manusia atau dengan mengusahakan aktivitas yang secara langsung
dapat merealisasikan kemaslahatan sendiri. Aktivitas lainnya demi
menggapai kemaslahatan adalah dengan menghindarkan diri dari
segala hal yang membawa mafsadah (kerusakan) bagi manusia
(Riyadi dan Fauzia, 2014: 12). Untuk menggapai kemaslahatan
tersebut, ketekunan sangat diperlukan. Ketekunan itu dicintai Allah
karena hasil akhir dari ketekunan itu menghasilkan sesuatu yang baik
dan memuaskan. Tekun menunjukkan suatu yang sungguh-sungguh,
tidak asal-asalan serta tidak setengah-setengah (Ichsan, 2008: 19).
Ketekunan dibutuhkan di segala bidang usaha, salah satunya bidang
pertanian. Bidang usaha yang butuh keuletan dalam mengelola
garapan padi, jagung, tembakau, tebu, karet, dan kopra (Mubyarto,
1995: 12).
Untuk mengolah lahan tanaman tersebut, masyarakat sering
melakukan kerja sama dalam bidang pertanian. Kerjasama tersebut
meliputi musaqah, muzara’ah (mukhabarah), dan mugharasah. Akad
musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama antara pemilik kebun dan
petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan
dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian segala
sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan hak
bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan
yang mereka buat. Kerja sama dalam bentuk musaqah ini berbeda
dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman. Mengupah
tukang kebun, hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti
3

ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu (Ghazaly dkk,
2010: 109). Selanjutnya kerjasama dalam bidang pertanian juga
mengenal al-Mugharasah. Seperti yang telah didefinisikan oleh ulama
Syafi’iyah, mugharasah adalah penyerahan tanah pertanian kepada
petani yang pakar di bidang pertanian, sedangkan pohon yang
ditanam menjadi milik berdua (penggarap dan pemilik tanah). Selain
musaqah dan mugharasah, dalam Islam juga mengenal muzara’ah.
Istilah Muzara’ah memiliki kesamaan yang sangat dekat dengan
mukhabarah. Perbedaan tempat mempengaruhi penyebutan.
Kerjasama muzara’ah merupakan kerjasama antara pemilik
tanah dan pengarap dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya
menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit) tanaman
boleh berasal dari pemilik tanah. Kebiasaan dalam bahasa Indonesia
disebut sebagai paruhan sawah. Penduduk Irak menyebutnya dengan
al-mukhabarah. Dalam mukhabarah ini, bibit yang akan ditanami
berasal dari penggarap. Jadi, muzara’ah yaitu kerjasama antara
pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang
jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit)
dari pemilik tanah. Bila kerjasama ini bibit disediakan oleh pekerja
maka secara khusus kerjasama ini disebut al-mukhabarah (Ghazaly
dkk, 2010: 114-115).
Mengenai aturan dalam muzara’ah atau mukhabarah, Al-Qur’an
mengaturnya secara umum. Aturan tersebut bisa ditemukan dalam
QS. Al-Muzammil: 20 sebagai berikut:

…           …

…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari


sebagian karunia Allah..
4

Manusia diperintahkan untuk mencari karunia Allah, termasuk dalam


hal kerjasama muzara’ah. Selain aturan di dalam Al-Qur’an, aturan
mengenai kerjasama juga diterangkan di dalam hadis Nabi, ketika
Rasulullah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan syarat dan
kemudian hasilnya dibagi antara Rasulullah dengan pekerja
(penduduk Khaibar) tersebut (Rozalinda, 2017: 221).
Menurut Abdurrahman al-Jaziri di dalam Rozalinda (2017:
219), aturan yang diterangkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah
mengenai kerjasama muzara’ah diperinci kembali oleh fuqaha. Ulama
Hanafiyah menjelaskan pembagian atas dasar pemberian upah (dari
hasil pertanian) dari pemilik sawah kepada petani (penggarap).
Sementara itu, Malikiyah menyatakan muzara’ah adalah
persyarikatan (kerja sama bagi hasil) dalam bidang pertanian.
Hanabilah menyatakan aturan yang serupa dengan Malikiyah bahwa
dasar bagi hasil pertanian dibagi untuk pemilik tanah dan penggarap.
Sejalan dengan pendapat ulama yang lain, Imam Syafi’I menjelaskan
kerjasama muzara’ah adalah atas dasar bagi hasil. Ketentuannya
adalah kerja sama itu disebut muzara’ah jika benih berasal dari
pemilik sawah dan dinamakan mukhabarah jika benih berasal dari
petani penggarap.
Penyebutan muzara’ah atau mukhabarah di Jorong Bukit
Mindawa Nagari Sikabau digunakan istilah maro1. Masyarakat Jorong.
Bukit Mindawa memandang kegiatan maro sebagai aktivitas yang
tidak asing. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan salah
satu penggarap sawah, maro dalam pertanian lumrah dilakukan
karena masyarakat memiliki lahan yang luas namun tenaganya
terbatas. Cara yang dilakukan dengan menyerahkan kepada orang lain
untuk digarap dan kemudian bibit berasal dari petani serta bebas

1 Memiliki arti separuh (setengah). Artinya dalam suatu pekerjaan, ada pembagian antara
pekerja dengan pemilik objek
5

jenis tanaman apa yang hendak ditanam (Sanmiardi, Penggarap


Sawah, 2018).
Pelaksanaan maro oleh masyarakat Jorong Bukit Mindawa,
Nagari Sikabau salah satunya adalah maro sawah2. Tujuan maro
sawah bagi penggarap salah satunya untuk memenuhi kebutuhan
pangan. Sementara bagi pemilik tanah, tujuannya agar sawah atau
lahannya ada yang menggarap supaya tidak terbengkalai. Maksud dari
kedua belah pihak melakukan kerjasama pastinya agar mendapat
keuntungan.
Umumnya maro sawah ini terlaksana karena permintaan dari
calon penggarap atau dari pemilik tanah. Setelah ada kesepakatan,
barulah penggarap mengolah sawah atau lahan dari awal sampai
panen. Dalam kesepakatan, umumnya menggunakan istilah bawon3
dalam membagi hasil panen. Bawon yang diperoleh penggarap tanah
adalah 2/3 dan pemilik tanah adalah 1/3 (sepertelon). Bawon yang
yang diperoleh penggarap dan pemilik tanah merupakan bagian
bersih setelah dipotong keperluan panen.
Bawon yang ditetapkan saat akad, sebenarnya sudah sesuai
dengan apa yang disarankan dari penelitian sebelumnya. Penelitian
dari Eli Zakiah dari judul skripsinya, Sistem Bagi Hasil Penggarapn
Sawah di Nagari Pulakek Koto Baru Kecamatan Sungai Pagu
Kabupaten Solok Selatan Ditinjau dari Fiqh Muamalah. Pembagian
hasil panen dengan cara pemberian hasil panen pertama kepada
pemilik lahan dan hasil penen kedua diserahkan kepada petani
penggarap. Apabila dalam pembagian panen kedua, petani penggarap
mendapat hasil lebih dari hasil panen pertama, petani penggarap
harus mengembalikan sisa kepada pemilik lahan. Apabila hasil panen
kedua tidak lebih banyak dari hasil panen pertama, pemilik lahan

2 Menyatakan pembagian keuntungan antara petani dengan pemilik sawah.


3 Adalah penyebutan yang sering digunakan masyarakat Jorong Bukit Mindawa
(masyarakat suku Jawa) dalam menyebutkan jatah atau bagian.
6

tidak membagi hasil panennya kepada penggarap. Dari hasil


penelitian ini, kerjasama yang dilakukan batal karena adanya syarat
yang tidak terpenuhi dalam pembagian hasilnya. Pembagian yang
seharusnya, ditentukan setiap panen dengan ketentuan seperdua,
sepertiga atau seperempat. Dengan kata lain, pembagian hasil harus
didasarkan jumlah tertentu secara mutlak.
Akad maro sawah yang terjadi di Jorong Bukit Mindawa terkait
bagi hasil sudah ditentukan bagian masing-masingnya di awal. Bagian
2/3 untuk penggarap tanah dan 1/3 untuk pemilik tanah sudah
disepakati di awal. Timbul permasalahan ketika 2/3 dan 1/3 bagian
tidak sesuai dengan satuan massa yang seharusnya. Masyarakat
Jorong Bukit Mindawa membagi hasil panen berdasarkan jumlah
karung. Masing-masing karung memiliki berat yang berbeda. Muncul
perbedaan berat itu disebabkan proses pengarungannya tidak
menggunakan timbangan atau takaran yang tetap, seperti belek4 atau
sukek. Di Jorong Bukit Mindawa proses pemanenan menggunakan
mesin. Padi ditampung langsung dari mesin. Jika dirasa sudah penuh,
karung berisi padi kemudian diikat. Dari proses itulah, berat masing-
masing karung memiliki perbedaan.
Gambar 1.1
Proses Panen Bukit Mindawa

4 Alat yang digunakan untuk menakar. satu belek setara dengan sepuluh sukek. tiga belek
setara dengan satu karung
7

Bagi masyarakat Jorong Bukit Mindawa, proses memasukkan


padi ke dalam karung yang tidak menggunakan takaran dan hanya
berdasarkan perkiraan, merupakan suatu hal yang biasa. Hal tersebut
dinamakan dengan ‘urf yang menunjukkan penentuan hak yang
muncul dari suatu transaksi berdasarkan kebiasaan. Artinya peranan
‘urf atau kebiasaan dalam bidang maro sawah sangat menentukan
selama syara’ tidak menetukan lain (Nurfaizal, 2013: 195).
Gambar 2.1
Proses Panen dan Memasukkan Padi ke dalam Karung

Berdasarkan wawancara dengan Baharuddin, Pemilik Sawah


(2018), memberikan penuturan bahwa pihak-pihak yang melakukan
akad, memahami kerjasama maro sawah sebagai bagian dari ajang
geguyuban5.
Pada-pada wong trans, terlalu peritungan ya ora ulih. Maro
sawah kan bagian ngo geguyuban sesama warga. Terlalu detail
ya ndarani terlalu peritungan dan pelit. Selisih sekilo rongkilo ya
gak terlalu di soal. Masyarakat wis nganggap biasa, nek wis
panen karo pembagian ora perlu ditimbang gisit. Wis tradisini
sih.

5 Istilah yang digunakan untuk melambangkan kebersamaan dan kekeluargaan.


8

Terjemahan:

Sesama warga trans, terlalu peritungan ya tidak boleh. Kegiatan


maro sawah merupakan bagian dari kerukunan. Terlalu detail
nanti dikira terlalu perhitungan dan pelit. Selisih satu kilo dua
kilo tidak begitu dipersoalkan. Masyarakat sudah menganggap
biasa, panen dan pembagian tidak ditimbang terlebih dahulu.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat.

Selain tujuan geguyuban, tujuan lainnya juga untuk


mendapatkan keuntungan. Bagian 1/3 untuk pemilik sawah dan 2/3
untuk penggarap, tidak begitu dipersoalkan bila pembagiannya tidak
berdasar standar satuan massa (kg/kwintal/ton), melainkan
berdasarkan karung. Meskipun demikian, bermuamalah haruslah
mengedepankan prinsip keadilan. Tidak ada hak orang lain yang
terampas.
Bagi hasil 1/3 bagian untuk pemilik sawah dan 2/3 bagian
untuk penggarap yang tidak sesuai dengan satuan massa dan takaran
yang tetap, akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Jika hanya
disesuaikan dengan hitungan karung dalam pembagian, akan
memunculkan selisih berat yang berbeda dari setiap karung. Selisih
yang sedikit akan menjadi banyak jika karung yang dibagi juga
banyak, seperti yang tergambar dalam tabel berikut:

Tabel 1.1
Pembagian Hasil Panen November 2018
NO Jenis Karung Bagian NO Bagian Pemilik
Penggarap (Kg) Sawah (Kg)
1. Karung 1 45 1. 45
2. Karung 2 44 2. 46
3. Karung 3 46 3. 50
4. Karung 4 50 4. 49
5. Karung 5 47
6. Karung 6 46
7. Karung 7 48
8. Karung 8 45
371 190
Total 561
Sumber Data: Petani Penggarap (Sanmiardi)
9

Dari perbedaan perolehan setelah ditransformasi dari karung


ke dalam Kg (kilogram), memunculkan kesan ketidakadilan dalam
pembagian. Berat keseluruhan dari 12 karung di atas adalah 561 Kg.
Seharusnya jatah dari pemilik sawah adalah 1/3 dari 561 Kg, yaitu
187 Kg. Jatah untuk penggarap adalah 2/3 dari 561 Kg adalah 374 Kg.
Padi di saat harganya Rp. 5.500/Kg6, maka dari selisih itu akan
mempengaruhi pendapatan masing-masingnya. Dalam Islam diatur
bagaimana untuk berlaku adil dalam bermuamalah.
Dari permasalahan di atas, perlu untuk dilakukan penelitian
lebih lanjut. Alasan menarik karena praktik pembagian hasil pertanian
terkesan bertentangan dengan salah satu prinsip muamalah.
Permasalahannya pada ketidakadilan dalam kepemilikan setelah
ditransformasi dari karung ke dalam satuan kg (kilogram).
Gambar 3.1
Pembagian berdasarkan karung
Data: Panen Bukit Mindawa April 2019

Untuk lebih jelasnya, penelitian ini perlu dilbahas lebih lanjut


dalam rangka mengetahui hukum dari pembagian yang hanya di
dasarkan pada satuan karung, bukan satuan kilogram (kg). Oleh sebab
itu, penelitian ini perlu dituangkan dalam bentuk karya ilmiah berupa

6
Harga padi bulan November 2018
10

skripsi dengan judul “Pandangan Fiqh Muamalah Terhadap


Pelaksanaan Bagi Hasil Maro Sawah di Jorong Bukit Mindawa
Kenagarian Sikabau Kecamatan Pulau Punjung Kabupaten
Dharmasraya”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan di
atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimanakah pandangan fiqh muamalah terhadap pelaksanaan bagi
hasil maro sawah di Jorong Bukit Mindawa Kenagarian Sikabau
Kecamatan Pulau Punjung Kabupaten Dharmasraya?”.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Adapun yang menjadi pertanyaan penelitian dalam
pembahasan ini adalah:
1.3.1 Bagaimanakah Pelaksanaan Maro Sawah di Jorong Bukit Mindawa
Kenagarian Sikabau Kecamatan Pulau Punjung Kabupaten
Dharmasraya?
1.3.2 Bagaimanakah Sistem Bagi Hasil Maro Sawah di Jorong Bukit
Mindawa Kenagarian Sikabau Kecamatan Pulau Punjung Kabupaten
Dharmasraya?
1.3.3 Bagaimanakah Pandangan Fiqh Muamalah Terhadap Pelaksanaan
Bagi Hasil Maro Sawah di Jorong Bukit Mindawa Kenagarian Sikabau
Kecamatan Pulau Punjung Kabupaten Dharmasraya?

1.4 Signifikansi Penelitian


Penelitian ini penting untuk dilakukan agar pelaksanaan
bermuamalah tidak melanggar ketentuan-ketentuan syariat,
terkhususnya bermuamalah dalam bidang pertanian (maro sawah).
11

1.4.1 Pemilik Sawah dan Petani Penggarap


Pemilik sawah dan petani penggarap mengerti dan
mempraktikkan konsep keadilan dalam segala hal. Termasuk dalam
hal bagi hasil maro sawah. Sejatinya, tujuan dari bermuamalah adalah
tolong-menolong yang tidak menghilangkan konsep keadilan.
1.4.2 Pemilik Mesin Panen
Untuk mendapatkan keadilan, perlu adanya ukuran dan
timbangan yang baku. Sebagai pihak yang diminta jasanya oleh
penggarap sawah untuk memanen maka pemilik mesin tugasnya tidak
sebatas pemotongan padi. Lebih dari itu, pemilik mesin harus
menyiapkan timbangan yang bisa digunakan untuk menimbang hasil
panen. Kemudian jelas berapa berat masing-masing karung dan jelas
pembagian bawon, untuk pemilik sawah, dan petani penggarap.
1.4.3 Kelompok Tani
Sebagai kelompok yang terdiri atas kumpulan petani yang
mempunyai kesamaan kepentingan, kondisi sosial, dan keakraban,
perlu adanya upaya saling ingat-mengingatkan. Mengingatkan dalam
segala hal, termasuk dalam pembagian hasil panen yang sesuai
dengan takaran dan timbangan yang akurat. Dengan adanya kejelasan
pembagian, kerukunan dan kemajuan pertanian di Bukit Mindawa
semakin mudah untuk diwujudkan.
1.4.4 Dinas Pertanian Kabupaten Dharmasraya
Penelitian ini bisa menjadi rujukan bagi Dinas Pertanian
Kabupaten Dharmasraya, betapa kaya dan potensialnya Jorong Bukit
Mindawa sebagai lumbung padi dan ketahanan pangan daerah. Sudah
semestinya Dinas Pertanian Kabupaten Dharmasraya melakukan
sosialisasi kepada masyarakat, terkhususnya pemilik sawah dan
petani penggarap. Sosialisasi itu berupa dorongan, agar tidak hanya
pertanian yang ditingkatkan, tetapi juga pembagian yang di dasarkan
kepada prinsip keadlian juga harus ditingkatkan.
12

1.5 Studi Literatur


Untuk mendukung penelitian ini, diperlukan penelitian-
penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan kerjasama bidang
pertanian, di antaranya:

1.5.1 Jonedi (Nim: 302.103), Judul skripsinya “Tinjauan Hukum Islam


Terhadap Sistem Bagi Hasil Kebun Kelapa Sawit (Studi Kasus Di KUD
Kenegarian Koto Salak, Kecamatan Koto Baru, Kabupaten
Dharmasraya)”. Pembahasan tentang bagi hasil kerjasama kebun
kelapa sawit, koperasi mengelola lahan pertanian milik masyarakat
dan tanah ulayat. Dalam pengelolaan tersebut, koperasi menyerahkan
lahan kepada pihak ketiga yaitu PT. Transco Pratama untuk dijadikan
kebun kelapa sawit. Pembiayaan dalam pengelolaan lahan tersebut,
pihak PT. Transco Pratama meminjam modal kepada bank. Akan
tetapi hutang tersebut dibebankan kepada masyarakat dengan
pembayaran dicicil setiap panen atau pemotongan perbulan dari hasil
panen sebanyak 30%. Sementara pembagian antara koperasi dengan
PT. Transco dibagi dengan perbandingan 70% dan 30%. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, akad yang terjalin adalah muzara’ah
disertai dengan musaqah. Dalam fiqih muamalah akad seperti ini sah
jika kedua belah pihak berdasarkan asas suka sama suka (saling
ridha) dan menguntungkan kedua belah pihak.
1.5.2 Yuliawati (Nim: 306.228), dengan judul skripsi “Sistem Bagi Hasil
Tanaman Padi Menurut Analisis Muzara’ah (Studi Kasus di Jalan
Tunggang Kelurahan Pasar Ambacang Kecamatan Kuranji Kota
Padang)”. Pembahasan dalam skripsi ini adalah tentang bagi hasil
dalam pertanian. Bagian untuk penggarap adal 2/3 sementara bagian
untuk pemilik sawah adalah 1/3. Dalam pembagian ini, pemilik lahan
mendapat bagian yang sama dari yang sebelumnya. Dengan kata lain,
apabila hasil panen bertambah maka pemilik lahan merugi. Sementara
penggarap akan merugi apabila hasil panen berkurang dari panen
13

sebelumnya, karena harus mencukupkan bagi hasil sejumlah bagi


hasil sebelumnya. Akad ini dilakukan karena sudah ada kesepakatan
yang ditetapkan di awal antara petani penggarap dan pemilk lahan.
Berdasarkan penelitian ini, kerjasama bagi hasil lahan pertanian tidak
sesuai dengan prinsip muzara’ah karena bibit seharusnya berasal dari
pemilk lahan. Kerjasama yang terjadi lebih tepatnya sewa-menyewa
atau ijarah karena berpatokan dari hasil panen rata-rata tanaman
padi. Kerjasama ini diperbolehkan karena adanya kerelaan antara
pihak-pihak yang berakad.
1.5.3 Eli Zakiah (Nim: 1413030297), skripsinya berjudul “Sistem Bagi Hasil
Penggarapan Sawah di Nagari Pulakek Koto Baru Kecamatan Sungai
Pagu Kabupaten Solok Selatan Ditinjau dari Fiqh Muamalah”.
Pembahasan dalam skripsi ini adalah bagi hasil persekali panen di
Nagari Pulakek. Dalam pembagian, hasil panen diserahkan seluruhnya
kepada pemilk sawah dan petani penggarap. Pembagian diadakan
setelah pemilik sawah mendatangi penggarap sawah. Pembagiannya
dengan cara pemberian hasil panen pertama kepada pemilik lahan
dan hasil penen kedua diserahkan kepada petani penggarap. Apabila
dalam pembagian panen kedua, petani penggarap mendapat hasil
lebih dari hasil panen pertama maka petani penggarap harus
mengembalikan sisa kepada pemilik lahan. Apabila hasil panen kedua
tidak lebih banyak dari hasil panen pertama, pemilik lahan tidak
membagi hasil panennya kepada penggarap. Dari hasil penelitian ini,
kerjasama yang dilakukan batal karena adanya syarat yang tidak
terpenuhi dalam pembagian hasilnya. Pembagian yang seharusnya,
ditentukan persekali panen dengan ketentuan seperdua, sepertiga
atau seperempat. Dengan kata lain, pembagian hasil harus didasarkan
jumlah tertentu secara mutlak.
14

1.6 Kerangka Teori


Kerangka teori ini akan membahas tentang teori-teori yang ada
relevannya dengan objek kajian. Kerangka ini diharapkan dapat
memberikan pemecahan masalah yang dikaji dalam pembahasan ini.
Konsep muzara’ah dipahami sebagai kerjasama dalam usaha atau
bidang pertanian. Dalam kerjasama yang dilakukan, pemilik lahan
menyerahkan lahan beserta bibit yang diperlukan kepada petani
penggarap untuk diolah dan hasilnya dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama (Syarifuddin, 2013: 240). Perbedaan dengan
mukhabarah terletak pada tanggung jawab benih yang dibebankan
kepada penggarap. Dalam muzaraah, benih dibebankan kepada
pemilik lahan.
Salah satu dalil yang mendasari akad muzara’ah/mukhabarah
adalah Firman Allah QS an-Nisa: 29 yaitu,

         

             

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka
di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
(Depag 2010, 83).

Rukun muzara’ah/mukhabarah menurut jumhur ulama adalah


(a) pemilik tanah, (b) petani penggarap, (c) obyek, yaitu antara tanah
dan hasil kerja petani, dan (d) ijab qabul (Haroen, 2007: 278). Syarat
yang harus terpenuhi dalam muzara’ah/mukhabarah adalah (a)
bertalian dengan aqidain yaitu harus berakal, (b) berkaitan dengan
tanaman yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang
15

akan ditanam, (c) berkitan dengan perolehan hasil tanaman harus


jelas persentasenya, hasil milik bersama, tidak disyaratkan
penambahan bagi salah satunya, (d) berhubungan dengan tanah maka
tanah tersebut harus subur dan jelas batas-batasnya, (e) berkaitan
dengan waktu maka waktu harus ditentukan terlebih dahulu,
memungkinkan untuk bisa memanen sebelum waktu ketentuan habis,
waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup menurut
kebiasaan, (f) terkait hal-hal yang berkaitan dengan alat-alat
muzara’ah dibebankan kepada pemilik tanah (Suhendi, 2007: 158-
159).
Pelaksanaan maro sawah merupakan bagian dari kebiasaan
yang dilakukan oleh masyarakat Bukit Mindawa. Di dalam fiqh,
kebiasaan disebut juga dengan ‘urf yang merupakan bagian dari adat.
‘Urf merupakan sesuatu yang harus berlaku pada kebanyakan orang di
daerah tertentu, bukan pada pribadi dan kelompok tertentu (Haroen,
1997: 138).
Dalam kegiatan bermuamalah, manusia dituntut untuk
senantiasa berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam. Sumber etika
dalam kegiatan muamalah harus melibatkan prinsip-prinsip
muamalah. Salah satu dari prinsip muamalah adalah memenuhi nilai
keadilan, menghindarkan unsur-unsur penganiayaan, dan
pengambilan manfaat dalam kesempitan. Prinsip keadilan yang
terimplementasikan dalam perilaku yang tidak hanya didasarkan
kepada ayat atau dalil Al-Qur’an, tetapi juga didasarkan pada prinsip
keadilan dan keseimbangan.
Ali Fikri di dalam Madjid (2018: 16-17), menyebutkan prinsip
dalam ekonomi Islam, diantaranya mengakui hak milik baik secara
individu maupun secara umum. Kemudian mengakui kebebsan
ekonomi, kebersamaan dalam menanggung kebaikan (al takaful al
ijtimai). Dalam prinsip yang ketiga ini mencakup prinsip:
16

a. Guna mewujudkan kebahagian baik pribadi maupun


masyarakat.
b. Kepentingan pribadi tidak boleh merugikan kepentingan
orang banyak.
c. Kebersamaan dalam rangka menjaga kesatuan, keakraban,
tolong menolong, dan saling amanah.
d. Berlaku objektif dan tidak berlaku diskriminatif.

1.7 Metode Penelitian


Berikut akan dijabarkan tentang jenis penelitian, informan
penelitian, dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini. Berikut adalah penjabarannya:
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan
(field research). Alasan memilih penelitian lapangan sebagai jenis
penelitian karena dalam memperoleh data yang dibutuhkan, perlu
pelaksanaan langsung ke lapangan. Lapangan penelitian yang
digunakan untuk memperoleh data adalah Jorong Bukit Mindawa
Kenegarian Sikabau Kecamatan Pulau Punjung Kabupaten
Dharmasraya. Alasan memilih tempat tersebut sebagai tempat
penelitian karena Jorong Bukit Mindawa memiliki area persawahan
yang luas dan mata pencaharian masyarakat umumnya sebagai petani.
1.7.2 Informan Penelitian
Informan dalam penelitian adalah petani penggarap (13) dan
pemilik sawah (13). Dalam pemilihan informan, teknik yang
digunakan adalah purposive sampling, yaitu pengambilan berdasarkan
ciri-ciri atau sifat yang diperkirakan mampu mewakili segala ciri-ciri
dan sifat yang ada dalam populasi. Alasan memilih teknik ini karena
teknik purposive sampling digunakan untuk mendapatkan sampel
yang memang memahami seluk-beluk kerjasama maro sawah.
17

Parameter yang digunakan berdasarkan pengalaman, keahlian dalam


mengelola sawah. Parameter tersebut diharapkan mampu
memberikan keterangan yang relevan dengan penelitian (Narbuko,
2004: 116).
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik dalam pengumpulan data, di antaranya:
1.7.3.1 Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan langsung terhadap suatu objek penelitian
(Umar, 2001: 114). Tujuan dari observasi adalah untuk melihat
langsung fakta-fakta yang terjadi terkait dengan pelaksanaan maro
sawah dan bagi hasilnya di Jorong Bukit Mindawa.
1.7.3.2 Wawancara
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan
komunikasi antara pewawancara dengan informan. Wawancara yang
dilakukan adalah wawancara terbuka (Adi, 2004: 54). Dengan
wawancara terbuka, harapannya komunikasi menjadi fleksibel dan
tidak kaku, namun data bisa didapatkan dari informan (pemilik sawah
dan petani penggarap) terkait kerjasama bidang pertanian (maro
sawah) di Jorong Bukit Mindawa.
1.7.3.3 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak
memasuki lapangan dan setelah selesai di lapangan (Sugiyono, 2011:
254). Alasan memilih kualitatif sebagai teknik analisis karena data
yang terkumpul akan menggunakan metode analisis kualitatif yaitu
menggunakan pendekatan deskriptif dengan jalan mengumpulkan
data di lapangan kemudian data tersebut disusun dan dilakukan
menurut subjek dan pembahasan dalam menetapklan hukumnya yang
didasarkan kepada konsep mukhabarah.

Anda mungkin juga menyukai