12240120907
Abstrak
Penelitian ini mendokumentasikan implementasi sistem bagi hasil dalam al-Musaqah pada
buruh petik cabai. Melalui pendekatan kualitatif, data dikumpulkan melalui wawancara,
observasi, dan analisis dokumen. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa penerapan al-Musaqah
memberikan dampak positif pada keadilan ekonomi, efisiensi produksi, dan kesejahteraan buruh.
Temuan ini memberikan kontribusi pada pemahaman praktis sistem ekonomi Islam dalam
konteks pertanian, memotivasi pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan penerapan
model serupa, dan menyoroti potensi solusi bagi tantangan ekonomi di bidang buruh petik cabai.
Kata kunci: Al-Musaqah, kesejahteraan, buruh petik cabai, pembagian hasil, pemberdayaan,
partisipasi, hubungan kerja.
Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan zaman, keberlanjutan dan keadilan dalam sektor pertanian
menjadi semakin penting untuk diperhatikan. Salah satu konsep yang dapat diadopsi untuk
mencapai tujuan tersebut adalah Al-Musaqah, sebuah sistem kemitraan dalam Islam yang
memiliki potensi besar untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi, terutama dalam konteks
buruh petik cabai. Implementasi Al-Musaqah menjadi sebuah alternatif yang menjanjikan untuk
memperbaiki sistem pertanian yang seringkali diwarnai oleh ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Dalam konteks pertanian modern, khususnya pada buruh petik cabai, keberlanjutan tidak
hanya terkait dengan aspek ekonomi tetapi juga mencakup kesejahteraan sosial dan lingkungan.
Al-Musaqah sebagai sistem kemitraan menawarkan prinsip-prinsip yang dapat memperkuat relasi
antara pemilik lahan dan buruh petik cabai, dengan harapan dapat menciptakan lingkungan kerja
yang adil, produktif, dan berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki dan menganalisis bagaimana implementasi Al-
Musaqah dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan buruh petik cabai. Melalui
pendekatan ini, diharapkan dapat ditemukan solusi inovatif untuk meningkatkan kondisi sosial
dan ekonomi para buruh, sekaligus merangsang perkembangan pertanian yang berkelanjutan.
Dengan menggali lebih dalam implementasi Al-Musaqah dalam konteks buruh petik cabai,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi penting dalam pengembangan model
kemitraan yang lebih adil dan berkelanjutan di sektor pertanian, serta memberikan pandangan
baru terhadap upaya-upaya peningkatan kesejahteraan buruh.
Sistem bagi hasil dalam al-Musaqah menjadi model ekonomi yang menarik untuk diterapkan
pada sektor pertanian, khususnya pada buruh petik cabai. Penelitian ini bertujuan untuk menggali
dan menganalisis implementasi sistem tersebut, dengan fokus pada aspek keadilan, efisiensi, dan
dampaknya terhadap kesejahteraan buruh. Dalam konteks ekonomi Islam, penerapan al-Musaqah
diharapkan dapat memberikan solusi inovatif terhadap permasalahan ketidaksetaraan dan
pemberdayaan ekonomi.
Pertanian memiliki peran krusial dalam perekonomian, dan salah satu sektor yang memegang
peran penting dalam menyokong aktivitas ini adalah petik cabai. Meskipun menjadi tulang
punggung industri pertanian, buruh petik cabai seringkali dihadapkan pada tantangan ekonomi
dan sosial yang signifikan. Dalam upaya meningkatkan kondisi kesejahteraan para buruh petik
cabai, implementasi sistem Al-Musaqah menjadi suatu solusi yang menarik untuk dieksplorasi.
Ayat Al-Qur’an Tentang Musaqah
َّٰن
َوِفى ٱَأْلْر ِض ِقَطٌع ُّم َتَٰج ِوَٰر ٌت َوَج ٌت ِّم ْن َأْع َٰن ٍب َو َز ْر ٌع َو َنِخ يٌل ِص ْنَو اٌن َو َغ ْيُر ِص ْنَو اٍن ُيْس َقٰى ِبَم ٓاٍء َٰو ِح ٍد َو ُنَفِّض ُل َبْعَض َها َع َلٰى
َبْع ٍض ِفى ٱُأْلُك ِل ۚ ِإَّن ِفى َٰذ ِلَك َل َء اَٰي ٍت ِّلَقْو ٍم َيْعِقُلوَن
Artinya : Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun
anggur, tanaman-tanaman, dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami
dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain
tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berfikir.1
Menurut ulama tentang musaqah Para ulama fiqih seperti Abdurrahman al-Jaziri
sebagaimana dikutip dari buku Fiqih Muamala karya Abd
Rahman Ghazaly mendefinisikan musaqah sebagai akad untuk pemeliharaan pohon kurma,
tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.
1
Qs.Ar-raad ayat 4
A. Pengertian Musaqoh
Istilah Musaqah adalah bentuk mufa’alah dari Saqyu “pengairan”, dan bentuk mufa’alah ini
tidak mengandung arti sebagaimana biasanya. Artinya adalah mempekerjakan seseorang untuk
memelihara dan menjaga kebun kurma atau anggur atau lainnya dengan imbalan yang ditentukan
dari hasilnya.
Menurut syari’at, al-musaqah adalah penyerahan pohon kepada orang yang sanggup
mengairi atau memeliharanya sehingga buah dari pohon itu masak, dengan imbalan bagian
tertentu dari buah tersebut. Musaqah adalah kerjasama (syirkah) antara pemilik pohon dengan
pemelihara pohon dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama,
seperti setengah, sepertiga dan sejenisnnya.
.Musaqah yaitu menetapkan seseorang bekerja kepada pepohonan untuk dia menjaganya
dengan mengairinya dan memerhatikan kepentingannya, agar rizki berupa buah-buahan yang
diberikan Allah itu boleh dibagi bersama.
Sedangkan menurut jumhur ulama dalam hukum Islam, dinyatakan bahwa musaqah adalah
seseorang menyerahkan suatu tumbuhan (pohon) kepada seseorang yang lain untuk
menyiraminya dan mengurusnya dengan perjanjian akan mendapat bagian tertentu dari buahnya.
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan tersebut maka dapat dipahami bahwa
pengertian musaqah adalah menggunakan tenaga orang lain yang memiliki kemauan dan
kemampuan untuk mengurus kebun dengan memperoleh bagi hasil tertentu dari hasil kebun
tersebut. Tanaman yang dimaksud dengan dalam kerja sama ini adalah tanaman tua atau tanaman
keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah
untuk mengharapkan getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan kayunya. Perawatan
dalam kerja sama ini mencakup mengairi, menyiangi, merawat dan usaha lain yang berkenaan
dengan buahnya. Karena kerja sama disini dalam hal yang kerjanya maupun hasilnya
berketerusan, maka ukuran kerja sama ditentukan oleh waktu. Kerjasama dalam bentuk al-
musaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang
diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum pasti.
Berdasarkan beberapa pengertian dari al-musaqah yang telah dijelaskan tersebut, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa yang dinamakan dengan al- musaqah adalah bentuk perjanjian
bagi hasil antara pemilik kebun dengan pemelihara kebun. Dengan demikian al-musaqah
merupakan perrmu’amalahan.2
1. Al-Quran
Musaqah merupakan kerja sama bagi hasil antara pemilik tanah pertanian dengan
penggarapnya, Adapun ayatayat al-qur‟an yang membahas mengenai hal ini adalah terdapat
dalam firman Allah QS. Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi: 16 “Dan tolong-menolonglah kamu
2
Sa’di Abu Habib, Mausun’ atu al-ijmak, Terj: A Sahal Machludz dan Mustofa Bisri, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997), h.504. 5 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Ramawangun : Prenada Media, 2003) h. 243
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”
2. Hadist
Asas hukum musaqahialah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu
Umar r.a., bahwa Rasulullah Saw bersabda 3: “Memberikan tanah Khaibar dengan bagian separuh
dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan
bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari
hartanya, penghasilan separuhnyauntuk Nabi”.
Setiap pekerjaan dalam mua‟malah agama mensyaratkan adanya perjanjian atau kontrak
yang jelas, apabila pekerjaan tersebut dikerjakan dalam masa waktu yang lama, ketentuan ini
untuk menghindari percekcokan dimasa yang akan datang antara kedua belah pihak, ketentuan ini
dapat sipahami berdasarkan perintah al-qur‟an :2:282 4. Dalam perjanjian musaqah juga sangat
dibutuhkan adanya persyaratan-persyaratan yaitu:
a. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi harus orang yang memiliki kecakapan
hukum,(baligh dan berakal, tidak dibawah penampuan, milik sendiri).
b. Obyek musaqah itu harus terdiri dari jenis tumbuhan yang berbuah dan menghasilkan
tidak harus terhadap pohon yang memiliki akar kuat.
c. Lahan garapan diserahkan sepenuhnya kepada pihak penggarap setelah jelas akadnya.
e. Hasil garapan waktu panen merupakan hak bersama, sesuai dengan kesepakatan yang
dibuat.
f. Memuat masa garapan secara jelas agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari.
2. Rukun Musaqah
Selain beberapa syarat yang telah disebutkan sebelumnya, dalam musaqah juga memiliki
rukun yang harus dipatuhi sebagaimana perbuatan lainnya, jumhur ulama sepakat bahwa yang
menjadi rukun musaqah adalah sighat ijab qabul
3
Siswadi. (2018). Pemerataan Perekonomian Umat (Petani) Melalui Praktek Mukhabarah Dalam
Perspektif Ekonomi Islam. Jurnal Ummul Qura Volume.12 No.
4
Alimuddin. (2017). Praktek Musaqah dalam Masyarakat Aceh Utara (Suatu Analisis Perspektif Hadist). Jurnal
Penelitian Sosial Agama.
a. Dua pihak pelaku akad
b. Adanya kebun dan tanaman yang di musaqah 18
c. Jelas pembagian hasil
Menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti
kurma.Menurut ulama Malikiyah adalah tumbuhan seoerti kacang, pohon yan berbuah
dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lainnya
dengan dua syarat, yang pertama, akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat
diperjualbelikan.Kedua, akad ditentukan dengan waktu tertentu5.
3. Hikmah Musaqah
5
Alimuddin. (2017). Praktek Musaqah dalam Masyarakat Aceh Utara (Suatu Analisis Perspektif Hadist). Jurnal
Penelitian Sosial Agama
6
Rafika Chudriana Putri, et.’’ mengimplementasi Al-Musaqah pada kehidupan’’ Seminar Pengabdian
Masyarakat,nr. September 2019 (2019): 1–9.
7
Muslich, A. (2013).Fiqh Muamalah, Jakarta: Kreasindo Media Cita.
8
Orchidea ramadinata “Implementasi Al musaqah pada petani dalam meningkatkan pendapatan masyarakat
di kecamatan Simpang kanan kabupaten Aceh Singkil” Jurnal ekonomi syariah dan bisnis Islam
belah pihak. Manfaat yang bisa diperoleh antara lain bagi penggarap akan mendapatkan bagi hasil
sebagai upah kerja dan pemilik kebun akan mendapatkan berupa peningkatan produktifitas
kebun, keringanan untuk mengelola kebun dan yang paling penting bisa melakukan kergiatan
bermuamalah dan bisa saling membantu antara kedua belah pihak9.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam hal muamalat, Islam mengenal istilah maslahah, pada prinsipnya maslahah adalah
mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan
syara‟.Muamalat adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar
manfaatnya.Kerjasama yang dilakukan antara pemilik lahan dan penggarap diharapkan dapat
memberdayakan tenaga dan meningkatkan pendapatn petani dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Kerjasama dan pembagian hasil pendapatan dari usaha pertanian hendaknya dilakukan sesuai
dengan prinsip muamalah Islam yaitu secara adil dan saling ridha agar tidak adanya pihak-pihak
yang dirugikan.
HASIL PENELITIAN
Implementasi Bagi Hasil dalam Sistem Al-Musaqah Pada Buruh Petik Cabai
9
Indriani, S. (2016). Pelaksanaan Kerja Sama Musaqah Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Desa
Meringang Kecamatan Dempo Selatan Kota Pagaralam.Skripsi. Palembang: UIN Raden Fatah
Palembang
10
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.
Implementasi bagi hasil dalam sistem al-musaqah pada kebun Cabai ini dilakukan oleh dua
pihak, yaitu: pemilik kebun cabai dan buruh petik cabai.
Praktik perjanjian sistem bagi hasil sudah sejak lama di lakukan di desa pangkalan lesung,
dalam perjanjian bagi hasil yang di lakukan oleh masyarakat tidak menggunakan dasar acuan
apapun melainkan menggunakan kebiasaan setempat yang sudah berlangsung lama (Hukum
adat). Pada mulanya, pemilik kebun cabai datang meminta bantuan kepada buruh petik cabai
untuk mengelolah kebun miliknya dikarenakan mereka tidak memiliki waktu untuk menggarap
sendiri, serta tidak mempunyai keahlian untuk mengurus atau merawat kebun cabai miliknya.
Sedangkan buruh petik cabai juga memiliki alasan untuk melaksanakan kerjasama tersebut
salah satunya karena mereka tidak mempunyai kebun cengkeh, dan kalaupun ada kebunnya juga
kecil sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Proses berikutnya ketika pemilik sudah mendapatkan buruh petik (Orang Bapete) maka
buruh petik akan memanen cabai yang akan di panen tersebut kemudian di bagi dua (bagi hasil)
dengan pemilik. Proses bagi hasil antara buruh petik (orang bapete) dengan pemilik di lakukan
setelah proses buka tangkai atau dalam bahasa setempat adalah “Bacude”, setelah proses buka
tangkai (Bacude) tersebut barulah proses bagi dua (bagi sama) dengan cara mengukur
menggunakan kaleng bekas kaleng susu atau dalam bahasa setempat adalah “Cupa”. Setelah
proses bagi dua (bagi sama) menggunakan “cupa” maka proses selanjutnya adalah pemilik
membayar hasil cupa dari buruh petik (Orang Bapete) dengan di hargai sebesar Rp. 5000.
Pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara pemilik kebun cabai dan buruh tani cabai di desa
pangkalan lesung selama ini hanya secara lisan, dan dalam penentuan waktu memang tidak jelas
kapan dan bagaimana akan berakhir, tetapi yang terjadi selama ini di desa pangkalan lesung,
selama pemilik kebun cabai masih percaya dan buruh petik masih di percaya maka perjanjian ini
tidak akan berakhir.
Kerjasama antara pemilik kebun dan penggarap dalam Islam dikenal dengan sebutan al-
musaqah. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan praktik yang dilakukan oleh pemilik kebun dan
buruh petik cengkeh di pangkalan lesung serta bentuk perjanjian bagi hasil perkebunan ada
relevansinya dengan konsep mu‟amalah secara umum, yaitu hasil panen dibagi antara kedua
belah pihak sesuai kesepakatan tanpa adanya pihak yang merasa dirugikan dan yang menjadi
keutamaan adalah mengenai akad yang menentukan berlangsung atau tidaknya suatu perjanjian
tersebut.
Namun implementasi bagi hasil buruh tani cabai di desa pangkala lesung tidak sesuai secara
keseluruhan dengan musaqah sehingga cara seperti itu bisa dikatakan sebagai „urf yang dapat
dijadikan sebagai sumber hukum. “Urf adalah adat kebiasaan yang berlaku di sebuah daerah dan
dijadikan salah satu pertimbangan hukum Islam.„Urf adalah apa yang bisa dijalankan orang, baik
dalam kata-kata maupun perbuatan atau identik dengan adat atau kebiasaan.
A. Konsep urf tersebut pada kerjasama bagi hasil di Desa pangkalan lesung
Semua pelaksanaan nisbah hasil panen jelas dilakukan berdasarkan kepada kesepakatan
tanpa adanya tekanan atau paksaan dan relevan dengan akal sehat, perbuatan tersebut sudah
menjadi tradisi sendiri yang berpijak pada kemanfaatan dunia dan akhirat.
Pelaksanaan bagi hasil di Desa pangkalan lesung dapat dikatakan sesuai dengan syara‟.
Dilihat dari sudah terpenuhinya rukun dan syaratnya. Kesesuaian itu tidak didasarkan pada halhal
yang dilarang oleh syari‟at Islam.
Kerjasama dalam bidang pertanian mengandung kemaslahatan. Bagi hasil ini dapat
menumbuhkan rasa kekeluargaan untuk saling membantu dan juga memperkuat tali persaudaraan
baik untuk pemilik kebun maupun buruh petik.
Kerjasama antara pemilik kebun dan buruh petik membuka peluang bagi kedua belah pihak
dalam memperoleh pekerjaan yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan dan membawa
dampak pada kesejahteraan kedua belah pihak.
Pentingnya menyediakan upah bagi buruh petik cabai yang setidaktidaknya dapat memenuhi
kebutuhan pokok mereka agar tercipta keadilan dan pemerataan, disamping itu untuk menunjang
efisiensi kerja mereka, juga perlu menjaga upah agar tetap berada pada batas-batas kewajaran
agar mereka tidak menjadi pengkonsumsi semua barang-barang produksi. Sebagian karena alasan
yang sama yaitu keadilan dan sebagian lagi alasan untuk mendorong serta mempertahankan pada
tingkat kehidupan yang layak.
Upah diberikan buruh petik cengkeh agar terjadi peningkatan kesejahteraan. Kesejahteraan
oleh sebagian masyarakat selalu dikaitkan dengan konsep kualitas hidup. Sama halnya dengan
kesejahteraan berdasarkan maqashid syari‟ah yang menggunakan konsep falah yang merupakan
tujuan hukum Islam untuk menjaga kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Kerjasama antara pemilik dan buruh petik sangat membantu perekonomian para buruh petik.
Salah seorang buruh petik mengatakan: “Bagi hasil yang diberikan kepada saya boleh dikatakan
mampulah mencukupi kebutuhan keluarga.
Senada dengan itu, wawancara dengan buruh petik lainnya yang mengatakan: “Banyak sekali
dampak yang saya rasakan dengan adanya bagi sama ini seperti adanya pendapatan dari panen
cengkeh karena saya tidak punya kebun cengkeh, tidak punya pekerjaan tetap karena saya
hanyalah buruh petik dan yang paling penting adanya tambahan penghasilan untuk kebutuhan
sehari-hari.
Kesejahteraan buruh petik cengkeh jika ditinjau dalam Maqasid Syariah. Imam Syatibi
membagi kebutuhan manusia menjadi tiga yaitu: dharuriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah.
Dharuriyyah memegang derajat maslahah tertinggi karena manusia tidak dapat hidup tanpanya.
Maslahah setalah dharuriyyah adalah hajiyyah.
Berikut kesejahteraan buruh petih cengkeh ditinjau dari terpehuhnya kebutuhan dharuriyyah.
Ada lima kebutuhan dharuriyyah .
Salah satu bentuk penjagaan terhadap agama yang dilakukan oleh buruh petik cabai di
pangkalan lesung yaitu menjalakan shalat lima waktu. Rutinitas mereka sebagai buruh petik cabai
tidak menjadikan alasan untuk meninggalkan sholat. Berdasarkan hasil wawancara pada salah
satu buruh petik cengkeh yag mengatakan ”sebagai seorang muslim saya tidak perna melupakan
kewajiban saya untuk sholat lima waktu ketika masuk waktu shalat saya menghentikan pekerjaan
sejenak untuk sholat dan melanjutkan lagi setelahnya”.
Bentuk penjagaan jiwa yang dilakukan oleh buruh petik cabai yaitu ketersediaan kebutuhan
sandang, papan dan pangan. Pola konsumsi yang diterapkan oleh buruh petik cabai yaitu dengan
mengatur sesuai dengan kebutuhan dan tidak berlebihan. Tersedianya pangan yang mampu
memenuhi kebutuhan gizi dan asupan bagi mereka sehingga hal tersebut berdampak pada
kesehatan fisik maupun jiwa.
Begitupun dengan tersedianya sandang dan papan yang baik mampu membuat hidup mereka
terasa nyaman dan aman yang tentunya akan berdampak pada kesehatan psikis dan jiwa mereka.
Salah seorang diantara mereka mengatakan bahwa “Alhamdulillah kami makan 3 kali sehari
walaupun seadanya, tempat tinggalpun milik sendiri walaupun rumah kami kecil dan sederhana
tapi saya dan keluarga merasa nyaman.
Buruh petik cabai dalam upaya menjaga akal yakni dengan meningkatkan kebutuhan pokok di
rumah tangga pengetahuan dan tidak mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat merusak
akal seperti narkoba ataupun alhkohol. Bentuk kegiatan yang dilakukan buruh petik cabai dalam
menjaga akal yakni menyibukkan diri melalui aktivitas yang bermanfaat seperti berternak dan
bertani serta menjauhkan diri dari aktivitas yang dapat merusak akal seperti berjudi dan mabuk-
mabukan.
Wawancara kepada salah satu buruh petik cabai mengatakan “saya berusaha menghidari judi
ataupun mabukmabukan, kalau iman tidak kuat kita bisa ikut-ikutan berjudi dan mabukmabukan
apalagi disini masih ada segelintir orang yang melakukan praktek perjudian dan pesta miras”.
Bentuk penjagaan terhadap keterunan yang dilakukan oleh buruh petik cabai yakni mendidik
dan mengawasi anak-anak mereka dari pergaulan yang tidak baik seperti mengkomsumsi
narkoba, minuman keras dan sebagainya. Selain itu upaya yang dilakukan oleh buruh petik cabai
dalam menjaga keturunannya yaitu dengan menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan
tinggi. “saya punya 3 anak dan alhmdulillah semuanya saya sekolahkan.
Tahun depan anak pertama saya sudah mau masuk keperguruan tinggi. Insyallah kalau
panjang umur saya akan kuliahkan anak saya”. Selain mendidik anak upaya yang dilakukan oleh
buruh petik dalam menjaga keturunannya yaitu dengan menjaga kesehatan anak-anak mereka.
“Alhamdulillah dengan adanya bantuan dari pemerintah jika anak saya sakit.. saya tidak
mengalami kendala berobat ke rumah sakit dan saya juga tidak perlu mengeluarkan biaya yang
banyak”.
Bentuk penjagaan terhadap harta yang dilakukan oleh buruh petik cabai yaitu tidak
menggunakan hasil jerih payahnsya untuk berfoya-foya , menjaga hartanya dari unsur riba, gharar
dan maisir dan juga bersedekah. “Alhamdulilah kalau ada kelebihan rezeki saya terkadang
memberikan sebagian rezeki saya ke mesjid kadang juga saya patungan sama teman-teman”. Ujar
salah seorang diantaranya.
Berdasarkan pemaparan dari wawancara diatas, penulis menyimpulkan bahwa dengan adanya
kerjasama yang terjalin antara pemilik kebun dan buruh petik cengkeh akan berdampak pada
kesejahteraan baik pemilik kebun maupun buruh petik. Adanya kerjasama tersebut akan
menambah penghasilan dari buruh petik sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan sandang,
papan dan pangan.
Jika ditinjau berdasarkan konsep kesejahteraan menurut imam Syatibi jelas bahwa
kesejahteraan dalam konsep ekonomi Islam adalah sebuah sistem yang menganut atau melibatkan
faktor atau variabel keimanan (nilai-nilai Islam) sebagai salah satu unsur fundamental dalam
mencapai kesejahteraan individu yang kolektif sebagai suatu masyarakat dan negara yang dapat
mengantarkan seseorang dan masyarakat beriman kepada puncak maqashid syari‟ah.
Sebagaimana menurut Imam Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain
untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudharatan (jalbul mashalih wa dar‟ul
maqashid). Bagi hasil musaqah buruh petik cengkeh sejatinya mengantarkan buruh petik cengkeh
kepada kemaslahatan.
KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, implementasi Al-Musaqah dalam konteks buruh petik cabai telah
terbukti memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kesejahteraan mereka. Melalui
pembagian hasil yang adil, dikenal dengan istilah “bagi dua” (Bagi Sama) 50:50. Ukuran yang
digunakan untuk mengukur pembagian hasil panen cabai yaitu menggunakan timbangan, dan bekas
kaleng susu atau disebut dalam bahasa setempat “cupa”. Berdasarkan temuan penelitian, dapat
disimpulkan bahwa Al-Musaqah bukan hanya sekadar sistem kemitraan, tetapi juga menjadi
landasan bagi hubungan kerja yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Pentingnya pembagian hasil yang adil dalam sistem Al-Musaqah terbukti menjadi salah satu
elemen kunci dalam meningkatkan kesejahteraan buruh petik cabai. Dengan adanya mekanisme
yang mengakui kontribusi setiap pihak dan memberikan imbalan yang sesuai, motivasi dan
produktivitas buruh meningkat, menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan harmonis.
Harisuddin, M.Noor .Urf Sebagai Sumber Hukum Islam (Fiqh) Nusantara, Jurnal Al-Fikr , Vol.20
No.1 (2016).
Indriani, S. (2016). Pelaksanaan Kerja Sama Musaqah Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di
Desa Meringang Kecamatan Dempo Selatan Kota Pagaralam.Skripsi. Palembang: UIN
Raden Fatah Palembang.
Sa’di Abu Habib, Mausun’ atu al-ijmak, Terj: A Sahal Machludz dan Mustofa Bisri, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997), h.504. 5 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Ramawangun : Prenada Media, 2003) h. 243
Siswadi. (2018). Pemerataan Perekonomian Umat (Petani) Melalui Praktek Mukhabarah
Dalam Perspektif Ekonomi Islam. Jurnal Ummul Qura Volume.12 No. 2.
Verra Nita,S. (2020). The Muzara'ah Dan Musaqah Study (Agricultural Production Sharing
Law In Islam). Jurnal Qawanin. 4 (2)
Wahab, W., & Pamungkas, P. (2019). Pengaruh Harga Dan Biaya Terhadap Pendapatan
Petani Kelapa Sawit Pada KUD Cinta Damai di Kecamatan Tapung Hilir. Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Volume. 10 No. 1.
Wardi Muslich, A. (2013).Fiqh Muamalah, Jakarta: Kreasindo Media Cita.