Anda di halaman 1dari 24

Makalah Perbedaan antara Bank Syari’ah dan Bank Konvensional

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bank Syari’ah

Disusun Oleh:

KELOMPOK 2

Oza Rahmah Tiara 1709617005

Annisa Denaputri 1709617046

Shafila Tasya K. P 1709617068

Dosen Pengampu:

Achmad Fauzi, S.Pd., M.Ak

PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Jakarta, September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
A. Persamaan Kegiatan antara Bank Syari’ah dan Bank Konvensional ........... 3
B. Akad dan Aspek Legalitas ........................................................................... 6
C. Lembaga Penyelesai Sangketa ..................................................................... 8
D. Struktur Organisasi yang dimiliki Bank Syari’ah ........................................ 9
E. Sistem bisnis dan usaha yang dibiayai Bank Syari’ah ............................... 14
F. Lingkungan Kerja dan Corporate Culture .................................................. 15
G. Perbandingan Bank Syariah dan Konvensional......................................... 16
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 19
A. Kesimpulan ................................................................................................ 19
B. Saran ........................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan perbankan di Indonesia sebelum tahun 1992 didominasi


oleh bank-bank konvensional. Dimana menjalankan kegiatan operasionalnya,
perbankan konvensional menghimpun dana nasabah dengan memakai konsep
“bunga”. Lambat laun masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama Islam satu persatu mulai menyadari bahwa sistem bunga yang
terdapat dalam bank konvensional termasuk dalam perbuatan riba. Sistem riba
tersebut merupakan sebuah pelanggaran terhadap syari’at agama dan
merupakan suatu perbuatan dosa.

Semenjak adanya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992


menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan,
terdapat kesempatan yang besar bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang
menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prnsip-prinsip syari’ah,
termasuk pemberian kepada bank umum untuk membuka kantor cabangnya
yang meng khusus melaksanakan kegatan syari’ah.

Perbankan berdasarkan prinsip syari’ah perlu ditingkatkan untuk


menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang mengingnkan sistem
perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip-prinsip syari’ah agar dapat
diterapkan dalam segenap kehidupan bisnis dan transaksi umat. Upaya
pengemabangan perbankan syari’ah di Indonesia sebenarnya bukan hanya
berupa konsekuensi yuridis Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang
Bank Indonesia saja, akan tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
upaya penyehatan sistem perbankan konvensional yang bertujuan
meningkatkan daya tahan perekonomian Nasional (Zaini, 2007).

Perbankan berdasarkan prinsip syari’ah sebenarnya bank-bank yang


mendasari produk-produknya dan pelaksanaan kepada hukum Islam (Al-

1
Qur’an dan As-Sunnah) dalam operasionalnya perbankan berdasarkan prinsip
syari’ah tetap mengadopsi pola pengopersian dan prosedur dari bank
konvensional selama hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syari’ah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat


dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana persamaan kegiatan antara Bank Syari’ah dan Bank
Konvensional?
2. Bagaimana akad dan dan aspek legalitas Bank Syari’ah?
3. Apa yang dimaksud lembaga penyelesaian sengketa pada Bank Syari’ah?
4. Bagaimana Struktur Organisasi yang dimiliki Bank Syari’ah?
5. Bagaimana sistem bisnis dan usaha yang dibiayai Bank Syari’ah?
6. Bagaimana lingkungan kerja dan corporate culture dalam Bank Syari’ah?
7. Bagaimana perbandingan antara Bank Syari’ah dan Konvensional?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Memahami persamaan kegiatan antara Bank Syari’ah dan Bank
Konvensional
2. Memahami akad dan dan aspek legalitas Bank Syari’ah
3. Mengetahui yang dimaksud lembaga penyelesaian sengketa pada Bank
Syari’ah
4. Memahami Struktur Organisasi yang dimiliki Bank Syari’ah
5. Memahami sistem bisnis dan usaha yang dibiayai Bank Syari’ah
6. Memahami lingkungan kerja dan corporate culture dalam Bank Syari’ah
7. Memahami perbandingan antara Bank Syari’ah dan Konvensional

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Persamaan Kegiatan antara Bank Syari’ah dan Bank Konvensional


Bank adalah suatu usaha berbadan hukum yang bergerak dibidang jasa
keuangan. Dalam pasal 1 angka (2) Undang-Undang Perbankan bahwa bank
sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit aatau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hiduo rakyat banyak.
Terdapat beberapa persamaan antara Bank Konvensional dengan Bank
Syari’ah yang terletak pada salah satu tujuannya yaitu dalam mencari
keuntungan dan pelayanan masyarakat dalam lalu lintas uang. Menurut Pasal
3 Undang-Undang Perbankan, fungsi utama perbankan Indonesia adalah
sebagai penghimpun dana dan penyalur dana masyarakat. Sedangkan dalam
pasal 4 Undang-Undang Perbankan, perbankan Indonesia bertujuan menunjang
perkembangan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
Bank berdasarkan prinsip syari’ah memiliki tujuan meningkatkan
partisipasi masyarakat terhadap lembaga perbankan dikarenakan sebagian
masyarakat yang masih mempermasalahkan metode bunga. Dengan adanya
metode bagi hasil diharapkan dapat dijadikan sebagia alternatif terhadap
masyarakat yang mempermasalahkan atau meragukan metode bunga (Zaini,
2007).

3
Perbandingan produk-produk kedua bank dapat dilihat sebagai berikut:
1. Penghimpunan Dana

No. Produk/Jasa Prinsip Syari’ah

1. Giro Wadi’ah yad dhamanah

2. Tabungan Wadi’ah yad dhamanah dan mudharabah

3. Desposito Mudharabah

4. Simpanan Khusus Mudharabah muqayyadah

Tabel 1 : Penghimpunan Dana


Sumber : Data Primer yang Diolah, tahun 2007

2. Penyaluran Dana dan Jasa Perbankan


No. Produk/Jasa Prinsip Syari’ah
1. Dana Tabungan Qard
2. Penyertaan Musyarakah
3. Sewa Beli
4. Pembiayaan Modal Ijarah muntahiyah bittamlik (Ijarah Iqtina =
Kerja leasing/lease to purchase)
5. Pembiayaan Proyek Mudharabah atau musyarakah
6. Pembiayaan sektor Ba’ as salam (purchase with deffered
pertanian delivery)
7. Pembiayaan untuk Ijazah muntahiya bittamik
Akuisisi Aset
8. Pembiayaan Ekspor Mudharabah (trusfinancing), musyarakah
(partnership financing) dan murabahah
9. Anjak Piutang Hiwalah
10. Letter of Credit Wakalah
11. Garansi Bank Kafalah
12. Inkasso, transfer Wakalah dan hawalah

4
13. Pinjaman Social Qardhul hasan (beneficence loans)
14. Surat berharga Musharabah, qardh, ba’i al dayn
15. Safe deposit box Wadi’ah amanah
16. Jual beli valas Sharf
17. Gadai Rahn
Tabel 2 : Penyaluran Dana dan Jasa Perbankan.
Sumber Data Primer yang Diolah, Tahun 2007

Bank syari’ah dan konvensional memiliki persamaan diantaranya dalam


sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang
digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP,
proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Namun dibalik persamaan
tersebut juga terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut menyangkut aspek legal,
stuktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja. Secara khusus
perbedaan tersebut tergambar dalam tabel dibawah ini (Zaini, 2007):

Bank Syari’ah Bank Konvensional

Akad dan Hukum Islam dan Hukum Positif


Aspek Hukum Positif
Legalitas

Lembaga Badab Arbitrase Badan Arbitrase


Penyelesaian Syari’ah Nasional Nasional Indonesia
Sengketa (BASYARNAS) (BANI)

Struktur Ada Dewan Syari’ah Tidak ada Dewan


Organisasi Nasional dan Dewan Syari’ah Nasional
Pengawas Syari’ah dan Dewan
Pengawas Syari’ah

Investasi Halal Halal dan Haram

5
Prinsip Bagi Hasil, jual beli, Perangkat Bunga
Organisasi sewa

Tujuan Profit dan falah Profit Oriented


orientasi

Hubungan Kemitraan Debitur-Kreditur


Nasabah

B. Akad dan Aspek Legalitas


Dalam bank syari’ah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi
dan ukhuawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali
nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila
hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila
perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yauwil qiyamah
nanti.
Akad merupakan perjanjian tertulis yang dibuat dihadapan atau diketahui
oleh notaris dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh bank. Dalam
pembuatan akad bagi lembaga perbankan berdasarkan prinsip syari’ah harus
mengandung asas-asas yaitu:
1. Asas Ridha’iyyah (rela sama rela)
Asas Ridha’iyyah ialah bahwa transaksi ekonomi Islam dalam bentuk
apapun yang dilakukan perbankan dengan pihak lain terutama nasabah
harus didasarkan atas dasar rela sama rela yang hakiki.
2. Asas Manfaat
Asas ini mengandung maksud bahwa akad yang dilakukan oleh bank
dengan nasabah berkenaan dengan hal-hal (objek) yang bermanfaat bagi
kedua belah pihak, dalam artian bahwa objek yang diperjanjikan harus jelas,
tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan
kesusilaan.

6
3. Asas Keadilan
Asas dimana para piak yang bertransaksi (bank dan nasabah) harus berlaku
dan diperlakukan adil dalam konteks pengertian yang luas dan konkret. Hal
ini didasarkan pada sejumlah ayat Al-Qur’an yang menjunjung tinggi
keadilan dan anti kezaliman terutama pengertian kezaliman dalam bentuk
riba yang tersurat dalam Qur’an Surat Al-Hadist Ayat 25.
4. Asas Saling Menguntungkan
Setiap yang akan dilakukan oleh para pihak harus bersifat memberi
keuntungan bagi mereka. Itulah sebabnya mengharamkan transaksi yang
mengandung unsur gharar (penipuan) karena hanya akan menguntungkan
satu pihak dan merugikan pihak yang lain. (Zaini, 2007)

Setiap akad dalam perbankan syari’ah, baik dalam hal barang, pelaku
transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti
hal-hal berikut:
1. Rukun, seperti:
a. Penjual
b. Pembeli
c. Barang
d. Harga
e. Akad/ijab-qabul
2. Syarat, seperti syarat-sarat berikut:
a. Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atau barang dan jasa
yang haram menjadi batal demi hukum syari’ah
b. Harga barang dan jasa harus jelas
c. Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya
transportasi
d. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
Tidak boleh menjual sesuatu yang dimiliki atau dikuasai seperti
yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar moda (Antonio,
2001).

7
C. Lembaga Penyelesai Sangketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah
terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, maka
terhadap sengketa tersebut terdapat alternatif dalam penyelesaiannya. Para
pihak yang bersengketa dapat menyelesaikannya di peradilan umum/ di badan
arbitrase yang menjalankan hukum materiil berdasarkan syari’ah.
Secara sederhana, arbitrase dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian
sengketa di luar lembaga peradilan dengan menyerahkan urusan perkara
kepada para arbiter. Kemudian, arbiter menjembatani dibuatnya
kesepakatan/perjanjian tertulis yang bersifat final dan mengikat kedua belah
pihak yang berselisih. Secara umum, persoalan tentang arbitrase ini telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Arbitrase menjadi salah satu alternatif terbaik penyelesaian sengketa
karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Di antaranya seperti: lebih
efisien dari segi waktu dan biaya, penyelesaian yang bersifat win-win
solution, tidak terbuka untuk umum sehingga bersifat rahasia, pelaksanaan
yang lebih fleksibel dibandingkan dengan penyelesaian persidangan, dan hasil
kesepakatan yang bersifat final dan mengikat.
Badan arbitrase ini dimaksudkan untuk menangani setiap permasalahn
hukum yang timbul secara lebih efisien dan efektif serta sejalan dengan nilai-
nilai syari’ah. Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan
prinsip syari’ah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah
di Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan
Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 29
Desember 1992.
Lalu, pada tanggal 24 Desember 2003, berdasarkan keputusan MUI nomor
kep-09/MUI/XII/2003, BAMUI resmi diubah menjadi Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS). Lembaga ini bertugas menangani berbagai
sengketa bisnis, baik bagi mereka yang beragama Islam maupun non-Islam dan

8
diharapkan dapat bekerja secara efektif sehingga permasalahan yang timbul
dapat diselesaikan secara benar dan menurut syari’at-syari’at Islam (Antonio,
2001).

D. Struktur Organisasi yang dimiliki Bank Syari’ah

Bank Syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank


konvensional misalnya, dalam hal komisaris dan direksi tetapi unsur yang amat
membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan
adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank
dan produk produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat
dewan komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari
setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu biasanya
penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh rapat umum
pemegang saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat
rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.

1. Dewan Pengawas Syariah (DPS)


Dapat disimpulkan peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas
Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar
selalu sesuai dengan ketentuan ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-
transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding
bank konvensional. Karena itu diperlukan garis panduan (guidelines) yang
mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dewan
Syariah Nasional.
Dewan Pengawas Syariah harus membuat pernyataan secara berkala
biasanya tiap tahun bahwa bank yang diawasi nya telah berjalan sesuai
dengan ketentuan Syariah pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan
(Annual Report) bank bersangkutan.
Tugas lain Dewan Pengawas Syariah adalah meneliti dan membuat
rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan demikian,

9
Dewan Pengawas Syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum
suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah
Nasional. Mekanisme kerja DPS dapat digambarkan sebagai berikut.

2. Dewan Syariah Nasional (DSN)


Pada tahun 2000, lampiran II dari SK MUI No. Kep-
754/MUI/II/99 tentang Pembentukan Dewan Syariah Nasional
dijadikan pedoman dasar Dewan Syariah Nasional melalui Keputusan
DSN-MUI No. 01 Tahun 2000, bahwa tugasdari DSN adalah sebagai
berikut:1
a. Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam
kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya;
b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan;
c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syari’ah;
d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di Tanah
Air, berkembang pulalah jumlah DPS yang berada dan mengawasi
masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya DPS di
masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus
disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan
adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing

1
Jaih Mubarok, “Struktur DSN-MUI”, artikel diakses pada 06 Oktober 2019 dari
http://majelispenulis.blogspot.com/2016/05/peran-dewan-syariah-nasional.html

10
DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah.
Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi
keislaman di Tanah Air, menganggap perlu dibentuk satu dewan syariah
yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan,
termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kemudian dikenal
dengan Dewan Syariah Nasional atau DSN.
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan
hasil rekomendasi lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun
yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis
Ulama Indonesia dipimpin oleh ketua umum Majelis Ulama Indonesia dan
sekretaris (ex-officio) kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional
dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan
sekretaris serta beberapa anggota.2
Keberadaan DPS telah hadir terlebih dahulu dari DSN, tidak
ditinggalkan dalam mekanisme pelaksanaan tugas-tugas DSN. Dewan
Syariah Nasional tetap memerlukan DPS dalam melakukan
pengawasan pelaksanaan syari’ah pada masing-masing LKS. Untuk
itu, DSN memiliki kewenangan berikut ini dalam rangka menjalankan
tugas yang telah diberikan kepadanya sebagaimana diaturdalam
Keputusan DSN-MUI No.01 Tahun 2000, yaitu:
a. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di
masing-masing Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar
tindakan hukum pihak terkait.
b. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen
Keuangan dan Bank Indonesia.
c. Memberikan rekomendasi dan/ atau mencabut rekomendasi nama-
nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada
suatu lembaga keuangan syariah.

2
Buku Perbankan Syariah

11
d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang
diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
e. Memberikan peringatan kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional.
f. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan
apabila peringatan tidak diindahkan.3
Keharusan Dewan Pengawas Syariah di setiap perseroan yang
melakukan usaha berbasis syariah sudah diamanatkan dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (PT). Berikut
kutipan Pasal 109 dalam UU itu:4
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan
Pengawas Syariah.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas
rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-
produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam.
Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-
lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya.
Untuk keperluan pengawasan tersebut Dewan Syariah Nasional membuat
garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum
Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi dewan pengawas
syariah pada lembaga lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar
pengembangan produk produknya.

3
Jaih Mubarok, “Struktur DSN-MUI”, artikel diakses pada 06 Oktober 2019 dari
http://majelispenulis.blogspot.com/2016/05/peran-dewan-syariah-nasional.html
4
Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2010), h. 51. 4Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas, LNRI Tahun 2007 Nomor 106 dan TLNRI 4756

12
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan
memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga
keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh
manajemen telah direkomendasikan oleh dewan pengawas Syariah pada
lembaga yang bersangkutan.
Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan
rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan Sebagai dewan Syariah
nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga
keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis
panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika dewan Syariah
Nasional telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada
lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.
Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran
yang diberikan Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada
otoritas yang berwenang seperti Bank Indonesia dan Departemen
Keuangan, untuk memberi sanksi agar perusahaan tersebut tidak
mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai
dengan syariah. Secara garis besar tugas dan mekanisme kerja DSN dapat
digambarkan sebagai berikut.5

5
Buku perbankan syariah

13
E. Sistem bisnis dan usaha yang dibiayai Bank Syari’ah

Dalam bank syariah bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari
saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai
usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.
Pemberian modal kerja syariah dapat dibagi menjadi beberapa komponen
yaitu: sebagai alat likuid (cash), piutang dagang (receivable), dan persediaan
(inventory) yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku (raw material),
persediaan barang dalam proses (work in process), dan persediaan barang jadi
(finished goods) .
Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau
kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing), pembiayaan piutang
(receivable financing), dan pembiayaan persediaan (inventory financing).
Bank syariah dapat memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja dengan
menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak
sebagai penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai
pengusaha (mudharib).
Skema pembiayaan seperti ini disebut dengan mudharabah (trust
finanshing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu,
sedangkan bagi hasil dibagi secara periodic dengan nisbah yang telah
disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut
beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.6
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan tujui sebelum
dipastikan beberapa hal pokok diantaranya sebagai berikut

1. Apakah objek pembiayaan halal atau haram

2 .Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat

3. Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum atau asusila

6
Admin, Money Smart, “Pembiayaan atau Pinjaman Modal Usaha Bank Syariah”, artikel diakses
pada tanggal 06 Oktober 2019 dari https://www.moneysmart.id/pembiayaan-atau-pinjaman-modal-
usaha-bank-syariah/.html

14
4. Apakah proyek berkaitan dengan perjudian

5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau
berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal
6. Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam baik secara langsung maupun
tidak langsung

F. Lingkungan Kerja dan Corporate Culture

Bank Syariah merupakan bank yang berjalan sesuai dengan sistem dan
aturan Islam. Salah satu hal yang diatur Islam dalam hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya adalah sikap kita. Muhammad sebagai tokoh panutan
bagi umat Muslim memiliki sifat-sifat utama yang patut ditiru dan dijadikan
budaya oleh kita, antara lain sikap shiddiq, amanah, tabligh, dan fathahnah.

Shiddiq artinya benar, bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga
perbuatannya juga benar sejalan dengan ucapannya. Amanah artinya benar-
benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang
percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.Tabligh
artinya menyampaikan. Sedangkan Fathahnah artinya Cerdas.

Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan


dengan syariah.Dalam hal etika misalnya sifat amanah dan shiddiq harus
melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutuf muslim
yang baik. Disamping itu karyawan bank syariah harusskillful dan profesional
(fathahnah) dan mampu melakukan tugas-tugas secarateamworkdimana
informasi merata di seluruh fungsi organisasi (tabligh).Demikan pula dalam
hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan
syariah.

Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan
cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang

15
membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah
laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus
senantiasa terjaga. Nabi Muhammad SAW. mengatakan bahwa senyum adalah
sedekah.

G. Perbandingan Bank Syariah dan Konvensional


Perbandingan antara bank syariah dengan bank konvensional disajikan
dalam tabel berikut7.

Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah hanya melakukan


investasi dari bidang usaha yang halal saja. Ini berarti seseorang dapat
meminjam dana dari bank syariah hanya untuk bidang usaha yang halal
menurut hukum Islam. Sedangkan bank konvensional tidak mementingkan
halal atau haramnya suatu usaha yang didanainya, asalkan tidak melanggar
ketentuan dan hukum yang berlaku, nasabah bisa meminta pendanaan dari
bank konvensional.

7
Sumber tabel: Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah: dari teori ke praktik. Gema Insani.

16
Perbedaan selanjutnya berasal dari prinsip yang digunakan dalam
pembagian keuntungan. Bank syariah menggunakan prinsip bagi hasil sesuai
dengan perjanjian yang telah disetujui sebelumnya. Dalam hal ini, sebelum
bank syariah memberikan dana kepada nasabah, bank syariah pertama-tama
menganalisis kemungkinan untung dan rugi usaha yang akan didanai. Jika
dinilai tidak menguntungkan, pendanaan maka akan ditolak oleh bank
syariah. Berbeda dengan bank konvensional yang menggunakan sistem bunga
pada semua pinjaman kepada nasabah. Dalam pendanaan usaha, ini berarti
bank konvensional menganggap pendanaan yang diberikan kepada nasabah
akan selalu memperoleh keuntungan. Untuk keterangan lebih jelas dapat
dijelaskan dalam tabel berikut8:

Selain itu, dalam melakukan usahanya bank syariah tidak hanya semata-
mata mementingkan profit, namun juga mementingkan falah. Menurut Ustaz
Thuba Jazil bin Damanhuri, falah secara bahasa diambil dari aflaha-yuflihu

8
Sumber tabel: https://www.maxmanroe.com/perbedaan-bank-syariah-dan-bank-konvensional.html

17
yang berarti kemenangan, kesuksesan, dan kemuliaan. Kemenangan dan
kemuliaan yang dimaksud adalah dalam hidup di dunia dan diakhirat9.

Perbedaan lainnya terdapat pada pengawasan. Bank syariah dalam


menjalankannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dewan
Pengawas Syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi
serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.Dewan
Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS maupun BPRS. Dewan Pengawas Syariah
(DPS) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi
Majelis Ulama Indonesia.

9
Dikutip dari Kelana, I. (2017, November 6). Apa Arti Falah dalam Ekonomi Islam? Dipetik
September 28, 2019, dari Republika: https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-
ekonomi/17/11/06/oyzgev374-apa-arti-falah-dalam-ekonomi-islam

18
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Terdapat beberapa kesamaan antara bank konvensional dan perbankan
syari’ah selain terletak pada fungsi dan tujuannya juga terdapat kesamaan
terutama dalam sisi teknis penghimpunan dana, penyaluran dana dan jasa
perbankan, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan serta
persyaratan umum pembiayaan.
Selain terdapat persamaan antara kedua bank tersebut terdapat juga
perbedan yang mendasar diantara keduanya, yaitu bank konvensional
memakai bunga, bertujuan profit oriented, hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan debitur-kreditur, tidak membedakan investasi halal dan
haram, serat tidak memiliki dewan pengawas syari’ah. Sedangkan, bank
syari’ah menggunakan metode marjin keuntungan, dengan metode bagi
hasil, profit/falah oriented, hubungan dengan nasabah secara kemitraan,
investasi pada bidang yang halal, dan operasional harus sesuai dengan
arahan dewann pengawas syari’ah.
Secara khusus perbandingan bank Syari’ah dan Bank Konvensional
dapat dilihat dari akad dan aspek legalitas yaitu, bank konvensional hanya
menggunakan hukum positif sedangkan bank berdasarkan prinsip syari’ah
menggunakan hukum Islam dan hukum positif. Dalam penyelesaian
permasalahan, bank konvensional secara umum menggunakan pengadilan
umum sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah atau dapat secara non
litigasi dengan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dan kemudian Bank
Indonesia dapat bertindak sebagai badan pembina dan pengawas untuk
memberikan sanksi. Untuk bank menggunakan prinsip syari’ah
menggunakan Badan Arbitrase Stari’ah Nasional (Basyarnas).
Dalam hal menjalankan kegiatan pebankan konvensional diharapkan
dapat lebih memperhatikan prinsip-prinsip dalam perbankan agar tidak
terjadi kesalahan-kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian suatu bank

19
Dalam lembaga perbankan berdasarkan prinsip syari’ah dapat menjadi
alternatif bagi masyarakat yang masih meragukankonsep bunga, sehingga
tidak ada lagi masyarakat yang merasakan kekhawatiran tentang riba.

B. Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Kedepannya, kami akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran
mengenai pembahasan makalah ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M. S. (2001). BANK SYARI'AH : Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press.
Zaini, Z. D. (2007). Perbandingan Aspek Hukum Perbankan Konvensional dan Perbankan
Prinsip Syari'ah dalam Kegiatan Operasional Lembaga Perbankan di Indonesia.
PRANATA HUKUM Volume 2 Nomer 2 , 126.
Brian, R. (t.thn.). 7 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional di Berbagai Bidang.
Dipetik September 28, 2019, dari Maxmanroe.com:
https://www.maxmanroe.com/perbedaan-bank-syariah-dan-bank-
konvensional.html
Kelana, I. (2017, November 6). Apa Arti Falah dalam Ekonomi Islam? Dipetik September
28, 2019, dari Republika: https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-
ekonomi/17/11/06/oyzgev374-apa-arti-falah-dalam-ekonomi-islam

21

Anda mungkin juga menyukai