2021/2022
MATA UJIAN : HAK ASASI MANUSIA
JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL 2021/2022
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
DESEMBER 2021
1. Jelaskanlah apa yang saudara pahami mengenai hak asasi manusia dan hukum
hak asasi manusia?
Hak Asasi Manusia Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Sehingga dapat dipahami bahwa Hak Asasi
Manusia adalah suatu seperangkat hak yang keberadaannya sudah melekat pada hakikat
ketika manusia itu ada sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai suatu
anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat sebagai manusia. Berdasarkan Pasal 28I Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 4 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Hukum Hak Asasi Manusia adalah ssuatu seperangkat peraturan yang
didalamnya berisi penjaminan hukum, perlindungan hukum, dan penegakan hukum
terkait Hak Asasi manusia yang dikeluarkan oleh lembaga hukum negara agar terjamin
pelaksanaan Hak Asasi Manusia di suatu negara.
2. A. Jelaskan kapan suatu perbuatan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi
manusia?
Pelanggaran Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia terjadi ketika seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh Undang-Undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas bersumber dari
teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori
hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke
belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui
tulisantulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. Dalam teori hukum kodratinya, Thomas
Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang mempotulasi hukum kodrati sebagai bagian
dari hukum Tuhan yang sempurna dan dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia.
Hugo de Groot mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus
asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional.
Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, John Locke, mengajukan
pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah
yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika
Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18. Locke mengajukan sebuah postulasi
pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan
dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli
oleh negara.
Setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu entah
karena kejahatan perang atau genosida. Dengan mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali Holocaust di masa depan,
dan karena itu menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap
martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan
kesetaraan negara besar dan kecil. Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi
manusia. Sejak saat itulah masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia
sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa. Hal ini
ditandai dengan dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum HAM
yang kemudian dikenal dengan International Bill of Human Rights yang terdiri dari tiga
dokumen inti yaitu Deklarasi HAM sedunia (DUHAM), Kovenan Hak Sipil dan Politik
(Kovenan Hak Sipol) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Hak Ekosob).
Menurut Bagir Manan dalam bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi
Manusia di Indonesia, periode perkembangan HAM di Indonesia dibagi sebagai berikut :
1. Periode 1908-1945
2. Periode 1945-1950
3. Periode 1950-1959
4. Periode 1959-1966
5. Periode 1966-1998
6. Periode 1998-sekarang
Indonesia sendiri menyusun UUD 1945 sebelum adanya The Universal Declaration of
Human Rights, namun ide-ide hak asasi manusia yang tercermin dalam deklarasi tersebut sudah
diketahui oleh para the founding father indonesia dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945.
Rapat besar BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 15 Juli 1945 menyimpan memori
tentang perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD 1945. Oleh karena
itu, ketentuan yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan dimuat secara terbatas
dalam UUD 1945, yaitu sebanyak tujuh pasal saja. Sedikitnya pasal-pasal yang berbicara
langsung tentang hak asasi manusia dalam UUD 1945 bukan karena naskah UUD ini disusun
sebelum adanya Universal Declaration of Human Rights.
Dalam perjalanan sejarah, Konsitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang pernah berlaku selama sekitar 10 tahun
(1949-1959), justru memuat pasal-pasal tentang HAM yang lebih banyak dan lebih lengkap
dibandingkan dengan UUD 1945. Bahwa dapat dikatakan bahwa kedua UUD tersebut
mendasarkan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan HAM-nya pada pernyataan umum
tentang Hak Asasi Manusia (universal declaration of human rights) yang mulai berlaku pada
tanggal 10 Desember 1948.
Kemudian, setelah Republik Indonesia kembali ke Negara Kesatuan pada tahun 1950
dan UUDS 1950 disusun, dengan sedikit perubahan, seluruh pasal tentang Hak Asasi Manusia
dipindahkan dari rumusan UUD RIS 1949 menjadi rumusan UUDS 1950. Seperti halnya
perumusan UUD RIS 1949, ketentuan tentang Hak Asasi Manusia yang dicakup dalam
rumusan UUDS 1950 dikatakan sangat lengkap cakupannya sehingga menurut Muhammad
Yamin disebut sebagai konstitusi yang paling berhasil memasukkan Hak Asasi Manusia yang
dideklarasikan oleh perserikatan bangsa-bangsa ke dalam dokumen konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Manan, Bagir. 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Bandung: Alumni
Aprita, Serlika dan Yonani Hasyim. 2020. Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Bogor: Mitra
Wacana Media
Rasyid, Harun Al. 2007. Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah Oleh
MPR. Jakarta: UI Press.
Langkah yang harus dilakukan oleh negara khususnya di negara di Indonesia setelah
menratifikasi instrumen HAM tersebut adalah menjalankan setiap ketentuan pasal yang
ada pada Convention on The Elimination of All Form of Discrimination Againts Women
dengan tetap disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai
budaya, adat istiadat serta normanorma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti
secara luas oleh masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan
dan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan
yang dikehendaki bangsa Indonesia.