Anda di halaman 1dari 27

TUGAS POLITIK HUKUM

NILA PERMATASARI

2106784775

HUKUM EKONOMI SORE

72

UNIVERSITAS INDONESIA

2022
II. Repressive Law

Bahwa hukum represif menganggap bahwa tata tertib

hukum apapun yang diberikan mungkin menjadi pembekuan

ketidakadilan. Satu-satunya eksistensi hukum tidak menjamin

kejujuran, kurang lebih keadilan yang kurangng substantif

Sebaiknya setiap tata tertib hukum memifiki potensi represif

karena tata tertib hukum selalu pada beberapa hal erikat pada

status quo dan dalam menawarkan mantel otorita, membuat

kekuasaan yang lebih efektif. yang men menerangkan variasi

pengaturan kekuasaan bersifat represif ketika diberikan

perubahan singkat raga kepentingan-kepentingan pihak yang

diatur yaitu ketika siap mengacuhkan kepentingan-kepentingan

tsbt atau meno!ak legitimasi mereka dah hasilnya subyek tersebut

itu rentan dan tidak aman.

Rejim represif adafah salah satu rejim yang menempatkan

semua kepentingan beresiko, dan khususnya mereka yang tidak


dilinndungi olen sistem yang ada dari kekuasaan dan hak khusus,

bahkan setiap tata tertib hukum represif dalam beberapa hal dan

pada beberapa ukuran. Kepentingan spesifik bervariasi dari satu

konteks ke konteks yang lain. Namun Di sisi lain, pemberian

pada kepentingan legitimate mungkin tidak dialami sebagai

represif ketika terjadi menurut tekanan emergensi yang dipahami

secara luas seperti krisis waktu-perang. Jadi dalam represi

substantif seperti "'kemanusiaan” merupakan gagasan relatif

besar. Represif tak perlu melibatkan penekanan yang jelas.

Terjadi dimana kekuasaan itu baik tapi mengambil sedikit catatan

dan secara efektif tidak dibatasi o!eh kepentingan-kepentingan

yang berpengaruh. Bentuk yang sangat jelas dari represi adalah

penggunaan paksaan yang tidak terbatas untuk mengangkat

perintah atau menekan deviance. Tapi represi sering halus dan

tidak Jangsung, mendorong dan mengeksploitasi persetujuan

yang pasif. Sekalipun demikian tata tertib hukum mungkin

menggunakan paksaan atau bergantung pada kekuasaan utama

untuk paksaan, yang sendiri tidak membuuat sistem represif. Jadi

kekuatan paksa tidaklah represif jika integritas orang perangkat


bahkan ketika kekuatan diterapkan menentang mereka. Ketika

coercion paksaan tidak menjadi represif, maka represif tidak

perlu langsung bersifat memaksa. Saat pernerintah mencapai

legitimasi, maka mengmankan apa yang disebut Austin sebagai

"kebiasaan umum kepatuhan", coercion/paksaan masuk kedalam

latar belakang.

Dalam bentuk sistematis dan sangat khas, hukum represif

memperlihatkan karakteristik-karakteristik:

1. Institusi institusi legal terakses secara langsung pada

kekuasaan politik hukum diidentjfikasikan dengan

negara dan tunduk pada raison d etat.

2. Percakapan otorita adalah pendominasian dominan dari

hubungan resmi legal. Daram "perspektif resmi",

keuntungan keraguan pergi ke sistem dan kesesuaian

administratif.

3. Spesialisasi agensi kontrol seperti kebijakan menjadi

pusat kekuasaan yang independent terisolasi dari

pemoderatan·konteks sosial.
4. Rejim "hukum ganda" menginstitusionalisasikan

keadilan kelas dengan mengkonsoJidasikan dan

melegiimiasaikan pola bawahan sosial

5. UU Pidana menceminkan nilai budaya moralisme

hukum berlaku.

Ditekankan bahwa represif itu “natural” dengan kata lain

penilaian kritis dari hukum represif harus maju dari pemahaman

simpatik bagaimana hal tersebut muncul.

Repressi dan Ekonomi Kekuasaan

Dalam hal tidak adanya konteks, kekuasaan tidak

menghilang. Ketika yang berkuasa ada dukungan, mereka secara

karakteristik Kembali ke mekanisme represif mereka berbuat

demikian tidak mesti diluar maksud baik tapi karena mereka

tidak meilihat cara lain untuk memenuhi tanggung jawab. Tata

tertib hukum mecniliki karakteristik-karakteristik:

1. Pengadilan dan pejabat hukum adalah menteri-menteri

raja. Mereka adalan instrumen pemerintah yang


berkuasa. Institusi lnstitusi legal melayani negara.

Gagasan kedaulatan mencakup pencitraan legal.

2. Sasaran hukum adalah keharmonisan umurrl, "menjaga

perdamaian pada semua kejadian dan pada harga

apapun.

3. Jadi hukum pidana adalah perhatian pusat pejabat

hukum dan mode representatif dari otorita legal.

4. Aturan-aturan dalam legal memberikan warna pada

otorita bahkan penggunaannya dikualifikasi dengan

kriteria kecocokkan politik. Raison d etat menghendaki

bahwa kebijakan yang tidak tercek dijaga aturan-aturan

tetap menjadi pengikat lemah pada kedautatan

pengakuan akan hak itu beresiko.

Aparat yang suka mengoptimiskan biaya dan keuntungan

bagi semua yang berkepentingan, apa sering tak

mengetahui bagaimana melakukannya, kurangnya sarana,

atau ditekan karena waktu menurut kondisi-kondisi ini

tendensi harus memilih pada Ukuran represif yang

mungkin mengambil bentuk yang baru dan cermat.


The Official Perspective.

Ketika rejim tercipta dengan baik, instruKsi poiitik

mungkin menjadi kurang urgen, dan kurang kasar, tetapi

pengaruh mereka tetap. Kekuasaan dik()nsoHdasikan

dengan pengacuhan untuk imperatiflinstruksi administratif:

"Sistem" harus dipertahankan, sumber daya administratif

yang langgeng, otorita yang diproteksi. Ada muncul

"perspektif resmi" yang diidentifikasikan penguasa.

Pengaruh litama adalah membawahi kepentingan-

kepentingan warga pada kebutuhan-kebutuhan yang

iampak akan officialdom. Pola memiliki elemen sebagai

berikut: (1) Perspektif resmi memiliki arah kebijakan luas,

yang dibenarkan oleh klaim pada kecakapan khusus atau

prerogatif kedaulatan. (2) Perspektif resmi memerisai

otorita dari tantangan dan kritikan. Diangkat "imunitas

kedaulatan", memperlakukan asumsi regutaritas

administratif, memastikan visi keputusan institusi dan

mengurangi tanggungjawab bagi mereka. (3) Perspektif

resmi membatasi permintaan dengan mendorong aturan


kaku dan akses terbatas. Perhatian tentang beban

pengaqilan yang mengikuti reformasi ketika perluasan hak

untuk konsJing mengungkapkan seberapa datam sistem

judicial bergantung pada kemampuan akses yang terbatas.

The Apparatus of Coercion

"Negara" ada!ah peringkasan. Prakteknya, agensi-agensi

yang terspesalisasi dibentuk untuk rnempertahankan tata

tertib dan melaksanakan kemauan kedaulatan. Mereka

dapat menafsirkan makna tata tertib menurut kebutuhan-

kebutuhannya sendirj dan pandangan-pandangannya. Jadi

negara membagi bersama "monopolinya'" dengan aparat

paksa yang sudah diciptakan.

Dual Law and Class Justice

Gagasan "keadilan kelas" memperhitungkan cara yang

difegitimisasikan hukum dan uang didukung secara paksa,

yaitu sistem subordinasi sosiaL Hukum represif

rnenginstitusionalisasikan keadilan kelas. institusi institusi


politik tetap disimpangkan oleh partisipasi yang kuat dan

yang lemah. Hassil legal itu represif karena:

1. Hukum menginstitusionalisasikan yang tidak memiliki

hak istimewa.

2. Hukum menginstitusionalisasikan ketergantungan

keterikatan.

3. Hukum mengorganisasi pembelaan diri menentang

kelas-kelas berbahaya misalnya dengan

mengkriminalisasikan kondisi kemiskinan dalam

hukum pergelandangan.

Represi hanyalah satu sisi dari kelas keadilan sisi lain

adalah konsolidasi hak khusus. Ketika kelornpok -

kelompok dominan mengamankan perlinndungan terhadap

negara dan mengeksploitasi otoritanya bagi pemberian

hak, muncul ada sistem ganda hukum. Jadi dinamika

dimana tata tertib hukum mengangkat

subordinasi/bawahan social secara paradoks merupakan

sumber evolusi yang jauh dari hukum represif dan menuju


institusi-institusi legal yang dapat menghilangkan diri

sendiri dari kekuasaan negara.

Legal Moralism and Punitive Law

Sumber hukum represif adalah permintaan akan

keharmonisan kultur Dalam masyarakat modern serta

dalam masyarakat kuno, pembagian moral code

memmberikan dukungan pada kepaduan sosial dan

merupakan sumber bagi penanganan tata tertib. Jadi

moralitas "dilegalisasikan" sebagai ideal kultur" menjadi

terindentifikasi dengan citra tetap tatanan sosiaL Dalam

proses itu, tata tertib sosial dilekatkan dari etika harmoni

menjadi tujuan dengan sendirinya, dan fungsi ideal

dipenuhi atau bahkan ditinggafkan. Jika tata tertib moral

diatur dengan aspirasi maka kewajiban-kewajiban

spesifikakan dianalisa sebagai sarana bagi sasaran yang

lebih besar dan otorita akan selalu bermasaIah. Jadil

moralisme lega! membuat hukum penegas yaitu

membangun kedalam proses legal. Hukum punitif bersifat

tidak acak diberikan sedikit pertimbangan bagi konteks


tertentu bagi konteks tertentu pelanggaran atau nilai praktis

dari sangsisangsi alternatif. Kejahatan paradigmatis

bukanlah pelanggaran atas kewajiban spesifik bahkan

tindakan ketidakpatuhan demikian Penegakkan moral

adalah sumber luas kerancuan dalam pemerintahan

keadilan kejahatan.

Hukum represif adalah instrumen kasar bagi legitimasi.

Dapat memberikan kekuasaan warna otorita, tapi

pelaksanaannya ternoda oleh subservience, Kelemahan int

tidak mesti fatal karena legitimasi kasar mungkin memadai

misalnya ketika penguasa dapat bergantung pada

kesesuaian pasif dan ketika Klaim pada legitimasi itu

jarang diuji Tapi ketika persetujuan bermasalah dan

akuntanbilitas lebih dikehendaki, maka rejim yang

menodai dan manipulasi hukum akan melangsungkan aura

legalitas. Sekalipun demikan hukum represif menawarkan

alat guna untuk membuat tata tertib, kurang kompeten saat

mengamanan stabiilitas yang berpijak daJam persetujuan.

Jadi tahap perkembangan ini ada pada keadaan primitif


dan tidak stabil Hukum otonom muncul mengamankan

ketidakmampuan.

III Autonomous Law

Dengan kemunculan hukum otonom, tatanan legal

menjadi suatu sumber daya bagi represi penenang. Secara

histe>ris, pencapaian mungkin diklaim pada apa yang

dinikmati sebagai "'Aturan Hukum'. Frase ini mengacu

berkonotasi lebih daripada satu-satunya eksistensi hukum.

Hal ini mengacu kepada aspirasi pofitik dan legal,

penciptaan "pemerintah hukum dan bukan orang." Dengan

pengertian itu, aturan hukum ada ketika institusi-institusi

legal memerlukan cukup otoritas independen untuk

memberikan standar batasan pada penggunaan kekuasaan

pemerintah. Aturan hukum lebih baik dipahami sebagai

sistem institusi khas daripado sebagai ideal abstrak.

Karakteristik utama sistem ini adalah perumusan institusi-

institusi legal yang relatif otonom dan khusus yang

mengklaim supremasi dalam lingkup kompetensi. Batasan

- batasan htJkum otonom muncul karena terlalu banyak


energi dikonsumsikan dalam mempertahankan integritas

institusi pada beban tujuan legal lain, Atribut utama hukum

otonom mungkin diperingkas sbb:

1. Hukum dipisahkan dari politik.

2. Tatanan Jegal mengadopsi "model aturan” Fokus

pada aturan mendukung pelaksanaan ukuran

akuntabilitas resmi pada waktu yang sama

membatasi kretivitas institusi-institusi legal dan

resiko gangguan kedalam ruang lingkup politik.

3. Prosedur adaJah jantung hukum."

4. Kesetiaan pada hukum dipahami sebagai

kepatuhan tegas pada aturan-aturan hukum

positif.

Legitimacy and Autonomy

Bahwa sumber utama transisi dari hukum represif ke

hukum otonom adalah pencarian akan legitimasi. pada prinsip

yang menaorong kesesuaian yang tanpa kritik dalam subyeknya

dan kepatuhan dalam aparatnya. Memang salah satu fungsi utama


legitimasi adalah perlindungan penguasa dari klaim pesaing dan

kritik potensial. Legitimasi menjadi lebih mampu membatasi

kekuasaan sebagai prinsip yang didorong untuk dimbil pada

tekstur dan spesifitas. Penguasa memiliki keterbatasan krediblitas

sebagai pensertifikasi bagi legitimasinya sendiri Jika klaim

mereka dan klaim menentang mereka harus diputuskan maka

menurut prinsip obyektif. Jadi terletak dalam landasan apa yang

harus diketahui sebagai pemisahan kekuasaan judicial dari

legislatif dan eksekutif. Proses sosial pembedaan yang membawa

kelompok-keLompok baru dan kepentingan- kepentingan yang

dibuat, melengkapi pekerjaan pembentukan sistem institusi

disebut hukum. Fitur dasar dari model aturan hukum dan

pengaman otonomi institusionat adalah pemutusan kemauan

politik dan pertimbangan legal. Identifikasi proses legal dengan

proses judicial membantu menjaminkan netralitas institusi-

institusi legal tapi juga mendorong konsepsi sempit tentang peran

hukum.

Perbedaan antara hukum responsif dan otaDom dari

perbedaan penilaran resiko. Hukum otonomm mengadopsi


perspektif "'rendah resiko" waspada pada apa yang mendorong

pertanyaan dari otorita yang diterima. Dalam menghendaki tata

tertib yang bersifat legal dan yang memiliki maksud, para

pendukung hukum responsif mernllih alternaiif resiko tinggj.

Berikut tentang karakteristik-karakteristik utama dari hukum

responsif,menunjuk pada masalah serta aspirasi tahap itu:

1. Dinamika perkembangan legal meningkatkan otcr1ta

maksud dalam penalaran legal.

2. Maksud membuat kewajiban legal lebih bermasalah,

sehingga mengendurkan klaim hukum dan konsepsi

yang lebih sipil dari tatanan public.

3. Ketika hukum mendapatkan keterbukaan dan

fleksibilitas, pendukung legal mengambiI berdasarkan

dimensi politik, pengembangan kekuatan yang

membantu institusi-institusi legal tapi mempengaruhi

integritas nasional.

4. Dalam keadaan tekanan berlangsungnya otorita maksud

iegaJ dan integritas tata tertib hukum bergentung pada

disain dari institusi-institusi legal yang lebih kompeten.


Dengan kata lain, hukum respoosif dapat menadopsi

"paradigma politik" dalam menafsirkan ketldakpatuhan

dan ketidakteraturan, Paradigma Mendorong model

pluraliistik dari struktur kelompok masyarakat, sehingga

menyoroti realita dan menegaskan legitimasi konflik

sosial. Sekalipun demikian hukum responsif

menggambarkan panduan kekuasaan dan pengaburan

batasan institusi, perbedaan diantara keputusan poHtik dan

keputusan legal tidak dihilangkan. Dalam kapasitas legal

itu, pemerintah melewati politik kekuasaan. Jadi sekalipun

demikian ada potensi untuk daya respon dalam tata tertib

hukum yang maju, pemenuhan janji bergantung, pada

konteks politik yang suportif. Suatu hukum responsif

menganggap masyarakat yang memiliki kapasitas politik

menghadapi masalah-masalahnya, menciptakan prioritas

dan membuat komitmen. Pencapaian hukum responsif

bergantung pada kemauan dan sumber daya -- sumber

daya komunitas politik.


TANGGAPAN

Represi tak pedu melibatkan penekanan yang jelas. Terjadi

dimana kekuasaan itu baik tapi mengambil sedikit catatan

dan secara efektif tidak dibatasi o!eh kepentingan-

kepentingan yang berpengaruh. Apabila di cermati kondisi

penegakan hukum di negara Indonesia yang secara

konsepsional menjujung tingfgi supremasi hukum, maka

dapat dikatakan bahwa masih jauh dari kenyataan. Bahwa

pelanggaran moral, etika, hukum adalah suatu pandangan

yang lazim dan diterima ap adanya oleh warga masyarakat,

tapa didiskusikannya lagi sesame warga. Apalagi kalau

yang melakukan itu mereka yang tergolong dalam kategori

yang mempunyai kedudukan pangkat.

Reformasi hukum haruslah melihat Kembali pada raranan

moralitas yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam


masyarakat. Tuntutan patuh bersifat mutlak dan

ketidakpatuhan rakyat dianggap sebagai penyimpangan

perilaku yang ditindas dengan kejam. Kritikan ini terhadap

penguasa negara dianggap sebagai ketidaksetiaan. Hal ini

justru membawa hukum tidak mampu menghadapi tekanan

kekuasaan dari negara, khusunyua dalam rezim yang

berkuasa dan menjadikan hukum hanya sebagai instrument

keamanan dengan implikasi pada pilihan hukum.

Lalu dari hukum otonom bahwa hukum sebagai pranata

yang mampu mentralisakian represif penguasa negara dan

dimana dapat melindungi integritas hukum itu sendiri. Hal

ini membatasi kesewenang-wenangan, baik dalam

mempertahankan atau mengubah kekuasaan status quo.

Hal ini tidak mempersalahkan dominasi kekuasaan dalam

orde yang ada maupun orde yang akan dicapai. bahwa

politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar

sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah.

Mencerna pernyataan ini, maka akan ditangkap suatu

perspektif bahwa dalam kenyataan empirik, politik sangat


menentukan bekerjanya hukum." Pengaruh politik dalam

berhukum, berarti berlaku juga pada penegakan

hukumnya, karakteristik produk-produk hukum, serta

proses pembuatannya. Hal diatas dapat dilihat dalam fakta

berhukum sepanjang sejarah Indonesia. Pelaksanaan fungsi

dan penegakan hukum tidak selalu seiring dengan

perkembangan strukturnya. Hal ini akan tampak jelas jika

ukuran pembangunan hukum di Indonesia adalah unifikasi

dan kodifikasi hukum, maka pembangunan struktur hukum

telah berjalan dengan baik dan stabil. Karena dari waktu ke

waktu produktifitas perundang undangan mengalami

peningkatan. Namun dari sisi yang lain, dari segi fungsi

hukum telah terjadi kemerosotan. Struktur hukum dapat

berkembang dalam kondisi konfigurasi politik apapun

dengan ditandai keberhasilan pembuatan kodifikasi dan

unifikasi hukum sebagaimana tampak dalam Program

Legislasi Nasional. Tetapi pelaksanaan fungsi atau

penegakan fungsi hukum cenderung lemah sekalipun


produk hukum yang dihasilkan jumlahnya secara

kuantitatif meningkat, tetapi substansi dan fungsi tersebut.

Kekuasaan negara yang dijalankan oleh pemerintahan

(eksekutif), berpotensi menyelenggarakan negara hukum

secara otoritarian. Pemerintahan yang secara dominan

hanya memprioritaskan kepentingan negara dapat terjebak

dalamrezim hukum represif. Gagasan hukum represif pada

dasarnya adalah hasil darihegemoni kekuasaan yang

berorientasi untuk menjamin kekuasaan terlindungi

dari“gangguan” anggota masyarakat. Oleh karena itu

dalam hukum represif dipisahkansecara tegas antara

negara dan rakyat. Negara dipersepsikan sebagai

tatanannormatif, sedangkan rakyat menjadi objek yang

mesti menata keteraturan perilaku.Konsepsi seperti

menimbulkan kekeliruan besar karena negara dan

masyarakattidak akan pernah benar – benar dapat

dipisahkan dan menjadi diskursus yangbersifat dikotomis.

Menurut Robert M Unger menyatakan bahwa negara

merupakan anakhierarkis sosial dan mendapat peran


sebagai penguasanya, negara harus dibedakandengan

semua kelompok sosial dalam sistem dominasi dan

ketergantungan, meskidemikian penguasa negara berasal

dari kelompok – kelompok yang menjadi bagiandari sistem

ini. Setiap kali salah satu sisi dari paradoks itu terlupakan

hubungansejati antara negara dan masyarakat mengabur.

Suatu kekuasaan yang benar – benar mengabaikan

kepentingan umum,dengan mengingkari makna legitimasi

sosial sebagai sumber keabsahan kekuasaanmaka

pemerintahan itu dikategorikan represif. Pemerintahan

yang represif akanmenjelma menjadi rezim represif, dan

sangat tergantung pada karakter kekuasaanyang

dijalankan. Rezim represif adalah rezim yang

menempatkan seluruhkepentingan dalam bahaya, dan

khususnya kepentingan yang tidak terlindungi olehsistem

yang berlaku dalam hal keistimewaan dan kekuasaan,

tetapi dalam beberapahal dan hingga tingkat tertentu,

setiap tatanan politik itu bersifat represif.


Pencarian formulasi hukum yang dicita – citakan tidak

terhenti pada penemuan hukum otonom yang cenderung

memperkuat posisi institusional. Kelanjutan penelusuran

potensi hukum yang secara tipologis mencerminkan

keadilan yang lebih luas, terus dihembuskan dan pada

akhirnya memunculkan tipologi hukum yang ketiga yakni

hukum responsif. Pengembaraan mencari hukum responsif

adalah kegiatan teori hukum modern yang terus

berkelanjutan. Jerome Frank, menyebutkan bahwa tujuan

utama dari kaum realisme hukum adalah untuk membuat

hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan –

kebutuhan sosial23 . Perkembangan Hukum responsif

merupakan hasil dari evolusi pengembaraan teori hukum

dalam berupaya menawarkan jalan keluar efektif bagi

keteraturan dan ketercapaian tujuan hukum itu sendiri.

Corak dan motif dari tipe hukum ini sangat berbeda

dengan tipe hukum otonom terlebih lagi hukum represif.

Sifat akomodatifnya menunjukan kesungguhan untuk

memenuhi ekspektasi sosial. Penerapan hukum responsif


dalam suatu negara akan sangat mempengaruhi bagaimana

karakter yang ditunjukan dalam mengorganisasi lembaga –

lembaga hukum, materi hukum dan budaya hukum.

Hukum otonom, merupakan bentuk pengembangan yang

lebih persuasifdari tipe represif. Tipe hukum ini menolak

adanya keterbukaan secaraserampangan. Perhatian

utamanya adalah menjaga integritas institusional. Karakter

hukum otonom memiliki beberapa kelebihan dan

kelemahan, antara lain menganu tprinsip – prinsip

kemandirian hukum, tetapi pada sisi lain tidak punya

kekuasaankebijakan publik. Mengedepankan integritas

institusi sebagai tujuan utamanya, tetapi pada aspek lain

hukum menjadi terisolasi, mempersempit

tanggungjawabnyadan menerima formalisme buta.

Keberadaan hukum otonom di era ini masihrelevan dalam

beberapa hal, meskipun dalam aspek lainnya sudah usang.

Misalnyadalam aspek sistem, konsep hukum ini

meletakkan hukum sebagai asas yangfundamental dan

tidak terletak pada personal sebagaimana rule of law,


hukumterpisah dari politik dan memiliki akar penerapan

secara mandiri. Dalam kondisi –kondisi negara tertentu

gagasan mengenai hukum sabagai saran kontrol

sosialmasih relevan. Tipologi hukum responsif adalah hasil

dari evolusi hukum sebelumnya,dimana hukum ini siap

mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan

paradigmalama. Artinya hukum tidak lagi dilihat sebagai

entitas yang berdiri sendiri, melainkan dia harus mampu

berinteraksi dengan entitas lain, engan tujuan pokok

mengadopsi kepentingan – kepentingan yang ada di

masyarakat. Tipologi hukumresponsif memiliki ruang

idealitas jika dibandingkan dengan tipe hukum

otonommaupun represif, namun demikian bukan berarti

tanpa kelemahan. Prinsip – prinsipketerbukaan dan

kebebasan dapat membuka ruang publik baru yang

dapatberpotensi menciptakan arogansi sosial. Pada sisi lain

kewibawaan kekuasaan dapatmelemah secara fungsional,

sehingga tujuan yang diekspektasikan sulit dicapai.Secara

indisipliner hukum, tekstual hukum tidak lagi menjadi


rujukan utama tetapipada moralitas hukum. Secara teoritik

memang menarik, tetapi secara praktismoralitas hukum

bersifat kontekstual, artinya moralitas sebuah putusan

hukumsangat dipengaruhi oleh moralitas personality.

Dalam kalkulasi komprehensif, padaprinsipnya hukum

responsif akan mencapai idealitas hukum yang dicita –

citakan jika dapat bersintesa positif secara fungsional dan

proporsional dengan tipe –tipe hukum sebelumnya.

Legitimasi bukannya kompetensi tapi kepeduJian sentral

dari hukum otonom. Pada tahap itu, bisnis utama hukum

adalah mensertifikasi otorita aturan dar. keputusan-

keputusan dan bukannya memastikan bahwa institusi-

institusi dan kompetensi untuk rnenjalankan mandatnya.

Isu politik muncul secara adjudication (penengahan) tapi

haoya secara kejadian daripada tanggung jawab langsung.

Hukum otonom terpusat pada pengadilan dan pengaturan

konstitusinya memastikan bahwa pengadifan tetap menjadi

cabang yang kurang berbahaya.


Secara akademis, umumnya ada beberapa ciri hukum

represif. Pertama, ketertiban merupakan tujuan

pokok/utama hukum. Kedua, legitimasi atau dasar

kekuatan mengikat hukum tersebut adalah kekuasaan

negara. Ketiga, peraturan perundang-undangan yang

dirumuskan secara rinci bersifat keras (represif) mengikat

rakyat, tetapi lunak terhadap penguasa. Keempat, alasan

pembuatan hukumnya bersifat ad-hoc sesuai keinginan

sewenang-wenang (arbiter) penguasa. Kelima, kesempatan

bertindak bersifat serba meresap sesuai kesempatan.

Keenam, pemaksaan serba mencakupi tanpa batas yang

jelas. Ketujuh, moralitas yang dituntut dari masyarakat

adalah pengendalian diri. Kedelapan,, kekuasaan

menempati posisi di atas hukum. Kesembilan, kepatuhan

masyarakat harus tanpa syarat, dan ketidakpatuhan

dihukum sebagai kejahatan. Kesepuluh, partisipasi

masyarakat diizinkan lewat penundukan diri, sedangkan

kritik dipahami sebagai pembangkangan.

Anda mungkin juga menyukai