Anda di halaman 1dari 11

URGENSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA

TRANSAKSI PINJAMAN ONLINE ILEGAL


(The Urgence of Legal Protection Against Users of Illegal Online Loan Transactions)

Marsheyla Magdalena Amung


Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang
Jl. HS. Ronggo Waluyo, Puseurjaya, Kec. Telukjambe Timur, Karawang Barat
e-mail: marsheyla13amung@gmail.com

Abstrack
This paper aims to find out the legal protection for users of online credit
transactions who are referred to as consumers. The research method used is normative
research, namely research that uses laws and regulations as the basis for solving problems.
In practice, there are no regulations on financial technology (fintech) that sanction illegal
online credit providers. The online credit agreement on the online credit application only
occurs between the lender and the credit recipient. So there is often the discovery of personal
data which is an administrative part in the implementation of fintech transactions. Therefore,
it is certain that legal protection for online credit transaction users is still not optimal. Thus,
there is a need for socialization in the community regarding online loans and the enactment
of the Law on Personal Data Protection.

Keywords: Online Loans, Legal Protection, Fintech

Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pengguna
transaksi pinjaman online yang selanjutnya disebut sebagai konsumen. Metode penelitian
yang digunakan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan peraturan
perundang-undangan sebagai dasar pemecah permasalahan. Pada praktiknya, belum terdapat
regulasi tentang financial technologi (fintech) yang memberikan sanksi terhadap
penyelenggara pinjaman online ilegal. Sebagaimana pelaksanaan perjanjian pinjaman secara
online pada aplikasi pinjaman online hanya terjadi antara pemberi pinjaman dan penerima
pinjaman. Sehingga seringkali ditemukan terjadinya penyalahgunaan data pribadi yang
merupakan suatu mekanisme administratif dalam pelaksanaan transaksi fintech. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap pengguna transaksi pinjaman
online masih belum optimal. Dengan demikian perlu adanya sosialisasi di masyarakat
mengenai pinjaman online serta penetapan Undang-Undang tentang Perlindungan Data
Pribadi.

Kata Kunci: Pinjaman Online, Perlindungan Hukum, Fintech


A. Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi informasi saat ini telah
membawa pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Salah satu kemajuan dalam
bidang perekonomian saat ini ialah adanya adaptasi Financial Technology (fintech). Menurut
The National Digital Research Centre (NDRC), fintech merupakan suatu inovasi pada sektor
finansial yang memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat untuk menjangkau
konsumennya. Salah satu contoh platform jasa keuangan yang ditawarkan oleh pelaku usaha
fintech adalah peminjaman uang berbasis online. Pelaksanaan perjanjian pinjaman secara
online pada aplikasi pinjaman online hanya terjadi antara pemberi pinjaman dan penerima
pinjaman. Adapun definisi perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih1. Secara umum perjanjian/kontrak elektronik dapat
dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata maupun Pasal 47 ayat (2) PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem
dan Transaksi Elektronik, karena pada dasarnya kontrak elektronik dilakukan secara online
sehingga para pihak tidak bertemu secara langsung saat pembuatan hingga penandatanganan
perjanjian. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan hukum mengenai keabsahan
perjanjian/kontrak elektronik.

Peminjaman uang berbasis online dianggap menjadi suatu model solusi pembiayaan
dengan cara fintech yang dianggap efektif dan efisien. Dengan mempermudah masyarakat
untuk mendapatkan pinjaman tanpa harus terbatasi oleh ruang dan waktu selama gadget
ataupun media elektronik lainnya yang digunakan dapat terkoneksi internet. Berdasarkan data
dari Perusahaan Fintech Lending, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan pinjaman online
semakin pesat di Indonesia. Adapun terdapat perusahaan pinjaman online ilegal yang semakin
bertambah jumlahnya. Sejalan dengan pernyataan tersebut, menjadikan masyarakat semakin
tergiur dengan program yang ditawarkan walaupun dengan bunga pinjaman online yang
diberikan lebih tinggi dibandingkan dengan bank. Hal ini menimbulkan permasalahan bagi
pengguna layanan pinjaman online. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Tulus Abadi,
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahwa salah satu permasalahan yang
terjadi ialah cara penagihan oleh pihak pemberi pinjaman online dengan teror, hingga
berdampak pada penyalahgunaan dengan penyebaran data diri pengguna layanan pinjaman
online2. Hal tersebut perlu mendapatkan perhatian bagi pengguna layanan pinjaman online
1
Subekti dan Tjitrosudibio, Hukum Perdata, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), halaman 338.
2
“Lapor OJK Jika Diganggu Pinjaman Online, Termasuk Ancaman Dengan Kata Kasar,” accessed
January 3, 2022. https://www.harianterbit.com/megapolitan/read/116550/Lapor-OJK-Jika-Diganggu-Pinjaman-
Online-Termasuk-Ancaman-Dengan-Kata-Kasar.
yang mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan, bahkan mengarah pada pelanggaran
yang ada dalam UU Perlindungan Konsumen serta melanggar UU ITE.

Kegiatan peminjaman berbasis online tentunya harus dibarengi dengan payung


hukum yang bersifat adil dan memiliki kepastian hukum, guna untuk menciptakan persaingan
yang sehat serta memberikan kenyamanan bagi pihak kreditur maupun debitur. Kenyamanan
yang dimaksud ialah bahwa debitur mendapat garansi terkait dengan kerahasiaan data diri,
begitu pula dengan kreditur yang wajib merasa tenang dan aman dalam menjalankan
usahanya. Berbicara mengenai kepastian hukum terkait pada permasalahan diatas, maka
tentunya tidak terlepas dari perjanjian/kontrak para pihak yang didasari oleh adanya
kesepakatan, kemudian dalam pelaksanaan kontrak tentunya para pihak harus didasarkan pada
itikad baik, hal ini dikarenakan perbuatan dalam melakukan perjanjian dengan tujuan utama
dari hukum yaitu menjamin kepastian hukum bagi setiap orang.

Di Indonesia, peraturan mengenai peminjaman berbasis online belum diatur secara


spesifik dalam undang-undang yang khusus, namun terdapat beberapa peraturan yang telah
mengatur pelaksanaan dan penyelenggaraan peminjaman berbasis online, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
3) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Pinjam Meminjam
Secara Online.

B. Perumusan Masalah

Bagaimana urgensi perlindungan hukum terhadap pengguna transaksi pinjaman online ilegal?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui urgensi perlindungan hukum terhadap pengguna transaksi pinjaman online
ilegal.

D. Tinjauan Pustaka

Pengertian perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata


merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.3 Dalam pasal ini jelas bahwa dalam suatu perjanjian terdapat satu
pihak mengikatkan diri kepada pihak lain.

Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa sahnya suatu perjanjian-perjanjian harus
harus memenuhi syarat, diantaranya:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.4

Syarat-syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian atau dapat
disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau
yang dapat disebut syarat objektif. Pada syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat
subyektif, karena mengenai subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga
dan keempat dapat disebut sebagai syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya
sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Sejalan dengan pernyataan tersebut,
syarat dalam perjanjian dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Syarat Subyektif
Syarat subyektif mencakup syarat sepakat dan cakap. Dalam hal ini, apabila syarat
sepakat dan cakap tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan. Dalam arti lain,
salah satu pihak dapat mengajuakan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian
yang disepakatinya. Namun, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka
perjanjian tersebut tetap dianggap sah.

2) Syarat Obyektif
Syarat obyektif mencakup syarat adanya suatu hal tertentu dan adanya suatu sebab yang
halal. Hal ini, apabila kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak ada.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem


dan Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa kontrak elektronik dianggap sah apabila5:
1) Terdapat kesepakatan para pihak;
2) Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau berwenang mewakili sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

3
Ibid.
4
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit, halaman 67.
5
Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348.
3) Terdapat hal tertentu; dan
4) Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan, dan ketertipan umum.

Keberadaan peraturan-peraturan yang telah ada haruslah memberikan jaminan


kepastian hukum kepada konsumen agar hak-haknya dapat terpenuhi, serta mencegah
tindakan pelaku usaha yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen. Sejalan
dengan pernyataan tersebut, merujuk kepada hadirnya UU Perlindungan Konsumen serta UU
Informasi dan Transaksi Elektronik.

Adanya penyalahgunaan data pribadi dapat diselsaikan dengan mengacu pada


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Peraturan Meteri
Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik
serta pada undang-undang yang terkait lainnya. Hal ini, UU ITE dibentuk dengan
pertimbangan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis, sehingga terwujud keadilan,
ketertiban umum, dan kepastian hukum.6

Adapun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


dirumuskan mengacu kepada filosofi pembangunan nasional dalam rangka membangun
manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik
Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara. Sejalan dengan hal tersebut,
bukan berarti mengabaikan kepentingan pemerintah di dalam pembangunan ekonomi
teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku
usaha. Perlindungan konsumen dimaksudkan sebagai segala upaya yang menjamin kepastian
hukum untuk memberi perlindungan konsumen, sebagaimana pada Pasal 1 angka 1 UUPK.

Salah satu upaya agar konsumen dapat terlindungi hak-haknya adalah dilihat dari
sejauh mana regulasi terkait pengawasan dan sistem pengawasan yang dilakukan pemerintah,
dalam hal ini OJK yaitu terkait perusahaan fintech itu sendiri. Langkah yang harus dilakukan
pemerintah ialah pelaksanaannya harus berpedoman pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Teknologi Informasi.

E. Metode Penelitian

6
Menimbang: huruf a dan b, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
yuridis normatif yaitu penelitian dengan meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem
norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.7 Adapun spesifikasi
penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini ialah deskriptif-analisis yaitu penelitian
yang menggambarkan atau mendeskripsikan objek penelitian secara umum kemudian
menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum
dalam praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas.
a. Bahan Hukum Primer
Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, diantaranya:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
dan dan Peraturan Meteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data
Pribadi Dalam Sistem Elektronik
3) UU Perlindungan Konsumen
4) UU ITE
5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Pinjam
Meminjam Secara Online.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penulisan ini ialah bahan-bahan hukum yang dapat
memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu seperti hasil-hasil penelitian,
makalah-makalah, artikel-artikel ataupun literatur-literatur yang memuat teori dari para
ahli.
c. Bahan Hukum Tersier
Dalam penulisan ini menggunakan bahan-bahan yang memberikan bahan informasi
hukum primer dan bahan hukum sekunder.

F. Pembahasan

7
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), halaman 34.
Maraknya praktik pinjaman online ilegal yang tidak terdaftar dan tidak memiliki izin
untuk diselenggarakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga maraknya kasus peneroran
dalam penagihan hutang pinjaman online yang berujung bunuh diri, tentunya tidak terlepas
dari tinjauan hukum. Sebagaimana menurut hukum, pihak yang terlibat langsung dalam
transaksi pinjaman online ialah penyelenggara layangan pinjaman online (kreditur) dan
penerima pinjaman (debitur) yang selanjutnya dapat disebut juga sebagai konsumen.

Salah satu tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ialah untuk melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat dalam melakukan kegiatan dalam sektor jasa
keuangan. Perlindungan konsumen yang diamanahkan kepada OJK disebutkan secara
eksplisit dalam Pasal 4 (c) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, bahwa:
“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: (c)
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.”

Pada kasus yang telah terjadi di Indonesia, maka atas tindakan kreditur yang
merugikan debitur sudah selakyaknya debitur menuntut haknya untuk mendapatkan
perlindungan hukum terhadap data pribadi miliknya yang disalahgunakan oleh kreditur untuk
melakukan penagihan. Hal ini, yaitu menyalahgunakan data pribadi debitur untuk melakukan
teror yang dapat menyebabkan kejiwaan debitur menjadi depresi, hingga berujung pada bunuh
diri. Pada kasus ini, kreditur memang berhak menuntut haknya dalam hal pembayaran
pelunasan hutang.

Sebagaimana yang telah diatur secara tegas dalam POJK No. 77 Tahun 2016 bahwa
untuk dapat memiliki kedudukan yang sah secara hukum sebagai penyelenggara pinjaman
online, maka syarat yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pinjaman online adalah
kewajiban terdaftar dan mendapatkan izin dari OJK. Kewajiban terdaftar dan mendapatkan
izin dari OJK, telah diatur dalam Pasal 7 POJK No. 77 Tahun 2016 yang menyatakan, bahwa:
“Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK.”8

Terhadap permasalahan penyalahgunaan data pribadi yang dilakukan kreditur, dalam


hal ini kreditur jelas telah melanggar aturan hukum yang berlaku, sebagaimana yang diatur
dalam UU ITE dan Permen Kominfo No 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi
Dalam Sistem Elektronik. Tindakan kreditur online yang menghakimi debitur dengan
menggunakan basis gerakan melalui media sosial dapat disebut sebagai persekusi digital yang
sangat jelas telah melanggar aturan hukum yang berlaku. Dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan

8
Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 /Pojk.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK No. 77 Tahun 2016).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20
Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik (PM 20/2016),
memuat aturan terkait perlindungan data pribadi antara lain pada Pasal 26 ayat (1) UU ITE,
dan pada Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 36 ayat (1) PM 20/2016. Adapun sanksi-sanksi bagi
pihak yang melanggar selain bisa dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam
Pasal 36 ayat (1) PM 20/2016, dalam UU ITE, jika terbukti ada pelanggaran penyalahgunaan
data pribadi oleh pihak ketiga dan memenuhi unsur pidana, penyalahgunaan informasi data
pribadi untuk melakukan perbuatan yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman
atau ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dan menyebabkan
kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), (3), dan (4) jo Pasal 36 jo Pasal 51 ayat
(2), maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/ atau denda paling
banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). 9

Penyelenggaraan financial technology berbasis peer to peer lending masih muncul


permasalahan sehingga perlu danya peraturan perundang – undangan karena peraturan yang
ada belum mampu melindungi kepentingan masyarakat serta diperlukan adanya upaya
perlindungan hukumnya oleh pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu
meningkatkan kewaspadaan, sosialisasi serta mengantisipasi dan menindak terhadap
penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis layanan teknologi informasi illegal
yaitu dengan kerjasama dengan semua komponen yaitu kominfo serta polri untuk
menertibkan aplikasi yang tidak terdaftar dan tidak berizin sehingga penyelenggaraan
financial technology berbasis peer to peer lending ada kepastian hukum, keadilan,
kemanfaatan serta perlindungan bagi masyarakat. (Agus Priyonggojati: 2020).

Perlindungan hukum bagi konsumen dengan melakukan sistem pengawasan


perusahaan berbasis fintech sangat berkaitan dengan permasalahan hukum perlindungan
konsumen yang secara umum diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Karena salah satu kunci agar konsumen dapat terlindungi hak-haknya ialah sejauh
mana regulasi terkait pengawasan dan sistem pengawasan yang dilakukan pemerintah, dalam
hal ini OJK terkait perusahaan fintech itu sendiri.

Langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah pelaksanaannya harus berpedoman


pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Teknologi Informasi. Pinjaman online legal atau ilegal, karena faktanya
ditemukan pelanggaran hukum baik oleh perusahaan pinjaman online legal maupun

9
Indonesia, Pasal 27 ayat (1), (3), (4) jo Pasal 36, Pasal 51 ayat (2), Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016.
perusahaan pinjaman online ilegal. Langkah-langkah preventif seperti lebih banyak
melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, dengan tujuan semakin banyak
masyarakat yang paham bagaimana memilih layanan pinjaman online yang kompeten serta
memahami risiko-risiko yang mungkin terjadi saat menggunakan layanan pinjaman online.

G. Penutup
1. Simpulan

Urgensi perlindungan hukum terhadap pengguna transaksi pinjaman online


ilegal, sebagimana terhadap permasalahan penyalahgunaan data pribadi yang dilakukan
oleh kreditur (pemberi pinjaman online), diatur dalam UU ITE dan Permen Kominfo No
20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik. Tindakan
kreditur online yang menghakimi debitur dengan menggunakan basis gerakan melalui
media sosial dapat disebut sebagai persekusi digital yang sangat jelas telah melanggar
aturan hukum yang berlaku. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 (UU ITE) dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik (PM 20/2016), memuat aturan
terkait perlindungan data pribadi antara lain pada Pasal 26 ayat (1) UU ITE, dan pada
Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 36 ayat (1) PM 20/2016. Adapun sanksi-sanksi bagi pihak
yang melanggar selain bisa dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam
Pasal 36 ayat (1) PM 20/2016, dalam UU ITE, jika terbukti ada pelanggaran
penyalahgunaan data pribadi oleh pihak ketiga dan memenuhi unsur pidana,
penyalahgunaan informasi data pribadi untuk melakukan perbuatan yang memiliki
muatan pemerasan dan/atau pengancaman atau ancaman kekerasan atau menakut-nakuti
yang ditujukan secara pribadi dan menyebabkan kerugian sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 ayat (1), (3), dan (4) jo Pasal 36 jo Pasal 51 ayat (2), maka dapat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Perlindungan hukum bagi konsumen dengan melakukan sistem pengawasan


perusahaan berbasis fintech sangat berkaitan dengan permasalahan hukum perlindungan
konsumen yang secara umum diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.

2. Saran
Pentingnya adanya langkah-langkah preventif seperti lebih banyak melakukan
edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, dengan tujuan semakin banyak masyarakat
yang paham bagaimana memilih layanan pinjaman online yang kompeten serta
memahami risiko-risiko yang mungkin terjadi saat menggunakan layanan pinjaman
online.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Jhony, Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:


Banyumedia Publishing, 2006.

Sanusi, M. Arsyad. 2011. Hukum dan Teknologi Informasi, Jakarta: Tim Kemas Buku.

Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Prespektif Filsafat,


Teori dan Praktik Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2012.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi
Dalam Sistem Elektronik (PM 20/2016)

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Pinjam Meminjam


Secara Online.

C. Internet dan Jurnal

Martina Fina Dei, “Transaksi Pinjaman Online Ditinjau Dari Undang-Undang Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Muhammad Afdi Nizar, “Teknologi Keuangan Fintech Konsep dan Implementasinya Di


Indonesia”, melalui https://www.researchgate.net/publication, diakses Senin,
3 Januari 2022.

Suprayitno, Edi dan Nur Ismawati. 2008. Sistem Informasi Fintech Pinjaman Online
Berbasis Web. Jurnal Sistem Informasi Teknologi Informasi dan Komputer,
Vol 9, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai