Abstrack
This paper aims to find out the legal protection for users of online credit
transactions who are referred to as consumers. The research method used is normative
research, namely research that uses laws and regulations as the basis for solving problems.
In practice, there are no regulations on financial technology (fintech) that sanction illegal
online credit providers. The online credit agreement on the online credit application only
occurs between the lender and the credit recipient. So there is often the discovery of personal
data which is an administrative part in the implementation of fintech transactions. Therefore,
it is certain that legal protection for online credit transaction users is still not optimal. Thus,
there is a need for socialization in the community regarding online loans and the enactment
of the Law on Personal Data Protection.
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pengguna
transaksi pinjaman online yang selanjutnya disebut sebagai konsumen. Metode penelitian
yang digunakan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan peraturan
perundang-undangan sebagai dasar pemecah permasalahan. Pada praktiknya, belum terdapat
regulasi tentang financial technologi (fintech) yang memberikan sanksi terhadap
penyelenggara pinjaman online ilegal. Sebagaimana pelaksanaan perjanjian pinjaman secara
online pada aplikasi pinjaman online hanya terjadi antara pemberi pinjaman dan penerima
pinjaman. Sehingga seringkali ditemukan terjadinya penyalahgunaan data pribadi yang
merupakan suatu mekanisme administratif dalam pelaksanaan transaksi fintech. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap pengguna transaksi pinjaman
online masih belum optimal. Dengan demikian perlu adanya sosialisasi di masyarakat
mengenai pinjaman online serta penetapan Undang-Undang tentang Perlindungan Data
Pribadi.
Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi informasi saat ini telah
membawa pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Salah satu kemajuan dalam
bidang perekonomian saat ini ialah adanya adaptasi Financial Technology (fintech). Menurut
The National Digital Research Centre (NDRC), fintech merupakan suatu inovasi pada sektor
finansial yang memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat untuk menjangkau
konsumennya. Salah satu contoh platform jasa keuangan yang ditawarkan oleh pelaku usaha
fintech adalah peminjaman uang berbasis online. Pelaksanaan perjanjian pinjaman secara
online pada aplikasi pinjaman online hanya terjadi antara pemberi pinjaman dan penerima
pinjaman. Adapun definisi perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih1. Secara umum perjanjian/kontrak elektronik dapat
dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata maupun Pasal 47 ayat (2) PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem
dan Transaksi Elektronik, karena pada dasarnya kontrak elektronik dilakukan secara online
sehingga para pihak tidak bertemu secara langsung saat pembuatan hingga penandatanganan
perjanjian. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan hukum mengenai keabsahan
perjanjian/kontrak elektronik.
Peminjaman uang berbasis online dianggap menjadi suatu model solusi pembiayaan
dengan cara fintech yang dianggap efektif dan efisien. Dengan mempermudah masyarakat
untuk mendapatkan pinjaman tanpa harus terbatasi oleh ruang dan waktu selama gadget
ataupun media elektronik lainnya yang digunakan dapat terkoneksi internet. Berdasarkan data
dari Perusahaan Fintech Lending, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan pinjaman online
semakin pesat di Indonesia. Adapun terdapat perusahaan pinjaman online ilegal yang semakin
bertambah jumlahnya. Sejalan dengan pernyataan tersebut, menjadikan masyarakat semakin
tergiur dengan program yang ditawarkan walaupun dengan bunga pinjaman online yang
diberikan lebih tinggi dibandingkan dengan bank. Hal ini menimbulkan permasalahan bagi
pengguna layanan pinjaman online. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Tulus Abadi,
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahwa salah satu permasalahan yang
terjadi ialah cara penagihan oleh pihak pemberi pinjaman online dengan teror, hingga
berdampak pada penyalahgunaan dengan penyebaran data diri pengguna layanan pinjaman
online2. Hal tersebut perlu mendapatkan perhatian bagi pengguna layanan pinjaman online
1
Subekti dan Tjitrosudibio, Hukum Perdata, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), halaman 338.
2
“Lapor OJK Jika Diganggu Pinjaman Online, Termasuk Ancaman Dengan Kata Kasar,” accessed
January 3, 2022. https://www.harianterbit.com/megapolitan/read/116550/Lapor-OJK-Jika-Diganggu-Pinjaman-
Online-Termasuk-Ancaman-Dengan-Kata-Kasar.
yang mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan, bahkan mengarah pada pelanggaran
yang ada dalam UU Perlindungan Konsumen serta melanggar UU ITE.
B. Perumusan Masalah
Bagaimana urgensi perlindungan hukum terhadap pengguna transaksi pinjaman online ilegal?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui urgensi perlindungan hukum terhadap pengguna transaksi pinjaman online
ilegal.
D. Tinjauan Pustaka
Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa sahnya suatu perjanjian-perjanjian harus
harus memenuhi syarat, diantaranya:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.4
Syarat-syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian atau dapat
disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau
yang dapat disebut syarat objektif. Pada syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat
subyektif, karena mengenai subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga
dan keempat dapat disebut sebagai syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya
sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Sejalan dengan pernyataan tersebut,
syarat dalam perjanjian dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Syarat Subyektif
Syarat subyektif mencakup syarat sepakat dan cakap. Dalam hal ini, apabila syarat
sepakat dan cakap tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan. Dalam arti lain,
salah satu pihak dapat mengajuakan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian
yang disepakatinya. Namun, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka
perjanjian tersebut tetap dianggap sah.
2) Syarat Obyektif
Syarat obyektif mencakup syarat adanya suatu hal tertentu dan adanya suatu sebab yang
halal. Hal ini, apabila kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak ada.
3
Ibid.
4
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit, halaman 67.
5
Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348.
3) Terdapat hal tertentu; dan
4) Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan, dan ketertipan umum.
Salah satu upaya agar konsumen dapat terlindungi hak-haknya adalah dilihat dari
sejauh mana regulasi terkait pengawasan dan sistem pengawasan yang dilakukan pemerintah,
dalam hal ini OJK yaitu terkait perusahaan fintech itu sendiri. Langkah yang harus dilakukan
pemerintah ialah pelaksanaannya harus berpedoman pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Teknologi Informasi.
E. Metode Penelitian
6
Menimbang: huruf a dan b, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
yuridis normatif yaitu penelitian dengan meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem
norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.7 Adapun spesifikasi
penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini ialah deskriptif-analisis yaitu penelitian
yang menggambarkan atau mendeskripsikan objek penelitian secara umum kemudian
menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum
dalam praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas.
a. Bahan Hukum Primer
Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, diantaranya:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
dan dan Peraturan Meteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data
Pribadi Dalam Sistem Elektronik
3) UU Perlindungan Konsumen
4) UU ITE
5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Pinjam
Meminjam Secara Online.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penulisan ini ialah bahan-bahan hukum yang dapat
memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu seperti hasil-hasil penelitian,
makalah-makalah, artikel-artikel ataupun literatur-literatur yang memuat teori dari para
ahli.
c. Bahan Hukum Tersier
Dalam penulisan ini menggunakan bahan-bahan yang memberikan bahan informasi
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
F. Pembahasan
7
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), halaman 34.
Maraknya praktik pinjaman online ilegal yang tidak terdaftar dan tidak memiliki izin
untuk diselenggarakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga maraknya kasus peneroran
dalam penagihan hutang pinjaman online yang berujung bunuh diri, tentunya tidak terlepas
dari tinjauan hukum. Sebagaimana menurut hukum, pihak yang terlibat langsung dalam
transaksi pinjaman online ialah penyelenggara layangan pinjaman online (kreditur) dan
penerima pinjaman (debitur) yang selanjutnya dapat disebut juga sebagai konsumen.
Salah satu tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ialah untuk melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat dalam melakukan kegiatan dalam sektor jasa
keuangan. Perlindungan konsumen yang diamanahkan kepada OJK disebutkan secara
eksplisit dalam Pasal 4 (c) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, bahwa:
“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: (c)
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.”
Pada kasus yang telah terjadi di Indonesia, maka atas tindakan kreditur yang
merugikan debitur sudah selakyaknya debitur menuntut haknya untuk mendapatkan
perlindungan hukum terhadap data pribadi miliknya yang disalahgunakan oleh kreditur untuk
melakukan penagihan. Hal ini, yaitu menyalahgunakan data pribadi debitur untuk melakukan
teror yang dapat menyebabkan kejiwaan debitur menjadi depresi, hingga berujung pada bunuh
diri. Pada kasus ini, kreditur memang berhak menuntut haknya dalam hal pembayaran
pelunasan hutang.
Sebagaimana yang telah diatur secara tegas dalam POJK No. 77 Tahun 2016 bahwa
untuk dapat memiliki kedudukan yang sah secara hukum sebagai penyelenggara pinjaman
online, maka syarat yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pinjaman online adalah
kewajiban terdaftar dan mendapatkan izin dari OJK. Kewajiban terdaftar dan mendapatkan
izin dari OJK, telah diatur dalam Pasal 7 POJK No. 77 Tahun 2016 yang menyatakan, bahwa:
“Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK.”8
8
Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 /Pojk.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK No. 77 Tahun 2016).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20
Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik (PM 20/2016),
memuat aturan terkait perlindungan data pribadi antara lain pada Pasal 26 ayat (1) UU ITE,
dan pada Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 36 ayat (1) PM 20/2016. Adapun sanksi-sanksi bagi
pihak yang melanggar selain bisa dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam
Pasal 36 ayat (1) PM 20/2016, dalam UU ITE, jika terbukti ada pelanggaran penyalahgunaan
data pribadi oleh pihak ketiga dan memenuhi unsur pidana, penyalahgunaan informasi data
pribadi untuk melakukan perbuatan yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman
atau ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dan menyebabkan
kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), (3), dan (4) jo Pasal 36 jo Pasal 51 ayat
(2), maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/ atau denda paling
banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). 9
9
Indonesia, Pasal 27 ayat (1), (3), (4) jo Pasal 36, Pasal 51 ayat (2), Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016.
perusahaan pinjaman online ilegal. Langkah-langkah preventif seperti lebih banyak
melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, dengan tujuan semakin banyak
masyarakat yang paham bagaimana memilih layanan pinjaman online yang kompeten serta
memahami risiko-risiko yang mungkin terjadi saat menggunakan layanan pinjaman online.
G. Penutup
1. Simpulan
2. Saran
Pentingnya adanya langkah-langkah preventif seperti lebih banyak melakukan
edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, dengan tujuan semakin banyak masyarakat
yang paham bagaimana memilih layanan pinjaman online yang kompeten serta
memahami risiko-risiko yang mungkin terjadi saat menggunakan layanan pinjaman
online.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Sanusi, M. Arsyad. 2011. Hukum dan Teknologi Informasi, Jakarta: Tim Kemas Buku.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi
Dalam Sistem Elektronik (PM 20/2016)
Martina Fina Dei, “Transaksi Pinjaman Online Ditinjau Dari Undang-Undang Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Suprayitno, Edi dan Nur Ismawati. 2008. Sistem Informasi Fintech Pinjaman Online
Berbasis Web. Jurnal Sistem Informasi Teknologi Informasi dan Komputer,
Vol 9, No. 2.