Anda di halaman 1dari 11

MATERI PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA)

DPN PERADI dan FH.UNISSULA SEMARANG

Pinjaman Online (Pinjol) dalam Perspektif Hukum di Indonesia

Oleh :

Permana Adi Kusumah, SH.MH

Pasar pinjaman online atau biasa disebut fintech lending di Indonesia sangat

besar. Mengutip data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI),

akumulasi penyaluran pinjaman nasional mencapai Rp. 155,90 trilyun dengan

pertumbuhan penyaluran kredit 27% yang mencapai Rp. 74 trilyun pada th. 2020.

Ditengah pandemi saat ini, banyak masyarakat yang menganggap pinjaman

online sebagai salah satu solusi memenuhi kebutuhannya. Apalagi proses

peminjamannya lebih simple. Tinggal download, daftar, dan uang pinjaman langsung

ditrasfer ke rekening pribadi. Mungkin karena prosesnya yang mudah, membuat pinjol

diminati masyarakat.

Sayangnya, kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung

jawab untuk meraup keuntungan. Pasar pinjol yang besar akhirnya ikut melahirkan

perusahaan pinjol ilegal. Beberapa waktu lalu, misalnya, media sosial diramaikan kabar

seorang guru di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang terjerat utang pinjol hingga

ratusan juta rupiah. Bahkan, ada kasus seseorang mendapatkan transfer dari sebuah

perusahaan Fintech meskipun dia tidak mengajukan pinjaman. Hal ini mungkin terjadi

seiring adanya kebocoran data pribadi seseorang.


Pinjol memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Itu sebabnya, banyak

pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh otoritas jasa keuangan (OJK) dibisnis pinjol.

Pertama, sistem pinjaman online sangat rentan diretas. Bahaya dari aksi peretasan ini

adalah bocornya data pribadi dari yang bisa disalahgunakan. Kedua, Pengawasan ketat

disertai pemblokiran perusahaan pinjol ilegal harus gencar dilakukan. Ketiga, Edukasi

masyarakat mengenai pinjol harus lebih getol.

Pengetahuan dan literasi masyarakat sangat minim. Banyak yang asal pinjam

dana ke pinjol tanpa tahu resiko dibelakangnya. Sebut saja bunga yang berlaku secara

harian berkisar 1% - 2%. Kemudian, penggunaan debt collector pihak ketiga yang

meresahkan karena tidak sungkan menagih dengan teror dan intimidasi. Disisi lain,

masyarakat harus bijak saat mengajukan pinjol. Saking mudahnya mengajukan

pinjaman, banyak yang malah meminjam bukan karena darurat tapi untuk memenuhi

gaya hidup. Jika memang harus mengajukan pinjol, sebaiknya memilih pinjol legal dan

terdaftar di OJK.

Perspektif Hukum Pinjol, menurut sistem hukum di Indonesia layanan pinjam

meminjam uang berbasis teknologi informasi sendiri diatur dalam Peraturan Otoritas

Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK 77/2016). Pasal 1 angka 3 POJK

77/2016 menerangkan bahwa layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi

informasi adalah peyelenggaraan pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka

melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung

melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Legal standing

penyelenggaraannya, pihak yang terlibat langsung dalam transaksi pinjol adalah


penyelenggara layanan pinjol, pemberi pinjaman (kreditur), dan penerima pinjaman

(debitur). Untuk diketahui bahwa dasar hubungan hukum yang menyebabkan timbulnya

hak dan kewajiban diantara pihak-pihak tersebut adalah keberadaan sebuah perjanjian.

(termaktub pada Pasal 18 POJK No.77/POJK.01/2016). Perjanjian tersebut menjadi

kumulasi yang saling terikat dan tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya. Selain

hubungan hukum berdasarkan perjanjian, hal yang tak kalah penting untuk diketahui

adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pinjol agar diakui

kedudukan dan legalitasnya di depan hukum.

Di POJK No.77 th 2016 diatur secara tegas bahwa untuk dapat memiliki

kedudukan yang sah secara hukum sebagai penyelenggara pinjol, maka syarat yang

harus dipenuhi oleh penyelenggara pinjol adalah terdaftar dan mendapatkan izin dari

OJK. (Pasal 7 POJK yang menyatakan bahwa: “Penyelenggara wajib mengajukan

pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Konsekuensi logis dari tidak dipenuhinya

persyaratan tersebut adalah tidak adanya keabsahan tindakan penyelenggara pinjol

dalam aktifitas usahanya.”

Pada titik ini, maka tidak adanya legalitas penyelenggara pinjol, termasuk pula

berdampak pada keabsahan dari perjanjian yang dibuat oleh pihak penyelenggara pinjol

illegal dengan pihak penerima pinjol. Dalam pembuatan suatu perjanjian, undang-

undang telah memberikan persyaratan yang harus dipenuhi agar perjanjian sah dan

mengikat secara hukum. Secara umum, syarat sah perjanjian termuat dalam Pasal 1320

KUHPerdata. Pertama, adalah syarat subjektif, yakni kesepakatan dan kecakapan para

pihak. Kedua, syarat objektif, yakni adanya objek yang jelas dan kausa halal. Apabila

syarat subjektif tidak terpenuhi, maka konsekuensinya adalah perjanjian dapat


dibatalkan. Sementara apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka akibatnya adalah

perjanjian batal demi hukum atau dari semula perjanjian dianggap tidak pernah terjadi.

Sebagaimana, Mahfud MD Menkopolhukam yang menyerukan kepada para korban

pinjaman online ilegal untuk tidak membayar tagihan, sebab pinjol ilegal tidak sah

secara hukum perdata karena tidak memenuhi syarat objektif dan subjektif. Oleh karena

itu, pemerintah menganggap semau aktivitas pinjol ilegal batal demi hukum. Adapun

beberapa pasal yang akan dipakai mulai dari Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan

Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Disamping itu, aparat

sesungguhnya juga memanfaatkan UU Perlindungan Konsumen dan UU Informasi dan

Transaksi Elektronik, terutama pada Pasal 29 dan Pasal 32.

Sehubungan dengan kedudukan hukum, dan wewenang atau entitas hukum

untuk membuat suatu perjanjian, maka syarat yang berkaitan erat adalah syarat

kecakapan. Menurut doktrin hukum indikator menentukan kecakapan para pihak dalam

membuat perjanjian dilihat dari dua hal, yakni kemampuan hukum dan kewenangan

hukum. Kecakapan yang dilihat dari indikator kemampuan hukum dalam membuat

perjanjian, pada umumnya diatur dari standar usia kedewasaan (meerderjing) dan

kebebasan bertindak di depan hukum – ada atau tidaknya pengampuan atas dirinya.

Sedangkan, kecakapan yang dilihat dari kewenangan bertindak di depan hukum

(bevoegheid) umumnya diberlakukan untuk badan hukum (recht person). Tidak

terpenuhinya syarat subjektif dan batalnya perjanjian antar penyelenggara pinjol dan

pemberi pinjaman, maka dapat berdampak pula pada keabsahan perjanjian pinjol antara

kreditur dengan debiturnya.


Menurut hukum, terpenuhinya syarat batal dari suatu perjanjian adalah

kembalinya keadaan seperti pada saat sebelum perjanjian dibuat (restitutio integrum).

(Pasal 1265 KUHPerdata). Hal tersebut memiliki relevansi dengan perjanjian pinjol

illegal, dikarenakan pihak penyelenggara tidak memiliki kewenangan membuat

perjanjian pinjol, maka segala bentuk perikatan terkait pinjol memenuhi syarat

kebatalan.

Instrumen hukum materiil, pada dasarnya salah satu tujuan dibuatnya regulasi adalah

untuk memberikan perlindungan bagi setiap pihak untuk berinteraksi. Tidak terkecuali

dalam interaksi jasa keuangan, regulasi demi regulasi diterbitkan. Salah satu tujuan

utamanya adalah memberi perlindungan dan jaminan hukum bagi pihak yang terlibat,

baik nasabah atau konsumen maupun pelaku usaha. Di Indonesia terdapat peraturan

yang diterbitkan guna mengatur interaksi antara pelaku usaha dan konsume , yakni UU

No. 8 th 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sementara pada sektor jasa keuangan

terbit POJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan.

Sehubungan dengan aktifitas pinjol ilegal yang menawarkan produknya dengan dalil

telah terdaftar dan mendapatkan izin dari OJK, ketentuan khusus yang layak

diperhatikan adalah Pasal 8 ayat (1) huruf f UU No.8 th 1999 Pasal tersebut tegas

mengatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan , iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Pelanggaran

yang dilakukan oleh pelaku usaha, termasuk penyelenggara pinjol, terhadap ketentuan

tersebut diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak sebesar

Rp. 2 milliar. Hal ini diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 tahun 1999.
Sebagai contoh konkrit penerapan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf f

UU No.8/1999 terhadap pinjol ilegal dapat dilihat pada putusan PN Jakarta Utaara

No.526/Pid.Sus/2020/PN Jak.Utr tanggal 22 September 2020. Perkara tersebut

disidangkan sehubungan dengan tindakan beberapa orang yang mendirikan perusahaan

penyelenggara pinjol pada tahun 2018 dan memiliki aplikasi pinjol. Dalam proses

penawaran penjualan produk, untuk menarik minat calon konsumen perusahaan

mengaku telah diatur dan diawasi oleh OJK. Namun, berdasarkan fakta persidangan

terbukti bahwa perusahaan tidak pernah terdaftar dan tidak memiliki izin dari OJK,

sehingga penawaran yang dilakukan oleh pinjol tersebut tidak sesuai dengan fakta yang

sebenarnya. Untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan pelaku, pada amar putusan

pengadilan, majelis hakim menghukum pelaku dengan pidan penjara selama 9 bln 15

hari. Berdasarkan ilustrasi di atas, maka dapat diketahui bahwa salah satu instrument

hukum dapat digunakan untuk menindak tegas pelaku pinjol illegal adalah ketentuan

pidan dalam UU No.8 tahun 19999.

Untuk itu, perlu kiranya diketahui perbandingan anatar pinjol ilegal dan legal

sebagaimana dilansir dari situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK) :

 Regulator/Pengawasan

Pada aspek pertama ini, pinjol ilegal tidak memiliki regulator khusus

dalam mengawasi kegiatan penyelenggara pinjol yang berbanding terbalik

dengan pinjol legal karena mereka akan berada dalam pengawasan OJK

sehingga memperhatikan aspek perlindungan konsumen.

 Bunga dan Denda


Sebagai penyedia pinjaman, bagi pinjol legal diwajibkan untuk memberi

keterbukaan informasi kepada konsumen mengenai bunga dan denda

maksimal. kDalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia

(AFPI) telah diatur bahwa biaya pinjaman maksimal 0,8% per hari dan

total seluruh biaya termasuk denada adalah 100% dari nilai pokok

pinjaman. Pinjol ilegal tidak menyediakan transparansi informasi yang

jelas serta tidak mengikuti dasar hukum, sehingga sering mengenakan

biaya dan denda yang sangat besar.

 Kepatuhan Peraturan

Aspek ini tentu jelas bahwa tidak seperti pinjol legal, pinjol ilegal

menyelenggarakan kegiatan tanpa mematuhi peraturan, baik POJK atau

perundang-undangan lain yang berlaku.

 Pengurus

Jajaran Direksi dan Komisaris penyelenggara pinjol legal yang terdaftar

OJK pasti memiliki alatar belakang setidaknya pengalaman minimal satu

tahun di Industri Jasa Keuangan pada level manajerial, sedangkan pinjol

ilegal tidak memiliki standar pengalaman apapun.

 Cara Penagihan

Cara penagihan antara pinjol legal dan ilegal memiliki perbedaan yang

kontras, karena seharusnya para tenaga penagih dilembaga pinjol legal

diwajibkan untuk sebelumnya untuk mengikuti sertifikasi yang dilakukan

oleh AFPI, sedangkan pinjol ilegal melakukan penagihan cenderung

dengan cara yang kasar. Dan bertentangan dengan hukum.

 Asosiasi
Sebagai lembaga pinjol legal yang terdaftar di OJK otomatis wajib

menjadi anggota asosiasi yang ditunjuk yaitu AFPI, maka pinjol yang

tidak memiliki asosiasi ataupun tidak menjadi anggota AFPI bisa dikatan

sebagai pinjol ilegal.

Memang, viralnya pemberitaan-pemberitaan tentang pinjol yang

disinyalir ilegal, sehingga menarik perhatian Kepala Negara/Presiden yang secara

khusus sempat menyoroti keberadaan pinjol yang menjerat masyarakat ekonomi kelas

bawah ini. Dimana Presiden mengatakan, maraknnya pinjaman online terjadi seiring

dengan berkembangannya inovasi dibidang fintech. Bank-bank berbasis digital terus

bermunculan bersamaan dengan munculnya asuransi berbasis digital, didukung dengan

hadirnya macam e-payment. Berdasarkan keterangan dalam isu ilegal, maka dapat

diasumsikan “ilegal” dimana penyelenggara tidak melakukan kewajibannya untuk

mendaftarkan diri dan mengajukan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 POJK 77/2016, sehingga patut diperhatikan bahwa perjanjian hanya berlaku

bagi pihak-pihak yang membuatnya sebagaimana bunyi pasal 1338 KUHPerdata :

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai


undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan ke dua belah pihak, atau karena ada
alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.

Sebagaimana diterangkan dalam POJK 77/2016, penyelenggara dan

pemberi serta penerima pinjaman merupakan tiga entitas yang berbeda. Penyelenggara

terbatas pada penyedia platform yang mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima

pinjaman. Sementara itu, jika merujuk pada Pasal 18 huruf b POJK77/2016, perjanjian

pinjam meminjam pada dasarnya dibuat antara pemberi dan penerima pinjaman, bukan

dengan penyelenggara. Namun, banyak kasus ditemukan dimana penyelenggara


kemudian bertindak sebagai kuasa dari pemberi pinjaman dalam memberikan

pinjamannya kepada penerima pinjaman. Padahal, Pemberian kuasa diatur dalam Pasal

1792 KUHPerdata yang menerangkan bahwa :

Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian


kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan
sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penerima kuasa haruslah juga

memenuhi unsur subjektif dalam Pasal 1320 KUPerdata sebagaimana telah teruraikan

pada paragraf terdahulu. Banyaknya regulasi secara keperdataan harus mengatur

tentang sebuah perjanjian, namun kasus tentang fintech memiliki karakteristik tertentu

sehingga pola penyelidikan pun harus tepat dan benar. Sehingga penyidik (polisi) perlu

melihat secara utuh dalam mengusut kasus kejahatan pinjaman online, mulai dari pesan

berantai yang dikirim serempak kepada seluruh sasaran hingga sampai ke proses

pinjaman, tidak dapat dilihat secara parsial saja. Selain itu, berdasar laporan dari Satuan

Tugas Waspada Investasi OJK tentang banyaknya akun yang terblokir, akun-akun

tersebut harus semua diselidiki.

Kepolisian memang harus menjadi institusi terdepan dalam memberantas

pinjaman online ilegal ini. Dibutuhkan pedoman bagi para pihak untuk melaksanakan

kerjasama melindungi masyarakat dari penawaran pinjaman online ilegal dan

memperkuat upaya pemberantasan pinjaman online ilegal, kemudian dapat juga

disangkakan Pasal 378 KUHP (penipuan) dan/atau Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 atau

Pasal 6 atau Pasal 10 UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sebelum permasalahan pinjaman online atau fintech peer to peer ilegal

yang semakin menggurita dan meresahkan masyarakat, lima lembaga negara yaitu :
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) Kepolisian Republik Indonesia

(Polri), Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementrian UMKM

menyatakan sikap bersama memperkuat langkah-langkah pemberantasan pinjaman

online ilegal. Seperti, Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan selama

ini OJK telah melakukan berbagai (SWI). Sedangkan, Jenderal Lystio Sigit Pranowo

(Kapolri) menyatakan pada periode 2018-2021 Polri telah melakukan 14 penegakkan

hukum pinjaman online ilegal dengan berbagai modus operandi yang merugikan

masyarakat.

Penegakkan hukum yang tegas oleh institusi Polri dan OJK diharapkan

dapat mempersempit gerak pelaku pinjaman online ilegal. Disamping itu, ada juga

wacana moratorium mengenai penerbitan izin baru pinjaman online. Pendekatan-

pendekatan tersebut memang perlu diapresiasi karena bertujuan mempersempit ruang

gerak pelaku pinjaman online ilegal, sehingga pengaruh buruk Pinjol ilegal ke Industri

P2P lending bakal berkurang. Satgas Waspada Investasi (SWI) bersama dengan Google

mempersempit gerak pinjol ilegal yang kerap kali memang merugikan masyarakat dan

membawa pengaruh buruk kepada industri yang tengah berkembang, khususnya fintech

terdaftar yang sesuai dengan OJK. Teknologi finansial peer to peer (P2P) lending legal

mulai bisa bernafas lega, karena aplikasi pinjaman online ilegal kini bakal lebih sulit

beredar bebas, karena terealisasinya kerjasama OJK bersama 12 Kementrian &

Lembaga dalam Satgas Waspada Investasi, semisal aplikasi pinjol ilegal dan pinjaman

pribadi yang selama ini berkeliaran di Google Play yaitu dengan penyertaan bukti

perizinan dari OJK. Asas Legalitas menjamin kepastian hukum demi terwujudnya ruh

dari hukum itu sendiri, yaitu keadilan. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hukum

yang adil terhadap pengguna The Universal Declaration of Human Rights 1948, yaitu :
“No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy,
family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and
reputation. Everyone has the right to the protection of the law against
such interference or attacks”.

Hal tersebut perlu dikemukakan, karena hak pengguna layanan pinjaman

online yang telah terlanggar karena adanya unsur ancaman dan teror dari pihak

perusahaan pinjaman online. Ancaman dan teror itu tentunya menimbulkan rasa takut,

rasa malu serta ketidaknyamanan seseorang sebagai akibat penyebaran informasi

kepada keluarga, teman dan orang-orang yang dikenal pengguna layanan online.

Berbagai kasus pelanggaran HAM yang dialami pengguna layanan

pinjaman online sebagai konsumen pada dasarnya berawal dari perjanjian pinjaman

yang mungkin saja dibuat sepihak dan dipahami oleh konsumen serta terkadang pihak

penyedia layanan enggan untuk memberiahukan dengan jelas terkait klausula tersebut

karena adanya resiko calon pengguna layanan pinjaman online membatalkan rencana

menggunakan fasilitas pinjaman online tersebut. Dari segi hukum, terdapat larangan

bagi penyelenggara pinjaman online sebagai pelaku usaha untuk mencantumkan

klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian sebagaimana tercantum dalam

Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dengan berbagai peraturan-peraturan tersebut diatas, maka dapat

dilakukan penyelesaian hukum melalui sanksi berkenaan dengan pelanggaraan hak

pengguna layanan yang hanya memberikan keuntungan sepihak bagi perusahaan

online. Akan tetapi, yang berkaitan penggunaan data pribadi seseorang masih

memerlukan peraturan lebih lanjut yang sampai sekarang ini belum ada peraturan yang

secara khusus mengatur mengenai hal tersebut.

***** SEMOGA SUKSES******

Anda mungkin juga menyukai