PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat hukum dan pembangunan hukum pada dasarnya merupakan dua konsep yang
berbeda, namun memiliki titik temu pada objek pembahasannya yaitu tentang hukum.
Filsafat hukum sebagai suatu disiplin keilmuan, sementara pembangunan hukum
merupakan suatu kebijaksanaan yang bersifat nasional dalam bentuk pembangunan di
bidang hukum. Pembangunan di bidang hukum menjadi penting karena bertujuan untuk
menghasilkan produk-produk hukum yang dapat mendukung dan mengamankan
pembangunan hukum Nasional dan sebagai aktualisasi dari konsep Negara hukum
sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-undang dasar 1945.
Sebagai suatu disiplin keilmuan, filsafat hukum melakukan usaha pengkajian tentang
hukum secara mendasar dengan sistematis dan dengan metode yang rasional. Oleh
karena itu filsafat hukum akan memberikan jawaban terhadap apakah hukum itu, yang
pada hakikatnya pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh hukum dan ilmu-ilmu lainnya.
Atas dasar pendekatan dan pengkajian filsafat hukum inilah maka hukum yang akan
dibangun akan tetap berlandaskan nilai ideologi, nilai budaya, nilai historis, nilai
sosiologis dan nilai juridis. Di samping itu filsafat hukum bertujuan untuk menjelaskan
nilai- nilai dan dasar-dasar hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya.
1
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum
harus memperhatikan 4 unsur, yaitu :
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan dari makalah dengan judul “Urgensi dan Relevansi Filsafat
Hukum Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia“ yang akan diuraikan oleh Penulis
dalam tulisan ini adalah :
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada makalah ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif yaitu berpedoman pada tinjauan kepustakaan yang
dapat dijelaskan sebagai berikut : Melalui penelitian normatif melalui study
kepustakaan (library research) yaitu bahan-bahan yang diperoleh melalui buku-
buku dan tulisan lainnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pertanyaan tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat
hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi
jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Hal tersebut tidak lain karena
ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-
gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-
perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai
di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah
hukum, tidak termasuk dunia kenyataan (das sein), tetapi berada pada dunia nilai (das
sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang
dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan dengan hukum itu sendiri, seperti
hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa
sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah
3
kontemporer seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum. Ada
permasalahan penting yang dibahas oleh filsafat hukum yaitu : adakah pengertian hukum
yang berlaku umum, apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum dan adakah sesuatau
hukum kodrat. Selanjutnya yang perlu dikaji dalam filsafat hukum antara lain : hubungan
hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya, apa
sebabnya negara berhak menghukum seseorang, apa sebab orang menaati hukum, masalah
pertanggungjawaban, masalah hak milik, masalah kontrak dan masalah peranan hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Apabila dilihat kecenderungan dalam ilmu hukum, ternyata ada dua kecenderungan
yang sedang terjadi, yakni : (1) ilmu hukum terbagi-bagi ke dalam berbagai bidang yang
seolah-olah masing-masing berdiri sendiri, (2) ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu
lain sehingga seolah-olah bukan merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu hukum
mempunyai objek kajian hukum. Sebab itu kebenaran hukum yang hendak diungkapkan
oleh ilmuwan hukum berdasarkan pada sifat-sifat yang melekat pada hakekat hukum.
Untuk membicarakan hakekat hukum secara tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan
yang mendasarinya.Tinjauan tersebut yaitu tinjauan ontologis, tinjauan epistemologis dan
tinjauan aksiologis.
a. Tinjauan Ontologis
4
b. Tinjauan Epistemologis
c. Tinjauan Aksiologis
Adalah melihat bagaimana aksi atau pelaksanaan dari sesuatu. Dengan kata lain
bagaimana pengaruh dan kemanfaatan (utility) suatu objek bagi kepentingan hidup
manusia. Tinjauan aksiologis tak dapat dilepaskan dari persoalan nilai (value) yang
dianut dan mendasari suatu objek tertentu.
Kita tidak dapat memungkiri, bahwa perkembangan ilmu dan teknologi begitu
pesatnya. Dengan ilmu yang dimiliki manusia, sudah banyak masalah yang berhasil
dipecahkan. Rahasia alam semesta, misalnya, telah banyak diungkapkan melalui kemajuan
ilmu tersebut, yang pada gilirannya menghasilkan teknologi-teknologi spektakuler, seperti
bioteknologi, teknologi di bidang komputer, komunikasi maupun ruang angkasa. Akan
tetapi sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja ada pertanyaan-
5
pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Maka ketika ilmu tidak lagi mampu menjawab,
pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat.
Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena
berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu.1 Ada beberapa ciri berpikir secara
kefilsafatan, yaitu :
1
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Suatu Tinjauan Problematik Filsafat Hukum
Indonesia, Jakarta:PT, Gramedia Pustaka Utama, , 1999, Hal 110
6
tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan
pemikiran. Filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada
pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam
menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan
mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak
dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka,
tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang
itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku
“corong undang-undang” semata. Berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat
filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat
gambling. Seperti yang di nyatakan oleh Darji Darmodiharjo berikut ini :
Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan hukum yang sudah
ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk
memeriksa nilai dari pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.3
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif.
Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang
dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut.
Seperti yang di nyatakan oleh Sugiyanto Darmadi berikut ini :
2
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 17.
7
3 Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Bandung, Mandar Maju, 1998,
hal. 18.
8
Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan
arah, dan menuntun pada jalan baru.4
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga
menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan
berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan
salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan
terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses
reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk
konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian
masalah-masalah yang terjadi.
Pendekatan didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum
itu sendiri. Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh
masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap
lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan
tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya.
4
Ibid.
5
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, Rosda Karya, 1988 hal. 8.
9
pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru
pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan
alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain.
10
Sementara itu, setelah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, sangat dirasakan adanya
kebutuhan untuk mengadakan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang
banyak pihak menilai ada pasal yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.
Ditambah lagi dengan munculnya kebutuhan untuk mewadahi perkembangan otonomi
daerah di masa depan yang dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya dinamika
hukum adat di desa-desa yang cenderung diabaikan atau malah sebaliknya
dikesampingkan dalam setiap upaya pembangunan hukum selama lebihdari 60 tahun
terakhir. Didalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa
Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia, hal ini
dirasa sesuai mengingat falsafah Pancasila adalah merupakan roh perjuangan dari para
pejuang bangsa, yang merupakan alat pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak
oleh daerah, ras, suku, agama, golongan, dan lain sebagainya, mengingat masyarakat
Indonesia sangat heterogen, maka dengan kembali pada Pancasila, cita-cita luhur para
pejuang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sejahtera dimungkinkan
dapat tercapai.
Dilihat dari materinya Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang
merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasila terbuat
dari materi atau bahan dalam negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan
bangsa, tidak merupakan produk impor dari luar negeri, meskipun mungkin saja mendapat
pengaruh dari luar negeri .
Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia,
rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka
dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum Indonesia, maka
Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan
demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum
positif Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif
kita . 21 Dengan demikian penulis sepakat jika filsafat hukum Indonesia, adalah di mulai
dari pemaham kembali (re interpretasi) terhadap pembukaan UUD 1945.
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu kondisi
dari suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat kualitas yang
dianggap baik atau paling baik. Pembangunan yang dilaksanakan tentu saja pembangunan
yang memiliki pijakan hukum yang jelas, bisa dipertanggungjawabkan, terarah serta
11
proporsional antara aspek fisik (pertumbuhan) dan non-fisik. Apabila diteliti semua
masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan dengan perubahan, bagaimanapun
kita mendefenisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi
masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk
menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.
Pada satu pihak, pembangunan hukum merupakan upaya untuk merombak struktur
hukum lama (struktur hukum pemerintahan penjajah) yang umumnya dianggap bersifat
eksploitatif dan diskriminatif. Sedangkan pada pihak lain, pembangunan hukum
dilaksanakan dalam kerangka atau upaya memenuhi tuntutan pembangunan masyarakat.
Bidang hukum diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam memacu percepatan
pambangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan
pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan menengah dan jangka
panjang. Meskipun disadari, setiap saat hukum bisa berubah sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang menghendakinya.
12
Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan hukum yang sudah tidak up to
date namun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyonsong era mendatang jelas
peraturan-peraturan hukum tersebut memerlukan revisi dan jika perlu dirubah total dengan
materi yang mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini. Masalahnya adalah
apakah proses perubahan atau pembaharuan hukum yang berlangsung di Indonesia telah
dilakukan sesuai dengan kaedah-kaedah normative dan atau sesuai dengan nilai-nilai
hukum dalam masyarakat. Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat fungsi hukum tidak
semata-mata sebagai alat kontrol sosial (social control), tetapi juga memiliki fungsi
sebagai sarana rekayasa atau pembaharuan sosial.
13
poligami tersebut, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang mempertahankan pasal serta
isi dari Undang-undang Perkawinan tersebut. DPR adalah lembaga yang berjuang
mengesahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan
pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai sekarang masih berlaku tanpa adanya
perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari kebutuhan
masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan.
Hukum adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi negara Indonesia, contoh
adanya Undang-undang Agraria, kemudian munculnya Undang-undang Otonomi daerah,
yang pada intinya memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen.
Maka dengan filsafat hukum yang dikembangkan melalui ide dasar Pancasila akan
dapat mengakomodir berbagai kepentingan, berbagai suku, serta menyatukan perbedaan
ideologi dalam masyarakat yang sangat beraneka ragam, dengan demikian masyarakat
Indonesia akan tetap dalam koridor satu nusa, satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa,
yang menjunjung nilai-nilai luhur Pancasila. Satjipto Rahardjo mengemukakan
pendapatnya bahwa filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum, tentang
dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hokum itu sendiri.6
Kajian filsafat hukum melihat jauh lebih dalam lagi, tidak hanya sekedar bagaimana
ketentuan hukum positif menentukan masalah dan latar belakang sejarahnya, tetapi
bagaimana nilai-nilai hakiki yang mendasari ketentuan tersebut sehingga filsafat akan
lebih banyak berhubungan dengan masalah nilai-nilai dasar dari hukum, Ilmu hukum
sebagai suatu ilmu empiris (das sein) sedang filsafat hukum melihat hukum sebagai suatu
yang tersembunyi di balik aturan hukum berupa suatu hukum yang ideal (recht idea) yang
tidak termasuk dalam dunia kenyataan (das sein) melainkan termasuk dunia nilai.
Sementara itu, pembangunan hukum nasional, baik dalam dimensi konstitusional, dimensi
juridis sosiologis dan dimensi perspektif dan kemudian dikemukakan bagaimana
strategisnya pembangunan hokum nasional sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita
nasional sebagaimana yang ditegaskan dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar 1945.
Begitu urgen dan strategisnya pembangunan hokum nasional, maka pembangunan hukum
nasional harus didasari oleh landasan idiil, strukturil dan operasionalnya.
6
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1982, hal 321.
14
Dari landasan dasar pembangunan hukum nasional tersebut disusun pola arah
pembangunan hukum nasional yang pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan produk
hukum yang dapat mengatur tugas urnum pemerintahan dan penyelenggaraan
pembangunan nasional, sehingga tercipta rasa keadilan sesuai dengan kemanusiaan dan
semakin berkembangnya kehidupan masyarakat yang sadar dan taat kepada hukum.
Bertitik tolak dari urgen dan strategisnya pembangunan hukum dalam totalitas
pembangunan nasional, pola dasar, arah dan strategi dasarnya, maka dapat ditegaskan
bahwa pelaksanaan pembangunan hukum nasional bertujuan untuk membentuk,
meningkatkan dan mengembangkan sikap kesadaran masyarakat bangsa Indonesia
terhadap hukum. Tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap hukum akan dapat tercipta
apabila masyarakat telah mendapatkan rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan dari
hukum yang dibangun. Atas dasar konsepsi tujuan pembangunan hukum yang
dilaksanakan bangsa Indonesia sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka
persoalan yang pertama dan utama yang akan timbul adalah "hukum yang bagaimana yang
akan dibangun itu" untuk menjawab pertanyaan yang sederhana ini tidaklah semudah
mempertanyakannya, disebabkan pertanyaan tersebut akan berlanjut kepada pertanyaan
yang bersifat filosofis yaitu "apa itu hukum" atau "apa hakikat hukum itu". Jika hukum
dinyatakan hanya dalam bentuk gejala sosial, dan hukum dalam pengertian ini yang akan
dibangun, maka dapat ditegaskan bahwa pola pikir dan konsepsi hukum yang demikian
tidak akan dapat menjawab tujuan pembangunan hukum.
Hukum dalam pengertian gejala sosial hanya bersifat formalitas dan bersifat lahiriah
semata, oleh karena itu hukum dalam pengertian ini tidak akan dapat mengaktualisasikan
rasa keadilan dan moralitas. Tujuan pembangunan hukum nasional hanya akan dapat
dicapai, apabila tercipta suatu pola pandang tentang hukum yang akan dibangun itu tidak
saja hukum dalam pengertian gejala sosial, akan tetapi hukum yang terkait dengan nilai-
nilai dasar dan ideologi, nilai-nilai budaya, nilai-nilai moral dan susila serta nilai-nilai
keadilan.
Dengan demikian maka hukum yang akan dibangun itu adalah hukum yang dilandasi
oleh nilai-nilai yang bersifat universal dan terdapat pada setiap manusia yang disebabkan
dengan keberadaannya yang manyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hanya dengan
memandang hukum dalam konsepsi inilah akan dapat diwujudnyatakan tujuan
pembangunan hukum nasional. Dalam usaha untuk melakukan ini, hukum ditempatkan
15
pada kedudukan di tengah-tengah sistem nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat
Indonesia.7
Jika hukum telah dapat dipandang dalam konsepsi yang menyatu dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal, maka suka atau tidak suka, disenangi atau tidak
disenangi keberadaan filsafat hukum memiliki peran penting dalam pembangunan
nasional. Persoalan hukum yang berhubungan dengan nilai-nilai, hanya dapat dijawab
melalui filsafat hukum. Pemikiran sistematik teori hukum pada satu sisi berkaitan dengan
filsafat dan sisi lain dengan teori politik. Seringkali titik tolaknya adalah filsafat dan
ideologi politik berperan sebagai pelengkap. Misalnya dalam system skolastik
Pada akhirnya seorang ahli hukum akan mengartikan hukum, sebagai jalinan nilai-
nilai, dan nilai-nilai tersebut akan dirumuskannya sebagai konsep-konsep abstrak dalam
diri manusia mengenai apa yang dianggap baik akan dianutnya dan apa yang dianggap
buruk harus dihindari sehingga filsafat hukum akan memberikan jawaban yang tidak
terjawab oleh ilmu hukum.8
7
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1983, hal 233.
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hufeum, Jakarta, UI Press, 1984, hal.44.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan penulis secara singkat diatas, kiranya penulis dapat menyimpulkan
pembahasan sebagai berikut :
a. Filsafat Hukum adalah merupakan pembahasan secara filosofis tentang hukum,
yang sering juga diistilahkan lain dengan Jurisprudence, adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara mendalam sampai
pada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat. Filsafat hukum sebagai suatu disiplin
keilmuan juga berusaha mengkaji hukum sebagai objeknya secara mendasar
dengan sistematis dan metode yang rasional memiliki peranan penting dalam
pembangunan hukum nasional.
b. Pentingnya filsafat hukum dalam pembangunan hukum nasional dikarenakan
hanya dengan filsafat hukum sebagai salah satu variabelnya pelaksanaan
pembangunan hukum nasional akan dapat menjawab berbagai kebutuhan
masyarakat dan sekaligus dapat merespon perkembangan kehidupan seiring dengan
dinamika pembangunan nasional.
c. Dengan filsafat hukum akan tercipta pilihan-pilihan yang tepat terhadap hukum
yang akan dibangun oleh karena filsafat hukum akan menentukan hukum yang
berdimensi nilai dasar, nilai budaya, nilai historis, nilai sosiologis dan nilai juridis,
sehingga hukum yang lahir sebagai produk pembangunan hukum nasional tidak
saja hukum dalam arti gejala sosial kemasyarakatan semata, akan tetapi hukum
yang diproduk adalah hukum yang memiliki dimensi moral, dimensi keadilan,
dimensi kepastian dan dimensi kemanfaatan yang pada akhirnya akan bermuara
kepada semakin tumbuh dan berkembangnya sikap dan kesadaran masyarakat
terhadap hukum yang mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan dan
dipertahankan oleh aparat negara yang berwenang.
B. Saran-saran
a. Hendaknya bagi pemegang kekuasaan di Indonesia terutama (legislatif, Eksekutif,
dan yudikatif), agar selalu belajar dan mengkaji lebih jauh tentang filsafat hukum,
serta pemahaman terhadap Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di
17
Indonesia (Pancasila), agar pembaharuan atau hukum yang diciptakan adalah
benar-benar merupakan rules for the game of life bagi masyarakat luas.
b. Hendaknya sering dilakukan diskusi (pembahasan ulang) oleh pakar filsafat hukum
terhadap perundang-undangan yang masih belum memenuhi rasa keadilan bagi
masyarakat luas, dan tentunya peran diskusi ilmiah antar pakar filsafat hukum di
indonesia sangatlah urgen untuk dilakukan dalam mengubah hukum yang hanya
mengedepankan legalitas belaka, tanpa melihat living law yang terjadi dalam
masyarakat, serta mengingat sekian lama Indonesia di doktrin oleh Belanda untuk
”dipaksa”, memakai sistem Civil law yang bermuara pada legalitas belaka, yang
terkadang sering tidak bermuara pada keadilan yang seutuhnya.
c. Terkhusus bagi para mahasiswa pemerhati hukum pada Perguruan Tinggi, haruslah
terus belajar terhadap hakikat filsafat hukum, yang nantinya pasti akan berguna
bagi perbaikan sistem hukum di Indonesia yang masih dirasa carut marut.
18
DAFTAR PUSTAKA
Shidarta dan Darji Darmodiharjo, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sugiyanto, Darmadi, 1998, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju,
Bandung
Poerwantana, dkk, 1982, Seluk Beluk Filsafat Islam, Rosda Karya, Bandung.
19