ABSTRAK
A. Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi sangat pesat dan telah membawa
banyak perubahan, salah satu perubahan yang sangat besar akibat
berkembangnya teknologi informasi adalah dalam bidang ekonomi.
Perkembangan teknologi informasi secara signifikan telah mengubah
sistem ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi digital. Sistem
digital ini memungkinkan dunia usaha melakukan suatu transaksi dengan
menggunakan media elektronik yang lebih menawarkan kemudahan,
Sengketa Melalui Arbitrase Onlien, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 5 N0. 4 (2008)
3 Stefani, Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-Commerce Di Indonesia
7
Idris Thalib, Bentuk Putusan Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Mediasi, Lex Et Societatis, Vol 1 No.
1 (2013)
dan “law of the parties”. Selain putusan arbiter yang final dan
mengikat, dikenal pula pendapat mengikat (“binding opinion”-
“binded adves)”.8
b. Konsep E-Commerce
Pemanfaatan sistem informasi dalam sektor bisnis, akan
membantu dan meningkatkan kinerja. Hampir seluruh aktivitas
perkonomian di dunia menggunakan media internet. Salah satu
aspek aktifitas ekonomi tersebut adalah dalam hal bertransaksi
dengan menggunakan media internet yang dikenal dengan e-
commerce.9 E-commerce dikaji aspek hukum apabila dilihat dalam
konteks Keabsahan Kontrak Elektronik, maka e-commerce lahir
berdasarkan kontrak jual beli yang terjadi secara elektronik antara
penjual dan pembeli. Masih adanya keterbatasan dalam hukum
diIndonesia, sebab aturannya belum mengakomodir tentang
syarat-syarat sahnya suatu kontrak elektronik secara
khusus.Namun, prinsip dasar keberlakuan suatu kontrak di
Indonesia berpedoman pada Pasal 1320 KUH Perdata, sehingga
dapat pula diterapkan pada kontrak elektronik.10
Untuk mengukur apakah sebuah kontrak tersebut telah
mengawal dan melindungi transaksi dengan baik, tentu saja
dibutuhkan sebuah kontrak yang sah dimata hukum. Adapun
persoalan kontrak atau perjanjian di Indonesia sampai saat ini
masih mengacu pada ketentuan-ketentuan KUH Perdata, dimana
syarat-syarat sahnya sebuah kontrak sesuai dengan Pasal 1320
diperlukan empat syarat, yaitu:
1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3) suatu hal tertentu.
4) suatu sebab yang halal.11
E-commerce ini pada dasarnya akan melahirkan suatu
dokumen elektronik, yang memiliki beberapa unsur. Pertama,
merupakan informasi elektronik; kedua, berbentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya; ketiga, dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem e-
8
Muskibah, Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), Vol.
4 No. 2 (2018)
9
Rochani Urip Salami dan Rahadi Wasi Bintoro, Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sengketa
Transaksi Elektronik (E-Commerce), Jurnal D inamika Hukum, Vol. 13 No. 1 (2013)
10
Ardiana Hidayah, Konsep Pembangunan Hukum E-Commerce, Vol. 17 No. 2 (2019)
11
Emilda Kuspraningrum, Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam UU ITE Ditinjau Dari Pasal 1320
KUHPerdata dan Uncitral Model Law On E-Commerce, Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, Vol. 7
No. 2 (2011)
lektronik; keempat, tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol atau perforasi; dan kelima, memiliki makna atau arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.12
c. Keabsahan Putusan Arbitrase Online Menurut Hukum Indonesia
Dalam perkembangannya telah muncul berbagai cara
membuat perjanjian dengan memanfaatkan teknologi informasi,
maka yang menjadi persoalan apakah perjanjian arbitrase yang
dibuat dalam suatu clickwrap agreement maupun penggunaan
email dan penggunaan tanda tangan secara elektronik memenuhi
persyaratan sebagai tertulis yang disyaratkan dalam New York
Convention maupun dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Perjanjian arbitrase online di Indonesia dinyatakan sah jika
memenuhi syarat subyektif dan obyektif yang terdapat dalam pasal
1320 KUHPerdata.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat subjektif, karena
kedua syarat tersebut mengenai orang-orangnya atau subjek-
subjek hukum yang melakukan perjanjian. Untuk dua syarat yang
terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena keduanya
berkaitan dengan perjanjiannya itu sendiri atau objek dari perbuatan
yang dilakukan itu. Apabila unsur pertama dan kedua (unsur
subjektif) tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, namun
apabila unsur ketiga dan unsur keempat tidak terpenuhi (unsur
objektifnya) maka perjanjian itu batal demi hukum. Keabsahan
suatu perjanjian seperti yang digariskan dalam Pasal 1320
KUHPerdata, perjanjian arbitrase mempunyai konstruksi khusus
sebagai suatu bentuk perjanjian yang dibentuk secara khusus.13
Dengan demikian, segala informasi elektronik dalam bentuk
data elektronik”dapat dikatakan memiliki akibat hukum,
keabsahan/kekuatan hukum. Hal ini berkaitannya dengan putusan
arbitrase online. Dalam dunia elektronik lebih mudah untuk
menyalin atau mengopi segala sesuatu, tetapi dokumen-dokumen
yang dibuat secara online tersebutsulit untuk diidentifikasi
keasliannya. Solusi untuk permasalahan tersebut adalah dengan
tetap membuat putusan arbitrase secara konvensional (dalam
bentuk fisik) dengan ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbiter
lalu dikirimkan melalui pihak ketiga yang tepercaya dengan paket
pos kepada para pihak yang terkait, atau para pihak atau wakil dari
para pihak yang mengambil sendiri putusan arbitrase yang sudah
12
Ibid
13
Andi Bagulu, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Melalui Sarana Elektronik/Online, Lex Et Societatis,
Vol. VII No. 6 (2019)
ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbiter tersebut sehingga
memenuhi syarat untuk melakukan pendaftaran putusan arbitrase
pada Pengadilan Negeri yang berwenang.”14
2. Penerapan Arbitrase Online dalam Penyelesaian Sengketa
Transaksi E-commerce
Proses Arbitrase online pada dasarnya telah diakomodasi
dalam UUAAPS, namun dalam hal penegakan prinsip yang terdapat
dalam penyelesaian sengketa secara online, tidak hanya memerlukan
prinsip kepercayaan, keahlian dan kenyamanan yang diberikan oleh
lembaga arbitrase, tetapi juga suatu instrumen atau alat untuk
mendukung ketiga prinsip tersebut, yaitu suatu fasilitas daring dalam
bentuk software yang dikelola oleh lembaga arbitrase.15
Maraknya e-commerce tentu memberikan tuntutan pada model
penyelesaian sengketa yang seharusnya dapat mengimbangi laju
bisnis yang terus meningkat. E-commerce yang semuanya serba
teknologi dan internet, tentu terlalu modern untuk kembali lagi ke
belakang dengan menggunakan model penyelesaian sengketa secara
tradisional yang mengharuskan pertemuan antar para pihak. Kini model
penyelesaian sengketa juga sudah berkembang berkat kemajuan
teknologi. Seperti arbitrase misalnya, kemudian muncul arbitrase online
sebagai bentuk perkembangan yang merespon adanya perubahan-
perubahan yang disebabkan oleh adanya disrupsi teknologi tersebut.
Sengketa yang timbul dari perdagangan elektronik memunculkan
wacana dan solusi bahwa untuk penyelesaian sengketa yang terjadi
dapat dilakukan melalui media internet yang dikenal dengan Online
Dispute Resolution (ODR).16
Dalam penyelesaian sengketa e-commerce internasional
dimungkinkan untuk diselesaikan-terutama yang meliputi sengketa
bernilai kecil dalam forum yang tepat, yaitu dengan “ODR” yang
menjadi cara praktis untuk memberi konsumen remedy yang tepat,
murah dan efektif, serta mengurangi penentutan perkara di negara
asing. ODR mencakup sejumlah proses yang secara umum
mempunyai dua ciri: “DR” (yakni dispute resolution) dan “O” (yakni
online). Dengan kata lain, menyelesaikan sengketa dan dilakukan
secara elektronik. Semua bentuk Alternatif PenyelesaianSengketa
(APS) tradisional terwakili di jaringan.
14
Ellen Valentina Santoso, Keabsahan Putusan Arbitrase Online Di Indoensia, Vol. 6 No. 2 (2020)
15
Arum Afriani Dewi, Arbitrase Online Di Era Revolusi Industri 4.0 dan Pandemi Covid-19, Jurnal Legal
Reasoning, Vol. 3 No. 2 (2021)
16
Keke Audia Vikarin, Eksitensi Arbitrase Online Sebagai Model Penyelesaiaan Sengketa E-Commerce
Di Beberapa Negara, Jurnal Privat Law, Vol. VIII No. 1 (2020)
Selain itu, ada proses penyelesaian sengketa baru: automated
atau blind-bidding negotiation, ini adalah contoh mekanisme yang
hanya ada di online. Gambaran lain adalah non-binding arbitration.
Meskipun tidak seluruhnya tidak ada di offline, tetapi ini cenderung
menggambarkan seluruh potensi online dan sebagai salah satu
mekanisme ODR paling menonjol untuk jenis-jenis sengketa tertentu.17
Bentuk cara penyelesaian sengketa dengan cara ODR tidak
jauh berbeda dengan APS di dunia nyata, namun sarana yang
digunakan berbeda, yakni dengan sarana internet. Bentuk cara
penyelesaian sengketa, yaitu: tidak ada pihak ketiga (negosiasi), atau
ada yang tidak dapat membuat keputusan pada sengketa tersebut
(mediasi), atau yang dapat membuat keputusan (arbitrase). Dalam
arbitrase online, pendaftaran perkara, pemilihan arbiter, penyerahan
dokumen-dokumen, permusyawarahan para arbiter dalam hal tribunal
arbitrase lebih dari seorang arbiter, pembuatan putusan serta
pemberitahuan akan adanya putusan dilakukan secara online.
Permasalahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan arbitrase
online antara lain dalam hal: Pertama, kontrak untuk melakukan
arbitrase; Kedua, pemilihan arbiter; Ketiga, pemenuhan prinsip
prosedur dasar; Keempat, sifat dan pelaksanaan keputusan yang
mengikat dari arbitrase.18
Untuk memenuhinya diperlukan persiapan yang terencana
seperti website yang terintegrasi dengan aplikasi database untuk
menampung permohonan yang masuk, daftar arbiter dan peraturan-
peraturan yang diperlukan mengenai permohonan berarbitrase. Selain
itu untuk menjamin kerahasiaan dan keontetikan data serta dokumen
yang digunakan selama arbitrase online diperlukan aplikasi security
yang memadai dan dilengkapi dengan teknologi enskripsi yang baik.
Dan tentunya diperlukan juga penyediaan chatting room dan bulletin
board yang berbasis real time audio visual streaming dan content
management system khusus untuk para arbiter dalam menyelesaikan
perkara. Hal itu demi kelancaran proses arbitrase online sehingga para
pihak bisa mendapatkan kenyamanan dan kepastian hokum dalam
menyelesaiakan sengketa e-commerce yang mereka alami.19
3. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi E-
commerce
D. Kesimpulan
17
Abdul Halim Barkatullah, Penerapan Arbitrase Online Dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi E-
Commerce, Jurnal Hukum, Vol. 17 No. 3 (2010)
18
Ibid
19
Trinas Dewi Hariyana, Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa E-Commerce, Journal Diversi,
Vol. 2 No. 1 (2016)
DAFTAR RUJUKAN