Anda di halaman 1dari 9

TINJAUAN TERHADAP KEABSAHAN PUTUSAN ARBITRASE

ONLINE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TRANSAKSI


E-COMMERCE
Norhayati1
Email: norhayati.nr06@gmail.com

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara berkembang yang tidak dapat dipisahkan dari


sektor ekonomi dalam proses pembangunannya. Dalam perkembangannya,
sengketa ekonomi sering muncul. Untuk penyelesaian sengketa dapat
menggunakan metode peradilan maupun arbitrase. Arbitrase adalah sarana
penyelesaian sengketa perdata di luar sidang umum berdasarkan perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, di
Indonesia arbitrase diatur dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam pelaksanaan
arbitrase mengalami perkembangan yang awalnya hanya konvensional ke
arah arbitrase online yang hampir semua pelaksanaan arbitrase dari mulai
pendaftaran sampai dengan putusan dilakukan oleh Jaringan Internet (online).
Arbitrase online merupakan metode penyelesaian sengketa secara online,
yang dianggap oleh para pelaku bisnis online sebagai solusi terbaik untuk
penyelesaian sengketa di dunia maya. Namun sampai saat ini belum ada
peraturan khusus yang mengatur tentang arbitrase online. Meskipun arbitrase
online belum diatur secara jelas dalam undang-undang. Suatu putusan yang
dibuat dalam arbitrase online adalah sah apabila tidak bertentangan dengan
asas-asas arbitrase dan tidak membatalkan putusan arbitrase sehingga
pelaksanaan putusan arbitrase online dapat didaftarkan ke Pengadilan Negeri
untuk putusan arbitrase nasional dan Pengadilan Negeri Jakarta pusat bagi
putusan arbitrase internasional.
Kata kunci: arbitrase online, penyelesaian sengketa, transaksi e-commerce

A. Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi sangat pesat dan telah membawa
banyak perubahan, salah satu perubahan yang sangat besar akibat
berkembangnya teknologi informasi adalah dalam bidang ekonomi.
Perkembangan teknologi informasi secara signifikan telah mengubah
sistem ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi digital. Sistem
digital ini memungkinkan dunia usaha melakukan suatu transaksi dengan
menggunakan media elektronik yang lebih menawarkan kemudahan,

1 IAIN Palangka Raya


kecepatan, dan efisiensi. Indonesia-pun menjadi salah satu negara yang
melakukan pemanfaatan internet berbasis e-commerce, e-business, dan
lain sebagainya.2
Pemerintah mendukung hadirnya e-commerce di Indonesia dengan
adanya aturan secara umum dalam Undang-undang, baik dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik Nomor 11 tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 19
tahun 2016, serta dalam Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 tahun
2014. Pada dasarnya jual beli dalam e-commerce memiliki konsep yang
sama dengan jual beli secara langsung yaitu dengan adanya tahapan
penawaran dan penerimaan. Artinya ada persetujuan dari pihak
konsumen, namun hal ini tak lepas juga dapat menimbulkan sengketa yang
timbul dari wanprestasi yang dialami oleh pihak konsumen ataupun pihak
penjual yang memungkinkan timbulnya gugatan.3
Sengketa terjadi saat adanya ketidakserasian antara pribadi atau
kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak
terganggu atau dilanggar. Apabila timbul suatu perselisihan yang
menyangkut suatu transaksi e-commerce di mana para pihak
berkedudukan di Indonesia dan transaksi itu berlangsung di Indonesia,
walaupun di antara mereka tidak membuat kontrak mengenai pilihan
hukum, maka hal itu mudah bagi hakim untuk menentukan atau para pihak
melakukan kesepakatan di kemudian hari, setelah timbulnya perselisihan
antara mereka, agar perselisihan itu diselesaikan menurut hukum
Indonesia. Arbitrase Online sebagai salah satu cara penyelesaian
sengketa dengan menggunakan Online Dispute Resolution (ODR), yang
merupakan perkembangan dari cara penyelesaian sengketa non litigasi
yang ada di dunia nyata. Cara penyelesaian sengketa dengan
menggunakan ODR dianggap oleh para pelaku bisnis di dunia maya (e-
commerce), sebagai solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah
sengketa di dunia maya, namun banyak kendala hukum dalam penerapan
sistem penyelesaian sengketa ini di Indonesia.4
Minat para pelaku usaha untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitase mulai meningkat sejak diundangkannya Undang Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(UUAAPS). Perkembangan yang memungkinkan terjadinya perdagangan
secara elektronik, telah mengilhami dilakukannya penyelesaian sengketa
secara elektronik pula. Teknologi telah memberikan gagasan tentang
2 Jeane Neltje Saly, Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Suatu Perjanjian

Sengketa Melalui Arbitrase Onlien, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 5 N0. 4 (2008)
3 Stefani, Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-Commerce Di Indonesia

Secara Online, Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, No. 7 Vol. 2 (2021)


4 Abdul Halim Barkatullah, Penerapan Arbitrase Online Dalam Penyelesaian

Sengketa Transaksi E-Commerce, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 (2010)


penyelesaian sengketa secara elektronik dalam bentuk arbitrase
elektronik. Penyelesaian sengketa bisnis secara elektronik melalui
lembaga arbitrase menjadi pilihan masyarakat dalam menyelesaikan
perselisihan. Hal ini didukung dengan karakternya yang cepa, juga
menganut prinsip win-win solution serta kerahasiaan karena proses
persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan.5
Berdasarkan uraian diatas, artikel ini bertujuan untuk mengetahui
pertama, Arbitrase Online sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
dalam Sistem Hukum di Indonesia, kedua Penerapan Arbitrase Online
dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi E-commerce, dan yang ketiga
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi E-commerce.
B. Metode Penelitian
Penulisan penelitian ini menggunakan metode normatif melalui
literatur kajian pustaka (library research) terhadap jurnal-jurnal yang
berhubungan dengan tema penelitian yang dibuat.6 Dalam suatu penelitian
selalu ada ukuran ragam informasi, yang dalam interaksi ragam informasi
akan menggunakan berbagai teknik. Jenis strategi yang dipilih dalam
pengumpulan informasi, tentunya harus sesuai dengan sifat dan kualitas
pemeriksaan yang di kuasai. Maka pada penelitian ini, penulis memakai
metode library research, dan pendekatan syar’i, serta pendekatan yuridis
yang akan digunakan dalam pengumpulan datanya.
Pendekatan normatif merupakan pendekatan yang mengkaji nilai
syariat Islam. Pendekatan ini digunakan sesuai dengan permasalahan
yang hendak di teliti, yakni dengan cara meriset bahan pustaka/data
sekunder. Sedangkan pendekatan yuridis merupakan pendekatan yang
merujuk berdasarkan UU yang sesuai, ataupun data primer terikat
bersama peristiwa yang hendak di riset. Dalam metode penelitian kualitatif
ini, peneliti menjadi instrumen utama dalam melakukan pengumpulan
datanya. Maka, ketika semua data sudah dikumpulkan dengan metode
kualitatif ini, diharapkan agar penulis dapat memberikan gambaran atau
informasi yang mutakhir (up to date) dan jelas, hingga berguna bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan bisa diterapkan di berbagai
permasalahan terkait dengan keabsahan putusan arbitrase online dalam
menyelesaikan sengketa transaksi e-commerce, dan dalam hukum Islam,
yang mana hal ini kemudian akan dianalisis dan dibandingkan berdasarkan
teori yang telah ditetapkan.
C. Pembahasan

5 Terwarat dan Dewi Astitty Mochtar, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara


Elektronik Melalui Lembaga Arbitrase Di Indonesia, MLJ No 1 Vol. 2 (2021)
6 Jefry Tarantang, ‘Teori Dan Aplikasi Pemikiran Kontemporer Dalam Pembaharuan

Hukum Keluarga Islam’, Transformatif, 2.1 (2018), 315 <https://doi.org/10.23971/tf.v2i1.882>.


29.
1. Arbitrase Online sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam
Sistem Hukum di Indonesia
a. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Uraian sebelumnya secara jelas menunjukan adanya bentuk
penyelesaian sengketa menurut Hukum Indonesia atas dua.
Pertama ialah penyelesaian sengketa melalui pengadilan; dan
kedua, penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Kedua bentuk
penyelesaian merupakan penyelesaian secara hukum, oleh karena
diatur menurut hukum. Persamaan antara penyelesaian sengketa
melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
ialah sama-sama ditujukan untuk menyelesaikan persengketaan
secara hukum. Hal ini berarti, ketika timbul persengketaan atau
perselisihan, hanya penyelesaiannya secara hukum yang
digunakan, bukan penyelesaian secara kekerasan atau cara lainnya
yang justru melawan hukum.7
Istilah arbitrase berasal dari bahasa latin yaitu “Arbitrare”.
Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lainnya yang
memiliki maksud yang sama, misalnya Perwasitan atau Arbitrage
(Belanda), Arbitration (Inggris), Arbitrage atau
Schiedsprush(Jerman), Arbitrage (Perancis), kesemuanya memiliki
arti yang sama yaitu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu
menurut kebijaksanaan.
Berikut ini beberapa pengertian arbitrase yang dikemukakan
oleh para ahli hukum, yakni menurut R. Subekti arbitrase adalah
“penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau
para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk
pada atau manaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para
hakim yang mereka pilih atau tunjuk”. Selanjutnya Priyatna
Abdurrasyid memberikan pengertian arbitrase adalah salah satu
mekanisme alternative penyelesaian sengketa (APS) yang
merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-
undang dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan
sengketanya ketidakpahamannya, ketidaksepakatannya dengan
satu pihak lain atau lebih kepada satu orang atau lebih ahli yang
professional, yang akan bertindak sebagai hakim / peradilan swasta
yang akan menerapkan tata cara hukum Negara yang berlaku atau
menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati
para pihak tersebut terdahulu untuk sampai kepada putusan yang
final dan mengikat. Oleh karena itu dikatakan bahwa arbitrase
adalah hukum prosedur dan hukum para pihak (“law of procedure”

7
Idris Thalib, Bentuk Putusan Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Mediasi, Lex Et Societatis, Vol 1 No.
1 (2013)
dan “law of the parties”. Selain putusan arbiter yang final dan
mengikat, dikenal pula pendapat mengikat (“binding opinion”-
“binded adves)”.8
b. Konsep E-Commerce
Pemanfaatan sistem informasi dalam sektor bisnis, akan
membantu dan meningkatkan kinerja. Hampir seluruh aktivitas
perkonomian di dunia menggunakan media internet. Salah satu
aspek aktifitas ekonomi tersebut adalah dalam hal bertransaksi
dengan menggunakan media internet yang dikenal dengan e-
commerce.9 E-commerce dikaji aspek hukum apabila dilihat dalam
konteks Keabsahan Kontrak Elektronik, maka e-commerce lahir
berdasarkan kontrak jual beli yang terjadi secara elektronik antara
penjual dan pembeli. Masih adanya keterbatasan dalam hukum
diIndonesia, sebab aturannya belum mengakomodir tentang
syarat-syarat sahnya suatu kontrak elektronik secara
khusus.Namun, prinsip dasar keberlakuan suatu kontrak di
Indonesia berpedoman pada Pasal 1320 KUH Perdata, sehingga
dapat pula diterapkan pada kontrak elektronik.10
Untuk mengukur apakah sebuah kontrak tersebut telah
mengawal dan melindungi transaksi dengan baik, tentu saja
dibutuhkan sebuah kontrak yang sah dimata hukum. Adapun
persoalan kontrak atau perjanjian di Indonesia sampai saat ini
masih mengacu pada ketentuan-ketentuan KUH Perdata, dimana
syarat-syarat sahnya sebuah kontrak sesuai dengan Pasal 1320
diperlukan empat syarat, yaitu:
1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3) suatu hal tertentu.
4) suatu sebab yang halal.11
E-commerce ini pada dasarnya akan melahirkan suatu
dokumen elektronik, yang memiliki beberapa unsur. Pertama,
merupakan informasi elektronik; kedua, berbentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya; ketiga, dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem e-

8
Muskibah, Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), Vol.
4 No. 2 (2018)
9
Rochani Urip Salami dan Rahadi Wasi Bintoro, Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sengketa
Transaksi Elektronik (E-Commerce), Jurnal D inamika Hukum, Vol. 13 No. 1 (2013)
10
Ardiana Hidayah, Konsep Pembangunan Hukum E-Commerce, Vol. 17 No. 2 (2019)
11
Emilda Kuspraningrum, Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam UU ITE Ditinjau Dari Pasal 1320
KUHPerdata dan Uncitral Model Law On E-Commerce, Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, Vol. 7
No. 2 (2011)
lektronik; keempat, tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol atau perforasi; dan kelima, memiliki makna atau arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.12
c. Keabsahan Putusan Arbitrase Online Menurut Hukum Indonesia
Dalam perkembangannya telah muncul berbagai cara
membuat perjanjian dengan memanfaatkan teknologi informasi,
maka yang menjadi persoalan apakah perjanjian arbitrase yang
dibuat dalam suatu clickwrap agreement maupun penggunaan
email dan penggunaan tanda tangan secara elektronik memenuhi
persyaratan sebagai tertulis yang disyaratkan dalam New York
Convention maupun dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Perjanjian arbitrase online di Indonesia dinyatakan sah jika
memenuhi syarat subyektif dan obyektif yang terdapat dalam pasal
1320 KUHPerdata.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat subjektif, karena
kedua syarat tersebut mengenai orang-orangnya atau subjek-
subjek hukum yang melakukan perjanjian. Untuk dua syarat yang
terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena keduanya
berkaitan dengan perjanjiannya itu sendiri atau objek dari perbuatan
yang dilakukan itu. Apabila unsur pertama dan kedua (unsur
subjektif) tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, namun
apabila unsur ketiga dan unsur keempat tidak terpenuhi (unsur
objektifnya) maka perjanjian itu batal demi hukum. Keabsahan
suatu perjanjian seperti yang digariskan dalam Pasal 1320
KUHPerdata, perjanjian arbitrase mempunyai konstruksi khusus
sebagai suatu bentuk perjanjian yang dibentuk secara khusus.13
Dengan demikian, segala informasi elektronik dalam bentuk
data elektronik”dapat dikatakan memiliki akibat hukum,
keabsahan/kekuatan hukum. Hal ini berkaitannya dengan putusan
arbitrase online. Dalam dunia elektronik lebih mudah untuk
menyalin atau mengopi segala sesuatu, tetapi dokumen-dokumen
yang dibuat secara online tersebutsulit untuk diidentifikasi
keasliannya. Solusi untuk permasalahan tersebut adalah dengan
tetap membuat putusan arbitrase secara konvensional (dalam
bentuk fisik) dengan ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbiter
lalu dikirimkan melalui pihak ketiga yang tepercaya dengan paket
pos kepada para pihak yang terkait, atau para pihak atau wakil dari
para pihak yang mengambil sendiri putusan arbitrase yang sudah

12
Ibid
13
Andi Bagulu, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Melalui Sarana Elektronik/Online, Lex Et Societatis,
Vol. VII No. 6 (2019)
ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbiter tersebut sehingga
memenuhi syarat untuk melakukan pendaftaran putusan arbitrase
pada Pengadilan Negeri yang berwenang.”14
2. Penerapan Arbitrase Online dalam Penyelesaian Sengketa
Transaksi E-commerce
Proses Arbitrase online pada dasarnya telah diakomodasi
dalam UUAAPS, namun dalam hal penegakan prinsip yang terdapat
dalam penyelesaian sengketa secara online, tidak hanya memerlukan
prinsip kepercayaan, keahlian dan kenyamanan yang diberikan oleh
lembaga arbitrase, tetapi juga suatu instrumen atau alat untuk
mendukung ketiga prinsip tersebut, yaitu suatu fasilitas daring dalam
bentuk software yang dikelola oleh lembaga arbitrase.15
Maraknya e-commerce tentu memberikan tuntutan pada model
penyelesaian sengketa yang seharusnya dapat mengimbangi laju
bisnis yang terus meningkat. E-commerce yang semuanya serba
teknologi dan internet, tentu terlalu modern untuk kembali lagi ke
belakang dengan menggunakan model penyelesaian sengketa secara
tradisional yang mengharuskan pertemuan antar para pihak. Kini model
penyelesaian sengketa juga sudah berkembang berkat kemajuan
teknologi. Seperti arbitrase misalnya, kemudian muncul arbitrase online
sebagai bentuk perkembangan yang merespon adanya perubahan-
perubahan yang disebabkan oleh adanya disrupsi teknologi tersebut.
Sengketa yang timbul dari perdagangan elektronik memunculkan
wacana dan solusi bahwa untuk penyelesaian sengketa yang terjadi
dapat dilakukan melalui media internet yang dikenal dengan Online
Dispute Resolution (ODR).16
Dalam penyelesaian sengketa e-commerce internasional
dimungkinkan untuk diselesaikan-terutama yang meliputi sengketa
bernilai kecil dalam forum yang tepat, yaitu dengan “ODR” yang
menjadi cara praktis untuk memberi konsumen remedy yang tepat,
murah dan efektif, serta mengurangi penentutan perkara di negara
asing. ODR mencakup sejumlah proses yang secara umum
mempunyai dua ciri: “DR” (yakni dispute resolution) dan “O” (yakni
online). Dengan kata lain, menyelesaikan sengketa dan dilakukan
secara elektronik. Semua bentuk Alternatif PenyelesaianSengketa
(APS) tradisional terwakili di jaringan.

14
Ellen Valentina Santoso, Keabsahan Putusan Arbitrase Online Di Indoensia, Vol. 6 No. 2 (2020)
15
Arum Afriani Dewi, Arbitrase Online Di Era Revolusi Industri 4.0 dan Pandemi Covid-19, Jurnal Legal
Reasoning, Vol. 3 No. 2 (2021)
16
Keke Audia Vikarin, Eksitensi Arbitrase Online Sebagai Model Penyelesaiaan Sengketa E-Commerce
Di Beberapa Negara, Jurnal Privat Law, Vol. VIII No. 1 (2020)
Selain itu, ada proses penyelesaian sengketa baru: automated
atau blind-bidding negotiation, ini adalah contoh mekanisme yang
hanya ada di online. Gambaran lain adalah non-binding arbitration.
Meskipun tidak seluruhnya tidak ada di offline, tetapi ini cenderung
menggambarkan seluruh potensi online dan sebagai salah satu
mekanisme ODR paling menonjol untuk jenis-jenis sengketa tertentu.17
Bentuk cara penyelesaian sengketa dengan cara ODR tidak
jauh berbeda dengan APS di dunia nyata, namun sarana yang
digunakan berbeda, yakni dengan sarana internet. Bentuk cara
penyelesaian sengketa, yaitu: tidak ada pihak ketiga (negosiasi), atau
ada yang tidak dapat membuat keputusan pada sengketa tersebut
(mediasi), atau yang dapat membuat keputusan (arbitrase). Dalam
arbitrase online, pendaftaran perkara, pemilihan arbiter, penyerahan
dokumen-dokumen, permusyawarahan para arbiter dalam hal tribunal
arbitrase lebih dari seorang arbiter, pembuatan putusan serta
pemberitahuan akan adanya putusan dilakukan secara online.
Permasalahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan arbitrase
online antara lain dalam hal: Pertama, kontrak untuk melakukan
arbitrase; Kedua, pemilihan arbiter; Ketiga, pemenuhan prinsip
prosedur dasar; Keempat, sifat dan pelaksanaan keputusan yang
mengikat dari arbitrase.18
Untuk memenuhinya diperlukan persiapan yang terencana
seperti website yang terintegrasi dengan aplikasi database untuk
menampung permohonan yang masuk, daftar arbiter dan peraturan-
peraturan yang diperlukan mengenai permohonan berarbitrase. Selain
itu untuk menjamin kerahasiaan dan keontetikan data serta dokumen
yang digunakan selama arbitrase online diperlukan aplikasi security
yang memadai dan dilengkapi dengan teknologi enskripsi yang baik.
Dan tentunya diperlukan juga penyediaan chatting room dan bulletin
board yang berbasis real time audio visual streaming dan content
management system khusus untuk para arbiter dalam menyelesaikan
perkara. Hal itu demi kelancaran proses arbitrase online sehingga para
pihak bisa mendapatkan kenyamanan dan kepastian hokum dalam
menyelesaiakan sengketa e-commerce yang mereka alami.19
3. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi E-
commerce
D. Kesimpulan

17
Abdul Halim Barkatullah, Penerapan Arbitrase Online Dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi E-
Commerce, Jurnal Hukum, Vol. 17 No. 3 (2010)
18
Ibid
19
Trinas Dewi Hariyana, Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa E-Commerce, Journal Diversi,
Vol. 2 No. 1 (2016)
DAFTAR RUJUKAN

Anda mungkin juga menyukai