Sengketa transaksi bisnis adalah perselisihan atau konflik yang muncul antara dua pihak atau lebih
dalam konteks kegiatan bisnis atau perdagangan. Sengketa semacam ini dapat timbul karena berbagai
alasan, seperti ketidaksepakatan terkait harga, kualitas produk atau jasa, pengiriman yang tidak tepat
waktu, masalah pembayaran, ketidakpatuhan kontrak, atau penyalahgunaan kepercayaan antara pihak-
pihak yang terlibat.
• Mendapatkan keuntungan
• Pertukaran nilai
• Pertumbuhan bisnis
• Hukum Nasional.
• Dokumen Kontrak.
• Putusan pengadilan.
• Doktrin.
Prinsip-prinsip hukum kontrak bisnis internasional terbagi menjadi 2 bagian yang mendasari
terciptanya kontrak bisnis internasional, yaitu:
• Prinsip dasar kebebasan berkontrak (freedom of the contract), yaitu dilakukan berdasarkan pada
kebebasan para pihak menentukan isi dan prestasi yang akan dituangkan dalam kontrak bisnis
internasional.
• Prinsip kedaulatan/supremasi hukum nasional, yaitu dalam kajian hukum privat, kebebasan juga
diberikan pada pemilihan hukum (choice of law), berbeda pada kontrak bisnis nasional, pada
kontrak bisnis internasional, kedua belah pihak biasa nya terlebih dahulu menyepakati pilihan
hukum guna menundukkan diri pada hukum nasional negara salah satu subjek hukum kontrak
bisnis.
Penyelesaian Sengketa melalui Non Litigasi
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, penyelesaian sengketa melalui non litigasi (luar pengadilan) terdiri dari 5 cara
yaitu:
1. Konsultasi
2. Negosiasi
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Penilaian Ahli
• self-regulation oleh pelaku usaha: memperbaiki cara transaksi, sistem keamanan, pembayaran,
pengiriman dan penyelesaian jika terjadi sengketa
Contoh Kasus : Sengketa Dagang Antara Pihak Amerika Serikat dan Indonesia yang berakhir di meja
World Trade Organization (WTO). Amerika Serikat (AS) Minta WTO Jatuhkan Sanksi Rp 5 Triliun kepada
Indonesia
Kesimpulan : Penyelesaian sengketa secara mediasi diluar pengadilan di Indonesia telah dikenal sejak
dulu kala, karena sistem adat istiadat di Indonesia dalam menyelesaikan suatu permasalahan selalu
menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat melalui lembaga forum adat masing-masing daerah di
Indonesia. Akan tetapi secara terperinci memang tidak dijelaskan bagaimana prosedur dan proses
penyelesaian sengketa secara mediasi, hal tersebut dikembalikan kepada kesepakatan para pihak untuk
menentukan hukum acara yang digunakan, pemilihan arbiter karena pada dasarnya itulah salah satu sifat
dari penyelesaian sengketa secara mediasi yaitu bersifat sukarela. Prosedur mediasi di pengadilan harus
dilaksanakan oleh hakim, mediator dan para pihak, jika prosedur mediasi sebagaimana diatur dalam
Perma Nomor 1 tahun 2008 tidak dilaksanakan maka mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Kelompok 2
1.Litigasi
Merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalan pengadilan dengan menggunakan
pendekatan hukum formal;
2.Nonlitigasi
Merupakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan tidak menggunakan pendekatan
hukum formal.
- Aribtrase
- Pengadilan niaga
- Penyelesaian sengketa alternatif melalui mekanisme negosiasi, mediasi, konsiliasi, konsultasi dan
penilaian ahli.
Pertama, sengketa antara pedagang dan pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak
terjadi. Sengketanya diselesaikan melalui berbagai cara. Cara tersebut semuanya bergantung pada
kebebasan dan kesepakatan para pihak.
Kedua, pedagang dan negara asing bukan merupakan kekecualian. Kontrak-kontrak dagang antara
pedagang dan negara lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang relatif
besar. Termasuk didalamnya adala kontrak-kontrak pembangunan (development contracts), misalnya
kontrak di bidang pertambangan. Walaupun negera mempunyai hak atau konsep imunitas, hukum
internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak semata-mata mengakui atribut negara
sebagai subjek hukum internasional yang sempurna (par excellence). Hukum internasional menghormati
pula individu (pedagang) sebagai subjek hukum internasional terbatas.
Dalam hukum perdagangan internasional, berikut beberapa prinsip mengenai penyelesaian sengketa
perdagangan internasional :
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa
perdagangan internasional. Prinsip inilah menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu
proses penyelesaian sengketa.
Prinsip penting kedua adalah prinsip di mana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk
menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of
free choice of means).
Prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila
sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan (arbitrase) terhadap pokok sengketa.
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak
mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang
tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh
(exhausted).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, dalam Pasal 50
menyatakan “Pengadilan Negeri bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara ditingkat pertama.” Pengadilan Negeri berada pada
lingkungan Peradilan umum.
2. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Khusus yang dibentuk
dalam lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusan terhadap perkara kepailitan, penundaan kewajiban dan pembayaran utang (PKPU), hak
atas kekayaan intelektual.
Kekhususan Pengadilan Niaga dalam perkara yaitu tidak mengenal adanya banding, sehingga jika ada
pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hukum dengan cara kasasi ke Mahkamah
Agung.
2. Mediasi
• Mediasi terdiri dari 2 jenis yaitu di dalam dan diluar pengadilan
• Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan maupun sebuah
Lembaga independent APS yaitu Pusat Mediasi Nasional (PMN)
• Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2016 tentang
Mediasi dimana mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara
perdata.
• Menurut Munir Faudy, Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa berupa negosiasi
untuk memecahkan masalah melalui pihak netral dan tidak memihak, yang akan bekerja dengan
pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dimana memuaskan kedua belah
pihak.
• Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan melalui
suatu perundingan
• Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian
• Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa
• Mediator tidak boleh memberi kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan
berlangsung
• Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesimpulan yang dapat diterima dari
pihak-pihak yang bersengketa
• Mediasi atau perdamaian sampai saat ini masih bersifat wajib diberlakukan untuk sengketa-
sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Negeri dan Agama.
• Dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBG, yang diperkuat dengan SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang
Instruksi MA RI, dinyatakan bahwa hakim wajib mengupayakan proses perdamaian, yang bukan
hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian.
• Pengakuan dan pengaturan secara resmi mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis
baru nyata setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif
Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase. Yang mana sebelumnya mediasi hanya didasarkan pada
Pasal 1851-1861 KUHPer yang mengatur tentang perdamaian.
Kelompok 3
WANPRESTASI adalah kelalaian debitur dalam memenuhi perjanjian. Terkait hal ini, ada sejumlah
langkah yang bisa ditempuh oleh pihak yang merasa dirugikan.
Subekti dalam Hukum Perjanjian menerangkan 4 unsur dalam WANPRESTASI, antara lain :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi atau tidak melakukan apa yang dijanjikan.
2. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Sebagaimana diterangkan dalam Perbuatan Melanggar Hukum atau Wanprestasi?, ada tiga
kemungkinan bentuk gugatan yang mungkin diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat dari
wanprestasi, yakni sebagai berikut :
- Kreditur melakukan tuntutan sendiri secara langsung tanpa pengadilan. Pihak kreditur bertindak
secara eigenrichting atau menjadi hakim sendiri secara bersama-sama. Dalam praktiknya,
langkah ini berlaku pada perikatan ringan dengan nilai ekonomis kecil.
- Kreditur dan debitur sepakat untuk menyelesaikan persengketaan melalui wasit atau arbitrator.
Saat arbitrator memutuskan sengketa tersebut, baik kreditur dan debitur harus tunduk pada
putusan. Kendati putusan tersebut merugikan atau menguntungkan salah satu pihak, keduanya
wajib menaatinya.
Kelompok 4
Kontrak Bisnis
Kontrak adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih pihak, dimana masing-masing pihak
yang ada di dalamnya terikat untuk melakukan suatu prestasi. Bisnis adalah semua kegiatan usaha yang
dilakukan individu atau kelompok dengan menawarkan barang dan jasa untuk mendapatkan keuntungan
(laba). Kontrak bisnis merupakan suatu perjanjian dalam bentuk tertulis dimana substansinya disetujui
oleh para pihak yang terikat dalamnya bermuatan bisnis.
Kontrak bisnis internasional merupakan dasar hubungan hukum dan pedoman bersama bagi pelaku
bisnis yang berbeda negara dalam melaksanakan kerja sama bisnis atau transaksi bisnis internasional.
Bisnis internasional adalah bisnis dimana kegiatan bisnis terdiri dari transaksi bisnis antara pihak yang
berasal dari lebih satu negara. Pihak yang dimaksud dapat berupa antar individu, antar individu dengan
pemerintah suatu negara maupun pemerintah suatu negara dengan pelaku bisnis yang berasal dari dua
negara atau lebih.
Prof. Sogar menjelaskan bahwa sumber-sumber hukum kontrak berasal dari Burgerlijk Wetboek (BW)
atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, peraturan perundang-undangan, maupun yurisprudensi.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai syarat umum sahnya suatu perjanjian di
Indonesia, tidak diatur mengenai proses sebelum terjadinya kontrak atau tahap prakontraktual. Dalam
sistem hukum Indonesia (Civil law) , syarat sahnya suatu kontrak, berbeda yang dianut dalam sistem
Common Law. Menurut sistem hukum Civil Law apabila telah terjadi penyesuaian kehendak dan telah
disepakati oleh para pihak maka MoU yang merupakan sebuah dokumen prakontraktual telah memiliki
kekuatan untuk dilaksanakan dan memiliki kekuatan mengikat. Sehingga timbul hak dan kewajiban yang
harus dipatuhi oleh para pihak. Hal ini merupakan implementasi prinsip itikad baik, diatur dalam Pasal
1338 ayat (3) KUH Perdata.
Perjanjian Internasional merupakan kesepakatan yang bersifat publik yang diatur berdasarkan UU No. 24
Tahun 2000, sedangkan Kontrak Internasional merupakan kesepakatan yang bersifat perdata yang
aturannya berlaku secara internasional seperti Konvensi New York 1958, Konvensi Den Haag 2005 dan
sebagainya.
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.”
Dalam pembuatan suatu kontrak bisnis internasional, para pihak harus memilih hukum negara pihak
mana yang akan digunakan dan harus tunduk kepada hukum yang telah disepakati tersebut.
Kebebasan untuk membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak mana akan ditutup suatu
perjanjian, kebebasan untuk menetapkan isi perjanjian, dan kebebasan untuk menetapkan bentuk
perjanjian.
Prinsip Konsensualitas
Kesepatakan yang membuat perjanjian, apa yang dikehendaki oleh satu pihak juga akan dikehandaki
oleh pihak lainnya. (Pasal 1320 KUHPerdata)
Konsensus ini tidak ada, apabila terdapat 3 hal (Pasal 1321 KUHPerdata) : Paksaan (dwang), Kekhilafan
(dwaling) , dan Penipuan (bedrog).
Perjanjian yang telah disepakati secara sah mengikat kedua belah pihak seperti mengikatnya sebagai
undang-undang. (Pasal 1338 KUHPerdata)
Pasal 1338 ayat 3 KUHPer menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.” Dapat disimpulkan bahwa itikad baik harus digunakan pada saat pelaksanaan kontrak. Selain
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak wajib ditaati oleh para pihak, melainkan juga
itikad baik sebagai ketentuan-ketentuan tidak tertulis.
Pasal 1340 BW mengenai ruang lingkup berlakunya perjanjian hanya diantara para pihak yang
membuatnya saja.
Prinsip Proporsionalitas
Prinsip yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan proporsi atau bagiannya
dalam keseluruhan proses kontraktual.
Apabila dalam suatu perjanjian sudah memiliki makna yang jelas maka bukti lisan dan bukti tertulis tidak
diperkenankan untuk mengubah makna kontrak tersebut.
Akta Notaris
Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut undang-undang
(Pasal 1 ayat (1) UU Jabatan Notaris jo. Pasal 1868 KUHPerdata)
1. Akta Relaas, dibuat oleh notaris seperti misalnya akta berita acara.
2. Akta Partij, dibuat di hadapan notaris berdasarkan keterangan para pihak, seperti misalnya
perjanjian kredit
Pembuktian sempurna, karena itu bahwa siapa yang menyangkal yang harus membuktikan tidak
benarnya isi dari akta otentik tersebut.
Akta yang tidak melibatkan pejabat umum yang berwenang seperti Notaris disebut sebagai akta atau
perjanjian di bawah tangan (Pasal 1874 KUHPerdata)
Hanya memiliki kekuatan pembuktian apabila isi dan tanda tangannya diakui oleh para pihak yang
berkontrak (Pasal 1875 jo. 1877 KUHPerdata).
1. Legalisasi, artinya surat perjanjian sudah dibuat telebih dahulu, akan tetapi ditandatangani di
hadapan Notaris (disahkan dan didaftarkan di buku khusus, Pasal 15 ayat (2) huruf a UU JN)
2. Waarmeking, artinya surat perjanjian sudah ditandatangani terlebih dahulu lalu didaftarkan oleh
Notaris di buku khusus (Pasal 15 ayat (2) huruf b UU JN)
Kontrak Elektronik
Pasal 1 angka 17 UU ITE menyebutkan bahwa Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang
dibuat melalui Sistem Elektronik. Oleh karena itu kontrak fisik yang discan bukan merupakan kontrak
elektronik, karena kontrak tersebut dibuat tidak melalui sistem elektronik.
CISG Advisory Council Opinion No. 1 menjelaskan bahwa offer, acceptance, dan penolakan penawaran
dalam Kontrak Elektronik terjadi ketika data pesan telah sampai ke sistem elektronik (server)
penerima. Begitu pula dengan kontrak oral (lisan) melalui transmisi elektronik harus segera diberikan
tanggapan, kecuali situasi mengindikasikan sebaliknya.
Data berbentuk elektronik, yang ditempelkan atau diasosiasikan dengan data pesan yang
mengindikasikan tanda persetujuan terhadap informasi yang ada dalam data pesan.
Tanda tangan yang dibuat berada dalam konteks penggunaan yang diinginkan, berhubungan dengan
penandatangan dan bukan orang lain, tanda tangan yang dibuat pada waktu penandatanganan berada
dalam kontrol penandatangan dan bukan orang lain, serta perubahan atau alterasi apa pun terhadap
kontrak atau tanda tangan itu sendiri setelah tanda tangan dibuat dapat dideteksi.
Perjanjian Baku
Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa klausula baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Secara elektronik perjanjian baku banyak disepakati menggunakan metode click wrap dengan
membubuhkan centang pada kolom I Agree atau saya setuju.
d. memberikan kuasa konsumen pada pelaku usaha untuk melakukan tindakan sepihak terkait
barang pembelian kredit (angsuran)
f. mengurangi manfaat jasa atau mengurangi asset konsumen sebagai objek jual beli jasa
h. memberikan kuasa konsumen pada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, gadai,
jaminan terhadap barang pembelian kredit.
Letak dan bentuk klausula baku harus dapat dilihat dan dibaca, serta dimengerti dengan jelas
1. Pasal 18 ayat (3) UU PK, jika melanggar ayat (1) dan (2) maka batal demi hukum
Perjanjian (Kontrak) tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis .
perjanjian kontrak sebagai alat bukti tertulis. Seperti dalam menjalin hubungan bisnis, sangat penting
bagi setiap pengusaha membuat bukti hitam di atas putih, alias kontrak, karena dengan adanya kontrak
maka akan dapat mengantisipasi jika sewaktu- waktu terjadi kendala dalam instansi ataupun
perusahaan.
Kontrak lisan adalah sebuah perjanjian yang telah disetujui kedua belah pihak secara lisan. kontrak lisan
tidak menjelaskan secara detail mengenai ketentuan dan hal- hal yang telah disetujui dalam sebuah
dokumen. kontrak lisan juga tetap dianggak sah di mata hukum.
Contoh kasus
Pada bulan Februari 2010 Philip Morris International memprakarsai gugatan hukum internasional yang
menggugat dua undang-undang pengendalian tembakau Uruguay. Panel 3 arbiter menerbitkan putusan
mereka pada 8 Juli 2016, menolak semua klaim Philip Morris dan memberikan Uruguay biaya hukumnya
($7 juta). Dua undang-undang yang ditentang oleh Philip Morris mewajibkan 80% gambar peringatan
kesehatan pada bungkus rokok, dan merek tembakau terbatas pada satu varian merek. Philip Morris
menuduh bahwa 80% peringatan kesehatan menyisakan ruang yang tidak cukup pada kemasan untuk
menggunakan merek dagang dan mereknya sebagaimana yang dimaksudkan; dan bahwa Persyaratan
Presentasi Tunggal (SPR) berarti tidak dapat memasarkan beberapa mereknya seperti Marlboro Gold. ]
1. Gambar peringatan kesehatan besar yang menutupi 80% bagian depan dan belakang bungkus
rokok
2. Single Presentation Requirement (SPR) yang membatasi setiap merek rokok pada satu variasi. Ini
menghilangkan keluarga merek dan varian seperti 'emas', 'perak' atau 'biru' yang menggantikan
istilah menyesatkan seperti 'ringan' dan 'ringan'. SPR membahas bukti bahwa varian ini dapat
menyesatkan konsumen dan secara keliru menyiratkan bahwa beberapa rokok kurang berbahaya
daripada yang lain
Proses Pengadilan
Cara yang paling umum untuk menyelesaikan perselisihan berdasarkan perjanjian investasi internasional
adalah dengan arbitrase investor-negara, didengar oleh pengadilan ad hoc diselesaikan oleh panel yang
terdiri dari 3 pengacara internasional yang ditunjuk oleh para pihak. Dalam kasus ini, Uruguay menunjuk
James Crawford, PMI Philip Morris menunjuk Gary Born, dan ketuanya, Peiro Bernardini, ditunjuk oleh
ICSID karena para pihak tidak dapat menyetujui arbiter ketiga. Gary Born menghasilkan pendapat
berbeda yang akan menyerahkan kasus tersebut kepada Philip Morris, jika mayoritas setuju dengannya.
Panel tiga arbiter menerbitkan keputusan mereka pada 8 Juli 2016, menolak semua klaim PMI Philip
Morris. Keputusan bersifat final dan tidak dapat diajukan banding.
Panjang Proses : Arbitrase memakan waktu lebih dari enam tahun, dengan permintaan arbitrase
terdaftar pada Maret 2010 dan putusan dikeluarkan Juli 2016
Biaya : Pemerintah Uruguay harus mengeluarkan sekitar $10 juta untuk biaya hukum – pengadilan
memerintahkan Philip Morris untuk membayar $7 juta dari biaya ini. Biaya Philip Morris berada di
wilayah $17 juta dan biaya arbitrase adalah $1,5 juta. Secara keseluruhan, biayanya mencapai lebih dari
$28 juta dalam kasus di mana ganti rugi yang diklaim oleh Philip Morris adalah $25 juta. Ini lebih lanjut
menyiratkan bahwa Philip Morris mengajukan kasus untuk menciptakan kedinginan peraturan yang lebih
luas di pemerintahan di seluruh dunia, bukan karena perhatian yang tulus atau sah atas investasinya di
Uruguay.
Wanprestasi diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan, “Debitur dinyatakan lalai dengan
surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila
perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila
debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang
harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang
melampaui waktu yang telah ditentukan”.
Pasal 1244 menyatakan:
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. Bila ia tak dapat membuktikan
bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu
disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun
tidak ada itikad buruk kepadanya.
a) Pembeli diharuskan mebayar ganti kerugian yang telah diderita oleh penjual (pasal 1243 Kitab Undang
– Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.
b) Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), Wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak
lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (pasal 1266 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata).
c) Resiko beralih kepada pembeli sejak saat terjadinya Wanprestasi (pasal 1237 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.
d) Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim pasal 181 ayat 1 (HIR) Herziene Inland
Reglement. Pembeli yang terbukti melakukan Wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini
berlaku untuk semua perikatan.
e) Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian disertai dengan
pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ini berlaku untuk
semua perikatan.
Karena pembayaran;
Karena penawaran;
Karena pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpangan atau penitipan;
Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
Karena percampuran utang;
Karena pembebasan utang;
Karena musnahnya barang yang terutang;
Karena kebatalan dan pembatalan;
Karena berlakunya syarat batal;
Karena lewat waktu (kedaluwarsa).