Anda di halaman 1dari 10

NAMA :

NPM :

MATA KULIAH :
PENETAPAN KEBIJAKAN PENAL TERHADAP PASAL 2 DAN PASAL
3 UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Tak dapat dipungkiri, bahwa tindak pidana korupsi sudah menjamur


di Indonesia. Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat
serius, karena dapat membahayakan stabilitas, keamanan, dan masa
depan negara Indonesia, bahkan dapat juga merusak nilai demokrasi
serta moralitas bangsa Indonesia.1 Tindak pidana korupsi merupakan
sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), apalagi jika dikaji dari
sisi akibat yang ditimbulkan yaitu merusak tatanan kehidupan bangsa
Indonesia.2 Dalam sudut pandang hukum pidana, paling tidak ada empat
sifat dan karakteristik kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime,
antara lain: korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan
secara sistematis; korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi
yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya; korupsi selalu
berkaitan dengan kekuasaan; dan korupsi adalah kejahatan yang
berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang
dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.3
Akibat yang ditimbulkan korupsi dilakukan upaya untuk
menanggulangi tindak pidana korupsi yang semakin meluas dan

1
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, hlm. 10
2
Romli Atmasasmita, Korupsi Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia,
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002, hlm. 25.
3
Edward O.S Hiariej, Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset Kejahatan
Korupsi: Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2012, hlm. 3.
merajalela.4 Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah
kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau
strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan
melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa
keadilan dan daya guna.5 Dalam rangka menanggulangi kejahatan
terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada
pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang
dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana
dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan
politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 6
Pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui 3 (tiga) tahap
penegakan hukum pidana,7 yang dilihat sebagai usaha atau proses
rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas
harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang bersumber dari
nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Upaya dalam
rangka menanggulangi kejahatan merupakan suatu sarana sebagai reaksi
yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana
(penal) maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan
satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk
menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum
pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 8

4
Moh. Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana & Hukum Pidana Khusus,
Yogyakarta: Liberty, 2009, hlm. 1.
5
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 22-23.
6
M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997, hlm. 7
7
Ibid, hlm. 25-26
8
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Cet. Kedua, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm. 55.
Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari
kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai
usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social
welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social
defence policy). Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau
menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan dua sarana,
yaitu: Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal dan Sarana Non Penal. 9
Empat kriteria yang perlu diperhatikan sebelum memberi ancaman pidana
(mengkriminalisasi), yaitu tujuan hukum pidana; penetapan perbuatan
yang tidak dikehendaki; perbandingan antara sarana dan hasil; dan
kemampuan badan penegak hukum.10
Berdasarkan pengertian kebijakan kriminal di atas dan akibat dari
korupsi maka hal yang paling mendasar dalam memberantas segala
bentuk korupsi adalah perumusan peraturan perundang-undangan
sebagai landasan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Di
Indonesia saat ini Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) yang diharapkan dapat mendukung pembentukan
pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dan
diperlukan pula kesamaan visi, misi dan persepsi aparatur penegak
hukum dalam penanggulangannya.
Dalam undang-undang ini terdapat 2 (dua) pasal yang rumusan
unsur perbuatannya sama tetapi ada perbedaan yaitu pada Pasal 2
diperuntukan bagi setiap orang dan pada Pasal 3 ditujukan pada setiap
orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sehingga Pasal 3
undang-undang ini lebih diperuntukkan pada pejabat dan atau pegawai

9
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2002, hlm. 77-78.
10
Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan
Pencegahannya Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1980, hlm. 156-157.
negeri yang padanya melekat kewenangan dan jabatan yang ada
padanya.
Selain itu juga terdapat perbedaan yang mencolok pada kedua
pasal ini dalam hal ancaman sanksi dimana ancaman sanksi pada Pasal 2
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sementara Pasal 3 dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Perbedaan kebijakan penal dalam Pasal 2 dengan Pasal 3
bertentangan dengan asas kepastian hukum. Kepastian hukum
merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan
sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara
jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-
tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan
norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Perbedaan kebijakan penal dalam Pasal 2 dan Pasal 3 sudah menjadi
permasalahan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Pemerintah sudah mengupayakan agar UU Tipikor dilakukan amandemen
terkait perbedaan kebijakan penal dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut.
Perumusan kebijakan penal yang terdapat dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 UU Tipikor kurang tepat. Sebagaimana telah diuraikan, bahwa
formulasi delik terkait unsur “melawan hukum” terdapat dalam Pasal 2 dan
formulasi delik terkait unsur “penyalahgunaan wewenang” dalam Pasal 3
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Perbuatan yang
dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan “melawan hukum” jika suatu
perbuatan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
(melawan hukum formil) atau bertentangan dengan nilai kepatutan dan
keadilan masyarakat (melawan hukum materiel). Namun dari hasil kajian
yang telah dilakukan baik terhadap undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi maupun doktrin dari hukum pidana serta praktik terkait
formulasi delik “penyalahgunaan wewenang” dalam Pasal 3, ternyata
terdapat banyak ragam pandangan tentang penyalahgunaan wewenang
beserta parameter yang dapat dipergunakan untuk melakukan penilaian
atas suatu perbuatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
penyelahgunaan wewenang atau tidak. Sebagian ahli Romli Kartasasmita,
Andi Hamzah dan Nur Basuki Winarno berkesimpulan dengan
mengatakan, bahwa penyalahgunaan wewenang hanya dapat dilakukan
oleh mereka yang mempunyai wewenang atau jabatan publik sehingga
setiap orang yang dimaksud dalam Pasal 3 undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah mereka yang tergolong
sebagai pegawai negeri. Dalam kaitan ini kesimpulan yang dipakai
sebagai dasar bahwa subyek delik dalam Pasal 3 ini adalah pegawai
negeri sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara.
Menurut Nur Basuki Winarno, terkait dengan konsep hukum
administrasi, di mana untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan
wewenang harus dibedakan terlebih dahulu apakah wewenang tersebut
masuk dalam klasifikasi wewenang terikat atau wewenang bebas. Pada
kategori wewenang terikat untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan
wewenang menggunakan parameter asas legalitas atau wetmatigheid
vanbestuur, sedangkan pada kategori wewenang bebas (discretionary
power) parameter yang dipakai adalah algemene beginsel van behoorlijk
bestur (asas-asas umum pemerintahan yang baik), dikarenakan asas
“wetmatigheid” tidak memadai. Oleh karena itu Nur Basuki Winarno
menyimpulkan, bahwa ”perbuatan melawan hukum formil” secara implisit
in haeren (sama) dengan ”penyalahgunaan wewenang” dalam kategori
wewenang terikat, namun tidak secara mutatis mutandis kedua hal
tersebut identik. Unsur “penyalahgunaan wewenang” dalam Pasal 3 UU
Tipikor hanya diperuntukkan bagi seorang pegawai negeri oleh Nur Basuki
Winarno didasarkan pada parameter peraturan perundang-undangan
dalam hukum administrasi mempunyai makna yang berbeda dengan
konsep hukum pidana. Dalam hukum pidana untuk menentukan
perbuatan tersebut patut dipidana atau tidak harus didasarkan pada asas
legalitas. Tidaklah tepat jika menyatakan perbuatan tersebut patut
dipidana dengan mendasarkan pada perbuatan yang melanggar peraturan
perundang-undangan, yang lebih tepat lagi adalah melanggar undang-
undang atau peraturan daerah. 11 Sehingga oleh karena itu dalam tindak
pidana korupsi, unsur melawan hukum merupakan genus-nya, sedangkan
penyalahgunaan wewenang adalah species-nya.
Berkaitan dengan pembaharuan, Barda Nawawi Arief menjelaskan
bahwa dalam konteks sistem hukum, yang terdiri dari legal structure, legal
substance, dan legal culture. Maka pembaharuan sistem hukum pidana
(penal system reform) dapat meliputi ruang lingkup yang sangat luas, yaitu
mencakup:12
1. Pembaharuan struktur hukum pidana, yang meliputi antara lain
pembaharuan atau penataan institusi atau lembaga, system
manajemen atau tata laksana dan mekanismenya serta sarana atau
prasarana pendukung dari sistem penegakan hukum pidana (sistem
peradilan pidana);
2. Pembaharuan substansi hukum pidana, yang meliputi pembaharuan
hukum pidana materiel (Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan Undang-undang di luar KUHP), hukum pidana formal (Kitab
Undang Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), dan hukum
pelaksanaan pidana; dan;
3. Pembaharuan budaya hukum pidana, yang meliputi antara lain
masalah kesadaran hukum, perilaku hukum pendidikan hukum dan
ilmu hukum pidana

11
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dalam Pengeloan Keuangan Daerah
Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya: UNAIR, 2006, hlm. 227.
12
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru, Sebuah Restrukturisasi Atau Rekonstruksi
Sistem Hukum Pidana Indonesia,Semarang:Pustaka Magister, 2008, hlm.1
4. Pembaharuan sistem hukum pidana (penal system reform) tersebut
pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana
(penal policy). Kebijakan hukum pidana dan pembaharuan hukum
pidana keberadaanya dapat dibaratkan seperti sekeping mata uang,
satu sisi dengan sisi lainnya yang tidak dapat dipisah, karena berbicara
mengenai politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana secara
tidak langsung pada akhirnya akan berbicara mengenai pembaharuan
hukum. Bahkan pembaharuan hukum merupakan bagian dari politik
atau kebijakan hukum pidana.

Berdasarkan tujuan pembaharuan hukum di atas jika dikaitkan


dengan perbedaan kebijakan penal yang terdapat dalam Pasal 2 dengan
Pasal 3 UU Tipikor yang terdapat perbedaan dalam perumusan sanksi
pidananya sudah seharusnya dilakukan pembaharuan dalam kebijakan
penal dalam pasal tersebut. Perhatian hukum pidana diarahkan pada
tindak pidana (delik) dan pemidanaan itu sendiri, yang bertalian dengan
persoalan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidana yang
dilakukan oleh pelaku. Tindak pidana (delik) merupakan suatu yang
sangat mendasar dalam setiap kajian hukum pidana, sedangkan
persoalan sanksi pidana tidak semata-mata ditujukan bagi si pelaku,
namun diharapkan juga dapat mempengaruhi warga lainnya yang tidak
berbuat jahat.13
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan Pasal 3
terdapat perbedaan rumusan delik dan juga perbedaan pencantuman
pidana minimum khusus. Di dalam Pasal 2 ancaman pidananya minimal 4
tahun, sedangkan Pasal 3 ancaman hukumannya minimal 1 tahun yang
dimana Pasal 3 merupakan penyalahgunaan wewenang yang seharusnya
lebih berat. Dengan demikian perlu kiranya dipikirkan formulasi atau
pembaharuan kebijakan penal dalam tindak pidana korupsi terkait Pasal 2
dan Pasal 3 ke depan agar tercipta kebijakan pidana yang dapat
menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Faktor penyebab disparitas
(perbedaan) penerapan formulasi delik dalam Pasal 2 dan Pasal 3 selain
berasal dari pandangan para ahli hukum dan hakim (yang menjatuhkan

13
Ruslan Saleh, Masih Saja Tentang Kesalahan, Semarang : Undip, 1994, hlm.6.
putusan), juga utamanya berasal dari kelemahan hukum positif (peraturan
perundang-undangan). Oleh karena itu ke depan perlu dipikirkan tentang
formulasi delik yang ideal khususnya terkait dengan Pasal 2 dan Pasal 3.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka seharusnya
pembuat undang-undang dalam rangka kebijakan hukum pidana pada
masa yang akan datang adalah melakukan perbaikan kebijakan penal
atau formulasi delik tindak pidana korupsi terkait dengan perumusan Pasal
2 dan Pasal 3 sebagai upaya untuk mewujudkan formulasi tindak pidana
korupsi dalam peraturan perundang-undangan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu.
Dari rumusan kedua pasal tersebut dapat kita lihat bahwa
perumusan sanksi antara Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang ini
bertentangan dengan ketentuan umum tentang sanksi yang diatur dalam
KUHP. Dalam KUHP menentukan jika suatu perbuatan dilakukan karena
jabatan dan menyalahi wewenang maka merupakan pemberatan pidana,
sementara dalam undang-undang ini pada Pasal 3 yang merupakan
perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 tetapi dilakukan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan tetapi ancamannya lebih ringan
dibandingkan pada Pasal 2. Pada Pasal 2 ancaman pidananya adalah
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sementara pada Pasal 3 ancaman
pidananya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sehingga
rumusan Pasal ini perlu ditinjau ulang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa
dalam praktik pembuatan perundang-undangan di Indonesia, penggunaan
pidana sebagai bagian dari politik atau kebijakan hukum pidana sudah
dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak perlu lagi
dipersoalkan eksistensinya. Dari rumusan kedua pasal tersebut dapat kita
lihat bahwa perumusan sanksi antara Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
undang ini bertentangan dengan ketentuan umum tentang sanksi yang
diatur dalam KUHP. Perbedaan kebijakan penal dalam Pasal 2 dengan
Pasal 3 maka seharusnya pembuat undang- undang dalam rangka
kebijakan hukum pidana pada masa yang akan datang adalah melakukan
perbaikan kebijakan penal atau formulasi delik tindak pidana korupsi
terkait dengan perumusan Pasal 2 dan Pasal 3 sebagai upaya untuk
mewujudkan formulasi tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-
undangan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waku.
DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Dan


Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998.
___________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2002.
___________, RUU KUHP Baru, Sebuah Restrukturisasi Atau
Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia,Semarang:Pustaka
Magister, 2008.
Edward O.S Hiariej, Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset
Kejahatan Korupsi: Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas
Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada, 2012.
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997.
Moh. Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana & Hukum
Pidana Khusus, Yogyakarta: Liberty, 2009.
Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan
Pencegahannya Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1980.
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dalam Pengeloan
Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi,
Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya: UNAIR, 2006.
Romli Atmasasmita, Korupsi Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di
Indonesia, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002.
Ruslan Saleh, Masih Saja Tentang Kesalahan, Semarang : Undip, 1994.
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Cet. Kedua, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi

Anda mungkin juga menyukai