Anda di halaman 1dari 20

ACTIO PAULIANA DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB

KURATOR DALAM PERKARA KEPAILITAN

MUHAMMAD IKHSAN BINARSO

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
Jalan Arteri Soekarno- Hatta Tlogosari Semarang 50196

ABSTRAK
Dalam perkara kepailitan dikenal istilah Actio Pauliana, dimana Penggunaan Actio Pauliana
dalam perkara kepailitan merupakan sebuah lembaga yang sangat penting bagi kurator. Actio
Pauliana merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Kurator untuk menambah
kuantitas dan kualitas harta pailit. Kurator diberikan wewenang oleh UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU guna mengajukan gugatan pembatalan perbuatan hukum yang
telah terlanjur dilakukan Debitur pada masa lampau sebelum Debitur tersebut dinyatakan pailit
melalui putusan Pengadilan Niaga. Hal ini dikarenakan banyaknya debitor nakal yang mencoba
untuk mengalihkan asetnya agar ia tetap mendapat keuntungan atau minimal mengurangi
kerugian yang akan diperolehnya. Dalam actio pauliana debitor harus dalam keadaan
Insolvensi. Selain itu perlunya Actio Pauliana juga untuk menghindarkan pertentangan apabila
muncul kreditor yang ingin mendapatkan hak tertentu, yang memaksa untuk menjual sendiri
barang milik debitor atau menguasai sendiri barang itu tanpa mempedulikan hak kreditor
lainnya. Pengaturan mengenai Actio Pauliana telah diatur dalam KUHPerdata dan Undang –
Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Yang mana telah diperjelas dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan
PKPU yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hal-hal lain” adalah antara lain, Actio
Pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana debitor, kreditor,
atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit.
Penerapan gugatan Actio Pauliana dalam Undang – Undang Kepailitan dan PKPU merupakan
bentuk perlindungan terhadap harta boedel pailit dari perbuatan curang yang kemungkinan
dilakukan oleh Debitor Pailit demi mengamankan aset harta Debitor Pailit sehingga harta yang
seharusnya masuk kedalam aset boedel pailit tersebut dapat terhindar atau tidak masuk dalam
penilaian harta boedel pailit.
Kata Kunci: Kepailitan, Actio Pauliana, Insolvensi

1
ABSTRACT
In a bankruptcy case, the term Actio Pauliana is known, where the use of Actio Pauliana
in a bankruptcy case is a very important institution for curators. Actio Pauliana is one of the
efforts that can be made by the curator to increase the quantity and quality of bankruptcy assets.
The curator is authorized by Law no. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU to file a
lawsuit for the cancellation of legal acts that the Debtor had already committed in the past
before the Debtor was declared bankrupt through a Commercial Court decision. This is due to
the large number of bad debtors who try to transfer their assets so that they can still make a
profit or at least reduce the losses they will get. In Pauliana's action, the debtor must be in a
state of insolvency. In addition, Actio Pauliana is also necessary to avoid conflict if a creditor
who wants to obtain certain rights appears, who forces him to sell the debtor's property himself
or to control the goods himself without regard for the rights of other creditors. The regulation
regarding Actio Pauliana has been regulated in the Civil Code and Law No. 37 of 2004
concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. Which has been made
clear in the elucidation of Article 3 paragraph (1) of the Bankruptcy Law and PKPU which
states that what is meant by "other matters" are, among others, Actio Pauliana, third party
resistance to confiscation, or cases where debtors, creditors, or the management becomes one
of the parties in a case related to bankruptcy assets. The application of Actio Pauliana's lawsuit
in the Bankruptcy Law and PKPU is a form of protection against bankruptcy assets from
fraudulent acts that may be committed by the Bankrupt Debtor in order to secure the assets of
the Bankrupt Debtor so that the assets that should be included in the bankruptcy boedel assets
can be avoided or not included in the assessment bankruptcy of Boedel.
Keywords: Regional Administration, Supervision, Central Java Province.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata
Belanda yaitu failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata
sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Prancis yaitu faillite yang berarti pemogokan atau
kemacetan pembayaran.1 Dalam bahasa Indonesia pailit diartikan bangkrut. Pailit adalah suatu

1
Victor Situmorang & Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994,
hlm. 18.

2
keadaan dimana seorang Debitor tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih.2 Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, pailit adalah keadaan seorang Debitor
apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki
campur tangan Majelis Hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para Kreditornya.3
Pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah diatur dalam Undang – Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang(UUK-
PKPU) sebagai perubahan atas Undang – Undang No 4 Tahun 1998 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang – Undang Kepailitan menjadi Undang – Undang. Definisi dari Kepailitan sebagaimana
yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 1 Undang – Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang yaitu4:
“Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas”. Tujuan utama dari kepailitan
sebenarnya yaitu untuk melakukan pembagian harta antara para kreditor atas kekayaan debitor
oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau
eksekusi terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama
sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai dengan hak masing
– masing. Dengan adanya Kepailitan dapat mencegah / menghindari eksekusi oleh kreditor dan
mencegah terjadinya kecurangan oleh debitor sendiri. Kepailitan merupakan lembaga hukum
yang mempunyai fungsi penting, yaitu sebagai realisasi dari dua pasal penting di dalam
KUHPerdata mengenai tanggung jawab debitor terhadap perikatan – perikatan yang dilakukan
yaitu Pasal 1131 dan 1132.
Dalam perkara kepailitan juga dikenal istilah Actio Pauliana, dimana Penggunaan Actio
Pauliana dalam perkara kepailitan merupakan sebuah lembaga yang sangat penting bagi
kurator. Actio Pauliana merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Kurator untuk
menambah kuantitas dan kualitas harta pailit. Kurator diberikan wewenang oleh UU No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU guna mengajukan gugatan pembatalan perbuatan
hukum yang telah terlanjur dilakukan Debitur pada masa lampau sebelum Debitur tersebut

2
Zaeny Asyhadie, Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 225.
3
Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait dengan
Kepailitan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 12.
4
Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Pasal 1 Butir 1.

3
dinyatakan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga.5 Hal ini dikarenakan banyaknya debitor
nakal yang mencoba untuk mengalihkan asetnya agar ia tetap mendapat keuntungan atau
minimal mengurangi kerugian yang akan diperolehnya. Dalam action pauliana debitor harus
dalam keadaan Insolvensi. Selain itu perlunya Actio Pauliana juga untuk menghindarkan
pertentangan apabila muncul kreditor yang ingin mendapatkan hak tertentu, yang memaksa
untuk menjual sendiri barang milik debitor atau menguasai sendiri barang itu tanpa
mempedulikan hak kreditor lainnya.6 Pengaturan mengenai Actio Pauliana telah diatur dalam
KUHPerdata dan Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Yang mana telah diperjelas dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hal-
hal lain” adalah antara lain, Actio Pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau
perkara dimana debitor, kreditor, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang
berkaitan dengan harta pailit. Penerapan gugatan Actio Pauliana dalam Undang – Undang
Kepailitan dan PKPU merupakan bentuk perlindungan terhadap harta boedel pailit dari
perbuatan curang yang kemungkinan dilakukan oleh Debitor Pailit demi mengamankan aset
harta Debitor Pailit sehingga harta yang seharusnya masuk kedalam aset boedel pailit tersebut
dapat terhindar atau tidak masuk dalam penilaian harta boedel pailit. Meski demikian, gugatan
actio pauliana tidak hanya dapat dilakukan menyangkut suatu perjanjian yang dilakukan oleh
Debitor pailit dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pailit diucapkan. Tetapi juga
dapat dilakukan selama eksekusi kepailitan tersebut belum selesai dan ditemukan suatu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor pailit dan dinilai dapat menambah nilai harta
boedel pailit. Seperti dalam Putusan MA No. 212 K/Pdt.Sus-Pailit/2019, dimana dalam putusan
tersebut MA memenangkan gugatan Actio Pauliana yang diajukan oleh Kurator. Dalam
Perkara tersebut, MA menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor
13793/Purwomartani seluas 315 m² sebagaimana yang diuraikan di dalam Surat Ukur tanggal
5 Agustus 2014 Nomor 00567/Purwomartani/ 2014 adalah harta pailit yang dapat dimasukkan
ke dalam daftar harta (boedel) pailit Nomor 07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg. dengan demikian
maka perjanjian kredit dan Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor 150/2017 tanggal 18 Mei
2017 dibuat di hadapan Suwasti Yudani S.H., M.Kn. selaku Notaris dan PPAT di Kabupaten

5
Andika Wijaya & Wida Peace Ananta, “Hukum Acara Pengadilan Niaga”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018),
hlm. 61.
6
Andriani Nurdin, “ Masalah Seputar Actio Pauliana “, Dalam : Emmy Yuhassarie., Kepailitan dan Transfer
Aset Secara Melawan Hukum, (Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum,2004), hlm. 263.

4
Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta antara Rosalya Sri Wulandari (Tergugat I)
dengan PT. Bank Perkreditan Rakyat Bhakti Daya Ekonomi (Tergugat II) batal demi hukum.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengaturan Actio Pauliana berdasarkan Undang – Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan PKPU?
2. Bagaimana tanggung jawab Kurator dalam gugatan Actio Pauliana ?
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Dari rumusan masalah diatas tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan Actio Pauliana dalam Undang – Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;
2. Untuk mengetahui tanggung jawab Kurator dalam gugatan Actio Pauliana.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran
bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia, khsususnya dalam hal mengenai Actio
Pauliana dalam Hukum Kepailitan;

2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
khususnya para pengguna jasa hukum dan kepada pelaksana hukum, mengenai Actio
Pauliana dalam Hukum Kepailitan.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kepailitan
1. Hakim Pengawas
Hakim pengawas adalah seorang hakim yang ditunjuk oleh hakim pengadilan
untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 butir ke 8 UUK-PKPU yang berbunyi:
“Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit
atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang”
5
Dalam UUK – PKPU, peraturan yang mengatur tentang Hakim Pengawas telah
diatur dalam Pasal 65 – 68 Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Meskipun perihal mengenai hakim pengawas telah dijelaskan dalam pasal – pasal tersebut,
tetapi tugas dari seorang hakim pengawas sendiri berdasarkan Undang – Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak hanya sebatas dalam Pasal 65 – 68 tersebut. Tugas
dari seorang Hakim Pengawas yang ada dalam Undang – undang Kepailitan dan PKPU antara
lain yaitu:
1) Hakim Pengawas dapat memberikan persetujuan kepada kurator untuk memperoleh
pinjaman dari pihak ketiga apabila dalam melakukan peminjaman tersebut diperlukan
pembebanan terhadap harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya. (Pasal 69 Ayat (3))
2) Memberikan izin kepada kurator untuk menghadap di muka pengadilan, kecuali
menyangkut sengketa pencocokan utang atau dalam hal-hal sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 59 Ayat (3). (Pasal 69 Ayat (5))
3) Menerima laporan dari kurator yang harus dibuat setiap 3 (tiga) bulan sekali mengenai
keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya. (Pasal 74 Ayat (1))
4) Memberikan perpanjangan jangka waktu bagi kurator untuk menyampaikan laporan
kepada Hakim Pengawas sebagaimana ditetapkan dalam Ayat (1). (Pasal 74 ayat (3))
5) Menerima permohonan perlawanan yang diajukan oleh Kreditor atau Debitor terhadap
perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh kurator, atau menerima permohonan untuk
melakukan perubahan agar kurator melakukan perbuatan hukum tertentu yang telah
direncanakan. (Pasal 77 Ayat (1))
6) Menyampaikan surat keberatan kepada kurator paling lambat 3 (tiga) hari setelah surat
keberatan diterima. (Pasal 77 Ayat (2))
7) Setelah pencocokan utang selesai dilakukan, Hakim Pengawas wajib menawarkan
kepada kreditor untuk membentuk panitia kreditor tetap. (Pasal 80 Ayat (1))
8) Dalam rapat kreditor, Hakim Pengawas bertindak sebagai ketua. (Pasal 85 Ayat (1))
9) Hakim Pengawas menentukan hari, tanggal, waktu dan tempat rapat kreditor pertama
yang harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah tanggal putusan pailit diucapkan. (Pasal 86 Ayat (1))
10) Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah putusan pernyataan pailit diterima oleh Hakim
Pengawas dan Kurator, Hakim Pengawas wajib menyampaikan kepada Kurator rencana
penyelenggaraan rapat kreditor pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (Pasal 86
Ayat (2))
6
11) Hakim Pengawas wajib menentukan hari, tanggal, waktu dan tempat rapat kreditor.
(Pasal 90 Ayat (3))
12) Hakim Pengawas harus menetapkan tenggang waktu antara hari pemanggilan dan hari
rapat. (Pasal 90 ayat (6))
13) Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan permyataan pailit diucapkan, Hakim
Pengawas harus menetapkan (Pasal 113 ayat (1)):
a. Batas akhir pengajuan tagihan,
b. Batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besamya kewajiban pajak sesusi
dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
c. Hari, tanggal, waktu dan tempat rapat Kreditor untuk mengadakan pencocokan
piutang.
14) Hakim Pengawas wajib memberikan surat keterangan kepada Kreditor mengenai sumpah
yang telah diucapkannya, kecuali apabila sumpah tersebut diucapkan dalam rapat
Kreditor maka harus dicatat dalam berita acara rapat yang bersangkutan. (Pasai 125 ayat
(3))
15) Pembicaraan dan keputusan mengenai rencana perdamaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 145, ditunda sampai rapat berikut yang tanggalnya ditetapkan oleh Hakim
Pengawas paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kemudian, dalam hal (Pasal 147):
a. Apabila dalam rapat diangkat panitia kreditor tetap yang tidak terdiri atas orang-
orang yang sama seperti panitia kreditor sementara, sedangkan jumlah terbanyak
Kreditor menghendaki dari panitia kreditor tetap pendapat tertulis tentang
perdamaian yang diusulkan tersebut; atau
b. Rencana perdamaian tidak disediakan di Kepaniteraan Pengadilan dalam waktu
yang ditentukan, sedangkan jumlah terbanyak Kreditor yang hadir menghendaki
pengunduran rapat.
2. Kurator
Kurator merupakan pihak yang melakukan pengurusan dan pemberesan harta boedel
pailit dalam pelaksanaan eksekusi kepailitan. Dalam Pasal 1 butir ke 5 telah dijelaskan:
“Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh
Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini.”
Sesuai Pasal 70 Ayat (1) UUK-PKPU, kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 adalah:
a. Balai Harta Peninggalan;
b. Kurator Lainnya.
7
Sedangkan Pasal 70 Ayat (2) menjelaskan, Yang dapat menjadi Kurator sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah:
a. Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang
dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; dan
b. Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum
dan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa kurator
berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta boedel pailit sejak
tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau
peninjauan kembali. Kewenangan kurator yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU tersebut juga meliputi permohonan pembatalan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh debitor pailit dengan tujuan agar nilai harta boedel pailit dapat bertambah.
Permohonan pembatalan perbuatan hukum yang dilakukan oleh kurator tersebut dikenal
sebagai Actio Pauliana.
Gugatan Actio Pauliana diajukan oleh kurator yang diangkat oleh pengadilan untuk
mengurus dan membereskan harta boedel debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas.
Tugas kurator dalam mengurus dan membereskan harta pailit tidak hanya sekedar bagaimana
menyelamatkan harta bodel pailit yang berhasil dikumpulkannya kemudian dibagi kepada
kreditor, sedapat mungkin bisa meningkatkan harta pailit tersebut.7
3. Kreditor
Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) jenis kreditor dalam kepailitan yaitu:
Kreditor Separatis
Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak
sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit, artinya hak-hak
eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor. Kreditor pemegang
gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya
merupakan karakteristik kreditor separatis.
Kreditor Preferen
Kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. UUK-
PKPU menggunakan istilah hak-hak istimewa, sebagaima yang diatur dalam KUH Perdata.

7
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012, hlm. 175.

8
Hak istimewa mengandung makna “hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang
berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya.
Berdasarkan ketentuan KUH Perdata, ada dua jenis hak istimewa, yaitu hak istimewa
khusus dan hak istimewa umum. Hak istimewa khusus adalah hak yang menyangkut benda-
benda tertentu, sedangkan hak istimewa umum berarti menyangkut seluruh benda, sesuai
dengan KUH Perdata pula, hak istimewa khusus di dahulukan atas hak istimewa umum.
Kreditor Konkuren

Kreditor konkuren adalah kreditor yang harus berbagi dengan para kreditor lainnya secara
proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari
hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Istilah yang
digunakan dalam Bahasa Inggris untuk kreditor konkuren adalah unsecured creditor.

Kreditor ini memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta
kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah
sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutangnya kepada kreditor pemegang hak
jaminan dan para kreditor dengan hak istimewa.8
B. Tinjauan Tentang Insolvensi
Salah satu syarat bagi Pengadilan Niaga untuk menjatuhkan putusan pailit terhadap debitor
yang mengalami pailit adalah debitor harus dalam keadaan insolvensi. Insolvensi adalah suatu
keadaan dimana debitor tidak mampu untuk membayar lagi hutangnya kepada para kreditor,
dan besarnya kekayaan yang dimiliki oleh debitor lebih rendah dari jumlah hutangnya terhadap
para kreditor.
Dalam pengajuan gugatan Actio Pauliana debitor harus berada dalam keadaan insolvensi.
Hal ini bertujuan untuk membuktikan bahwa transaksi yang dilakukan oleh debitor pailit
selama satu tahun atau sebelum putusan pailit dijatuhkan membuat debitor pailit dalam keadaan
insolvensi sehingga menyebabkan pengurangan harta boedel pailit yang dapat menyebabkan
kerugian bagi para kreditur pailit.
1. Tinjauan Tentang Actio Pauliana
1. Pengertian Actio Pauliana
Actio Pauliana adalah hak yang diberikan kepada seorang Kreditor untuk mengajukan
dibatalkannya segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor tersebut,

8
Mushawir Arsyad, Jenis – Jenis Kreditor Dalam Kepailitan (Online), 2011,
(http://arsyadshawir.blogspot.com/2011/11/jenis-jenis-kreditor-dalam-kepailitan.html, diakses 31 Januari
2020).

9
sedangkan Debitor mengetahui bahwa dengan perbuatannya itu Kreditor dirugikan.9 Istilah
Actio Pauliana berasal dari bahasa Romawi, yang maksudnya menunjuk kepada semua upaya
hukum yang digunakan untuk menyatakan batalnya tindakan Debitor yang meniadakan arti
Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu berupa tindakan Debitor yang karena merasa akan dinyatakan
pailit melakukan tindakan hukum memindahkan haknya atas sebagian dari harta kekayaannya
yang dapat merugikan para Kreditornya.10
Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan debitur,
cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur
mengetahui, bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang
yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak.11
Actio pauliana ini terkandung dalam Pasal 1341 KUHPerdata, yang kemudian diadopsi
oleh Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, untuk melindungi harta pailit
dari tindakan debitur yang nakal. Pasal 1341 KUHPerdata memberikan hak kepada setiap
kreditur untuk mengajukan pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan
oleh debitur dengan nama apapun, juga yang merugikan kreditur, asal dapat dibuktikan bahwa
ketika perbuatan dilakukan baik debitur ataupun orang dengan atau untuk siapa debitur berbuat,
mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan kreditur.
2. Syarat Actio Pauliana
Actio pauliana sebagai lembaga yang melindugi kepentingan kreditor memiliki beberapa
persyaratan yang bersifat kumulatif, yaitu:
1) Ada perbuatan hukum yang dilakukan debitor merugikan kreditor;
2) Perbuatan itu tidak wajib untuk dilakukan, dan
3) Dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pailit diucapkan.
4) Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut debitor mengetahui atau
sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum yang dilakukannya akan
merugikan kepentingan kreditor;

9
Sutan Remy Sjahdeini, “Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-
undang No.4 tahun 1998”, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002. hlm.298.
10
Kartini Muljadi dalam Rudhy Lontoh, Penyelesaian Utang-Piutang :Melalui Pailit atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung, Alumni, 2001, hlm.135.
11
Ardiansyah, “Actio Pauliana Dalam Kepailitan”(Online), 2014,
(https://customslawyer.wordpress.com/2014/09/21/actio-pauliana-dalam-hukum-kepailitan/, diakses 15
Oktober 2019).

10
5) Pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan pihak dengan siapa perbuatan
hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan
hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.12
Permohonan pembatalan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor diajukan
dalam rangka pemberesan harta pailit. Tujuannya adalah untuk memperbanyak harta pailit,
agar para kreditor memperoleh pembayaran secara maksimal sesuai dengan jumlah piutang
yang dimiliki oleh para kreditor. 13
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam melakukan suatu
penelitian atau pembuatan suatu karya ilmiah, hal ini disebabkan oleh berhasil atau tidaknya
suatu penelitian tergantung terhadap metode penelitian yang digunakan. Sebagaimana suatu
penulisan karya ilmiah haruslah bertitik tolak pada suatu realitas yang ada, kemudian dianalisis
dan diinterprestasikan dengan dasar peraturan yang ada agar mencapai suatu pembahasan yang
konkret. Selanjutnya mengenai metode yang digunakan dalam pembuatan karya ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
a) Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu dengan
cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder.14 Dengan melakukan pengkajian terhadap
aspek - aspek peraturan dalam Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang khususnya dalam Pasal 41 – 50 dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menyangkut Actio Pauliana serta mengkaji beberapa literatur yang
berhubungan dengan Actio Pauliana dalam Hukum Kepailitan.

b) Spesifikasi Penelitian
Dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis, Deskriptif – analitis yaitu
menggambarkan pokok – pokok permasalahan menjadi objek penelitian dan dikaitkan dengan
perundang – undangan yang berlaku, serta teori – teori dan praktek yang berkenaan dengan
suatu hukum positif. Ciri – ciri metode deskriptif-analitis yaitu:

12
Fred B.G. Tumbuan, “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan yang Diubah Perpu No.
1/1998,” Newsletter No. 33/IX/Juni/1998, hlm. 3. Kelima persyaratan tersebut terdapat dalam Pasal 41 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007.
13
Elijana, et. al., Penelitian Hukum tentang Penyelesaian Sengketa melalui Peradilan Niaga, Jakarta: BPHN
dan Depkeh dan HAM, 2000, hlm. 15.
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1984), hlm.
43.

11
a. Memusatkan diri pada pemecahan masalah yang sedang diteliti dan dihubungkan
dengan teori – teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif yang
menyangkut permasalahan yang sedang diteliti;
b. Data yang dikumpulkan mula – mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa.
yaitu menggambarkan pokok – pokok permasalahan yang menjadi objek penelitian
ini yaitu mengenai peraturan yang mendasari pelaksanaan Actio Pauliana serta
Penerapan Actio Pauliana dalam perkara Kepailitan, serta beberapa literature yang
membahas hal tersebut.15
c) Metode Penentuan Sampel
Dalam penelitian ini teknik yang dipilih dalam pengambilan sampel ditentukan secara
purposiv, yaitu menentukan sampel atas dasar tujuan tertentu. Adapaun yang akan menjadi
sampel yaitu peraturan yang mendasari pelaksanaan atau penerapan Actio Pauliana dalam
Hukum Kepailitan.
d) Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan. Melalui studi kepustakaan ini akan diperoleh data yang meliputi:
1.) Bahan hukum primer,
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Untang;
2.) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan – bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum
primer, seperti buku – buku hasil karya para pakar, hasil – hasil penelitian, atau
kegiatan ilmiah lainnya yang memiliki kaitan atau hubungan dengan permasalahan
yang diteliti yaitu mengenai Actio Pauliana dalam Hukum Kepailitan;
3.) Bahan hukum tersier, yaitu bahan – bahan yang memberi informasi tentang bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang meliputi kamus hukum atau
kamus – kamus lain yang berkaitan atau berhubungan dengan permasalahan
mengenai Actio Pauliana dalam Hukum Kepailitan.

15
Surachmad Winano, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah, (Bandung: CV Tarsito,
2004), hlm. 135.

12
e) Metode Analisis Data
Metode ini tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan masalah, spesifikasi penelitian dan
jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Pada penelitian yuridis
normatif teknik analisis datanya bersifat analisis data kualitatif normatif. Penjelasan terhadap
data dilakukan dengan menggunakan teori – teori dan norma – norma hukum yang ada
sedangkan keseluruhan data yang diperoleh disajikan secara kualitatif yaitu dalam bentuk
uraian yang tersusun secara sistematis.16 Analisa kualitatif merupakan suatu tata cara penelitian
yang akan menghasilkan suatu data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilaku yang nyata, diteliti dan dipelajari
sebagai sesuatu hal yang utuh sehingga dapat diperoleh data yang diperlukan dalam penelitian
ini.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Pengaturan Actio Pauliana berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU

Actio Pauliana merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukann oleh Kurator untuk

menambah kuantitas dan kualitas harta pailit. Kurator diberikan wewenang oleh Undang-Undang No.

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU guna mengajukan gugatan pembatalan perbuatan hukum

yang telah atau terlanjur dilakukan Debitur pada masa lampau sebelum Debitur tersebut dinyatakan

pailit melalui putusan pengadilan niaga.17 Meskipun dalam hal ini juga terdapat suatu perjanjian dalam

transaksi tersebut dan sebagaimana kita ketahui bahwa dalam suatu perjanjian menganut asas Privity of

Contract sebagaimana terkandung dalam Pasal 1340 KUHPerdata:

“ Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”

Tetapi asas Privity of Contract ini tidaklah berlaku secara kaku, dan masih bisa dimungkinkan untuk

dapat dikecualikan. Pengecualian ini merupakan salah satu dasar dari adanya perbuatan Actio Pauliana

yang diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata yang berbunyi:

1) Meskipun demikian, tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan
yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang dengan nama apa pun juga, yang

16
Soerjono Soekamto,Op.Cit., hlm. 25.
17
Andika Wijaya, S.H. & Wida Peace Ananta, S.H., M.H., 2018, “Hukum Acara Pengadilan Niaga”,
Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 61.

13
merugikan orang-orang berpiutang, asal dibuktikan, bahwa ketika perbuatan dilakukan,
baik si berutang maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat, mengetahui
bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang;
2) Hak-hak yang diperolehnhya dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas
barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, dilindungi;
Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan cuma-Cuma oleh si
berutang, cukuplah si berpiutang membuktikan bahwa si berpiutang pada waktu melakukan perbuatan
itu tahu, bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan orang-orang yang mengutamakan padanya, tak
peduli apakah orang yang menerima keuntungan juga mengetahuinya atau tidak.

Actio Pauliana merupakan sarana yang diberikan oleh undang-undang kepada tiap-tiap
kreditor untuk mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang telah
dilakukan oleh debitur di mana perbuatan tersebut telah merugikan kreditor. Ada satu unsur
penting yang menjadi patokan dalam pengaturan action pauliana dalam Pasal 1341
KUHPerdata, yaitu unsur iktikad baik (good faith). Pembuktian ada atau tidak adanya unsur
iktikad baik menjadi landasan dalam menentukan perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang
tidak diwajibkan atau diwajibkan.18

Apabila dilihat dari Pasal 1341 Ayat (1) dan Ayat (3) KUHperdata sebagaimana diatas,
pada dasarnya dapat diketahui bahwa terdapat 2 (dua) macam perbuatan hukum yang tidak
diwajibkan, yaitu:

a. Perbuatan hukum yang bersifat timbal balik (lihat Pasal 1341 Ayat (1) KUHPerdata)

Perbuatan hukum yang bersifat timbal balik adalah suatu perbuatan hukum di mana ada
dua pihak yang saling berprestasi. Contohnya: perjanjian jual beli, perjanjian sewa-
menyewa, dan lain-lain;

b. Perbuatan hukum yang bersifat sepihak (lihat Pasal 1341 Ayat (3) KUHPerdata)

Perbuatan hukum yang bersifat sepihak adalah suatu perbuatan hukum di mana hanya
ada satu pihak yang mempunyai kewajiban atas prestasi terhadap pihak lain. Contohnya:
Hibah.19

Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Actio Pauliana
diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 41 – Pasal 50.

18
Jono, , 2017, “Hukum Kepailitan”, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 135.
19
Ibid, hlm. 136.

14
2. Tanggung Jawab Kurator Dalam Gugatan Actio Pauliana.
Dalam perkara kepailitan, actio pauliana biasanya diterapkan atau dilakukan apabila
perbuatan hukum debitur sebelum putusan pailit dijatuhkan dinilai akan merugikan kreditur
pailit. Perbuatan hukum tersebut biasanya berupa pengalihan harta debitur pailit melalui
berbagai cara dengan maksud atau tujuan untuk mengamankan kekayaan harta atau harta
boedel milik debitur pailit atau bahkan untuk merugikan kreditor pailit.

Pelaksanaan actio pauliana berdasarkan Pasal 1341 KUHPerdata. Sedangkan dalam


Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU sendiri telah diatur dalam
Pasal 41 – Pasal 50.

Tetapi juga dijelaskan dalam Pasal 30 Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU, dapat diketahui bahwa apabila sebelum dijatuhinya putusan pailit
terhadap Debitor pailit terdapat perbuatan yang mana perbuatan tersebut memang sengaja
dilakukan oleh Debitor pailit dengan maksud untuk mengamankan harta boedel pailit milik
Debitor atau untuk merugikan Kreditor pailit, maka Kurator dapat mengajukan gugatan Actio
Pauliana.

Prof. Sutan Remy Sjahdeini, mengutip dari Fred B.G. Tumbuan, mengatakan bahwa
dalam Pasal 41 Undang-Undang Kepailitan terdapat lima persyaratan yang harus dipenuhi agar
action pauliana itu berlaku, antara lain:

a. Debitur telah melakukan suatu perbuatan hukum;


b. Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur;
c. Perbuatan hukum dimaksudkan te;ah merugikan Kreditor;
d. Pada saat melakukan perbuatan hukum, debitur mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan kreditor; dan
e. Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut, pihak dengan siapa perbuatan hukum
tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum
tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.20

Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui telah terpenuhi atau
tidaknya kelima syarat action pauliana tersebut, maka hal itu menjadi tugas dari Kurator untuk
membuktikannya. Apabila dalam pembuktian gugatan Actio Pauliana tersebut Kurator dapat
membuktikan bahwa perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh Debitor Pailit/Pihak yang

20
Prof. Sutan Remy Sjahdeini, “Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening juncto
Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm. 300-301.

15
berhubungan erat dengan Debitor pailit adalah suatu hal yang berasal dari Debitor Pailit dan dapat
merugikan atau mengurangi nilai boedel pailit sebagaimana dalam perkara kasus Actio Pauliana
yang tertuang dalam Putusan MA No. 212 K/Pdt.Sus-Pailit/2019, maka Kurator dapat
memasukan harta yang menjadi objek dalam perjanjian tersebut kedalam boedel pailit dan
perbuatan hukum yang terjadi menyangkut perjanjian tersebut batal demi hukum. Sebagaimana
kita ketahui, bahwa dasar dari pelaksanaan actio pauliana adalah berdasarkan dari peraturan Pasal
1341 KUHPerdata, yang mana ketentuan tersebut dipertegas dengan Pasal 41 Undang – Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Dalam hal kepailitan berakhir dengan disahkannya perdamaian, gugatan actio pauliana
sebagaimana telah diajukan oleh Kurator dapat gugur. Tetapi gugatan actio pauliana tersebut juga
bisa tidak gugur apabila perdamaian tersebut hanya berisi tentang pelepasan atas harta pailit, oleh
karenanya gugatan actio pauliana tersebut tetap dapat dilanjutkan oleh kurator untuk kepentingan
kreditur pailit, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 48 Undang – Undang Kepailitan dan
PKPU yang berbunyi:

1) Dalam hal kepailitan berakhir dengan disahkannya perdamaian maka tuntutan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 gugur.

2) Tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 tidak gugur, jika perdamaian


tersebut berisi pelepasan atas harta pailit, untuk itu tuntutan dapat dilanjutkan atau
diajukan oleh para pemberes harta untuk kepentingan Kreditor.

Dalam praktik penegakan Undang-Undang Kepailitan, ternyata ketentuan actio pauliana


belum sepenuhnya dapat melindungi kepentingan kreditor dengan beberapa alasan.
Pembuktian dalam actio pauliana tidak dapat dilakukan secara sederhana. Pembuktian actio
pauliana berbeda dengan pembuktian sederhana dalam kepailitan. Apabila hal ini diperiksa di
Pengadilan Negeri, dapat saja penyelesaian kepailitan menjadi berlarut – larut.21 Padahal,
umumnya debitor langsung memindahkan harta-harta bergerak termasuk rekening-
rekeningnya yang ada di bank setelah adanya pernyataan pailit, dengan tujuan untuk
menghindari pemberesan harta oleh kurator. Khusus untuk harta debitor yang berbentuk badan
hukum yang pemilikannya atas nama pribadi tetap dipertahankan atas nama pemegang saham,
dan dilakukan perikatan-perikatan tertentu dengan pihak lain secara back date. Transaksi

21
Hukumonline, “Pengadilan Niaga Wadah Ketidakpastian Baru” (Online), 15 Januari 2001,
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1639/pengadilan-niaga-wadah-ketidakpastian-baru, diakses
21 Januari 2020).

16
semacam ini mudah terjadi karena lemahnya penegakan hukum dalam bidang yang berkaitan
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan,
khususnya kewajiban penyampaian laporan keuangan audit tahunan.22

Kurator mengalami kesulitan untuk dapat mengakses dokumen yang dimiliki oleh
debitor. Dalam perkara PT Ibist yang berkantor pusat di Jalan Mulyasari No. 1 Sukajadi,
Bandung yang terjadi pada tahun 2006, dokumen – dokumen dibawa pergi oleh Wandi Sofian,
sehingga kurator sama sekali tidak mengetahui besarnya harta kekayaan Ibist.23 Sementara itu
sejumlah harta kekayaan Ibist telah disita oleh Pengadilan Negeri Bandung dengan Penetapan
Nomor 36/Pen.Pid/2007/PN.Bdg pada 5 Januari 2007 untuk keperluan pembuktian dalam
perkara pidana.24

Tindakan yang dilakukan oleh debitor dengan maksud untuk merugikan kepentingan
kreditor sebelum putusan pernyataan pailit biasanya dilakukan dengan berbagai cara seperti
memecah tagihan ’inter company loan’ dengan menggunakan ketentuan cessie atau pengalihan
hak atas kebendaan bergerak tak berwujud yang tertuang dalam Pasal 613 KUHPerdata
(Burgerlijk Wetboek). Jika itu sudah dilaksanakan, pihak advokat debitor akan bersikap
melindungi debitor dan harta debitor pailit secara berlebihan (over protected). Cara lain yang
biasa dilakukan adalah debitor melakukan pendekatan kepada kreditor – kreditor tertentu
dengan memberikan kompensasi tertentu. Misalnya, pembayaran sebagian utang atau
tagihannya akan diambil alih oleh perusahaan terafiliasi. Tujuannya adalah agar memberikan
dukungan dalam rapat – rapat kreditor maupun voting pada saat rapat kreditor dilaksanakan.

PENUTUP

A. Simpulan
1. Perbuatan Actio Pauliana merupakan penerapan dari Pasal 1341 KUHPerdata, yang
kemudian dituangkan dalam Pasal 41 – Pasal 50 Undang – Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU. Dalam pengajuan gugatan Actio Pauliana, dilakukan oleh
kurator sebagaimana hal ini telah diatur dalam Pasal 47 Undang – Undang No. 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan PKPU. Dalam pengajuan gugatan Actio Pauliana, apabila
terdapat perbuatan yang dilakukan oleh debitur pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 41

22
Hukumonline, “Rendah, Pemulihan Aset dalam Kepailitan” (Online), 27 Maret 2007,
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16408/rendah-pemulihan-aset-dalam-kepailitan/, diakses 17
Februari 2020).
23
Hukumonline, “Kurator Ibist Rencanakan Actio Pauliana Secepatnya” (Online), 8 Maret 2007,
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16321/kurator-ibist-rencanakan, diakses 21 Februari 2020)
24
Ibid.

17
– Pasal 46 Undang – Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang
dinilai oleh kreditur pailit menimbulkan kerugian atau pengurangan harta boedel pailit,
Kreditur pailit dapat meminta kepada Kurator untuk mengajukan gugatan Actio
Pauliana.
2. Actio Pauliana merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukann oleh Kurator untuk
menambah kuantitas dan kualitas harta pailit. Kurator diberikan wewenang oleh Undang-
Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU guna mengajukan gugatan
pembatalan perbuatan hukum yang telah atau terlanjur dilakukan Debitur pada masa
lampau sebelum Debitur tersebut dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan niaga.
Dalam pembuktian gugatan Actio Pauliana, Kurator dapat membuktikan bahwa perbuatan
hukum yang telah dilakukan oleh Debitor Pailit/Pihak yang berhubungan erat dengan
Debitor pailit adalah suatu hal yang berasal dari Debitor Pailit dan dapat merugikan atau
mengurangi nilai boedel pailit. Serta dalam pengajuan gugatan Actio Pauliana hanya dapat
diajukan oleh Kurator. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 47 Undang – Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dan pembuktian dalam gugatan Actio Pauliana
tersebut menjadi tanggung jawab dari Kurator.
B. Saran

Dalam pelaksanaan putusan kepailitan masih rawan kecurangan yang dilakukan


oleh debitur pailit yang nakal, yang mana perbuatan tersebut bertujuan untuk merugikan
kreditur pailit dan mengamankan harta debitur pailit. Sehingga perlu adanya pembaharuan
dalam peraturan perundang – undangan khususnya Undang – Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU oleh Pemerintah, dalam hal ini mengenai Actio Pauliana.
Pembaharuan tersebut dapat berupa sanksi baik yang ditujukan terhadap debitur pailit maupun
advokat dari debitur pailit yang dinilai menghambat atau tidak kooperatif dalam pelaksanaan
eksekusi putusan kepailitan.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Asyhadie, Zaeny Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2005.

Elijana, et. al., Penelitian Hukum tentang Penyelesaian Sengketa melalui Peradilan Niaga,
Jakarta: BPHN dan Depkeh dan HAM, 2000.

Jono. 2017. “Hukum Kepailitan”, Jakarta: Sinar Grafika.

18
Muljadi, Kartini dalam Rudhy Lontoh. “Penyelesaian Utang-Piutang :Melalui Pailit atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Bandung, Alumni, 2001.

Nurdin, Andriani. “ Masalah Seputar Actio Pauliana “, Dalam: Emmy Yuhassarie.,


Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum. Jakarta : Pusat Pengkajian
Hukum, 2004.

Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait


dengan Kepailitan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2006.

Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan),


Jakarta: Putra Grafika, 2008.

Situmorang, Victor & Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, 1994.

Sjahdeini, Sutan Remy. “Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto


Undang-undang No.4 tahun 1998”, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002.

___________________. “Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening juncto


Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1984

Tumbuan, Frederick B.G. “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan yang


Diubah Perpu No. 1/1998,” Newsletter No. 33/IX/Juni/1998, Kelima persyaratan tersebut
terdapat dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2007.

Wijaya, Andika & Wida Peace Ananta, “Hukum Acara Pengadilan Niaga”. Jakarta: Sinar
Grafika, 2018.

Winano, Surachmad. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: CV
Tarsito, 2004.

B. Perundang-Undangan

Sekretariat Negara RI. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Sekretariat Negara RI. Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

C. Website

Ardiansyah, “Actio Pauliana Dalam Kepailitan”(Online), 2014,


(https://customslawyer.wordpress.com/2014/09/21/actio-pauliana-dalam-hukum-
kepailitan/, diakses 15 Oktober 2019).

Arsyad, Mushawir. Jenis – Jenis Kreditor Dalam Kepailitan (Online), 2011,


(http://arsyadshawir.blogspot.com/2011/11/jenis-jenis-kreditor-dalam-kepailitan.html,
diakses 31 Januari 2020).

19
Hukumonline, “Pengadilan Niaga Wadah Ketidakpastian Baru” (Online), 15 Januari 2001,
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1639/pengadilan-niaga-wadah-
ketidakpastian-baru, diakses 21 Januari 2020).

Hukumonline, “Kurator Ibist Rencanakan Actio Pauliana Secepatnya” (Online), 8 Maret 2007,
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16321/kurator-ibist-rencanakan, diakses
21 Februari 2020).

Hukumonline, “Rendah, Pemulihan Aset dalam Kepailitan” (Online), 27 Maret 2007,


(https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16408/rendah-pemulihan-aset-dalam-
kepailitan/, diakses 17 Februari 2020).

20

Anda mungkin juga menyukai