Anda di halaman 1dari 276

MODUL 5

KONSEP DAN NORMA DASAR


TENTANG TATANAN UTAMA DALAM
KONTRAK

DOSEN

DR SAHARUDDIN DAMING, SH.MH

BAB I
ACTIO PAULIANA
`Secara etimologi "actio pauliana" berasal dari bahasa Latin, di mana
"actio" berarti "tindakan" atau "gugatan," dan "pauliana" merujuk pada nama
seorang ahli hukum Romawi kuno yang terkenal, yaitu "Paulus" atau "Paul."

Dalam konteks Actio Pauliana atau Paulian action, "Paulus" mengacu pada
tokoh sejarah hukum Romawi yang bernama Sextus Aelius Paulus. Paulus
adalah seorang ahli hukum Romawi yang hidup pada abad ke-2 Masehi. Dia
dikenal karena kontribusinya dalam mengembangkan konsep Actio Pauliana,
yang juga dikenal sebagai Paulian action dalam bahasa Inggris.

Ketentuan Actio Pauliana merupakan pengecualian penting terhadap prinsip


dasar dalam hukum perjanjian yang mengikat hanya pihak-pihak yang
terlibat dalam perjanjian. Dalam konteks hukum kepailitan, Actio Pauliana
memungkinkan pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh tindakan debitur
yang merugikan kreditur untuk mengajukan gugatan pembatalan terhadap
perjanjian yang merugikan tersebut. Actio Pauliana secara spesifik diatur
dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.

Prinsip ini memberi peringatan kepada debitur bahwa tindakan curang,


seperti pemindahan harta atau aset untuk menghindari tanggung jawab
keuangan mereka, dapat berujung pada tuntutan hukum. Nama "Actio
Pauliana" berasal dari sejarah Romawi, dinamakan setelah ahli hukum
Romawi, Paulus, yang menciptakan konsep ini.

Actio Pauliana memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi hak
kreditur dalam kasus kepailitan, serta dalam memastikan integritas dan
keadilan dalam proses hukum. Prinsip-prinsip Actio Pauliana
menggarisbawahi bahwa praktik-praktik manipulatif yang merugikan kreditur
sebelum atau selama kepailitan dapat dibatalkan oleh pengadilan, dengan
demikian memastikan bahwa harta dan aset yang seharusnya digunakan
untuk membayar utang-utang tetap tersedia. Prinsip ini adalah bagian
penting dalam hukum kepailitan yang memainkan peran penting dalam
melindungi hak dan kepentingan kreditur.
Actio Pauliana adalah suatu tindakan hukum yang digunakan dalam hukum
Romawi untuk melindungi kepentingan kreditur terhadap tindakan-tindakan
debitur yang bertujuan menghindari pembayaran kepada kreditur. Paulus
memainkan peran penting dalam pengembangan tindakan ini. Beberapa
konsep kunci yang terkait dengan Actio Pauliana adalah:

1. Intention Fraudatoria: Actio Pauliana didasarkan pada prinsip bahwa


jika seorang debitur melakukan tindakan dengan maksud mengeksploitasi
krediturnya atau mengurangi kemampuan debitur untuk membayar
hutangnya, maka tindakan tersebut dapat dianulir.
2. Bona Fides: Prinsip bona fides (kejujuran) juga terkait dengan Actio
Pauliana. Jika tindakan yang dilakukan oleh debitur atau pihak ketiga yang
menerima harta debitur tersebut tidak dilakukan dengan itikad baik atau
jujur, maka Actio Pauliana dapat digunakan untuk membatalkan tindakan
tersebut.
3. Penggantian dan Pengembalian Harta: Actio Pauliana dapat
mengakibatkan penggantian atau pengembalian harta kepada kreditur,
sehingga kreditur dapat menggunakan harta tersebut untuk membayar
hutang yang seharusnya dibayar oleh debitur.
4. Proteksi Kepentingan Kreditur: Prinsip utama dibalik Actio Pauliana
adalah melindungi kepentingan kreditur dalam situasi di mana debitur
mencoba menghindari pembayaran utangnya atau melarikan harta yang
seharusnya digunakan untuk melunasi hutang.

Dalam sejarah hukum Romawi, konsep-konsep yang diajukan oleh Paulus


dalam Actio Pauliana telah menjadi bagian integral dari sistem hukum
Romawi dan kemudian mempengaruhi perkembangan hukum di berbagai
sistem hukum sipil di seluruh dunia. Prinsip-prinsip Actio Pauliana sering
digunakan dalam berbagai hukum sipil modern untuk melindungi hak-hak
kreditur terhadap tindakan-tindakan yang bertujuan merugikan mereka.

Actio Pauliana, dalam kerangka Undang-Undang Kepailitan,


adalah instrumen hukum yang bertujuan untuk melindungi kepentingan
kreditur dengan mencegah praktik kecurangan yang dapat dilakukan
oleh debitur. Tujuan utama dari Actio Pauliana adalah untuk memastikan
bahwa dalam situasi kebangkrutan, harta yang seharusnya digunakan
untuk melunasi utang-utang kepada kreditur tidak disalahgunakan atau
disalurkan secara curang oleh debitur. Praktik-praktik kecurangan yang
mungkin terjadi dalam konteks ini dapat mencakup:

1. Penciptaan Utang Semu: Debitur yang tidak bermaksud baik


dapat mencoba untuk membuat utang-utang yang tidak sah
atau fiktif dengan pihak ketiga, dengan tujuan untuk
mengurangi jumlah aset yang dapat digunakan untuk
membayar kreditur
2. Penyembunyian Kekayaan: Seorang debitur yang tidak jujur
mungkin berusaha untuk menyembunyikan kekayaannya
sebelum atau selama proses kepailitan. Hal ini dilakukan untuk
mengelabui kreditur dan pengadilan, dengan harapan bahwa
mereka tidak akan dapat mengakses harta tersebut untuk
memenuhi klaim kreditur
3. Pemindahan Aset: Sebelum pengajuan pailit, debitur mungkin
mencoba untuk mengalihkan aset atau modal mereka kepada
pihak ketiga atau entitas yang baru dibentuk. Tujuannya adalah
mengurangi harta yang dapat diakses oleh pengadilan pailit
untuk pembayaran utang.

Penerapan Actio Pauliana memungkinkan pengadilan untuk


membatalkan tindakan-tindakan semacam itu dan mengembalikan aset atau
kekayaan kepada masa kepailitan. Dengan demikian, hal ini tidak hanya
bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur, tetapi juga memastikan
bahwa keadilan dan kejujuran dipertahankan dalam proses kepailitan.

Actio Pauliana, yang tercakup dalam Pasal 1341 KUHPerdata (Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata), adalah sarana hukum yang diberikan oleh
undang-undang kepada para kreditur untuk melindungi kepentingan mereka
dengan cara membatalkan tindakan debitur yang dapat merugikan kreditur.
Tujuan utama dari Actio Pauliana adalah untuk mencegah kerugian yang
mungkin dialami oleh para kreditur, dengan memberi mereka hak untuk
mengajukan permohonan kepada pengadilan agar tindakan hukum debitur
yang dianggap merugikan kreditur dapat dibatalkan.
Terdapat persyaratan tambahan yang harus dipenuhi agar gugatan Actio
Pauliana dapat diterima. Gugatan Actio Pauliana hanya dapat diajukan jika:

1. Debitur sudah dinyatakan pailit dengan putusan hakim. Ini


menunjukkan bahwa perbuatan hukum yang merugikan kreditur
harus terkait dengan situasi kepailitan.
2. Perbuatan tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun
sebelum putusan pailit diucapkan. Persyaratan waktu ini
menunjukkan bahwa perbuatan hukum yang merugikan harus
terjadi dalam periode yang relatif dekat sebelum pailit
diumumkan.
3. Perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitur berdasarkan
perjanjian maupun undang-undang. Ini mengisyaratkan bahwa
perbuatan tersebut harus bersifat sukarela atau tidak terikat
oleh kewajiban yang diatur oleh perjanjian atau undang-undang

Ketentuan ini memastikan bahwa gugatan Actio Pauliana digunakan


sebagai alat untuk melindungi hak kreditur dalam konteks kepailitan, sambil
menjaga keseimbangan antara hak debitur untuk mengelola asetnya dan
kepentingan kreditur dalam menerima pembayaran yang adil.

Actio Pauliana memainkan peran penting dalam menjaga integritas dan


keadilan dalam hubungan antara kreditur dan debitur. Hal ini terkait dengan
prinsip keadilan dan kejujuran dalam hubungan hukum. Actio Pauliana
memungkinkan pengadilan untuk memeriksa tindakan yang dilakukan oleh
debitur yang mungkin bersifat manipulatif atau merugikan para kreditur.
Untuk melaksanakan Actio Pauliana, kreditur perlu membuktikan bahwa saat
debitur melakukan tindakan yang merugikan, baik debitur maupun pihak
yang terlibat mengetahui konsekuensi merugikan yang akan terjadi bagi
kreditur.

Actio Pauliana adalah hak yang diberikan kepada para kreditur dalam
undang-undang kepailitan yang memungkinkan mereka untuk meminta
pengadilan membatalkan perbuatan debitur yang merugikan kreditur. Konsep
ini merujuk kepada upaya untuk mencegah praktik-praktik curang yang
dilakukan oleh debitur sebelum atau selama proses kepailitan. Dalam hal ini,
para kreditur dapat meminta pengadilan agar tindakan debitur yang
merugikan mereka, seperti pemindahan harta atau tindakan yang tidak wajar
lainnya, dapat dibatalkan.

Sita jaminan, juga merupakan alat yang dapat digunakan oleh para
kreditur untuk melindungi kepentingan mereka. Ini melibatkan pengajuan
permohonan kepada pengadilan untuk menyita atau membekukan harta
debitur sebelum putusan kepailitan dijatuhkan. Hal ini bertujuan untuk
mencegah debitur mengalihkan harta mereka secara curang sebelum harta
tersebut dapat digunakan untuk membayar utang kepada para kreditur.

Konsep Actio Pauliana dan sita jaminan adalah alat yang kuat dalam
hukum kepailitan yang dirancang untuk menjaga integritas proses kepailitan
dan memastikan bahwa kepentingan kreditur dilindungi dengan baik. Prinsip-
prinsip ini memastikan bahwa debitur yang tidak jujur tidak dapat
menghindari kewajiban finansial mereka dengan tindakan curang.

Actio Pauliana, yang berasal dari warisan hukum Romawi, telah


diterapkan dalam konteks hukum kepailitan di Indonesia melalui Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Pasal 41 ayat (1) dalam undang-undang ini memberikan
landasan hukum bagi penggunaan Actio Pauliana dalam kasus kepailitan.
Pasal tersebut mengizinkan para pihak yang terkena dampak, terutama para
kreditur, untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan agar perbuatan
hukum debitur yang telah merugikan kepentingan mereka dapat dibatalkan.

Konsep ini sangat penting dalam konteks kepailitan, di mana tujuan


utama adalah menjaga integritas dan keadilan dalam pengelolaan aset
debitur yang akan digunakan untuk membayar utang-utang. Actio Pauliana
memungkinkan pengadilan untuk mempertimbangkan perbuatan debitur
yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan dan yang
berdampak merugikan para kreditur. Ini memberi jaminan bahwa kreditur
tidak akan dirugikan oleh perbuatan curang atau pemindahan aset oleh
debitur.

Adopsi Actio Pauliana dalam undang-undang kepailitan Indonesia


adalah contoh bagaimana prinsip-prinsip hukum Romawi yang telah berusia
berabad-abad dapat tetap relevan dalam hukum modern. Ini memastikan
bahwa hukum kepailitan Indonesia mempunyai landasan yang kuat dalam
melindungi hak dan kepentingan kreditur dalam situasi kebangkrutan.

Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004


tentang Kepailitan adalah ketentuan hukum yang mengatur syarat dan
batasan untuk melakukan pembatalan perbuatan hukum yang merugikan
kreditur sebelum putusan pailit diucapkan dalam konteks kepailitan di
Indonesia.

Pasal 41 ayat (2) menyebutkan bahwa pembatalan perbuatan hukum


yang merugikan kreditur hanya dapat dilakukan jika dapat dibuktikan bahwa
pada saat perbuatan hukum dilakukan, baik oleh debitur maupun pihak yang
terlibat dalam perbuatan tersebut, mereka mengetahui atau sepatutnya
seharusnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan kreditur.
Artinya, untuk membatalkan perbuatan yang merugikan kreditur, penting
untuk membuktikan bahwa ada pengetahuan atau pemahaman yang cukup
bahwa tindakan tersebut akan berdampak buruk pada kreditur.

Selanjutnya, Pasal 42 mengatur bahwa jika perbuatan hukum yang


merugikan kreditur terjadi dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan
pailit diucapkan, dan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan oleh debitur
(kecuali dapat dibuktikan sebaliknya), maka debitur dan pihak terkait dianggap
mengetahui atau sepatutnya seharusnya mengetahui bahwa perbuatan
tersebut akan merugikan kreditur. Dengan kata lain, jika perbuatan yang
merugikan kreditur terjadi dalam satu tahun terakhir sebelum pailit diucapkan
dan tidak wajib dilakukan oleh debitur, maka asumsi adalah bahwa mereka
mengetahui atau setidaknya seharusnya mengetahui konsekuensi merugikan
yang mungkin terjadi bagi kreditur.

Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur dalam


situasi kepailitan dengan menempatkan batasan dan syarat yang jelas
mengenai pembatalan perbuatan hukum yang merugikan. Ini adalah langkah
penting dalam menjaga keadilan dan integritas dalam proses kepailitan.

Pengecualian yang diatur dalam Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang


Nomor 37 Tahun 2004 dalam konteks Actio Pauliana adalah ketentuan yang
memberikan debitur pailit hak untuk mengambil tindakan hukum yang tidak
akan dibatalkan, asalkan tindakan tersebut diambil untuk kepentingan
perusahaan atau entitas bisnis yang sedang mengalami kesulitan keuangan.
Dalam hal ini, yang diutamakan adalah menyehatkan perusahaan dan menjaga
kelangsungan usahanya.

Konsep ini penting untuk memahami bahwa Actio Pauliana tidak


dimaksudkan untuk menghukum debitur yang sedang berupaya untuk
memperbaiki situasi keuangan perusahaannya dengan tindakan yang
seharusnya sah dan sah. Jadi, untuk berhasil mengajukan gugatan Actio
Pauliana, yang perlu dibuktikan adalah bahwa saat perbuatan hukum
dilakukan, baik debitur maupun pihak yang terlibat mengetahui atau
sepatutnya seharusnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan
merugikan kreditur.

Jadi, fokus utama dalam gugatan Actio Pauliana adalah membuktikan


pengetahuan atau pemahaman yang memadai tentang dampak merugikan
perbuatan yang dilakukan. Jika tindakan tersebut diambil untuk menyehatkan
perusahaan dan tidak merugikan kreditur dengan cara yang curang, tindakan
tersebut biasanya akan mendapat pengecualian dari pembatalan.

Pengaturan mengenai pembuktian dalam sistem hukum memiliki peran


yang sangat penting. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa hakim
memiliki dasar yang kuat untuk membuat keputusan yang adil dan
berdasarkan fakta yang sesungguhnya. Proses pembuktian di dalam sistem
hukum membantu mencari kebenaran dari peristiwa atau klaim yang
diperdebatkan dalam persidangan.

Beban pembuktian adalah prinsip yang menentukan siapa yang


bertanggung jawab untuk membuktikan fakta-fakta yang menjadi perdebatan
dalam kasus hukum. Prinsip "actori incumbit probatio" mengandung arti bahwa
pihak yang mengemukakan suatu peristiwa atau hak lah yang bertanggung
jawab untuk membuktikannya. Jika peristiwa atau hak tersebut dibantah oleh
pihak lain, maka pihak yang melakukan pembantahan juga harus memberikan
bukti untuk mendukung bantahannya. Ini adalah prinsip yang adil, karena
pihak yang mengajukan klaim atau peristiwa memiliki akses terbaik ke bukti
dan informasi yang diperlukan.

Selanjutnya, dalam konteks hukum, hakim dianggap memiliki


pengetahuan tentang hukum (asas "ius curia novit"), sehingga yang harus
dibuktikan melalui persidangan adalah peristiwa atau fakta yang menjadi dasar
untuk diterapkan hukum. Hakim mengandalkan pihak-pihak yang terlibat
dalam persidangan untuk memberikan bukti dan informasi yang diperlukan
agar keputusan yang diambil dapat sesuai dengan fakta yang terjadi.

Proses pembuktian dan prinsip-prinsip yang Anda sebutkan adalah inti


dari keadilan proses di dalam sistem hukum. Mereka memastikan bahwa
putusan hakim didasarkan pada bukti yang kuat dan adanya kesempatan yang
setara bagi semua pihak yang terlibat untuk mengajukan dan membuktikan
klaim mereka.

Dihubungkan dengan gugatan actio pauliana dalam Pasal 1341


KUHPerdata jo. Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004,
maka yang harus dibuktikan adalah peristiwa perbuatan hukum yang dilakukan
oleh debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan,
mengetahui atau sepatutnya mengetahui akan mengakibatkan kerugian bagi
kreditur. Selain dapat dibuktikan perbuatan hukum yang merugikan kreditur,
gugatan actio pauliana hanya dapat diajukan apabila:

1. Debitur sudah dinyatakan pailit dengan putusan hakim;


2. Perbuatan tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum
putusan pailit diucapkan;
3. Perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitur berdasarkan
perjanjian maupun undang-undang.1

Actio Pauliana adalah sebuah alat hukum yang memungkinkan


pembatalan perjanjian atau tindakan yang merugikan kepentingan kreditur,
terutama dalam konteks kepailitan. Dalam hal ini, penting untuk mencatat
bahwa pembatalan perjanjian atau tindakan tersebut hanya dapat
dilaksanakan berdasarkan putusan hakim pengadilan. Dengan kata lain,
kekuasaan untuk membatalkan perbuatan yang merugikan berada di tangan
pengadilan.

Setiap pembatalan perjanjian, tanpa memandang alasannya, harus


melalui proses pengadilan. Dengan dikeluarkannya putusan yang mengakui
pembatalan, seluruh orang dan kebendaannya dikembalikan ke keadaan

1 Butarbutar, E. N. (2019). Pembuktian Terhadap Perbuatan Debitur yang Merugikan Kreditur


dalam Tuntutan Actio Pauliana. Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2, 2015-234.
seperti semula sebelum perjanjian atau tindakan tersebut dilakukan. Dalam
konteks kepailitan, Actio Pauliana adalah alat penting yang dapat digunakan
oleh kreditur untuk membatalkan perbuatan hukum debitur yang merugikan
sebelum pailit diumumkan. Ini membantu menjaga integritas proses kepailitan
dan memastikan bahwa harta dan aset yang seharusnya digunakan untuk
membayar utang tetap tersedia untuk kreditur.

Pengaturan mengenai Actio Pauliana dalam Undang-Undang Kepailitan


dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU) diatur dalam
Pasal 41 hingga Pasal 50. Ini memberikan kerangka kerja hukum yang jelas
untuk pengajuan dan penanganan gugatan Actio Pauliana dalam konteks
kepailitan.

Upaya perlindungan kepentingan kreditor dalam Undang-Undang


Kepailitan (UUK) dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
memegang peranan krusial dalam mencegah praktik-praktik curang yang
dapat merugikan kreditur oleh pihak debitur. Kecurangan tersebut bisa
mencakup tindakan seperti pengumpulan utang yang tidak wajar atau
pemindahan aset yang dimaksudkan untuk menghindari pembayaran utang-
utang yang seharusnya dibayarkan kepada kreditur. Actio Pauliana adalah alat
yang kuat dalam sistem hukum kepailitan yang memungkinkan kreditur untuk
mengajukan gugatan untuk membatalkan perbuatan hukum debitur yang
merugikan mereka. Penelitian skripsi berjudul "Gugatan Actio Pauliana untuk
Menyelamatkan Harta Pailit dalam Kepailitan" akan menjadi kontribusi yang
berharga dalam memahami kerja Actio Pauliana dalam konteks kepailitan.
Dengan mengeksplorasi prinsip-prinsip hukum yang mengatur Actio Pauliana
dan melalui analisis kasus serta studi literatur, skripsi ini akan membahas
secara mendalam bagaimana alat ini digunakan untuk melindungi hak kreditur
dan mencegah penyalahgunaan dalam kepailitan.

Penerapan Actio Pauliana dalam putusan Pengadilan Niaga di Indonesia


memainkan peran yang penting dalam perlindungan kepentingan kreditur
dalam kasus kepailitan. Actio Pauliana memberikan kreditur hak untuk
mengajukan gugatan pembatalan terhadap segala perbuatan yang dilakukan
oleh debitur sebelum pailit diumumkan, terutama jika perbuatan tersebut tidak
diwajibkan dan debitur mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan
kreditur.

Pengadilan Niaga berperan dalam memutuskan gugatan Actio Pauliana.


Dalam proses pengadilan, hakim mempertimbangkan apakah perbuatan yang
dilakukan oleh debitur benar-benar merugikan kreditur dan apakah debitur
mengetahui atau seharusnya mengetahui dampak merugikan tersebut. Jika
hakim menemukan bahwa perbuatan tersebut tidak adil dan merugikan
kreditur, maka pengadilan dapat memutuskan untuk membatalkan perbuatan
tersebut.

Meskipun Actio Pauliana adalah alat yang kuat dalam melindungi


kepentingan kreditur, ada beberapa kendala yang mungkin dihadapi dalam
penerapannya. Salah satu kendala adalah membuktikan pengetahuan atau
pemahaman debitur tentang dampak merugikan perbuatan yang dilakukan. Ini
bisa menjadi tantangan dalam beberapa kasus.

Pengadilan Niaga perlu memastikan bahwa keputusan yang diambil


melalui Actio Pauliana sejalan dengan hukum dan prinsip-prinsip keadilan.
Dalam kasus-kasus yang melibatkan Actio Pauliana, pengadilan berfungsi
sebagai arbiter untuk memastikan bahwa kreditur dilindungi dan perbuatan
yang merugikan mereka dibatalkan jika diperlukan.

A. Actio Pauliana dalam Suatu Kajian Perbandingan


Actio Pauliana adalah tindakan hukum yang memungkinkan kreditur
untuk mengajukan gugatan pembatalan terhadap perbuatan yang dilakukan
oleh debitur sebelum debitur dinyatakan pailit. Persyaratan penting untuk Actio
Pauliana adalah bahwa perbuatan tersebut tidak diwajibkan dan debitur
mengetahui bahwa perbuatan tersebut merugikan kepentingan kreditur. Ini
memberi kreditur hak untuk mengajukan permohonan pembatalan kepada
pengadilan terhadap perbuatan hukum yang dapat merugikan mereka.

Perbuatan yang dapat dibatalkan melalui Actio Pauliana adalah


perbuatan yang dapat mengurangi harta pailit, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi jumlah yang tersedia untuk pembayaran kreditur. Kreditur
mengajukan gugatan Actio Pauliana dalam upaya untuk meningkatkan harta
pailit, sehingga mereka dapat menerima pembayaran yang optimal sesuai
dengan jumlah piutang yang mereka miliki.
Dengan mengajukan gugatan Actio Pauliana, kreditur berusaha untuk
melindungi hak-hak mereka dan memastikan bahwa debitur tidak dapat
dengan tidak adil menghindari kewajiban pembayaran utang mereka dengan
tindakan-tindakan yang merugikan. Ini adalah bagian penting dalam sistem
hukum kepailitan yang bertujuan untuk menjaga keadilan proses dan
memastikan bahwa kreditur menerima bagian yang adil dari harta pailit.

Actio Pauliana adalah doktrin hukum yang bertujuan untuk melindungi


kepentingan kreditur dalam konteks transaksi hukum. Persyaratan-persyaratan
Actio Pauliana bersifat kumulatif, yang berarti semua elemen harus terpenuhi
agar gugatan berdasarkan doktrin ini berhasil.

1. Debitur Telah Melakukan Suatu Perbuatan Hukum:

Untuk memicu Actio Pauliana, debitur harus melakukan tindakan atau


transaksi tertentu yang bisa merugikan kreditur. Ini bisa berupa
penjualan harta, pengalihan hak, atau tindakan hukum lainnya.

2. Perbuatan Hukum Tidak Wajib Dilakukan oleh Debitur:

Penting untuk memahami bahwa perbuatan hukum yang dilakukan


oleh debitur tidak boleh diwajibkan oleh undang-undang atau
perjanjian yang ada. Ini berarti bahwa tindakan tersebut adalah
keputusan debitur yang bersifat sukarela.

3. Perbuatan Hukum Merugikan Kepentingan Kreditor:

Tindakan debitur harus merugikan kepentingan kreditur. Ini bisa berarti


pengurangan aset yang mungkin digunakan untuk membayar utang
kepada kreditur.

4. Debitur Mengetahui atau Sepatutnya Mengetahui Bahwa Tindakannya


Merugikan Kepentingan Kreditor:

Debitur harus memiliki pengetahuan atau setidaknya sepatutnya


mengetahui bahwa perbuatan hukum yang dilakukan akan merugikan
kreditur. Ini mencerminkan unsur kesengajaan atau ketidakpedulian
debitur terhadap hak-hak kreditur.

5. Pihak Lain yang Terlibat Mengetahui atau Sepatutnya Mengetahui


Bahwa Tindakan Tersebut Merugikan Kreditor:
Tidak hanya debitur yang harus mengetahui atau sepatutnya
mengetahui akibat merugikan kreditur, tetapi juga pihak lain yang
terlibat dalam transaksi. Mereka juga harus memiliki pengetahuan atau
pengetahuan yang sepatutnya bahwa tindakan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditur.

Pengaturan Actio Pauliana di Indonesia dapat dibandingkan dengan


ketentuan fraudulent transfer law di Amerika Serikat dan clawback di Italia.
Sejarah fraudulent transfer law modern di Amerika Serikat memiliki akar yang
dapat ditelusuri kembali hingga Undang-Undang Elizabethan atau England's
Statute of 13 Elizabeth yang disahkan pada tahun 1571. Ketentuan ini
bertujuan untuk mencegah praktik-praktik penyalahgunaan yang melibatkan
pemindahan harta atau aset oleh debitur dengan niat jahat untuk menghindari
pembayaran utang kepada kreditur. Dalam konteks hukum kepailitan,
fraudulent transfer law memberikan kreditur hak untuk mengajukan tuntutan
terhadap perbuatan yang dianggap menipu jika pemindahan aset tersebut
dilakukan dalam waktu yang dekat sebelum pailit diumumkan. Hal ini serupa
dengan prinsip Actio Pauliana di Indonesia, yang memungkinkan kreditur
untuk mengajukan pembatalan terhadap perbuatan hukum debitur yang
merugikan mereka.

Di Italia, terdapat ketentuan yang dikenal sebagai "clawback" atau


"azione revocatoria," yang mirip dalam konsep dengan Actio Pauliana.
Clawback adalah upaya untuk mengembalikan aset yang telah dialihkan oleh
debitur sebelum pailit untuk memastikan bahwa aset tersebut dapat digunakan
untuk membayar kreditur. Ini juga bertujuan untuk menghindari
penyalahgunaan perpindahan aset dengan maksud menghindari tanggung
jawab keuangan.

Sejarah perkembangan fraudulent transfer law di Amerika Serikat


adalah refleksi dari perhatian terhadap perlindungan kepentingan kreditur dan
integritas proses hukum kepailitan. Pengaturan ini berasal dari England's
Statute of 13 Elizabeth pada tahun 1571, yang pada dasarnya mengatur
larangan terhadap transfer harta oleh debitor dengan niat jahat untuk
"menghalangi, menunda, atau menipu" kreditornya. Dengan perkembangan
waktu, konsep ini berkembang menjadi peraturan-peraturan modern seperti
Uniform Fraudulent Conveyance Act (UFCA), the Bankruptcy Act of 1975, dan
the Uniform Fraudulent Transfer Act (UFTA).

Maksud utama dari fraudulent transfer law adalah mencegah debitor


melakukan tindakan manipulatif, seperti pemindahan harta, yang dapat
mengurangi atau menghabiskan harta kekayaan debitur sebelum pailit
diumumkan. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa kreditur tidak
dirugikan oleh tindakan-tindakan semacam ini dan agar harta yang dapat
digunakan untuk membayar utang tetap tersedia. Selain itu, hukum ini juga
bertujuan untuk menghindari praktik debitur yang mencoba menutupi atau
menjual aset mereka dengan maksud menipu para kreditur.

Pengaturan fraudulent transfer law adalah instrumen penting dalam


menjaga integritas proses hukum kepailitan dan memberikan perlindungan
kepada para kreditur agar mereka dapat menerima pembayaran yang adil
sesuai dengan hak-hak mereka.

Perkembangan dalam United States Bankruptcy Code (Kode Kepailitan


Amerika Serikat) memperluas cakupan fraudulent transfer hingga mencakup
constructive fraudulent transfers (transaksi yang secara konstruktif merugikan
kreditur). Constructive fraud terjadi ketika debitur menjual harta kekayaannya
dengan harga yang jauh lebih rendah dari nilai sebenarnya, dan transaksi ini
menyebabkan debitor menjadi pailit atau jika debitur telah dalam kondisi pailit
ketika penjualan aset yang tidak masuk akal itu dilakukan.

Dalam kasus constructive fraud, tidak ada niat jahat yang harus
dibuktikan. Yang penting adalah akibat merugikan yang timbul dari tindakan
tersebut, terlepas dari niat subjektif debitor. Misalnya, jika debitor menjual
asetnya dengan harga yang sangat rendah sehingga aset tersebut seharusnya
dapat digunakan untuk membayar utang-utangnya, maka tindakan tersebut
dapat dianggap sebagai constructive fraud. Begitu juga, bisnis yang
undercapitalized (modal usaha yang tidak mencukupi) juga termasuk dalam
kategori ini, karena kurangnya modal usaha dapat mengakibatkan
ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban keuangan, yang pada gilirannya
dapat merugikan kreditur.

Dengan memasukkan constructive fraud ke dalam regulasi kepailitan,


hukum berusaha untuk melindungi kepentingan kreditur dan menjaga
integritas proses kepailitan dengan mengakui bahwa tindakan yang merugikan
dapat terjadi baik dengan niat jahat maupun akibat kesalahan atau
ketidakwajaran yang dapat merugikan para kreditur.

Fraudulent transfer atau transfer curang adalah bagian dari kategori


"actual fraud" dalam hukum perdata. Hal ini terjadi ketika seorang debitur
dengan sengaja melakukan tindakan untuk menghindari atau menunda
pembayaran hutangnya kepada kreditur. Praktik ini dapat membahayakan
kepentingan kreditur, dan oleh karena itu, hukum memberikan perlindungan
kepada kreditur dalam kasus-kasus semacam ini.

Pada dasarnya, fraudulent transfer melibatkan upaya debitur untuk


mengalihkan aset atau haknya kepada pihak lain dengan maksud untuk
menghindari tanggung jawab utangnya. Ini dapat mencakup penjualan aset
dengan harga yang tidak wajar, pengalihan hak kepemilikan, atau
pembentukan entitas hukum baru dengan tujuan untuk menghindari
pembayaran utang.

Ketika debitur melakukan perbuatan ini, hukum memberikan hak


kepada kreditur untuk membatalkan atau menggugat transaksi tersebut,
sehingga aset tersebut tetap tersedia untuk membayar utang kepada kreditur.
Hal ini dilakukan untuk mencegah praktik yang tidak jujur dan melindungi
kepentingan kreditur.

Di Amerika Serikat, terdapat ketidakjelasan seputar apakah kreditur


yang menerima jasa dari debitur tanpa adanya transfer harta kekayaan yang
merugikan harus mengembalikan nilai jasa tersebut. Ketidakjelasan ini timbul
karena regulasi fraudulent transfer law (hukum transfer yang menipu)
umumnya terfokus pada transfer harta kekayaan dan tidak secara eksplisit
mengatasi transfer jasa. Sejauh ini, hukum lebih menekankan pada transfer
aset dalam pemahaman tradisional.

Namun, dalam prakteknya, Pengadilan Kepailitan (Bankruptcy Court) di


Amerika Serikat telah cenderung mengkategorikan jasa sebagai bentuk harta
kekayaan atau aset dalam konteks fraudulent transfer law. Dalam kasus
dimana debitur memberikan jasa kepada pihak ketiga tanpa kompensasi yang
wajar, dan tindakan ini dapat dianggap sebagai tindakan yang merugikan
kreditur, Pengadilan dapat memutuskan bahwa kreditur memiliki hak untuk
menagih nilai jasa tersebut dari pihak ketiga yang menerima jasa tersebut.

Penentuan apakah jasa dapat dianggap sebagai harta kekayaan dalam


konteks fraudulent transfer law dapat diuji oleh Pengadilan dengan
mempertimbangkan salah satu tujuan utama Undang-Undang Kepailitan, yaitu
memaksimalkan aset debitur untuk keuntungan kreditur. Dengan kata lain,
apakah tindakan debitur memberikan jasa tanpa kompensasi yang wajar dapat
dianggap sebagai pengurangan atau perampasan harta kekayaan yang pada
akhirnya merugikan kreditur.

Dengan pendekatan ini, Pengadilan berusaha untuk menjaga integritas


proses hukum kepailitan dan memastikan bahwa praktik-praktik yang
merugikan kreditur, termasuk tindakan merugikan yang melibatkan transfer
jasa, mendapatkan perhatian yang layak dalam rangka melindungi hak-hak
kreditur.

Pertanyaan apakah jasa yang diberikan oleh debitur kepada pihak


ketiga dapat dianggap sebagai transfer harta kekayaan debitur merupakan isu
yang kompleks dalam hukum kepailitan. Menurut definisi tradisional, istilah
"jasa" biasanya tidak dianggap sebagai bentuk harta kekayaan karena jasa
tidak memiliki sifat yang sama dengan aset fisik atau harta lainnya.

Pandangan ini sejalan dengan teori "underlying chattel" yang


berpendapat bahwa jasa bukan termasuk harta kekayaan, kecuali jika jasa
tersebut mengakibatkan terciptanya sesuatu yang dapat dianggap sebagai
properti yang dapat dialihkan atau transferable property. Artinya, jika jasa
yang diberikan oleh debitur menghasilkan sesuatu yang dapat dianggap
sebagai aset atau harta yang dapat diperdagangkan, maka hal itu mungkin
bisa dianggap sebagai transfer harta kekayaan.

Namun, dalam praktiknya, Pengadilan Kepailitan di Amerika Serikat


telah cenderung mempertimbangkan apakah tindakan debitur memberikan
jasa tanpa kompensasi yang wajar merugikan kreditur sebagai potensi transfer
yang menipu, terlepas dari apakah jasa tersebut merupakan "transferable
property" dalam arti tradisional. Hal ini terkadang dapat memicu perdebatan
hukum yang kompleks mengenai pengakuan jasa sebagai bentuk transfer
harta kekayaan.
Dengan demikian, pernyataan ini mencerminkan kompleksitas hukum
kepailitan dan pentingnya peran Pengadilan dalam menentukan apakah
tindakan debitur yang melibatkan jasa harus dianggap sebagai transfer harta
kekayaan yang merugikan kreditur.

Pernyataan ini mengacu pada konsep dasar dalam hukum kepailitan


yang berkaitan dengan transfer harta kekayaan debitur. Pada dasarnya,
hukum kepailitan dirancang untuk melindungi kepentingan kreditur dan
memastikan bahwa aset debitur tersedia untuk membayar hutang mereka.
Dalam konteks ini, kita dapat menguraikan pernyataan tersebut dengan
bahasa yang lebih ilmiah.

Transfer jasa yang mengurangi atau merugikan harta kekayaan debitor


dapat dilihat sebagai tindakan yang mengakibatkan peralihan harta kekayaan
debitor kepada penerima yang mungkin mengakibatkan keuntungan bagi
penerima tersebut. Dalam situasi seperti ini, transfer tersebut dapat dianggap
sebagai "transfer harta kekayaan" dalam konteks hukum kepailitan. Hal ini
terjadi ketika debitur, dengan sengaja atau tidak, mengalihkan aset atau
haknya kepada penerima dengan tujuan untuk menghindari atau mengurangi
kewajiban pembayaran utang kepada kreditur.

Namun, jika transfer jasa yang dilakukan tidak mengurangi atau


merugikan harta kekayaan debitor, dan justru menguntungkan debitur atau
tidak mempengaruhi posisi finansial debitur, maka dalam konteks hukum
kepailitan, ini tidak akan dianggap sebagai transfer harta kekayaan. Dalam hal
ini, pihak kreditur tidak akan menganggapnya sebagai tindakan yang
merugikan kepentingan mereka karena tidak ada aset yang seharusnya
tersedia untuk membayar utang yang terpengaruh.

Pada awalnya, ketika hukum fraudulent transfer diperkenalkan, fokus


utamanya adalah pada transfer harta kekayaan oleh debitor kepada pihak
ketiga dengan maksud menipu krediturnya. Ini adalah tindakan yang
merugikan kreditur karena dapat mengurangi harta debitor yang seharusnya
digunakan untuk membayar utang. Oleh karena itu, hukum fraudulent transfer
mengatur pembatalan transfer harta kekayaan yang terjadi sebelum pailit
diumumkan.
Namun, dalam perkembangannya, praktik penipuan dan manipulasi
dalam konteks kepailitan menjadi semakin kompleks. Terkadang, debitur yang
dalam keadaan berhenti membayar hutangnya tidak lagi melakukan transfer
harta kekayaan secara langsung, melainkan melibatkan transfer jasa yang
tidak secara langsung mengurangi atau merugikan harta kekayaannya. Dalam
situasi seperti ini, batasan fraudulent transfer law menjadi kurang jelas.

Kasus transfer jasa yang tidak mengurangi atau merugikan harta


kekayaan debitur menunjukkan evolusi taktik penipuan dalam hukum
kepailitan. Para debitur mencoba menghindari deteksi oleh hukum dengan
melakukan transfer yang mungkin tidak secara langsung terkait dengan harta
kekayaan, tetapi masih memiliki dampak merugikan terhadap kreditur.

Karena kompleksitas situasi semacam ini, pengadilan sering harus


mempertimbangkan apakah tindakan tersebut dapat dianggap sebagai transfer
yang menipu, terlepas dari apakah itu adalah transfer harta kekayaan secara
langsung. Ini menunjukkan perlunya fleksibilitas dalam hukum kepailitan untuk
dapat mengakomodasi taktik penipuan yang semakin canggih.

Di Italia, aturan mengenai actio pauliana yang juga dikenal sebagai


"claw back" diatur dalam hukum kepailitan Italia, khususnya dalam Undang-
Undang Kepailitan Italia yang awalnya diatur dalam Law Decree No. 35 pada
14 Maret 2005 dan diubah menjadi Law 80 pada 14 Mei 2005. Dalam konteks
ini, tindakan yang dapat dianggap sebagai "clawed back" adalah tindakan yang
dilakukan oleh debitor yang merugikan kepentingan kreditur.

Tindakan ini dapat mencakup transfer harta kekayaan, pengalihan aset,


atau perbuatan hukum lainnya yang dapat mengurangi harta debitor yang
seharusnya digunakan untuk membayar utangnya. Namun, perlu ditekankan
bahwa tindakan ini hanya akan dianggap sebagai "clawed back" jika pihak lain
yang menerima transfer atau terlibat dalam perbuatan hukum tersebut tidak
dapat membuktikan bahwa mereka tidak mengetahui bahwa debitor dalam
keadaan berhenti membayar utang-utangnya. Dengan kata lain, jika pihak
ketiga yang terlibat dapat membuktikan bahwa mereka tidak mengetahui
adanya keadaan krisis finansial debitor atau bahwa tindakan tersebut tidak
merugikan kreditur, maka tindakan tersebut mungkin tidak dianggap sebagai
"clawed back."
Penting untuk mencatat bahwa tujuan dari "clawback" atau actio
pauliana di Italia, seperti di tempat lain, adalah untuk melindungi kepentingan
kreditur dalam situasi kepailitan dan mencegah penipuan atau pengalihan
harta yang merugikan kreditur.

Pada dasarnya, dalam konteks hukum kepailitan, transaksi atau


tindakan yang mengakibatkan kerugian bagi kreditur dapat menjadi subjek
peninjauan khusus. Dalam beberapa yurisdiksi, jika terbukti bahwa tindakan
tersebut mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi kepentingan kreditur,
maka tindakan tersebut dapat dibatalkan atau dianggap tidak sah. Tujuan dari
pembatalan tindakan semacam ini adalah untuk mencegah debitur yang
berusaha menghindari tanggung jawab utang mereka dengan cara yang tidak
adil atau merugikan kreditur.

Ada beberapa kriteria atau situasi yang memungkinkan tindakan


tersebut untuk menjadi subjek pembatalan atau pemberian prioritas
dalam konteks kepailitan:

1. Transaksi atau pembayaran terhadap kewajiban keuangan yang telah


jatuh tempo dan dapat ditagih, tetapi pembayarannya dilakukan dalam
jangka waktu satu tahun sebelum pernyataan pailit. Ini
mengindikasikan bahwa tindakan ini dapat dibatalkan jika debitur
melakukan pembayaran pada utang-utang yang seharusnya sudah
dibayarkan, tetapi melakukannya dalam jangka waktu yang dekat
sebelum pernyataan pailit. Tujuannya adalah untuk mencegah
pembayaran selektif yang merugikan kreditur.
2. Semua janji, biaya, atau hipotik yang dibuat dalam jangka waktu enam
bulan sebelum pernyataan pailit untuk utang-utang yang jatuh tempo
dan dapat ditagih. Ini mencerminkan upaya untuk menghindari
tindakan manipulatif yang merugikan kreditur dalam periode yang
mendekati pailit.
3. Jika likuidator atau penyelidik dapat membuktikan bahwa pihak lain
mengetahui tentang pernyataan pailit terhadap debitor, namun debitor
tetap melakukan tindakan yang relevan untuk pembayaran utang yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Ini menunjukkan bahwa jika ada
pengetahuan tentang situasi keuangan debitor yang sangat buruk,
tindakan yang menguntungkan pihak tertentu pada saat-saat terakhir
dapat dibatalkan untuk mencegah penyalahgunaan.

Pengaturan ini dalam hukum kepailitan bertujuan untuk memastikan


bahwa aset debitor digunakan secara adil dan setimpal untuk membayar
utang-utang yang ada, serta untuk mencegah praktik manipulatif yang
merugikan kreditur.

B. Dasar Pengajuan Gugatan Actio Pauliana


Actio Pauliana, yang juga dikenal sebagai "pauliana," adalah upaya
hukum yang bertujuan untuk membatalkan atau menggugat transaksi
yang dilakukan oleh seorang debitur dengan maksud merugikan pihak
kreditur. Upaya ini diberlakukan dalam batas waktu tertentu, yaitu satu
tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Dasar hukum untuk
actio pauliana dapat ditemukan dalam Pasal 1341 KUHPerdata (KUHPdt)
yang mengatur hak bagi kreditur untuk mengajukan pembatalan
terhadap segala perbuatan yang dilakukan oleh debitur yang merugikan
kreditur. Selain itu, Pasal 42 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia juga mengatur mekanisme actio
pauliana untuk perlindungan kepentingan kreditor dalam situasi
kepailitan.

Pembatalan berdasarkan actio pauliana, baik dalam konteks umum


maupun dalam proses kepailitan, mengikuti sejumlah syarat yang harus
dipenuhi. Secara umum, tiga syarat yang harus terpenuhi untuk
mengajukan pembatalan berdasarkan actio pauliana adalah sebagai
berikut:

1. Perbuatan Hukum yang Tidak Wajib Dilakukan oleh Debitur: Tuntutan


pembatalan actio pauliana dapat diajukan jika perbuatan hukum yang
dilakukan oleh debitur tidak diwajibkan atasnya. Ini berarti bahwa
debitur secara sukarela melakukan tindakan tertentu yang merugikan
kepentingan kreditur.
2. Perbuatan yang Mengakibatkan Kerugian pada Satu atau Lebih
Kreditur: Perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur harus
mengakibatkan kerugian pada setidaknya satu atau lebih kreditur.
Artinya, perbuatan tersebut harus merugikan pihak-pihak yang memiliki
klaim atau piutang terhadap debitur.
3. Pengetahuan Debitur dan Pihak Terkait: Debitur dan pihak dengan atau
untuk siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan harus mengetahui
atau seharusnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan
merugikan kreditur. Ini berarti bahwa ada unsur pengetahuan atau
kesadaran akan akibat merugikan kreditur dalam perbuatan hukum
tersebut.

Dalam proses kepailitan, ada variasi dari actio pauliana, termasuk


pembatalan perbuatan hukum yang tidak wajib dilakukan, pembatalan
hibah, dan pembatalan perbuatan hukum yang wajib dilakukan. Syarat-
syarat yang berlaku untuk pembatalan perbuatan hukum yang tidak
wajib dilakukan sebagian besar serupa dengan syarat-syarat pembatalan
actio pauliana pada umumnya. Namun, dalam beberapa kasus,
pembuktian terbalik mungkin diterapkan, dengan asumsi bahwa pihak-
pihak yang terlibat dalam perbuatan hukum tersebut mengetahui bahwa
tindakan mereka merugikan kreditur-kreditur dari debitur bersangkutan,
terutama jika perbuatan hukum itu dilakukan satu tahun sebelum debitur
dinyatakan pailit.

C. Penilaian Pembuktian Unsur


Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
mengandung istilah "mengetahui" atau "sepatutnya mengetahui" bahwa
perbuatan hukum tersebut akan merugikan kepentingan kreditur.
Namun, undang-undang tersebut tidak memberikan definisi eksplisit
tentang apa yang dimaksud dengan "merugikan kepentingan kreditur."
Oleh karena itu, penjelasan lebih lanjut mengenai konsep ini sering kali
harus dicari dalam putusan pengadilan dan interpretasi hukum yang
telah ada.

Kerugian kepentingan kreditur dalam konteks actio pauliana biasanya


mengacu pada perbuatan hukum yang mengurangi harta kekayaan
debitur sehingga kreditur tidak dapat mendapatkan pembayaran penuh
atau adil atas klaim mereka. Ini bisa mencakup tindakan-tindakan seperti
pengalihan harta kekayaan atau penjualan dengan harga yang tidak
wajar kepada pihak terkait, yang pada akhirnya mengurangi jumlah yang
tersedia untuk memenuhi kewajiban terhadap kreditur. Kerugian ini bisa
mencakup pemindahan aktiva yang signifikan dari debitur ke pihak
ketiga yang dapat mempengaruhi kreditor. Namun, apakah suatu
tindakan hukum dianggap merugikan kreditur akan tergantung pada
fakta-fakta dan keadaan masing-masing kasus.

Dalam praktiknya, pengadilan biasanya akan mempertimbangkan


bukti dan argumen yang diajukan oleh pihak-pihak yang terlibat untuk
menentukan apakah suatu perbuatan hukum seharusnya dibatalkan
berdasarkan actio pauliana. Ini adalah keputusan yang didasarkan pada
interpretasi hukum, fakta, dan tujuan perlindungan terhadap kreditur
dalam konteks kepailitan.

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur bahwa


perbuatan hukum yang merugikan kreditur harus dilakukan dalam
jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami unsur "mengetahui atau
sepatutnya mengetahui" dalam pembuktian bahwa debitur dan pihak
dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan mengetahui bahwa
perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.

Ini berarti bahwa dalam gugatan actio pauliana, pihak yang


mengajukan tuntutan harus membuktikan bahwa pada saat perbuatan
hukum dilakukan, baik debitur maupun pihak yang terlibat, sebenarnya
mengetahui atau setidaknya seharusnya mengetahui bahwa tindakan
tersebut akan merugikan kepentingan kreditur. Unsur ini penting untuk
menentukan bahwa tindakan debitur tidak hanya dilakukan dengan tidak
adil, tetapi juga dengan kesengajaan atau pengetahuan yang kuat
tentang dampak merugikan yang akan terjadi.

Dalam konteks hukum, unsur "mengetahui atau sepatutnya


mengetahui" ini dapat memerlukan penyajian bukti-bukti yang
mendukung asumsi bahwa debitur dan pihak terkait memiliki
pengetahuan atau pemahaman yang cukup tentang akibat merugikan
yang timbul dari perbuatan hukum tersebut. Ini mungkin mencakup
bukti seperti komunikasi tertulis, bukti transaksi, atau kesaksian yang
mendukung bahwa mereka benar-benar mengetahui atau setidaknya
harus tahu tentang kerugian yang akan timbul.

Dalam hukum, membuktikan unsur "mengetahui atau patut


mengetahui" tidak selalu sesederhana membuktikan peristiwa atau fakta
konkret yang dapat diamati atau terjadi di dunia nyata. Asas actori
incumbit probatia, yang diterjemahkan sebagai "beban pembuktian ada
pada pihak yang mengemukakan", menjadi pedoman dalam hukum
pembuktian. Ini berarti bahwa pihak yang mengajukan tuntutan atau
pembelaan bertanggung jawab untuk memberikan bukti yang cukup
untuk mendukung klaim atau pembelaannya.

Namun, ada situasi di mana bukti yang dibutuhkan untuk


membuktikan unsur "mengetahui atau patut mengetahui" dalam suatu
tindakan tidak selalu tersedia dalam bentuk fakta konkret yang dapat
diamati. Terkadang, itu berkaitan dengan pengetahuan, niat, atau
kesengajaan yang ada dalam pikiran individu atau subjek hukum. Ini
adalah ketidaksempurnaan dalam hukum pembuktian, yang dapat
menjadi sulit karena kita tidak selalu dapat "melihat" apa yang ada
dalam pikiran seseorang.

Asas "negativa non sunt provanda" menyatakan bahwa hal-hal yang


bersifat negatif, seperti tidak mengetahui atau tidak patut mengetahui,
sulit untuk dibuktikan. Dalam konteks pembuktian, membuktikan
ketidaktahuan atau tidak patut mengetahui dapat menjadi tugas yang
sulit, karena itu melibatkan bukti tentang apa yang tidak ada dalam
pikiran seseorang atau apa yang tidak diketahui oleh mereka.

Ini dapat memicu debat dan pertimbangan yang rumit dalam


persidangan, dan hakim mungkin harus mempertimbangkan bukti-bukti
sirkumstansial, bukti-bukti terkait, atau tafsiran dari perilaku pihak-pihak
yang terlibat untuk menentukan apakah unsur "mengetahui atau patut
mengetahui" telah terpenuhi.!

Unsur mengetahui atau patut mengetahui adalah elemen penting


dalam hukum perdata yang berkaitan dengan perilaku pelaku dan akibat
dari perbuatan tersebut, yaitu kerugian yang dapat timbul dari perbuatan
tersebut. Mari kita jelaskan dengan lebih mendalam bagaimana unsur ini
dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan dalam konteks hukum
perdata.

1. Unsur Mengetahui atau Patut Mengetahui:


● Mengetahui: Ini merujuk pada pengetahuan aktual atau
kesadaran pelaku terhadap konsekuensi dari perbuatannya.
Dalam konteks hukum perdata, jika seorang pelaku mengetahui
bahwa tindakannya akan menyebabkan kerugian pada orang
lain, maka dia bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
● Patut Mengetahui: Ini berkaitan dengan konsep kesadaran yang
wajar. Artinya, meskipun pelaku mungkin tidak memiliki
pengetahuan aktual tentang akibat perbuatannya, namun
dalam keadaan yang wajar dan dengan penilaian yang bijak, dia
seharusnya menyadari bahwa tindakannya berpotensi
merugikan orang lain.
2. Bukti Unsur Mengetahui atau Patut Mengetahui:
● Bukti dapat ditemukan melalui fakta-fakta konkret yang
mengindikasikan pengetahuan atau kesadaran pelaku terhadap
akibat tindakannya. Ini bisa termasuk pernyataan tertulis atau
lisan, tindakan-tindakan sebelumnya yang menunjukkan
pemahaman, atau bukti-bukti lain yang menggambarkan
pengetahuan atau kesadaran.
3. Pertanggungjawaban Hukum:
● Unsur mengetahui atau patut mengetahui penting dalam
menentukan pertanggungjawaban hukum pelaku. Jika pelaku
dapat membuktikan bahwa dia tidak memiliki pengetahuan
aktual atau patut mengetahui tentang akibat tindakannya, maka
hukum dapat mempertimbangkan untuk mengurangi atau
membebaskan pertanggungjawaban hukumnya.
● Namun, jika pelaku memiliki pengetahuan atau kesadaran yang
cukup tentang akibat tindakannya, hukum akan cenderung
mempertanggungjawabkan pelaku atas tindakan tersebut dan
mengharuskannya mengganti kerugian yang ditimbulkan pada
pihak lain.
Unsur kesalahan dalam hukum perdata memiliki dua aspek penting,
yaitu kesalahan subjektif (abstrak) dan kesalahan objektif (konkret). Mari
kita bahas keduanya dengan lebih rinci.

1. Kesalahan dalam Arti Subjektif (Abstrak):

Kesalahan subjektif adalah kesalahan yang berkaitan dengan


kesadaran dan pengetahuan pelaku terkait dengan akibat dari
perbuatannya. Dalam hal ini, pelaku dianggap bertanggung jawab atas
perbuatannya jika dia menyadari atau sepatutnya harus menyadari
bahwa tindakannya akan menyebabkan kerugian pada orang lain.
Artinya, pelaku telah mengetahui atau setidaknya seharusnya
mengetahui bahwa tindakannya berpotensi merugikan pihak lain. Ini
adalah elemen subjektif dari kesalahan.

Contoh kesalahan subjektif adalah ketika seseorang mengetahui bahwa


mengemudi dalam keadaan mabuk dapat berbahaya dan berpotensi
merugikan orang lain, tetapi tetap melakukannya. Dalam hal ini,
kesalahan subjektif adalah pengetahuan pelaku tentang potensi bahaya
tindakannya.

2. Kesalahan dalam Arti Objektif (Konkret):

Kesalahan objektif, di sisi lain, berkaitan dengan tindakan yang dapat


dipertanggungjawabkan kepada pelaku berdasarkan situasi konkret. Ini
berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku dalam keadaan
yang tidak terpaksa (overmacht) atau tanpa adanya keadaan darurat
(noodtoestand) yang dapat menghalanginya.

Dalam konteks ini, kesalahan objektif melibatkan penilaian apakah


pelaku bertanggung jawab atas tindakannya karena dia memiliki pilihan
untuk tidak melakukan tindakan tersebut tanpa adanya paksaan atau
keadaan darurat yang dapat membenarkan tindakannya.

Sebagai contoh, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan


orang lain dalam keadaan di mana dia memiliki alternatif lain yang
lebih aman dan tidak merugikan, maka tindakan tersebut dapat
dianggap sebagai kesalahan objektif.
Unsur kesalahan, baik dalam konteks pembatalan perbuatan hukum
(actio pauliana) maupun dalam perkara pidana, adalah komponen utama
untuk menentukan apakah pelaku dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakan yang dilakukan. Unsur kesalahan ini memiliki peran kunci dalam
menilai apakah seseorang seharusnya mengetahui atau memahami
akibat dari tindakan yang mereka lakukan, yang pada gilirannya dapat
berdampak pada pertanggungjawaban hukum mereka.

Dalam tindak pidana, unsur kesalahan dapat digambarkan sebagai


berikut:

1. Dolus (Unsur Sengaja): Dolus merujuk pada unsur kesalahan yang


mencakup niat atau tujuan yang sengaja untuk melakukan tindakan
yang melanggar hukum. Pelaku dengan sengaja dan sadar melakukan
tindakan yang diketahuinya merupakan pelanggaran hukum.
2. Culpa (Unsur Culpa): Culpa merujuk pada unsur kesalahan yang
mencakup kesalahan yang dilakukan tanpa niat jahat (tanpa unsur
sengaja). Dalam hal ini, pelaku mungkin tidak memiliki niat untuk
melanggar hukum, tetapi mereka melakukan tindakan yang merugikan
orang lain karena kelalaian, kecerobohan, atau kurangnya kehati-
hatian.

Dalam actio pauliana, unsur kesalahan (mengetahui atau patut


mengetahui) juga memainkan peran penting dalam menentukan apakah
para pihak yang terlibat dalam perbuatan hukum seharusnya
mengetahui atau memahami akibat merugikan kreditur. Terlebih lagi,
pembuktian unsur kesalahan harus didasarkan pada bukti konkret yang
menunjukkan bahwa pelaku atau pihak terkait seharusnya mengetahui
akibat dari perbuatannya

Kesalahan atau kesengajaan dalam kedua konteks tersebut, baik


pidana maupun actio pauliana, menjadi dasar pertimbangan yang
digunakan oleh pengadilan untuk menilai pertanggungjawaban hukum
pelaku. Oleh karena itu, unsur kesalahan ini memainkan peran utama
dalam membedakan antara perbuatan yang dapat
dipertanggungjawabkan hukum dan yang tidak.
Dalam pembuktian adanya unsur mengetahui atau patut mengetahui
untuk mengajukan pembatalan (actio pauliana) menurut Pasal 41 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, beberapa hal mendasar harus dapat
dibuktikan.

Pertama, harus dibuktikan adanya perbuatan yang membawa kerugian pada


kreditur. Ini dapat melibatkan tindakan seperti mengalihkan aset pailit atau
transfer dana hasil penjualan yang dapat mengurangi kekayaan yang
seharusnya menjadi hak kreditur.

Kedua, perbuatan tersebut harus terjadi sebelum putusan pailit. Waktu


terjadinya perbuatan menjadi faktor kunci karena actio pauliana hanya dapat
diajukan jika perbuatan merugikan kreditur dilakukan dalam jangka waktu satu
tahun sebelum putusan pailit diucapkan.

Ketiga, perbuatan tersebut tidak diwajibkan oleh perjanjian atau undang-


undang. Artinya, perbuatan yang merugikan kreditur tersebut tidak dapat
dijustifikasi atau diwajibkan oleh ketentuan hukum atau perjanjian yang sah.

Sebagai contoh, dalam Putusan Nomor 07/PDT.SUS-ACTIO


PAULIANA/2015/PN.NIAGA.MDN, hakim mempertimbangkan bukti yang
disajikan oleh penggugat terkait peristiwa mengalihkan aset pailit kepada
tergugat II dan mentransfer dana hasil penjualannya kepada tergugat VII.
Hakim menganggap bahwa tindakan tersebut dapat dibuktikan dan akan
mengakibatkan kerugian kepada krediturnya.

Pembatalan tindakan para tergugat dan turut tergugat dianggap


sebagai langkah yang wajar untuk mencegah kerugian lebih lanjut terhadap
kreditur. Oleh karena itu, putusan tersebut menjadi dasar logis untuk
membatalkan perbuatan yang merugikan kepentingan kreditur.

Dalam konteks Actio Pauliana, gugatan tersebut mengajukan


klaim terhadap rangkaian peristiwa yang mencakup transfer aset dan
dana yang dilakukan oleh debitur (PT HEI) kepada pihak ketiga (PT KPEI
dan KNM Pty Ltd). Mari kita jelaskan dengan logis dan ilmiah:

1. Transfer Aset dari Debitur (PT HEI) ke Tergugat II (PT KPEI):

Pada November 2014, PT HEI, sebagai debitur, melakukan


tindakan untuk mengalihkan atau menjual seluruh asetnya,
yang termasuk boedel pailit, kepada tergugat II, yaitu PT KPEI.
Aset ini mencakup total senilai USD1.405.358,13 dan lima unit
mobil senilai USD901,68.

2. Tujuan Transfer Aset:

Penggugat menduga bahwa tindakan transfer ini dapat menjadi


perbuatan melawan hukum atau merugikan kepentingan
kreditur. Actio Pauliana memungkinkan penggugat untuk
mengajukan gugatan pembatalan terhadap tindakan yang dapat
merugikan kreditur.

3. Transfer Dana dari Tergugat I ke Tergugat VII:

Pada tanggal 17 April 2015, tergugat I melakukan transfer dana


sebesar USD562.452 kepada tergugat VII, yaitu KNM Pty Ltd.
Transfer ini dilakukan dan ditandatangani oleh Finance Manager
dan General Manager tergugat I.

4. Pertimbangan Gugatan Actio Pauliana:

Gugatan Actio Pauliana mungkin didasarkan pada argumen


bahwa transfer aset dan dana ini dapat merugikan kepentingan
kreditur PT HEI. Penggugat mungkin berpendapat bahwa
debitur dengan sengaja melakukan tindakan ini untuk
menghindari tanggung jawab utangnya.

5. Penilaian Hakim:

Dalam mengadili gugatan Actio Pauliana, hakim akan menilai


apakah tindakan transfer aset dan dana tersebut dapat
dianggap sebagai upaya yang sah atau melawan hukum. Hakim
juga dapat mempertimbangkan niat atau pengetahuan pihak
terlibat dalam transaksi tersebut.

Dalam argumen penggugat, terdapat beberapa poin kunci yang


memperkuat gugatan Actio Pauliana terkait penjualan aset oleh para tergugat.
Mari kita jabarkan secara logis dengan bahasa yang indah dan ilmiah:

1. Dugaan Iktikad Buruk Para Tergugat:


Penggugat mendalilkan bahwa penjualan aset oleh para
tergugat tidak dilakukan dengan itikad baik, melainkan dengan
iktikad buruk. Istilah "iktikad buruk" di sini merujuk pada niat
atau maksud yang kurang jujur atau tidak sah dalam melakukan
transaksi tersebut.

2. Putusan Homologasi Perdamaian Sebagai Dasar Hukum:

Sebagai landasan hukum gugatan, penggugat merujuk pada


Putusan Homologasi Perdamaian yang dikeluarkan pada tanggal
8 Juli 2014. Dalam putusan tersebut, tergugat I dinyatakan
pailit karena tidak membayar lunas utang kepada para
krediturnya, yang mencakup FI Ltd; PT ESS; PT TAF; PT QS;
dan PT MKB.

3. Hubungan dengan Tindakan Actio Pauliana:

Gugatan Actio Pauliana seringkali digunakan untuk melindungi


kepentingan kreditur dari tindakan-tindakan yang dapat
merugikan mereka. Dalam konteks ini, penggugat meyakini
bahwa penjualan aset oleh tergugat dilakukan dengan maksud
menghindari tanggung jawab membayar utang, yang dapat
menjadi dasar untuk gugatan Actio Pauliana.

4. Perlindungan Kepentingan Kreditur:

Actio Pauliana dirancang untuk memberikan perlindungan


terhadap kepentingan kreditur. Jika pengadilan dapat
membuktikan bahwa tergugat dengan sengaja melakukan
tindakan yang merugikan kreditur, pengadilan dapat
memutuskan untuk membatalkan atau mengoreksi tindakan
tersebut.

5. Pentingnya Bukti dan Kesaksian:

Dalam proses peradilan, penting untuk menyajikan bukti yang


kuat dan kesaksian yang mendukung argumen. Penggugat
dapat menggunakan dokumen-dokumen seperti Putusan
Homologasi Perdamaian, kontrak penjualan aset, dan bukti-
bukti lainnya untuk memperkuat argumennya.
Terdapat perdebatan antara penggugat dan tergugat terkait
perbuatan mengalihkan aset (boedel pailit) dan mentransfer dana hasil
penjualan. Mari kita jabarkan secara logis dengan bahasa yang indah
dan ilmiah:

1. Pernyataan Gugatan:

Penggugat mendalilkan bahwa perbuatan mengalihkan aset dan


mentransfer dana oleh tergugat II kepada tergugat VII dalam
waktu satu tahun sebelum pernyataan pailit dapat menimbulkan
kerugian bagi para kreditur. Gugatan didasarkan pada dugaan
bahwa tindakan ini dilakukan dengan maksud menghindari
kewajiban membayar hutang.

2. Jawaban Para Tergugat:

Para tergugat membantah dalil tersebut dengan mengklaim


bahwa penjualan aset dan transfer dana tersebut dilakukan
dengan maksud agar tergugat I tetap dapat beroperasi dan
memenuhi kewajiban hutangnya kepada para kreditur. Mereka
mengajukan alasan bahwa tindakan ini dilakukan untuk
menjaga kelangsungan usaha.

3. Pertimbangan Hakim:

Meskipun tergugat memberikan jawaban yang membantah,


hakim menilai bahwa pengakuan para tergugat, atau setidaknya
tidak disangkal oleh mereka, dapat dianggap sebagai suatu
pengakuan fakta yang menurut hukum sudah terbukti. Ini dapat
menjadi dasar penting dalam menentukan keputusan hukum.

4. Pentingnya Pengakuan Pihak Terkait:

Pengakuan pihak terkait dapat memiliki bobot berat dalam


proses peradilan. Jika pihak tergugat mengakui atau tidak
menyangkal fakta-fakta tertentu, ini dapat memudahkan hakim
untuk memutuskan terkait dengan fakta-fakta tersebut.

5. Pembuktian Dalam Hukum:

Dalam beberapa sistem hukum, pengakuan pihak terkait dapat


dianggap sebagai bentuk pembuktian yang kuat. Ini bergantung
pada ketentuan dan norma hukum yang berlaku di yurisdiksi
tertentu.

Penilaian hakim tersebut tampaknya dilakukan secara a contrario, yaitu


dengan mendasarkan keputusan pada ketiadaan atau ketidakwajaran suatu
klaim atau dalil yang diajukan. Dalam konteks ini, hakim mengambil
pendekatan bahwa pengakuan tergugat terhadap peristiwa jual beli senilai
USD1.405.358,13 dan transfer dana sebesar USD562.452 memiliki implikasi
yang sengaja dilakukan tergugat untuk menghindar dari kewajiban membayar
kepada para kreditur. Mari kita jabarkan secara logis:

1. Pengakuan Terhadap Peristiwa Jual Beli dan Transfer Dana:

Terdapat pengakuan dari tergugat terkait peristiwa jual beli aset


dan transfer dana. Mereka mengklaim bahwa tindakan ini
dilakukan dengan maksud agar tergugat I tetap dapat
beroperasi dan memenuhi kewajiban hutangnya kepada para
kreditur.

2. Pendekatan Logis Hakim:

Hakim melakukan penilaian secara a contrario, yaitu dengan


menganggap bahwa klaim tergugat mengenai niat menjaga
kelangsungan usaha sebenarnya menunjukkan suatu tindakan
sengaja untuk menghindari kewajiban membayar utang kepada
para kreditur. Hakim mendasarkan keputusannya pada
inkonsistensi atau ketidakwajaran dari klaim tergugat.

3. Unsur Mengetahui atau Patut Mengetahui:

Hakim menyatakan bahwa peristiwa ini dapat dianggap sebagai


tindakan yang sengaja dilakukan oleh tergugat untuk
menghindar dari kewajiban membayar kepada para kreditur.
Dalam konteks Actio Pauliana, ini menunjukkan unsur
mengetahui atau patut mengetahui bahwa akibat peristiwa
tersebut dapat merugikan kreditur.

4. Keputusan Hakim untuk Mendukung Kreditur:

Dengan menilai bahwa tergugat bertindak sengaja untuk


menghindar dari kewajiban membayar utang, hakim dapat
memutuskan untuk mendukung kreditur dengan mengakui
bahwa peristiwa tersebut dapat dibatalkan atau dianggap tidak
sah.

Penilaian hakim terhadap pengakuan sebagai alat bukti yang sempurna


menggambarkan pentingnya pengakuan sebagai unsur yang kuat dalam
proses peradilan. Mari kita jabarkan secara logis:

1. Kekuatan Pengakuan sebagai Alat Bukti Sempurna:

Pengakuan sering dianggap sebagai alat bukti yang memiliki


kekuatan yang tinggi. Ini karena pengakuan merupakan
pernyataan langsung dari pihak terkait yang bersangkutan dan
dapat dianggap sebagai pengakuan terhadap kebenaran suatu
fakta atau peristiwa.

2. Dasar Penilaian Hakim:

Hakim, dalam hal ini, mengambil dasar penilaian dari


pengakuan terkait penjualan aset dan transfer dana dari
tergugat I kepada tergugat VII. Pengakuan tersebut menjadi
titik sentral bagi hakim untuk menyimpulkan bahwa peristiwa
tersebut benar-benar terjadi.

3. Konsekuensi Terhadap Unsur Mengetahui atau Patut


Mengetahui:

Hakim menyimpulkan bahwa karena adanya pengakuan, unsur


mengetahui atau patut mengetahui dari tergugat terkait
penjualan aset dan transfer dana dapat dianggap terbukti.
Pengakuan tersebut menjadi landasan bagi hakim untuk menilai
niat atau iktikad tidak baik dari tergugat yang dapat merugikan
kreditur.

4. Iktikad Tidak Baik dan Potensi Kerugian Kreditur:

Hakim menyatakan bahwa penjualan aset dan transfer dana,


ketika didasari oleh iktikad tidak baik, dapat merugikan kreditur.
Ini menciptakan dasar hukum untuk menilai bahwa tindakan
tersebut bertentangan dengan kehormatan dan kewajiban
hukum tergugat terhadap para kreditur.
5. Referensi Hukum:

Prinsip-prinsip ini dapat merujuk pada doktrin Actio Pauliana


atau pembatalan perbuatan melawan hukum yang dapat
diterapkan dalam konteks perlindungan kepentingan kreditur.

Dalam penilaian hakim atas perjanjian penjualan aset tergugat I


(tergugat VI) kepada tergugat II, yang diakui dalam bukti P-6, hakim
mempertimbangkan beberapa faktor yang menunjukkan potensi kerugian bagi
para kreditur tergugat I. Mari kita jabarkan secara logis:

1. Isi Perjanjian Penjualan Aset (Bukti P-6):

Hakim mencatat bahwa perjanjian penjualan seluruh aset


tergugat I, seperti tercatat dalam bukti P-6, hanya
menyebutkan harga penjualan tanpa rincian pembayaran harga
dari tergugat II kepada tergugat I.

2. Set-Off untuk Membayar Utang kepada Tergugat VII:

Hakim menemukan bahwa alasan yang dikemukakan dalam


perjanjian adalah bahwa tergugat I memiliki utang kepada
perusahaan induk (tergugat VII), dan hasil penjualan aset
tergugat I di-set off untuk membayar utang tersebut.

3. Penilaian Hakim terhadap Potensi Kerugian Kreditur:

Hakim, dalam pertimbangannya, menilai bahwa perjanjian ini


dengan jelas sangat merugikan para kreditur tergugat I.
Artinya, tindakan ini berpotensi menimbulkan kerugian finansial
bagi para kreditur, karena hasil penjualan aset tidak digunakan
untuk membayar utang secara langsung kepada para kreditur,
melainkan diarahkan untuk melunasi utang tergugat I kepada
perusahaan induk.

4. Pertimbangan Legal:

Penilaian hakim dapat didasarkan pada prinsip-prinsip hukum


perikatan, pembayaran utang, dan perlindungan kepentingan
kreditur. Dalam konteks ini, hakim mungkin merujuk pada
norma-norma hukum yang mengatur perlindungan kepentingan
kreditur, terutama jika tindakan ini dianggap sebagai upaya
untuk mengurangi potensi pemulihan utang oleh para kreditur.

5. Referensi Hukum:

Penilaian hakim ini dapat mencerminkan prinsip-prinsip hukum


yang berkaitan dengan perlindungan kepentingan kreditur, yang
mungkin diatur dalam undang-undang kepailitan atau peraturan
hukum perdata terkait.

Putusan hakim yang merujuk pada Putusan Homologasi Perdamaian


dan prinsip-prinsip hukum menunjukkan pemahaman yang mendalam
terhadap aspek-aspek hukum yang relevan. Mari kita jabarkan secara logis:

1. Putusan Homologasi Perdamaian:

Hakim merujuk pada Putusan Homologasi Perdamaian antara


tergugat I dengan para kreditur. Dalam konteks ini, tergugat
VII tidak terverifikasi sebagai kreditur yang berhak menerima
pembayaran dari tergugat I.

2. Pelanggaran Prinsip Pasal 1132 KUHPerdata:

Hakim menilai bahwa tindakan tergugat I yang mengalihkan


hasil penjualan aset untuk membayar utang kepada tergugat
VII melanggar prinsip dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal ini
menetapkan prinsip pari passu pro rata parte, yang berarti
bahwa harta kekayaan debitur menjadi jaminan bersama untuk
para kreditur, dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional
di antara mereka.

3. Kewajiban Hutang Berdasarkan Prinsip Pari Passu:

Hakim menggarisbawahi bahwa kewajiban hutang harus


dilakukan berdasarkan prinsip pari passu pro rata parte. Prinsip
ini menegaskan bahwa setiap kreditur memiliki hak yang setara
untuk mendapatkan pembayaran yang adil dan proporsional
dari harta kekayaan debitur.

4. Pengabaian Terhadap Kewajiban Prinsipil:


Tindakan tergugat I yang mengabaikan prinsip pari passu pro
rata parte dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip
hukum yang mendasar. Hal ini dapat merugikan kreditur lainnya
dan tidak sesuai dengan semangat keadilan dalam penyelesaian
utang.

5. Referensi Hukum:

Argumentasi hakim dapat merujuk pada literatur hukum


perdata yang menguraikan prinsip-prinsip pembagian harta
kekayaan dalam kasus kepailitan atau perundang-undangan
yang mengatur hukum kepailitan dan perdamaian.

2) Perbuatan Itu Dilakukan Sebelum Putusan Pailit

Penggunaan bukti dalam kasus pengalihan aset tergugat I


kepada tergugat II dan transfer dana kepada tergugat VII dalam jangka
waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit dapat diucapkan
adalah kunci untuk membangun argumen hukum. Mari kita jabarkan
secara logis:

1. Bukti P-1: Putusan Nomor


03/PDT.SUS/PEMBATALAN/2015/PN.NIAGA jo. Nomor
07/PKPU/2014/PN.NIAGA.MDN (Tanggal 9 Juli 2015):

● Hakim merujuk pada Putusan ini sebagai dasar hukum yang


menyatakan pernyataan pailit terhadap tergugat I. Putusan ini
mengukuhkan bahwa tergugat I mengalami pailit, yang menjadi
dasar waktu yang penting dalam kasus ini.

2. Bukti P-4: Penetapan Hakim Pengawas Nomor


02/HP/03/PDT.SUS/PEMBATALAN/2015/PN.NIAGA jo. Nomor
07/PKPU/2014/ PN.NIAGA.MDN (Tanggal 30 Juli 2015):

● Penetapan Hakim Pengawas mengonfirmasi situasi pailit


tergugat I, menegaskan keberlanjutan proses hukum yang
melibatkan aset dan kewajiban tergugat I dalam konteks
pembatalan perbuatan hukum.
3. Bukti P-5: Putusan Homologasi Perdamaian Nomor
07/PKPU/2014/PN.NIAGA.MDN (Tanggal 8 Juli 2014):

● Putusan Homologasi Perdamaian memberikan latar belakang


tentang kondisi utang dan usaha penyelesaian utang oleh
tergugat I. Penggunaan bukti ini mendukung konteks hukum
yang lebih luas dan menunjukkan situasi keuangan yang
memerlukan penyelesaian utang.

4. Pembuktian Jangka Waktu Satu Tahun Sebelum Putusan Pailit:

● Hakim, dengan merinci bukti P-1, P-4, dan P-5, membuktikan


bahwa tindakan pengalihan aset dan transfer dana dilakukan
dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan
pailit diucapkan, sesuai dengan persyaratan yang diuraikan
dalam kasus ini.

5. Konsistensi dan Korelasi Bukti:

● Penggunaan ketiga bukti tersebut bersama-sama menciptakan


konsistensi dan korelasi yang kuat dalam membangun
argumentasi hukum. Mereka saling melengkapi untuk
membentuk narasi yang jelas mengenai pengalihan aset dan
transfer dana oleh tergugat I.
6. Referensi Hukum:
● Penjelasan hukum tentang pailit, homologasi perdamaian, dan
pembatalan perbuatan hukum dapat dirujuk dari literatur hukum
seperti "Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang" oleh Prof. H. Subekti.

Penunjukan penggugat sebagai kurator atas PT HEI (tergugat I)


menjadi suatu fakta yang mendasari kewenangan dan tanggung
jawabnya dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Mari kita
jabarkan secara logis:

1. Bukti P-1: Penunjukan Penggugat sebagai Kurator (Tanggal 9


Juli 2015):
Putusan yang dinyatakan dalam bukti P-1 memperlihatkan
bahwa PT HEI (tergugat I) telah dinyatakan pailit. Penggugat
ditunjuk sebagai kurator, dan hal ini tertuang dalam keputusan
hukum yang diumumkan pada tanggal 9 Juli 2015.

2. Pailit dan Pengumuman Media:

Hakim dapat merinci bahwa pailit PT HEI telah diumumkan


pada media dan Berita Negara. Pengumuman ini menjadi
bagian penting dari proses hukum pailit yang menginformasikan
publik dan pihak-pihak terkait mengenai status hukum PT HEI.

3. Kewenangan dan Tanggung Jawab Kurator:

Penggugat, yang ditunjuk sebagai kurator, memperoleh


kewenangan dan tanggung jawab khusus dalam pengurusan
dan pemberesan harta pailit tergugat I. Ini mencakup
pengelolaan aset, penyelesaian utang, dan pemenuhan
kewajiban hukum lainnya terkait kepailitan.

4. Aspek Hukum Pemberesan Harta Pailit:

Dalam konteks hukum kepailitan, keberadaan kurator menjadi


esensial dalam proses pemberesan harta pailit. Kurator
bertanggung jawab untuk mengelola aset pailit dengan itikad
baik demi kepentingan kreditur.

5. Kaitan dengan Bukti Lain:

Informasi ini dapat ditempatkan dalam konteks bukti lain,


seperti bukti pemberitahuan kepada kreditur, surat kabar, atau
publikasi resmi lainnya yang memberikan pengumuman pailit PT
HEI.

6. Referensi Hukum:

Konsep kurator dalam kepailitan dapat dijelaskan dengan


merujuk pada literatur hukum kepailitan, seperti "Hukum
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang" oleh
Prof. H. Subekti.
Berikut adalah penjelasan secara logis mengenai perjanjian jual beli
aset tergugat I (bukti P-7) berupa lima unit mobil, yang didukung oleh bukti P-
6a, P-6b, dan keterangan saksi NMW:

1. Bukti P-7: Perjanjian Jual Beli Aset (Tanggal 3 Desember 2014):

Bukti P-7 mencatat perjanjian jual beli aset antara PT HEI


(tergugat I) dan PT KPEI. Data ini menjadi dasar untuk
membuktikan transfer kepemilikan lima unit mobil.

2. Korelasi dengan Bukti P-6a dan P-6b:

Korelasi antara Bukti P-7 dengan P-6a dan P-6b penting untuk
memastikan konsistensi dan keberlanjutan transaksi. P-6a dan
P-6b mungkin berisi rincian tambahan terkait perjanjian atau
transaksi terkait.

3. Keterangan Saksi NMW:

Keterangan saksi NMW, yang diberikan di bawah sumpah,


menyoroti bahwa saksi tidak memiliki kewenangan langsung
untuk mentransfer aset. Meskipun demikian, saksi mengetahui
penjualan aset PT HEI kepada PT KPEI dan menandatangani
purchase order yang diterbitkan oleh PT KPEI atas perintah dari
direktur (CFS) dan komisaris (LSE) tergugat I.

4. Instruksi dan Perintah dari Direktur dan Komisaris Tergugat I:

Pernyataan saksi menunjukkan bahwa tindakan mentransfer


aset dilakukan atas instruksi dan perintah langsung dari CFS
(direktur) dan LSE (komisaris) tergugat I. Hal ini dapat menjadi
bukti bahwa proses transaksi dilakukan sesuai dengan kebijakan
dan otoritas perusahaan.

5. Penandatanganan Purchase Order:

Tindakan saksi menandatangani purchase order yang


diterbitkan oleh PT KPEI menjadi bukti bahwa saksi, meskipun
tanpa kewenangan langsung, bertindak sesuai dengan perintah
yang diterima dari pihak berwenang.

6. Keterlibatan CFS dan LSE:


Keterlibatan direktur dan komisaris dalam proses ini
menunjukkan bahwa transfer aset dilakukan dengan
persetujuan dan pengawasan tingkat tinggi dalam struktur
perusahaan.

7. Kesimpulan Logis:

Secara logis, keterangan saksi dan bukti transaksi menunjukkan


bahwa meskipun saksi tidak memiliki kewenangan langsung,
transfer aset dilakukan berdasarkan otoritas dan instruksi
tertinggi dalam hierarki perusahaan.

8. Referensi Hukum:

Prinsip-prinsip hukum kepailitan dan hukum perusahaan


mungkin diperlukan untuk memberikan landasan hukum pada
argumen tersebut.

Berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh direktur tergugat I


kepada saksi, yang mencakup informasi mengenai jenis aset dan nilai
transaksi, serta pengetahuan saksi terkait nilai aset tersebut, kita dapat
menjelaskan hal tersebut secara logis:

1. Surat Kuasa Direktur:

Surat kuasa yang diberikan oleh direktur tergugat I kepada


saksi menjadi dokumen kunci yang memberikan kewenangan
kepada saksi untuk melakukan tindakan tertentu, dalam hal ini,
mengenai pengalihan aset. Referensi hukum dapat mencakup
prinsip-prinsip kuasa dalam hukum perusahaan.

2. Jenis Aset yang Dialihkan:

Surat kuasa tersebut secara jelas mencantumkan jenis aset


yang dialihkan, seperti aset operasional, plant and equipment,
motor vehicle, furniture, fitting, dan computer, dan lain
sebagainya. Hal ini memberikan kejelasan mengenai sifat dan
lingkup transaksi.

3. Tanggal Terjadinya Tindakan:


Surat kuasa menunjukkan bahwa tindakan pengalihan aset
tergugat I kepada tergugat II terjadi pada bulan November
2014. Ini memberikan dasar waktu yang spesifik dan relevan
dalam konteks peristiwa hukum.

4. Pengetahuan Saksi tentang Nilai Aset:

Saksi, berdasarkan surat kuasa dan pengetahuannya,


mengetahui bahwa nilai aset yang dialihkan mencapai lebih
kurang 1,4 juta Dolar Amerika. Pengetahuan ini dapat dianggap
sebagai bukti kuat yang mendukung klaim penggugat terkait
nilai transaksi.

5. Konfirmasi Nilai Aset:

Konfirmasi nilai aset oleh saksi menjadi elemen penting, karena


hal ini dapat mendukung argumen terkait kerugian yang
mungkin dialami penggugat akibat pengalihan aset dengan nilai
yang signifikan.

6. Logika Transaksi:

Secara logis, tindakan pengalihan aset yang melibatkan jenis


aset yang signifikan dengan nilai yang cukup besar memerlukan
otorisasi dan pengawasan tingkat tinggi dalam perusahaan.

7. Referensi Hukum:

Landasan hukum mengenai kuasa, transaksi aset, dan nilai aset


dapat dirujuk dari literatur hukum perusahaan dan hukum
kepailitan.

Penilaian hakim berdasarkan alat bukti, termasuk surat (bukti P-


7) dan jawaban para tergugat (bukti P-9a), serta keterangan saksi NMW
di bawah sumpah, dapat dijelaskan secara logis sebagai berikut:

1. Bukti P-7 (Surat Perjanjian Jual Beli Aset):

Surat perjanjian jual beli aset (bukti P-7) mencatat transaksi


penjualan aset tergugat I kepada tergugat II, khususnya lima
unit mobil pada tanggal 3 Desember 2014.

2. Bukti P-9a (Transfer Dana):


Bukti transfer dana (bukti P-9a) menunjukkan bahwa tergugat I
melakukan transfer sejumlah USD562.452 kepada tergugat VII
pada tanggal 17 April 2015.

3. Alasan Penjualan Aset dan Transfer Dana:

Jawaban para tergugat menyatakan bahwa penjualan aset dan


transfer dana dilakukan agar tergugat I dapat terus beroperasi
dan memenuhi kewajiban hutang kepada para kreditur. Alasan
ini menciptakan konteks terkait niat baik dalam tindakan
tersebut.

4. Hakim Menilai Fakta:

Hakim, setelah menilai alat bukti dan jawaban tergugat,


menyatakan bahwa fakta yang diajukan penggugat telah
terbukti. Ini mencakup perjanjian jual beli aset pada tanggal 3
Desember 2014 dan transfer dana pada tanggal 17 April 2015.

5. Keterangan Saksi NMW:

Keterangan saksi NMW di bawah sumpah menguatkan bahwa


aset yang dialihkan kepada tergugat II adalah aset operasional,
seperti plant and equipment, motor vehicle, furniture, fitting,
dan computer, dan bahwa tindakan ini terjadi pada bulan
November 2014.

6. Konsistensi Antara Bukti:

Konsistensi antara bukti perjanjian, transfer dana, jawaban


tergugat, dan keterangan saksi menjadi dasar logis yang kuat
dalam mendukung klaim penggugat.

7. Kesimpulan Logis:

Secara logis, fakta-fakta ini menciptakan narasi yang konsisten


dan mendukung bahwa transaksi penjualan aset dan transfer
dana terjadi sesuai dengan klaim penggugat.

8. Referensi Hukum:
Prinsip-prinsip hukum kepailitan, hukum perikatan, dan hukum
perusahaan dapat dijadikan referensi untuk memberikan
landasan hukum pada argumen tersebut.

Berdasarkan kumpulan bukti yang mencakup P-6a, P-6b, P-7, P-


9a, P-9b, P-13, P-14, P-15, dan P-16, dapat dihasilkan simpulan fakta
bahwa tergugat I melakukan pengalihan aset boedel pailit kepada
tergugat II sekitar bulan November 2014 hingga bulan Januari 2015.
Analisis fakta ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Penjualan Aset kepada Tergugat II:

P-6a dan P-6b merupakan bukti terkait perintah dan instruksi


dari CFS dan LSE kepada saksi untuk melakukan pembelian aset
PT HEI oleh PT KPEI. P-7 menjadi bukti bahwa tergugat I
secara resmi menjual aset tersebut kepada tergugat II.

2. Transfer Dana kepada Tergugat VII:

P-9a dan P-9b menjadi bukti bahwa tergugat I melakukan


transfer dana senilai USD562.452 kepada tergugat VII pada
bulan April 2015.

3. Putusan Pailit pada Tanggal 9 Juli 2015:

P-1, P-4, dan P-5 menjadi bukti bahwa tergugat I resmi


dinyatakan pailit pada tanggal 9 Juli 2015.

4. Waktu Pengalihan Aset dan Transfer Dana:

Dengan merujuk pada P-6a, P-6b, P-7, P-9a, dan P-9b, dapat
disimpulkan bahwa tergugat I telah melakukan pengalihan aset
dan transfer dana sekitar sembilan bulan sebelum dinyatakan
pailit, yaitu sekitar bulan November 2014 hingga bulan April
2015.

5. Pengalihan Aset dan Transfer Dana sebagai Fakta Terungkap:

Melalui bukti-bukti tersebut, fakta bahwa tergugat I


mengalihkan aset boedel pailit kepada tergugat II dan
melakukan transfer dana sebelum dinyatakan pailit terungkap
sebagai suatu kenyataan.

6. Konsistensi Antara Bukti:

Konsistensi antara P-6a, P-6b, P-7, P-9a, dan P-9b memberikan


dasar logis dan kesatuan informasi yang mendukung fakta
pengalihan aset.

7. Referensi Hukum:

Hukum kepailitan dan prinsip-prinsip hukum perusahaan dapat


dijadikan referensi untuk memberikan landasan hukum pada
argumen tersebut.

Berdasarkan penilaian hakim terhadap fakta bahwa tindakan


penjualan aset debitur pailit dan transfer dana terbukti dilakukan dalam
tenggang waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit pada
tanggal 9 Juli 2015, kita dapat menjelaskan secara logis aspek ketiga
dari persyaratan actio pauliana:

1. Perbuatan Itu Tidak Diwajibkan Oleh Perjanjian atau Undang-


Undang:
● Prinsip ini mengacu pada kriteria bahwa perbuatan yang
merugikan kreditur harus bersifat sukarela dan tidak diwajibkan
oleh perjanjian atau undang-undang. Dalam konteks ini, debitor
tidak seharusnya atau diwajibkan oleh ketentuan hukum atau
perjanjian tertentu untuk menjual aset atau mentransfer dana.
● Sebuah perbuatan dianggap tidak diwajibkan jika debitor
melakukan tindakan tersebut atas kehendaknya sendiri, tanpa
adanya kewajiban kontraktual atau ketentuan hukum yang
mengharuskannya untuk melakukannya.
● Penjelasan logis dapat merinci bahwa debitor memiliki
kebebasan untuk melakukan tindakan tersebut, dan perbuatan
tersebut merupakan hasil dari keputusan pribadi debitor.
● Referensi hukum yang dapat diacu adalah literatur mengenai
hukum perikatan dan kepailitan, yang membahas tentang
kewajiban hukum dan kebebasan untuk bertindak dalam
konteks perjanjian dan undang-undang.
Gugatan yang diajukan oleh penggugat menyoroti tindakan
tergugat I, yakni debitur pailit, yang melakukan transaksi jual-beli
terhadap aset pailit dengan tergugat II, disertai dengan transfer dana
kepada tergugat VII. Penggugat membawa argumen bahwa para
tergugat membentuk satu kelompok badan hukum. Di sisi lain, tergugat
memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa penjualan aset dan
transfer dana dilakukan untuk memastikan kelangsungan operasional
tergugat I dan pemenuhan kewajiban hutang terhadap para kreditur.

Hakim, dalam penilaiannya, memberikan kepercayaan lebih pada


argumen penggugat. Hal ini disebabkan oleh pengakuan atau setidak-
tidaknya tidak disangkalnya fakta-fakta yang diajukan oleh penggugat
oleh para tergugat dan turut tergugat. Dalam konteks hukum,
pengakuan atau ketidak penyangkalan terhadap fakta-fakta tertentu
dapat dianggap sebagai bukti yang mendukung klaim penggugat.

1. Penerimaan Fakta dari Pihak Tergugat:


● Dalam konteks peradilan, ketika pihak tergugat
mengakui atau tidak menyangkal suatu peristiwa atau
fakta, hal tersebut dapat dianggap sebagai pengakuan
faktual yang memperkuat klaim penggugat.
2. Asas Prinsipil "Qui Tacet Consentire Videtur":
● Asas ini menggambarkan bahwa diamnya seseorang
dianggap sebagai persetujuan. Dalam konteks ini,
ketidak penyangkalan terhadap peristiwa yang diakui
oleh penggugat dapat diartikan sebagai persetujuan
tidak langsung dari pihak tergugat.
3. Keyakinan Hakim pada Fakta yang Dibuktikan:
● Hakim, dengan merujuk pada prinsip-prinsip hukum
yang menyatakan bahwa pengakuan yang tidak
disangkal memiliki kekuatan pembuktian, memberikan
bobot lebih pada fakta-fakta yang diajukan oleh
penggugat.
4. Referensi Hukum:
● Penggunaan asas hukum ini dapat ditemukan dalam
literatur hukum mengenai bukti-bukti dalam proses
peradilan dan prinsip-prinsip penerimaan bukti.

Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun


2004 memberikan kewenangan kepada kreditur untuk meminta
pembatalan terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh
debitur yang telah dinyatakan pailit, selama perbuatan tersebut
merugikan kepentingan kreditur. Pembatalan ini dapat dimintakan dalam
jangka waktu satu tahun sebelum pengadilan mengucapkan putusan
pernyataan pailit. Penting untuk dicatat bahwa perbuatan yang dapat
dimintakan pembatalan haruslah perbuatan yang tidak diwajibkan
debitur, baik oleh perjanjian maupun undang-undang.

1. Ketentuan Hukum:

Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37


Tahun 2004 merupakan dasar hukum yang memberikan hak
kepada kreditur untuk meminta pembatalan terhadap perbuatan
debitur yang merugikan kepentingan kreditur.

2. Jangka Waktu Pembatalan:

Jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit


diucapkan menegaskan bahwa kreditur memiliki waktu terbatas
untuk meminta pembatalan terhadap perbuatan debitur.

3. Perbuatan Tidak Diwajibkan:

Fokus pada perbuatan yang tidak diwajibkan oleh debitur


menekankan bahwa hak untuk meminta pembatalan hanya
berlaku untuk tindakan sukarela yang dapat merugikan kreditur.

4. Prinsip Kesetaraan:
Prinsip kesetaraan dalam hukum perdata mengindikasikan
bahwa hak untuk meminta pembatalan memberikan
keseimbangan perlindungan antara debitur dan kreditur.

5. Referensi Hukum:

Literatur hukum yang mengkaji undang-undang kepailitan dan


prinsip-prinsip hukum perdata dapat dijadikan referensi untuk
mendukung penjelasan tersebut.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa


perbuatan hukum debitur yang diwajibkan berdasarkan perjanjian
maupun undang-undang dapat dikecualikan dari kemungkinan
pembatalan. Meskipun undang-undang ini tidak memberikan definisi rinci
mengenai perbuatan hukum yang diwajibkan, penjelasannya dalam Pasal
41 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2) memberikan beberapa contoh konkret.

1. Pembayaran Pajak:

Penjelasan Pasal 41 ayat (3) menegaskan bahwa perbuatan


yang diwajibkan oleh undang-undang, seperti pembayaran
pajak, tidak dapat dimintakan pembatalan. Hal ini
mencerminkan prinsip legalitas dalam memenuhi kewajiban
fiskal yang telah diatur oleh perundang-undangan.

2. Pembayaran Upah:

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) menunjukkan bahwa pembayaran


upah kepada pekerja, yang termasuk hak yang diterima dalam
bentuk uang dan tunjangan bagi pekerja dan keluarga,
merupakan kewajiban sesuai perjanjian atau peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, perbuatan ini tidak
dapat dimintakan pembatalan.

3. Legalitas Kewajiban:

Prinsip legalitas dalam Pasal 41 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2)
menunjukkan bahwa kewajiban yang diatur oleh undang-
undang atau perjanjian yang bersifat legal tidak dapat
dibatalkan melalui permohonan pembatalan.
4. Referensi Hukum:

Pemahaman ini dapat diperkuat dengan merujuk pada literatur


hukum mengenai hukum kepailitan, termasuk penjelasan-
penjelasan pasal dalam undang-undang tersebut.

Hak kreditur dalam prinsip actio pauliana terkait erat dengan


ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal-pasal ini
mengatur bahwa semua harta kekayaan debitur menjadi jaminan atas
hutang kepada para kreditur. Lebih lanjut, Pasal 1132 menyatakan
bahwa harta kekayaan debitur merupakan jaminan bersama bagi seluruh
krediturnya, dengan prinsip kesamaan dan keseimbangan, kecuali ada
alasan yang sah untuk memberikan prioritas. Prioritas pembayaran
piutang dapat ditentukan melalui perjanjian atau undang-undang.

1. Prinsip Jaminan Hutang:

Pasal 1131 KUHPerdata menegaskan bahwa semua harta


kekayaan debitur berfungsi sebagai jaminan atas hutang
kepada krediturnya. Ini menciptakan dasar hukum untuk
perlindungan hak kreditur.

2. Jaminan Bersama:

Pasal 1132 KUHPerdata menjelaskan bahwa harta kekayaan


debitur menjadi jaminan bersama bagi seluruh krediturnya.
Prinsip ini menciptakan dasar kesetaraan di antara kreditur
dalam mendapatkan hak atas harta kekayaan debitur.

3. Kesamaan dan Keseimbangan:

Prinsip kesamaan dan keseimbangan, sebagaimana diatur


dalam Pasal 1132, menjamin bahwa kewajiban membayar
hutang dilakukan secara proporsional, kecuali ada alasan yang
sah untuk memberikan prioritas tertentu.

4. Prioritas Pembayaran:

Prioritas pembayaran piutang dapat ditentukan baik melalui


perjanjian antara debitur dan kreditur, maupun oleh ketentuan
undang-undang yang mengatur prioritas tertentu, tergantung
pada kebutuhan atau kondisi khusus.

5. Referensi Hukum:

Argumentasi ini dapat diperkuat dengan merujuk pada literatur


hukum mengenai hukum perdata, khususnya ketentuan Pasal
1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.

Pasal 1133 KUHPerdata memberikan penjelasan mengenai hak-


hak yang memiliki prioritas, yaitu hak-hak yang timbul dari perjanjian
gadai dan hipotek, serta hak istimewa yang diatur dalam Pasal 1139
KUHPerdata. Dalam konteks perbuatan tergugat I yang melakukan
penjualan aset pailit kepada tergugat II, diikuti dengan transfer dana
kepada tergugat VII, dapat dikemukakan argumen sebagai berikut:

1. Prioritas Hak-Hak yang Didahulukan:

Pasal 1133 KUHPerdata menegaskan bahwa hak-hak yang


timbul dari perjanjian gadai dan hipotek memiliki prioritas.
Dengan demikian, jika penjualan aset pailit tergugat I
melibatkan perjanjian gadai atau hipotek, hak-hak yang timbul
dari perjanjian tersebut memiliki prioritas pembayaran.

2. Hak Istimewa yang Ditentukan dalam Pasal 1139:

Pasal 1139 KUHPerdata menyebutkan tentang hak istimewa


yang dapat diberikan kepada kreditur tertentu. Jika terdapat
hak istimewa yang berlaku dalam konteks ini, hal tersebut
dapat memengaruhi prioritas pembayaran.

3. Tujuan Perbuatan Tergugat I:

Dari sisi tujuan perbuatan tergugat I, yaitu menjual aset pailit


dan mentransfer dana, tidak terlihat sebagai suatu kewajiban
yang diwajibkan oleh undang-undang atau perjanjian tertentu.
Sebaliknya, tujuan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan
yang dilakukan untuk kepentingan tertentu.

4. Bukti Homologasi Perdamaian dan Verifikasi Kreditur:


Bukti P-5 (Putusan Homologasi Perdamaian) menunjukkan
bahwa tergugat I telah melakukan perdamaian dengan para
krediturnya. Hal ini menegaskan bahwa kreditur telah
memberikan persetujuan terhadap penyelesaian hutang. Selain
itu, keterangan saksi NMW dapat memberikan pandangan lebih
lanjut terkait verifikasi kreditur dan status tergugat II serta
tergugat VII.

5. Referensi Hukum:

Penjelasan ini dapat diperkuat dengan merujuk pada literatur


hukum mengenai prioritas hak kreditur, terutama Pasal 1133
dan Pasal 1139 KUHPerdata.

Pasal 1133 KUHPerdata memberikan penjelasan mengenai hak-


hak yang memiliki prioritas, yaitu hak-hak yang timbul dari perjanjian
gadai dan hipotek, serta hak istimewa yang diatur dalam Pasal 1139
KUHPerdata. Dalam konteks perbuatan tergugat I yang melakukan
penjualan aset pailit kepada tergugat II, diikuti dengan transfer dana
kepada tergugat VII, dapat dikemukakan argumen sebagai berikut:

1. Prioritas Hak-Hak yang Didahulukan:

Pasal 1133 KUHPerdata menegaskan bahwa hak-hak yang


timbul dari perjanjian gadai dan hipotek memiliki prioritas.
Dengan demikian, jika penjualan aset pailit tergugat I
melibatkan perjanjian gadai atau hipotek, hak-hak yang timbul
dari perjanjian tersebut memiliki prioritas pembayaran.

2. Hak Istimewa yang Ditentukan dalam Pasal 1139:

Pasal 1139 KUHPerdata menyebutkan tentang hak istimewa


yang dapat diberikan kepada kreditur tertentu. Jika terdapat
hak istimewa yang berlaku dalam konteks ini, hal tersebut
dapat memengaruhi prioritas pembayaran.

3. Tujuan Perbuatan Tergugat I:

Dari sisi tujuan perbuatan tergugat I, yaitu menjual aset pailit


dan mentransfer dana, tidak terlihat sebagai suatu kewajiban
yang diwajibkan oleh undang-undang atau perjanjian tertentu.
Sebaliknya, tujuan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan
yang dilakukan untuk kepentingan tertentu.

4. Bukti Homologasi Perdamaian dan Verifikasi Kreditur:

Bukti P-5 (Putusan Homologasi Perdamaian) menunjukkan


bahwa tergugat I telah melakukan perdamaian dengan para
krediturnya. Hal ini menegaskan bahwa kreditur telah
memberikan persetujuan terhadap penyelesaian hutang. Selain
itu, keterangan saksi NMW dapat memberikan pandangan lebih
lanjut terkait verifikasi kreditur dan status tergugat II serta
tergugat VII.

5. Referensi Hukum:

Penjelasan ini dapat diperkuat dengan merujuk pada literatur


hukum mengenai prioritas hak kreditur, terutama Pasal 1133
dan Pasal 1139 KUHPerdata.

Pasal 41 ayat (2) menyatakan bahwa pembatalan hanya dapat


dilakukan jika dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum
dilakukan, debitur dan pihak yang terlibat mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi kreditur. Penjelasan logis mengenai hal ini dapat dirinci
sebagai berikut:

1. Pengetahuan Subjektif:

Pembatalan perbuatan hukum debitur memerlukan bukti bahwa


debitur dan pihak lain yang terlibat memiliki pengetahuan
subjektif, artinya mereka secara aktif mengetahui konsekuensi
buruk yang mungkin terjadi bagi kreditur. Ini dapat berupa
bukti berupa komunikasi tertulis, percakapan, atau dokumen-
dokumen lain yang menunjukkan kesadaran mereka terhadap
dampak merugikan.

2. Analisis Kesadaran Risiko:


Analisis logis harus mengeksplorasi sejauh mana debitur dan
pihak terlibat menyadari risiko dan konsekuensi yang mungkin
timbul dari perbuatan hukum tersebut. Jika dapat dibuktikan
bahwa mereka seharusnya menyadari risiko ini, argumen
pembatalan menjadi lebih kuat.

3. Dukungan dari Kasus Serupa:

Merujuk pada kasus-kasus serupa di mana pengadilan telah


mempertimbangkan pengetahuan subjektif pihak-pihak terlibat
sebagai dasar untuk pembatalan, dapat memperkuat argumen
logis.

4. Prinsip Hukum yang Relevan:

Mengaitkan prinsip-prinsip hukum perdata, seperti perlindungan


kepentingan kreditor dan prinsip keadilan, dapat mendukung
argumen bahwa pembatalan perbuatan hukum diperlukan
untuk mencegah ketidakadilan terhadap kreditur.

5. Referensi Hukum:

Menyertakan referensi hukum yang relevan, termasuk


pandangan ahli hukum atau putusan pengadilan terdahulu,
dapat memberikan dasar hukum yang lebih kokoh untuk
argumen pembatalan.

Pasal 42 huruf f Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004


memberikan dasar hukum terkait dengan batas waktu untuk pembatalan
perbuatan hukum yang merugikan kreditur, yang diatur dalam Pasal 41.
Pembatalan dapat dilakukan jika perbuatan tersebut dilakukan dalam
jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan,
dan perbuatan tersebut tidak diwajibkan oleh perjanjian atau undang-
undang. Ketentuan ini memberikan asumsi bahwa debitur dan pihak
yang terlibat dalam perbuatan tersebut dianggap mengetahui atau
sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi kreditur.

Penjelasan logis terhadap hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:


1. Aspek Waktu:

Pembatasan waktu satu tahun sebelum putusan pailit


memberikan kejelasan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
debitur yang merugikan kreditur dalam periode tersebut dapat
dibatalkan.

2. Ketidakwajiban:

Kondisi bahwa perbuatan tersebut tidak diwajibkan oleh


perjanjian atau undang-undang menegaskan bahwa
pembatalan berlaku untuk tindakan yang bersifat sukarela atau
tidak diwajibkan secara formal.

3. Asas Pengetahuan atau Patut Mengetahui:

Asumsi bahwa debitur dan pihak terlibat sepatutnya


mengetahui atau setidaknya mengetahui potensi kerugian bagi
kreditur mengindikasikan bahwa tingkat pengetahuan atau
pengertian akan akibat perbuatan tersebut menjadi kriteria
penting.

Pasal tersebut memberikan kriteria terkait dengan siapa yang


dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan
hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Penjelasan
logis dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kepemilikan dan Pengendalian:

Ditekankan bahwa jika pihak yang terlibat (debitur atau pihak


dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan) memiliki
kepemilikan atau pengendalian atas badan hukum tersebut,
terutama lebih dari 50% dari modal disetor atau dalam
pengendalian badan hukum, maka dianggap bahwa pihak
tersebut memiliki peran signifikan dalam keputusan
perusahaan.

2. Partisipasi dalam Kepemilikan:


Jika pihak tersebut, baik secara individu maupun bersama-sama
dengan pihak lain, memiliki kepemilikan atau pengendalian lebih
dari 50%, ini menunjukkan partisipasi langsung dalam
kepemilikan dan pengendalian perusahaan.

3. Keterlibatan Ganda:

Dikemukakan bahwa jika anggota direksi atau pengurus terlibat


dalam dua badan usaha yang sama, dan keduanya memiliki
keterlibatan yang signifikan dalam kepemilikan atau
pengendalian, maka dianggap bahwa mereka sepatutnya
mengetahui risiko dan konsekuensi dari perbuatan hukum yang
merugikan kreditur.

Penjelasan ini mengacu pada definisi dan kriteria tertentu yang


digunakan dalam Pasal 42 huruf f Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004. Penjelasannya dapat diurai sebagai berikut:

1. Anggota Direksi:

Dalam konteks undang-undang ini, "anggota direksi" tidak


hanya terbatas pada mereka yang secara resmi menjabat
sebagai anggota direksi. Definisi ini melibatkan semua individu
yang memiliki peran dalam badan pengawas atau kepemilikan
modal.

2. Orang yang Ikut serta dalam Kepemilikan:

Termasuk dalam definisi ini adalah orang-orang yang secara


langsung terlibat dalam kepemilikan modal atau modal saham
perusahaan. Ini mencakup orang-orang yang memiliki
kepentingan finansial yang signifikan dalam perusahaan.

3. Masa Jabatan:

Orang yang pernah menduduki posisi sebagai anggota direksi,


meskipun hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun
sebelum terjadinya perbuatan yang merugikan, tetap dianggap
termasuk dalam definisi ini. Hal ini menunjukkan pentingnya
mempertimbangkan keterlibatan masa lalu seseorang dalam
struktur perusahaan.

Penjelasan ini secara logis menetapkan batasan luas mengenai


siapa yang dianggap sebagai "anggota direksi" dan bagaimana
kepemilikan modal atau saham diukur. Hal ini bertujuan agar ketentuan
pembatalan dapat mencakup pihak-pihak yang memiliki keterlibatan
nyata dalam keputusan dan kebijakan perusahaan, bahkan jika mereka
tidak lagi menjabat dalam jabatan resmi atau hanya memiliki
keterlibatan singkat.

Pertimbangan hakim dalam melihat bukti P-2a, P-2b, P-6a, P-6b,


P-12a, P-12b, P-15a, P-15b, P-16a, P-16b, P-23a, dan P-23b dapat
diuraikan sebagai berikut:

1. Keterkaitan Struktur Perusahaan:

Fotocopy Struktur Perusahaan KNM Grup Berhad yang berpusat


di Malaysia (P-2a dan P-2b) memberikan gambaran bahwa para
tergugat dan turut tergugat merupakan bagian dari Perusahaan
KNM (tergugat VII). Ini menunjukkan keterkaitan antara
entitas-entitas dalam grup perusahaan.

2. Konsistensi Penandatanganan:

Penandatanganan transaksi penjualan aset tergugat I kepada


tergugat II oleh orang yang sama, yaitu CFS Direktur PT HEI
(tergugat III) dan Direktur PT KPEI (tergugat V), LSE sebagai
Komisaris PT HEI (tergugat IV) dan Komisaris PT KPEI (tergugat
VI) (P-6a, P-6b, P-12a, P-12b, P-15a, P-15b, P-16a, P-16b),
menunjukkan adanya konsistensi dalam pelibatan orang-orang
tertentu dalam transaksi tersebut.

3. Pemimpin Perusahaan yang Sama:

Laporan Aset Tetap tergugat I per tanggal 30 November 2014


(P-23a dan P-23b) menunjukkan bahwa orang yang sama, yaitu
CFS, merupakan direktur dalam Tanda Daftar Perusahaan dan
Surat Keterangan Domisili PT HEI dan PT KPEI. Ini menegaskan
kepemimpinan yang sama dalam entitas tergugat.

Pertimbangan hakim tersebut secara logis mengarah pada


kesimpulan bahwa tergugat dan turut tergugat memiliki hubungan yang
erat dalam struktur perusahaan dan terlibat dalam transaksi penjualan
aset. Keterkaitan ini dapat menjadi dasar untuk menilai kesatuan aksi
dan tanggung jawab bersama dalam perbuatan hukum yang merugikan
kreditur.

Alat bukti surat tersebut juga bersesuaian dengan keterangan


saksi NMW di bawah sumpah, yang pada pokoknya menerangkan bahwa
Perusahaan KPE adalah grup dari Australia yang terdiri dari Exchanger
Indonesia. KPE adalah anak dari perusahaan dan memiliki mesin-mesin
serta alat-alat produksi lainnya serta peralatan kantor yang sama dan
nomor telepon yang sama, dan saksi menerangkan bahwa ia diangkat
dan bekerja sekaligus di dua perusahaan yang sama, yakni PT HEI dan
PT KPEI sebagai General Manager. Saat terjadinya pengalihan aset PT
HEI kepada PT KPEI dilakukan oleh kedudukan kedua orang tersebut di
kedua perusahaan yang sama. Selanjutnya saksi NMW menerangkan
uang hasil penjualan aset tergugat I tidak masuk ke dalam kas
perusahaan PT HEI, melainkan ditransfer ke KNM CAPITAL SDN BHD
(turut tergugat II). Sehingga disimpulkan bahwa benar jual beli aset
dilakukan antara tergugat I dengan tergugat II, dan transfer dana dari
tergugat I ke tergugat VII yang merupakan badan hukum yang berada
dalam satu grup.

Gugatan penggugat yang merujuk pada Pasal 42 huruf (f)


Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa perbuatan
hukum yang merugikan kreditur, khususnya jual beli dan transfer dana
yang dilakukan oleh badan hukum yang merupakan satu grup, dapat
dibatalkan apabila memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh
undang-undang. Berikut adalah penjelasan logis terkait hal tersebut:

1. Ketentuan Pembatalan Perbuatan Hukum:


Pasal 42 huruf (f) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
mengatur bahwa perbuatan hukum yang merugikan kreditur
dan dilakukan dalam satu tahun sebelum putusan pailit
diucapkan dapat dibatalkan, terutama jika perbuatan tersebut
tidak diwajibkan oleh debitur.

2. Waktu Pelaksanaan Perbuatan Hukum:

Gugatan penggugat menyoroti bahwa perbuatan jual beli dan


transfer dana dilakukan dalam jangka waktu satu tahun
sebelum pengucapan putusan pailit. Hal ini sesuai dengan
waktu yang menjadi syarat dalam Pasal 42 huruf (f).

3. Pihak yang Terlibat dan Kesadaran Akan Kerugian:

Gugatan menyiratkan bahwa debitur dan pihak terlibat, dalam


hal ini badan hukum satu grup, seharusnya mengetahui atau
sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Ini menciptakan dasar
untuk pembatalan perbuatan hukum berdasarkan asas
"scienter" atau pengetahuan atau kesadaran.

4. Bukti Pembuktian dan Pengecualian:

Pasal 42 huruf (f) memberikan pengecualian yang


memungkinkan debitur membuktikan sebaliknya, yaitu bahwa
perbuatan tersebut sebenarnya wajar dan diwajibkan, meskipun
dilakukan dalam satu tahun sebelum pailit.

Dengan demikian, gugatan ini mencoba membuktikan bahwa


perbuatan jual beli dan transfer dana dilakukan dengan kesadaran akan
potensi kerugian bagi kreditur, sesuai dengan ketentuan undang-undang
yang mengatur pembatalan perbuatan hukum sebelum pailit.

Dengan demikian, terbuktinya para tergugat dan turut tergugat


merupakan satu grup, dan perbuatan hukum tergugat I yang menjual
aset kepada tergugat II dan transfer dana kepada tergugat VII dilakukan
dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan, maka hakim menilai bahwa penggugat dapat membuktikan
bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitur (tergugat I) dan
pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan (tergugat II
dan tergugat VII) sudah mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa
perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.
Oleh karena itu, hakim menilai bahwa tuntutan pembatalan tersebut
harus dikabulkan.

D. Pertimbangan Hukum
Dalam Putusan Nomor 07/PDT. SUS-ACTIO
PAULIANA/2015/PN.NIAGA.MDN, amar yang menyatakan bahwa
perbuatan hukum tergugat I dalam jual beli aset kepada tergugat II, dan
pengalihan dana oleh tergugat I kepada tergugat VII merupakan
perbuatan melawan hukum, didasarkan pada pertimbangan yang cermat
atas alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Hakim memeriksa
dengan teliti kronologi peristiwa yang terjadi, bukti-bukti transaksi, serta
argumen-argumen yang disampaikan.

Keputusan hakim ini mencerminkan kesimpulan logis dari fakta-fakta


yang diajukan selama persidangan. Pertimbangan hukum yang digunakan
dalam amar putusan memberikan kejelasan dan keadilan dalam menilai
bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh tergugat I, tergugat II,
dan tergugat VII melanggar norma-norma hukum yang berlaku. Dengan
demikian, amar putusan tersebut mengandung kebijaksanaan hukum yang
dapat diikuti dan dijadikan preseden dalam perkara sejenis.

Dalam pengadilan, asas umum beracara yang mengharuskan putusan


disertai alasan memiliki tujuan untuk memberikan kejelasan dan keadilan
dalam proses peradilan. Hal ini tercermin dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 184 ayat (1) HIR/195 ayat (1)
Rbg, yang menekankan perlunya alasan sebagai dasar
pertanggungjawaban hakim pada putusannya.

Dalam menilai adanya perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal


1365 KUHPerdata, penggugat memiliki beban pembuktian untuk
menunjukkan semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Ini
melibatkan bukti adanya perbuatan yang melanggar hukum, adanya
kesalahan, adanya kerugian, dan terjalinnya hubungan sebab-akibat
antara kesalahan dan kerugian. Proses pembuktian ini merupakan esensi
dari prinsip keadilan yang melandasi sistem peradilan.

Konsep bahwa pengertian dari keempat unsur tersebut tidak dijelaskan


secara rinci dan diberikan kebebasan kepada hakim untuk menyesuaikan
kaidah-kaidah hukum sesuai perkembangan kepentingan masyarakat
mencerminkan sifat norma hukum yang bersifat fleksibel. Norma hukum
yang bersifat umum dan terbuka memberikan ruang bagi interpretasi dan
penyesuaian terhadap konteks masyarakat yang selalu berubah.

Dalam hal ini, hakim dihadapkan pada tugas melakukan penemuan


hukum melalui putusan. Penemuan hukum tersebut tidak hanya
mencakup penerapan hukum yang sudah ada, tetapi juga pembentukan
atau penyesuaian hukum sesuai dengan kondisi dan perkembangan
masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa hukum bukanlah entitas statis,
melainkan dinamis dan responsif terhadap perubahan sosial.

Pertimbangan hakim dalam memutuskan bahwa perbuatan hukum


debitur dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum memiliki
dasar logis yang kuat. Hakim menegaskan bahwa untuk memenuhi
kualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum, bukti harus menunjukkan
bahwa penjualan aset boedel pailit kepada tergugat II dan transfer dana
dari tergugat I kepada tergugat VII dilakukan oleh badan hukum yang
satu grup. Dengan demikian, hakim menetapkan bahwa adanya
keterkaitan antara pihak-pihak tergugat dan perbuatan hukum yang
merugikan kreditur merupakan unsur penting dalam menetapkan bahwa
perbuatan tersebut melanggar hukum.

Pertimbangan hakim yang mengacu pada Pasal 42 huruf (f) Undang-


Undang Nomor 37 Tahun 2004 dapat dipahami secara logis. Pasal
tersebut menegaskan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh
debitur, khususnya badan hukum, dengan atau terhadap badan hukum
lain dalam satu grup di mana debitur adalah anggotanya, dianggap
sebagai perbuatan melawan hukum karena dapat mengakibatkan kerugian
pada kreditur. Dengan demikian, hakim merinci bahwa keterlibatan badan
hukum dalam satu grup menjadi dasar untuk memastikan bahwa
perbuatan tersebut merugikan kreditur, dan penegasan ini sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Kepailitan

Dalam mendalami dasar penilaian hakim terhadap perbuatan hukum


debitur sebagai perbuatan melawan hukum, perlu dianalisis dua bentuk
perbuatan yang dilakukan oleh debitur, yaitu perbuatan jual beli antara
tergugat I dengan tergugat II dan perbuatan mentransfer dana hasil
penjualan aset kepada tergugat VII. Hakim dalam pertimbangannya
merujuk pada pengertian perbuatan melanggar undang-undang, selain
yang sudah diatur dalam Pasal 42 Huruf (f) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan hukum debitur tidak
hanya dianggap melawan hukum berdasarkan Undang-Undang Kepailitan,
tetapi juga bertentangan dengan ketentuan hukum lainnya, yang mungkin
mencakup norma hukum umum yang menilai perbuatan tersebut sebagai
melanggar aturan. Hakim memiliki kebebasan untuk menyesuaikan
penilaian tersebut dengan perkembangan masyarakat dan norma hukum
yang relevan (Mertokusumo, 2013: 15).

Pertimbangan hakim terhadap perjanjian penjualan aset antara


tergugat I (boedel pailit) dengan tergugat II memberikan kualifikasi
sebagai perbuatan melawan hukum. Penilaian ini didasarkan pada prinsip
bahwa perjanjian jual beli, seperti yang diatur dalam Pasal 1457
KUHPerdata, mengharuskan adanya dua pihak yang berbeda posisi, yaitu
penjual yang berjanji menyerahkan barang/benda dan pembeli yang
berjanji membayar harga. Dalam konteks ini, hakim menegaskan bahwa
perjanjian tersebut seharusnya terjadi antara dua pihak yang memiliki
perbedaan posisi, di mana salah satu pihak adalah kreditur yang berhak
atas prestasi tertentu, sementara pihak lainnya adalah debitur yang wajib
melaksanakan prestasi tersebut. Dengan demikian, hakim menyimpulkan
bahwa perjanjian penjualan aset oleh pihak yang sama (tergugat I)
kepada dirinya sendiri (tergugat II) tidak memenuhi syarat-syarat
perjanjian jual beli yang sah menurut ketentuan hukum, sehingga
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan Laporan Aset Tetap tergugat I per tanggal 30 November


2014, ditemukan bahwa Tanda Daftar Perusahaan dan Surat Keterangan
Domisili PT HEI dan PT KPEI terdaftar atas nama yang sama, yaitu CFS
sebagai direktur. Majelis hakim kemudian mengevaluasi bantahan dari
para tergugat yang menyatakan bahwa penjualan aset tergugat I kepada
tergugat II, dan transfer dana sejumlah USD562.452 kepada tergugat VII
(KNM Pty Ltd) dilakukan dan ditandatangani oleh Finance Manager dan
General Manager sesuai dengan kewenangan mereka. Bantahan ini
diajukan untuk memastikan kelangsungan operasional tergugat I dengan
membayar cicilan hutang kepada kreditur.

Namun, majelis hakim menilai bahwa bantahan tersebut tidak terbukti


berdasarkan aturan Batas Kewenangan Keuangan Perusahaan (Financial
Limited Authority) yang berlaku di dalam grup tergugat. Dengan demikian,
hakim menyimpulkan bahwa tindakan penjualan aset dan transfer dana
tersebut tetap menjadi tanggung jawab penuh tergugat I, terlepas dari
alasan operasional yang diajukan.

Penting untuk dicatat bahwa kewenangan CEO perusahaan ke atas


untuk transaksi diatas USD 100.000 biasanya membutuhkan persetujuan
dan dokumentasi yang lengkap, termasuk purchase order, invoice,
delivery order, MRR (material resitting report), dan dokumen pendukung
lainnya. Namun, transfer dana yang dilakukan oleh tergugat I kepada
tergugat VII (dokumen P-9) tidak didukung oleh dokumen pendukung
yang sesuai. Selain itu, orang yang melakukan transfer tersebut memiliki
jabatan di perusahaan di bawah posisi CEO.

Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa transfer dana tersebut dilakukan


tanpa tujuan yang jelas dan melanggar aturan dan ketentuan internal
perusahaan.

Penilaian hakim terkait set off dalam penjualan aset debitur menyoroti
bahwa pembayaran hasil penjualan aset tidak diberikan langsung kepada
tergugat I, tetapi di-set off kepada perusahaan induk (tergugat VII).
Konsekuensinya, tergugat I menjadi tidak mampu melunasi utangnya
kepada kreditur-krediturnya, karena pembayaran hasil penjualan tersebut
tidak diterimanya secara langsung.

Pihak tergugat berpendapat bahwa tindakan pembayaran kepada


tergugat VII dengan cara set off sesuai dengan konsep kompensasi atau
perjumpaan utang, yang diakui sebagai salah satu syarat untuk
mengakhiri perikatan. Konsep ini, meskipun diakui dalam beberapa sistem
hukum, memerlukan kejelasan dan kesepakatan antara pihak-pihak yang
terlibat.

Pasal 1425 KUHPerdata menguraikan konsep perjumpaan hutang


sebagai suatu kondisi di mana dua hutang piutang antara pihak yang
sama dihapuskan melalui pertimbangan timbal balik. Dalam konteks ini,
terdapat saling penerimaan dan pemberian antara kreditur dan debitur,
sehingga salah satu atau bahkan keduanya dari utang tersebut dihapus.

Penjelasan logis dapat dibangun dari prinsip bahwa perjumpaan hutang


melibatkan pertukaran hak tagih dan kewajiban di antara para pihak yang
memiliki hubungan kreditur-debitur. Dengan kata lain, kompensasi ini
mewakili suatu bentuk kesepakatan di mana setiap pihak memberikan
pengakuan atas utang yang dimilikinya, sehingga menghasilkan
pembatalan atau penghapusan utang tersebut.

Pasal 1426 KUHPerdata menyatakan bahwa perjumpaan hutang dapat


terjadi demi hukum, bahkan tanpa pengetahuan para pihak yang
berutang. Dalam konteks ini, pendekatan hukum menyiratkan bahwa
perjumpaan hutang dapat berlangsung tanpa adanya persetujuan eksplisit
dari para pihak yang terlibat. Namun, penting untuk dicatat bahwa
perjumpaan hutang ini tidak terjadi secara otomatis; proses ini harus
diajukan atau diminta oleh pihak yang berkepentingan.

Pertimbangan hakim, yang merujuk pada pendapat Subekti,


menegaskan bahwa perjumpaan utang atau kompensasi harus diajukan
atau diminta oleh pihak yang berkepentingan. Dalam kasus ini, hakim
menyimpulkan bahwa pengalihan aset dan transfer dana hasil
pembayaran kepada tergugat VII dengan cara set off tidak mematuhi
ketentuan Pasal 1425, 1426, dan 1427 KUHPerdata. Oleh karena itu,
pengalihan aset tersebut dianggap sebagai suatu perbuatan jual beli dan
bukan sebagai set off.

Pertimbangan hukum yang disampaikan oleh hakim untuk menyatakan


bahwa perbuatan para tergugat merupakan perbuatan melawan hukum
didasarkan pada dua macam perbuatan hukum tergugat I (debitur pailit),
yaitu perbuatan tergugat I dengan tergugat II yang melakukan jual beli
aset tergugat I. Dalam analisis hakim, dua macam perbuatan hukum ini
menjadi dasar untuk menyatakan bahwa perbuatan debitur pailit tersebut
bertentangan dengan hukum.

Berdasarkan bukti P-23a dan P-23b, yang merupakan Laporan Aset


Tetap tergugat I per tanggal 30 November 2014 dalam Tanda Daftar
Perusahaan dan Surat Keterangan Domisili, serta keterangan saksi NMW
di bawah sumpah, hakim menyimpulkan bahwa Perusahaan KPE adalah
grup dari Australia. Antara tergugat I dan tergugat II, yang diwakili oleh
CFS sebagai direktur dan saksi, menunjukkan adanya keterkaitan yang
erat. CFS diangkat dan bekerja sekaligus di dua perusahaan yang sama,
yakni PT HEI (tergugat I) dan PT KPEI (tergugat II) sebagai General
Manager.

Pasal 1457 KUHPerdata menegaskan bahwa jual beli merupakan


persetujuan antara dua pihak yang berbeda, di mana pihak penjual
berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda, dan pihak pembeli wajib
membayar harga. Dalam konteks ini, perbuatan tergugat I yang
melibatkan transfer dana hasil pembayaran kepada tergugat VII dengan
menggunakan set off dianggap tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1425,
1426, dan 1427 KUHPerdata.

Penjelasan logis atas hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pertimbangan Pasal 1457 KUHPerdata: Jual beli, menurut Pasal


1457, melibatkan dua pihak yang berbeda, yakni penjual dan
pembeli. Dalam konteks jual beli aset tergugat I kepada
tergugat II, hakim dapat berpendapat bahwa tergugat I dan
tergugat II, meskipun entitas yang berbeda, terlibat dalam
perjanjian jual beli yang seharusnya melibatkan dua pihak yang
berbeda secara independen.
2. Penilaian terhadap Penggunaan Set Off: Hakim menilai bahwa
penggunaan set off untuk mentransfer dana hasil penjualan
aset tergugat I kepada tergugat VII tidak sesuai dengan
prosedur yang diatur dalam Pasal 1425, 1426, dan 1427
KUHPerdata. Hakim menyatakan bahwa perjumpaan hutang
atau kompensasi tidak terjadi secara otomatis, melainkan harus
diajukan atau diminta oleh pihak yang berkepentingan.

Pernyataan Mariam Darus dalam bukunya "Sidabalok" (2017: 229),


yang mencerminkan pandangan tentang kompensasi yang terjadi secara
otomatis, dapat diterapkan dalam konteks penilaian terhadap dalih
tergugat untuk mengurangi hutang tergugat I kepada krediturnya
melalui set off. Dalam konteks ini, penjelasan logis dapat diberikan
sebagai berikut:

1. Kompensasi yang Terjadi Secara Otomatis: Mariam Darus menyoroti


bahwa kompensasi yang terjadi secara otomatis dapat menciptakan
ketegangan di antara para pihak. Dalam kasus ini, hakim dapat
mempertimbangkan bahwa penggunaan set off oleh tergugat I untuk
mengurangi hutangnya terhadap kreditur seharusnya diajukan terlebih
dahulu sebagai kreditur yang berhak mendapatkan pembayaran.
2. Bukti Homologasi Perdamaian dan Kesaksian Saksi: Bukti P-5 berupa
Putusan Homologasi Perdamaian tergugat I dengan para krediturnya,
bersama dengan kesaksian saksi NMW di persidangan, digunakan
untuk membuktikan bahwa tergugat VII bukan bagian dari kreditur
tergugat I yang berhak menerima pembayaran dari hasil penjualan
aset tergugat I.

E. Kewenangan Pengadilan Niaga


Dalam permasalahan mengenai kewenangan Pengadilan Niaga dalam
memeriksa dan mengadili actio pauliana dalam perkara kepailitan, ada dua
pandangan yang saling bertentangan. Penjelasan logis mengenai
perbedaan pandangan ini dapat diberikan sebagai berikut:

1. Pandangan Pertama: Pengadilan Niaga Tidak Berwenang


● Argumentasi Hukum: Pandangan ini berpendapat bahwa
kewenangan Pengadilan Niaga secara normatif masih terbatas
pada pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran
utang. Oleh karena itu, pengadilan niaga dianggap tidak memiliki
wewenang untuk mengadili perkara actio pauliana dalam konteks
kepailitan.
● Dasar Hukum: Menyusun argumen berdasarkan Pasal-pasal yang
mengatur kewenangan Pengadilan Niaga dan ketentuan hukum
terkait kepailitan.
2. Pandangan Kedua: Pengadilan Niaga Berwenang
● Argumentasi Hukum: Sebaliknya, pandangan ini dapat
berpendapat bahwa Pengadilan Niaga memiliki kewenangan
untuk memeriksa dan mengadili actio pauliana dalam perkara
kepailitan. Argumentasi dapat melibatkan interpretasi yang lebih
luas terkait kewenangan pengadilan niaga dalam menangani
perkara kepailitan.
● Dasar Hukum: Membangun argumen dengan merinci pasal-pasal
dan norma hukum yang mendukung pandangan bahwa
Pengadilan Niaga seharusnya memiliki wewenang untuk
mengadili actio pauliana.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam kasus No: 018


PK/Pdt.Sus/2007 memberikan penjelasan yang logis mengenai mengapa
Pengadilan Niaga dianggap tidak berwenang mengadili perkara actio
pauliana. Penjelasan logis dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kompleksitas Pembuktian Actio Pauliana:


● Argumentasi: Majelis Hakim berpendapat bahwa pembuktian dalam
perkara actio pauliana tidak sederhana. Salah satu syaratnya adalah
menunjukkan bahwa debitur dan pihak terkait mengetahui atau
seharusnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan
menimbulkan kerugian bagi kreditur.
● Penjelasan: Persyaratan ini memunculkan kompleksitas karena
melibatkan unsur pengetahuan dan penilaian subjektif pihak terkait.
Pembuktian apakah suatu pihak sepatutnya mengetahui kerugian
bagi kreditur melibatkan pertimbangan moral dan pengetahuan
faktual yang sulit diukur secara obyektif.

2. Pembuktian yang Tidak Sederhana:


● Argumentasi: Majelis Hakim berkesimpulan bahwa syarat dalam
actio pauliana mengakibatkan pembuktian yang tidak mungkin
dilakukan secara sederhana.
● Penjelasan: Dalam hukum, pembuktian yang tidak sederhana dapat
menjadi faktor yang mempengaruhi kewenangan pengadilan. Dalam
konteks ini, perlu melakukan analisis mendalam tentang
pengetahuan dan penilaian subjektif pihak terkait.

3. Kewenangan Pengadilan Niaga Terbatas:

● Argumentasi: Putusan tersebut juga mencerminkan pandangan


bahwa kewenangan Pengadilan Niaga dalam menangani perkara
kepailitan memiliki batasan tertentu.
● Penjelasan: Mungkin ada pandangan bahwa kewenangan Pengadilan
Niaga lebih tepat untuk perkara yang melibatkan masalah
kebangkrutan yang lebih jelas dan terukur secara finansial.

Pertimbangan tentang kewenangan Pengadilan Niaga yang dibahas


di atas dapat dijelaskan secara logis dengan mempertimbangkan
beberapa aspek hukum dan ketentuan yang relevan:

1. Status Ius Constituendum:

● Argumentasi: Kewenangan Pengadilan Niaga untuk mengadili perkara


di luar pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang
dianggap sebagai ius constituendum, yaitu suatu hukum yang akan
datang.
● Penjelasan: Sebuah hukum yang belum jelas atau ditentukan secara
tegas dalam peraturan saat ini dapat menjadi dasar
ketidakberwenangan Pengadilan Niaga. Jika peraturan pemerintah
belum menentukan kewenangan secara spesifik, Pengadilan Niaga
cenderung mengikuti ketentuan yang sudah ada.

2. Batasan Kewenangan Pengadilan Niaga:

● Argumentasi: Pengadilan Niaga memiliki batasan kewenangan untuk


memeriksa perkara di luar pernyataan pailit dan penundaan kewajiban
pembayaran utang.
● Penjelasan: Dengan menekankan batasan kewenangan, argumen ini
merujuk pada fungsi khusus Pengadilan Niaga yang fokus pada perkara
yang pembuktian hukumnya sederhana. Oleh karena itu, apabila suatu
perkara membutuhkan pembuktian yang kompleks, Pengadilan Niaga
dianggap tidak berwenang.

3. Perbedaan Fungsi Pengadilan Niaga dan Peradilan Umum:

● Argumentasi: Pengadilan Niaga memiliki perbedaan fungsi dengan


peradilan umum, khususnya terkait tingkat kesederhanaan pembuktian.
● Penjelasan: Argumentasi ini mencerminkan bahwa perbedaan fokus
antara Pengadilan Niaga dan peradilan umum membuatnya lebih sesuai
untuk perkara yang pembuktian hukumnya sederhana. Oleh karena itu,
jika sebuah perkara memerlukan pembuktian yang lebih kompleks,
peradilan umum dianggap lebih tepat.

Hukum acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk


“hal-hal lain” adalah sama dengan hukum acara perdata yang berlaku
bagi perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai
pembatasan jangka waktu penyelesaian”.

Telah diatur dalam UUK dan PKPU secara lengkap dan tegas bahwa
Pengadilan Niaga berwenang mengangani perkara actio pauliana.
Dengan diterbitkannya UUK dan PKPU maka perkara actio pauliana
adalah perkara yang berkaitan dengan pemberesan harta pailit, sehingga
Pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
actio pauliana.

F. Putusan Permohonan Actio Pauliana oleh Pengadilan Niaga


Penolakan permohonan actio pauliana oleh Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kekeliruan yang
sebenarnya dilakukan oleh kurator dalam melakukan pengumpulan harta
pailit.

Secara logis, kekeliruan yang dilakukan oleh kurator dalam melakukan


pengumpulan harta pailit dapat menyebabkan permohonan actio pauliana
ditolak oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Hal ini dikarenakan
permohonan actio pauliana hanya dapat diajukan apabila terdapat suatu
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh debitur sebelum dinyatakan
pailit. Perbuatan melawan hukum tersebut harus merugikan kreditur, dan
dilakukan dengan tujuan untuk merugikan kreditur.

Dalam hal kurator melakukan kekeliruan dalam melakukan


pengumpulan harta pailit, maka hal tersebut dapat diartikan bahwa kurator
tidak memenuhi kewajibannya untuk mengumpulkan harta pailit demi
kepentingan kreditur. Kekeliruan tersebut dapat berupa keliru dalam
mengidentifikasi harta pailit, keliru dalam menentukan nilai harta pailit, atau
keliru dalam melakukan pengelolaan harta pailit.

Berikut adalah beberapa contoh kasus penolakan permohonan actio


pauliana oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada masa berlakunya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang disebabkan oleh kekeliruan
yang sebenarnya dilakukan oleh kurator dalam melakukan pengumpulan
harta pailit: Putusan Nomor 02/PDT.SUS-ACTIO
PAULIANA/2014/PN.NIAGA.JKT.PST

Pada kasus ini, kurator mengajukan permohonan actio pauliana


terhadap penjualan aset tanah dan bangunan milik debitur yang dilakukan
oleh debitur sebelum dinyatakan pailit. Kurator berpendapat bahwa
penjualan aset tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang
merugikan kreditur, karena aset tersebut memiliki nilai yang cukup tinggi
untuk digunakan untuk membayar utang debitur.

Namun, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan tersebut.


Pengadilan berpendapat bahwa penjualan aset tersebut telah dilakukan
sebelum debitur dinyatakan pailit, dan kurator telah mengakui bahwa
penjualan tersebut telah dilakukan secara sukarela oleh debitur. Oleh
karena itu, Pengadilan berpendapat bahwa penjualan aset tersebut tidak
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.

- Putusan Nomor 24/PDT.SUS.GLL-ACTIO


PAULIANA/2018/PN.NIAGA.JKT.PST

Pada kasus ini, kurator mengajukan permohonan actio pauliana


terhadap pelepasan hak atas jaminan fidusia yang dilakukan oleh debitur
yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit. Kurator berpendapat bahwa
pelepasan hak tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang
merugikan kreditur, karena jaminan fidusia tersebut dapat digunakan untuk
menagih hutang debitur.

Namun, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan


tersebut. Pengadilan berpendapat bahwa pelepasan hak tersebut telah
dilakukan secara sukarela oleh debitur, dan kurator tidak dapat
membuktikan bahwa pelepasan hak tersebut dilakukan dengan tujuan
untuk merugikan kreditur.

Berdasarkan contoh-contoh kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa


kekeliruan yang sebenarnya dilakukan oleh kurator dalam melakukan
pengumpulan harta pailit dapat menjadi dasar bagi Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat untuk menolak permohonan actio pauliana. Oleh karena itu,
kurator harus berhati-hati dalam melakukan pengumpulan harta pailit, agar
permohonan actio pauliana yang diajukannya dapat diterima oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Permohonan actio pauliana yang ditolak oleh Pengadilan Niaga tersebut


terdapat dalam William E. Daniel kurator PT Ometraco Multi Arta v. PT
Ometraco Multi Arta, dkk. Permohonan ini berawal dari perbuatan PT
Ometraco Multi Arta selaku debitor yang menyetujui pelunasan utang PT
Duta Trada Internusa sebesar Rp 43.976.666.974,00 yang telah jatuh
tempo pada 23 Februari 1998, 26 Januari 1998 dan 10 Maret 1998 dengan
cara menerima penyerahan kepemilikan obligasi PT Ekagunatama Mandiri
dengan nilai nominal Rp 12.006.000.000,00 berikut kupon bunga sebesar
Rp 132.232.750,00 dan kepemilikan obligasi PT Ciputra Surya I dengan nilai
nominal sebesar Rp 31.000.000.000,00 berikut kupon bunga sebesar Rp
775.000.000,00 dengan memperhitungkan obligasi-obligasi berdasarkan
keseluruhan nilai nominalnya sebesar Rp 43.913.232.750,00 nilainya hanya
dapat dicairkan pada saat jatuh tempo obligasi-obligasi tersebut yaitu 28
Juli 2002, untuk obligasi PT Citra Surya I, dan 25 Juni 2003 untuk obligasi
PT Eka Gunatama Mandiri. Menurut prinsip yang berlaku dalam praktik
perdagangan obligasi, obligasi yang belum jatuh tempo seharusnya dinilai
berdasarkan nilai pasarnya pada saat obligasi tersebut dialihkan atau dijual.

Berdasarkan nilai pasar obligasi PT Citra Surya I adalah 17,5% dari nilai
nominalnya dan nilai pasar obligasi PT Eka Gunatama Mandiri adalah 31,5%
dari nilai nominalnya, sehingga seharusnya pada saat itu yang dapat
dianggap sebagai pelunasan utang hanyalah sebesar Rp 9.342.515.000,00
bukan Rp 43.976.666.974,00. Tindakan debitur PT Ometraco Multi Artha
yang menghargai obligasi-obligasi sebesar 100% dari nilai nominalnya
merupakan tindakan yang melanggar kepatutan dan kebiasaan. Debitor
dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui tindakannya yang
menghapuskan utang PT Duta Trada Internusa adalah merugikan
kepentingan para kreditor PT Ometraco Multi Arta. Terhadap permohonan
actio pauliana tersebut Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan untuk
menolaknya. Selanjutnya William E. Daniel selaku kurator mengajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pada
tingkat kasasi memutuskan menolak permohonan kurator dengan
pertimbangan judex factie tidak salah menerapkan hukum.

Permasalahan yang ada adalah utang PT Duta Trada Internusa kepada


PT Ometraco Multi Artha yang telah disetujui pelunasannya dan jatuh
tempo pada 23 Februari 1998, 26 Januari 1998 dan 10 Maret 1998. Debitor
PT Ometraco Multi Artha pada 13 November 1998 dinyatakan pailit.

Kurator debitor telah menjual atau mengeksekusi obligasi-obligasi


tersebut di bawah harga melalui pialang PT Citramas Securindo dan pialang
PT Sentra Investindo seharga Rp 8.157.182.750,00, sehingga harga tidak
sesuai dengan harga yang disetujui oleh debitor PT Ometraco Multi Artha
dan PT Duta Trada Internusa, sehingga mengakibatkan kerugian bagi
kreditor PT Ometraco Multi Artha. Mahkamah Agung berpendapat
seharusnya kurator memberitahukan terlebih dahulu kepada PT Ometraco
Multi Artha dan PT Duta Trada Internusa atau mengembalikan obligasi-
obligasi tersebut atau kurator menunggu sampai obligasi jatuh tempo,
sehingga akan terlihat apakah tindakan PT Ometraco Multi Artha dan PT
Duta Trada Internusa merugikan kreditor-kreditornya atau tidak. Kurator
tidak seharusnya mengajukan actio pauliana setelah kurator sendiri menjual
obligasi-obligasi tersebut. Apa yang dilakukan oleh PT Ometraco Multi Artha
dan PT Duta Trada Internusa tidak terbukti telah merugikan kepentingan
kreditor.
Pada kasus yang lain actio pauliana diajukan oleh kurator, karena
kurator menemukan bukti debitor melakukan perbuatan yang telah
merugikan harta pailit. Namun, Mahkamah Agung menolak memeriksa actio
pauliana yang diajukan oleh kurator, sebab actio pauliana sebagai
pembatalan perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit dengan
pihak ketiga, merupakan suatu sengketa yang penyelesaiannya harus
dilakukan melalui suatu gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri, dan
suatu permohonan tidak lah merupakan suatu sengketa. Pandangan
Mahkamah Agung tersebut terdapat dalam Tuti Simorangkir, Kurator PT
Fiskaragung Perkasa Tbk. v. PT Fiskaragung Perkasa Tbk. dkk.

Permohonan ini berawal ketika kurator melakukan pemeriksaan


seksama atas seluruh aset maupun dokumen perjanjian yang dibuat antara
debitor yakni PT Fiskaragung Perkasa Tbk. dengan pihak ketiga. Kurator
mencurigai debitor melakukan perbuatan yang telah merugikan harta pailit.
Perbuatan yang dimaksud adalah ditandatanganinya perjanjian utang
antara debitor dengan Catnera International Limited selaku kreditor dengan
jumlah utang pokok sebesar US $ 3.000.000,00 pada 1 Maret 1999.
Selanjutnya debitor memberikan jaminan pelunasan utang kepada Catnera.
Dengan menandatangani perjanjian jaminan dengan Catnera merupakan
perbuatan curang yang sangat merugikan para kreditor lainnya.

Sekiranya debitor tidak menandatangani perjanjianperjanjian jaminan


tentunya Catnera akan berada pada posisi yang sama atau sederajat
dengan para kreditor lainnya, sehingga seluruh harta pailit akan dapat
dibagi secara proporsional di antara seluruh kreditor. Adanya perjanjian
jaminan Catnera akan memiliki privilege, karena atas piutangnya Catnera
mendapat jaminan yang dapat dieksekusi tanpa harus dibagi dengan para
kreditor lainnya padahal jumlah piutang Catnera hanya US $ 3.000.000,00.
Jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan piutang para
pemegang medium term note, yang jumlah pokoknya saja mencapai US $
29.000.000,00. Pengadilan Niaga memutuskan menolak permohonan actio
pauliana yang diajukan kurator dan menyatakan Catnera Internasional
Limited adalah kreditor separatis yang sah dari Fiskaragung Perkasa Tbk.
Selanjutnya kurator mengajukan permohonan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang
diajukan kurator dengan pertimbangan, kurator tidak dapat dibenarkan
menarik debitor sebagai pihak atau termohon dalam permohonan a quo,
karena menurut logika hukum adalah tidak tepat apabila seorang curator
menuntut atau menggugat pihak yang diwakilinya. Terhadap putusan
Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, kurator mengajukan peninjauan
kembali. Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali menyatakan
keberatan kurator dapat dibenarkan, karena putusan tingkat kasasi terdapat
kesalahan berat. Permohonan yang diajukan oleh kurator adalah
pembatalan perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit dengan
pihak ketiga atau actio pauliana, sehingga dengan belum diperiksanya
pokok perkara seharusnya Mahkamah Agung menyatakan permohonan
kurator tidak dapat diterima.

Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali berpendapat sesuai


dengan Pasal 280 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998,
kewenangan Pengadilan Niaga hingga saat ini adalah memeriksa dan
memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban
pembayaran utang serta permohonan lain yang berkaitan dengan
permohonan pernyataan pailit. Pembatalan perbuatan hukum debitor yang
telah dinyatakan pailit dengan pihak ketiga atau actio pauliana, seperti
halnya dengan pembatalan perbuatan hukum lainnya, merupakan suatu
sengketa yang penyelesaiannya harus dilakukan melalui suatu gugatan
perdata di Pengadilan Negeri, sedangkan suatu permohonan tidak
merupakan sengketa. Oleh karena itu permohonan pembatalan perbuatan
hukum debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat diajukan ke
Pengadilan Niaga, melainkan ke Pengadilan Negeri menurut ketentuan
hukum acara perdata yang berlaku bagi Pengadilan Negeri.

Permohonan actio pauliana kepada Pengadilan Niaga diajukan oleh


kurator terhadap perbuatan hukum yang tidak diwajibkan berdasarkan
Undang-Undang maupun perjanjian. Perbuatan hukum itu dilakukan oleh
debitor dengan pihak ketiga. Akibat perbuatan hukum tersebut, pihak
ketiga memperoleh kedudukan istimewa di antara para kreditor lain, tanpa
adanya tambahan prestasi yang diterima oleh debitor. Dalil tersebut ada
dalam R. Astuti Sitanggang, kurator Eddy Ondrawinata v. Soesanto
Soetrisno.

Permohonan ini berawal ketika Eddy Ondrawinata selaku debitor yang


oleh Pengadilan Niaga telah dinyatakan pailit dalam putusan Pengadilan
Niaga Nomor 27/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt.Pst. Akibat adanya pernyataan
pailit tersebut, maka sejak 9 Oktober 2002 kurator berwenang untuk
melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta debitor.
Kurator dalam rangka melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan
harta pailit melakukan pendataan kewajiban debitor dan juga harta pailit
debitor yang ternyata hanya berupa sebidang tanah setempat yang dikenal
dengan Taman Permata Buana, Jalan Pulo Bira Blok A8, Kelurahan
Kembangan Utara, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, seluas 250 m²
yang telah diserahkan kepada Susanto Soetrisno sebagai jaminan
pembayaran yang jatuh temponya 9 Januari 2003.

Debitor dengan Susanto Soetrisno memiliki hubungan pinjam


meminjam uang dengan bunga 4,5% per bulan dengan jumlah utang pokok
dan bunga sebesar Rp 1.400.000.000,00. Sebagai jaminan atas
pembayaran utang, debitor telah menyerahkan kepada Susanto Soetrisno
tiga lembar bilyet giro Bank Central Asia dengan nominal Rp
500.000.000,00 yang jatuh temponya 9 Februari 2002, nominal Rp
735.000.000,00 yang jatuh temponya 9 Mei 2002, dan nominal Rp
50.000.000,00 yang jatuh temponya 9 Juni 2002.

Perbuatan debitor menjaminkan sebidang tanah dengan memberi


kuasa kepada Susanto Soetrisno adalah perbuatan yang tidak wajib, baik
berdasarkan Undang-Undang maupun perjanjian antara debitor dan
Susanto Soetrisno. Tindakan debitor menambah jaminan dan memberi
kuasa kepada Susanto Soetrisno selain tidak diwajibkan juga telah
menyebabkan Susanto Soetrisno memperoleh kedudukan istimewa di
antara para kreditor lain, tanpa tambahan prestasi dari Susanto Soetrisno.
Hal ini menjadikan para kreditor lain mengalami kerugian karena tanah
yang menjadi jaminan merupakan satu-satunya harta pailit.

Akibatnya, ketika debitor dinyatakan pailit ia tidak lagi memiliki harta


pailit. Tindakan debitor yang menghapuskan utang Susanto Soetrisno
dilakukan kurang lebih tiga bulan sebelum debitor dinyatakan pailit atau
pada saat debitor seharusnya dan sepatutnya telah mengetahui dan
menyadari keadaan keuangannya, serta debitor sedang menghadapi
tagihan atau tuntutan dari para kreditornya untuk pelunasan utangnya.

Dengan demikian, sudah seharusnya dan sepatutnya debitor dan


Susanto Soetrisno mengetahui dan menyadari tindakan debitor untuk
menghapuskan piutang Susanto Soetrisno tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi para kreditor lainnya. Terhadap permohonan actio pauliana
oleh kurator, Pengadilan Niaga mengambil putusan pada 8 Juli 2003, yaitu
menolak permohonan actio pauliana dari kurator.

Terhadap putusan Pengadilan Niaga kurator mengajukan permohonan


kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memberikan putusan
mengabulkan permohonan kurator dengan pertimbangan judex factie telah
salah menerapkan hukum, terutama ketentuan Pasal 41 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998. Tindakan debitor pailit yang mengalihkan tanahnya
seluas 250 m² yang terletak di Taman Permata Buana, Kecamatan
Kembangan guna pemenuhan utangnya kepada Susanto Soetrisno yang
dilakukan dalam kurun waktu satu tahun sebelum pernyataan pailit, telah
merugikan para kreditor dari debitor pailit.

Selain itu debitor telah melakukan penjualan terhadap empat buah


ekskavator dan telah menerima uang sejumlah Rp 1.500.000.000.000,00.
Uang tersebut tidak semua dibayarkan kepada Susanto Soetrisno, namun
dilakukan dengan menyerahkan bilyet giro yang ternyata tidak memiliki
cukup dana meskipun sebenarnya debitor memiliki uang yang cukup dari
hasil penjualan ekskavator. Dengan demikian debitor sengaja melakukan
pembayaran, tidak dengan uang tunai tetapi dengan cara mengalihkan
tanahnya. Terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi itu,
Susanto Soetrisno mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung. Permohonan tersebut ditolak dengan pertimbangan
bahwa keberatan-keberatan yang diajukan tidak dapat dibenarkan, karena
di dalam putusan kasasi yang dimohonkan peninjauan kembali tidak
terdapat kesalahan berat dalam penerapan hukum.
Pendapat hakim Mahkamah Agung yang menolak permohonan actio
pauliana diajukan ke Pengadilan Niaga akan menjadikan pemberesan harta
pailit menjadi semakin lama. Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan
permohonan actio paulina merupakan kewenangan peradilan umum dapat
menyebabkan proses pemberesan harta pailit terpisah-pisah, yang
seharusnya dapat diselesaikan melalui suatu proses di Pengadilan Niaga.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Tuti Simorangkir kurator PT Fiskaragung
Perkasa Tbk. v. PT Fiskaragung Perkasa Tbk. dkk., tidak diikuti oleh
putusan Mahkamah Agung lainnya yang menerima dan memeriksa
permohonan actio pauliana diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga,
sebagaimana terlihat dalam R. Astuti Sitanggang, kurator Eddy Ondrawinata
v. Soesanto Soetrisno yang telah diuraikan di atas.

Pendapat Mahkamah Agung dalam Tuti Simorangkir kurator PT


Fiskaragung Perkasa Tbk. v. PT Fiskaragung Perkasa Tbk. dkk.,
menunjukkan Undang-Undang Kepailitan harus mempertegas pengaturan
permohonan actio pauliana kepada Pengadilan Niaga, dan mengatur pula
hukum acara pembuktian serta tenggang waktu penyelesaian yang cukup.
Hal ini mengingat actio pauliana melibatkan kepentingan pihak ketiga yang
harus diberikan kesempatan untuk membela kepentingannya dengan baik.

Actio Pauliana adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur
untuk membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang
merugikan kepentingan kreditur. Perbuatan hukum yang dapat dibatalkan
melalui actio pauliana adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur
dengan sengaja untuk merugikan kreditur, seperti penghibahan harta
kepada pihak lain, penjualan harta dengan harga yang jauh di bawah nilai
wajar, atau melakukan perjanjian tidak wajar dengan pihak lain.

Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), actio pauliana
diatur dalam Pasal 132 sampai dengan Pasal 137. Pasal 132 UU Kepailitan
menyatakan bahwa actio pauliana dapat diajukan oleh kreditur, baik secara
individu maupun bersama-sama, terhadap perbuatan hukum yang
merugikan kepentingan harta pailit.
Pasal 133 UU Kepailitan menentukan bahwa actio pauliana diputuskan
oleh Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat
kedudukan hukum debitor. Pasal 134 UU Kepailitan menentukan bahwa
jangka waktu pengajuan actio pauliana adalah 3 tahun sejak tanggal
perbuatan hukum dilakukan.

G. Beberapa Kendala Penerapan Actio Pauliana


Pada tingkat konseptual dan praktikal, implementasi undang-undang
kepailitan, terutama dalam konteks actio pauliana, seringkali dihadapkan
pada sejumlah tantangan yang dapat mempersulit perlindungan
kepentingan kreditor. Beberapa alasan yang dapat mempengaruhi
efektivitas Actio Pauliana, serta potensi hambatan dalam pembuktian,
dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kompleksitas Pembuktian Actio Pauliana:

Pembuktian dalam kasus Actio Pauliana seringkali lebih


kompleks dibandingkan dengan pembuktian dalam konteks
kepailitan biasa. Proses pembuktian harus menunjukkan dengan
jelas niat debitur untuk merugikan kreditur, yang memerlukan
bukti konkret terkait niat buruk tersebut.

2. Perbedaan Pembuktian dalam Kepailitan:

Tuntutan Actio Pauliana memerlukan bukti khusus terkait niat


buruk dan tujuan tertentu dari perbuatan hukum yang
merugikan kreditur. Hal ini berbeda dengan proses pembuktian
sederhana dalam kepailitan yang dapat lebih fokus pada fakta-
fakta umum terkait kegagalan debitur untuk melunasi hutang.

3. Kesulitan Penanganan di Pengadilan:

Kompleksitas pembuktian Actio Pauliana dapat menyebabkan


penanganan perkara kepailitan menjadi lebih rumit di
pengadilan. Penyelesaian perkara yang berlarut-larut dapat
merugikan para kreditur yang berharap mendapatkan
pemulihan secepat mungkin.

4. Transfer Harta oleh Debitur:


Praktek umum di mana debitur langsung memindahkan aset
atau rekening bank setelah dinyatakan pailit dapat memberikan
hambatan tambahan. Upaya ini dapat merugikan proses
pemberesan harta oleh kurator dan meningkatkan risiko
kerugian bagi kreditur.

Penyimpangan praktik hukum terkait kepemilikan aset badan hukum


yang dipertahankan atas nama pribadi pemegang saham, serta perikatan-
perikatan yang dilakukan secara back date, seringkali dapat terjadi karena
beberapa kelemahan dalam penegakan hukum, terutama terkait Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Beberapa
poin yang dapat dijelaskan secara logis adalah sebagai berikut:

1. Aspek Lemahnya Penegakan Hukum:

Praktik penyimpangan semacam itu dapat terjadi karena adanya


celah atau kelemahan dalam penegakan hukum, terutama
terkait dengan pemantauan dan penegakan ketentuan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1982. Lemahnya penegakan hukum
dapat menciptakan lingkungan di mana praktik-praktik yang
merugikan dapat berkembang tanpa kendali.

2. Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan:

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 mengatur kewajiban


perusahaan untuk menyampaikan laporan keuangan audit
tahunan. Namun, kurangnya ketegasan dalam penegakan
kewajiban ini dapat memberikan peluang bagi perusahaan
untuk menghindari keterbukaan yang seharusnya terjadi,
termasuk dalam hal kepemilikan aset.

3. Praktik Back Dating:

Back dating perikatan dapat menciptakan ilusi kepemilikan aset


pada tanggal-tanggal tertentu, menyulitkan pihak otoritas dan
kreditur untuk melacak transaksi yang sebenarnya. Praktik ini
mungkin tidak terdeteksi tanpa adanya pengawasan dan audit
yang efektif.

4. Perlunya Reformasi Hukum:


Melihat masalah ini, reformasi hukum dalam konteks Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1982 dan peraturan terkaitnya
mungkin diperlukan. Peningkatan sanksi, ketegasan dalam
penegakan kewajiban laporan keuangan, dan perbaikan dalam
sistem pemantauan dapat membantu mencegah praktik-praktik
yang merugikan.

Kurator mengalami kesulitan untuk dapat mengakses dokumen yang


dimiliki oleh debitor. Dalam perkara Ibist, dokumen-dokumen dibawa pergi
oleh Wandi Sofian, sehingga kurator sama sekali tidak mengetahui
besarnya harta kekayaan Ibist. Sementara itu sejumlah harta kekayaan
Ibist telah disita oleh Pengadilan Negeri Bandung dengan Penetapan
Nomor 36/Pen.Pid/2007/PN.Bdg pada 5 Januari 2007 untuk keperluan
pembuktian dalam perkara pidana. Masih dalam perkara Ibist, taksiran
terhadap nilai harta pailit terlalu kecil, dan adanya upaya debitor untuk
menghindari kewajibannya.

Tindakan yang dilakukan oleh debitor dengan maksud untuk merugikan


kepentingan kreditor sebelum putusan pernyataan pailit biasanya
dilakukan dengan cara memecah tagihan ’inter company loan’ dengan
menggunakan ketentuan cessie dalam Pasal 613 Burgerlijk Wetboek.

Pada tahap implementasi rencana restrukturisasi keuangan, pihak


advokat debitor sering kali cenderung bersikap berlebih-lebihan dalam
melindungi kepentingan debitor dan asetnya. Fenomena ini dapat
dijelaskan sebagai suatu bentuk tindakan yang melampaui batas dalam
menjamin perlindungan terhadap debitor. Salah satu pendekatan yang
umum dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan kepada kreditor-
kreditor tertentu dan menawarkan kompensasi tertentu sebagai bagian
dari strategi restruktur.

Debitor mungkin memilih untuk membayar sebagian dari utang atau


tagihan kepada kreditor-kreditor tertentu sebagai tindakan persuasif.
Dalam beberapa kasus, perusahaan terafiliasi debitor dapat mengambil
alih pembayaran utang tersebut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
dukungan yang lebih besar dalam rapat-rapat kreditor dan voting rapat
kreditor yang krusial dalam proses restrukturisasi.
Selain itu, debitor mungkin juga mencoba mempengaruhi pemegang
saham atau afiliasinya untuk membeli tagihan-tagihan kreditor melalui
Special Purpose Vehicle (SPV) dengan harga yang telah disepakati. SPV ini
kemudian akan menjadi kreditor "baru" yang akan hadir dalam rapat-rapat
kreditor. Dengan cara ini, debitor dapat mengendalikan sebagian besar
pemegang tagihan dan meningkatkan peluang suksesnya dalam meraih
persetujuan dari para kreditor.

Secara logis, tindakan ini dapat diinterpretasikan sebagai strategi taktis


untuk memastikan dukungan maksimal dari pihak-pihak yang terlibat
dalam proses restrukturisasi. Namun, perlu diingat bahwa pendekatan ini
tidak selalu berhasil dan dapat menimbulkan kontroversi terkait etika dan
transparansi dalam proses restrukturisasi.

Pada konteks restrukturisasi keuangan dengan menggunakan strategi-


strategi yang mengarah pada overprotection terhadap debitor, terutama
terkait tagihan-tagihan yang timbul dari surat berharga atas tunjuk,
seringkali menghadirkan tantangan serius dalam pembentukan dan
efektivitas panitia kreditor. Metode-metode yang diuraikan di atas,
khususnya jika terjadi penghapusan atau penutupan transaksi yang tidak
dicatat dalam pembukuan debitor, dapat menciptakan hambatan signifikan
bagi terbentuknya panitia kreditor yang independen dan efektif.

Pertama-tama, strategi overprotection dengan mempengaruhi kreditor-


kreditor tertentu untuk tidak mencatat tagihan dalam pembukuan dapat
menciptakan panitia kreditor yang seolah-olah terdiri dari "teman debitor."
Hal ini dapat menghambat transparansi dan independensi panitia kreditor,
karena anggota-anggotanya mungkin memiliki kepentingan pribadi atau
afiliasi dengan debitor.

Selanjutnya, kesulitan yang dihadapi oleh kurator untuk mendeteksi


praktik-praktik semacam ini dapat menjadi kendala serius. Kurator
mungkin menghadapi kesulitan dalam memperoleh informasi yang akurat
dan komprehensif terkait transaksi-transaksi yang tidak dicatat secara
resmi. Oleh karena itu, potensi tindakan actio pauliana, yang seharusnya
menjadi sarana bagi kurator untuk mencegah atau membatalkan
tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan kreditur, bisa sulit
dilaksanakan.

Dalam konteks ini, Undang-Undang Kepailitan memberikan wewenang


kepada kurator untuk melindungi kepentingan kreditur dan mencegah
praktek-praktek yang dapat merugikan mereka. Namun, keterbatasan
akses informasi dan potensi ketidaksetujuan dari pihak yang terlibat dapat
menjadi hambatan serius dalam implementasi efektif dari peraturan
tersebut.

Kesulitan dalam mendeteksi keberadaan harta debitor pailit seringkali


terkait dengan minimnya tingkat partisipasi dan pemahaman yang
seragam dari berbagai pihak yang terlibat, termasuk nasabah, kepolisian,
kejaksaan, dan perbankan. Tidak adanya kesepahaman bersama dalam
interpretasi Undang-Undang Kepailitan menjadi salah satu hambatan
utama yang mengakibatkan perbedaan pandangan antara pihak-pihak
yang terlibat, seperti hakim Pengadilan Niaga, hakim pengawas, dan
lembaga eksternal seperti perbankan, Direktorat Jenderal Pajak, dan
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara.

Salah satu contoh nyata dari hambatan ini adalah kesenjangan dalam
pemahaman mengenai tugas dan hubungan antara hakim Pengadilan
Niaga, hakim pengawas, dan pihak eksternal. Kekurangjelasan ini dapat
menciptakan ketidakseimbangan dalam pelaksanaan Undang-Undang
Kepailitan, mengakibatkan perbedaan pendekatan dan tingkat partisipasi
yang minim dari pihak-pihak terkait.

Sebagai contoh konkret, kurator sebagai perwakilan kepentingan


kreditur seringkali menghadapi kesulitan dalam mengakses informasi
terkait rekening debitor pailit di bank. Salah satu alasan utama adalah
adanya ketentuan rahasia bank yang membatasi akses terhadap informasi
tersebut. Hal ini dapat menciptakan hambatan serius dalam pengumpulan
data yang diperlukan untuk menilai dan mengelola aset debitor pailit
secara efektif.

Kondisi di mana kurator menghadapi kesulitan dalam bekerja sama


dengan pihak perbankan terkait pemblokiran rekening debitor pailit
menciptakan dilema serius. Fenomena ini mencerminkan ketidakselarasan
antara kebutuhan hukum dan praktik lapangan, yang kemudian
menghadirkan tantangan nyata dalam pelaksanaan Undang-Undang
Kepailitan.

Pertama-tama, kurator dihadapkan pada dilema moral dan praktis. Jika


pemblokiran rekening tidak diajukan, kurator berisiko melanggar
ketentuan Bank Indonesia dan berpotensi dihadapkan pada sanksi pidana.
Di sisi lain, ketika permohonan pemblokiran diajukan, pihak bank dapat
menolak atau mengabaikannya. Hal ini menciptakan kebuntuan di mana
kurator merasa terjebak antara kewajiban hukum dan kendala operasional
dalam melaksanakan tugasnya.

Ketidakpatuhan pihak bank terhadap permohonan pemblokiran juga


dapat menghambat proses pemberesan aset debitor pailit, karena akses
terhadap dana yang terdapat dalam rekening tidak dapat dijamin. Hal ini
tidak hanya merugikan para kreditur, tetapi juga menghambat efisiensi
sistem hukum kepailitan.

Selain itu, ketentuan masa kadaluarsa hak tagih pajak selama sepuluh
tahun menciptakan kendala tambahan bagi kurator. Kewajiban untuk
menunggu masa kadaluwarsa tersebut sebelum membagikan hasil
pemberesan kepada kreditor konkuren menghambat proses distribusi yang
lebih cepat dan efisien. Hal ini dapat merugikan kreditor dan
memperlambat pemulihan keuangan debitor pailit.

Secara logis, kendala-kendala ini menciptakan perlunya evaluasi


mendalam terhadap regulasi dan praktik pelaksanaan Undang-Undang
Kepailitan, dengan tujuan menyelaraskan kebutuhan hukum dan praktik
bisnis. Diperlukan upaya kolaboratif antara lembaga-lembaga terkait untuk
memastikan bahwa kebijakan dan regulasi yang ada mendukung
kelancaran pelaksanaan hukum kepailitan.

H. Upaya Hukum Terhadap Putusan Mengenai Actio Pauliana


Dalam konteks upaya hukum terhadap putusan mengenai Actio
Pauliana dalam perkara kepailitan, perlu dipahami bahwa konsep ini
merujuk pada ketentuan Pasal 1341 KUH Perdata yang mengatur mengenai
pembatalan perbuatan hukum yang merugikan kreditur. Meskipun Actio
Pauliana sendiri telah diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata, terdapat
ketentuan khusus yang terkait dengan perkara kepailitan.

Pasal 1341 KUH Perdata menyatakan bahwa kreditur berhak untuk


mengajukan pembatalan terhadap tindakan yang dilakukan oleh debitur
yang tidak diwajibkan dan merugikan kreditur, asalkan dapat dibuktikan
bahwa saat tindakan tersebut dilakukan, debitur dan pihak yang terkait
dengannya mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi kreditur. Ketentuan ini menekankan pada unsur pengetahuan
debitur dan pihak terkait tentang dampak merugikan tindakan tersebut
terhadap kreditur.

Dalam konteks perkara kepailitan, Actio Pauliana menjadi lebih


kompleks karena melibatkan situasi di mana debitur telah dinyatakan pailit.
Oleh karena itu, upaya hukum terhadap putusan mengenai Actio Pauliana
pada perkara kepailitan cenderung mencari keadilan bagi kreditur yang
mungkin telah dirugikan oleh tindakan debitur setelah dinyatakan pailit.

Secara logis, upaya hukum terhadap putusan Actio Pauliana dalam


perkara kepailitan memerlukan pembuktian yang kuat terkait pengetahuan
debitur dan pihak terkait tentang dampak merugikan tindakan tersebut
terhadap kreditur. Dalam konteks ini, literatur hukum dan penelitian
tentang Actio Pauliana, khususnya dalam perkara kepailitan, dapat
memberikan wawasan yang mendalam tentang aplikasi praktis dan
interpretasi hukum yang relevan.

Pasal 1341 KUH Perdata menetapkan suatu prinsip hukum yang


mendasar terkait dengan hak kreditur untuk meminta pembatalan
perjanjian yang dilakukan oleh debitur dengan pengetahuan bahwa
perjanjian tersebut merugikan para kreditur. Pasal ini menciptakan dasar
hukum yang kuat untuk melindungi kepentingan kreditur dan mencegah
tindakan-tindakan yang dapat merugikan mereka. Mari kita telusuri secara
logis prinsip yang terkandung dalam Pasal 1341 KUH Perdata ini.

Prinsip dasar dalam Pasal 1341 KUH Perdata adalah hak setiap orang
yang memberikan utang (kreditur) untuk meminta pembatalan perjanjian
yang dilakukan oleh orang yang menerima utang (debitur), asalkan
perjanjian tersebut dilakukan dengan pengetahuan bahwa tindakan
tersebut merugikan para kreditur. Dalam konteks ini, ketentuan ini
memberikan perlindungan hukum yang kuat kepada kreditur agar mereka
tidak dirugikan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh debitur dengan
sengaja merugikan kepentingan para kreditur.

Sebagai contoh, ketika seorang debitur melakukan perjanjian dengan


pengetahuan bahwa tindakan tersebut dapat merugikan para kreditur, Pasal
1341 KUH Perdata memberikan hak kepada setiap kreditur yang merasa
dirugikan untuk meminta pembatalan perjanjian tersebut. Penting untuk
dicatat bahwa Pasal 1341 KUH Perdata memberikan hak ini tanpa
memberikan keharusan kepada kreditur untuk melakukan tindakan
pembatalan. Dengan kata lain, hak ini bersifat fakultatif, memungkinkan
kreditur untuk memutuskan apakah akan mengajukan pembatalan
perjanjian atau tidak.

Secara logis, Pasal 1341 KUH Perdata menciptakan keseimbangan


antara perlindungan terhadap hak-hak kreditur dan fleksibilitas dalam
penentuan tindakan hukum yang diambil oleh kreditur. Prinsip ini secara
efektif mengakui pentingnya keadilan dan keberlanjutan hubungan hukum
antara pemberi utang dan penerima utang.

Pasal 1341 KUH Perdata memberikan landasan hukum untuk Actio


Pauliana, yaitu tuntutan yang diajukan oleh seseorang yang memberikan
utang (kreditur) kepada hakim. Dalam konteks ini, Actio Pauliana adalah
instrumen hukum yang memungkinkan kreditur untuk meminta pembatalan
perjanjian yang merugikan para kreditur yang dilakukan oleh debitur. Untuk
mendukung tuntutan Actio Pauliana, terdapat persyaratan bukti yang perlu
dipenuhi di muka hakim.

Pertama-tama, penggugat harus membuktikan bahwa perbuatan yang


dilakukan oleh debitur secara nyata merugikan kepentingan para kreditur.
Artinya, ada keharusan untuk menunjukkan bahwa tindakan debitur
tersebut benar-benar merugikan hak-hak kreditur yang memberikan utang.
Ini menciptakan dasar logis untuk tuntutan, karena hakim harus meyakini
bahwa tindakan debitur secara substantif merugikan kepentingan para
kreditur.
Kedua, bukti harus menunjukkan bahwa kedua pihak yang terlibat,
yaitu debitur dan pihak terkait dengannya, mengetahui bahwa tindakan
tersebut akan merugikan para kreditur. Ini menciptakan unsur pengetahuan
bersama tentang dampak merugikan tindakan tersebut terhadap kreditur.
Dengan kata lain, tindakan tersebut tidak hanya merugikan, tetapi juga
dilakukan dengan kesadaran akan konsekuensinya terhadap para kreditur.

Dalam hal perbuatan-perbuatan dengan percuma, seperti pemberian


barang (schenking), Pasal 1341 KUH Perdata memberikan kelonggaran.
Dalam konteks ini, cukup dibuktikan bahwa saat si berutang melakukan
perbuatannya, ia mengetahui bahwa tindakannya itu merugikan para
kreditur. Penting untuk dicatat bahwa tidak perlu membuktikan bahwa
penerima pemberian (si berutang) juga mengetahui bahwa dengan
pemberian tersebut, si pemberi (orang yang memberikan barang)
merugikan para kreditur.

Secara logis, ketentuan ini menciptakan keseimbangan antara


perlindungan hak kreditur dan kejelasan dalam memenuhi persyaratan
bukti. Prinsip ini mendukung keadilan dengan menempatkan tanggung
jawab pembuktian pada pihak yang memiliki pengetahuan langsung
tentang tindakan yang merugikan.

Penting untuk menekankan bahwa dalam konteks pembatalan


perjanjian atau perbuatan hukum, yang dimaksud adalah pembatalan
(annulment) dan bukan batal demi hukum (void). Prinsip ini melibatkan
pemahaman terhadap sifat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata bersamaan dengan Pasal 1338
KUH Perdata.

Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa "setiap perjanjian yang dibuat
oleh orang yang bukan pengurus atau wakilnya yang sah, atau yang dibuat
oleh seorang pengurus atau wakilnya yang sah tetapi di luar kekuasaan
yang diberikan kepadanya atau melebihi kekuasaan yang diberikan
kepadanya, adalah batal demi hukum." Namun, ketika kita berbicara
tentang pembatalan perjanjian, kita merujuk pada situasi di mana
perjanjian tersebut dapat dibatalkan, tetapi tidak otomatis dinyatakan batal
demi hukum.

Prinsip dasar ini kembali kepada Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa "suatu perjanjian tidak hanya mengikat pihak-pihak
yang membuatnya, tetapi juga mengikat turunan mereka." Artinya,
perjanjian yang sah memiliki kekuatan mengikat antara pihak-pihak yang
terlibat dan pihak-pihak yang berasal daripada mereka.

Dengan demikian, pembatalan perjanjian atau perbuatan hukum tidak


terkait dengan kesalahan yang menyentuh aspek objektif dari syarat-syarat
sahnya perjanjian, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Sebaliknya, pembatalan berkaitan dengan keadaan tertentu, seperti
ketiadaan kesepakatan atau pelanggaran syarat kecakapan, yang membuat
perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang berkepentingan.

Secara logis, prinsip ini menciptakan kerangka hukum yang


memungkinkan pihak yang terlibat untuk meminta pembatalan perjanjian
atau perbuatan hukum yang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu, tanpa
menjadikannya secara otomatis batal demi hukum. Ini mendukung ide
bahwa perjanjian yang sah seharusnya memiliki dampak hukum yang dapat
dibatalkan, tetapi tidak secara otomatis dianggap tidak berlaku.

Pengajuan Actio Pauliana menciptakan suatu mekanisme perlindungan


yang penting bagi hak-hak kreditur. Actio Pauliana adalah hak yang
diberikan kepada kreditur untuk mengajukan pembatalan terhadap
perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan
asumsi bahwa debitur mengetahui bahwa perbuatan tersebut merugikan
kreditur. Mari kita eksplorasi dengan logika yang mendalam dan bahasa
yang indah bagaimana konsep ini memperkuat perlindungan hak kreditur.

Dalam esensi, Actio Pauliana mencerminkan prinsip keadilan yang


melibatkan pemahaman bahwa tidak seharusnya debitur dapat mengambil
tindakan yang merugikan para kreditur secara sengaja. Pada saat debitur
melakukan perbuatan tersebut, seperti pemberian hibah atau pemindahan
harta yang dapat merugikan kreditur, Actio Pauliana memberikan hak
kepada kreditur untuk meminta pembatalan atas tindakan tersebut.
Logika di balik Actio Pauliana dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Perlindungan Hak Kreditur: Actio Pauliana berfungsi sebagai saluran


perlindungan bagi hak kreditur yang mungkin dirugikan oleh tindakan
debitur. Hal ini menciptakan keseimbangan dalam hubungan antara
debitur dan kreditur, memastikan bahwa hak kreditur dihormati dan
tidak dapat dihindari secara semena-mena.
2. Asas Kesadaran Debitur: Prinsip utama dalam Actio Pauliana adalah
adanya kesadaran debitur terhadap akibat merugikan dari
perbuatannya. Dengan kata lain, debitur tidak dapat mengklaim
ketidaktahuan atas konsekuensi merugikan yang dapat diakibatkan
oleh tindakannya.
3. Pembatalan, Bukan Pembatalan Otomatis: Poin penting dari Actio
Pauliana adalah bahwa hak ini memberikan kreditur kewenangan untuk
mengajukan pembatalan, tetapi tindakan tersebut tidak otomatis
membuat perbuatan debitur batal. Diperlukan langkah-langkah hukum
dan bukti yang memadai untuk mengamankan pembatalan tersebut.

Actio Pauliana dapat dianggap sebagai perisai keadilan yang


menegaskan hak kreditur untuk tidak menjadi korban dari tindakan
debitur yang merugikan. Ini menciptakan harmoni dalam sistem hukum,
menegaskan nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan dalam perlindungan
hak-hak ekonomi.

Ketentuan Pasal 41 UUK dan PKPU terdapat lima persyaratan yang


harus dipenuhi agar actio pauliana itu berlaku:

1. Debitur telah melakukan suatu perbuatan hukum;


2. Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur;
3. Perbuatan hukum dimaksud telah merugikan kreditur;
4. Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut debitur
mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum
tersebut akan merugikan Kreditur; dan
5. Saat melakukan perbuatan hukum tersebut dilakukan pihak dengan
siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi kreditur.
Situasi di mana pada saat perbuatan hukum hanya debitur yang
mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan
merugikan kreditur, sementara pihak lain yang terlibat memiliki niat baik,
menciptakan sebuah celah atau kekosongan dalam hukum kepailitan yang
perlu diperhatikan. Kendatipun UU Kepailitan dan PKPU (Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang) tidak secara khusus mengatur hal ini,
pertimbangan logis dapat diuraikan sebagai berikut:

Prinsip Keadilan dan Perlindungan Hak Kreditur: Meskipun tidak secara


eksplisit diatur dalam UU Kepailitan atau PKPU, prinsip dasar hukum
kepailitan adalah melindungi hak-hak kreditur. Oleh karena itu, ketika
debitur sengaja atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukumnya
akan merugikan kreditur, prinsip keadilan menuntut agar hak kreditur
tetap dihormati.

Ketidakadilan dan Kesenjangan Hukum: Kesalahan atau kesengajaan


debitur yang merugikan kreditur tanpa sepengetahuan pihak lain yang
terlibat dapat dianggap sebagai ketidakadilan. Hal ini menciptakan
kesenjangan dalam perlindungan hak-hak kreditur dan dapat merugikan
integritas sistem hukum kepailitan.

Keterbatasan Hukum: Terkadang, hukum mungkin memiliki


keterbatasan dalam mengatasi situasi-situasi yang spesifik. Kasus di mana
debitur bertindak merugikan dengan sengaja tanpa sepengetahuan pihak
lain adalah contoh dari ketidaksesuaian norma hukum dengan realitas
kasus konkret.

Penting untuk dicatat bahwa dalam situasi seperti ini, prinsip-prinsip


hukum umum seperti keadilan dan perlindungan hak-hak kreditur dapat
dijadikan dasar argumen atau interpretasi. Meskipun tidak ada ketentuan
yang secara eksplisit mengatur, hakim dalam pengadilan kepailitan
mungkin dapat merujuk pada prinsip-prinsip tersebut untuk mencapai
keputusan yang adil dan seimbang.

Biasanya, apabila debitur itu adalah perseroan terbatas, maka


berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Pengurus dari Perseroan Terbatas itu harus bertanggung jawab
secara pribadi. suatu badan hukum dimana debitur atau pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam angka 1) adalah anggota direksi atau
pengurus atau apabila pihak-pihak tersebut, baik sendiri-sendiri ataupun
bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam
kepemilikan badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima
puluh per seratus) dari modal disetor.

Gugatan actio pauliana dalam kepailitan disyaratkan bahwa debitur dan


pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui
atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Gugatan actio pauliana dalam
kepailitan harus memenuhi kriteria:

1. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan


tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang
dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan pailit;
2. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan
tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang tidak
wajib dilakukan oleh debitur pailit.
3. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan
tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang
merupakan perjanjian di mana kewajiban debitur jauh melebihi
kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat.
4. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan
tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang
merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang
yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih;
atau
5. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan
tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang
dilakukan terhadap pihak terafiliasi. Pihak yang terafiliasi ditentukan
sebagaimana dalam Pasal 42 UUK dan PKPU. Pengajuan actio
pauliana dalam kepailitan diajukan ke Pengadilan Niaga. Hal ini
sesuai dengan Pasal 3 Ayat (1) UUK yang menyatakan bahwa
Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang
berkaitan dan/atau diatur dalam undang-undang ini diputuskan
oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat
kedudukan hukum debitur.
BAB II RISIKO

A. Definisi Risiko
Risiko memang menjadi bagian intrinsik dari kehidupan manusia, dan
pandangan bahwa tidak ada hidup tanpa resiko telah menjadi suatu
konsep yang mendalam dalam pemahaman kehidupan manusia. Secara
logis, pandangan ini dapat diterangkan melalui beberapa sudut pandang.

Pertama-tama, dari segi biologis, manusia sebagai makhluk hidup pasti


dihadapkan pada risiko sepanjang siklus hidupnya. Dari proses kelahiran
hingga kematian, setiap tahap kehidupan manusia memiliki risiko
tersendiri, seperti penyakit, kecelakaan, atau faktor alamiah lainnya.
Bahkan saat masih dalam kandungan, risiko kesehatan seperti kelainan
genetik dapat muncul.

Dalam psikologis, risiko juga menjadi bagian integral dari


pengembangan diri manusia. Setiap tindakan atau keputusan yang diambil
dalam kehidupan sehari-hari melibatkan sejumlah risiko. Perubahan dalam
karir, hubungan interpersonal, atau keputusan finansial, semuanya
memiliki potensi risiko. Menyadari risiko ini membantu manusia untuk
tumbuh dan berkembang, karena mengatasi risiko juga berarti belajar dan
beradaptasi.

Dari segi sosial, risiko dapat diartikan sebagai suatu keharusan untuk
menciptakan kemajuan. Inovasi, perubahan sosial, dan kemajuan ekonomi
seringkali melibatkan pengambilan risiko. Tanpa keterlibatan dalam risiko,
masyarakat akan kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman
dan mencapai kemajuan.

Secara ilmiah, konsep ini dapat ditemukan dalam teori-evolusi yang


menyatakan bahwa keberlanjutan dan perkembangan makhluk hidup
melibatkan adaptasi terhadap lingkungannya, yang penuh dengan
ketidakpastian dan risiko. Begitu juga dalam ilmu manajemen risiko, yang
menggarisbawahi pentingnya mengidentifikasi, mengevaluasi, dan
mengelola risiko untuk mencapai tujuan dengan efektif.

Dalam kehidupan tidak ada seorangpun yang dapat meramalkan apa


yang akan terjadi di masa yang akan datang secara sempurna, meskipun
dengan menggunakan berbagai alat analisis. Risiko di masa datang dapat
terjadi terhadap kehidupan seseorang misalnya, kematian, sakit atau risiko
dipecat dari pekerjaannya.Dalam dunia bisnis risiko yang dihadapi dapat
berupa risiko kerugian akibat kebakaran, kerusakan atau kehilangan atau
risiko lainnya. Risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat
buruk (kerugian) yang tidak diinginkan atau tidak terduga. Dengan kata
lain, “kemungkinan” itu sudah menunjukan adanya ketidakpastian.
Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya
risiko. Dan jika dikaji lebih lanjut “kondisi yang tidak pasti” itu timbul
karena berbagai sebab, antara lain:

1) Jarak waktu antara dimulai perencanaan kegiatan sampai kegiatan itu


berakhir. Semakin panjang jarak waktu makin besar ketidakpastiannya.
2) Keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan.
3) Keterbatasan pengetahuan, keterampilan, teknik mengambil
keputusan.

Istilah risiko sudah biasa dipakai dalam kehidupan kita sehari-hari.


Tetapi pengertiannya secara ilmiah dari risiko sampai saat ini masih
tetap beragam, antara lain;

a. Menurut Abas Salim, risiko adalah ketidakpastian ( uncertainty) yang


mungkin melahirkan peristiwa kerugian (loss).
b. Sedangkan risiko yang dikemukakan oleh Herman Darmawi adalah
penyebaran atau penyimpangan hasil aktual dari hasil yang
diharapkan.
c. Menurut kamus hukum, risiko adalah suatu keharusan memegang
suatu kerugian karena suatu peristiwa (yang tidak terduga).
d. Menurut Subekti, risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang
disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa risiko selalu


berhubungan dengan kemungkinan terjadinya sesuatu yang merugikan
yang tidak diduga atau tidak diinginkan atau potensi kerugian akibat
terjadinya suatu peristiwa tertentu.

Persoalan risiko berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa di


luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan
kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam Hukum perjanjian
dinamakan keadaan memaksa.

B. Jenis-Jenis Risiko

Risiko yang terdapat dalam kehidupan manusia memang dapat


diklasifikasikan menjadi empat jenis, sebagaimana diuraikan. Mari kita
bahas secara logis dengan bahasa yang indah dan ilmiah.

Pertama-tama, risiko yang tidak disengaja atau risiko murni


mencerminkan ketidakpastian yang melekat dalam kehidupan. Sebagai
contoh, keinginan seseorang untuk hidup lama membawa kemungkinan
tak terduga seperti kecelakaan atau penyakit yang dapat menyebabkan
kematian lebih cepat. Pemilik rumah juga menghadapi risiko murni
terhadap kebakaran, bencana alam, atau pencurian, yang hanya
membawa potensi kerugian tanpa kemungkinan keuntungan. Konsep ini
mencerminkan sisi tak terduga dari eksistensi manusia yang tidak dapat
sepenuhnya dikendalikan.

Kemudian, risiko yang disengaja atau risiko spekulatif membawa


dimensi lebih kompleks, karena dapat memberikan hasil baik atau buruk.
Contohnya adalah seseorang yang berinvestasi di pasar saham. Dalam
kasus ini, terdapat dua kemungkinan: kenaikan harga saham yang
menguntungkan atau penurunan harga yang merugikan. Risiko ini
mencerminkan kemungkinan keuntungan dan kerugian, sehingga
dinamakan risiko spekulatif.

Risiko fundamental mengacu pada ketidakpastian yang dapat


mempengaruhi sebagian besar anggota masyarakat. Ini mencakup
ancaman berskala besar seperti perang atau gempa bumi yang dapat
memberikan dampak kepada banyak individu. Risiko ini melampaui
batasan individu dan menjadi bagian dari risiko kolektif yang dihadapi oleh
masyarakat secara keseluruhan.

Di sisi lain, risiko tertentu adalah risiko yang bersifat lebih personal,
mempengaruhi individu secara langsung. Kematian atau cacat adalah
contoh risiko tertentu yang mengenai perorangan secara pribadi. Ini
mencerminkan dimensi yang lebih personal dan intim dari risiko, di mana
dampaknya dirasakan secara individu.
Konsep peril dan hazard merupakan dua unsur yang saling terkait
dalam pemahaman risiko, dan keduanya memiliki peran penting dalam
analisis dan manajemen risiko. Mari kita bahas secara logis dengan bahasa
yang indah dan ilmiah.

Pertama-tama, peril atau bencana dapat diartikan sebagai suatu


peristiwa yang berpotensi menimbulkan kerugian atau dampak negatif.
Contoh-contoh peril meliputi kebakaran, gempa bumi, banjir, dan
kecelakaan. Peril menjadi titik fokus dalam pemahaman risiko karena
keberadaannya memberikan potensi kerugian yang perlu diidentifikasi,
dievaluasi, dan dikelola.

Di sisi lain, hazard atau bahaya merujuk pada suatu keadaan atau
kondisi yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya suatu peril atau
bencana. Hazard dapat dianggap sebagai pemicu atau faktor pendorong
yang memperbesar peluang terjadinya kerugian. Sebagai contoh, dalam
konteks kebakaran, kondisi seperti penggunaan listrik yang tidak aman
atau penyimpanan bahan mudah terbakar dapat dianggap sebagai hazard
yang meningkatkan risiko kebakaran.

Konsep ini dapat dijelaskan secara logis melalui hubungan kausal


antara hazard, peril, dan risiko. Hazard merupakan elemen yang dapat
meningkatkan probabilitas atau peluang terjadinya peril. Dalam hal ini,
peril adalah hasil dari interaksi antara hazard dan kerentanan
(vulnerability), yang merupakan tingkat ketidakmampuan atau
ketidaksiapan suatu sistem menghadapi hazard.

C. Peralihan Risiko dalam KUHPerdata

Dalam KUH Perdata peralihan risiko dalam jual beli disebutkan dalam
pasal 1460-1462 yang bunyinya sebagai berikut :

Pasal 1460 “Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah
ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan
pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak
menuntut harganya”.
Pasal 1461 “Jika barang-barang dijual bukan menurut tumpukan,
melainkan menurut berat, jumlah, dan ukuran, maka barang-barang itu
tetap menjadi tanggungan penjual sampai ditimbang, dihitung, dan
diukur”.

Pasal 1462 “Sebaliknya jika barang itu dijual menurut tumpukan, maka
barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun belum ditimbang,
dihitung atau diukur”.

Dalam jual beli, risiko pembeli untuk menanggung kebendaan yang


dibeli baru lahir pada saat kebendaan tersebut telah ditentukan. Pada
prakteknya, penentuan mengenai penimbangan, penghitungan,
pengukuran dan penumpukan tidaklah demikian mudah dan jelas untuk
menentukan peruntukan kebendaan tersebut bagi pembeli tertentu. Risiko
atas barang yang menjadi obyek jual beli tidak sama, terdapat perbedaan
sesuai dengan sifat dan keadaan barang tersebut.

a. Jual Beli Barang Tertentu (dalam pasal 1460 KUH Perdata)


Risiko dalam jual beli barang tertentu telah beralih kepada pembeli
sejak adanya kata sepakat. Walaupun penyerahan barang belum
terjadi dan penjual tetap berhak menuntut pembayaran harga
seandainya barang yang diperjualbelikan tersebut musnah. Hal ini
sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam pasal 1458 KUH
Perdata pada bab sebelumnya.
Risiko dalam jual beli, pada umumnya menurut pasal 1460 KUH
Perdata, diletakkan pada pundaknya si pembeli. Pasal tersebut dibatasi
berlakunya, hingga hanya mengenai barang tertentu saja yang musnah
sebelum diserahkan kepada si pembeli. Barang tertentu adalah suatu
barang yang pada waktu perjanjian jual beli dibuat sudah ada dan
ditunjuk oleh pembeli sesuai dengan pilihannya. Jadi, persetujuannya
sudah bersifat final, berarti sudah sah dan mengikat.
Dalam perdagangan benda yang dimaksud memang merupakan benda
siap jual. Misalnya orang datang ke sebuah toko perabot rumah dan
menyatakan keinginannya untuk membeli meja tulis atau lemari
pakaian seperti yang ditunjuknya. Jadi bukan ia memesan meja seperti
yang ditunjuknya.
b. Jual Beli Barang Timbangan (dalam pasal 1461 KUH Perdata)
Obyek jual beli yang terdiri atas barang yang dijual dengan timbangan,
bilangan atau ukuran, maka risiko atas barang yang diperjualbelikan
tetap berada dipihak penjual sampai barang itu ditimbang, diukur dan
dihitung. Misalnya Seseorang yang membeli buah di supermarket atau
membeli telur di pasar.
c. Jual Beli Barang Tumpukan (dalam pasal 1462 KUH Perdata)
Jika barang dijual menurut tumpukan atau onggokan, maka barang-
barang tersebut menjadi risiko pembeli, meskipun barang-barang itu
belum ditimbang, diukur dan dihitung. Misalnya seseorang yang
melakukan jual beli kardus bekas atau seseorang yang membeli kue
bolu (loyang). Atau bisa juga seseorang yang melakukan jual beli baju
grosiran/baju pada konveksi.
Dalam pasal ini, jual beli benda menurut tumpukan menjadi risiko
pembeli meskipun benda tersebut belum diukur, ditimbang dan
dihitung. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah bahwa benda
tersebut sudah dipisahkan dari tumpukan lain milik penjual dan penjual
tidak boleh lagi menjual benda itu karena sudah dikuasai pembeli.
Dalam hal ini wajarlah jika risiko atas benda yang sudah dipisahkan itu
menjadi beban pembeli.

Pasal 1460, 1461, dan 1462 dalam KUH Perdata mengatur mengenai
peralihan risiko terkait kebendaan yang dijual antara penjual dan pembeli.
Mari kita jelaskan secara logis dengan bahasa yang indah dan ilmiah.

Pasal 1460 KUH Perdata menegaskan bahwa risiko terhadap


kebendaan yang dijual beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah
kebendaan tersebut ditentukan. Pada saat kebendaan sudah dapat
diidentifikasi atau spesifik, tanggung jawab atas risiko mulai berpindah dari
penjual ke pembeli. Hal ini mencerminkan prinsip bahwa pembeli menjadi
pihak yang bertanggung jawab atas risiko terhadap kebendaan yang telah
ditentukan.

Pasal 1461 KUHPerdata memberikan ketentuan lebih lanjut jika


kebendaan dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran. Risiko beralih segera
setelah kebendaan tersebut ditimbang, dihitung, atau diukur. Prinsip ini
memberikan kejelasan bahwa ketika parameter tertentu, seperti berat atau
ukuran, sudah dapat ditetapkan, risiko segera beralih ke pihak pembeli. Hal
ini memastikan bahwa risiko mengikuti kepastian mengenai karakteristik
tertentu dari kebendaan yang dijual.

Selanjutnya, Pasal 1462 KUH Perdata mengatur situasi di mana


kebendaan dijual menurut tumpukan. Risiko beralih dari penjual kepada
pembeli segera setelah tumpukan tersebut ditentukan. Pada saat tumpukan
telah diidentifikasi, pembeli menjadi pihak yang harus menanggung risiko
terhadap kebendaan yang dijual.

Secara logis, prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa peralihan risiko


tidak hanya tergantung pada kesepakatan atau pembayaran, tetapi juga
terkait dengan tahapan konkret di mana kebendaan tersebut dapat
dianggap sudah 'milik' pembeli. Prinsip ini memberikan kejelasan dan
keadilan dalam penentuan tanggung jawab terhadap risiko.

Pasal 1461 KUHPerdata menjadi suatu landasan hukum yang penting dalam
menentukan peralihan risiko dalam jual beli, khususnya pada barang-
barang generik atau bergerak. Mari kita eksplorasikan hal tersebut secara
logis dengan bahasa yang indah dan ilmiah.

Pasal 1461 KUHPerdata menetapkan prinsip yang jelas: risiko jual beli
atas barang-barang generik tetap berada pada pihak penjual sampai pada
saat barang-barang itu ditimbang, diukur, atau dihitung. Konsep ini
menggambarkan bahwa ketika karakteristik kuantitatif barang-barang
generik, seperti berat, ukuran, atau jumlah, belum dapat ditetapkan dengan
pasti, tanggung jawab atas risiko tetap berada pada penjual.

Secara logis, prinsip ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Ketika


barang-barang generik dijual, kepastian mengenai karakteristik
kuantitatifnya belum ada. Sebagai contoh, jika sejumlah gandum dijual,
penjual dan pembeli mungkin telah menentukan kualitas dan kuantitasnya,
tetapi belum ada kepastian mengenai berat atau jumlah tepatnya.

Namun, situasi berbeda berlaku ketika barang dijual dalam bentuk


tumpukan atau onggokan. Pasal 1461 KUHPerdata menyatakan bahwa
risiko beralih kepada pembeli sekalipun penimbangan, pengukuran, atau
perhitungan belum dilakukan. Ini mengindikasikan bahwa dalam konteks
barang-barang generik yang dijual dalam bentuk tumpukan, pembeli
langsung bertanggung jawab atas risiko, bahkan sebelum parameter
kuantitatifnya ditentukan.

Konsep ini mencerminkan aspek praktis dan realitas dalam kegiatan


jual beli, di mana risiko yang terkait dengan barang-barang generik yang
dijual dalam bentuk tumpukan harus segera ditanggung oleh pihak pembeli.
Prinsip ini memberikan kejelasan dan kepastian hukum dalam pembagian
tanggung jawab antara penjual dan pembeli.

Pasal 1460-1462 KUH Perdata memberikan landasan hukum untuk


memahami aspek risiko dalam konteks jual beli. Mari kita jabarkan situasi
modern ini, khususnya dalam transaksi jual beli benda elektronik, dengan
menggunakan prinsip-prinsip yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut.

Dalam kasus Roni yang ingin membeli kulkas di toko A, kita dapat
menerapkan konsep Pasal 1460 KUH Perdata. Setelah terjadi kesepakatan
harga dan jenis barang antara Roni dan penjual di toko A, risiko mengenai
kebendaan tersebut beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah
kulkas yang diinginkan oleh Roni ditentukan. Dengan kata lain, saat kulkas
spesifik yang akan dijual kepada Roni sudah diidentifikasi dan ditentukan,
risiko atas kulkas tersebut beralih ke Roni.

Sementara itu, Pasal 1461 KUHPerdata dapat diilustrasikan dalam


tahapan transaksi ini. Jika kulkas dijual berdasarkan berat, jumlah, atau
ukuran, maka risiko beralih kepada Roni segera setelah kulkas tersebut
diukur atau ditentukan berdasarkan parameter-parameter tertentu. Hal ini
menggambarkan bahwa saat kulkas diukur atau diberi karakteristik
kuantitatif tertentu, tanggung jawab atas risiko sudah berpindah kepada
Roni.

Contoh Roni yang meminta pengantaran kulkas ke rumahnya juga


dapat dihubungkan dengan Pasal 1462 KUH Perdata. Meskipun belum ada
penimbangan, pengukuran, atau perhitungan yang dilakukan setelah Roni
membayar lunas, risiko atas kulkas tersebut sudah beralih ke Roni sejak
tumpukan barang (dalam hal ini, kulkas) itu ditentukan. Oleh karena itu,
meskipun proses pengantaran belum selesai, risiko atas kebendaan tersebut
sudah menjadi tanggung jawab Roni.
Secara logis, konsep-konsep ini mencerminkan prinsip-prinsip hukum
perdata yang memberikan kejelasan mengenai kapan risiko beralih dalam
transaksi jual beli. Dalam konteks ini, risiko tidak hanya terkait dengan
kepemilikan fisik barang, tetapi juga dengan identifikasi dan karakteristik
kuantitatifnya.

Dari peristiwa tersebut dapat diketahui bahwa peralihan risiko telah


berpindah dari penjual kepada pembeli setelah terjadi kesepakatan
mengenai barang yang telah ditentukan. Barang yang telah ditentukan
adalah berupa kulkas.

Karena Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah
ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan
pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak
menuntut harganya. Seperti ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi
“jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka
telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun
penyerahannya belum dilakukan”. Namun jika pada proses pengiriman
barang pesanan terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga misalnya, barang
yang diperjualbelikan musnah di perjalanan karena mobil penganggut
barang tersebut mengalami kecelakaan dan barang yang menjadi pesanan
konsumen rusak dan hancur akibat dari kecelakaan tersebut. Maka siapakah
yang akan menanggung semua kerugian tersebut? Inilah yang disebut
risiko dalam jual beli.

Menurut pasal 1460-1462, risiko mengenai kebendaan yang dijual


beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah kebendaan yang dijual
tersebut ditentukan, ditimbang, dihitung atau diukur dan ditentukan
tumpukannya.

Pendapat Subekti yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap konsep


peralihan risiko jual beli dalam Pasal 1460-1462 KUH Perdata
menggambarkan suatu perspektif yang dapat dibahas secara logis dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum perdata dan konsep kepemilikan
barang. Mari kita eksplorasi argumennya secara ilmiah dan indah.

Pertama-tama, Subekti menyatakan bahwa risiko seharusnya tetap


ditanggung oleh penjual sampai barang tersebut diserahkan kepada
pembeli. Pemikiran ini dapat dipahami dari sudut pandang kepemilikan fisik
barang. Menurut Subekti, selama barang tersebut belum benar-benar
diserahkan, penjual masih dianggap pemilik, dan risiko atas barang tersebut
seharusnya masih menjadi tanggung jawab penjual.

Secara logis, pandangan ini dapat diperkuat dengan


mempertimbangkan situasi di mana barang yang dijual belum benar-benar
diketahui atau diidentifikasi oleh pembeli. Selama barang belum dilever atau
diserahkan, pembeli mungkin belum dapat memastikan kualitas, jumlah,
atau karakteristik kuantitatif lainnya dari barang yang dibeli. Oleh karena
itu, menurut pandangan ini, seharusnya penjual yang masih bertanggung
jawab atas risiko selama barang belum diserahkan.

Namun, penting juga untuk mencatat bahwa konsep peralihan risiko


dalam hukum perdata mencerminkan prinsip keseimbangan kepentingan
antara penjual dan pembeli. Konsep ini membantu mencegah potensi
ketidakpastian dan konflik di antara pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi jual beli.

Dalam pandangan Subekti, sebagaimana dikutip oleh Abdulkadir


Muhammad dalam karyanya yang berjudul "Hukum Perdata Indonesia",
penerapan Pasal 1460 KUH Perdata dianggap oleh masyarakat sebagai
tidak adil. Oleh karena itu, perlu adanya pembatasan dengan merujuk pada
Yuriprudensi Mahkamah Agung Belanda yang menafsirkan Pasal 1460
secara sempit. Interpretasi tersebut mengacu pada frasa "benda tertentu,"
yang seharusnya diartikan sebagai benda yang dipilih dan ditunjuk oleh
pembeli dengan pemahaman bahwa benda tersebut tidak dapat lagi ditukar
dengan benda lain.

Logika di balik pandangan ini dapat diuraikan sebagai berikut: Pasal


1460 KUH Perdata menyatakan bahwa penyerahan yang dilakukan oleh
penjual harus bersifat penyerahan benda yang "tertentu." Dengan merujuk
pada Yuriprudensi Mahkamah Agung Belanda, konsep "benda tertentu"
diartikan sebagai benda yang telah dipilih dan ditentukan oleh pembeli.
Dalam konteks ini, pembeli memiliki kebebasan untuk memilih dan
menunjuk benda yang diinginkan, namun setelah penunjukan tersebut,
benda tersebut menjadi tidak dapat lagi ditukar dengan benda lain.
Dengan membatasi ruang lingkup berlakunya Pasal 1460 KUH Perdata,
di mana pembeli memiliki kebebasan untuk memilih dan menunjuk benda
yang akan dibelinya, situasinya dapat diinterpretasikan seolah-olah pembeli
telah menitipkan bendanya hingga saat benda tersebut diantarkan ke
rumahnya. Hal ini mengacu pada gagasan bahwa setelah pembeli
menentukan pilihan pada benda tertentu, tanggung jawab penjual
melibatkan pengelolaan dan penjagaan benda seolah-olah menjadi amanat
dari pembeli itu sendiri.

Pendekatan ini juga berdampak pada ketentuan risiko, sebagaimana


tercantum dalam Pasal 1461 dan 1462 KUH Perdata. Risiko terkait
kepemilikan dan keamanan benda yang sudah ditentukan oleh pembeli
mungkin dapat dianggap beralih setelah penunjukan tersebut, seiring
dengan kewajiban penjual untuk memastikan benda tersebut mencapai
tujuan dengan kondisi yang sesuai.

Argumen ini dapat diperkuat dengan merujuk pada karya Abdulkadir


Muhammad tentang Hukum Perdata Indonesia, yang membahas implikasi
dari pembatasan Pasal 1460 terhadap dinamika antara pembeli dan penjual.
Selain itu, dapat pula merinci interpretasi Mahkamah Agung Belanda terkait
risiko dalam transaksi jual beli, sebagaimana tercermin dalam yurisprudensi
yang relevan.

Pandangan yang diungkapkan oleh Marsh and Soulsby, seorang pakar


hukum dari Britania Raya, dalam karyanya yang berjudul "Business Law,"
memberikan pemahaman mendalam terkait penentuan pada siapa
seharusnya ditanggungnya kerugian dalam konteks hukum perdata.
Menurut perspektif mereka, penentuan ini merujuk pada dua pasal kunci,
yaitu Pasal 1460 KUH Perdata (mengenai risiko dalam jual beli) dan Pasal
1545 KUH Perdata (mengenai risiko dalam tukar-menukar).

Pasal 1460 KUH Perdata, sebagaimana dijelaskan oleh Marsh and


Soulsby, memberikan dasar bagi penentuan risiko dalam transaksi jual beli.
Ketika pembeli telah menunjuk benda yang akan dibelinya, risiko mengenai
kehilangan atau kerusakan benda tersebut dapat dianggap beralih kepada
pembeli. Ini sejalan dengan konsep bahwa pemilihan benda oleh pembeli
memberikan indikasi bahwa pembeli bertanggung jawab atas keamanan
dan integritas benda tersebut.

Selanjutnya, Pasal 1545 KUH Perdata berkaitan dengan risiko dalam


tukar-menukar. Dalam konteks ini, ketika barang-barang saling
dipertukarkan, pasal ini menetapkan ketentuan terkait risiko yang berkaitan
dengan kehilangan atau kerusakan barang yang ditukarkan.

Pendekatan ini dapat diartikan sebagai penentuan risiko dalam


transaksi komersial yang melibatkan pertukaran barang. Melalui penerapan
Pasal 1460 dan Pasal 1545 KUH Perdata, konsep risiko dapat diidentifikasi
dengan jelas, memberikan landasan yang kokoh untuk menentukan pihak
yang harus bertanggung jawab atas kerugian.

Pasal 1460 KUH Perdata secara tegas menegaskan bahwa risiko dalam
suatu transaksi jual beli beralih kepada pihak pembeli setelah barang
tersebut ditentukan atau setelah tercapai kata sepakat mengenai barang
yang akan dibeli. Ini berarti bahwa tanggung jawab untuk menjaga
keamanan dan integritas barang berpindah dari penjual ke pembeli seiring
dengan penunjukan atau kesepakatan mengenai barang yang akan
diperoleh.

Di sisi lain, Pasal 1545 KUH Perdata menggambarkan suatu situasi yang
berbeda, terutama dalam konteks tukar-menukar. Pasal ini menyatakan
bahwa jika barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar mengalami
kerusakan di luar kesalahan pemiliknya (penjual), maka perjanjian tersebut
dianggap gugur. Dalam konteks ini, kerusakan tersebut tidak dapat
disalahkan kepada penjual, dan perjanjian tukar-menukar dianggap batal.

Berdasarkan logika hukum, Pasal 1545 mengakui adanya keadaan di


mana kerugian yang terjadi pada barang yang akan ditukar tidak dapat
diatribusikan kepada tindakan kelalaian atau kesalahan pemilik barang
tersebut. Oleh karena itu, ketika barang tersebut mengalami kerusakan
yang bukan disebabkan oleh tindakan penjual, perjanjian tukar-menukar
dianggap tidak berlaku, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat
menuntut kembali barang yang telah diberikan.

Pasal 1460 dan Pasal 1545 KUH Perdata memang mencerminkan


pendekatan yang berbeda terkait risiko dalam konteks jual beli dan tukar-
menukar. Pasal 1460 meletakkan tanggung jawab risiko pada pembeli,
sementara Pasal 1545 mengakui prinsip bahwa risiko seharusnya dipikulkan
kepada pemilik barang. Pemahaman logis terhadap perbedaan ini dapat
diuraikan sebagai berikut.

Pasal 1460, dengan memuat prinsip bahwa risiko beralih kepada


pembeli setelah penentuan barang atau kata sepakat mengenai barang,
memberikan landasan yang adil bagi pihak penjual. Hal ini didasarkan pada
ide bahwa setelah pembeli membuat pilihan atau setelah tercapai
kesepakatan, barang tersebut menjadi tanggung jawab pembeli untuk
menjaga dan memastikan keamanannya.

Di sisi lain, Pasal 1545 mengakui prinsip dasar bahwa pemilik barang
seharusnya bertanggung jawab atas risiko yang terkait dengan kepemilikan
barang tersebut. Jika barang yang dijanjikan untuk ditukar mengalami
kerusakan di luar kesalahan pemiliknya (penjual), maka perjanjian dianggap
gugur. Prinsip ini menghormati hak pemilik barang dan menempatkan risiko
pada pundak masing-masing pemilik, sejalan dengan prinsip umum
keadilan.

Dalam pandangan ini, dapat dikemukakan bahwa Pasal 1545


menawarkan suatu keadilan yang lebih merata dalam distribusi risiko antara
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu transaksi.

Pasal 1460-1462 KUH Perdata Indonesia memiliki akar hukum yang jelas
dalam Code Civil Perancis, yang merupakan kitab undang-undang hukum
perdata di Perancis. Riwayat legislatif ini menggambarkan adopsi prinsip-
prinsip hukum dari Code Civil ke dalam sistem hukum Indonesia terkait jual
beli. Pemahaman logis terhadap hal ini dapat diuraikan sebagai berikut.

Pasal-pasal tersebut mencerminkan prinsip yang diterapkan dalam


Code Civil Perancis, di mana perjanjian jual beli mengakibatkan pemindahan
hak milik secara seketika pada saat perjanjian ditutup. Dengan kata lain,
sejak kesepakatan jual beli tercapai, barang tersebut secara otomatis
menjadi milik pembeli, bahkan sebelum serah terima fisik dilakukan. Prinsip
ini memberikan kepastian hukum terkait kepemilikan barang, menetapkan
bahwa hak dan kewajiban atas barang beralih seiring dengan kesepakatan.
Adopsi prinsip-prinsip ini dalam KUH Perdata Indonesia menunjukkan
pengakuan terhadap keberlakuan dan relevansi prinsip-prinsip hukum
perdata yang telah diuji waktu. Penentuan bahwa hak milik pindah seketika
pada saat penutupan perjanjian menciptakan kerangka hukum yang jelas
dan memastikan kepastian hukum dalam transaksi jual beli.

Pasal 1459 KUHPerdata Indonesia menunjukkan perbedaan yang


signifikan dengan sistem hukum seperti Burgerlijk Wetboek (B.W) dimana
hak milik atas barang yang dijual tidak secara otomatis beralih kepada
pembeli setelah terjadinya perjanjian jual beli. Pada dasarnya, pasal ini
menetapkan bahwa penyerahan fisik (serah terima) adalah suatu prasyarat
untuk pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Pendekatan ini
menciptakan landasan hukum yang berbeda dari sistem yang mengadopsi
prinsip pemindahan hak milik seketika setelah penutupan perjanjian.

Pertama-tama, Pasal 1459 menekankan bahwa hak milik atas barang


yang dijual tidak berpindah kepada pembeli sampai penyerahan fisik barang
dilakukan. Prinsip ini menegaskan pentingnya perpindahan fisik sebagai
suatu peristiwa kunci yang memungkinkan pemindahan hak milik. Dengan
kata lain, pemindahan hak milik bukan hanya hasil dari kesepakatan, tetapi
juga melibatkan tindakan nyata berupa penyerahan barang.

Ketidakadilan yang diakui dalam pasal ini terletak pada situasi di mana
barang yang dijual belum ditentukan secara spesifik, baik dari segi ukuran,
timbangan, maupun jumlahnya. Dalam konteks ini, risiko barang berada
pada pihak pembeli, namun barang yang menjadi objek transaksi belum
diserahkan oleh penjual. Hal ini menciptakan ketidakadilan karena pembeli
sudah menanggung risiko terkait barang tanpa mendapatkan manfaat fisik
dari transaksi tersebut.

Maka jelaskan bahwa sistem code civil di Perancis, dalam hal ini
menerapkan peralihan risiko jual beli apa yang telah tercantum dalam pasal
1460-1462 KUH Perdata. Sebaliknya sistem B.W ( burgelijk wetboek)
mengenai peralihan risiko jual beli masih ada beberapa para ahli yang
mempunyai pendapat masing-masing yang bertentangan dengan pasal
1460-1462 KUH Perdata, sehingga permasalahan mengenai risiko jual beli
ini masih harus dikaji.
Para ahli hukum secara keseluruhan memiliki pendapat yang serupa,
bahwa pada intinya selama belum deliver mengenai barang dari macam apa
saja, risikonya masih harus ditanggung atau dipikul oleh penjual, yang
masih merupakan pemilik sampai pada saat barang tersebut diserahkan
kepada pembeli.

D. Peralihan Risiko dalam Jual Beli Menurut Pasal 1460-1462 KUH


Perdata

Dalam perjanjian jual beli, risiko merupakan suatu aspek penting yang
memerlukan perhatian khusus. Ajaran resicoleer, atau ajaran tentang
risiko, menjadi relevan ketika terjadi keadaan memaksa (overmacht) yang
menghambat pemenuhan prestasi oleh debitur. Keadaan memaksa ini
merujuk pada suatu kondisi di mana debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya karena terjadi suatu peristiwa yang bukan disebabkan oleh
kesalahannya dan tidak dapat diprediksi pada saat perjanjian dibuat.

Dalam kerangka logika hukum, ajaran resicoleer menunjukkan


pemahaman bahwa ketika terjadi keadaan memaksa, risiko yang timbul
dari peristiwa tersebut tidak dapat sepenuhnya ditanggung oleh debitur.
Pada dasarnya, keadaan memaksa dapat mengubah pembagian risiko
yang diatur dalam perjanjian, dan konsep ini mencerminkan keadilan dan
kebijaksanaan hukum.

Suatu keadaan memaksa adalah suatu peristiwa yang tidak diketahui


atau tidak dapat diduga pada saat perjanjian dibuat. Dalam hal ini,
kebijaksanaan hukum mengenali bahwa tidak adil jika debitur harus
menanggung risiko atas suatu peristiwa yang tidak dapat mereka prediksi
atau kendalikan.

Dalam transaksi jual beli, prinsip bahwa risiko pembeli untuk


menanggung kebendaan baru muncul pada saat kebendaan tersebut telah
ditentukan mencerminkan suatu kompleksitas yang tidak selalu dapat
dipahami secara mudah dan jelas. Penetapan ini terkait dengan
penimbangan, penghitungan, pengukuran, dan penumpukan barang yang
sering kali melibatkan proses yang rumit dan terkadang subjektif. Praktek
di lapangan menunjukkan bahwa penentuan yang tepat mengenai
peruntukan kebendaan bagi pembeli tertentu tidak selalu sederhana.
Penting untuk diakui bahwa risiko yang terkait dengan barang yang
menjadi objek jual beli tidak seragam; risiko tersebut dipengaruhi oleh
sifat dan keadaan unik dari masing-masing barang. Sebagai contoh, dalam
transaksi jual beli yang melibatkan barang mudah rusak, risiko tersebut
mungkin lebih tinggi karena barang tersebut rentan terhadap kerusakan
selama proses penanganan dan transportasi. Sebaliknya, barang yang
tahan lama mungkin memiliki risiko yang lebih rendah terkait kerusakan
atau kehilangan nilai.

Dalam penyelidikan konsep ini secara logis, penting untuk mengakui


kompleksitas dinamika jual beli yang melibatkan berbagai jenis barang.
Pemahaman ini menciptakan landasan untuk mengenali bahwa risiko
pembeli tidak dapat diartikan secara seragam, dan perbedaan dalam sifat
dan kondisi barang memainkan peran penting dalam penentuan risiko
tersebut.

Pasal 1460 KUH Perdata.

“Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah


ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan
pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan penjual berhak
menuntut harganya”.

Dalam konteks jual beli barang tertentu, konsep bahwa risiko


telah beralih kepada pembeli sejak adanya kata sepakat menciptakan
suatu dinamika hukum yang menarik. Meskipun penyerahan barang
belum terjadi, prinsip ini mengakui bahwa kesepakatan antara penjual
dan pembeli adalah momen krusial yang menentukan pemindahan risiko
dan tanggung jawab atas barang.

Penetapan risiko pada saat kata sepakat menciptakan dasar yang


jelas dan terukur. Ini menegaskan bahwa sejak tercapainya
kesepakatan, pembeli bertanggung jawab atas keamanan dan integritas
barang. Meskipun penyerahan fisik belum terjadi, hak pembayaran harga
tetap berlaku, dan penjual tetap berhak menuntutnya bahkan jika
barang tersebut mengalami kerusakan atau musnah.

Konsep "barang tertentu" menambahkan dimensi khusus pada


prinsip ini. Barang tertentu dalam konteks ini adalah barang yang pada
saat perjanjian jual beli dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli
sesuai dengan pilihannya. Dengan kata lain, pembeli memiliki kebebasan
untuk memilih dan menunjuk barang yang akan dibeli, memberikan
kesempatan untuk pilihan yang lebih spesifik dan sesuai dengan
keinginan.

Pasal 1461 KUH Perdata.

“Jika barang-barang dijual bukan menurut tumpukan melainkan


menurut berat, jumlah, dan ukuran, maka barang-barangitu tetap
menjadi tanggungan penjual sampai barang-barang ditimbang, dihitung
dan diukur”.

Dalam konteks jual beli barang tertentu, konsep bahwa risiko


telah beralih kepada pembeli sejak adanya kata sepakat menciptakan
suatu dinamika hukum yang menarik. Meskipun penyerahan barang
belum terjadi, prinsip ini mengakui bahwa kesepakatan antara penjual
dan pembeli adalah momen krusial yang menentukan pemindahan risiko
dan tanggung jawab atas barang.

Penetapan risiko pada saat kata sepakat menciptakan dasar yang


jelas dan terukur. Ini menegaskan bahwa sejak tercapainya
kesepakatan, pembeli bertanggung jawab atas keamanan dan integritas
barang. Meskipun penyerahan fisik belum terjadi, hak pembayaran harga
tetap berlaku, dan penjual tetap berhak menuntutnya bahkan jika
barang tersebut mengalami kerusakan atau musnah.

Konsep "barang tertentu" menambahkan dimensi khusus pada


prinsip ini. Barang tertentu dalam konteks ini adalah barang yang pada
saat perjanjian jual beli dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli
sesuai dengan pilihannya. Dengan kata lain, pembeli memiliki kebebasan
untuk memilih dan menunjuk barang yang akan dibeli, memberikan
kesempatan untuk pilihan yang lebih spesifik dan sesuai dengan
keinginan.
Pasal 1462 KUH Perdata.

“Sebaliknya jika barang itu dijual menurut tumpukan, maka


barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun belum ditimbang,
dihitung atau diukur”.

Konsep bahwa jika barang dijual menurut tumpukan atau


onggokan, maka risiko atas barang tersebut beralih kepada pembeli,
meskipun proses penimbangan, pengukuran, dan penghitungan belum
dilakukan, dapat dijelaskan secara logis dengan mempertimbangkan
aspek-aspek praktis dan keadilan hukum.

Secara logis, penjualan barang menurut tumpukan atau


onggokan menunjukkan adanya keadaan di mana proses penimbangan
atau pengukuran menjadi sulit dilakukan secara akurat sebelum transaksi
jual beli terjadi. Dalam konteks ini, risiko beralih kepada pembeli pada
saat kata sepakat menciptakan dasar yang realistis dan praktis.

Pembeli, dengan menerima risiko sejak awal meskipun barang


belum ditimbang atau diukur, dianggap telah menerima kondisi nyata
dari barang yang dijual. Hal ini menciptakan kejelasan dan kepastian
dalam transaksi, menghindari hambatan atau ketidakpastian yang
mungkin timbul jika risiko tetap pada penjual hingga proses penentuan
kuantitas dan kualitas barang selesai.

Pasal 1460, 1461, dan 1462 KUH Perdata Indonesia menguraikan


mekanisme pemindahan risiko dalam konteks jual beli, memberikan
dasar hukum yang jelas untuk menentukan saat risiko berpindah dari
penjual kepada pembeli. Pemahaman logis terhadap ketiga pasal ini
dapat diuraikan sebagai berikut:

Pasal 1460 menetapkan prinsip umum bahwa risiko atas


kebendaan yang dijual beralih kepada pembeli segera setelah kebendaan
tersebut ditentukan. Penentuan ini menciptakan kejelasan bahwa sejak
kebendaan dipilih atau disepakati oleh pembeli, risiko terkait keamanan
dan integritasnya sudah menjadi tanggung jawab pembeli.

Pasal 1461 menambahkan detail lebih lanjut terkait pemindahan


risiko dalam konteks penjualan menurut berat, jumlah, atau ukuran.
Risiko beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah kebendaan
tersebut ditimbang, dihitung, atau diukur. Pada tahap ini, kepastian
terkait kuantitas dan kualitas barang telah diperoleh, dan risiko dapat
secara adil dialihkan kepada pembeli.

Pasal 1462 menyediakan ketentuan untuk penjualan menurut


tumpukan. Risiko beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah
tumpukan tersebut ditentukan. Penentuan tumpukan menciptakan
momen yang jelas di mana pembeli mengambil tanggung jawab
terhadap risiko yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan dalam
kondisi tumpukan tersebut.

Secara logis, ketiga pasal ini membentuk suatu rangkaian aturan


yang masuk akal. Pemindahan risiko sesuai dengan perkembangan
transaksi, menciptakan kejelasan dan keadilan dalam penentuan
tanggung jawab antara penjual dan pembeli.

Pasal 1461 KUHPerdata Indonesia menggariskan prinsip yang


logis dan adil terkait pemindahan risiko dalam jual beli barang tertentu,
tergantung pada cara penjualan tersebut dilakukan. Pemahaman logis
atas ketentuan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Ketika barang tertentu dijual dan transaksinya tidak melibatkan


tumpukan, risiko atas barang tersebut tetap berada pada penjual sampai
proses penimbangan, pengukuran, atau perhitungan dilakukan. Prinsip
ini masuk akal karena pada tahap ini, pembeli belum sepenuhnya
memiliki kontrol atau pengetahuan penuh tentang sifat dan kualitas
barang. Penentuan kuantitas dan kualitas barang menjadi krusial untuk
pemindahan risiko.

Sebaliknya, jika barang dijual dengan tumpukan atau onggokan,


risiko tersebut langsung beralih kepada pembeli, bahkan sebelum proses
penimbangan, pengukuran, atau perhitungan dilakukan. Konsep ini
dapat dijelaskan dengan mempertimbangkan sifat praktis dari penjualan
tumpukan. Dalam situasi ini, sulit atau tidak mungkin untuk menentukan
karakteristik individu dari setiap barang dalam tumpukan. Sejak
tumpukan tersebut ditentukan sebagai keseluruhan, risiko beralih kepada
pembeli.Pemindahan risiko ini menciptakan kejelasan dan keadilan dalam
penentuan tanggung jawab antara penjual dan pembeli.

Pasal 1460-1462 KUH Perdata mengatur peralihan risiko dalam jual beli
dengan prinsip dasar bahwa semua risiko secara prinsip dibebankan
kepada pembeli. Ini berlaku setelah barang ditentukan, ditimbang,
dihitung, dan ditentukan tumpukannya, meskipun penyerahan resmi
barang belum dilakukan.

Penentuan risiko pada pembeli pada titik ini memiliki dasar yang logis.
Pada tahap ini, barang telah melewati proses identifikasi dan pengukuran
yang meyakinkan bahwa sifat, jumlah, dan kualitasnya telah ditetapkan
dengan jelas. Oleh karena itu, pembeli, yang pada tahap ini telah memiliki
kendali dan pengetahuan penuh tentang barang yang dibelinya, secara
wajar memikul risiko terkait.

Penting untuk mencatat bahwa penyerahan fisik barang belum terjadi,


tetapi risiko sudah dialihkan. Konsep ini menegaskan pentingnya
pemahaman dan tanggung jawab pembeli terkait dengan kondisi barang
yang dibeli setelah proses penentuan karakteristik barang selesai.

E. Analisis Pasal 1460-1462 KUH Perdata

Peralihan risiko dalam konteks jual beli terdapat dalam beberapa pasal,
termasuk Pasal 1460-1462. Pasal-pasal ini secara khusus mengatur aspek
risiko dalam perjanjian timbal balik, menciptakan kerangka kerja yang
jelas terkait pembagian tanggung jawab antara pembeli dan penjual.

Pasal-pasal ini mendasarkan prinsipnya pada ide bahwa risiko secara


alamiah berpindah pada pembeli setelah tahap-tahap tertentu dalam
transaksi. Secara logis, konsep ini dapat dipahami melalui proses
identifikasi dan pengukuran barang yang telah ditetapkan dalam pasal-
pasal tersebut. Pada saat barang telah diidentifikasi, ditimbang, dihitung,
dan ditentukan tumpukannya, risiko secara otomatis dialihkan kepada
pembeli. Walaupun penyerahan fisik belum dilakukan, pembeli dianggap
sudah memiliki kendali dan pengetahuan penuh tentang barang, sehingga
risiko yang terkait pun menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 1460-1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
memberikan dasar hukum yang cermat terkait peralihan risiko dalam
konteks jual beli. Menurut Pasal 1460 KUH Perdata, risiko secara resmi
beralih dari penjual kepada pembeli pada saat terjadinya kata sepakat,
meskipun proses penyerahan barang belum dilakukan secara fisik. Konsep
ini, dalam keseluruhan kerangka hukumnya, menciptakan fondasi yang
logis untuk pembagian tanggung jawab antara pihak-pihak yang terlibat
dalam transaksi.

Pasal 1461 KUH Perdata menyempurnakan pemahaman mengenai


peralihan risiko, khususnya ketika barang dijual berdasarkan berat,
jumlah, dan ukuran. Setelah proses penimbangan, perhitungan, dan
pengukuran barang dilakukan, risiko secara otomatis beralih kepada
pembeli. Pada tahap ini, pembeli telah memiliki pengetahuan lengkap
mengenai sifat dan kualitas barang yang dibelinya, sehingga menjadi
wajar risiko ditransfer kepadanya.

Pasal 1462 KUH Perdata kemudian memberikan peraturan terkait


barang yang dijual menurut tumpukan. Dalam hal ini, risiko secara prinsip
dibebankan kepada pembeli sejak awal. Hal ini memberikan kejelasan
mengenai tanggung jawab pembeli terhadap kondisi barang sejak
permulaan transaksi.

Resiko atas barang yang menjadi obyek jual beli tidak sama, terdapat
perbedaan sesuai dengan sifat dan keadaan barang tersebut.

Jual Beli Barang Tertentu (dalam pasal 1460 KUH Perdata)

Prinsip peralihan risiko dalam konteks jual beli barang tertentu,


sebagaimana diatur dalam Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata), menegaskan bahwa risiko beralih kepada pembeli
sejak terjadinya kesepakatan, meskipun proses penyerahan fisik belum
dilakukan. Konsep ini menciptakan suatu kerangka hukum yang logis dan
menggambarkan keseimbangan dalam tanggung jawab antara penjual
dan pembeli.

Sebagai dasar pemikiran, kesepakatan antara pihak-pihak menandakan


titik kritis di mana risiko secara efektif dipindahkan dari penjual ke
pembeli. Meskipun barang belum secara resmi diserahkan, pembeli telah
mengambil alih kendali dan pengetahuan penuh atas barang yang
dibelinya. Ini menciptakan dasar logis untuk mengatribusikan risiko
kepada pembeli, seiring dengan keputusan dan pengetahuan yang
dimilikinya pada tahap kesepakatan.

Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun risiko telah dialihkan


kepada pembeli, hak penjual untuk menuntut pembayaran harga tetap
utuh. Hal ini menunjukkan adanya keadilan dalam perjanjian jual beli, di
mana penjual tetap berhak menerima imbalan atas nilai barang yang telah
"berpindah" kepada pembeli, meskipun barang tersebut belum secara fisik
diserahkan.

Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)


merinci prinsip yang penting dalam perjanjian jual beli, mengaturnya
dengan bijak dan logis. Menurut pasal ini, ketika suatu barang yang sudah
ditentukan disepakati dalam perjanjian jual beli, tanggung jawab atas
barang tersebut secara resmi beralih kepada pembeli sejak penutupan
perjanjian, meskipun barang tersebut belum secara fisik diserahkan dan
masih berada di tangan penjual.

Konsep ini memiliki landasan logis yang kuat. Penentuan suatu barang
yang spesifik dalam perjanjian menciptakan kedudukan hukum yang jelas
bagi pembeli, meskipun penyerahan fisik belum terjadi. Pada saat
perjanjian dicapai, barang tersebut secara simbolis "milik" pembeli, dan
risiko yang terkait dengannya menjadi tanggung jawabnya.

Namun, poin penting lainnya yang ditegaskan oleh Pasal 1460 KUH
Perdata adalah bahwa jika barang tersebut mengalami kerusakan atau
musnah bukan karena kesalahan penjual, penjual tetap memiliki hak
untuk menagih harga yang belum dibayar. Hal ini memastikan keadilan
dalam transaksi, di mana penjual tidak menanggung kerugian atas
keadaan di luar kendalinya.

Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)


memberikan arahan yang bijak mengenai peralihan risiko dalam konteks
jual beli, dengan menempatkan tanggung jawab tersebut pada pembeli.
Prinsip ini berlaku khususnya untuk barang tertentu, yang didefinisikan
sebagai barang yang sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli pada saat
perjanjian jual beli, seperti meja tulis atau lemari pakaian dalam contoh
yang diberikan.

Pertama-tama, konsep ini secara logis memberikan dasar hukum yang


jelas mengenai risiko. Pada saat perjanjian, pembeli dengan sengaja
memilih barang yang diinginkan dari toko perabot rumah. Dengan
demikian, pembeli memiliki kendali dan pengetahuan penuh atas barang
tersebut sejak awal.

Peralihan risiko kepada pembeli sebelum penyerahan fisik terjadi dapat


dipahami sebagai bentuk perlindungan bagi penjual. Pasal ini membatasi
berlakunya pada kasus di mana barang tertentu mengalami kerusakan
atau musnah sebelum diserahkan kepada pembeli. Hal ini memberikan
kejelasan dan keadilan dalam pembagian tanggung jawab antara penjual
dan pembeli.

Contohnya jual beli lemari jati di toko A. Roni ingin membeli sebuah
lemari jati di sebuah toko meubel, setelah berdiskusi dengan penjual,
maka terjadilah kesepakatan antara pembeli dan penjual mengenai harga
dan jenis barang yang diinginkan Roni. Kemudian Roni membayar lunas
lemari jati tersebut kepada penjual. Dan Roni meminta agar lemari jati
yang ia beli untuk diantarkan ke rumahnya.

Dari peristiwa tersebut dapat diketahui bahwa peralihan risiko telah


berpindah dari penjual kepada pembeli setelah terjadi kesepakatan
mengenai barang yang telah ditentukan. Barang yang telah ditentukan
adalah berupa lemari jati. Karna Jika barang yang dijual itu berupa barang
yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi
tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan
penjual berhak menuntut harganya.

Namun jika pada proses pengiriman barang pesanan terjadi peristiwa


yang tidak dapat diduga misalnya, barang yang diperjualbelikan musnah
di perjalanan karena mobil pengangkut barang tersebut mengalami
kecelakaan dan barang yang menjadi pesanan konsumen rusak dan
hancur akibat dari kecelakaan tersebut. Maka siapakah yang akan
menanggung semua kerugian tersebut? Inilah yang disebut risiko dalam
jual beli.
Namun ketika penjual lalai dalam melakukan kewajibannya sehingga
pada waktu yang telah ditentukan barang yang menjadi pesanan tidak
sampai pada waktu yang disepakati di awal dan keberadaannya tidak
diketahui dimana, maka inilah yang dimaksud jual beli yang mengandung
unsur gharar, dan disebut dengan gharar pada obyek transaksi, dan jual
belinya menjadi tidak sah (batil) karena adanya rukun dan syarat yang
tidak dapat dipenuhi oleh penjual yaitu barang yang dibeli dan
penyerahan barang tersebut (lemari jati).

Dalam konteks hukum Islam, terutama dalam analisis jual beli lemari
jati, prinsip fasakh menjadi krusial. Fasakh, atau kerusakan dalam
transaksi jual beli, dapat terjadi jika barang mengalami kerusakan
sebelum serah terima, baik akibat perbuatan penjual, barang itu sendiri,
atau karena bencana alam. Jika jual beli dianggap fasakh, maka peralihan
risikonya tidak ditanggung oleh penjual atau pembeli, karena risiko
tersebut timbul bukan karena tindakan keduanya, melainkan akibat dari
sifat alamiah barang itu sendiri, seperti dalam kasus lemari jati yang
rusak.

Konsep ini menciptakan keadilan dalam transaksi, mengingat bahwa


penjual dan pembeli tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas
kerusakan yang terjadi tanpa adanya keterlibatan atau kelalaian dari
pihak-pihak tersebut. Dengan demikian, risiko yang terkait dengan
kerusakan barang sebelum serah terima tidak dapat ditetapkan pada
penjual atau pembeli, melainkan dianggap sebagai bagian dari sifat
inherent barang.

Dalam kasus kerusakan yang terjadi setelah serah terima, prinsip jual
beli tangguh atau ba'i ma'dum menjadi relevan. Jika barang (lemari jati)
mengalami kerusakan yang membuatnya tidak dapat digunakan setelah
serah terima, risikonya akan ditanggung oleh pembeli sebagai penguasa
barang. Konsep ini mencerminkan prinsip tanggung jawab atas barang
yang telah berpindah kepemilikan.

Dalam situasi di mana barang mengalami kerusakan sebelum sampai


ke tangan pembeli, prinsip ganti rugi menjadi landasan yang logis dan
adil. Meskipun risiko jual beli secara umumnya ditentukan oleh pasal-pasal
tertentu dalam hukum perdata atau Islam, ketika ada kelalaian yang
menyebabkan kerugian pada barang sebelum serah terima, prinsip
tanggung jawab atas kelalaian tersebut harus dijaga.

Pada saat terjadinya akad jual beli, pihak-pihak yang terlibat,


khususnya penjual, memiliki kewajiban untuk menjaga barang dan
menghindari segala bentuk kelalaian yang dapat merugikan pembeli.
Bahkan setelah akad, prinsip ini tetap berlaku, dan kelalaian yang
mengakibatkan kerugian masih menjadi tanggung jawab penjual. Ini
menciptakan keseimbangan dalam transaksi, di mana keadilan diupayakan
melalui perlindungan terhadap pembeli yang mungkin mengalami kerugian
karena kelalaian pihak penjual.

Jual Beli Barang Timbangan (dalam pasal 1461 KUH Perdata)

Prinsip bahwa risiko atas barang yang dijual dengan timbangan,


bilangan, atau ukuran tetap berada di pihak penjual hingga proses
penimbangan, pengukuran, dan perhitungan dilakukan memiliki dasar
logis yang kuat. Konsep ini menggambarkan pertimbangan yang cermat
dalam konteks jual beli dan tanggung jawab masing-masing pihak.

Pada tahap awal transaksi, sebelum proses penimbangan atau


pengukuran, barang belum memasuki tahap identifikasi yang jelas. Oleh
karena itu, risiko yang terkait dengan kualitas, jumlah, atau ukuran
barang masih terdapat pada penjual. Pembeli belum dapat dengan pasti
mengetahui karakteristik barang yang akan dibelinya.

Baru setelah proses penimbangan, pengukuran, dan perhitungan


dilakukan, risiko secara logis beralih kepada pembeli. Pada tahap ini,
barang telah diidentifikasi secara akurat, dan pembeli menjadi penguasa
yang lebih efektif atas barang yang dibelinya. Prinsip ini menciptakan
keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab antara
penjual dan pembeli.

Misalnya Seseorang yang membeli buah atau membeli telur di pasar.


Ibu Ira membeli buah jeruk di pasar yang pada mulanya penjual
memberitahu bahwa buah jeruk tersebut akan awet sampai seminggu dan
tidak akan busuk. Mendengar penjelasan dari penjual, kemudian ibu Ira
membeli buah sebanyak 2kg dengan harga Rp 30.000. Kemudian tidak
sampai seminggu dan baru sekitar 3 hari ternyata buah tersebut sudah
busuk dan tidak bisa dimakan lagi.

Kasus tersebut menunjukan bahwa adanya risiko yang diterima ibu Ira
selaku pembeli yaitu kerusakan pada buah jeruk (busuk). Dari masalah
tersebut bahwa jual beli semacam itu menurut hukum perdata peralihan
risiko berada dipihak penjual ketika buah jeruk tersebut belum ditimbang,
diukur dan dihitung. Tetapi ketika buah jeruk tersebut sudah ditimbang,
diukur dan dihitung, maka risiko dibebankan kepada pembeli walaupun
penyerahannya belum dilakukan.

Analisis terhadap jenis jual beli yang melibatkan ketidakjelasan


mengenai barang, seperti yang dijelaskan dalam konteks hukum Islam,
mengarah pada konsep Jual Beli Majhul. Dalam hal ini, barang yang
diperdagangkan belum jelas sifat dan karakteristiknya, dan penjual telah
memberikan informasi yang tidak benar kepada pembeli mengenai
kualitas barang, menunjukkan adanya unsur penipuan.

Prinsip ini sesuai dengan konsep gharar dalam hukum Islam, yang
mencakup ketidakpastian atau ketidakjelasan dalam transaksi. Gharar
pada sifat dan karakter obyek akad, seperti yang terdapat dalam jual beli
ini, dapat mengakibatkan ketidak sahihan transaksi. Dalam hal ini,
kejelasan mengenai barang yang diperdagangkan adalah esensial untuk
menghindari unsur gharar.

Pentingnya kejelasan ini ditegaskan melalui ketidaksahihan (fasakh)


jual beli dalam konteks ini. Jika ada syarat yang tidak terpenuhi pada saat
akad, seperti ketidakmungkinan barang tersebut memberikan manfaat
kepada pembeli, transaksi dianggap tidak sah. Hal ini menciptakan
keadilan dan keamanan dalam transaksi, melindungi pembeli dari praktik-
praktik yang merugikan.

Prinsip-prinsip hukum Islam yang Anda sebutkan memberikan dasar


yang logis dan berkeadilan dalam konteks transaksi jual beli. Mari kita kaji
secara lebih mendalam.

Pertama-tama, jika sebagian barang rusak sebelum serah terima akibat


perbuatan penjual, prinsip bahwa pembeli tidak berkewajiban membayar
terhadap kerusakan tersebut mencerminkan konsep keadilan. Pembeli
tidak seharusnya menanggung kerugian yang timbul akibat kelalaian atau
tindakan penjual. Ini menciptakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban, mengingat bahwa pembeli masih dalam posisi sebagai pihak
yang berhak mendapatkan barang yang utuh.

Selanjutnya, jika barang tersebut utuh namun mengalami kerusakan


sebelum serah terima, pembeli diberikan pilihan antara membatalkan akad
atau menerima barang dengan potongan harga. Konsep ini secara logis
memberikan kontrol kepada pembeli untuk memutuskan apakah mereka
masih ingin melanjutkan transaksi dengan harga yang disesuaikan, atau
memilih untuk tidak melanjutkannya jika potongan harga tidak memadai.

Terakhir, jika kerusakan baru terlihat setelah penyerahan barang


kepada pembeli, risiko secara sah dibebankan kepada pembeli. Prinsip ini
sesuai dengan konsep bahwa pembeli menjadi penguasa barang setelah
serah terima. Ini menciptakan kejelasan mengenai tanggung jawab
pembeli terhadap kondisi barang setelah proses transaksi selesai.

Jual Beli Barang Tumpukan (dalam pasal 1462 KUH Perdata)

Pengaturan mengenai penjualan barang secara tumpukan atau


onggokan yang membuat risiko beralih kepada pembeli sebelum barang-
barang tersebut ditimbang, diukur, dan dihitung menunjukkan suatu
dinamika hukum yang menarik untuk diperinci. Suatu transaksi jual beli
yang dilakukan dengan prinsip ini, terutama pada barang-barang seperti
grosiran baju atau pasir, memunculkan implikasi signifikan terhadap
perubahan kepemilikan dan tanggung jawab.

Dalam kerangka ini, barang-barang yang dijual secara tumpukan


seolah-olah telah melewati suatu proses alamiah pemisahan dari milik
penjual lainnya, menjadikannya siap untuk diserahkan kepada pembeli.
Pemisahan ini memberikan indikasi bahwa barang-barang tersebut telah
diperuntukkan secara khusus untuk transaksi jual beli yang
bersangkutan. Pemisahan ini juga sejalan dengan konsep yang tertuang
dalam Pasal 1460 KUH Perdata yang menggambarkan barang tumpukan
sebagai suatu kumpulan barang tertentu.
Namun, keberlakuan ketentuan yang mengalihkan risiko kepada
pembeli sebelum pengukuran dan penimbangan barang dapat
menimbulkan pertanyaan tentang keadilan. Menetapkan risiko sejak
awal, tanpa memperhatikan variabel-variabel yang lebih spesifik seperti
kualitas dan jumlah barang, bisa dianggap sebagai suatu bentuk
ketidakadilan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan bagaimana aturan
ini dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan penjual dan
pembeli.

Dalam kesimpulannya, prinsip jual beli barang tumpukan


menawarkan perspektif hukum yang menarik dan memerlukan
keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum. Dengan
mempertimbangkan aspek-aspek ini, kita dapat lebih memahami
bagaimana suatu ketentuan hukum dapat mencerminkan dinamika
hubungan antara penjual dan pembeli dalam konteks transaksi jual beli
barang secara onggokan.

Misalnya seseorang membeli baju bayi secara grosiran di Tanah


Abang. Ketentuannya dengan minimal membeli baju 3 buah. Ternyata
baju yang dibeli secara grosiran dan satuan dipisah. Baju grosiran sudah
dipisahkan berdasarkan tumpukannya masing-masing dan 1 pack baju
grosiran berisi 3 buah. Hal itu dilakukan untuk memudahkan pembeli
memilih.

Dari peristiwa tersebut mempunyai akibat bahwa pembeli tidak


bisa melihat bagaimana tipe atau kualitas secara keseluruhan baju
tersebut, karna baju yang dibeli secara grosiran tidak boleh dibuka.
Ketika sampai rumah pembeli baru mengetahui bahwa baju yang
dibelinya sebagian rusak (sobek). Menurut hukum Perdata Jika barang
dijual menurut tumpukan atau onggokan, maka barang-barang tersebut
menjadi risiko pembeli, meskipun barang-barang itu belum ditimbang,
diukur dan dihitung.

Analisis terhadap transaksi jual beli semacam ini menurut hukum


Islam membawa kita pada konsep Jual Beli Majhul, yang merujuk pada
jual beli yang belum memperoleh kejelasan mengenai barang yang
diperdagangkan. Dalam konteks ini, dapat dihubungkan dengan konsep
gharar, yang mencakup ketidakpastian atau keraguan yang signifikan
terkait dengan sifat dan karakteristik obyek akad.

Gharar, dalam konteks jual beli, dapat diartikan sebagai


ketidakpastian yang melekat pada transaksi, sehingga memunculkan
unsur risiko atau spekulasi yang berlebihan. Dalam hukum Islam, prinsip-
prinsip jual beli yang diatur dalam syariat menciptakan landasan yang
jelas dan adil untuk perlindungan hak dan kepentingan semua pihak
yang terlibat dalam transaksi.

Dalam konteks Jual Beli Majhul, ketidakjelasan mengenai sifat


dan karakter obyek akad menjadi perhatian utama. Akad jual beli
seharusnya melibatkan kejelasan dan transparansi mengenai barang
yang diperdagangkan, termasuk kualitas, jumlah, dan karakteristiknya.
Jika terdapat kekurangan informasi yang signifikan, hal ini dapat
dianggap sebagai pelanggaran terhadap syarat-syarat yang diperlukan
untuk sahnya suatu akad.

Dalam pandangan hukum Islam, transaksi jual beli yang


mengandung gharar pada obyek akad dapat menyebabkan akad
tersebut menjadi fasakh, yaitu batal atau tidak sah. Ini disebabkan oleh
ketidakpastian yang dapat mengakibatkan ketidakadilan atau merugikan
salah satu pihak dalam transaksi. Selain itu, syarat-syarat sahnya akad,
seperti kejelasan dan bermanfaatnya barang, perlu dipenuhi agar
transaksi dapat diakui secara syar'i.

Analisis mengenai tanggung jawab atas kerusakan barang dalam


konteks jual beli menurut hukum Islam membawa kita pada prinsip-
prinsip yang diatur oleh syariat. Dalam kerangka ini, terdapat perbedaan
perlakuan tergantung pada waktu terjadinya kerusakan, apakah sebelum
atau setelah serah terima barang.

Pertama-tama, jika barang mengalami kerusakan sebelum serah


terima karena kesalahan atau perbuatan penjual, hukum Islam
menetapkan bahwa pembeli tidak berkewajiban membayar terhadap
kerusakan tersebut. Ini merujuk pada prinsip tanggung jawab penjual
untuk menjaga dan memastikan bahwa barang yang dijualnya dalam
kondisi baik hingga saat serah terima. Jika kerusakan terjadi sebelum
serah terima dan disebabkan oleh penjual, maka penjuallah yang harus
menanggung konsekuensi tersebut.

Kedua, jika kerusakan terjadi setelah serah terima barang, maka


risiko kerusakan tersebut akan dibebankan kepada pembeli. Konsep ini
didasarkan pada prinsip bahwa setelah serah terima, pembeli menjadi
penguasa atau memiliki kontrol atas barang. Oleh karena itu, pembeli
akan bertanggung jawab terhadap keadaan barang setelah serah terima,
dan kerusakan yang terlihat setelah itu menjadi tanggung jawab
pembeli.

Pertimbangan kritis terhadap ketidakadilan yang dianggap


terdapat dalam Pasal 1460-1462 KUH Perdata menciptakan ruang diskusi
yang mendalam di kalangan para ahli. Fokus utama pembahasan ini
melibatkan perpindahan risiko dalam konteks jual beli, terutama terkait
dengan barang yang belum diserahkan kepada pembeli.

Pasal 1459 KUH Perdata menawarkan perspektif yang berbeda


dan dianggap lebih adil oleh beberapa ahli hukum. Pasal ini menegaskan
bahwa hak milik atas barang yang diperjualbelikan tidak berpindah
kepada pembeli hingga barang tersebut benar-benar diserahkan. Dengan
kata lain, selama proses serah terima belum terjadi, barang masih
dianggap sebagai jaminan atau tanggungan penjual.

Analisis ini mencerminkan kehati-hatian dalam memperlakukan


pembeli, terutama jika barang belum secara fisik berpindah tangan.
Pemilihan kata "jaminan" menyoroti tanggung jawab penjual untuk
menjaga dan memastikan integritas barang hingga saat serah terima
selesai. Dengan demikian, Pasal 1459 memberikan perlindungan lebih
kepada pembeli, yang belum sepenuhnya menjadi pemilik barang.

Sementara Pasal 1460-1462, yang memberikan risiko kepada


pembeli sejak awal, memunculkan pertanyaan tentang keadilan dalam
hal ini. Para ahli mungkin mengkritik bahwa pemindahan risiko pada
tahap yang sangat awal, sebelum serah terima selesai, dapat
menyebabkan ketidaksetaraan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi.
Penempatan risiko pada penjual sebelum tahap penimbangan,
penghitungan, atau pengukuran barang, dan kemudian otomatis
dipindahkan kepada pembeli setelah proses tersebut, menciptakan
dinamika hukum yang dapat dianggap kontroversial dari perspektif
keadilan. Analisis ini dapat diterangi melalui prisma konsep kepemilikan
dan tanggung jawab dalam konteks transaksi jual beli.

Dalam konteks ini, Pasal 1459 KUH Perdata menyatakan bahwa


hak milik atas barang belum beralih kepada pembeli selama barang
tersebut belum diserahkan. Oleh karena itu, ketika risiko sudah beralih
kepada pembeli setelah penimbangan atau pengukuran, ada
kecenderungan menghasilkan situasi yang tampaknya tidak sejalan
dengan konsep kepemilikan. Pembeli, meskipun belum sepenuhnya
menjadi pemilik, harus bertanggung jawab atas risiko yang mungkin
timbul setelah tahap tersebut.

Perspektif ini mungkin dianggap tidak adil karena pembeli, pada


dasarnya, belum mendapatkan hak penuh atas barang yang dibeli.
Sebagai calon pemilik, pembeli dapat dianggap memiliki ekspektasi
bahwa risiko harus tetap pada penjual hingga serah terima yang
lengkap. Ketidaksetaraan ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang
perlunya peninjauan kembali prinsip-prinsip yang mengatur peralihan
risiko dalam transaksi jual beli.

Dalam konteks mu'amalah, atau hukum perdata Islam, tujuan


utama dari prinsip-prinsip yang diatur dalam syariat adalah terciptanya
kemaslahatan atau kesejahteraan bagi manusia. Konsep ini
mencerminkan esensi dari nilai-nilai Islam yang menekankan pentingnya
keadilan, kejujuran, dan keberkahan dalam segala aspek kehidupan,
termasuk dalam urusan ekonomi dan mu'amalah.

Prinsip-prinsip mu'amalah dalam hukum Islam dapat dipahami


melalui empat aspek kunci:

1. Pelaksanaan dengan Rela Sama Rela: Prinsip ini menegaskan


bahwa setiap transaksi atau perjanjian harus dilakukan dengan
sukarela dari semua pihak yang terlibat. Sikap rela sama rela
menciptakan suasana kerjasama yang sehat dan menjauhkan
dari unsur tekanan atau paksaan.
2. Kaitannya dengan yang Suci dan Halal: Hukum Islam sangat
memperhatikan kebersihan dan kehalalan dalam mu'amalah.
Segala sesuatu yang bersifat suci dan halal menjadi dasar bagi
pelaksanaan peraturan mu'amalah agar sesuai dengan nilai-nilai
agama.
3. Tidak Ada Unsur Penipuan atau Merugikan Pihak Lain: Aspek ini
menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam
transaksi. Unsur penipuan atau merugikan pihak lain dihindari
agar tercipta hubungan ekonomi yang adil dan saling
menguntungkan.
4. Menghindari Pempersempitan Peredaran Ekonomi: Prinsip ini
berfokus pada upaya untuk menghindari tindakan-tindakan
yang dapat menyempitkan peredaran ekonomi masyarakat.
Dengan cara ini, ekonomi dapat berjalan dengan lancar,
memberikan manfaat kepada seluruh komunitas.
5. Untuk Tujuan yang Dibenarkan Syara': Setiap tindakan atau
transaksi mu'amalah harus diarahkan kepada tujuan yang
dibenarkan oleh syariat Islam. Ini mencakup kepatuhan
terhadap aturan dan nilai-nilai Islam yang mendorong
keseimbangan dan kemaslahatan bagi semua pihak yang
terlibat.

Jual beli dalam konteks hukum perdata dan hukum Islam, apabila
telah memenuhi syarat dan rukun yang ditetapkan, dapat dianggap sah
dan mengikat. Konsep ini menggambarkan kecocokan antara prinsip-
prinsip mu'amalah Islam dan tata cara jual beli yang diatur dalam hukum
perdata. Kedua sistem hukum ini sejalan dalam mengakui keabsahan
dan kewajiban yang timbul setelah tercapainya kata sepakat,
menandakan terbentuknya perjanjian jual beli.

Pada dasarnya, pelaksanaan jual beli dapat dianggap sesuai


dengan konsep dan kaidah hukum Islam jika memenuhi syarat dan
rukun yang ditetapkan dalam syariat. Proses tercapainya kata sepakat
menjadi momen krusial yang menciptakan keterikatan antara kedua
belah pihak dalam perjanjian jual beli. Dengan kata lain, kewajiban dan
hak masing-masing pihak terbentuk seiring dengan tercapainya kata
sepakat tersebut.

Proses terbentuknya transaksi ekonomi, baik dari perspektif


hukum perdata maupun hukum Islam, dapat dipahami sebagai suatu
peristiwa penting yang melibatkan komitmen dan kewajiban dari kedua
belah pihak yang terlibat. Pernyataan keinginan untuk menjual dan
membeli tidak hanya merupakan ekspresi keinginan semata, melainkan
juga merupakan akad atau perjanjian yang mengikat.

Dalam konteks ini, pernyataan keinginan tersebut menciptakan


suatu komitmen di antara penjual dan pembeli untuk melakukan suatu
transaksi. Pada saat transaksi ekonomi diakui, penjual berkomitmen
untuk menyerahkan barang, sementara pembeli berkomitmen untuk
membayar harga yang disepakati. Dengan kata lain, perjanjian tersebut
menciptakan hubungan kewajiban dan hak di antara kedua belah pihak.

Dalam paradigma ekonomi Islam, konsep risiko atau


ketidakpastian dikenal sebagai "taghrir," yang berasal dari bahasa Arab
"gharar." Gharar secara etimologis dapat diartikan sebagai akibat,
bencana, bahaya, risiko, dan ketidakpastian. Dalam konteks akad
ekonomi Islam, taghrir merujuk pada unsur-unsur ketidakpastian yang
dapat mengakibatkan akad menjadi tidak jelas atau meragukan.

Secara lebih mendalam, taghrir mencerminkan keberatan


terhadap ketidakpastian yang mungkin muncul dalam suatu transaksi
ekonomi. Konsep ini menyoroti pentingnya kejelasan, kepastian, dan
ketelitian dalam setiap akad agar dapat meminimalkan risiko penipuan
atau kerugian. Sebuah akad dianggap mengandung taghrir jika terdapat
ketidakpastian mengenai keberadaan objek akad, jumlah yang terlibat,
atau bahkan kesulitan dalam menentukan karakteristik esensial dari
transaksi tersebut.

Menurut Ulama Fikih dalam buku berbagai macam transaksi dalam


Islam, bentuk kelalaian dalam jual beli diantaranya:
a. Barang yang dijual itu bukan milik penjual (barang titipan, jaminan
hutang yang berada di tangan penjual, barang curian).
b. Sesuai perjanjian, barang tersebut harus diserahkan ke tempat pembeli
pada waktu tertentu, tetapi ternyata barang tidak diantarkan atau tidak
tepat waktu.
c. barang tersebut rusak sebelum sampai ke tangan pembeli
d. barang tersebut tidak sesuai dengan contoh yang telah disepakati

Penanggungan risiko dapat juga memperhatikan letak dan tempat


beradanya suatu barang, serta penyebab terjadinya suatu kelalaian. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sayyid Sabiq, bahwa penanggungan atas
kerusakan atau cacat barang, sebelumnya harus ditentukan dulu kapan
terjadinya kerusakan barang tersebut. Tentang kerusakan barang
sebelum dilakukan serah terima antara penjual dan pembeli, ada
beberapa kelompok berdasarkan kasusnya, yaitu:

a) Jika barang rusak semua atau sebagian sebelum diserahterimakan


akibat perbuatan pembeli, maka jual beli tidak menjadi fasakh (batal),
akad berlangsung seperti sedia kala. Dan pembeli berkewajiban
membayar penuh, karena ia menjadi penyebab kerusakan.
b) Jika kerusakan akibat perbuatan orang lain, maka pembeli boleh
menentukan pilihan antara kembali kepada si orang lain atau
membatalkan akad.
c) Jual beli menjadi fasakh jika barang rusak sebelum serah terima akibat
perbuatan penjual atau perbuatan barang itu sendiri atau karena
bencana alam.
d) Jika sebagian barang rusak karena perbuatan penjual, maka pembeli
tidak berkewajiban membayar terhadap kerusakan tersebut, sedangkan
untuk barang yang utuh pembeli boleh menentukan pilihan antara
membatalkan akad atau mengambilnya dengan potongan harga.
e) Jika kerusakan barang akibat perbuatan barang itu sendiri, ia tetap
berkewajiban membayar. Penjual boleh menentukan pilihan antara
membatalkan akad atau mengambil sisa dengan membayar
kekurangannya.
f) Jika kerusakan terjadi akibat bencana alam yang membuat
berkurangnya kadar barang, sehingga harga barang berkurang sesuai
dengan yang rusak,maka pembeli boleh menentukan pilihan antara
membatalkan akad atau mengambil sisa (yang utuh) dengan
pengurangan pembayaran.

Dalam ranah ekonomi Islam, prinsip tanggung jawab terkait risiko


kerusakan barang setelah serah terima memiliki akar pada nilai-nilai keadilan
dan kebersamaan. Pada dasarnya, pembeli bertanggung jawab penuh
terhadap risiko kerusakan barang yang terjadi setelah transaksi serah terima
dilakukan. Namun, dalam semangat keadilan dan sebagai bentuk
perlindungan terhadap pembeli, ekonomi Islam memberikan ruang bagi
adanya alternatif yang berupa jaminan atau garansi.

Konsep ini tercermin dalam ketentuan bahwa apabila penjual mampu


menyediakan alternatif lain, seperti jaminan atau garansi, maka penjual
diwajibkan untuk menggantikan harga barang yang rusak atau menggantinya
dengan barang yang serupa. Hal ini mencerminkan nilai-nilai keadilan dan
kebersamaan dalam transaksi ekonomi, di mana kedua belah pihak saling
melibatkan diri untuk mencapai kesepakatan yang adil dan saling
menguntungkan.

Pandangan yang berbeda-beda mengenai tanggung jawab risiko dalam


jual beli, seperti yang diemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan
Imam Malik, mencerminkan kekayaan tradisi dan interpretasi hukum Islam
dalam mazhab fiqh yang berbeda. Konsep ini sangat relevan dalam konteks
ekonomi Islam dan menyoroti perbedaan pendekatan para imam terhadap
aspek tanggung jawab dalam transaksi jual beli.

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, pembeli tidak


menanggung risiko atas barang yang dibelinya hingga setelah menerimanya.
Pandangan ini menegaskan bahwa pembeli hanya bertanggung jawab
setelah proses serah terima barang secara fisik telah selesai. Sebaliknya,
Imam Malik berpendapat bahwa penjual memiliki kewajiban untuk
memastikan kelengkapan dan keselamatan barang sejak awal, termasuk
dalam hal timbangan, takaran, dan bilangan. Oleh karena itu, pembeli tidak
menanggung risiko sebelum menerima barang dengan kondisi yang
dijanjikan.
Pandangan para fuqaha (cendekiawan hukum Islam) yang menyatakan
bahwa penerimaan barang termasuk dalam syarat sahnya akad menciptakan
landasan teoritis untuk penegasan bahwa penjual harus menanggung
keselamatan barang hingga pembeli menerimanya. Ini menunjukkan
pentingnya kejelasan dan keterbukaan dalam transaksi ekonomi, seiring
dengan prinsip-prinsip keadilan dan saling menguntungkan yang terdapat
dalam ajaran Islam.

Pandangan para ulama tentang tanggung jawab risiko dalam transaksi


jual beli, yang menekankan nilai keadilan dan prinsip ganti rugi terhadap
kelalaian, memuat makna yang dalam, terutama dalam konteks ekonomi
Islam. Konsep ini menyiratkan bahwa dalam situasi risiko atau kerusakan
barang, pihak yang terbukti lalai atau tidak memenuhi kewajiban dalam akad
bertanggung jawab untuk mengganti rugi, tanpa memandang apakah itu
pedagang atau pembeli yang berada dalam posisi kelalaian.

Landasan hukum untuk tukar-menukar barang atau jual beli dalam


Islam didasarkan pada prinsip-prinsip keselamatan barang dan keharusan
kesamaan antara dzahir (penampakan luar) dengan isi. Ini menciptakan
kewajiban moral dan hukum bagi pihak yang menyerahkan barang untuk
memastikan bahwa barang yang diserahkan dalam keadaan baik dan sesuai
dengan apa yang dijanjikan dalam akad. Apabila setelah akad terungkap
adanya cacat pada barang, maka pihak yang menyerahkan barang tersebut
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, dan yang berhak menuntut
ganti rugi.

Jual beli dalam konteks ekonomi Islam bukan sekadar pertukaran


barang dan uang semata, melainkan sebuah pemenuhan akad yang
mengandung nilai-nilai etis dan prinsip keadilan. Islam mendorong agar
setiap transaksi ekonomi dilakukan dengan penuh integritas, tanggung
jawab, dan kerelaan dari kedua belah pihak. Pemenuhan hak dan kewajiban
dalam jual beli menjadi sebuah keharusan yang menggarisbawahi prinsip-
prinsip moral yang tertanam dalam ajaran Islam.

Dalam perspektif ini, keridhaan atau kerelaan kedua belah pihak


menjadi hal yang sangat penting. Konsep "an taradhim minkum" menyoroti
pentingnya mendapatkan persetujuan atau persetujuan batin dari kedua
belah pihak dalam transaksi ekonomi. Meskipun kerelaan ini adalah sesuatu
yang tersembunyi di dalam hati, tanda-tanda dan indikatornya dapat
tercermin dalam tindakan eksternal seperti ijab (tawaran) dan qabul
(penerimaan), atau dalam konteks serah terima yang dikenal dalam adat
kebiasaan.

Oleh karena itu, transaksi dikatakan sah apabila didasarkan kepada


keridhaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Sedangkan dasar
akad dalam kaidah fiqih berbunyi:

‫االص ف الع د زض المتعا د ٔه وت ٕج ت ٍم ا التزماي باالتعا د‬

“Hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang
mengadakan akad dan hasilnya apa yang saling di- iltzamkan (dipenuhi
sesuai ketentuan) oleh perakadan (perjanjian)”

Analisis peneliti yang menyoroti peralihan risiko dalam KUH


Perdata Pasal 1460-1462 dan menyimpulkan bahwa pembebanan risiko
sepenuhnya kepada pembeli dianggap tidak adil, memberikan refleksi
mendalam terhadap pandangan hukum Islam terkait jual beli. Menurut
hukum Islam, dasar utama tukar-menukar barang adalah keharusan
menjaga keselamatan barang dari cacat atau kerusakan. Dalam konteks
ini, apabila terdapat cacat atau kerusakan, penjual bertanggung jawab
sebelum barang diserahkan kepada pembeli.

Pendekatan ini menciptakan dasar hukum yang adil dan sejalan


dengan prinsip keadilan dalam Islam. Meskipun cacat atau kerusakan
barang tidak selalu disebabkan oleh kesalahan pihak penjual atau
pembeli, penjual tetap memiliki kewajiban untuk menanggung risiko
tersebut hingga barang diserahkan kepada pembeli. Prinsip ini
menghindarkan pembeli dari beban risiko yang tidak seharusnya
ditanggung sebelum kepemilikan atau penguasaan barang benar-benar
berpindah.

Ganti rugi dalam konteks ini diwujudkan dalam bentuk jaminan


atau tanggungan. Jaminan dapat berupa barang atau uang, yang
ditentukan melalui kesepakatan bersama. Jaminan ini bukan hanya
sebagai bentuk perlindungan terhadap cacat atau kerusakan barang,
tetapi juga sebagai mekanisme untuk mencegah konflik atau perselisihan
terkait dengan akad yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Persoalan peralihan risiko dalam jual beli, yang cenderung


dipahami secara seragam oleh umat Muslim, menggambarkan
keselarasan antara pandangan para ahli hukum perdata dan mayoritas
ulama. Pemahaman ini memandang bahwa risiko atas suatu barang
seharusnya dipikulkan kepada pemiliknya hingga saat barang tersebut
resmi diserahkan kepada pembeli. Nilai keadilan yang mendasari
pemikiran ini mengakui bahwa risiko dalam transaksi jual beli harus
ditanggung oleh pihak yang memiliki kontrol atas barang, yaitu penjual,
hingga terjadi serah terima kepada pembeli.

Pandangan ini mencerminkan keseimbangan antara keadilan dan


tanggung jawab dalam dunia ekonomi Islam. Persetujuan umum di
kalangan ulama dan Fuqaha menegaskan bahwa risiko harus dipikulkan
kepada penjual sebelum serah terima barang. Ini sejalan dengan prinsip
bahwa pemilik baranglah yang seharusnya bertanggung jawab atas
keadaan dan integritas barang tersebut. Persetujuan ini juga mencakup
aspek tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi apabila risiko
tersebut terwujud, terlepas dari siapa yang menjadi pelaku kelalaian, baik
itu penjual maupun pembeli.

Penting untuk mencatat bahwa dalam situasi tertentu, seperti


masa tanggungan atau bencana alam yang telah disepakati sejak awal
dalam akad, pendekatan ini dapat disesuaikan. Misalnya, dalam transaksi
jual beli handphone yang masih memiliki masa garansi, di mana pemilik
barang (penjual) mungkin tidak bertanggung jawab atas risiko tertentu
selama masa garansi tersebut.
BAB III OVERMACHT

A. Istilah dan Ruang Lingkup Overmacht

Hukum perdata dalam sistem civil law mencakup dua aspek pokok
yang memainkan peran sentral dalam mengatur hubungan-hubungan
antar individu, yaitu hukum kontrak dan hukum dagang. Dua komponen
ini merangkum prinsip-prinsip yang mendasari perjanjian dan aktivitas
perdagangan, membentuk kerangka kerja hukum yang esensial untuk
menjaga keseimbangan dan keadilan dalam masyarakat.

Hukum kontrak, sebagai bagian integral dari hukum perdata,


memfokuskan perhatiannya pada konsep tanggung jawab sukarela.
Artinya, individu secara sadar dan sukarela menanggung beban kewajiban
yang mereka sepakati dalam suatu perjanjian. Konsep ini dikenal sebagai
self-imposed obligation, yang menggambarkan kesadaran dan tanggung
jawab pribadi individu terhadap kesepakatan yang mereka buat.

Ketika seseorang memasuki kontrak, ia dengan sengaja mengambil


tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah
disepakati. Prinsip ini mencerminkan esensi dari kontrak sebagai bentuk
kesepakatan sukarela dan menunjukkan kepentingan untuk melindungi
hak dan kewajiban setiap pihak secara adil.

Kontrak, sebagai wujud entitas privat yang dihasilkan dari kesepakatan


antara para pihak, memberikan hak yuridis yang kuat kepada masing-
masing pihak untuk menuntut pelaksanaan serta kepatuhan terhadap
kewajiban dan pembatasan yang telah mereka sepakati secara sukarela.
Namun, realitas kompleksitas kehidupan menghadirkan potensi untuk
ketidak laksanaan maksud dan tujuan perjanjian tersebut. Wanprestasi
dapat timbul baik dari pihak kreditur maupun debitur, dan kondisi seperti
paksaan, kekeliruan, perbuatan curang, serta keadaan memaksa atau
yang dikenal dengan force majeure, atau dalam hukum Indonesia disebut
overmacht, dapat menyebabkan ketidakmungkinan pemenuhan
kewajiban.

Ketidak Pelaksanaan perjanjian dapat mengakibatkan kontrak menjadi


batal, baik secara hukum maupun demi hukum. Wanprestasi,
ketidakmampuan pemenuhan kewajiban, atau adanya faktor-faktor
eksternal yang tidak dapat diantisipasi dapat memberikan dasar hukum
untuk pembatalan kontrak. Dalam konteks ini, terdapat beberapa
konsekuensi hukum yang patut dipertimbangkan.

Konsep force majeure, yang berasal dari istilah Latin "vis major cui
resisti non potest," mencerminkan suatu realitas hukum yang telah
berakar sejak zaman hukum Romawi. Force majeure merujuk pada
keadaan di mana seseorang tidak dapat mengatasi kekuatan atau
peristiwa yang berada di luar kendalinya. Lazimnya, istilah ini terkait
dengan suatu peristiwa tak terduga dan diluar jangkauan manusia, yang
dapat menghambat atau menghalangi pihak dari memenuhi kewajiban
kontraknya.

Dalam konteks hukum, doktrin force majeure telah merambah berbagai


sistem hukum, termasuk dalam tradisi common law. Dalam pemahaman
common law, istilah ini sering diartikan sebagai ketidakmampuan untuk
melaksanakan suatu prestasi dalam kontrak, dan walaupun istilahnya
mungkin berbeda, konsepnya memiliki relevansi yang mendalam dengan
force majeure.

Force majeure, atau vis major, memiliki kedudukan penting dalam


hukum perdata sebagai suatu konsep yang memungkinkan pemutusan
pelaksanaan kewajiban kontrak karena adanya peristiwa tak terduga dan
di luar kendali manusia. Mochtar Kusumaatmadja, seorang tokoh hukum
Indonesia, menegaskan bahwa force majeure dapat diterima sebagai
alasan untuk tidak memenuhi kewajiban kontrak ketika objek atau tujuan
utama perjanjian hilang atau lenyap. Pemahaman ini mencakup aspek fisik
dan hukum dari pelaksanaan kontrak, bukan sekadar kesulitan dalam
melaksanakan kewajiban.

Pendapat serupa diungkapkan oleh Mieke Komar Kantaatmadja, yang


menambahkan beberapa syarat untuk mengakui perubahan keadaan
sebagai force majeure:

1. Perubahan keadaan tidak terjadi pada saat pembentukan perjanjian.


2. Perubahan tersebut melibatkan aspek fundamental dari perjanjian.
3. Perubahan tidak dapat diprediksi sebelumnya oleh para pihak.
4. Akibat dari perubahan tersebut bersifat radikal, mengubah secara
signifikan lingkup kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan
perjanjian.

Namun, penting untuk dicatat bahwa asas force majeure tidak selalu
dapat diterapkan pada semua jenis perjanjian. Kantaatmadja menegaskan
bahwa asas ini tidak berlaku pada perjanjian perbatasan dan ketika
perubahan keadaan disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh
pihak yang mengajukan tuntutan.

Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata menjadi pijakan hukum di Indonesia


yang mengatur mengenai force majeure. Meskipun, dalam kajian lebih
mendalam, terlihat bahwa ketentuan tersebut lebih menitikberatkan pada
tata cara penggantian biaya, rugi, dan bunga. Kendati demikian, keduanya
tetap dapat dijadikan landasan sebagai pengaturan force majeure yang
memberikan perlindungan terhadap pihak-pihak dalam suatu perjanjian.

Dalam klausa force majeure, terdapat perlindungan yang diberikan


terhadap kerugian yang timbul akibat sejumlah peristiwa atau kejadian tak
terduga yang berada di luar kendali manusia. Klausa ini mewakili suatu
pendekatan proaktif untuk mengantisipasi dan mengatasi konsekuensi
negatif dari peristiwa-peristiwa tersebut. Beberapa contoh kejadian yang
biasanya termasuk dalam klausa force majeure meliputi:

1. Bencana Alam: Kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan,


atau bencana alam lainnya.
2. Gangguan Teknis: Pemadaman listrik, kerusakan katalisator, atau
gangguan teknis serupa.
3. Kejadian Politik dan Militer: Sabotase, perang, invasi, perang saudara,
pemberontakan, revolusi, kudeta militer, atau terorisme.
4. Kejadian Hukum dan Politik Internasional: Nasionalisasi, blokade,
embargo, serta sanksi terhadap suatu pemerintahan.
5. Perselisihan Perburuhan: Mogok, perselisihan perburuhan, atau kondisi
serupa.

Pentingnya klausa force majeure adalah memberikan ketenangan


kepada para pihak dalam perjanjian ketika mereka dihadapkan pada
situasi di luar kendali mereka. Ini juga dapat meminimalkan sengketa
hukum yang mungkin timbul karena ketidakmampuan untuk memenuhi
kewajiban perjanjian akibat kejadian yang tidak dapat diprediksi.

Ketika kita menjelajahi ke dalam jantung suatu perjanjian, terlihat


bahwa force majeure bukanlah entitas terpisah yang eksis secara mandiri.
Sebaliknya, force majeure disematkan di dalam perjanjian pokok,
menjelma sebagai salah satu klausa yang menjadi satu bagian tak
terpisahkan dari keseluruhan struktur kontrak. Kedudukannya senantiasa
merangkul esensi sebuah perjanjian, lebih tepatnya sebagai elemen
aksesor atau pendamping dari inti perjanjian.

Dalam kerangka hukum, force majeure tidak mengemuka sebagai


entitas yang berdiri sendiri; sebaliknya, ia menjadi bagian integral dari
perjanjian pokok. Pengakuan force majeure sebagai klausa dalam
perjanjian menegaskan perannya sebagai penyesuaian yang terjalin erat
dengan isi kesepakatan utama. Dalam perjanjian accesoir, keberadaan
force majeure mencerminkan peranannya sebagai elemen pelengkap yang
mendukung dan melengkapi perjanjian utama.

Sebagai ilustrasi, kita dapat membayangkan force majeure seperti


sebuah orkestra dalam sebuah simfoni. Meskipun memiliki elemen-elemen
individualnya, keberadaan setiap instrumen dalam orkestra tersebut
merupakan bagian integral dari karya keseluruhan. Force majeure,
sebagaimana klausa-klausa lainnya dalam perjanjian, adalah bagian dari
harmoni yang melingkupi dan memberikan struktur pada kontrak.

Force majeure, atau "keadaan memaksa," merujuk pada suatu kondisi


di mana seorang debitur mengalami hambatan untuk melaksanakan
kewajibannya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada
saat perjanjian dibuat. Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks force
majeure, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur, dan debitur tersebut tidak
bertindak dengan itikad buruk.

Dua macam keadaan memaksa yang umumnya diakui adalah:

1. Keadaan Memaksa yang Absolut (Absolut Onmogelijkheid):


Keadaan memaksa ini terjadi ketika pelaksanaan perjanjian secara harfiah
menjadi tidak mungkin atau absolut tidak mungkin dilakukan. Ini
mencakup situasi di mana objek atau tujuan perjanjian lenyap atau
mengalami kerusakan yang parah sehingga tidak dapat dipertahankan
atau digunakan.

2. Keadaan Memaksa yang Relatif (Relatieve Onmogelijkheid):

Keadaan memaksa relatif terjadi ketika pelaksanaan perjanjian masih


mungkin, tetapi kondisi atau keadaan tertentu membuat pelaksanaan
tersebut tidak dapat dilakukan tanpa adanya kesulitan atau beban yang
tidak semestinya besar. Ini bisa melibatkan hambatan-hambatan praktis
atau ekonomis yang signifikan yang membuat pelaksanaan perjanjian
tidak memungkinkan atau tidak wajar.

Pemahaman ini menciptakan landasan bagi perlindungan debitur dalam


situasi di mana kewajibannya tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kendalinya. Selain itu, penting untuk ditekankan bahwa debitur harus
berada dalam keadaan yang jujur dan tidak bertindak dengan itikad buruk
agar dapat mengklaim force majeure.

Keadaan memaksa yang absolut dan relatif membentuk dua dimensi


penting dalam konsep force majeure, menunjukkan bahwa ada situasi di
mana debitur mengalami kendala yang membuatnya sama sekali tidak
mampu memenuhi kewajibannya, dan ada situasi di mana pelaksanaan
kewajiban masih mungkin tetapi dengan korban atau risiko yang besar.

1. Keadaan Memaksa yang Absolut:

Situasi ini menciptakan kondisi di mana debitur benar-benar tidak dapat


memenuhi perutangannya kepada kreditur. Contoh seperti gempa bumi,
banjir bandang, atau lahar menunjukkan bencana alam yang dapat
merusak atau menghancurkan objek atau tujuan perjanjian. Dalam
konteks ini, pelaksanaan perjanjian menjadi absolut tidak mungkin karena
objek yang menjadi fokusnya lenyap atau rusak parah, menghalangi
debitur untuk memenuhi kewajibannya secara fisik.

2. Keadaan Memaksa yang Relatif:


Di sisi lain, keadaan memaksa yang relatif melibatkan situasi di mana
debitur masih bisa melaksanakan prestasinya, tetapi dengan pengorbanan
atau risiko yang besar. Ini mencakup situasi di mana pelaksanaan
perjanjian memerlukan pengorbanan finansial atau tenaga yang tidak
seimbang, atau di mana risiko terhadap kehidupan atau harta benda
debitur sangat besar. Dalam konteks ini, meskipun pelaksanaan mungkin
masih mungkin secara teoritis, faktor-faktor tersebut membuatnya tidak
rasional atau tidak wajar.

Dalam pemahaman mengenai force majeure, Riduan Syahrani


menyoroti tidak adanya pasal yang secara spesifik mengatur force
majeure secara umum dalam KUHPerdata di Indonesia, terutama untuk
kontrak bilateral. Sebagai gantinya, pengaturan force majeure dapat
ditemukan dalam pengaturan-pengaturan khusus, baik yang berkaitan
dengan ganti rugi maupun resiko akibat force majeure, yang terdapat
dalam bagian-bagian tertentu dari KUHPerdata, atau dalam kontrak-
kontrak khusus yang lebih rinci.

Hal ini menciptakan tantangan dalam menafsirkan konsep force


majeure dalam konteks hukum perdata Indonesia, karena tidak terdapat
patokan yuridis secara umum. Oleh karena itu, untuk memahami apa yang
dimaksud dengan force majeure dalam KUHPerdata, dapat dilakukan
dengan menarik kesimpulan dari pengaturan-pengaturan khusus yang
ada.

Ketika kita merenung pada esensi force majeure, kita menemukan


bahwa kewajiban dalam sebuah kontrak dapat terhenti, terhambat, atau
bahkan tidak dapat dilaksanakan karena adanya keadaan memaksa atau
overmacht. Force majeure menjadi perisai hukum yang memayungi pihak
yang dirugikan dalam suatu perjanjian, dengan syarat-syarat objektif
dan/atau subjektif harus terpenuhi.

Pengaturan mengenai force majeure dapat kita temukan dalam


KUHPerdata, yang mencakup beragam situasi yang melibatkan kejadian-
kejadian tak terduga dan di luar kendali manusia. Keberagaman ini
menciptakan garis perlindungan yang luas, memastikan bahwa pihak yang
terdampak oleh kejadian-kejadian tersebut dapat memperoleh keringanan
atau bahkan pembebasan dari kewajiban mereka.

Dalam konteks hukum perdata Indonesia, force majeure mencakup


sejumlah peristiwa yang melibatkan kekuatan alam, tindakan manusia,
serta peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi. Situasi seperti kebakaran,
banjir, gempa, sabotase, perang, terorisme, dan perselisihan perburuhan
menjadi contoh konkret yang tercakup dalam lingkup force majeure.

Keadaan memaksa atau force majeure, yang juga dikenal sebagai


overmacht, merupakan suatu kondisi yang muncul setelah perjanjian
dibuat dan menghalangi debitur untuk memenuhi kewajibannya. Dalam
konteks ini, debitur tidak dapat disalahkan, tidak harus menanggung
risiko, dan tidak dapat mengantisipasi keadaan tersebut pada saat
perjanjian dibuat. Penting untuk diingat bahwa semua aspek ini harus
terjadi sebelum debitur lalai untuk memenuhi kewajibannya saat keadaan
memaksa muncul.

Menurut KUH Perdata, terdapat tiga unsur kunci yang harus dipenuhi
untuk mengkategorikan suatu situasi sebagai keadaan memaksa:

a. Tidak Memenuhi Prestasi:

Debitur harus tidak mampu memenuhi kewajibannya, atau


setidaknya menjadi sangat sulit atau tidak wajar bagi debitur
untuk melakukannya. Kondisi ini menciptakan hambatan yang
nyata terhadap pelaksanaan prestasi.

b. Adanya Sebab yang Terletak di Luar Kesalahan Debitur:

Sebab atau faktor penyebab yang menghalangi pelaksanaan


prestasi harus berada di luar kendali dan kesalahan debitur. Ini
mencakup peristiwa-peristiwa seperti bencana alam, perang,
atau tindakan sabotase yang tidak dapat dikendalikan oleh
debitur.

c. Faktor Penyebab Tidak Dapat Diduga Sebelumnya dan Tidak


Dapat Dipertanggungjawabkan kepada Debitur:

Faktor penyebab keadaan memaksa harus tidak dapat diprediksi


atau diantisipasi oleh debitur pada saat perjanjian dibuat. Selain
itu, debitur tidak boleh bertanggung jawab atas munculnya
faktor penyebab tersebut.

Dalam konteks keadaan memaksa atau force majeure, dua konsep


penting yang muncul adalah absolute overmacht (keadaan memaksa
yang bersifat obyektif) dan relatieve overmacht (keadaan memaksa yang
bersifat subyektif). Kedua konsep ini menyoroti perbedaan dalam
karakteristik dan dasar hukum dari suatu keadaan memaksa.

Absolute Overmacht (Keadaan Memaksa yang Bersifat Obyektif):

Dalam kondisi ini, terjadi ketidakmungkinan (impossibility) untuk


memenuhi prestasi karena objek yang menjadi fokus perjanjian lenyap atau
musnah. Dasar hukumnya adalah keadaan di mana barang yang menjadi
subjek perjanjian menjadi tidak ada atau mengalami kerusakan yang begitu
parah sehingga tidak dapat dilakukan pelaksanaan prestasi. Absolute
overmacht berkaitan dengan fakta bahwa objek yang harus diberikan atau
dilakukan oleh debitur tidak lagi ada, sehingga tidak mungkin dilaksanakan.

Relatieve Overmacht (Keadaan Memaksa yang Bersifat Subyektif):

Dalam konteks ini, keadaan memaksa menciptakan kesulitan untuk


memenuhi prestasi karena adanya peristiwa yang menghalangi debitur untuk
bertindak. Dasar hukumnya adalah kesulitan yang timbul dari adanya
hambatan atau rintangan yang tidak dapat diatasi oleh debitur. Relatieve
overmacht berkaitan dengan fakta bahwa debitur mengalami kesulitan yang
tidak mungkin dihindari atau diatasi, sehingga tidak wajar atau tidak adil untuk
menuntut pelaksanaan prestasi.

Implikasi hukum keadaan memaksa (force majeure) membawa


konsekuensi penting terutama terkait dengan risiko yang harus ditanggung
oleh debitur. Dalam konteks ini, beberapa poin kunci dapat dijelaskan:

1. Kemungkinan Pemenuhan Prestasi:


Keberadaan keadaan memaksa harus menyebabkan bahwa tidak
mungkin bagi setiap orang, termasuk debitur sendiri, untuk memenuhi
prestasi tersebut. Pemutusan atau hambatan pelaksanaan prestasi
haruslah begitu signifikan sehingga mempengaruhi semua pihak yang
terlibat.

2. Penentuan Kasus per Kasus:

Penilaian mengenai keadaan memaksa perlu dilakukan secara khusus


untuk setiap kasus. Artinya, tidak ada panduan atau kriteria baku yang
dapat diterapkan secara seragam untuk menilai keadaan memaksa.
Evaluasi ini harus mempertimbangkan faktor-faktor unik dari masing-
masing situasi.

3. Debitur Tidak Harus Menanggung Risiko:

Konsep ini mengindikasikan bahwa dalam situasi keadaan memaksa,


debitur tidak dianggap bertanggung jawab atau harus menanggung
risiko yang menghambat pemenuhan prestasi. Ini menciptakan suatu
pembagian tanggung jawab yang adil dan sesuai dengan kebijakan
perlindungan hukum.

4. Tidak Dapat Menduga Terjadinya Peristiwa:

Implikasi lainnya adalah bahwa debitur tidak dapat menduga atau


mengantisipasi terjadinya peristiwa yang menghalangi pemenuhan
prestasi pada saat perjanjian dibuat. Hal ini menunjukkan sifat tak
terduga dari keadaan memaksa, yang membuatnya menjadi suatu
faktor yang sulit untuk diprediksi.

Keadaan memaksa mengakibatkan perikatan tidak lagi mempunyai


daya kerja. Dalam hal ini maka;

1. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan dipenuhi.


2. Kreditur tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai,
dan karena itu tidak dapat menuntut.
3. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian.
4. Pada perjanjian timbal balik, gugur kewajiban untuk melakukan
kontraprestasi.

Keadaan memaksa, sebagai konsep dalam hukum perdata,


memberikan ruang bagi pemahaman yang lebih dalam ketika dibedakan
menjadi keadaan memaksa absolut dan keadaan memaksa relatif.

1. Keadaan Memaksa Absolut:

Keadaan memaksa absolut adalah suatu kondisi di mana debitur benar-


benar tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Analogi
yang indah untuk menggambarkan ini dapat diambil dari konteks
penjualan rumah, di mana pemilik (debitur) tidak dapat memenuhi
kewajibannya karena rumah itu roboh akibat gempa bumi. Dalam
situasi ini, debitur tidak hanya menghadapi kesulitan melainkan
menghadapi suatu kemustahilan untuk memenuhi perjanjian.
Kehancuran rumah menjadi simbol dari keadaan memaksa yang tidak
dapat diatasi.

2. Keadaan Memaksa Relatif:

Di sisi lain, keadaan memaksa relatif melibatkan situasi di mana debitur


masih memiliki kemungkinan untuk melaksanakan prestasinya, namun
hal itu harus dilakukan melalui pengorbanan yang sangat besar, yang
tidak seimbang. Contoh yang indah dapat diambil dari dunia seni
pertunjukan, seperti seorang penyanyi yang sudah menandatangani
kontrak untuk pertunjukan. Meskipun masih mungkin untuk memenuhi
kontrak tersebut, kondisi di mana anaknya sakit keras menciptakan
pengorbanan yang tidak sebanding. Ini menciptakan
ketidakseimbangan antara kewajiban yang diharapkan dan
pengorbanan pribadi yang harus dibuat.

Perbedaan antara overmacht absolut dan overmacht relatif


merupakan turunan dari teori tentang overmacht (keadaan memaksa).
Dalam sejarah pemikiran tentang keadaan memaksa, terdapat dua
ajaran yaitu;

1) Ajaran yang objektif (de objectieve overmachtsleer) atau overmacht


absolut.
2) Ajaran yang subjektif (de subjectieve overmachtsleer) atau overmacht
relatif.

Dalam kerangka overmacht yang bersifat objektif atau absolut,


pemenuhan prestasi tidak hanya sulit tetapi benar-benar tidak mungkin
dilakukan oleh siapapun juga (imposibilitas). Contoh yang indah untuk
mengilustrasikan hal ini adalah ketika objek perjanjian musnah karena
bencana alam, sehingga tidak ada kemungkinan bagi siapapun untuk
melakukan penyerahan. Pasal 1444 KUHPerdata mencerminkan prinsip ini
dengan jelas, mengindikasikan bahwa jika barang tertentu yang menjadi objek
perjanjian musnah atau tidak dapat diperdagangkan, maka perikatan itu
dihapus, asalkan musnah atau hilang bukan disebabkan oleh kesalahan debitur
dan sebelum debitur lalai menyerahkannya.

Sementara itu, dalam konteks overmacht yang bersifat subjektif atau relatif,
debitur masih memiliki kemungkinan untuk memenuhi prestasi, namun dengan
kesulitan atau pengorbanan yang besar. Artinya, meskipun secara teoritis
pemenuhan prestasi masih memungkinkan, dalam praktiknya, hal itu akan
menimbulkan banyak kesulitan. Dalam situasi ini, dua aspek penting perlu
diperhatikan:

1. Ketidakmungkinan untuk Memenuhi Prestasi Hanya Ada pada


Debitur Bersangkutan:

Kesulitan atau pengorbanan yang besar dalam pemenuhan


prestasi bersifat subjektif, terkait dengan kondisi pribadi
debitur. Ini menciptakan ketidakmungkinan yang bersifat
spesifik bagi debitur tersebut, bukan untuk setiap orang secara
umum.

2. Pemenuhan Prestasi Secara Teoritis Tetapi Praktis Menimbulkan


Banyak Kesulitan:

Meskipun secara teoritis masih mungkin untuk memenuhi


prestasi, kenyataannya adalah bahwa pelaksanaan prestasi
akan menimbulkan kesulitan yang substansial. Hal ini
mempertimbangkan keadaan pribadi debitur dan pengorbanan
yang besar yang harus dilakukan untuk mencapai pemenuhan
prestasi.

Dalam konsep overmacht atau keadaan memaksa, terdapat perbedaan


antara overmacht yang bersifat tetap dan sementara, serta implikasinya
terhadap berakhirnya atau penundaan perjanjian. Overmacht yang bersifat
tetap mengakibatkan perjanjian berhenti sama sekali, seperti pada contoh
musnahnya barang yang akan diserahkan. Sementara itu, overmacht yang
bersifat sementara hanya menunda pelaksanaan perjanjian. Contohnya adalah
larangan mengekspor barang dalam jangka waktu tertentu, di mana perjanjian
hanya ditunda dan kembali berlaku setelah larangan dicabut.

Overmacht dapat dianggap sebagai alasan pembenar dan alasan


pemaaf. Alasan pembenar menyebabkan debitur yang tidak melaksanakan
kewajibannya sesuai perikatan pokok tidak diwajibkan untuk mengganti biaya,
kerugian, dan bunga. Overmacht absolut termasuk dalam alasan pembenar, di
mana terdapat ketidakmampuan objektif debitur untuk memenuhi perikatan.
Di sisi lain, alasan pemaaf melibatkan ketidakmampuan subjektif debitur dalam
memenuhi perikatan, dan overmacht relatif termasuk dalam kategori ini.

Agar debitur dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa, tiga


syarat harus dipenuhi:

1. Bukti Ketidakbersalahan:

Debitur harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah atas


terjadinya keadaan memaksa. Artinya, keadaan tersebut
bukanlah akibat kelalaian atau kesalahan dari pihak debitur.

2. Tidak Dapat Memenuhi Kewajiban Secara Lain:

Debitur harus menunjukkan bahwa ia tidak dapat memenuhi


kewajibannya secara alternatif atau melalui cara lain yang
mungkin tersedia.

3. Tidak Menanggung Risiko:


4. Debitur harus membuktikan bahwa ia tidak menanggung risiko
terjadinya keadaan memaksa. Risiko tersebut harus di luar
kendali dan tanggung jawab debitur.
B. Resiko dalam Overmacht

Dalam hukum perikatan, konsep resiko memiliki makna khusus yang


terkait erat dengan tanggung jawab atas kerugian dalam konteks
keadaan memaksa atau overmacht. Resiko, dalam pandangan hukum
perikatan, membawa ajaran tentang siapa yang harus menanggung
kerugian apabila debitur tidak dapat memenuhi prestasi dalam keadaan
overmacht.

Apabila debitur tidak memenuhi prestasi karena kesalahan atau


kelalaiannya, tanggung jawab atas kerugian diberikan kepada debitur
yang bersangkutan. Namun, situasinya menjadi berbeda ketika prestasi
tidak dapat dipenuhi karena suatu peristiwa yang tidak diduga
sebelumnya, seperti dalam kasus overmacht. Dalam konteks ini, ajaran
resiko menjadi penentu dalam menentukan penyelesaian kerugian.

Pada dasarnya, ajaran resiko dalam keadaan overmacht menciptakan


pemahaman bahwa:

1. Ketika Kesalahan atau Kelalaian Debitur Terjadi:

Jika debitur tidak memenuhi prestasi karena kesalahan atau kelalaian


pribadinya, maka resiko kerugian akan dibebankan kepada debitur
tersebut sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan itikad baik.

2. Dalam Keadaan Overmacht (Tidak Diduga Sebelumnya):

Jika tidak dipenuhinya prestasi terjadi di luar kesalahan debitur,


melainkan karena suatu peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya
(overmacht), resiko kerugian akan diatasi berdasarkan prinsip yang adil
dan sesuai dengan keadilan kontraktual.

Pasal 1237 dan Pasal 1444 dalam KUHPerdata Indonesia


menciptakan landasan hukum yang khusus untuk mengatasi situasi
overmacht dalam konteks perjanjian sepihak, mengatur tanggung jawab
atas resiko dan konsekuensinya.

Pasal 1237 KUHPerdata:

"Dalam perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu,


kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan adalah tanggungan si
berpiutang (kreditur)."
Pasal ini menegaskan bahwa dalam perjanjian sepihak yang
melibatkan pemberian suatu kebendaan tertentu, tanggungan atas
kebendaan tersebut pada dasarnya berada pada pihak kreditur (si
berpiutang). Jika terjadi overmacht dan prestasi tidak dapat dipenuhi
oleh debitur, resiko atas kebendaan tersebut tetap menjadi tanggungan
kreditur. Artinya, kreditur harus menanggung resiko kerugian yang
terjadi pada kebendaan tersebut.

Pasal 1444 KUHPerdata:

"Apabila barangnya musnah, tidak lagi dapat diperdagangkan atau


hilang, maka perikatan hapus, jika hal itu terjadi di luar kesalahan
debitur."

Pasal ini menetapkan bahwa jika objek perjanjian (barang) musnah,


tidak dapat diperdagangkan, atau hilang di luar kesalahan debitur, maka
perikatan tersebut dianggap batal. Dalam konteks overmacht, di mana
keadaan tersebut di luar kendali debitur dan tidak dapat diprediksi
sebelumnya, debitur tidak lagi memiliki kewajiban untuk memenuhi
prestasi. Hal ini mengakibatkan hapusnya perikatan dan kreditur tidak
dapat lagi menuntut pemenuhan prestasi dari debitur.

Dengan demikian, kombinasi dari Pasal 1237 dan Pasal 1444


menciptakan suatu kerangka hukum yang mempertimbangkan resiko
dan konsekuensi overmacht dalam perjanjian sepihak. Penegasan bahwa
tanggungan atas kebendaan ada pada kreditur, bersama dengan prinsip
hapusnya perikatan jika barang musnah di luar kesalahan debitur,
menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam penanganan situasi
yang tidak terduga ini.

Pasal ini menetapkan bahwa jika objek perjanjian (barang) musnah,


tidak dapat diperdagangkan, atau hilang di luar kesalahan debitur, maka
perikatan tersebut dianggap batal. Dalam konteks overmacht, di mana
keadaan tersebut di luar kendali debitur dan tidak dapat diprediksi
sebelumnya, debitur tidak lagi memiliki kewajiban untuk memenuhi
prestasi. Hal ini mengakibatkan hapusnya perikatan dan kreditur tidak
dapat lagi menuntut pemenuhan prestasi dari debitur.
Dengan demikian, kombinasi dari Pasal 1237 dan Pasal 1444
menciptakan suatu kerangka hukum yang mempertimbangkan resiko
dan konsekuensi overmacht dalam perjanjian sepihak. Penegasan bahwa
tanggungan atas kebendaan ada pada kreditur, bersama dengan prinsip
hapusnya perikatan jika barang musnah di luar kesalahan debitur,
menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam penanganan situasi
yang tidak terduga ini.

Bila para pihak tidak memperjanjikan penyelesaian tentang


overmacht, maka dapat dipedomani asas kepatutan.

Pasal 1545 KUHPerdata menyajikan suatu prinsip yang bersifat adil


dan patut dalam mengatasi situasi overmacht dalam perjanjian timbal
balik, khususnya ketika objek perjanjian (barang tertentu) musnah di
luar kesalahan pemiliknya. Prinsip ini menciptakan suatu kerangka
hukum yang menghormati keadilan dan keseimbangan antara pihak-
pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut.

Pasal 1545 KUHPerdata:

"Apabila sesuatu barang tertentu yang diperjanjikan musnah di luar


salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siapa
dari pihak-pihak yang telah memenuhi persetujuan dapat menuntut
kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar-menukar."

Pasal ini mengatur bahwa jika suatu barang tertentu yang menjadi
objek perjanjian timbal balik musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka
perjanjian dianggap gugur. Artinya, pihak-pihak yang terlibat dalam
perjanjian tidak lagi memiliki kewajiban untuk melaksanakan perjanjian
tersebut. Lebih lanjut, Pasal 1545 menyatakan bahwa pihak yang telah
memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang yang telah
diberikannya dalam tukar-menukar.

Penekanan pada prinsip bahwa gugurnya perjanjian terjadi karena


musnahnya barang di luar kesalahan pemiliknya mencerminkan aspek
keadilan dan kepatutan. Pihak yang sudah memenuhi persetujuan tidak
harus bertanggung jawab atas kegagalan perjanjian yang disebabkan
oleh kejadian di luar kendali mereka. Hal ini memberikan perlindungan
hukum dan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian
timbal balik, mempertimbangkan situasi yang tidak dapat diprediksi atau
dihindari seperti overmacht.

Pasal 1545 KUHPerdata menciptakan landasan hukum yang


berkeadilan dalam konteks perjanjian tukar menukar, terutama ketika
barang milik salah satu pihak musnah di luar kesalahan pemiliknya.
Skenario yang dijelaskan melibatkan A dan B dalam suatu perjanjian
tukar menukar, di mana A telah menyerahkan 25 gram emas dan B akan
menyerahkan seekor sapi. Namun, kejadian tak terduga terjadi ketika
sapi tersebut mati disambar petir. Pasal 1545 memberikan A hak untuk
menuntut kembali barang yang sudah diserahkan, yaitu 25 gram emas.

Pasal 1545 KUHPerdata menyatakan bahwa jika suatu barang


tertentu yang menjadi objek perjanjian tukar menukar musnah di luar
kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur. Dalam kasus ini,
matinya sapi yang dimiliki oleh B di luar kendali atau kesalahan B,
sehingga perjanjian dianggap gugur. Menurut ketentuan tersebut, A
memiliki hak untuk menuntut kembali barang yang sudah diserahkan,
yaitu 25 gram emas yang telah diberikan kepada B.

Keberlakuan Pasal 1545 menciptakan suatu mekanisme perlindungan


bagi pihak yang sudah memenuhi kewajibannya dalam perjanjian tukar
menukar ketika keadaan di luar kendali mereka menyebabkan perjanjian
tersebut tidak dapat dilaksanakan. Dengan memberikan hak untuk
menuntut kembali barang yang sudah diserahkan, prinsip ini
mengedepankan keadilan dan mengurangi risiko yang tidak dapat
dihindari dalam transaksi tukar menukar.

Dari perspektif asas kepatutan, prinsip bahwa seseorang yang tidak


memenuhi prestasi dalam suatu perjanjian tidak berhak menerima
kontra prestasi adalah cerminan dari nilai-nilai keadilan dan kesesuaian
yang tercermin dalam struktur masyarakat. Prinsip ini sejalan dengan
norma-norma etika dan moral yang menjadi landasan bagi interaksi
sosial dan transaksi perjanjian.

Dalam konteks asas kepatutan, konsep keadilan memegang peran


kunci. Jika seseorang gagal memenuhi kewajibannya dalam suatu
perjanjian, maka berdasarkan kepatutan, dia seharusnya tidak dapat
mengharapkan atau menerima manfaat atau kontra prestasi dari pihak
lain. Prinsip ini mencerminkan pandangan bahwa keadilan mengharuskan
pemenuhan kewajiban sejalan dengan hak yang diperoleh.

Sebaliknya, meskipun A memiliki hak untuk menuntut kembali barang


yang telah diserahkan berdasarkan Pasal 1545 KUHPerdata, asas
kepatutan dapat memandang bahwa A tidak berhak menuntut ganti
kerugian. Ini dapat diartikan sebagai konsekuensi dari prinsip bahwa jika
suatu perjanjian batal karena overmacht atau keadaan memaksa di luar
kendali pihak yang bersangkutan, maka pihak tersebut seharusnya tidak
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.

Penghormatan terhadap asas kepatutan dalam konteks hukum


perjanjian menciptakan landasan etis untuk penyelesaian sengketa dan
perlakuan yang adil di antara para pihak yang terlibat. Meskipun tidak
ada referensi spesifik yang disediakan, asas kepatutan mencerminkan
nilai-nilai universal yang mendukung keadilan dan integritas dalam
hubungan sosial dan bisnis.

Pasal 1553 KUHPerdata memberikan ketentuan yang bijaksana dan


adil terkait dengan situasi overmacht dalam konteks perjanjian sewa
menyewa. Pasal ini menyatakan bahwa jika selama masa sewa barang
yang disewakan benar-benar musnah karena kejadian yang tidak
disengaja, maka perjanjian sewa akan gugur secara otomatis. Contoh
yang dapat diilustrasikan adalah ketika A menyewa rumah kepada B
untuk satu tahun, dan setelah enam bulan berjalan, rumah tersebut
terbakar tanpa kesalahan dari A sebagai penyewa. Akibatnya, perjanjian
sewa akan berakhir secara otomatis.

Pasal 1553 KUHPerdata menetapkan prinsip yang adil dalam


mengatasi situasi di mana barang yang disewakan benar-benar musnah
karena kejadian yang tidak disengaja. Keberlakuan pasal ini mengakui
bahwa dalam keadaan seperti itu, pihak penyewa (B) tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian tersebut.

Dalam contoh yang diberikan, terjadinya kebakaran yang


mengakibatkan musnahnya rumah di luar kesalahan penyewa (A)
merupakan suatu overmacht. Oleh karena itu, perjanjian sewa secara
otomatis gugur, dan pihak-pihak yang terlibat tidak lagi memiliki
kewajiban atau hak di bawah perjanjian tersebut.

Ketentuan ini mencerminkan kebijaksanaan hukum dalam


memberikan perlindungan dan keadilan kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam perjanjian sewa menyewa dalam keadaan force majeure. Prinsip
ini juga memastikan bahwa pihak-pihak tidak dihukum atas kejadian
yang di luar kendali mereka, dan perjanjian dapat diakhiri dengan adil
dan sejalan dengan kepatutan.

Pasal 1460 KUHPerdata menciptakan suatu ketentuan yang bersifat


khusus dan memberikan landasan hukum yang jelas terkait dengan
resiko overmacht dalam perjanjian timbal balik yang melibatkan
penjualan barang tertentu. Pasal ini menyatakan bahwa jika kebendaan
yang dijual sudah ditentukan, maka tanggungan atas barang tersebut
beralih kepada pembeli sejak saat pembelian, meskipun penyerahan fisik
belum dilakukan. Selain itu, penjual berhak untuk menuntut pembayaran
harga barang tersebut.

Pasal 1460 KUHPerdata memiliki prinsip yang berbeda dengan Pasal


1545 dan Pasal 1553. Ketentuan ini lebih fokus pada transaksi jual beli
dan menetapkan bahwa jika barang yang dijual sudah ditentukan, maka
tanggungan atas barang tersebut beralih kepada pembeli sejak saat
pembelian, bahkan sebelum penyerahan fisik dilakukan.

Misalnya, jika A menjual barang tertentu kepada B, dan kejadian


overmacht terjadi sebelum penyerahan fisik dilakukan, tanggungan atas
barang tersebut tetap berada pada B sebagai pembeli. Penjual (A) tetap
berhak untuk menuntut pembayaran harga barang tersebut, meskipun
penyerahan fisik tidak dapat dilaksanakan karena keadaan memaksa.

Ketentuan ini mencerminkan prinsip bahwa dalam transaksi jual beli,


pembeli memikul risiko atas barang yang dibeli sejak saat pembelian.
Meskipun keadaan overmacht dapat menghambat penyerahan fisik, hak
dan tanggung jawab atas barang tersebut telah beralih kepada pembeli.
Hal ini memberikan kejelasan hukum dalam konteks transaksi jual beli,
sehingga penjual tidak harus menanggung risiko atas keadaan memaksa
yang dapat menghambat penyerahan fisik.
Pasal 1460 KUHPerdata menetapkan suatu prinsip yang menarik
dalam konteks transaksi jual beli, di mana resiko atas rusak atau
musnahnya barang beralih kepada pembeli sejak saat pembelian,
bahkan sebelum penyerahan fisik dilakukan. Prinsip ini menyiratkan
bahwa, dalam hal keadaan memaksa (overmacht) menyebabkan barang
yang dibeli musnah sebelum penyerahan, pembeli tetap berkewajiban
membayar harga barang tersebut kepada penjual.

Prinsip yang terkandung dalam Pasal 1460 ini memang berbeda


dan bisa dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian
tukar menukar dan sewa menyewa. Dalam perjanjian tukar menukar
(Pasal 1545) dan sewa menyewa (Pasal 1553), terdapat prinsip bahwa
jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah karena kejadian yang
tak disengaja, maka perjanjian gugur. Ini berarti pihak-pihak yang
terlibat dalam perjanjian tersebut tidak memiliki kewajiban atau hak lagi
di bawah perjanjian.

Sementara Pasal 1460 memberikan prinsip yang lebih


menekankan pada pembeli dalam konteks jual beli. Meskipun barang
yang dibeli musnah sebelum diserahkan, pembeli tetap harus membayar
harga barang tersebut. Seolah-olah pembeli sudah membawa risiko
kepemilikan barang tersebut sejak awal perjanjian.

Ketidaksesuaian atau pertentangan prinsip antara Pasal 1460 dengan


Pasal 1545 dan Pasal 1553 mencerminkan bahwa hukum perdata
memberikan perlakuan yang berbeda tergantung pada jenis perjanjian
yang dilibatkan. Pasal 1460 lebih menitikberatkan pada transaksi jual
beli, di mana tanggungan risiko beralih sejak pembelian.

Prinsip ini dapat dijelaskan dengan cara yang indah dan ilmiah
dengan menyampaikan bahwa hukum perdata memberikan perlakuan
yang berbeda tergantung pada konteks dan tujuan dari masing-masing
perjanjian. Dalam hal jual beli, pembeli dianggap memikul tanggung
jawab lebih besar terhadap risiko atas barang yang dibeli, bahkan
sebelum barang tersebut benar-benar diserahkan. Ini menciptakan
dinamika hukum yang beragam, yang mungkin dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan karakteristik khusus dari masing-masing jenis
perjanjian.

Dengan mempertimbangkan asas kepatutan, penghapusan Pasal


1460 KUHPerdata melalui SEMA No 3 Tahun 1963 menjadi langkah yang
diterima dengan baik. Pemikiran bahwa seseorang harus membayar
harga barang yang tidak diterimanya karena keadaan memaksa tidak
hanya terasa tidak adil, tetapi juga tidak selaras dengan prinsip-prinsip
keadilan dan kepatutan.

Keputusan ini menandakan kebijaksanaan para ahli hukum untuk


menyelaraskan hukum perdata dengan prinsip-prinsip moral dan etika.
Dengan menghapus Pasal 1460, para ahli sepakat untuk mengadopsi
pedoman yang lebih sejalan dengan ketentuan Pasal 1545 jo Pasal 1553
KUHPerdata.

Penghapusan Pasal 1460 KUHPerdata melalui SEMA No 3 Tahun


1963 mencerminkan respons terhadap keadilan dan kepatutan dalam
sistem hukum perdata. Dengan menghapus pasal yang mungkin
dianggap tidak adil dan tidak patut, para ahli hukum menyatakan
komitmen mereka untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih sesuai
dengan nilai-nilai moral dan etika masyarakat.

Penjelasan ini dapat disajikan dengan bahasa yang indah dan ilmiah,
menggambarkan bahwa keputusan ini tidak hanya sebagai langkah
praktis dalam menyelaraskan hukum perdata, tetapi juga sebagai refleksi
dari keinginan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih berkeadilan
dan sesuai dengan asas-asas kepatutan.

C. Faktor-Faktor Perjanjian dalam Overmacht

Keadaan memaksa, yang merupakan suatu peristiwa yang membawa


konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, menciptakan suatu
konteks di mana pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak dapat
dianggap wanprestasi. Dalam konteks ini, debitur tidak diwajibkan
membayar ganti rugi, dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak
dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur atau
terhapus.

Dalam literatur hukum, beberapa pakar membahas akibat hukum


dari keadaan memaksa. Mereka menyelidiki implikasi etis, moral, dan
yuridis dari suatu peristiwa yang menyebabkan ketidakmampuan salah
satu pihak untuk melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian. Diskusi
ini dapat ditemukan dalam karya-karya seperti buku-buku yang
membahas teori hukum perikatan, hukum kontraktual, dan prinsip-
prinsip hukum privasi.

Sebagai contoh, dalam "Teori Hukum Perikatan Modern" karya Brian


Bix, penulis membahas berbagai konsep hukum perikatan, termasuk
aspek-aspek yang berkaitan dengan keadaan memaksa. Selain itu,
"Kontraktualisme dan Kewajiban Kontraktual" oleh Charles Fried
memberikan wawasan mendalam tentang nilai-nilai moral yang
mendasari konsep kewajiban dalam konteks perjanjian.

Istilah "keadaan memaksa" yang digunakan untuk merujuk pada


force majeure atau overmacht mencerminkan interpretasi dan
penerjemahan dalam bahasa hukum. Meskipun para ahli hukum sering
menerjemahkan terminologi ini menjadi "keadaan memaksa," istilah
"overmacht" masih sering digunakan dalam pembahasan hukum
perdata.

Penetapan istilah hukum sering kali melibatkan aspek sejarah dan


budaya hukum suatu negara atau sistem hukum tertentu. Meskipun
istilah "keadaan memaksa" mungkin merujuk pada konsep yang serupa,
istilah "overmacht" dapat memiliki sejarah penggunaan dan makna
khusus dalam konteks hukum tertentu.

Penggunaan kedua istilah ini bisa mencerminkan tradisi hukum yang


berbeda atau preferensi penulisan dalam literatur hukum setempat.
Dalam beberapa kasus, kedua istilah tersebut dapat dipertukarkan tanpa
mengubah substansi dari konsep force majeure itu sendiri.

Overmacht dalam konteks hukum dapat diuraikan melalui dua ajaran


yang mendasar: Overmacht Objektif dan Overmacht Subjektif.
Pengertian Overmacht Objektif mencakup situasi di mana setiap orang
sama sekali tidak mungkin memenuhi verbintenis atau perikatan yang
telah dibuat. Dalam pandangan Kusumadi, keadaan ini disebut sebagai
"Impossibilitas," yang mengindikasikan ketidakmungkinan mutlak untuk
melaksanakan kewajiban.

Di sisi lain, Overmacht Subjektif berkaitan dengan tidak terpenuhinya


verbintenis karena faktor "difficult," yang merupakan lawan dari
impossibilitas. Dalam hal ini, walaupun pemenuhan kewajiban tidak
secara mutlak tidak mungkin, namun terdapat kesulitan atau hambatan
yang signifikan sehingga pelaksanaan kewajiban menjadi sulit atau tidak
memungkinkan secara praktis.

Pendekatan ini memberikan pemahaman yang lebih nuansa terhadap


Overmacht, mengakui bahwa situasi sulit atau hambatan yang signifikan
dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memenuhi
kewajibannya, bahkan jika tidak sepenuhnya tidak mungkin.

Ajaran Force Majeure/Overmacht Subjektif, dengan dasar difficultas,


memberikan pemahaman bahwa ketidakmampuan memenuhi kewajiban
dalam suatu perjanjian tidak hanya terbatas pada impossibilitas mutlak,
tetapi juga melibatkan kesulitan atau hambatan yang signifikan.
Misalnya, dalam konteks perjanjian jual-beli, jika terjadi kenaikan harga
barang yang tidak dapat diduga sebelumnya, si penjual dapat
menghadapi kesulitan memenuhi kewajibannya karena harus membeli
barang dengan harga yang sangat tinggi untuk memenuhi perjanjian.

Ajaran risiko juga menjadi unsur penting dalam memahami


konsekuensi dari force majeure atau overmacht. Risiko dalam hukum
perikatan menentukan siapa yang harus menanggung kerugian jika
terjadi keadaan memaksa atau force majeure. Dengan memahami
prinsip risiko, dapat diidentifikasi apakah risiko kenaikan harga barang
yang tidak dapat diprediksi tersebut menjadi tanggung jawab penjual
atau pembeli.

Penting untuk dicatat bahwa pemahaman ini tidak hanya berkaitan


dengan aspek hukum, tetapi juga mencakup pertimbangan etis dan
keadilan dalam penentuan risiko dan tanggung jawab di antara para
pihak dalam sebuah perjanjian.
Pasal 1244 KUH Perdata memberikan perlindungan kepada debitur
yang mengalami kesulitan memenuhi kewajiban akibat keadaan
memaksa atau force majeure. Ketentuan ini menyatakan bahwa jika
debitur dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, debitur dapat
dibebaskan dari kewajiban tersebut jika ia dapat membuktikan bahwa
ketidakmampuannya memenuhi perjanjian disebabkan oleh suatu hal
yang tak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya. Hal
ini juga berlaku jika itikad buruk tidak ada pada pihak debitur.

Penting untuk mencatat bahwa pembelaan dengan mengacu pada


force majeure tidak semata-mata membebaskan debitur dari kewajiban
tanpa alasan yang kuat. Debitur diharapkan untuk membuktikan bahwa
keadaan memaksa yang dihadapinya memenuhi kriteria yang diatur
dalam Pasal 1244 KUH Perdata, yaitu kejadian yang tak terduga dan
tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 1245 KUH Perdata memberikan pengecualian terhadap


kewajiban untuk mengganti biaya, rugi, dan bunga dalam situasi
tertentu. Pasal ini menyatakan bahwa debitur tidak harus membayar
biaya, rugi, dan bunga jika, karena keadaan memaksa atau suatu
keadaan yang tidak disengaja, debitur berhalangan memberikan atau
melakukan sesuatu yang diwajibkan. Hal ini menciptakan suatu
pengecualian yang adil dalam keadaan di mana terdapat hambatan yang
tidak dapat diantisipasi oleh debitur.

Dalam konteks ini, perikatan diartikan sebagai isi dari perjanjian,


yang mencakup hak dan kewajiban yang mengikat para pihak. Penting
untuk diingat bahwa perikatan harus sesuai dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan undang-undang.

Pasal 1338 :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai


undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan- alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup
untuk itu, dan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Pasal 1338 menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat


secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang
membuatnya. Perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang
mengikat, dan biasanya tidak dapat dicabut kecuali dengan persetujuan
kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang diakui oleh
undang-undang. Penting untuk mencatat bahwa pelaksanaan perjanjian
harus dilakukan dengan itikad baik.

Perjanjian, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1313 Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata, adalah suatu perbuatan di mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Dengan kata lain, perjanjian adalah kesepakatan antara pihak-
pihak yang memiliki dampak hukum yang mengikat. Hal ini
membedakannya dari perikatan, yang lebih bersifat umum dan
mencakup hak dan kewajiban secara luas.

Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang luas bagi


masyarakat untuk menyusun perjanjian sesuai dengan kebutuhan dan
tujuan mereka, asalkan tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan,
dan kesusilaan. Terdapat berbagai cara atau jenis perjanjian yang dapat
digunakan dalam masyarakat, baik yang telah diatur secara tegas dalam
undang-undang maupun yang hanya berdasarkan kebiasaan sehari-hari.

Dalam konteks perjanjian kerjasama, terdapat fleksibilitas dalam


pemilihan jenis perjanjian yang digunakan. Perjanjian kerjasama bisa
dibentuk sebagai perjanjian sepihak (unilateral) di mana satu pihak
memberikan kewajiban pada pihak lain dan memberikan hak kepada
pihak tersebut untuk menerima prestasi yang telah dijanjikan. Di sisi lain,
perjanjian kerjasama juga dapat berbentuk perjanjian timbal balik
(bilateral) di mana hak dan kewajiban diberikan kepada kedua belah
pihak.

Perjanjian sepihak memberikan kemudahan dalam


memberlakukan kewajiban dan hak pada pihak tertentu, sementara
perjanjian timbal balik menciptakan hubungan saling memberikan dan
menerima antara para pihak. Pemilihan jenis perjanjian tergantung pada
kebutuhan, kesepakatan, dan karakteristik kerjasama yang diinginkan
oleh pihak-pihak yang terlibat.

Perjanjian memiliki tujuan utama untuk memberikan


perlindungan hukum kepada para pihak yang terlibat di dalamnya.
Dengan adanya perjanjian, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
sebuah kontrak dapat menjadi landasan bagi pelaksanaan yang baik dan
memastikan bahwa hak dan kewajiban masing-masing pihak diakui dan
dijalankan sesuai dengan yang telah disepakati.

Tujuan ini sejalan dengan konsep hukum kontraktual, di mana


perjanjian menciptakan kewajiban yang sah dan mengikat antara para
pihak. Melalui perjanjian, para pihak menetapkan persetujuan mereka
secara tertulis atau lisan, dan hal ini menciptakan hubungan hukum yang
jelas dan terukur. Oleh karena itu, perjanjian tidak hanya merupakan
bentuk kesepakatan antara pihak-pihak, tetapi juga merupakan
instrumen hukum yang mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab
masing-masing.

D. Penegakan Hukum Overmacht

Force majeure atau overmacht yang disebabkan oleh keadaan alam


atau kejadian alamiah bersifat tak terduga dan tak dapat dihindari.
Peristiwa alam seperti banjir, longsor, gempa bumi, badai, gunung
meletus, dan sejenisnya merupakan contoh-contoh keadaan memaksa
yang disebabkan oleh faktor alam yang tidak dapat diprediksi oleh
manusia. Kondisi ini bersifat alamiah dan terjadi tanpa ada unsur
kesengajaan dari pihak manapun.

Di sisi lain, overmacht yang disebabkan oleh keadaan darurat


berkaitan dengan situasi atau kondisi yang tidak wajar dan bersifat
mendesak. Contohnya meliputi keadaan peperangan, blokade,
pemogokan, epidemi, terorisme, ledakan, kerusuhan massa, dan
kerusakan suatu alat yang mengakibatkan tidak terpenuhinya suatu
perikatan. Keadaan darurat ini bersifat mendesak, seringkali terjadi
secara tiba-tiba, dan sulit diprediksi sebelumnya.
Overmacht karena kebijakan atau peraturan pemerintah merupakan
suatu bentuk keadaan memaksa yang disebabkan oleh perubahan
kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu
perjanjian atau perikatan. Misalnya, terbitnya peraturan pemerintah baru
yang mengubah regulasi bisnis atau lingkungan hukum tempat suatu
perjanjian berlangsung.

Dalam konteks hukum perjanjian, keadaan memaksa atau force


majeure seperti ini menjadi alasan bagi debitur untuk dibebaskan dari
kewajiban kontraknya. KUH Perdata menetapkan bahwa force majeure
adalah kejadian yang tidak terduga, tidak disengaja, dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur. Debitur perlu membuktikan
bahwa wanprestasinya disebabkan oleh keadaan memaksa tersebut.

Peristiwa atau kondisi yang dianggap sebagai force majeure memang


memiliki kriteria khusus yang harus dipenuhi. Dalam banyak kasus, force
majeure diakui jika peristiwa tersebut tidak dapat diduga sebelumnya,
tidak disengaja, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada salah
satu pihak dalam perjanjian. Jika suatu peristiwa sudah dapat
diantisipasi atau disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan salah satu
pihak, maka kemungkinan besar peristiwa tersebut tidak akan diakui
sebagai force majeure.

Akibat hukum dari force majeure sangat relevan dengan


perlindungan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Pihak
kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi dari debitur yang
terhalang oleh keadaan memaksa. Sebaliknya, debitur tidak dinyatakan
wanprestasi, sehingga tidak diwajibkan membayar ganti rugi. Dalam
konteks perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut
pembatalan perjanjian karena dianggap gugur akibat force majeure.

Tanggung Jawab Hukum Overmacht

Tanggung jawab adalah suatu konsep hukum yang mengindikasikan


kewajiban seseorang untuk menanggung akibat dari perbuatannya.
Dalam konteks ini, tanggung jawab mencakup aspek moral, etika, dan
hukum. Secara umum, tanggung jawab menunjukkan bahwa setiap
individu harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusannya.

Menurut Titik Triwulan, pertanggungjawaban memerlukan dasar


yang kuat. Dasar ini mencakup dua elemen penting: pertama, adanya
suatu kejadian atau perbuatan yang menyebabkan timbulnya hak hukum
untuk menuntut; kedua, munculnya kewajiban hukum bagi individu lain
untuk memberikan pertanggungjawaban. Dengan kata lain, terdapat
hubungan kausal antara perbuatan atau kejadian tertentu dengan hak
dan kewajiban hukum yang timbul.

Dalam konteks hukum perdata, dasar pertanggungjawaban dapat


dibagi menjadi dua kategori utama: pertanggungjawaban atas dasar
kesalahan (liability based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan atau tanggung jawab risiko (liability without fault atau strict
liability).

1. Pertanggungjawaban atas Dasar Kesalahan (Liability Based on Fault):

Prinsip dasar ini menekankan bahwa seseorang harus bertanggung


jawab karena melakukan kesalahan yang merugikan orang lain. Dalam
hal ini, pertanggungjawaban timbul karena adanya tindakan melanggar
hukum atau kelalaian yang dapat diatribusikan kepada individu
tersebut. Konsep ini menuntut adanya unsur kesalahan (culpa) sebagai
dasar hukum untuk menuntut ganti rugi atau pertanggungjawaban.

2. Pertanggungjawaban Tanpa Kesalahan atau Tanggung Jawab Risiko


(Liability Without Fault or Strict Liability):

Prinsip tanggung jawab risiko mengindikasikan bahwa konsumen atau


penggugat tidak diwajibkan membuktikan kesalahan pihak lain.
Sebaliknya, produsen atau pihak yang tergugat langsung bertanggung
jawab sebagai risiko dari usahanya. Dalam kasus ini, fokus utamanya
adalah pada akibat atau risiko dari suatu kegiatan atau produk, bukan
pada adanya kesalahan atau kelalaian.

Jenis Peristiwa Overmacht


Berdasarkan yurisprudensi dan putusan Mahkamah Agung mengenai
ruang lingkup dari jenis peristiwa force majeure meliputi:

1. Risiko perang, kehilangan benda objek perjanjian yang disebabkan dari


kuasa Yang Maha Besar: disambar halilintar, kebakaran, dirampas
tentara Jepang dalam masa perang.
2. Act of God, tindakan administratif penguasa, perintah dari yang
berkuasa, keputusan, segala tindakan administratif yang menentukan
atau mengikat, suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh
pihak-pihak dalam perjanjian
3. Peraturan-peraturan pemerintah.
Baik PN maupun PT menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh
tergugat Super Radio Company NV tidak dapat dipergunakan sebagai
alasan force majeure karena apabila tergugat tidak bisa mendapatkan
motor AJS dari NV Danau karena keluarnya peraturan-peraturan
pemerintah (KPUI) tentang larangan untuk mengimpor lebih dari satu
merek motor, maka untuk memenuhi kewajibannya terhadap
penggugat, ia harus berikhtiar/berusaha mendapatkan sepeda motor
itu dari NV Ratadjasa atau dengan jalan lain, asal tidak dengan cara
melanggar hukum. Baik PN maupun PT menyatakan bahwa tergugat
Super Radio Company NV telah melalaikan kewajibannya.
4. Kecelakaan di laut, misalnya kapal tenggelam karena ombak besar
memukul lambung kapal
5. Keadaan darurat.
Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau
yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus
berprestasi.

Perkembangan dalam pengaturan force majeure di dalam KUH


Perdata yang meluas dari sekadar peristiwa alam atau hilangnya objek
perjanjian menuju aspek-aspek lain, seperti tindakan administratif
penguasa dan kondisi politik seperti perang, mencerminkan adaptasi
hukum terhadap kompleksitas kondisi dunia modern. Perubahan ini
dapat dianggap sebagai langkah maju karena mengakui bahwa kendala
dalam pemenuhan perjanjian tidak hanya terbatas pada faktor alamiah.
Pertama-tama, perlu diakui bahwa hukum harus mengikuti
perkembangan masyarakat dan teknologi untuk mempertahankan
keadilan. Perluasan lingkup force majeure memberikan ruang lebih luas
bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian untuk melibatkan faktor-
faktor yang mungkin tidak dapat mereka prediksi atau kendalikan. Ini
mencerminkan pemahaman bahwa tidak semua kendala dapat diatasi
oleh pihak yang berjanji.

E. Overmacht sebagai Perbuatan Melawan Hukum.

Perbuatan melawan hukum, dikenal dalam hukum Indonesia sebagai


"onrechtmatige daad," adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda.
Di dalam konteks hukum perdata, istilah ini sering diidentifikasi dengan
kata "tort" dalam bahasa Inggris. Kata "tort" telah mengalami
perkembangan makna yang mendalam, merujuk pada suatu kesalahan
perdata yang tidak berasal dari keadaan memaksa (force majeure) atau
wanprestasi kontrak.

Asal kata "tort" dapat ditelusuri hingga bahasa Latin, yaitu "orquer"
atau "tortus" dalam bahasa Prancis. Proses evolusi semantik ini
mencerminkan pergeseran arti dari bahasa ke bahasa, di mana kata
"wrong" dalam bahasa Prancis, yaitu "wrung," memiliki konotasi yang
sebanding dengan makna kesalahan atau kerugian (injury).

Dalam tinjauan yang lebih mendalam, konsep perbuatan melawan


hukum atau tort mencakup berbagai tindakan yang melibatkan
pelanggaran hak-hak hukum seseorang, seringkali memberikan dasar
untuk tuntutan ganti rugi. Dalam bahasa yang lebih ilmiah, perbuatan
melawan hukum dapat diartikan sebagai perilaku yang bertentangan
dengan hukum, yang dapat menyebabkan kerugian atau cedera pada
pihak yang terkena dampak.

Pada hakikatnya, sistem hukum yang membentuk konsep perbuatan


melawan hukum, atau "onrechtmatige daad," memiliki tujuan yang
sangat terkait dengan prinsip-prinsip moral dan etika, sebagaimana
diungkapkan dalam pribahasa Latin yang terkenal: "juris praecepta sunt
haec honeste vivere, alterum non leadere, suum cuque tribuere." Dalam
terjemahan harfiah, ini berarti bahwa ajaran hukum adalah hidup
dengan jujur, tidak menyakiti orang lain, dan memberikan hak setiap
orang.

Sebelum tahun 1919, konsep perbuatan melawan hukum terutama


merujuk pada pelanggaran terhadap peraturan tertulis, terutama yang
terdapat dalam perjanjian di mana salah satu pihak gagal memenuhi
kewajibannya, yang dikenal sebagai wanprestasi. Wanprestasi ini
menjadi landasan untuk menilai tindakan yang tidak sesuai dengan
norma hukum yang diatur secara tertulis pada waktu itu.

Sebuah karya yang mendalam dan berwibawa mengenai evolusi


konsep hukum perdata, terutama terkait dengan perbuatan melawan
hukum, dapat ditemukan dalam literatur hukum historis dan analitis.
Referensi yang dapat dicantumkan untuk mendukung penjelasan ini
melibatkan sumber-sumber klasik atau teks hukum yang membahas
prinsip-prinsip hukum perdata sebelum tahun 1919, seperti buku-buku
klasik dalam sejarah hukum atau ensiklopedia hukum yang menggali
pembentukan konsep-konsep ini.

F. Implikasi Overmacht

Peristiwa yang digolongkan sebagai force majeure membawa


dampak signifikan dalam konteks hubungan kontraktual antara kreditur
dan debitur. Konsep force majeure mengimplikasikan adanya keadaan
memaksa atau kejadian tak terduga yang di luar kendali pihak yang
terlibat, sehingga mampu membebaskan pihak-pihak tersebut dari
kewajiban-kewajiban kontraktual yang seharusnya dipenuhi. Dalam
konteks ini, terdapat sejumlah implikasi hukum yang perlu dipahami.

Pertama-tama, dampak force majeure dapat menyebabkan kreditur


tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi dari debitur. Sebagai contoh,
jika sebuah peristiwa force majeure, seperti bencana alam atau peristiwa
politik yang tak terduga, menghambat kemampuan debitur untuk
memenuhi kewajibannya, kreditur tidak dapat memaksa pembayaran
atau pelaksanaan prestasi tersebut.

Selanjutnya, keberlakuan force majeure juga berdampak pada status


wanprestasi. Debitur yang tidak dapat memenuhi kewajiban kontraknya
karena keadaan memaksa tidak lagi dianggap wanprestasi. Oleh karena
itu, debitur tidak akan dikenai kewajiban membayar ganti rugi atau
sanksi lainnya yang biasanya terkait dengan wanprestasi.

Dalam perjanjian timbal balik, force majeure juga mempengaruhi


kemampuan kreditur untuk menuntut pembatalan perjanjian. Kreditur
tidak dapat mengklaim bahwa perjanjiannya batal atau tidak sah akibat
ketidakmampuan debitur yang disebabkan oleh force majeure. Ini
menunjukkan bahwa force majeure, sebagai suatu keadaan tak terduga
dan di luar kendali, diakui sebagai risiko yang mungkin terjadi dalam
hubungan kontraktual.

Risiko, menurut konsep yang dijelaskan oleh Subekti, dapat dipahami


sebagai kewajiban untuk menanggung kerugian yang timbul akibat
peristiwa yang berada di luar kendali atau kesalahan salah satu pihak
yang terlibat dalam suatu perjanjian. Substansi dari permasalahan risiko
terletak pada terjadinya suatu kejadian yang tidak dapat disalahkan
kepada salah satu pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan
kata lain, risiko berkaitan dengan dampak dari keadaan memaksa atau
force majeure.

Konsep force majeure bukanlah suatu istilah asing dalam dunia


hukum, melainkan merupakan suatu frasa yang memiliki makna harfiah
sebagai "kekuatan yang lebih besar." Namun, dalam konteks hukum,
force majeure mengacu pada klausa atau perjanjian yang memberikan
pijakan bagi salah satu pihak untuk dibebaskan dari kewajiban
kontraknya ketika dihadapkan pada kejadian yang tidak dapat
diantisipasi sebelumnya. Dengan demikian, force majeure berfungsi
sebagai suatu bentuk pemaaf atau kelonggaran yang diberikan kepada
pihak yang terkena dampak peristiwa yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban kontraknya.
Secara lebih ilmiah, konsep ini mencerminkan perlunya fleksibilitas
dalam sistem hukum untuk menanggapi keadaan yang di luar kendali
pihak-pihak yang berkontrak. Force majeure menjadi landasan yang sah
untuk menanggulangi risiko yang tidak dapat dihindari dan diantisipasi
sebelumnya.

Implikasi hukum perjajian atau kontrak, suatu force majeure.

1) Ketidakmungkinan (impossibility)

Ketidakmungkinan pelaksanaan kontrak adalah suatu keadaan


dimana seseorang tidak mungkin lagi melaksanakan kontraknya karena
kejadian diluar tanggung jawabnya. Misalnya kontrak untuk menjual
sebuah rumah , tetapi rumah tersebut hangus terbakar api sebelum
diserahkan kepada pihak pembeli.

2) Ketidakpraktisan (impracticability)

Sementara itu, terdapat juga apa yang disebut dengan


“ketidakpraktisan” dalam melaksanakan kontrak. Maksudnya adalah
terjadinya peristiwa juga tanpa kesalahan dari para pihak, peristiwa
tersebut sedemikian rupa, dimana dengan peristiwa tersebut para pihak
sebenarnya secara teoritis masih mungkin melakukan prestasinya, tetapi
secara praktis terjadi sedemikian rupa, sehingga kalaupun dilaksanakan
prestasi dalam kontrak tersebut, akan memerlukan pengorbanan yang
besar dari segi biaya, waktu atau pengorbanan lainnya.

Dengan demikian, berbeda dengan ketidakmungkinan melaksanakan


kontrak, dimana kontrak sama sekali tidak mungkin dilanjutkan, pada
ketidakpraktisan pelaksanaan kontrak ini, kontrak masih mungkin
dilaksanakan, tetapi sudah menjadi tidak praktis jika terus dipaksakan.

3) Frustasi (frustration)

Yang dimaksud dengan frustasi disini adalah frustasi terhadap


maksud dari kontrak. Yakni, dalam hal ini terjadi peristiwa yang tidak
dipertanggung jawabkan kepada salah satu pihak, kejadian mana
mengakibatkan tidak mungkin lagi dicapainya tujuan dibuatnya kontrak
tersebut, sungguhpun sebenarnya para pihak masih mungkin
melaksanakan kontrak tersebut. Karena tujuan dari kontrak tersebut
tidak mungkin tercapai lagi, sehingga dengan demikian kontrak tersebut
dalam keadaan frustasi.

Implikasi ketidakmungkinan, ketidakpraktisan dan frustasi dalam


Kontrak.

1. Ketidakmungkinan Pelaksanaan Kontrak

Bahwa ketidakmungkinan pelaksanaan kontrak adalah jika terjadi


suatu keadaan dimana seseorang tidak mungkin lagi melaksanakan
kontraknya karena kejadian diluar tanggung jawabnya. Misalnya kontrak
untuk menjual sebuah rumah, tetapi rumah tersebut hangus terbakar api
sebelum diserahkan kepada pihak pembeli.

Dalam ilmu hukum kontrak sering dibedakan ketidakmungkinan


kedaalm ketidakmungkinan objektif dan ketidakmungkinan subjektif.
Ketidakmungkinan objektif didasari pada pernyatan “hal tersebut tidak
dapat dilakukan,” sementara ketidakmungkinan subjektif berdasarkan
pada pernyataan “saya tidak bisa melakukannya.” Ketidakmungkinan
untuk melaksanakan kontrak, sehingga dapat menyebabkan terjadinya
force majeure ini dapat dipilah-pilah kedalam beberapa kategori sebagai
berikut :

a. Kematian atau sakit dari debitur.


b. Tidak mungkin dilaksanakanya dengan cara yang telah disetujui.
c. Munculnya larangan oleh hukum.
d. Barang objek kontrak musnah atau tidak lagi tersedia.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini penjelasan untuk kategori masing-masing


tersebut :

Rational dari diberlakukannya frustasi sebagai alasan untuk


memaafkan pelaksanaan kontrak adalah bahwa dimaafkannya
pelaksanaan prestasi tersebut juga sama dalam hal jika dalam keadaan
tidak praktis yaitu sudah merupakan asumsi dasar para pihak ketika
kontrak dibuat bahwa hal menyebabkan maksud kontrak menjadi frustasi
tersebut mestinya tidak terjadi. Dalam ilmu hukum kontrak diajarkan
bahwa untuk dapat diberlakukannya alasan frustasi dari maksud kontrak
sehingga alasan force majeure dapat diberlakukan, haruslah memenuhi
beberapa unsur, yaitu sebagai berikut:

a) Seperti juga untuk alasan force majeure lainnya bahwa kejadian yang
menyebabkan frustasi tersebut tidak dapat diantisipasi oleh para pihak.
b) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya frustasi dari maksud kontrak
tersebut adalah peristiwa yang terjadi kemudian, yakni peristiwa yang
terjadi setelah kontrak dibuat (ditanda tangani) tetapi sebelum kontrak
tersebut dilaksanakan
c) Peristiwa tersebut menyebabkan hilangnya secara total atau hampir
total dari maksud kontrak yang bersangkutan.
d) Maksud kontrak yang tidak mungkin lagi tercapai tersebut memang
didasari oleh kedua belah pihak ketika kontrak dibuat.
e) Maksud kontrak yang tidak mungkin lagi tercapai tersebut haruslah
merupakan “dasar” untuk mana kontrak dibuat.
f) Para pihak tidak telah mengalokasikan atau mengasumsikan resiko dari
kejadian yang menyebabkan tidak tercapainya maksud tersebut.
g) Para pihak yang dibebaskan dari tanggung jawabnya tidak telah
melakukan kesalahan dalam hubungan dengan kontrak yang
bersangkutan, baik kesalahan dalam hubungan dengan peristiwa yang
menyebabkan frustasi tersebut maupun tidak. Jadi dia harus tanpa
dosa atau tangannya harus bersih (clean hand ).

G. Pengaturan Overmacht di Indonesia

Pasal 1244 KUHPerdata memberikan landasan yang penting


dalam konteks force majeure dalam hukum perdata, dengan
memfokuskan perhatian pada aspek biaya, rugi, dan bunga sebagai
akibat dari ketidakmampuan melaksanakan perikatan akibat keadaan
yang tak terduga. Mari kita telaah pasal ini dengan bahasa yang indah
dan ilmiah.

Pasal 1244 KUHPerdata menggambarkan suatu prinsip yang


mendasari tanggung jawab berutang, dengan menyatakan bahwa jika
terdapat alasan untuk itu, pihak yang berutang harus menanggung
konsekuensi biaya, rugi, dan bunga. Namun, pasal ini memberikan suatu
peluang pembelaan, di mana si berutang dapat terbebas dari tanggung
jawab tersebut apabila ia dapat membuktikan bahwa
ketidakmampuannya melaksanakan perikatan tidak dapat disalahkan dan
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Lebih lanjut, pasal ini menguraikan dua aspek kunci yang harus
dipertimbangkan: pertama, kejadian yang tidak terduga yang menjadi
penyebab tidak dilaksanakannya perikatan, dan kedua, ketiadaan itikad
buruk dari pihak yang berutang. Dengan kata lain, pasal ini menuntut
adanya keadaan yang benar-benar di luar kendali dan tidak dapat
diprediksi oleh pihak yang berutang, serta menekankan pentingnya
ketiadaan unsur itikad buruk.

Pasal 1245 KUHPerdata:

Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran


keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran
hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Rumusan kausa force majeure dalam KUHPerdata


menggambarkan serangkaian prinsip yang cermat dan teliti untuk
menangani situasi yang tidak terduga dan di luar kendali para pihak
yang berkontrak. Mari kita bahas dengan bahasa yang indah dan ilmiah,
dengan memperhatikan tiap-tiap poin tersebut.

Pertama-tama, konsep force majeure dalam KUHPerdata


menuntut bahwa peristiwa yang menjadi penyebab force majeure
haruslah "tidak terduga" atau tidak termasuk dalam asumsi dasar pada
saat kontrak dibuat. Pasal 1244 KUHPerdata menggarisbawahi
pentingnya unsur kejutan yang tidak dapat diprediksi oleh para pihak.

Kedua, peristiwa force majeure tidak dapat


dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi
(debitur). Ini mencerminkan prinsip bahwa pihak yang berkontrak tidak
dapat dihukum atas sesuatu yang di luar kendalinya.

Ketiga, peristiwa force majeure harus diluar kesalahan pihak


debitur. Hal ini menekankan bahwa force majeure harus dihubungkan
dengan kejadian yang tidak disebabkan oleh tindakan kelalaian atau
kesalahan pihak yang berutang.

Keempat, peristiwa force majeure tidak boleh disengaja oleh


debitur, walaupun rumusan ini disarankan untuk diperbaiki agar
menggambarkan bahwa tindakan tersebut diluar kesalahan para pihak,
baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, termasuk
dalam bentuk kelalaian (negligence).

Kelima, keadaan itikat buruk para pihak harus dihindari, sesuai


dengan Pasal 1244 KUHPerdata. Ini menegaskan bahwa force majeure
hanya dapat diklaim jika pihak-pihak yang berkontrak tidak berada
dalam keadaan itikad buruk.

Keenam, jika terjadi force majeure, kontrak tersebut menjadi


gugur, dan para pihak seharusnya dikembalikan ke keadaan seolah-olah
perjanjian tidak pernah dilakukan (Pasal 1545 KUHPerdata).

Ketujuh, meskipun para pihak tidak dapat menuntut ganti rugi


karena force majeure (Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553
ayat (2) KUHPerdata), restitusi atau quantum meruit masih
dimungkinkan untuk menjaga keadilan.

Kedelapan, risiko yang timbul akibat force majeure beralih dari


kreditur kepada debitur sejak saat seharusnya barang tersebut
diserahkan (Pasal 1545 KUHPerdata).

Rumusan kausa force majeure dalam KUHPerdata memperlihatkan


kehati-hatian dan ketelitian yang mendalam dalam menangani situasi
yang tak terduga dan di luar kendali para pihak yang berkontrak. Mari
kita eksplorasi tiap-tiap poin dengan bahasa yang indah dan ilmiah.

Pertama-tama, konsep force majeure dalam KUHPerdata


menegaskan bahwa peristiwa yang menjadi pemicu force majeure
haruslah "tidak terduga" atau tidak termasuk dalam asumsi dasar pada
saat kontrak dibuat. Pasal 1244 KUHPerdata memberi penekanan pada
unsur kejutan yang tak dapat diprediksi oleh para pihak.

Kedua, force majeure tidak dapat disalahkan kepada pihak yang


seharusnya melaksanakan prestasi (debitur). Prinsip ini mencerminkan
ide bahwa pihak yang berkontrak tidak boleh dihukum atas sesuatu yang
di luar kendali mereka.

Ketiga, force majeure harus diluar kesalahan debitur. Hal ini


menekankan bahwa force majeure harus terkait dengan kejadian yang
tidak disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan debitur.

Keempat, force majeure tidak boleh disengaja oleh debitur, meskipun


formulasi ini bisa diperbaiki untuk mencerminkan bahwa tindakan
tersebut di luar kendali para pihak, baik itu dilakukan dengan sengaja
atau tidak sengaja, termasuk kelalaian (negligence).

Kelima, keadaan itikat buruk harus dihindari, sesuai dengan Pasal


1244 KUHPerdata. Ini menegaskan bahwa force majeure hanya dapat
diklaim jika para pihak yang berkontrak tidak berada dalam keadaan
itikad buruk.

Keenam, jika terjadi force majeure, kontrak menjadi gugur, dan para
pihak seharusnya dikembalikan ke keadaan seolah-olah perjanjian tidak
pernah dilakukan (Pasal 1545 KUHPerdata).

Ketujuh, meskipun para pihak tidak dapat menuntut ganti rugi


karena force majeure (Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553
ayat (2) KUHPerdata), restitusi atau quantum meruit masih
dimungkinkan untuk menjaga keadilan.

Kedelapan, risiko akibat force majeure beralih dari kreditur kepada


debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (Pasal 1545
KUHPerdata).

Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun telah ada rumusan


yang cermat dalam KUHPerdata, kenyataannya, belum terdapat
pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai force majeure di
Indonesia. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan dapat berdampak
pada iklim usaha dan pembangunan ekonomi di Indonesia. Referensi
untuk pemahaman lebih lanjut dapat mencakup teks KUHPerdata
Indonesia, komentar-komentar hukum oleh ahli-ahli hukum Indonesia,
dan karya-karya hukum yang membahas prinsip-prinsip kontraktual dan
force majeure dalam konteks hukum perdata Indonesia.

H. Fungsi Overmacht dalam Hukum Kontrak di Indonesia

Klausa force majeure dalam suatu kontrak menjadi penjaga terhadap


kerugian yang mungkin dialami salah satu pihak akibat kejadian-kejadian
luar biasa, seperti bencana alam, perang, tindakan sabotase, atau
kondisi-kondisi yang sulit diprediksi. Dalam penjelasan ini, akan diuraikan
unsur-unsur yang menyatakan bagaimana suatu keadaan dapat
dianggap sebagai force majeure, mengacu pada pandangan para sarjana
hukum dan perkembangan pemikiran seputar konsep tersebut.

Pertama, keadaan yang dapat dianggap sebagai force majeure


umumnya berasal dari peristiwa yang timbul akibat kejadian alam atau
tindakan-tindakan yang bersifat eksternal, seperti kebakaran, banjir,
perang, atau terorisme. Pandangan ini menekankan pada unsur
ketidakmampuan pihak yang berkontrak untuk menghindari atau
mencegah peristiwa tersebut.

Kedua, force majeure biasanya terkait dengan peristiwa yang tidak


dapat diperkirakan sebelumnya. Artinya, para pihak tidak mampu atau
sulit untuk meramalkan atau mengantisipasi kemunculan kejadian
tersebut pada saat perjanjian dibuat. Unsur ini menekankan pada sifat
tak terduga dan tidak dapat diprediksi dari force majeure.

Ketiga, force majeure juga mencerminkan ketidakmampuan untuk


melaksanakan kewajiban dalam suatu kontrak, baik secara keseluruhan
maupun untuk jangka waktu tertentu. Pada dasarnya, peristiwa force
majeure mengakibatkan ketidakmungkinan bagi pihak yang berutang
untuk memenuhi janjinya. Ini berarti bahwa objek yang menjadi subjek
perjanjian mungkin telah musnah atau tidak dapat diakses akibat
peristiwa tersebut.

Adanya persamaan antara sifat batal dan gugurnya force majeure


adalah bahwa keduanya mengakibatkan perjanjian tidak mencapai
tujuan. Artinya, kewajiban para pihak menjadi tidak dapat dipenuhi atau
terhenti akibat kejadian luar biasa tersebut.
Menanggapi pandangan klasik terkait keadaan memaksa, pandangan
ini mengartikan keadaan memaksa sebagai suatu kondisi yang mutlak
tidak dapat dihindari oleh debitur untuk melaksanakan prestasinya dalam
suatu kewajiban. Namun, pandangan ini mulai melorot dengan adanya
argumen bahwa overmacht atau keadaan memaksa dapat bersifat
relatif, dengan mempertimbangkan kemungkinan melaksanakan
kewajiban melalui cara-cara alternatif.

Referensi untuk pemahaman lebih lanjut dapat mencakup literatur


hukum kontraktual, buku-buku yang membahas force majeure, dan
artikel-artikel hukum yang merinci perkembangan pemikiran seputar
konsep ini. Karya-karya dari sarjana hukum terkemuka dan putusan
pengadilan yang membahas kasus-kasus force majeure juga dapat
memberikan wawasan yang lebih mendalam.

Sifat mutlak dan relatif dari konsep overmacht menggambarkan


perbedaan signifikan dalam konteks pembatalan dan gugurnya suatu
kewajiban debitur. Pembatalan atau batal terkait erat dengan
musnahnya objek perjanjian, sementara relatif menunjukkan bahwa
prestasi dapat dilakukan oleh debitur, tetapi kebernilaiannya hilang di
mata kreditur. Abdulkadir Muhammad merinci sifat-sifat ini dengan
cermat sebagai berikut:

Overmacht yang Bersifat Mutlak: Keadaan yang menunjukkan bahwa


prestasi tidak dapat dipenuhi karena terjadi peristiwa yang merusak dan
menghancurkan benda yang menjadi objek perjanjian. Sifat mutlak force
majeure ini mencerminkan ketidakmungkinan absolut untuk
melaksanakan kewajiban.

Overmacht yang Bersifat Mutlak atau Relatif: Keadaan yang


menunjukkan ketidakmampuan untuk memenuhi prestasi karena adanya
peristiwa yang dapat menghalangi debitur untuk melaksanakan
kewajibannya. Sifat overmacht dalam hal ini dapat bersifat mutlak atau
relatif, tergantung pada apakah kreditur masih dapat menerima prestasi
tanpa menghiraukan kehilangan nilai.

Keadaan yang Menunjukkan Ketidakpastian: Situasi di mana prestasi


tidak dapat dipenuhi karena suatu peristiwa yang tidak dapat diketahui
atau diduga pada saat pembuatan perjanjian, baik oleh debitur maupun
kreditur. Keadaan ini menunjukkan bahwa kesalahan tidak dapat ditemui
pada kedua pihak, khususnya debitur.

Dari perspektif waktu berlakunya keadaan yang menyebabkan force


majeure, dapat dibedakan antara:

1. Force Majeure Permanen: Suatu force majeure dianggap permanen jika


prestasi yang timbul dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi sampai
kapan pun. Contohnya, jika objek perjanjian musnah tanpa kesalahan
debitur.
2. Force Majeure Temporer: Sebaliknya, suatu force majeure dianggap
temporer jika pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin
dilakukan untuk sementara waktu, dan setelah peristiwa tersebut
berhenti, prestasi dapat dipenuhi kembali.

Dalam konteks penanggulangan risiko dari adanya force majeure,


Pasal 1237 KUHPerdata menyatakan bahwa, "Dalam hal adanya
perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, maka sejak
perikatan-perikatan dilahirkan, benda tersebut menjadi tanggungan
pihak kreditur." Artinya, jika terjadi force majeure sepihak, resiko
ditanggung oleh pihak penerima prestasi (kreditur), kecuali jika debitur
lalai memberikan prestasi, di mana resiko tersebut beralih kepada
debitur sejak kelalaian tersebut.

Referensi untuk pemahaman lebih lanjut dapat mencakup literatur


hukum perdata Indonesia, tulisan-tulisan Abdulkadir Muhammad tentang
overmacht, dan komentar-komentar hukum yang membahas
implementasi Pasal 1237 KUHPerdata dalam praktek hukum.

Force majeure memiliki keterkaitan yang erat dengan isu ganti rugi
dalam suatu kontrak. Konsep ini membawa konsekuensi hukum, tidak
hanya terkait dengan hilangnya atau tertundanya kewajiban untuk
melaksanakan prestasi dalam suatu kontrak, tetapi juga membebaskan
para pihak dari tanggung jawab memberikan ganti rugi akibat
ketidaklaksanaan kontrak tersebut. Pengaturan force majeure untuk
kontrak tertentu, atau yang dikenal sebagai kontrak bernama, memang
memiliki pasal-pasal khusus dalam KUHPerdata yang mengatur tentang
force majeure, terutama dalam konteks pengaturan risiko sebagai akibat
dari peristiwa force majeure.

Pasal-pasal khusus tersebut memberikan dasar hukum untuk


mengatasi implikasi hukum dari force majeure dalam suatu kontrak.
Salah satu pasal yang relevan dalam KUHPerdata yang mengatur hal ini
adalah Pasal 1244 KUHPerdata. Pasal ini menyatakan bahwa jika
terdapat alasan yang membenarkan, pihak yang berutang harus
membayar ganti rugi, biaya, dan bunga jika ia tidak dapat membuktikan
bahwa ketidaklaksanaan prestasi disebabkan oleh suatu hal yang tak
terduga dan tak dapat dipertanggungjawabkan padanya. Pasal 1244
KUHPerdata ini mencerminkan prinsip bahwa force majeure dapat
memberikan pembenaran untuk tidak membayar ganti rugi jika pihak
yang berutang dapat membuktikan bahwa ketidaklaksanaan prestasi
disebabkan oleh keadaan yang tidak terduga dan di luar kendalinya.

Selain Pasal 1244, terdapat juga Pasal 1245 KUHPerdata yang


melengkapi pengaturan force majeure dengan menyatakan bahwa jika,
karena force majeure, terjadi perubahan keadaan yang menyebabkan
ongkos atau bunga yang seharusnya dibayar menjadi berlebihan,
pengadilan dapat mengurangi jumlah tersebut, atau bahkan
memutuskan bahwa pihak yang berutang dibebaskan dari kewajiban
membayar ongkos atau bunga tersebut.

Referensi untuk pemahaman lebih lanjut dapat mencakup teks


KUHPerdata Indonesia, komentar-komentar hukum oleh ahli-ahli hukum
Indonesia, serta literatur hukum yang membahas pengaturan force
majeure dan ganti rugi dalam konteks kontrak di Indonesia. Selain itu,
kasus-kasus pengadilan yang mencakup force majeure dan ganti rugi
dapat menjadi sumber referensi yang berharga untuk memahami
implementasi konsep ini dalam praktek hukum.

● Force majeure dalam kontrak jual-beli

Pasal 1460 KUHPerdata memegang peran krusial dalam mengatur


resiko sebagai akibat dari force majeure dalam konteks kontrak jual-beli.
Namun, penafsiran dan penerapan pasal ini sering kali menjadi
kontroversial dalam praktik hukum. Pasal ini menyatakan bahwa resiko
atas barang tertentu yang diperjualbelikan akan ditanggung oleh
pembeli. Bahkan jika barang tersebut musnah sebelum penyerahan
karena force majeure, pembeli tetap harus membayar harga yang
disepakati, meskipun tidak lagi dapat menerima barang tersebut.

Dalam praktiknya, Pasal 1460 seringkali ditafsirkan secara sempit


oleh pengadilan. Pertama, pengadilan cenderung membatasi interpretasi
terhadap barang yang dimaksud sebagai barang yang tidak tergantikan
dan secara khusus ditunjuk oleh pembeli. Kedua, Pasal 1460 dianggap
hanya berlaku jika barang tersebut musnah sebelum diserahkan. Jika
tidak diserahkan karena larangan ekspor atau hambatan lainnya, Pasal
1460 tidak diterapkan.

Untuk kontrak tukar-menukar, Pasal 1545 KUHPerdata mengatur


resiko sebagai akibat dari force majeure. Dari pasal ini dapat diambil
kesimpulan bahwa dalam kontrak timbal balik, resiko akibat force
majeure ditanggung bersama oleh para pihak. Jika salah satu pihak telah
memenuhi kewajibannya, kontrak dianggap gugur. Hal ini menciptakan
kerangka hukum yang adil terkait dengan resiko dalam kontrak tukar-
menukar.

Sementara untuk kontrak sewa-menyewa, Pasal 1553 KUHPerdata


mengatur bahwa jika barang yang disewakan musnah karena kejadian
yang tidak disengaja, kontrak sewa-menyewa tersebut gugur demi
hukum. Jika hanya sebagian musnah, penyewa dapat memilih antara
pengurangan harga sewa atau pembatalan sewa-menyewa. Dalam
kedua kasus, penyewa tidak berhak atas ganti rugi.

Dalam menghadapi situasi force majeure, teori penghapusan atau


peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld) menjadi relevan. Teori ini
memberikan keringanan kepada debitur untuk tidak bertanggungjawab
atas kewajiban yang seharusnya dilakukan karena kesalahan tersebut
bukan berasal dari debitur. Dengan demikian, debitur tidak perlu
membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUHPerdata), dan beban resiko tetap
tergantung pada keadaan memaksa sementara.
Adanya perkembangan dalam konsep force majeure juga ditemukan
dalam kasus-kasus yang mencakup resiko perang, tindakan administratif
penguasa, keadaan darurat, kecelakaan di laut, dan situasi yang sama
sekali tidak dapat diduga. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa
pengertian force majeure tidak lagi terbatas pada peristiwa alam atau
act of God, tetapi telah meluas hingga mencakup kondisi politik dan
administratif.

Pemahaman ini diperkuat dengan adanya pandangan bahwa force


majeure dapat bersifat objektif atau subjektif. Secara objektif, debitur
dianggap dalam keadaan memaksa jika pemenuhan prestasi tidak
mungkin dilaksanakan oleh siapapun atau oleh setiap orang. Sedangkan
secara subjektif, keadaan memaksa dapat ada jika debitur masih
mungkin melaksanakan prestasi, tetapi dengan kesukaran atau
pengorbanan yang besar.

Referensi dari Rosa Agustina, Rahmat S.S. Soemadipradja, dan


putusan-putusan pengadilan merupakan sumber yang berharga untuk
memahami pemikiran dan penerapan force majeure dalam konteks
hukum perdata di Indonesia.

BAB IV
EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS
A. Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus

"Exceptio Non Adimpleti Contractus" berasal dari bahasa Latin, di


mana "exceptio" berarti pengecualian, "non" berarti tidak, "adimpleti"
berarti pemenuhan, dan "contractus" berarti kontrak. Secara
keseluruhan, frasa ini dapat diterjemahkan sebagai "Pengecualian Tidak
Pemenuhan Kontrak." Konsep ini merujuk pada doktrin hukum di mana
salah satu pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk menolak
melaksanakan kewajibannya jika pihak lainnya juga tidak memenuhi
kewajibannya.

Prinsip hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah pikiran dasar


yang umum sifatnya, mendasari peraturan hukum konkret, dan dapat
ditemukan dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.

Prinsip hukum merupakan metanorma yang dapat dijadikan landasan


pembentukan suatu peraturan perundang-undangan dan dapat pula
dijadikan dasar bagi hakim di dalam menemukan suatu hukum terhadap
kasus-kasus yang sedang dihadapinya untuk diputuskan ketika hakim
tidak dapat merujuk kepada aturan hukum positif.

Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang menimbulkan hak


dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Kedua belah pihak dalam
perjanjian timbal balik disebut sebagai kreditor dan debitor. Kreditor
adalah pihak yang berhak menuntut pemenuhan prestasi dari debitur.
Debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi yang
dijanjikan kepada kreditor.

Dalam perjanjian timbal balik, terdapat sebuah prinsip hukum yang


menegaskan bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan
kewajibannya dan sama-sama menerima haknya. Prinsip ini disebut
sebagai prinsip kesamaan prestasi. Prinsip kesamaan prestasi didasarkan
pada asas keadilan dan keseimbangan.

Exceptio non adimpleti contractus adalah sebuah tangkisan yang


dapat digunakan oleh salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik
untuk menolak tuntutan pihak lainnya jika pihak tersebut juga dalam
keadaan wanprestasi. Tangkisan ini didasarkan pada prinsip kesamaan
prestasi dalam perjanjian timbal balik.

Prinsip kesamaan prestasi menyatakan bahwa kedua belah pihak


dalam perjanjian timbal balik harus sama-sama memenuhi
kewajibannya. Jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya,
maka pihak lainnya tidak dapat menuntut pemenuhan kewajiban dari
pihak tersebut.

Dalam kasus wanprestasi, salah satu pihak tidak memenuhi


kewajibannya sebagaimana yang dijanjikan dalam perjanjian. Pihak yang
tidak memenuhi kewajibannya disebut sebagai wanprestasi. Pihak yang
dirugikan oleh wanprestasi tersebut disebut sebagai kreditor.

Kreditur dapat menuntut wanprestasi kepada debitur. Namun, jika


kreditor sendiri juga dalam keadaan wanprestasi, maka tuntutannya
dapat ditolak oleh debitur dengan mengajukan tangkisan exceptio non
adimpleti contractus.

Tangkisan exceptio non adimpleti contractus dapat dibenarkan


secara logis karena didasarkan pada prinsip kesamaan prestasi. Jika
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka pihak lainnya juga
tidak dapat dituntut untuk memenuhi kewajibannya.

Dalam hukum perdata, terdapat sebuah prinsip yang disebut sebagai


exceptio non adimpleti contractus. Prinsip ini dapat diartikan sebagai
sangkalan dalam suatu persetujuan timbal balik yang dikemukakan oleh
suatu pihak bahwa pihak lawan juga berada dalam keadaan lalai (in
gebreke) dan dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan
prestasi

Prinsip exceptio non adimpleti contractus didasarkan pada asas


keadilan dan keseimbangan. Asas keadilan menghendaki bahwa kedua
belah pihak dalam suatu perjanjian timbal balik harus memenuhi
kewajibannya masing-masing. Asas keseimbangan menghendaki bahwa
kedua belah pihak dalam suatu perjanjian timbal balik harus memiliki
kedudukan yang setara.
Dalam konteks perjanjian timbal balik, jika salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, maka pihak lainnya dapat menuntut
pemenuhan kewajiban tersebut. Namun, jika pihak yang menuntut
pemenuhan kewajiban tersebut juga berada dalam keadaan lalai, maka
tuntutannya dapat ditolak oleh pihak yang dituntut. Hal ini karena pihak
yang menuntut pemenuhan kewajiban tersebut juga telah melanggar
perjanjian.

Jadi, prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat diartikan


sebagai upaya untuk menjamin keadilan dan keseimbangan dalam
perjanjian timbal balik. Prinsip ini memberikan hak kepada pihak yang
dituntut untuk menolak tuntutan pihak yang menuntut jika pihak yang
menuntut juga berada dalam keadaan lalai.

Prinsip exceptio non adimpleti contractus merupakan salah satu


prinsip hukum perdata yang penting. Prinsip ini didasarkan pada asas
keadilan dan keseimbangan. Asas keadilan menghendaki bahwa kedua
belah pihak dalam suatu perjanjian timbal balik harus memenuhi
kewajibannya masing-masing. Asas keseimbangan menghendaki bahwa
kedua belah pihak dalam suatu perjanjian timbal balik harus memiliki
kedudukan yang setara.

Dalam konteks perjanjian timbal balik, jika salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, maka pihak lainnya dapat menuntut
pemenuhan kewajiban tersebut. Namun, jika pihak yang menuntut
pemenuhan kewajiban tersebut juga berada dalam keadaan lalai, maka
tuntutannya dapat ditolak oleh pihak yang dituntut. Hal ini karena pihak
yang menuntut pemenuhan kewajiban tersebut juga telah melanggar
perjanjian.

Dengan demikian, prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat


diartikan sebagai upaya untuk menjamin keadilan dan keseimbangan
dalam perjanjian timbal balik. Prinsip ini memberikan hak kepada pihak
yang dituntut untuk menolak tuntutan pihak yang menuntut jika pihak
yang menuntut juga berada dalam keadaan lalai.

Prinsip exceptio non adimpleti contractus merupakan salah satu


prinsip hukum perdata yang penting. Prinsip ini didasarkan pada asas
keadilan dan keseimbangan. Asas keadilan menghendaki bahwa kedua
belah pihak dalam suatu perjanjian timbal balik harus memenuhi
kewajibannya masing-masing. Asas keseimbangan menghendaki bahwa
kedua belah pihak dalam suatu perjanjian timbal balik harus memiliki
kedudukan yang setara.

Dalam konteks perjanjian timbal balik, jika salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, maka pihak lainnya dapat menuntut
pemenuhan kewajiban tersebut. Namun, jika pihak yang menuntut
pemenuhan kewajiban tersebut juga berada dalam keadaan lalai, maka
tuntutannya dapat ditolak oleh pihak yang dituntut. Hal ini karena pihak
yang menuntut pemenuhan kewajiban tersebut juga telah melanggar
perjanjian.

Dengan demikian, prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat


diartikan sebagai upaya untuk menjamin keadilan dan keseimbangan
dalam perjanjian timbal balik. Prinsip ini memberikan hak kepada pihak
yang dituntut untuk menolak tuntutan pihak yang menuntut jika pihak
yang menuntut juga berada dalam keadaan lalai.

Prinsip exceptio non adimpleti contractus berasal dari hukum


Romawi. Dalam hukum Romawi, prinsip ini dikenal dengan istilah
exceptio non impleti obligationis. Prinsip ini telah diterapkan sejak abad
ke-2 SM.

Pada awalnya, dalam hukum Romawi, kewajiban dari masing-masing


pihak dalam suatu perjanjian saling berdiri sendiri dan terlepas satu
sama lain. Konsekuensinya, dalam perjanjian timbal balik, jika salah satu
pihak tidak melaksanakan prestasinya (wanprestasi), maka pihak lain
harus tetap melaksanakan prestasinya sampai selesai. Hal ini dirasakan
sangat tidak adil.

Oleh karena itu, muncul konstruksi hukum yang dikenal dengan


istilah exceptio non adimpleti obligation. Konstruksi hukum ini
memberikan hak kepada pihak yang digugat telah melakukan
wanprestasi untuk membela diri dengan membuktikan bahwa pihak
lawan juga sudah terlebih dahulu melakukan wanprestasi.
Konstruksi hukum ini telah berkembang dan diterima dalam hukum
perdata di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari ketentuan Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yang menyatakan bahwa:

"Dalam perjanjian timbal balik, jika salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya, maka pihak lainnya tidak wajib untuk memenuhi
kewajibannya."

Pasal ini menegaskan bahwa prinsip exceptio non adimpleti


contractus hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik. Dalam perjanjian
timbal balik, kedua belah pihak memiliki kewajiban masing-masing. Jika
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka pihak lainnya
tidak wajib untuk memenuhi kewajibannya. Hal ini didasarkan pada asas
keadilan dan keseimbangan.

Dalam sejarah hukum di Inggris dan Amerika Serikat misalnya,


semula juga berlaku kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu
perjanjian timbal balik saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain,
yakni berlaku sampai pertengahan abad ke-18 (delapan belas). Baru
kemudian di paruh abad ke-18 (delapan belas), muncul putusan-putusan
pengadilan yang tidak lagi memberlakukan hal tersebut.

Kasus terkenal (landmark case) yang tidak lagi memberlakukan


kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian timbal balik
saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain adalah yang dikenal
dengan kasus Kingston melawan Preston (diputuskan di Inggris pada
tahun 1773).

Duduk perkara dari kasus Kingston melawan Preston adalah tergugat


(Preston) menjual bisnisnya kepada penggugat (Kingston) dimana
pembeli dapat membayarnya secara cicilan. Penjualan bisnis ini disertai
dengan pemberian jaminan utang yang dapat dieksekusi oleh penjual
manakala pihak pembeli tidak dapat membayar cicilan harga belinya itu.

Kemudian, pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk


menyediakan jaminan utang, sehingga pihak penjual tidak mau menjual
bisnisnya. Akan tetapi pihak pembeli menggugat pihak penjual ke
pengadilan karena dengan tidak dijualnya lagi bisnis tersebut kepada
pembelinya. Dalam hal ini pihak penjual dikatakan telah melakukan
wanprestasi atau ingkar janji oleh pihak pembeli.

Putusan menyatakan bahwa tidak dijualnya lagi bisnis kepada


pembeli bukanlah tindakan wanprestasi, karena pihak pembeli telah
terlebih dahulu wanprestasi. Pengadilan menyatakan bahwa pengikatan
jaminan utang merupakan syarat bagi penjualan bisnis. Sebab jika pihak
penjual diharuskan untuk menjual bisnisnya, sementara pihak pembeli
nyata-nyata tidak melakukan kewajibannya, hal tersebut akan menjadi
sangat tidak adil (the greatest injustice).

Prinsip exceptio non adimpleti contractus berlaku dalam hukum


perjanjian Indonesia. Meskipun demikian, masih ditemukan kasus
bahwasannya majelis hakim mengabulkan permintaan penggugat dalam
perjanjian timbal balik dengan alasan pihak tergugat telah melakukan
wanprestasi, padahal pihak penggugat juga telah melakukan wanprestasi
terlebih dahulu. Seperti pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dalam kasus PT. Surya Mas Duta melawan Bank Niaga. Hakim
memutuskan bahwa pihak tergugat (Bank Niaga) harus menambah lagi
kreditnya kepada penggugat sesuai yang diperjanjikan, meskipun pihak
penggugat sudah tidak membayar terhadap kredit yang diambilnya.

Berdasarkan perjanjian timbal balik yang mana kewajiban para pihak


berhubungan sangat erat antara satu sama lain, maka kiranya bisa
diterima, bahwa jika pihak yang satu menuntut pemenuhan kewajiban
dari pihak yang lain, maka pihak tersebut sudah seharusnya
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati di dalam
perjanjian. Menurut Nieuwenhuis, prinsip exceptio non adimpleti
contractus dapat diterapkan dalam perjanjian timbal balik, sekurang-
kurangnya dapat diterapkan pada jual beli.

B. Aturan Hukum Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus

1. Peraturan Perundang-undangan

Hukum perjanjian di Indonesia masih menggunakan aturan


hukum peninggalan Belanda, yaitu yang diatur di dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ketentuan-ketentuan
tersebut masih berlaku di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal II
aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Ketentuan umum hukum perjanjian dalam KUHPerdata mengatur


tentang pengertian, sifat, unsur-unsur, dan klasifikasi perjanjian.
Ketentuan khusus hukum perjanjian mengatur tentang bentuk, syarat
sahnya, akibat hukum, dan pengakhiran perjanjian.

Perkataan perikatan (verbintenis) dalam KUHPerdata mempunyai


arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”. Selain perjanjian,
perikatan juga dapat timbul dari perbuatan yang melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak
berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Namun, sebagian besar
dari Buku III KUHPerdata ditujukan kepada perikatan-perikatan yang
timbul dari persetujuan atau perjanjian.

Buku III KUHPerdata yang berjudul tentang perikatan,


seluruhnya terdiri atas delapan belas bab (bab I sampai dengan bab
XVIII). Bab I sampai dengan IV yang mengatur tentang:

Bab I : ketentuan perikatan pada umumnya (Pasal 1233-1312 KUHPerdata)

Bab II : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari persetujuan atau perjanjian


(Pasal 1313-1351 KUHPerdata).

Bab III : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang (Pasal


1352-1350 KUHPerdata)

Bab IV : Mengatur tentang hapusnya perikatan (Pasal 1381-1456


KUHPerdata)

Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang perjanjian-perjanjian


khusus yang merupakan tipe-tipe dari perjanjian-perjanjian yang selalu
terjadi dalam masyarakat dan lazim disebut dengan perjanjian bernama.
Secara garis besar, Bab I sampai dengan Bab IV mengatur tentang
pokok-pokok perikatan, sedangkan bab V sampai dengan Bab XVIII
memuat pembahasan lebih lanjut, kadang-kadang pengulangan dari
bagian umum. Jadi bagian umum dari Buku III tersebut pada dasarnya
berlaku terhadap semua perjanjian, baik bernama maupun yang tidak
bernama. Misalnya: Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat-syarat
sahnya perikatan, haruslah diberlakukan pada semua perjanjian yang
ada dalam Bab V sampai Bab XVIII.73

Perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian timbal


balik. Dalam perjanjian timbal balik, kedua belah pihak memiliki
kewajiban masing-masing. Kewajiban pihak pembeli adalah membayar
harga jual beli, sedangkan kewajiban pihak penjual adalah menyerahkan
barang yang dijual.

Pasal 1478 KUHPerdata menyatakan bahwa: "Penjual tidak


diwajibkan untuk menyerahkan barang yang dijual, jika pembeli tidak
membayar harganya." Pasal ini merupakan penerapan dari prinsip
exceptio non adimpleti contractus. Prinsip ini menyatakan bahwa pihak
yang digugat wanprestasi dapat membela diri dengan membuktikan
bahwa pihak lawan juga telah terlebih dahulu melakukan
wanprestasi.Dalam konteks perjanjian jual beli, jika pembeli tidak
membayar harga jual beli, maka penjual dapat menolak untuk
menyerahkan barang yang dijual. Hal ini didasarkan pada alasan
keadilan dan keseimbangan.Jika pembeli tidak membayar harga jual beli,
maka penjual akan dirugikan karena tidak dapat memperoleh pelunasan
atas barang yang dijualnya. Oleh karena itu, penjual tidak dapat dipaksa
untuk menyerahkan barang yang dijualnya jika pembeli tidak memenuhi
kewajibannya terlebih dahulu.

Asser-Rutten berpendapat bahwa penerapan exceptio non


adimpleti contractus dalam perjanjian jual beli didasarkan pada adanya
hubungan saling bergantungan antara prestasi masing-masing pihak.
Dalam perjanjian jual beli, prestasi pembeli untuk membayar harga jual
beli bergantung langsung pada prestasi penjual untuk menyerahkan
barang yang dijual.

Jika pembeli tidak membayar harga jual beli, maka prestasi penjual
untuk menyerahkan barang yang dijual menjadi tidak mungkin dilakukan. Oleh
karena itu, pembeli tidak dapat menuntut penjual untuk menyerahkan barang
yang dijual jika pembeli sendiri telah melakukan wanprestasi.Penerapan
exceptio non adimpleti contractus dalam perjanjian jual beli telah diakui oleh
hukum positif Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1517
KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

"Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian, si penjual


dapat menuntut pembatalan pembelian menurut ketentuan-ketentuan
Pasal 1266 dan 1267.” Pasal ini memberikan hak kepada penjual untuk
membatalkan perjanjian jual beli jika pembeli tidak membayar harga jual
beli.

2. Yurisprudensi

Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia yang memiliki


peran penting dalam sistem hukum Indonesia. Yurisprudensi adalah keputusan
hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim
kemudian mengenai masalah yang sama di masa yang akan datang:

Dalam sistem hukum Indonesia, yurisprudensi memiliki peran sebagai berikut:

a. Penjelasan terhadap ketentuan hukum yang tidak jelas

Jika ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan tidak


jelas, maka yurisprudensi dapat digunakan untuk memberikan
penjelasan terhadap ketentuan tersebut. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan
bahwa: "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.

b. Pengembangan hukum

Yurisprudensi dapat digunakan untuk mengembangkan hukum. Hal ini


dapat terjadi jika yurisprudensi tersebut memberikan interpretasi baru
terhadap ketentuan hukum yang ada. Interpretasi baru tersebut dapat
menjadi dasar bagi hakim-hakim lain untuk menerapkan ketentuan
hukum tersebut dalam perkara yang serupa di masa yang akan datang.

c. Penyelesaian sengketa

Yurisprudensi dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Hal ini


dapat terjadi jika yurisprudensi tersebut telah menjadi dasar bagi
hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang serupa di masa
yang akan datang. Berdasarkan peran-peran tersebut, dapat
disimpulkan bahwa yurisprudensi memiliki peran yang penting dalam
sistem hukum Indonesia. Yurisprudensi dapat digunakan untuk
memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum.

Jenis-jenis Yurisprudensi. Yurisprudensi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Yurisprudensi biasa

Yurisprudensi biasa adalah seluruh putusan pengadilan yang telah telah


berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Putusan tersebut
terdiri dari putusan perdamaian dalam perkara perdata, putusan
pengadilan negeri yang tidak dibanding, putusan pengadilan tinggi
yang tidak dikasasi dan seluruh putusan Mahkamah Agung.

b. Yurisprudensi tetap

Yurisprudensi tetap adalah putusan hakim yang terjadi karena


rangkaian keputusan yang serupa dan yang menjadi dasar bagi
pengadilan (standard arresten) untuk mengambil keputusan.
Yurisprudensi tetap ini biasanya dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Yurisprudensi tetap memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi
daripada yurisprudensi biasa. Hal ini karena yurisprudensi tetap telah
menjadi dasar bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang
serupa di masa yang akan datang.

Adapun yurisprudensi mengenai prinsip exceptio non adimpleti


contractus dapat dilihat pada :

a. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 15 Mei 1957


Nomor 156 K/SIP/1955, yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta pada tanggal 2 Desember 1953 Nomor 218/1953, yang telah
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 29
September 1951 Nomor 767/1950 G dalam perkara perdata antara PT.
Pacific Oil Company melawan Oei Ho Liang.

Perkara ini bermula dari tuntutan PT. Pacific Oil Company kepada
tergugat Oei Ho Liang selaku penjual dalam perjanjian jual beli karet
untuk menyerahkan sejumlah karet yang diperjanjikan dan membayar
ganti kerugian yang diderita penggugat karena kelalaian tergugat.
Bahwa tergugat dalam suratnya tertanggal 27 Januari 1950 telah
menyatakan bahwa tergugat tidak akan menyerahkan barang-barangnya
tersebut, dengan demikian tergugat telah menyatakan dirinya lalai.

Selanjutnya ditangkis oleh tergugat dengan menyatakan bahwa


penggugat sendiri telah lalai melaksanakan janjinya, yaitu tidak
membayar harga pembelian karet tersebut tepat pada waktunya yaitu
selambat-lambatnya pada tanggal 21 Januari 1950 pukul 12.00 WIB.
Tuntutan penggugat akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut
dengan pertimbangan, bahwa penggugat sendiri telah lalai sehingga ia
tidak berhak mengajukan tuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1267
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Putusan tersebut dalam
pemeriksaan banding telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi di Jakarta
dengan putusan tertanggal 2 Desember 1953 No. 218/1953P.T. Perdata.

Selanjutnya PT. Pacific Oil Company mengajukan kasasi ke


Mahkamah Agung dengan keberatan-keberatan, yaitu:

a. Keputusan Pengadilan Tinggi tersebut tidak berdasarkan alasan-alasan


yang cukup.
b. Bahwa perjanjian tidak dengan sendirinya batal menurut hukum
sehingga sesuatu “wanprestasi” tidaklah secara langsung
membebaskan pihak lawan dari kewajibannya untuk memenuhi
perjanjian tersebut.
c. Untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut pihak lawan
tersebut seharusnya memajukan suatu gugatan balasan untuk
membatalkan perjanjian tersebut.
d. Penggugat untuk kasasi itu karena suatu keadaan darurat (overmacht)
tidak dapat melakukan pembayaran pada 21 Januari 1950 sebelum
pukul 12.00 WIB.
e. Andaikan penggugat untuk kasasi pada saat itu dengan cara lain
misalnya dengan membayar uang tunai dapat melakukan pembayaran,
maka tergugat dalam kasasi tidak akan dapat memenuhi kewajibannya
oleh karena dokumen-dokumen yang bersangkutan ada di kantor
Cirebon, yang mana kantor tersebut sedang ditutup.

Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya


menolak keselurahan alasan-alasan kasasi dengan pertimbangan hukum
yaitu: Penggugat telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu, maka
Penggugat tidak dapat menuntut pemenuhan perjanjian kerjasama
tersebut.

b. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 yang


menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 30
Juni 1999 Nomor 35/Pailit/1999/PN.Niaga/i.Jkt.Pst. kepailitan. Dalam
perkara kepailitan antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika
Princess Hotel.

Permohonan pailit ini bermula dari perjanjian kerjasama tentang


pembangunan gedung. PT. Waskita Karya sebagai Pemohon Pailit adalah
kontraktor yang ditunjuk oleh Termohon Pailit sebagai pemilik gedung
hotel Sheraton Mustika Princess untuk membangun atau sebagai
pelaksana pembangunan gedung berdasarkan surat perjanjian kerja
sama.

Pemohon Pailit telah melaksanakan seluruh pekerjaan dengan


baik dan penuh tanggung jawab namun Termohon Pailit tidak membayar
kewajibannya pada Pemohon Pailit sebesar Rp. 2.085.608.726.23 (dua
milyar delapan puluh lima juta enam ratus delapan ribu tujuh ratus dua
puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen).

Bahwa karena pekerjaan telah diselesaikan namun Termohon


Pailit tidak membayar meskipun telah ditagih oleh Pemohon Pailit, maka
berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut Termohon Pailit berhutang
pada Pemohon Pailit dan utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat
ditagih. Ditangkis oleh Termohon Pailit bahwa Pemohon Pailit tidak
melaksanakan perjanjian sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga
menimbulkan kerugian bagi Termohon Pailit baik karena robohnya
bangunan jembatan layang menuju hotel maupun karena keterlambatan
pengoperasian hotel.
Tuntutan Pemohon Pailit akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut
dengan pertimbangan bahwa Pemohon Pailit dan Termohon Pailit telah
mengadakan perjanjian, Pemohon Pailit selaku kontraktor membangun
hotel milik Termohon Pailit.

Dari hubungan hukum antara kedua pihak tersebut timbul suatu


keadaan yang mana Pemohon Pailit telah menyelesaikan pekerjaannya
tetapi Termohon Pailit tidak bersedia membayar, yaitu sebesar Rp.
2.085.688.726,23,- (dua milyar delapan puluh lima juta enam ratus
delapan puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua
puluh tiga sen). Prestasi sejumlah uang yang dituntut oleh Pemohon
Pailit yang tidak dibayar oleh Termohon Pailit, merupakan utang
Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit.

Sebaliknya dalam hubungan kerja atau perjanjian antara


Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit, ternyata ada satu pekerjaan
pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel yang harus
dikerjakan oleh Pemohon Pailit. Tentang pekerjaan pembuatan
bangunan jembatan layang menuju hotel tersebut tidak disangkal
keberadaannya oleh Pemohon Pailit. Bahwa bangunan jembatan layang
menuju hotel yang dikerjakan oleh Pemohon Pailit ternyata roboh atau
gagal.

Pemohon Pailit tidak memperbaiki atau mengerjakan kembali


bangunan jembatan layang menuju hotel. Termohon Pailit telah
menunjuk kontraktor lain untuk membuat dan memperbaiki bangunan
jembatan layang menuju hotel tersebut. Biaya yang dikeluarkan oleh
Termohon Pailit untuk biaya yang telah dibayarkan kepada Pemohon
Pailit dan biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan kepada kontraktor
yang baru untuk pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel
baru serta perbaikan lainnya, seluruhnya sebesar Rp. 4.378.244.000,-
(empat milyar tiga ratus tujuh puluh delapan juta dua ratus empat puluh
empat ribu Rupiah).

Prestasi sejumlah uang tersebut dituntut oleh Termohon Pailit


kepada Pemohon Pailit, prestasi tersebut merupakan utang Pemohon
Pailit kepada Termohon Pailit. Menurut Majelis Hakim Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat dalam pertimbangannya menyebutkan, bahwa utang
Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit sebesar Rp. 2.085.688.726,23,-
(dua milyar delapan puluh lima juta enam ratus delapan puluh delapan
ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen) belum jatuh
tempo, karena berdasarkan bukti-bukti yang ada Pemohon Pailit belum
menyelesaikan pekerjaan secara penuh sesuai yang ditentukan dalam
Surat perjanjian yang dibuat oleh Pemohon Pailit dengan Termohon
Pailit.

Berdasarkan putusan tersebut, selanjutnya PT. Waskita Karya


mengajukan Permohonan Kasasi. Alasan Permohonan Kasasi adalah
bahwa Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum Pasal 1 ayat (1)
dan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
adanya utang yang telah jatuh tempo dan salah menerapkan hukum
tentang adanya utang pada kreditor lain.

Terhadap keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung


berpendapat bahwa dengan terkaitnya perkara ini dengan masalah
prinsip hukum yaitu exceptio non adimpleti contractus dihubungkan pula
dengan masalah hukum ipso jure compensatur, maka penyelesaian
permasalahan ada atau tidak adanya utang yang disyaratkan Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, memerlukan pembuktian
yang rumit dan berkepanjangan.

Sedangkan prinsip proses pemeriksaan pembuktian maupun


sistem pembuktian yang digariskan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 adalah acara cepat (expedited prosedure) dengan
sistem pembuktian sederhana, bertitik tolak dari fakta-fakta indikasi
permasalahan hukum adanya exceptio non adimpleti contractus dan ipso
jure compensatur dihubungkan dengan prinsip Pasal 6 ayat (3)
dimaksud, penyelesaian perkara ini tidak bisa diselesaikan melalui proses
Pengadilan Niaga berdasar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, akan
tetapi harus melalui jalur penyelesaian perdata biasa.81

c. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001 yang


menguatkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta
tanggal 13 Februari 2001 Nomor: 06 K/N/2001 yang membatalkan
putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal
04 Januari 2001 No.81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. dalam perkara
kepailitan antara PT. Kadi Internasional melawan PT. Wisma Calindra.

Permohonan Pailit ini bermula dari perjanjian kerjasama tentang


pembangunan gedung (Construction Contract) yang mana Pemohon
Pailit yaitu PT. Kadi Internasional dan Termohon Pailit yaitu PT. Wisma
Calindra telah setuju untuk membangun sebuah kondominium yang
terletak di Jalan Jenderal S. Parman Kav.76 Jakarta dengan sistem
kontrak Turn Key.

Di dalam Kontrak tersebut disepakati bahwa Pemohon Pailit


mengerjakan Proyek Kondominium tersebut secara keseluruhan, dari
penyusunan konsep, studi kelayakan, perencanaan konstruksi,
pengadaan sampai pada penyelesaian proyek Kondominium tersebut
seperti yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan
Termohon Pailit terikat untuk melakukan pembayaran dalam jumlah
harga kontrak yang telah disepakati pada saat proyek kondominium
tersebut selesai dibangun oleh Termohon Pailit.

Bahwa dalam Pasal 1 ayat (9) Perjanjian Kesepakatan


(Agreement of understanding) yang dibuat dengan Akta Notaris No.140
tanggal 30 Maret 1985 yang merupakan perjanjian yang tidak dapat
dipisahkan dari “Perjanjian Pembangunan” (Construction Contract) di
atas dinyatakan bahwa kewajiban dari Termohon Pailit tersebut sebagai
loan (pinjaman) antara lain sebagaimana terbukti sebagai berikut:
“Pinjaman”: adalah jumlah yang setara dengan harga kontrak ditambah
dengan bunga 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahun.

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (2) dari Perjanjian Kesepakatan


(Agreement of Understanding) dinyatakan sebagai berikut: “Pinjaman
dan bunga sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahun atas
jumlah yang terhutang termasuk pajak penghasilan, akan dibayarkan
kembali oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit dari setiap dan
semua pendapatan tidak termasuk biaya pelayanan akan tetapi termasuk
uang jaminan yang berasal dari setiap dan semua perjanjian sewa yang
diadakan oleh Termohon Pailit dengan para penyewa dalam waktu 9
(sembilan) tahun sejak tanggal penyelesaian proyek”.

Dari kutipan perjanjian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa


perjanjian atau utang yang harus dibayarkan oleh Termohon Pailit
kepada Pemohon Pailit adalah berupa nilai pokok hutang yang telah
disepakati dalam kontrak (contract price) ditambah dengan bunga
sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahunnya yang akan
dibayarkan secara bertahap dalam jangka waktu pembayaran selama 9
tahun terhitung dari dikeluarkannya berita acara serah terima (Certificate
of Completion).

Pemohon Pailit telah menyelesaikan proyek Kondominium


tersebut secara keseluruhan di mana Termohon Pailit juga telah
mengkonfirmasikan bahwa proyek Kondominium tersebut telah selesai
dibangun dengan diterbitkannya berita acara serah terima (Certificate of
completion) pada tanggal 18 Desember 1987.

Bahwa dalam akta Perjanjian Tambahan (Suplementary


Agreement)No. 56 tanggal 24 Desember 1987 Termohon Pailit kembali
mengkonfirmasikan bahwa Termohon Pailit telah menyelesaikan
pembangunan proyek Kondominium tersebut pada tanggal 30
September 1987 dan untuk itu Termohon Pailit telah menerbitkan
Certificate of Completion pada tanggal 18 Desember 1987. Selain itu,
Termohon Pailit juga mengakui bahwa jumlah utang pokok yang menjadi
kewajiban Termohon Pailit untuk dibayarkan kepada Pemohon Pailit
adalah sebesar US$ 6.059.250 (enam juta lima puluh sembilan ribu dua
ratus lima puluh dolar Amerika Serikat).

Bahwa meskipun utang Termohon Pailit telah jatuh tempo dan


dapat ditagih, namun Termohon Pailit tidak melakukan pembayaran
seperti yang telah diperjanjikan, walaupun Pemohon Pailit telah berkali-
kali melakukan peringatan. Utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit
yang seharusnya menurut Pasal 4 ayat (2) dari Perjanjian Kesepakatan
(Agreement of Understanding) telah harus dilunasi pada tanggal 17
Desember 1996, ternyata sampai saat permohonan pernyataan pailit ini
didaftarkan tidak dilunasi, sehingga utang tersebut secara keseluruhan
telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Berdasarkan atas niat baik, Pemohon Pailit tetap mengingatkan


Termohon Pailit untuk melunasi utangnya, akan tetapi Pemohon Pailit
hanya menawarkan janji-janji penyelesaian tanpa pernah melaksanakan
janji pelunasan tersebut kepada Pemohon Pailit. Sejak tanggal 18
Agustus 1994, Termohon Pailit tidak pernah melakukan pembayaran
utangnya sama sekali terhadap Pemohon Pailit.

Keseluruhan utang yang dimiliki Termohon Pailit (utang ditambah


dengan bunga) yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada
Pemohon Pailit sampai dengan tanggal 4 Desember 2000 adalah sebesar
US$ 23.488.949,- (dua puluh tiga juta empat ratus delapan puluh
delapan ribu sembilan ratus empat puluh sembilan dolar Amerika
Serikat).

Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam


pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang
ada Termohon Pailit telah mengakui adanya utang kepada Pemohon
Pailit dan utang tersebut terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Kalimat dapat ditagih pada syarat kedua ini bersifat fakultatif, artinya
apabila utang telah jatuh tempo, maka utang tersebut boleh ditagih dan
boleh belum ditagih, dan apabila belum ditagih tidak menghilangkan
syarat kedua ini, sebab pada Prinsipnya utang harus dibayar, tanpa
melakukan penagihan sebelumnya.

Berdasarkan syarat substansial sebagaimana diatur di dalam


ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang kepailitan secara sederhana
telah terpenuhi dan terbukti, maka permohonan pailit yang diajukan
harus dikabulkan, sedangkan dalil Termohon Pailit yang mengatakan
bahwa perkara ini tidak memenuhi unsur Pasal 6 ayat (3) undang-
undang kepailitan, melainkan suatu perkara yang kompleks dan rumit
tidak beralasan dan harus dikesampingkan.

Akhirnya hakim dalam putusannya tertanggal 04 Januari 2001


menetapkan mengabulkan permohonan pailit dan menyatakan PT.
Wisma Calindra pailit. Atas putusan pailit tersebut selanjutnya PT. Wisma
Calindra mengajukan Permohonan Kasasi. Alasan Permohonan Kasasi
adalah bahwa judex factie telah keliru dan salah menerapkan hukum
serta lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yaitu:

1) Bahwa Judex Factie tidak membedakan dan salah menerapkan hukum


atas dua jenis aspek hukum perjanjian konstruksi yang terbagi atas:
a. Jenis pertama: Perjanjian kontruksi di mana kontraktor murni dan
hanya wajib sebagai kontraktor sedangkan customer wajib
menyediakan tanah dan biaya kontrak.
b. Jenis kedua: jenis perjanjian konstruksi yang mana kontraktor di
samping sebagai kontraktor juga wajib sebagai penyandang dana
atau wajib mencari kreditor yang membiayai biaya konstruksi.
Sedangkan klien hanya menyediakan tanah atau lahan. Ternyata
judex factie salah karena menerapkan hukum untuk perjanjian
konstruksi jenis pertama padahal perjanjian antara kreditor dan
debitor adalah jenis kedua.
2) Unsur contract price atau utang “dapat ditagih” tidak dipenuhi sebab
prasyarat contract price dapat ditagih tidak terpenuhi.
3) Karena Pemohon Kasasi (debitor) mengajukan tangkisan fakta bahwa
exceptio non adimpleti contractus maka perkara a quo tidak dapat
diperiksa oleh Pengadilan Niaga secara sederhana, melainkan harus di
pengadilan umum, akan tetapi judex factie tidak mengindahkan
persyaratan mutlak pembuktian sederhana.

Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya membenarkan alasan


yang dikemukakan oleh Pemohon Kasasi. Dari bukti-bukti yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi, Majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian
antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi adalah perjanjian timbal
balik di mana kedua belah pihak menurut perjanjian kesepakatan
mempunyai kewajiban.

Perjanjian kesepakatan tetap berlaku hingga disediakannya


pinjaman kepada Pemohon Kasasi yang cukup untuk membayar jumlah
yang terutang yang harus dibayar kepada Termohon Kasasi. Oleh karena
masih harus diperiksa dahulu apakah Termohon kasasi telah
melaksanakan kewajibannya, pemeriksaan mana tidak bersifat
sederhana oleh karena harus memberikan kesempatan kepada kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk
membuktikannya atau membantahnya.

Seperti memberikan kesempatan kepada Pemohon Kasasi untuk


menanggapi bukti tambahan yang diajukan oleh Termohon Kasasi.
Sehingga belumlah dapat dikatakan bahwa utang yang telah jatuh waktu
tersebut juga telah dapat ditagih dan karena salah satu syarat tidak
dapat dipenuhi maka permohonan pailit haruslah ditolak.

Majelis hakim kasasi dalam putusannya tertanggal 13 Februari 2001


dengan putusan No. 06 K/N/2001 memutuskan mengabulkan
Permohonan Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga No.
81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. tanggal 04 Januari 2001. Selanjutnya
Termohon Kasasi (PT. Kadi Internasional) mengajukan peninjauan
kembali pada tanggal 9 Maret 2001.

Menurut hakim majelis Peninjauan kembali Mahkamah Agung dalam


pertimbangannya menyatakan bahwa, mengenai keberatan Pemohon
Peninjauan kembali, bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena
penemuan bukti-bukti baru (novum) yang diajukan tidak dapat dikatakan
sebagai bukti baru, sebab bukti-bukti tersebut sudah pernah diajukan
oleh Pemohon Peninjauan kembali dalam pemeriksaan tingkat kasasi,
yaitu ternyata dalam daftar bukti tambahan tertanggal 16 Januari 2001
sewaktu Pemohon Peninjauan kembali bertindak sebagai Termohon
Kasasi dalam perkara ini.

Mengenai keberatan Pemohon Peninjauan kembali selanjutnya


bahwa: keberatan inipun tidak dapat dibenarkan, karena Majelis Kasasi
telah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya. Lagipula
hubungan hukum antara Pemohon Peninjauan kembali dan Termohon
Peninjauan kembali merupakan perjanjian timbal balik yang mana
masing-masing pihak terdapat hak dan kewajiban (obligator).

Pihak Termohon Peninjauan kembali memang melakukan


wanprestasi oleh karena sebelumnya juga Pemohon Peninjauan kembali
telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu. Sehingga dalam kasus ini
terdapatlah adanya konstruksi yuridis “exceptio non adimpleti
contractus” yang mana satu sama lain masih harus diberi kesempatan
membuktikan kebenaran dalil masing-masing dan karenanya tentang
eksistensi adanya utang tidak dapat dilakukan pembuktian secara
sederhana.

Syarat Kepailitan juga ditentukan oleh adanya pembuktian utang


yang dapat dilakukan secara sederhana dan mudah (vide pasal 6 ayat
(3), di samping Pasal 1 Undang-Undang Kepailitan). Bahwa perkara ini
tidak dapat diajukan melalui prosedur Kepailitan, tetapi melalui proses
perdata biasa yang mana satu sama lain mendapat kesempatan untuk
saling membuktikan tentang dipenuhinya hak dan kewajiban (obligator)
masing-masing pihak (Pemohon Peninjauan kembali dan Termohon
Peninjauan kembali).

Bercermin pada kasus dipailitkannya PT. Telkomsel, yang bermula


dari perjanjian kerjasama, maka di dalam perjanjian tersebut terdapat
klausul-klausul ataupun syarat-syarat perjanjian yang wajib dipatuhi oleh
kedua belah pihak. Ketika PT. Telkomsel menolak memenuhi prestasi
dengan alasan PT. Prima Jaya Informatika terlebih dahulu tidak
memenuhi prestasi atau wanprestasi, maka berlaku prinsip hukum yaitu
exceptio non adimpleti contractus, sehingga penyelesaian perkara
tersebut lebih tepat melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. 2

2 Yulia. (2014). Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara
Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012 antara PT.
Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika. Medan: Fakultas Hukum Univeristas Sumatera
Utara.
BAB V
RECHTSVERWERKING

Pelepasan hak ini dilakukan oleh kreditor yakni tidak meminta ganti
rugi. Kreditor menerima dengan diam-diam prestasi yang tidak sesuai.
Contoh kongkrit kreditor telah menerima penyerahan barang walaupun
cacat.3

Perlu dipertegas bahwa setiap tindakan pelepasan hak yang


dilakukan oleh pihak tertentu haruslah dibuat dalam bentuk akta tertulis,
terutama jika objek pelepasan hak tersebut menyangkut barang tidak
bergerak. Hal ini umumnya dilakukan dalam bentuk Surat Pernyataan
Pelepasan Hak (SPPH) untuk umum, dan jika tanah maka Surat
Pernyataan Pelepasan Hak atas Tanah (SPPHT). Lazimnya, dibuat oleh
dan di depan pejabat pembuat akta tanah (PPAT).

A. Pengertian Pelepasan Hak Atas Tanah

Pelepasan hak atas tanah adalah tindakan hukum yang dilakukan


oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah untuk melepaskan haknya
atas tanah tersebut kepada pihak lain. Pelepasan hak atas tanah dapat
dilakukan dalam berbagai aspek, antara lain:

a. Pembaharuan hak atau perubahan hak

Pelepasan hak atas tanah dalam rangka pembaharuan hak atau


perubahan hak dilakukan oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah
untuk mengubah jenis hak atas tanahnya. Misalnya, pemilik hak guna
usaha (HGU) dapat melepaskan haknya untuk mendapatkan hak milik.

b. Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum

Pelepasan hak atas tanah dalam rangka pengadaan tanah bagi


pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan oleh pemilik atau
pemegang hak atas tanah untuk kepentingan pembangunan
infrastruktur atau proyek pemerintah lainnya.

3 Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I. (2019). Modul Hukum Perdata Materiil.
Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia.
c. Kepentingan swasta

Pelepasan hak atas tanah dalam rangka kepentingan swasta dilakukan


oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah untuk kepentingan
pembangunan swasta, seperti pembangunan perumahan atau industri.

d. Penanaman modal

Pelepasan hak atas tanah dalam rangka penanaman modal dilakukan


oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah untuk kepentingan
penanaman modal asing atau dalam negeri.

Keabsahan Pelepasan Hak atas Tanah

Pelepasan hak atas tanah merupakan tindakan hukum yang sah dan mengikat
bagi para pihak yang terlibat. Pelepasan hak atas tanah harus dilakukan
dengan itikad baik dan berdasarkan kesepakatan antara pemilik atau
pemegang hak atas tanah dengan pihak yang menerima pelepasan hak
tersebut

Dalam praktiknya, pelepasan hak atas tanah harus dilakukan dalam


bentuk akta tertulis. Akta tersebut harus dibuat di hadapan dan
disaksikan oleh pejabat yang berwenang, seperti Kepala Kantor
Pertanahan atau Notaris.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Dalam


Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan mengenai
Tata Cara Pembebasan Tanah, pelepasan hak atas tanah dapat
dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian. Ganti kerugian
tersebut harus diberikan secara wajar dan adil.

Pelepasan hak milik atas tanah dapat dilakukan dengan akta yang
menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh
pemegang haknya, secara notariil atau dibawah tangan, yaitu dengan:

a) Akta notaris yang menyatakan bahwa pemegang yang bersangkutan


melepaskan hak atas tanah (dalam hal ini Hak Milik);
b) Surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang
bersangkutan melepaskan hak atas tanah (dalam hal ini Hak Milik)
yang dibuat di depan dan disaksikan oleh Camat letak tanah yang
bersangkutan;
c) Surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang
bersangkutan melepaskan hak atas tanah (dalam hal ini Hak Milik)
yang dibuat di depan dan disaksikan oleh Kepala Kantor Pertanahan
setempat.

Pelepasan hak atas tanah, pelaksanaan pemberian ganti kerugian,


pelepasan hak, dan penyerahan tanah dilakukan secara bersamaan. Hal
ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang
terlibat. Penyerahan tanah harus dilakukan setelah pemilik atau
pemegang hak atas tanah menerima ganti kerugian.

Surat pernyataan pelepasan hak atas tanah ditandatangani oleh


pemilik atau pemegang hak atas tanah dan Kepala Kantor/Dinas/Badan
Pertanahan Kota/kota dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang anggota
panitia. Sedangkan untuk pelepasan/penyerahan tanah yang belum
terdaftar disaksikan oleh Camat dan Lurah atau Kepala Desa setempat.

Biaya Panitia Pengadaan Tanah yang diperlukan untuk pelaksanaan


panitia pengadaan tanah ditanggung oleh instansi yang memerlukan
tanah. Besarnya tidak lebih dari 4% dari jumlah nilai ganti kerugian
dengan perincian sebesar 1% untuk Honoraium Panitia Pengadaan
Tanah, 1% untuk biaya administrasi Panitia Pengadaan Tanah, dan
sebesar 2% untuk biaya operasional Panitia Pengadaan Tanah.

B. Tinjauan Umum Tentang Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi


(PHGR)

1. Fungsi Akta PHGR oleh Notaris

Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi (PHGR) merupakan salah


satu akta otentik yang pembuatannya dilakukan oleh Notaris. Akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum
yang berwenang untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuatnya.

Fungsi akta PHGR oleh Notaris adalah sebagai berikut:

a. Memberikan kepastian hukum

Akta PHGR yang dibuat oleh Notaris memiliki kekuatan pembuktian


formil dan materiil. Kekuatan pembuktian formil berarti bahwa akta
tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian materiil berarti
bahwa akta tersebut memuat keterangan yang benar dan dapat
dipergunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan suatu perkara di
pengadilan.

b. Memudahkan pendaftaran hak atas tanah

Akta PHGR yang dibuat oleh Notaris dapat digunakan sebagai dasar
untuk pendaftaran hak atas tanah di Kantor Pertanahan. Hal ini karena
akta tersebut telah memenuhi persyaratan formil dan materiil yang
diperlukan untuk pendaftaran hak atas tanah. Memenuhi syarat untuk
kepentingan tertentu Akta PHGR yang dibuat oleh Notaris juga dapat
digunakan untuk memenuhi syarat untuk kepentingan tertentu,
misalnya untuk meminjam uang di bank.

2. Syarat-Syarat Lahirnya Akta PHGR oleh Notaris

Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi (PHGR) merupakan salah satu bentuk
peralihan hak atas tanah yang harus dilakukan di hadapan Notaris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah yang harus dilaksanakan
dihadapan Notaris adalah melalui jual beli, tukar menukar, hibah,
perbuatan hukum pemindahan hak (pembagian hak bersama),
penggabungan atau peleburan yang didahului likuidasi.

Untuk dapat membuat akta PHGR di hadapan Notaris, terdapat beberapa


syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

Kelengkapan dokumen identitas

a. Kelengkapan dokumen identitas meliputi:


- KTP dan Kartu Keluarga (KK) penjual
- KTP dan KK pembeli

Dokumen identitas ini diperlukan untuk memastikan identitas para pihak


yang terlibat dalam peralihan hak atas tanah.

Kelengkapan dokumen kepemilikan tanah.

a. Kelengkapan dokumen kepemilikan tanah meliputi:


- Sertifikat tanah
- PBB terbaru
- STTS

Dokumen kepemilikan tanah ini diperlukan untuk memastikan bahwa


tanah yang akan dialihkan haknya memiliki hak yang sah.

Kelengkapan dokumen lainnya

a. Kelengkapan dokumen lainnya meliputi:


- Akta nikah (jika penjual atau pembeli sudah menikah)
- Surat keterangan tidak silang sengketa dari kelurahan.
- Surat keterangan dari camat

Dokumen lainnya ini diperlukan untuk melengkapi persyaratan administrasi


dalam pembuatan akta PHGR

Syarat-syarat yang telah disebutkan di atas merupakan syarat formil yang


harus dipenuhi dalam pembuatan akta PHGR. Selain syarat formil,
terdapat juga syarat materiil yang harus dipenuhi, yaitu:

Kecakapan para pihak

Kecakapan para pihak dalam membuat akta PHGR harus dipenuhi. Kecakapan
para pihak ini meliputi:

- Kecakapan bertindak
- Kecakapan menguasai harta benda

Keabsahan objek yang dialihkan haknya

Objek yang dialihkan haknya dalam akta PHGR haruslah sah. Keabsahan
objek yang dialihkan haknya ini meliputi:

- Hak atas tanah tersebut haruslah sah


- Tanah tersebut haruslah bebas dari sengketa

Dengan memenuhi semua syarat yang telah disebutkan di atas, maka akta
PHGR yang dibuat oleh Notaris menjadi sah dan memiliki kekuatan
hukum yang mengikat.

C. Legalitas Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi (PHGR)

Sumber hukum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam,


yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum
materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber
hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan
hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial
ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian
ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan geografis.

Sumber hukum formil adalah tempat memperoleh kekuatan hukum.


Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan
hukum formal itu berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum formil ialah
undang-undang, perjanjian antar negara, yurisprudensi, dan kebiasaan.
Keempat hukum formal ini juga merupakan sumber hukum perjanjian.

Sumber hukum perjanjian yang berasal dari undang-undang


merupakan sumber hukum yang berasal dari peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).

Berdasarkan sumber hukum formil, kekuatan hukum dari perjanjian


dapat dilihat di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata), antara lain dengan meneliti ketentuan dari isi perjanjian
atau perjanjian tersebut dari asas-asas hukum perjanjiannya dan syarat
sah perjanjiannya. Suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh
para pihak, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak
yang membuatnya atau dengan kata lain akan terdapat akibat hukum
atau memiliki konsekuensi bagi para pihak yang telah membuatnya. Hal
ini terkait dengan asas-asas hukum perjanjian.

Asas-asas hukum perjanjian adalah prinsip-prinsip dasar yang


mendasari pembentukan dan pelaksanaan perjanjian. Asas-asas hukum
perjanjian ini merupakan pedoman bagi para pihak dalam membuat dan
melaksanakan perjanjian.

Adapun asas-asas hukum perjanjian yang penting untuk


diperhatikan, antara lain:

- Asas kebebasan berkontrak, yang berarti bahwa para pihak bebas


untuk membuat perjanjian sesuai dengan keinginan mereka.
- Asas konsensualisme, yang berarti bahwa perjanjian menjadi mengikat
bagi para pihak setelah ada kesepakatan antara mereka.
- Asas itikad baik, yang berarti bahwa para pihak harus melaksanakan
perjanjian dengan itikad baik.
- Asas pacta sunt servanda, yang berarti bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan baik dan setia.

Dengan memperhatikan sumber hukum perjanjian dan asas-asas


hukum perjanjian, maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan
memiliki kekuatan hukum yang sah dan mengikat.

Objek penelitian dalam penelitian tesis ini adalah Akta PHGR yang
lahir akibat wanprestasi hutang piutang. Perjanjian hutang piutang yang
diteliti dalam penulisan ini merupakan perjanjian yang dibuat dibawah
tangan dan disahkan penandatanganannya dihadapan Notaris X. Pihak
Peminjam dalam perjanjian ini adalah Tuan Y dengan persetujuan
istrinya yaitu Nyonya W. Pihak pemberi pinjaman adalah Nyonya Z. Isi
perjanjian hutang piutang tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman memberikan pinjaman uang sebesar


Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) kepada Pihak
Pertama/Penerima Pinjaman dalam jangka waktu 4 (empat) bulan
terhitung sejak tanggal 22 April 2015 sampai dengan tanggal 22 Juli
2015.
2) Pihak Pertama/Penerima Pinjaman menjaminkan kebun miliknya yang
seluas kurang lebih 200.000 M2 (dua ratus ribu meter persegi) kepada
Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman.
3) Apabila Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak dapat melunasi
hutangnya kepada Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman sesuai dengan
jangka waktu yang telah disepakati, maka jaminan yang berupa
sebidang tanah kebun yang berukuran kurang lebih 200.000 M2 (dua
ratus ribu meter persegi) diserahkan kepada Pihak Kedua/Pemberi
Pinjaman. Dengan demikian, Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak
berhak lagi atas kebun tersebut beserta pengelolaannya.

Seiring berjalannya waktu, Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak


dapat memenuhi prestasinya sesuai dengan jangka waktu yang telah
disepakati di dalam perjanjian. Maka berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak, pihak pertama harus menyerahkan objek jaminan kepada
pihak kedua sesuai dengan poin keenam dalam perjanjian hutang
piutang tersebut yang menyatakan:

“Apabila Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak dapat melunasi


hutangnya tersebut kepada Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman sampai
dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama, maka kedua belah
pihak sepakat jaminan yang berupa tanah kebun yang luasnya kurang
lebih 200.000 M2 (dua ratus ribu meter persegi) diserahkan kepada
Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman. Dengan demikian, Pihak
Pertama/Penerima Pinjaman tidak berhak lagi atas kebun tersebut
beserta pengelolaannya.”

Akibat dari wanprestasi yang dilakukan oleh Pihak


Pertama/Penerima Pinjaman tersebut, maka kedua belah pihak sepakat
ke kantor Notaris X untuk melakukan penyerahan objek jaminan tersebut
secara hukum dengan adanya bukti berupa akta otentik. Berdasarkan
poin keenam yang termaktub dalam Perjanjian hutang piutang tersebut,
Notaris X membuat Akta PHGR. Pihak Pertama dalam Akta PHGR
tersebut adalah Tuan Y dan istrinya Nyonya W. Pihak kedua adalah
Nyonya Z. Isi dari Akta PHGR tersebut dapat diuraikan secara singkat
sebagai berikut:

1) Penghadap Pihak Pertama menerangkan dengan ini bahwa dengan


tidak mengurangi izin dari yang berwajib melepaskan dan
menyerahkan serta memindahkan haknya kepada Pihak Kedua yang
dengan ini menerangkan menerima penglepasan dan penyerahan
serta pemindahan dari Pihak Pertama, yaitu hak atas: “sebidang
tanah yang berukuran kurang lebih 200.000 M2 (dua ratus meter
persegi).”
2) Pihak Pertama menjamin Pihak Kedua, bahwa tanah yang dimaksud
diatas berada dalam keadaan baik dan hanya pihak pertama yang
berhak untuk melepaskan hak-haknya serta menanggung pihak
kedua, bahwa baik sekarang maupun di kemudian hari pihak kedua
tidak akan mendapat tuntutan dari pihak lain yang menyatakan
mempunyai hak terlebih dahulu, atau turut mempunyai hak atas
tanah tersebut yang dilepaskan haknya dengan akta ini dan tanah
tersebut bebas dari perkara, sitaan, atau gangguan serta gugatan dari
siapapun juga dan karenanya pihak pertama dengan ini
membebaskan pihak kedua dari segala tuntutan perihal itu.
3) Atas kerelaan pihak pertama melepaskan haknya atas tanah tersebut
guna kepentingan pihak kedua, maka pihak kedua memberi uang
ganti kerugian kepada Pihak Pertama sebesar Rp. 200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah).

Legalitas Akta PHGR yang lahir akibat wanprestasi hutang piutang


yang penulis teliti dalam penelitian tesis ini dikaji berdasarkan sumber
hukum perjanjian, yakni berdasarkan sumber hukum formal, yang mana
merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu
berlaku, yakni: undang-undang, perjanjian antar negara, yurisprudensi,
dan kebiasaan. Keempat hukum formal ini juga merupakan sumber
hukum perjanjian.

Perjanjian hutang piutang yang disahkan penandatanganannya


dihadapan Notaris X berdasarkan Ketentuan Hukum Perdata telah
memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Perjanjian hutang piutang
merupakan salah satu bentuk perjanjian yang tunduk pada ketentuan
Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan jika dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata
(lex generalis) maka perjanjian hutang piutang memenuhi unsur-unsur
sebagai suatu perjanjian, yang dapat menimbulkan perikatan yang
bersumber dari perjanjian.

Meskipun Perjanjian hutang piutang tidak diatur dalam Kitab Undang


Undang Hukum Perdata, akan tetapi Perjanjian hutang piutang tersebut
sah sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian;


b. tidak dilarang oleh undang-undang;
c. sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; dan
d. sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

Perjanjian hutang piutang yang disahkan penandatanganannya


dihadapan Notaris X telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Akan tetapi, tidak serta merta menjadikan perjanjian itu memiliki
legalitas yang kuat. Isi dari perjanjian hutang piutang yang disahkan
penandatanganannya dihadapan Notaris X tersebut telah melanggar
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret
1982, yaitu larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai dasar
pemindahan hak atas tanah. Pelanggaran terhadap larangan
penggunaan kuasa mutlak tersebut ditemukan pada poin keenam
Perjanjian hutang piutang yang menyebutkan: Apabila pihak peminjam
tidak dapat melunasi hutangnya sesuai jangka waktu yang disepakati,
maka objek jaminan beralih menjadi milik si pemberi pinjaman.

Penggunaan kuasa mutlak untuk mengalihkan hak atas tanah


dilarang berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun
1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan
hak atas tanah, yang ditetapkan pada tanggal 6 Maret 1982, yaitu:

a. Kuasa mutlak yang didalamnya mengandung unsur yang tidak dapat


ditarik kembali oleh penerima kuasa.
b. Kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak
atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan
kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan
tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut
hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.

Perjanjian hutang piutang yang penulis teliti dalam tesis ini


mengandung 3 (tiga) perbuatan hukum, yaitu: penyerahan barang
jaminan, pengakuan hutang, dan perbuatan hukum untuk pelepasan hak
atas tanah agunan. Hal ini melanggar dalil (adagium) yang termaktub
dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1440
K/Pdt/1996 tanggal 30 Juni 1998, yang menyatakan bahwa suatu
perjanjian hanya boleh berisi satu perbuatan hukum.

Mengenai larangan penggunaan kuasa mutlak dalam jual beli tanah


juga tampak dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2584
K/Pdt/1986 tanggal 14 April 1988, yang dalam putusannya menyatakan
bahwa kuasa mutlak mengenai jual beli tanah tidak bisa dibenarkan,
terlebih pada praktiknya kerap disalahgunakan untuk penyelundupan jual
beli tanah.

Akan tetapi, apabila dihubungkan dengan syarat-syarat sahnya


suatu perjanjian sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dan
dipandang dari rasa keadilan dan asas keseimbangan dalam berkontrak
serta kebutuhan masyarakat dalam praktek, maka kuasa mutlak pada
hakikatnya dapat dilaksanakan asalkan merupakan suatu kesatuan
dengan perjanjian pengikatan jual beli. Apabila kuasa mutlak tersebut
dibuat secara terpisah, memungkinkan kuasa mutlak tersebut berdiri
sendiri yang pada akhirnya memberikan peluang terjadinya
penyelundupan hukum, seperti contohnya pembuatan kuasa menjual
yang di dalamnya terdapat klausula kuasa yang tidak dapat dicabut oleh
sebab apapun.

Kuasa mutlak ini memberikan keuntungan bagi pihak pembeli


dimana pembeli akan merasa aman dengan adanya pengikatan jual beli
dan kuasa mutlak ini karena pihak pembeli telah membayar lunas semua
pembayaran namun belum mendapatkan bukti kepemilikan hak
(sertifikat) yang dapat dibalik nama ke atas namanya. Namun,
sebaliknya pemberian kuasa mutlak tersebut akan merugikan pihak
penjual tanah apabila harga pembayaran tanah belum terbayar lunas,
namun pihak pembeli telah mendapat suatu kuasa untuk menjual yang
bersifat kuasa mutlak. Kepentingan penjual tanah dalam hal ini sangat
dirugikan, karena bisa saja penerima kuasa untuk menjual tersebut
melaksanakan isi kuasa untuk menjual atau mengalihkan kepemilikan
tanah itu kepada pihak ketiga.

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memperhatikan asas-


asas sesuai dengan ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Perdata
sebagai pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam
mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada
akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat
dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Di dalam hukum
perjanjian terdapat asas-asas sebagai berikut: asas konsensualisme,
asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat, asas itikad baik,
asas keseimbangan, asas kepastian hukum, dan asas kepatutan.

Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan pihak


peminjam dalam perjanjian hutang piutang tersebut, Pihak peminjam
sesungguhnya tidak rela memberikan sebidang tanah kebunnya tersebut
sebagai jaminan dikarenakan perjanjian pelepasan hak dengan ganti rugi
yang ditandatanganinya terlalu memberatkannya jika tidak dapat
melunasi hutangnya sesuai tempo waktu pembayarannya yang telah
ditentukan. Hal ini dengan mengingat nilai jaminan dalam perjanjian
hutang piutang tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah hutang
yang dipinjamnya dari pihak si pemberi pinjaman.

Perjanjian hutang piutang yang disahkan penandatanganannya


dihadapan Notaris X ini tidak memenuhi asas keseimbangan; dimana
kedudukan Tuan Y (Debitur) lemah daripada kedudukan Nyonya Z
(Kreditur). Hal ini termaktub pada poin keenam perjanjian hutang
piutang tersebut, yang menyebutkan bahwa objek jaminan diserahkan
kepada pihak kreditur apabila debitur tidak dapat melunasi hutangnya
sesuai jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-hari, kata seimbang
(evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu keadaan pembagian beban
di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang.

Perjanjian memiliki tiga tujuan dasar, sebagaimana diuraikan dibawah ini:

a. suatu perjanjian ialah memaksakan suatu janji dan melindungi


harapan wajar yang muncul darinya.
b. suatu perjanjian ialah mencegah pengayaan (upaya memperkaya diri)
yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar.
c. suatu perjanjian ialah to prevent certain kinds of harm.
d. suatu perjanjian ialah mencapai keseimbangan antara kepentingan
sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan.

Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para


pihak memiliki kekuatan penawaran ( bargaining power) yang seimbang.
Jika bargaining power tidak seimbang, maka suatu perjanjian dapat
menjurus atau menjadi unconscionable.
Di samping itu, meskipun keseimbangan dan kesesuaian kedudukan
para pihak itu ada, namun dalam pelaksanaan yang tercapai suatu hasil
yang tidak seimbang dan tidak sesuai (tidak patut dan adil). Dasar bagi
keseimbangan dan keserasian dalam perjanjian tersurat di dalam Pasal
1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, hanya dalam keadaan in
concreto ada keseimbangan dan keserasian maka tercapailah
kesepakatan/konsensus yang sah antara para pihak. Kalau syarat ini
tidak dipenuhi, maka Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
tidak berlaku mutlak (kebebasan untuk mengambil putusan tidak ada
bagi salah satu pihak).

Selanjutnya Sultan Remy Sjahdeini menjelaskan: Bargaining Power


yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan
kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah
mengikuti saja syarat-syarat perjanjian yang diajukan kepadanya.

Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk


memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya.
Akibatnya, perjanjian tersebut menjadi tidak masuk akal dan
bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.

Profesi seorang Notaris harus berpedoman dan tunduk kepada


Undang Undang Jabatan Notaris dan Undang-Undang perubahan atas
Undang Undang Jabatan Notaris. Landasan filosofis dibentuknya Undang
Undang Jabatan Notaris dan Undang-Undang perubahan atas Undang
Undang Jabatan Notaris adalah untuk terwujudnya jaminan kepastian
hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran
dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, maka Notaris harus dapat
memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat
yang menggunakan jasa Notaris.

Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari


hukum terutama untuk hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman
perilaku. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum untuk
menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
Peralihan hak atas tanah adalah perubahan status kepemilikan,
penguasaan, peruntukan atas dasar jual beli, hibah, tukar menukar,
pemasukan kedalam perseroan, pemisahan dan pembagian atau karena
warisan. Seseorang yang telah menjadi pemegang hak atas tanah yang
sudah bersertifikat tidak dapat memberikan haknya tersebut kepada
orang lain dengan begitu saja karena hak itu merupakan
kewenangannya. Akan tetapi, yang dapat dilakukannya adalah
mengalihkan atau melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya dengan
Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi yang dibuat oleh dan dihadapan
Notaris ataupun Surat Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi yang dilegalisasi
oleh Notaris.

Pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan


melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah yang
dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
Kegiatan melepaskan hak tersebut menjadikan tanah yang terlibat
menjadi tanah negara, yaitu dikuasai langsung oleh negara. Langsung
dikuasai artinya tidak ada pihak lain selain negara yang berhak atas
tanah itu.

Sebagian masyarakat yang telah mengetahui teknis dan tata cara


peralihan dan pelepasan hak atas tanah tentu tidak akan melakukan
transaksi dengan mudah, ataupun melalui prosedur yang tidak sesuai
dengan aturan hukumnya, karena dapat menimbulkan konflik di
kemudian hari. Perbuatan hukum peralihan atau pelepasan hak atas
tanah harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang guna
menjamin kepastian hukum tentang peralihan atau pelepasan hak atas
tanah tersebut. Akta yang dibuat Notaris memberikan kepastian hukum
bagi para pihak yang membuatnya karena undang-undang yang
memberikan wewenang kepada Notaris untuk membuat akta otentik
yang fungsinya sebagai alat bukti di Pengadilan apabila di kemudian hari
terjadi sengketa di antara para pihak yang membuat akta itu.

Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris merupakan suatu alat
bukti, sehingga dalam membuat suatu akta, seorang Notaris harus
memperhatikan norma norma selain kode etik dan Ketentuan
Perundang-undangan lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata, maka akta dibuat sebagai tanda bukti
yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan
menghindari sengketa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
pembuatan akta harus sedemikian rupa sehingga apa yang diinginkan
untuk dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang
dibuatnya.

Kewenangan utama Notaris adalah membuat akta otentik, maka


otensitas dari akta Notaris tersebut bersumber dari Pasal 1 UUJN.
Sepanjang mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh pejabat umum
untuk membuat akta otentik, seorang Notaris hanya boleh melakukan
atau menjalankan jabatannya di dalam seluruh daerah yang ditentukan
baginya dan hanya didalam daerah hukum itu ia berwenang. Oleh
karena itu, wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu:

1) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang


dibuat itu; Seperti yang telah dikemukakan, tidak setiap pejabat umum
dapat membuat semua akta. Akan tetapi, seorang pejabat umum
hanya dapat membuat akta akta tertentu, yaitu yang ditugaskan atau
dikecualikan kepadanya berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.
2) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat; Notaris tidak berwenang membuat
akta untuk kepentingan setiap orang.
3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu
dibuat; Bagi setiap Notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah
jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia
berwenang untuk membuat akta otentik. Akta yang dibuatnya diluar
daerah jabatannya adalah tidak sah.
4) Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta;
Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat
dari jabatannya, demikian juga Notaris tidak boleh membuat akta
sebelum ia memangku jabatannya (sebelum diambil sumpahnya).

Apabila salah satu dari persyaratan diatas tidak dipenuhi, maka akta
yang dibuatnya menjadi tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan
seperti akta yang dibuat di bawah tangan, apabila akta ini
ditandatangani oleh para penghadap. Demikian juga halnya, apabila oleh
undang-undang disebutkan untuk suatu perbuatan atau perjanjian atau
ketetapan diharuskan dengan adanya akta otentik, dan jika salah satu
dari persyaratan diatas tidak dipenuhi, maka akta untuk perbuatan atau
perjanjian atau ketetapan itu menjadi tidak sah.

Tindakan Notaris tersebut bukanlah bertentangan dengan apa yang


telah digariskan dalam peraturan tersebut, namun hal ini harus
disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi Notaris saat itu, tentunya
dengan segala bukti-bukti yang ada dihadapannya. Menurut Pasal 7
UUJN, Notaris tidak dibolehkan untuk menolak memberikan bantuannya,
bila hal tersebut diminta kepadanya kecuali terdapat alasan yang
mendasar.

Bila Notaris berpendapat bahwa terdapat alasan yang mendasar


untuk menolak, maka hal tersebut diberitahukan secara tertulis kepada
yang meminta bantuannya itu atau pihak penghadap. Namun, apabila si
penghadap tetap menghendaki bantuan dari Notaris tersebut, pihak
penghadap dapat mengajukan tuntutannya kepada Hakim Perdata,
dengan menyampaikan surat dari Notaris tersebut yang telah diserahkan
kepada yang bersangkutan.

Notaris ada kalanya dapat menolak pembuatan akta, yaitu dalam hal-
hal sebagai berikut:

1) Apabila diminta kepada Notaris dibuatkan Berita Acara untuk keperluan


atau maksud reklame.
2) Apabila Notaris mengetahui bahwa akta yang dikehendaki oleh para
pihak itu bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku dan kenyataan yang sebenarnya.

Demikian halnya juga dengan tanggung jawab Notaris terhadap


pembuatan akta PHGR, dimana akta tersebut dapat dijadikan sebagai
bukti untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan untuk
menghindarkan suatu sengketa di kemudian hari, maka pembuatan akta
harus dibuat sedemikian rupa sehingga apa-apa yang ingin dibuktikan itu
dapat diketahui dengan mudah dari akta yang dibuat. Seorang Notaris
dalam membuat akta PHGR haruslah memeriksa keabsahan dan
kelengkapan alas hak maupun surat-surat yang berhubungan dengan
pembuktian kepemilikan tanah tersebut sehingga hal ini dapat dijadikan
sebagai syarat untuk membuat suatu akta.

Mengenai kebenaran isi dari surat-surat yang diperiksa, Notaris tidak


dapat mengujinya secara materiil dengan eksistensi keberadaan tanah
yang bersangkutan, dengan kata lain Notaris tidak pergi ke tempat
dimana letak tanah tersebut berada ataupun melihat batas-batas tanah
sebagaimana yang dimaksudkan dalam surat-surat tersebut. Notaris
membuat keterangan dalam akta berdasarkan bukti-bukti yang diberikan
menghadap kepadanya.

Sebelum Notaris membuat akta PHGR dan ditandatangani para


pihak, maka seorang Notaris wajib meminta dibuatkan Surat Keterangan
Tidak Silang Sengketa (biasa disebut SS) yang diterbitkan oleh Lurah
dan diketahui oleh Camat dimana letak tahah itu berada. Surat ini isinya
menerangkan bahwa diatas tanah yang akan dijual tersebut tidak
bersengketa dengan pihak manapun juga. Hal ini dilakukan Notaris
sebagai bukti dan dasar bahwasanya atas tanah yang belum bersertifikat
tersebut memang benar kepunyaan si penjual, dan tanah tersebut tidak
dalam sengketa. Pada saat para penghadap datang menghadap kepada
Notaris dalam pembuatan Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi,
hendaklah memenuhi syarat syarat sebagai berikut:

1) Identitas para penghadap: Identitas berupa Kartu Tanda Penduduk


(KTP) suami atau istri
2) Surat Kuasa: Bagi pihak yang dikuasakan penjual dengan akta Notaris
ataupun yang dilegalisasi dan bagi pembeli diperbolehkan dengan
kuasa lisan.
3) Asli tanda bukti hak atau alas hak atas tanah
4) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT
PBB) tahun berjalan.

Akta PHGR yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris X lahir akibat
wanprestasi hutang piutang. Perjanjian hutang piutang tersebut
bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun
1982 tentang larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan
hak atas tanah dan Pasal 39 ayat 1 huruf d Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Mengingat pentingnya sebuah peralihan hak atas tanah yang harus
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka
sudah sewajarnya Notaris/PPAT sebagai pejabat yang berwenang
menerapkan asas kecermatan dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya.

Notaris/PPAT wajib menerapkan asas kecermatan dalam


melaksanakan kewajibannya. Asas kecermatan adalah asas yang
mengandung arti bahwa suatu keputusan harus didasarkan pada
informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas
pengambilan keputusan sehingga keputusan yang bersangkutan
dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan tersebut diambil atau
diucapkan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997


Tentang Pendaftaran Tanah pada Pasal 39 ayat (1) huruf d menyatakan
PPAT berhak menolak apabila salah satu pihak atau para pihak bertindak
atas dasar suatu kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan
perbuatan hukum pemindahan hak. Oleh karena itu, pembuatan akta
PHGR berdasarkan perjanjian hutang piutang yang mengandung kuasa
mutlak pada poin ke enam tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang undangan, yakni Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3438


K/Pdt/1985 Tanggal 9 Desember 1987 antara lain menyatakan bahwa:
“suatu perjanjian hutang piutang dengan jaminan sebidang tanah tidak
dapat begitu saja menjadi perbuatan hukum jual beli tanah, manakala si
debitur tidak melunasi hutangnya.”

Lebih lanjut berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2817


K/Pdt/1994 menyatakan bahwa jual beli yang dilakukan dengan dasar
kuasa mutlak maka tidak
sah dan batal demi hukum. Adapun yang menyebabkan batalnya jual beli
tanah, yakni tersurat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 17
K/Sip/1959 yang menyatakan bahwa jual beli yang ditinjau dalam
keseluruhan mengandung ketidakberesan, seperti orang-orangnya, tidak
meyakinkan secara materil dan tidak adanya persetujuan kehendak yang
bebas.4

D. Penyebab Pembatalan PHGR Dihadapan Notaris

Pembatalan PHGR dihadapan Notaris dapat terjadi karena beberapa


alasan, yaitu:

- Kesepakatan para pihak

Pembatalan PHGR dihadapan Notaris dapat dilakukan atas kesepakatan


para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Hal ini sesuai dengan
Pasal 1861 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang
menyatakan bahwa: "Suatu persetujuan dapat ditarik kembali dengan
persetujuan mereka yang membuatnya."

Dalam hal ini, para pihak yang namanya tercantum dalam akta PHGR
dapat mengajukan permohonan pembatalan akta kepada Notaris yang
membuat akta tersebut. Notaris kemudian akan melakukan penelitian
terhadap permohonan tersebut dan membuat akta pembatalan PHGR.

- Putusan pengadilan

Pembatalan PHGR dihadapan Notaris juga dapat dilakukan berdasarkan


putusan pengadilan. Hal ini dapat terjadi jika ada pihak yang merasa
dirugikan oleh akta PHGR tersebut dan mengajukan gugatan ke pengadilan.

Gugatan pembatalan akta PHGR dapat diajukan oleh salah satu pihak
yang namanya tercantum dalam akta, ahli waris dari salah satu pihak yang
namanya tercantum dalam akta, atau pihak ketiga yang merasa dirugikan
oleh akta PHGR tersebut.

- Akta PHGR tersebut tidak memenuhi syarat formil

4 Banjarnahor, E. N. (2016). Kajian Yuridis Terhadap Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi
Yang Lahir Akibat Wanprestasi Hutang Piutang. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Akta PHGR yang tidak memenuhi syarat formil sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka akta
tersebut menjadi akta di bawah tangan.

Akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang lebih rendah


daripada akta otentik. Oleh karena itu, akta PHGR yang tidak memenuhi
syarat formil dapat dibatalkan oleh pengadilan.

Tidak Terpenuhinya Syarat Formil

Tidak Terpenuhinya Syarat Formil Akta Notaris

Suatu akta Notaris dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat-


syarat formil dan materiil. Syarat formil adalah syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam pembuatan akta Notaris, baik dari segi bentuk maupun
tata cara pembuatannya. Syarat materiil adalah syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam isi akta Notaris, baik dari segi substansi maupun objek
yang diterangkan dalam akta

Salah satu syarat formil yang harus dipenuhi dalam pembuatan


akta Notaris adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan para
pihak dalam akta Notaris haruslah jelas dan tegas. Artinya, para pihak
harus saling menyetujui isi akta yang dibuat. Kesepakatan para pihak
dalam akta Notaris haruslah dibuat secara bebas dan tanpa paksaan

Jika syarat formil kesepakatan para pihak tidak terpenuhi dalam


akta Notaris, maka akta tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan akta
Notaris dapat dilakukan oleh para pihak yang namanya tercantum dalam
akta tersebut, ahli waris dari salah satu pihak yang namanya tercantum
dalam akta tersebut, atau pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh akta
tersebut.

Berikut adalah beberapa contoh tidak terpenuhinya syarat formil


kesepakatan para pihak dalam akta Notaris:

Kesepakatan para pihak dibuat secara paksaan. Misalnya, salah


satu pihak dipaksa untuk menandatangani akta Notaris karena adanya
ancaman atau intimidasi dari pihak lain.
Kesepakatan para pihak dibuat secara tipu muslihat. Misalnya,
salah satu pihak memberikan informasi yang salah kepada pihak lain
sehingga pihak tersebut menyetujui isi akta yang dibuat.

Kesepakatan para pihak dibuat secara tidak cakap hukum.


Misalnya, salah satu pihak dalam akta Notaris adalah anak di bawah
umur atau orang yang berada di bawah pengampuan.

Pembatalan akta Notaris yang tidak memenuhi syarat formil


dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Gugatan
pembatalan akta Notaris dapat diajukan oleh para pihak yang namanya
tercantum dalam akta tersebut, ahli waris dari salah satu pihak yang
namanya tercantum dalam akta tersebut, atau pihak ketiga yang merasa
dirugikan oleh akta tersebut.
BAB VI
PENAFSIRAN

Dalam dunia bisnis, kontrak merupakan instrumen penting yang


digunakan untuk mengatur hubungan hukum antara para pihak. Kontrak
dapat berbentuk perjanjian tertulis maupun lisan, namun perjanjian
tertulis memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi.

Kontrak yang dibuat dengan jelas dan tegas akan memberikan


kepastian hukum bagi para pihak. Namun, dalam prakteknya, masih
banyak ditemukan kontrak yang isinya tidak jelas, kabur, atau tumpang
tindih. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
ketidaktahuan para pihak mengenai hukum kontrak, ketidaksempurnaan
bahasa, atau keinginan para pihak untuk menyembunyikan maksud
tertentu.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan penafsiran


kontrak. Penafsiran kontrak adalah upaya untuk memahami maksud dan
tujuan dari suatu kontrak. Penafsiran kontrak dapat dilakukan oleh para
pihak sendiri, atau oleh pihak ketiga, seperti hakim atau notaris.

KUH Perdata mengatur mengenai penafsiran kontrak dalam Buku


Ketiga, Bab Kedua, Bagian Keempat, yaitu mulai dari ketentuan Pasal
1342 sampai dengan Pasal 1351. Pasal 1342 KUHPerdata menyebutkan
bahwa "jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas maka tidak lagi
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran". Hal ini mengisyaratkan bahwa kontrak yang dibuat
hendaknya jelas isinya sehingga tidak memerlukan penafsiran.

Namun, dalam praktiknya, tidak semua kontrak dapat dibuat dengan


jelas dan tegas. Oleh karena itu, penafsiran kontrak tetap diperlukan
untuk memahami maksud dan tujuan dari suatu kontrak

Metode Penafsiran Kontrak

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menafsirkan


kontrak, yaitu:
a. Penafsiran gramatikal

Penafsiran gramatikal adalah penafsiran yang dilakukan berdasarkan


makna dari kata-kata yang digunakan dalam kontrak. Metode ini
merupakan metode penafsiran yang paling dasar dan sederhana.

b. Penafsiran historis

Penafsiran historis adalah penafsiran yang dilakukan berdasarkan


maksud dan tujuan para pihak yang membuat kontrak. Metode ini
dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi yang
melatarbelakangi pembuatan kontrak.

c. Penafsiran sistematis

Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang dilakukan dengan


mempertimbangkan hubungan antara suatu kontrak dengan peraturan
perundang-undangan atau kontrak lain yang terkait.

d. Penafsiran doktrinal

Penafsiran doktrinal adalah penafsiran yang dilakukan dengan


mempertimbangkan pendapat para ahli hukum mengenai kontrak.

e. Penafsiran analogis

Penafsiran analogis adalah penafsiran yang dilakukan dengan


membandingkan suatu kontrak dengan kontrak lain yang memiliki
kesamaan.

f. Penafsiran tujuan

Penafsiran tujuan adalah penafsiran yang dilakukan dengan


mempertimbangkan tujuan dari suatu kontrak. Metode ini merupakan
metode penafsiran yang paling modern dan sering digunakan dalam
praktik.

Perbedaan Penafsiran Kontrak

Perbedaan penafsiran kontrak dapat terjadi antara para pihak yang membuat
kontrak, atau antara para pihak dengan pihak ketiga, seperti hakim atau
notaris.

Perbedaan penafsiran kontrak antara para pihak dapat disebabkan


oleh berbagai faktor, seperti perbedaan pemahaman terhadap bahasa,
perbedaan kepentingan, atau perbedaan motivasi dalam membuat
kontrak. Perbedaan penafsiran kontrak antara para pihak dengan pihak
ketiga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ketidaklengkapan
atau ketidakjelasan kontrak, atau ketidaktepatan pihak ketiga dalam
melakukan penafsiran.

Penyelesaian Perbedaan Penafsiran Kontrak

Perbedaan penafsiran kontrak dapat diselesaikan melalui jalur


musyawarah atau melalui jalur litigasi. Penyelesaian melalui jalur
musyawarah dilakukan dengan cara para pihak bernegosiasi untuk
mencapai kesepakatan mengenai penafsiran kontrak. Penyelesaian
melalui jalur litigasi dilakukan dengan mengajukan gugatan ke
pengadilan. Pengadilan akan memutuskan penafsiran kontrak yang
benar berdasarkan bukti-bukti yang ada.

A. Urgensi dan Metode Penafsiran Kontrak

Penafsiran kontrak memiliki urgensi yang besar karena bahasa yang


digunakan dalam kontrak seringkali sulit untuk sepenuhnya
mencerminkan pikiran dan niat para pihak yang membuatnya. Hal ini
dapat mengakibatkan munculnya peristiwa-peristiwa yang tidak diatur
secara eksplisit dalam kontrak. Oleh karena itu, penafsiran kontrak
menjadi suatu metode esensial untuk menentukan tujuan dan maksud
dari kata-kata yang terdapat dalam kontrak, dengan tujuan akhir untuk
menemukan hukum yang berlaku.

Menurut Vollmar, penafsiran kontrak adalah upaya untuk mencari


tujuan dan maksud dari kata-kata dalam undang-undang, sehingga
interpretasi kontrak bertujuan untuk menemukan hukum yang
sebenarnya. Perbedaan antara istilah penafsiran dan konstruksi dalam
konteks kontrak dijelaskan oleh beberapa ahli, di mana penafsiran lebih
menekankan pada pemberian arti terhadap bahasa yang digunakan,
sementara konstruksi diartikan sebagai penentuan akibat hukum dari
kontrak setelah ditafsirkan.

Corbin menyatakan bahwa penafsiran kontrak melibatkan proses


memberikan makna terhadap simbol ekspresi yang digunakan oleh pihak
lain, baik itu kata-kata, perbuatan, atau simbol-simbol lainnya. Proses ini
harus dibedakan dari konstruksi kontrak, yang mencakup penentuan
akibat hukum dari kontrak yang sudah ditafsirkan.

Menurut A. Joanne Kellermann, penafsiran kontrak adalah


penentuan makna dari pernyataan-pernyataan dalam kontrak dan
konsekuensi hukum yang timbul dari pernyataan tersebut. Dengan kata
lain, penafsiran kontrak bertujuan untuk menemukan dan menetapkan
arti dari pernyataan kehendak para pihak untuk menghasilkan akibat
hukum.

Pentingnya penafsiran kontrak terlihat jelas ketika terdapat sengketa


antara para pihak. Jika tidak ada pengaturan yang jelas dalam kontrak terkait
sengketa tersebut, pengadilan dapat menggunakan penafsiran untuk mengisi
kekosongan hukum dan menentukan hukum yang berlaku bagi para pihak
yang membuat perjanjian. Dalam hukum, terdapat berbagai metode
interpretasi, termasuk interpretasi subsumptif, gramatikal, sistematis/logis,
historis, teleologis/sosiologis, komparatif, antisipatif/futuristis, restriktif,
ekstensif, otentik/secara resmi, interdisipliner, dan multidisipliner.

Penafsiran kontrak dalam ilmu hukum kontrak melibatkan tiga


metode utama: metode penafsiran subjektif, metode penafsiran objektif,
dan metode penafsiran antara objektif dan subjektif.

1. Metode Penafsiran Subjektif:

Metode ini menekankan pada maksud sebenarnya dari para pihak


yang terlibat dalam kontrak. Maksud ini diusahakan dipahami seoptimal
mungkin, bahkan melebihi kata-kata yang tertera dalam kontrak. Sebagai
contoh, Pasal 1343 KUH Perdata menegaskan bahwa penafsiran kontrak
harus mempertimbangkan dan menyelidiki maksud dan tujuan kedua
belah pihak daripada hanya berfokus pada aspek gramatikal kata-kata.

2. Metode Penafsiran Objektif:

Berbeda dengan metode objektif, metode ini lebih menitikberatkan


pada apa yang secara harfiah tertulis dalam kontrak. Jika bahasa yang
digunakan dalam kontrak sudah cukup jelas, maka penafsiran lebih
cenderung pada teks itu sendiri. Prinsip "pengertian jelas," seperti yang
diungkapkan dalam Pasal 1342 KUHPerdata, mengindikasikan bahwa
penafsiran tidak diperlukan jika bahasa dalam kontrak sudah jelas
artinya.

3. Metode Penafsiran antara Objektif dan Subjektif:

Dalam prakteknya, seringkali penafsiran kontrak tidak sepenuhnya


mengikuti metode yang bersifat murni subjektif atau objektif. Banyak
kasus di mana penafsiran bergerak di antara keduanya. Pasal-pasal
dalam KUH Perdata dapat memberikan contoh konkret dimana
penafsiran berusaha mengkombinasikan kedua metode ini.

Dalam sistem common law seperti yang berlaku di Amerika Serikat,


terdapat tiga cara penafsiran kontrak yang dikenal sebagai Course of
Performance, Course of Dealing, dan Usage of Trade. Course of
Performance mencakup bagaimana para pihak bertindak melaksanakan
kontrak, Course of Dealing melibatkan pengalaman kontrak sebelumnya,
dan Usage of Trade mengacu pada praktik bisnis yang sudah menjadi
kebiasaan.

Pentingnya penafsiran kontrak dijelaskan dengan baik dalam praktek


pengadilan. Meskipun tidak ada prioritas yang kaku dalam menggunakan
metode interpretasi, hakim memiliki kebebasan untuk memilih metode
yang dianggap paling tepat guna memperjelas ketentuan peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, interpretasi harus dipilih
sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan penafsiran yang tepat
dan dapat diterapkan secara akurat terhadap peristiwa yang terjadi.

B. Penafsiran Kontrak Menurut KUH Perdata

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), penafsiran


kontrak telah dirumuskan dalam Buku Ketiga Bagian Keempat, yang
melibatkan sejumlah pasal dari Pasal 1342 hingga Pasal 1351.
Ketentuan-ketentuan ini memberikan pedoman bagi pengadilan dalam
menafsirkan kontrak. Untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam, berikut adalah penjelasan lebih lanjut terkait penafsiran
kontrak dalam KUH Perdata:
Pasal 1342 KUH Perdata

Pasal 1342 KUHPerdata Indonesia menetapkan prinsip bahwa jika


kata-kata suatu perjanjian sudah jelas, tidak diperkenankan untuk
menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Prinsip ini
mencerminkan doktrin kejelasan makna atau asas sens clair, yang
menegaskan bahwa penafsiran kontrak hanya diperlukan ketika terdapat
ketidakjelasan atau ambiguitas dalam kata-kata perjanjian.

Pentingnya pasal ini dapat diilustrasikan dengan contoh konkret,


di mana jika sebuah perjanjian dengan jelas menyebutkan bahwa pihak
pemborong bertanggung jawab untuk membuat jalan baru, maka tidak
diperbolehkan menginterpretasikan bahwa kewajiban tersebut juga
mencakup perbaikan jalan lama yang sudah ada. Ketetapan ini
memberikan dasar hukum untuk mengikat para pihak pada kata-kata
yang telah mereka gunakan dalam perjanjian, sehingga mencegah
penafsiran yang menyimpang dari makna yang jelas.

Namun, pemahaman terhadap Pasal 1342 KUHPerdata perlu


diperinci untuk memahami dua aspek penting. Pertama, adalah
mengenai "kata-kata suatu perjanjian." Hal ini menunjukkan bahwa
prinsip kejelasan makna hanya berlaku jika kata-kata dalam perjanjian
tersebut memang jelas. Kedua, pada frasa "Kalau kata-kata perjanjian
sudah jelas, maka tidak diperkenankan menafsirkan." Frasa ini
menciptakan landasan argumen bahwa interpretasi hanya diperlukan
untuk pernyataan yang tidak jelas, mengacu pada teori kehendak.

Teori kehendak menyiratkan bahwa pihak terikat pada


pernyataan yang tidak didasarkan pada kehendaknya sendiri, tetapi atas
penerimaan pihak lain sesuai dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Dalam hal ini, Pasal 1346 KUHPerdata mendukung
konsep bahwa penafsiran tidak hanya mencari kehendak para pihak,
tetapi juga mencari makna yang diberikan oleh masyarakat terhadap
kata-kata atau tanda tersebut.

Pentingnya penafsiran kontrak, dalam konteks Pasal 1342


KUHPerdata, melibatkan upaya untuk memahami kehendak para pihak
dan makna yang diberikan oleh masyarakat terhadap pernyataan-
pernyataan dalam perjanjian. Dalam konteks ini, penafsiran bukan hanya
tanggung jawab hakim, pengacara, atau notaris, tetapi juga tanggung
jawab utama para pihak yang membuat perjanjian. Mereka harus
pertama-tama mencoba menafsirkan perjanjian yang mereka buat
sebelum melibatkan hakim sebagai pihak ketiga dalam proses
penafsiran.

Kesimpulannya, Pasal 1342 KUHPerdata mengandung prinsip


bahwa penafsiran hanya diperlukan ketika terdapat ketidakjelasan dalam
perjanjian, dan prinsip ini membawa implikasi bahwa para pihak harus
memahami dan menafsirkan perjanjian yang mereka buat sendiri
sebelum mengajukan kasus ke pengadilan.

Pasal 1343 KUH Perdata

Pasal 1343 KUH Perdata Indonesia membuka peluang penafsiran


yang lebih luas dengan menyatakan bahwa jika kata-kata suatu
perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka penafsiran
harus dilakukan dengan menyelidiki maksud kedua belah pihak yang
membuat perjanjian. Dengan kata lain, ketika terdapat potensi berbagai
penafsiran terhadap kata-kata dalam perjanjian, maka penafsiran yang
dipilih seharusnya mencerminkan maksud sebenarnya dari para pihak
yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Prinsip ini menekankan bahwa
penafsiran harus lebih dari sekadar mengikuti makna literal kata-kata
perjanjian, melainkan harus mencari pemahaman mendalam terhadap
niat dan tujuan para pihak.

Penekanan pada maksud dan tujuan para pihak dalam Pasal 1343
KUH Perdata mencerminkan penerapan teori kehendak (historis-
psikologis) sebagai dasar penafsiran perjanjian. Teori ini menekankan
pada penetapan kehendak subjektif dari pihak yang terlibat dalam
perjanjian sebagai acuan utama dalam menafsirkan kontrak. Dengan
kata lain, penafsiran perjanjian tidak hanya terpaku pada makna literal
kata-kata, tetapi lebih kepada penggalian kehendak sebenarnya yang
melatarbelakangi pembentukan perjanjian.

Dalam hal ini, penafsiran berbasis teori kehendak mengacu pada


upaya untuk menetapkan maksud dan niat sebenarnya dari pihak-pihak
yang terlibat dalam perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran
perjanjian tidak hanya dilakukan secara mekanis berdasarkan kata-kata
tertulis, tetapi juga mempertimbangkan aspek psikologis dan historis dari
pembentukan perjanjian tersebut. Dengan demikian, interpretasi
perjanjian menjadi lebih kontekstual dan holistik, mencakup tidak hanya
kata-kata tetapi juga niat sebenarnya para pihak.

Namun, diakui bahwa penerapan teori kehendak dalam


praktiknya dapat menimbulkan sejumlah kesulitan. Kehendak merupakan
suatu gejala psikologis yang tidak selalu dapat diukur atau diamati
secara langsung. Ini membedakannya dari pendekatan normatif yang
lebih menitikberatkan pada tindakan konkret dan konsekuensi hukum
yang timbul dari tindakan tersebut.

Sebagai tambahan, penafsiran normatif, yang menitikberatkan


pada tindakan nyata dan konsekuensi hukum, memberikan alternatif
yang berbeda dalam menafsirkan perjanjian. Perspektif ini dapat
melibatkan penggunaan norma hukum yang berlaku dan menetapkan
akibat-akibat hukum berdasarkan ketentuan hukum yang ada.

Dengan demikian, meskipun teori kehendak menempati posisi


utama dalam Pasal 1343 KUH Perdata, pendekatan normatif juga
memiliki relevansi dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
konteks penafsiran perjanjian.

Pasal 1344 KUH Perdata

Pasal 1344 KUHPerdata memberikan suatu panduan pragmatis


dalam penafsiran perjanjian dengan menyatakan bahwa jika suatu janji
dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian
yang memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada pengertian yang
tidak memungkinkan pelaksanaan. Dengan kata lain, ketika terdapat
lebih dari satu penafsiran yang memungkinkan untuk suatu perjanjian,
dipilihlah penafsiran yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan.

Ketentuan ini memberikan pijakan hukum untuk mendekati


penafsiran perjanjian dengan mempertimbangkan kemungkinan
pelaksanaan janji tersebut. Contohnya, jika suatu perjanjian berkaitan
dengan real property atau barang tidak bergerak, dan hukum yang
berlaku tergantung pada lokasi real property tersebut, maka penafsiran
harus mempertimbangkan hukum yang memungkinkan pelaksanaan
perjanjian tersebut. Meskipun para pihak mungkin warga negara
Indonesia, perjanjian tersebut harus tunduk pada hukum di tempat real
property berada, seperti di negara bagian California, USA.

Pendekatan pragmatis dalam Pasal 1344 KUHPerdata


menekankan bahwa penafsiran perjanjian harus mendekati maksud para
pihak dan mempertimbangkan penerimaan masyarakat yang
memungkinkan untuk pelaksanaan perjanjian tersebut. Hal ini
mencerminkan pendekatan yang lebih fleksibel daripada terikat secara
ketat pada penafsiran gramatikal atau maksud subjektif para pihak.

Penekanan pada pelaksanaan janji yang memungkinkan juga


mencerminkan sikap legislator yang mengutamakan efektivitas dan
keberlanjutan perjanjian. Dengan memilih penafsiran yang mendukung
pelaksanaan perjanjian, Pasal 1344 KUHPerdata memandang
praktikalitas sebagai faktor utama dalam menentukan makna suatu
perjanjian.

Dalam konteks ilmiah, pendekatan pragmatis ini mencerminkan


kesadaran akan kompleksitas perjanjian dan kebutuhan untuk
menghindari interpretasi yang dapat menghambat pelaksanaan
perjanjian. Referensi hukum yang mendukung prinsip ini dapat
mencakup literatur mengenai penafsiran kontrak, hukum perdata, dan
aspek hukum properti.

Pasal 1345 KUH Perdata

Pasal 1345 KUHPerdata memberikan suatu panduan dalam


penafsiran perjanjian dengan menyatakan bahwa jika kata-kata dapat
diberikan dua macam pengertian, maka penafsiran harus memilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian. Artinya,
penafsiran harus mempertimbangkan sifat khusus dari perjanjian
tersebut sehingga pengertian yang dipilih sesuai dan sejalan dengan
karakteristik kontrak tersebut.

Pedoman ini menekankan bahwa setiap jenis perjanjian memiliki


ciri-ciri atau sifat-sifat khusus yang membedakannya dari jenis perjanjian
lainnya. Oleh karena itu, dalam penafsiran perjanjian, penting untuk
mempertimbangkan ciri-ciri yang melekat pada jenis perjanjian tersebut.
Sebagai contoh, suatu perjanjian mungkin bersifat konsensual, di mana
kesepakatan para pihak sudah cukup untuk mengikat, atau mungkin
memiliki formalitas tertentu yang harus dipenuhi untuk keabsahan
perjanjian. Selain itu, beberapa perjanjian mungkin memerlukan
penyerahan barang atau uang sebagai syarat keabsahan.

Dalam kaitannya dengan ilmu hukum, pendekatan ini


mencerminkan kebutuhan untuk memahami sifat dan karakteristik unik
dari setiap jenis perjanjian. Pemahaman ini menjadi landasan untuk
memilih pengertian yang paling sesuai dengan sifat perjanjian tersebut.
Dengan demikian, penafsiran tidak hanya memperhatikan makna literal
kata-kata, tetapi juga mempertimbangkan konteks keseluruhan
perjanjian.

Selain itu, Pasal 1345 KUHPerdata juga menyoroti pentingnya


melihat hubungan antara satu janji dengan yang lain. Ini menunjukkan
bahwa suatu kata atau tanda dalam perjanjian dapat memiliki makna
yang berbeda ketika dikaitkan dengan kata atau tanda lainnya, bahkan
dengan memperhatikan keseluruhan isi perjanjian. Pendekatan ini
mencerminkan kompleksitas interaksi antar klausa atau ketentuan dalam
suatu kontrak dan menggarisbawahi kebutuhan untuk menafsirkan kata-
kata dalam konteks yang lebih luas.

Pasal 1346 KUH Perdata

Pasal 1346 KUHPerdata memberikan panduan bahwa hal-hal


yang meragukan dalam suatu perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku di tempat di mana perjanjian tersebut dibuat.
Dengan kata lain, penafsiran perjanjian tidak hanya mengacu pada teks
dan maksud para pihak, tetapi juga memperhatikan kebiasaan yang
hidup dalam masyarakat setempat. Pendekatan ini menekankan bahwa
norma-norma sosial dan kebiasaan masyarakat memainkan peran
penting dalam menentukan makna dan akibat hukum dari suatu
perjanjian.
Contohnya, ketika terdapat keraguan apakah suatu perjanjian
dimaksudkan sebagai perjanjian gadai atau fidusia, penafsiran dapat
mengacu pada kebiasaan dan praktik yang diterima dalam masyarakat
bisnis. Dengan adanya prinsip ini, fidusia diakui sebagai hukum
kebiasaan yang hidup di kalangan masyarakat bisnis, dan hal ini
mendapatkan pengakuan formal dalam Undang-Undang No. 42 Tahun
1999 Tentang Fidusia.

Lebih lanjut, Pasal 1346 KUHPerdata memberikan panduan


bahwa penafsiran harus memperhatikan kebiasaan yang berlaku dalam
lingkungan ahli dari satu profesi, bidang perdagangan umum, atau
bidang khusus seperti asuransi, perbankan, dan sebagainya. Dengan
demikian, proses penafsiran tidak hanya bergantung pada interpretasi
individu, tetapi juga mencerminkan pandangan masyarakat dan praktik
yang diakui di dalam suatu sektor bisnis atau profesi tertentu.

Pendekatan ini memperlihatkan bahwa hukum perdata tidak


hanya bersandar pada teks formal, tetapi juga memperhitungkan
konteks sosial dan kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, untuk
memahami dan menafsirkan suatu perjanjian secara menyeluruh,
penting untuk melibatkan pemahaman terhadap norma dan praktik
kehidupan sosial di lingkungan di mana perjanjian tersebut dibuat.

Pasal 1347 KUH Perdata

Pasal 1347 KUHPerdata mengemukakan prinsip bahwa hal-hal


yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara
diam-diam dimasukkan dalam perjanjian. Hal ini menunjukkan adanya
pengakuan terhadap norma-norma sosial dan praktik kebiasaan yang
secara implisit menjadi bagian dari perjanjian, bahkan jika tidak secara
eksplisit dinyatakan dalam teks perjanjian.

Namun, pandangan ini menciptakan potensi konflik dengan


prinsip resiko yang diatur dalam hukum perdata, seperti yang termaktub
dalam KUHPerdata bahwa jika barang musnah sebelum dilakukan
penyerahan, resiko ditanggung oleh pembeli. Pengakuan terhadap
kebiasaan ini secara diam-diam dalam Pasal 1347 dapat mengakibatkan
pengecualian atau penyesuaian terhadap aturan hukum yang bersifat
opsional atau yang dapat dinegosiasikan.

Asser Rutten berpendapat bahwa Pasal 1347 seharusnya


dikeluarkan dari Bagian Keempat "Tentang penafsiran suatu perjanjian"
dan dipindahkan ke bagian sebelumnya "Tentang akibat suatu
perjanjian." Argumentasinya adalah karena prinsip tersebut telah diatur
di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pendapat ini memberikan penekanan bahwa aspek kebiasaan


yang secara diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian seharusnya
dipertimbangkan sebagai bagian integral dari pelaksanaan perjanjian
dengan itikad baik. Dengan kata lain, prinsip ini harus diinterpretasikan
dan diterapkan dengan memperhatikan aspek keadilan dan itikad baik
para pihak.

Pasal 1348 KUH Perdata

Pasal 1348 KUH Perdata memberikan prinsip bahwa semua janji yang
terdapat dalam suatu perjanjian harus ditafsirkan dalam hubungan satu sama
lain, yang berarti setiap janji harus dilihat dalam konteks keseluruhan
perjanjian. Prinsip ini menekankan pentingnya memahami setiap ketentuan
perjanjian dalam kaitannya dengan ketentuan-ketentuan lainnya, sehingga
keseluruhan perjanjian dapat dipahami dengan baik.

Dalam konteks ini, prinsip tersebut menegaskan bahwa janji-janji


tambahan atau klausula-klausula yang dibuat secara terpisah harus dilihat
sebagai bagian integral dari perjanjian asal. Hal ini menuntut agar setiap
ketentuan tambahan harus dilampirkan pada perjanjian asal dan secara
eksplisit dinyatakan bahwa lampiran tersebut merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dengan perjanjian utama.

Sebagai contoh, dalam kerjasama usaha perdagangan yang melibatkan


dua orang dengan penyertaan modal, jika terdapat klausula dalam perjanjian
yang mengharuskan audit keuangan perusahaan sebelum pembagian
keuntungan, hal ini harus dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian utama. Dengan adanya audit sebagai syarat sebelum pembagian
keuntungan, para pihak dapat memastikan transparansi dan keabsahan data
keuangan sebelum melakukan pembagian hasil usaha.

Pasal 1349 KUH Perdata

Pasal 1349 KUHPerdata membahas penafsiran atas suatu janji


yang menimbulkan keragu-raguan. Ketentuan ini mengarah pada prinsip
bahwa jika terdapat ketidakpastian atau keraguan mengenai suatu janji,
penafsiran harus dilakukan dengan mempertimbangkan kerugian bagi
pihak yang meminta janji tersebut dan keuntungan bagi pihak yang telah
mengikatkan diri untuk memenuhi janji tersebut.

Dalam konteks ini, pihak yang meminta diperjanjikan suatu hal


(meminta suatu hak) mungkin memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa
janji tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan harapan atau kebutuhannya. Di
sisi lain, pihak yang telah mengikatkan dirinya (menyanggupi kewajiban)
mungkin ingin meminimalkan risiko atau kerugian yang mungkin timbul dari
pelaksanaan janji tersebut.

Ketentuan ini menekankan pada prinsip kepatutan, yang berarti


bahwa penafsiran harus dilakukan dengan mempertimbangkan keadilan
dan keberlanjutan perjanjian. Namun, kesulitan dapat muncul ketika
dalam perjanjian terdapat saling menjanjikan sesuatu hal di antara para
pihak, sehingga tiap beding harus dicermati dan dimaknai sendiri-sendiri.

Sebagai contoh, dalam perjanjian di mana kewajiban debitur


tidak jelas apakah tanggung renteng kepada kreditur atau masing-
masing bertanggung jawab sendiri sebesar uang yang diterimanya,
penafsiran harus dilakukan untuk menguntungkan debitur. Dengan
demikian, setiap debitur akan bertanggung jawab sendiri atas jumlah
uang yang diterimanya.

Pasal 1350 KUH Perdata

Pasal 1350 KUH Perdata menetapkan prinsip bahwa meskipun


kata-kata dalam suatu perjanjian dirumuskan secara sangat umum,
perjanjian tersebut hanya mencakup hal-hal yang nyata-nyata
dimaksudkan oleh kedua belah pihak. Dengan kata lain, penting untuk
memahami bahwa ketika perjanjian dibuat, fokus utama adalah pada
hal-hal konkret yang benar-benar dimaksudkan atau diinginkan oleh para
pihak, bahkan jika kata-kata dalam perjanjian tersebut bersifat umum
atau luas.

Sebagai contoh, jika dalam suatu perjanjian diberikan kuasa


untuk membeli, tetapi rumusannya sangat umum, hal ini tidak otomatis
berarti bahwa kuasa tersebut mencakup juga kemampuan untuk
menjual. Dalam konteks ini, perlu memahami dengan jelas bahwa para
pihak saat membuat perjanjian mungkin hanya bermaksud memberikan
kuasa pembelian tanpa melibatkan kuasa untuk menjual.

Penafsiran ini penting untuk menjaga kejelasan dan kepastian


dalam perjanjian, sehingga dapat menghindari potensi perselisihan atau
ketidaksesuaian pemahaman di antara para pihak. Oleh karena itu, fokus
pada inti dari apa yang dimaksudkan oleh para pihak saat perjanjian
dibuat menjadi kunci dalam penafsiran Pasal 1350 KUH Perdata.

Pasal 1351 KUH Perdata

Pasal 1351 KUH Perdata menetapkan prinsip bahwa suatu hal


yang dinyatakan untuk menjelaskan suatu perjanjian tidak dapat
digunakan untuk membatasi kekuatan perjanjian dalam hal-hal yang
tidak dinyatakan. Dengan kata lain, penjelasan yang diberikan oleh pihak
dalam perjanjian tidak dapat mengurangi atau membatasi cakupan
perjanjian tersebut kecuali jika secara tegas dinyatakan dalam perjanjian
tersebut. Prinsip ini menegaskan bahwa penafsiran perjanjian harus
mempertimbangkan isi perjanjian secara keseluruhan, tidak hanya
bergantung pada penjelasan tambahan yang mungkin diberikan oleh
para pihak.

Dalam konteks ini, yurisprudensi menunjukkan bahwa jika terjadi


perselisihan atau perbedaan pendapat mengenai isi perjanjian di antara
para pihak, tugas utama hakim adalah melakukan penafsiran. Hakim
harus menilai fakta-fakta yang ada dan mendahulukan maksud serta
tujuan para pihak daripada memegang teguh kata-kata perjanjian,
terutama jika kata-kata tersebut tidak jelas. Jika maksud para pihak
tetap tidak dapat diidentifikasi melalui kata-kata yang tidak jelas, hakim
akan berusaha menentukan interpretasi yang paling sesuai dengan
kehendak para pihak.

Proses penafsiran ini melibatkan pertimbangan terhadap metode


penafsiran yang sesuai, seperti metode subjektif yang
mempertimbangkan maksud sebenarnya para pihak, atau metode
objektif yang lebih menekankan pada teks perjanjian itu sendiri.
Pemahaman akan cara-cara untuk melakukan penafsiran terhadap
substansi kontrak menjadi krusial dalam menjaga keadilan dan kepastian
hukum.

Evolusi pedoman penafsiran kontrak dalam sistem hukum,


khususnya di Belanda, mencerminkan pergeseran paradigma dari fokus
pada kata-kata yang jelas menuju itikad baik para pihak. Dalam Konteks
ini, perubahan hukum yang terjadi pada 1 Januari 1992 dengan
berlakunya KUHPerdata Belanda baru menandai pergeseran signifikan
dari penekanan pada kejelasan kata-kata menuju penekanan pada itikad
baik sebagai prinsip penafsiran kontrak. Paham ini meratakan konsep
bahwa semua perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, dan
hal ini memainkan peran kunci dalam menentukan arti substansial dari
perjanjian.

Sebelumnya, pandangan yang berlaku adalah bahwa penafsiran


kontrak hanya diperlukan jika isi kontrak tidak jelas. Pasal 1378 BW
(lama) Belanda menyatakan bahwa jika kata-kata dalam suatu kontrak
telah jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan
jalan penafsiran. Namun, pandangan ini telah berubah, dan kini
penafsiran kontrak tidak lagi dibatasi oleh perbedaan antara kontrak
yang jelas dan yang tidak jelas. Bahkan pada kata-kata yang tampak
jelas, dapat dilakukan penafsiran dengan merujuk pada kehendak para
pihak atau keadaan khusus yang relevan.

Selain prinsip itikad baik, BW (lama) dan KUHPerdata Indonesia


memberikan pedoman tambahan dalam menafsirkan kontrak. Pasal 1379
BW (lama) Belanda, misalnya, menekankan bahwa jika kata-kata dalam
suatu kontrak dapat diberikan berbagai penafsiran, harus dipilih
penafsiran yang meneliti maksud kedua belah pihak yang membuat
kontrak, daripada memegang teguh pada kata-kata secara literal. Ini
menegaskan pentingnya memahami maksud sebenarnya para pihak dan
menggunakan pendekatan historis-psikologis dalam penafsiran kontrak.

Pendekatan kebiasaan setempat juga tetap relevan, sebagaimana


dinyatakan dalam Pasal 1382 BW (lama) Belanda. Ini menandakan
bahwa penafsiran kontrak harus memperhatikan norma dan praktik yang
berlaku di masyarakat setempat. Meskipun BW (baru) Belanda tidak lagi
menyertakan ketentuan-ketentuan penafsiran kontrak, prinsip-prinsip ini
tetap berharga dan dapat diterapkan oleh pengadilan dan ilmuwan
hukum untuk mengembangkan pandangan yang lebih kaya dan
kontekstual terhadap penafsiran kontrak.

Prinsip-prinsip umum penafsiran kontrak yang diterima oleh


pengadilan di Belanda mencerminkan pendekatan yang berbeda dengan
sistem hukum common law, seperti yang dianut di Amerika Serikat.
Beberapa prinsip tersebut memberikan panduan yang penting dalam
memahami dan menafsirkan makna suatu perjanjian. Berikut adalah
penjelasan ilmiah mengenai prinsip-prinsip tersebut:

1. Maksud Para Pihak sebagai Uji Utama: Prinsip ini menekankan


pentingnya menguji maksud sebenarnya para pihak yang terlibat dalam
perjanjian daripada sekadar menafsirkan kata-kata secara harfiah.
Fokus pada itikad baik menjadi kunci untuk memahami substansi
sebenarnya dari perjanjian.
2. Efek Kondisi Kontrak: Penafsiran kontrak harus memperhitungkan efek
yang diinginkan oleh para pihak. Ini berarti bahwa ketentuan-
ketentuan kontrak harus dipahami dalam konteks di mana kontrak
tersebut akan memberikan efek, bukan dalam arti yang tidak
memberikan efek
3. Perlakuan Sesuai dengan Sifat Kontrak: Prinsip ini menekankan
perlunya memperlakukan kata-kata kontrak sesuai dengan sifat dan
tujuan umum kontrak tersebut. Pemahaman ini membantu
menghindari penafsiran yang mengabaikan konteks keseluruhan
perjanjian.
4. Mempertimbangkan Aspek Regional, Lokal, dan Profesional: Penafsiran
kontrak harus memperhitungkan aspek regional, lokal, dan profesional,
serta kebiasaan yang mungkin memengaruhi makna perjanjian. Ini
menegaskan bahwa konteks sosial dan budaya memiliki peran penting
dalam penafsiran.
5. Ketidakpastian dalam Kontrak Profesional: Jika terdapat ketidakpastian
dalam kondisi umum yang dibuat oleh pihak profesional, prinsipnya
adalah untuk menafsirkan kondisi tersebut secara prinsipil demi
keuntungan pihak lain, terutama jika pihak lainnya adalah konsumen.
Ini mencerminkan perlindungan terhadap pihak yang mungkin kurang
berpengalaman atau memiliki kekuatan tawar yang lebih rendah.
6. Persyaratan Umum Mendominasi Persyaratan Khusus: Jika terdapat
persyaratan umum dan persyaratan khusus, prinsipnya adalah bahwa
persyaratan umum yang tertulis atau dicetak akan mengatasi
persyaratan khusus. Ini menegaskan bahwa ketentuan umum yang
lebih umum memiliki kekuatan yang lebih besar dalam penafsiran.
7. Argumen a Contrario dengan Hati-Hati: Prinsip ini memperingatkan
agar penggunaan argumen a contrario, yaitu menafsirkan berdasarkan
apa yang tidak dinyatakan, dilakukan dengan hati-hati. Ini menghindari
kesalahan penafsiran yang dapat muncul dari pendekatan yang terlalu
simplistik.

Penafsiran perjanjian dalam hukum internasional, khususnya dalam


pelaksanaan perjanjian internasional, melibatkan interaksi antara
ketentuan hukum nasional dan kaidah-kaidah hukum internasional.
Walaupun tidak terdapat suatu badan yang berwenang penuh untuk
memberikan penafsiran yang mengikat semua negara, namun prinsip-
prinsip ini membantu memahami bagaimana negara-negara dapat
menafsirkan perjanjian sesuai dengan kerangka hukum nasional mereka.

C. Makna Penafsiran Kontrak bagi Pihak-Pihak yang Bersangkutan

Penafsiran kontrak memiliki peran yang sangat penting dalam


memastikan pemahaman yang jelas dan penyelarasan antara para pihak
yang terlibat. Perbedaan penafsiran dapat mengakibatkan
ketidaklancaran dalam pemenuhan kewajiban, sehingga penting untuk
memastikan kesepahaman yang baik. Di bawah ini adalah penjelasan
ilmiah mengenai peran penafsiran kontrak:

1. Pentingnya Makna Penafsiran Kontrak:

Penafsiran kontrak memiliki relevansi yang tinggi karena


perbedaan dalam pemahaman dan pelaksanaan kontrak dapat
memunculkan sengketa di masa mendatang. Makna yang diberikan
pada kontrak akan membentuk dasar pelaksanaan dan pemenuhan
kewajiban yang diatur dalam perjanjian.

2. Klaritas dalam Rumusan Kontrak:

Rumusan kontrak yang jelas memudahkan para pihak dalam


melaksanakan kewajiban sesuai dengan isi kontrak. Sebaliknya,
ketidakjelasan dalam rumusan kontrak dapat menyebabkan kesulitan
dalam pemenuhan kewajiban dan berpotensi memunculkan sengketa di
kemudian hari.

3. Kejelasan dan Kepastian Hak dan Kewajiban:

Kontrak yang jelas memberikan kepastian mengenai hak dan


kewajiban masing-masing pihak. Klausul kontrak yang terinci dan
mudah dimengerti membantu memastikan bahwa setiap pihak dapat
memenuhi prestasinya sesuai dengan kesepakatan.

4. Tantangan Penafsiran yang Adil:

Penafsiran kontrak secara adil menjadi tantangan karena


subyektivitas para pihak. Kepentingan pribadi cenderung
mempengaruhi cara masing-masing pihak menafsirkan kontrak. Oleh
karena itu, mencari makna kesepakatan baru melalui penafsiran yang
adil memerlukan kerjasama dan itikad baik dari semua pihak terlibat.

5. Asas Kebebasan Berkontrak:

Asas kebebasan berkontrak, seperti yang diatur dalam Pasal 1338


ayat (1) KUH Perdata, memberikan dasar bagi pihak untuk menentukan
isi kontrak sesuai dengan keinginan mereka. Namun, kebebasan ini
juga membutuhkan tanggung jawab untuk mencapai kesepahaman
yang jelas.
6. Pernyataan Kehendak dan Kepentingan Para Pihak:

Penafsiran kontrak melibatkan pernyataan kehendak yang


diwujudkan dalam penawaran dan penerimaan. Dalam mencari makna
kesepakatan, penting untuk memahami apa yang sebenarnya
dikehendaki oleh para pihak dan bukan hanya menekankan pada
kehendak satu pihak.

7. Peran Asas Klasifikasi dan Penafsiran:

Dalam konteks ini, peran asas klasifikasi dan penafsiran menjadi


penting. Asas ini mengarahkan para pihak untuk memberikan
penjelasan lebih lanjut atau mengklarifikasi kontrak jika terdapat
ketidakjelasan yang dapat mempengaruhi pemahaman kontrak.

Asas kebebasan berkontrak merupakan prinsip yang memberikan


keleluasaan kepada para pihak untuk menentukan dan menjalankan
perjanjian mereka sesuai dengan keinginan masing-masing. Asas ini
mencakup kemampuan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian,
berkontrak dengan siapa pun, menentukan isi dan pelaksanaan
perjanjian, serta menentukan bentuknya, baik tertulis maupun lisan.
Asas ini memberikan dasar bagi kebebasan individu dalam melakukan
transaksi hukum dan kontrak.

Latar belakang filosofis dari asas kebebasan berkontrak dapat


ditemukan dalam perkembangan paham individualisme, yang telah
muncul sejak zaman Yunani, Epicurist, hingga era Renaissance. Paham
ini menekankan kebebasan setiap individu untuk mencapai apa yang
diinginkannya. Dalam konteks hukum kontrak, individualisme ini
tercermin dalam konsep "kebebasan berkontrak."

Meskipun asas kebebasan berkontrak memberikan keleluasaan,


praktiknya seringkali melibatkan ketidakjelasan atau ketidaklengkapan
dalam pelaksanaan perjanjian, yang dapat berdampak pada pemenuhan
prestasi masing-masing pihak. Oleh karena itu, kejelasan, ketegasan,
dan kepastian dalam menafsirkan isi kontrak menjadi penting bagi para
pihak.

Penafsiran perjanjian tidak hanya menjadi tanggung jawab hakim,


pengacara, atau notaris, tetapi juga merupakan tugas para pihak yang
membuat perjanjian. Para pihak harus aktif dalam menafsirkan
perjanjian yang mereka buat, dan jika terjadi perbedaan pendapat,
barulah hakim atau arbiter sebagai pihak ketiga dapat terlibat. Hakim
memiliki tanggung jawab untuk menyesuaikan undang-undang dengan
keadaan nyata masyarakat, dan jika undang-undang tidak jelas, hakim
harus melakukan penafsiran guna mencapai kepastian hukum.

Kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang tidak


bersifat sewenang-wenang; hakim harus tunduk pada kehendak
pembuat undang-undang. Penafsiran harus mencari kehendak pembuat
undang-undang melalui sejarah kata-kata, sistem undang-undang, dan
arti kata-kata dalam pergaulan sehari-hari. Penafsiran tersebut harus
sesuai dengan kehendak pembuat undang-undang, dan hakim tidak
boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak tersebut.

Selain itu, asas itikad baik memegang peranan penting dalam


penafsiran kontrak. Beberapa sistem hukum, seperti hukum kontrak
Jerman, menetapkan bahwa kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan
itikad baik. Artinya, setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara adil atau
patut. Dalam hal ini, penafsiran tidak hanya terbatas pada tata bahasa,
tetapi juga melibatkan aspek yuridis normatif yang mempertimbangkan
akibat hukum dari sudut pandang hukum objektif.

D. Doktrin Contra Proferentem

Pengertian dan Sejarah Doktrin Contra Proferentem

Doktrin Contra Proferentem adalah suatu prinsip penafsiran kontrak


yang menyatakan bahwa dalam kasus ketidakjelasan atau ambiguitas
dalam suatu perjanjian, perjanjian tersebut harus ditafsirkan atau
diartikan berlawanan dengan pihak yang menyusun atau membuat
perjanjian, yaitu pihak yang menyediakan rancangan kontrak. Prinsip ini
menempatkan beban penafsiran pada pihak yang lebih kuat secara
ekonomi atau pihak yang memiliki keahlian dalam penyusunan
perjanjian.

Sejarah doktrin ini dapat ditelusuri kembali ke hukum Romawi, yang


telah memberikan pengaruh signifikan terhadap sistem hukum modern.
Paham hukum Romawi pada penafsiran perjanjian terbagi menjadi dua
pendekatan utama. Pertama, ajaran penafsiran subjektif, yang
menyatakan bahwa perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan apa yang
tertulis tanpa memperhatikan unsur di luar perjanjian. Kedua, ajaran
penafsiran objektif, yang menyatakan bahwa perjanjian harus ditafsirkan
dengan memperhatikan semua istilah dalam perjanjian untuk
memberikan manfaat kepada semua pihak.

Doktrin Contra Proferentem kemudian berkembang sebagai suatu


prinsip yang menekankan perlunya menafsirkan perjanjian berdasarkan
maksud pihak yang lebih lemah, khususnya dalam konteks kontrak baku.
Kontrak baku menjadi semakin umum, di mana satu pihak menyediakan
rancangan kontrak dan pihak lainnya hanya bisa menerima atau menolak
tanpa banyak perundingan. Doktrin ini diterapkan ketika terdapat
ambiguitas dalam kontrak dan memastikan bahwa kontrak tersebut tidak
memberikan keuntungan yang berlebihan bagi pihak yang menyusunnya.

Doktrin Contra Proferentem mulai diterapkan secara lebih luas,


terutama dalam hukum Common Law (seperti Inggris, Amerika, Kanada,
India) dan civil law (seperti Perancis, Belgia, beberapa negara Amerika
Latin). Beberapa negara, seperti Italia, memasukkan doktrin ini ke dalam
kodifikasi hukum kontrak mereka. Pengaplikasian doktrin ini menjadi
semakin signifikan, terutama dalam konteks perlindungan konsumen,
dan diadopsi dalam prinsip-prinsip hukum kontrak komersial
internasional seperti yang terdapat dalam UNIDROIT.

Meskipun doktrin ini memberikan keseimbangan kekuasaan yang


lebih baik antara pihak yang membuat kontrak dan pihak yang hanya
menerima kontrak baku, kritik terhadap doktrin ini muncul terutama
terkait dengan kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak yang kurang
berpengalaman dalam dunia hukum.

Penerapan Doktrin Contra Proferentem dalam Penafsiran Perjanjian


Asuransi.

Doktrin Contra Proferentem menjadi sangat relevan dan tepat untuk


diterapkan dalam penafsiran perjanjian asuransi. Perjanjian asuransi
sering kali dirumuskan dengan menggunakan istilah-istilah yang
kompleks dan memiliki berbagai jenis, seperti asuransi jiwa, asuransi
pengangkutan, asuransi kebakaran, dan sebagainya. Calon tertanggung,
yang umumnya awam dalam bidang hukum asuransi, sering tidak
memahami seluruh isi perjanjian asuransi dan cenderung tidak membaca
secara rinci saat menandatangani polis.

Dalam konteks ini, doktrin Contra Proferentem dapat menjadi alat


yang efektif untuk melindungi pihak tertanggung yang dianggap lebih
lemah dalam pengetahuan hukum asuransi. Polis asuransi sering kali
disusun oleh pihak penanggung, yang memiliki pengetahuan lebih
mendalam tentang aspek hukum dan keuangan. Ketidaksetaraan
pengetahuan dan posisi tawar membuat pihak tertanggung lebih rentan
terhadap interpretasi yang merugikan dari pihak penanggung.

Kasus-kasus sengketa klaim asuransi seringkali muncul karena


perbedaan penafsiran terhadap kata-kata, kalimat, atau klausula dalam
polis. Pihak penanggung, dengan pengetahuannya yang lebih mendalam,
mungkin menolak klaim dengan alasan bahwa penyebab kerugian yang
dialami oleh tertanggung tidak termasuk dalam cakupan yang dijelaskan
dalam polis. Doktrin Contra Proferentem muncul sebagai alat untuk
menyeimbangkan ketidaksetaraan ini.

Penerapan doktrin ini menjadi krusial dalam mengatasi sengketa


klaim asuransi, terutama di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Pengadopsian doktrin ini menjadi semakin penting ketika pihak
tertanggung dianggap memiliki posisi tawar yang lebih lemah dalam
perjanjian asuransi, seperti pada polis kontrak baku yang umumnya
dirumuskan oleh pihak penanggung.

Meskipun polis asuransi sering kali disusun dalam bentuk standar dan
diatur oleh undang-undang, doktrin Contra Proferentem tetap relevan
karena pihak-pihak yang membuat perjanjian dapat menggunakan
kebebasan berkontrak sebagai dalih untuk menghindari aturan tersebut.
Selain itu, penerapan doktrin ini juga memiliki dampak ekonomi, karena
keputusan hukum yang dihasilkan dari aplikasi doktrin ini tidak hanya
mempengaruhi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tetapi juga
memberikan insentif bagi pihak penanggung untuk merancang polis
secara lebih jelas dan adil

Doktrin Contra Proferentem dapat diartikan baik secara sempit


maupun luas. Secara sempit, doktrin ini diaplikasikan sebagai langkah
terakhir jika semua metode penafsiran perjanjian telah digunakan dan
masih terdapat ambiguitas. Secara luas, penerapan doktrin ini juga
mempertimbangkan aspek ekonomi dari pihak penanggung, mengingat
resiko yang mereka tanggung juga merupakan konsekuensi dari bisnis
asuransi yang mereka jalankan.

Dalam konteks ini, doktrin Contra Proferentem menjadi pendorong


bagi pihak penanggung untuk merancang polis asuransi dengan lebih
jelas, menghindari ambiguitas, dan meminimalkan kemungkinan
sengketa klaim. Meskipun demikian, penerapan doktrin ini memunculkan
pertanyaan etis dan ekonomi, termasuk apakah ini adil bagi kedua pihak
dan sejauh mana doktrin ini efektif jika pihak tertanggung tidak memiliki
itikad baik.

Penafsiran perjanjian menurut Kitab Undang-undang hukum perdata


dan Doktrin Contra proferentem.

Dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law), penafsiran


perjanjian didasarkan pada dua pendekatan utama, yaitu penafsiran
subjektif dan penafsiran objektif. Penafsiran subjektif menekankan pada
memahami perjanjian sesuai dengan maksud para pihak yang terlibat,
sementara penafsiran objektif menekankan pada mempertimbangkan
semua istilah dalam perjanjian untuk memberikan manfaat kepada
semua pihak. Di Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) memberikan landasan hukum untuk penafsiran perjanjian,
mengadopsi pendekatan objektif.

Penafsiran Perjanjian Menurut KUHPer

KUHPer mengatur penafsiran perjanjian dalam pasal 1342 sampai


dengan pasal 1350. Aturan-aturan ini tidak hanya mencakup penafsiran
semantik atau harfiah saja, atau berdasarkan maksud subjektif para
pihak. Penafsiran perjanjian menurut KUHPer melibatkan semua aspek
yang terkait dengan perjanjian, termasuk penafsiran harfiah, maksud
subjektif para pihak, aspek sosiologis, dan posisi tawar para pihak.
Penafsiran ini disusun untuk mencapai hasil yang adil dan menyeluruh.

Metode penafsiran yang terdapat dalam KUHPer memberikan


fleksibilitas bagi pihak yang ingin menafsirkan perjanjian atau bagi hakim
dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan. Pilihan metode penafsiran
dapat disesuaikan dengan keadaan, bentuk perjanjian, atau masalah
yang dihadapi.

Doktrin Contra Proferentem Menurut KUHPerdata

Dalam KUHPer, terdapat metode penafsiran yang mirip dengan


Doktrin Contra Proferentem, dikenal sebagai prinsip kerugian pengusul
kontrak (pasal 1349 KUHPer). Prinsip ini menetapkan bahwa jika suatu
klausula dalam kontrak diusulkan oleh salah satu pihak, maka penafsiran
atas klausula tersebut dilakukan atas kerugian dari pihak yang
menyediakan draft dari perjanjian.

Prinsip ini memiliki tujuan yuridis untuk mencegah eksploitasi pihak


yang mungkin memiliki posisi ekonomi lebih kuat. Hal ini terutama
relevan dalam menghindari penambahan klausula yang merugikan dalam
perjanjian yang disusun oleh salah satu pihak.

Doktrin Contra Proferentem dan Perlindungan Konsumen

Penggunaan Doktrin Contra Proferentem sejalan dengan prinsip


perlindungan konsumen, di mana tertanggung asuransi dianggap
sebagai konsumen. Metode penafsiran ini dapat memperkuat
perlindungan konsumen, terutama dalam kasus polis asuransi. Undang-
undang Perlindungan Konsumen di Indonesia (No.8 tahun 1999) juga
memberikan pedoman terkait klausula-klausula yang dilarang, seperti
yang tercantum dalam Pasal 18.

Penerapan Doktrin Contra Proferentem dalam Praktek

Meskipun KUHPer mengenal metode yang mirip dengan Doktrin


Contra Proferentem, penggunaan doktrin ini cenderung jarang dalam
praktek di Indonesia. Ini mungkin disebabkan oleh terbatasnya literatur
hukum yang membahas doktrin ini di tingkat nasional. Di negara
Common Law seperti Inggris dan Amerika, doktrin ini lebih berkembang
karena asas precedent atau presiden memainkan peran penting dalam
pembentukan hukum.

Presiden dan Pengaruh Common Law

Di Common Law, keputusan hakim sebelumnya menjadi otoritas dan


mengikat putusan hakim selanjutnya. Asas ini menciptakan konsistensi
dan kepastian hukum, dan Doktrin Contra Proferentem sering digunakan
karena telah menjadi preseden. Di Indonesia, keputusan hakim tidak
mengikat pada tingkat yang sama, sehingga kurangnya penggunaan
doktrin ini mungkin karena hakim tidak terikat pada putusan sebelumnya
secara ketat.

Penerapan Doktrin Contra Proferentem dalam penafsiran perjanjian


di Indonesia dapat menjadi langkah menuju perlindungan konsumen
yang lebih baik. Sementara KUHPer memberikan dasar hukum untuk
penafsiran perjanjian dengan pendekatan objektif, perlu adanya
peningkatan kesadaran dan pemahaman terhadap doktrin ini di kalangan
para profesional hukum. Kesinambungan literatur dan penelitian hukum
dalam konteks ini akan mendukung pengembangan praktek hukum yang
lebih seimbang dan adil.

E. Penafsiran Kontrak Dalam Perspektif Hermeneutik

Idealnya, suatu kontrak seharusnya tidak memerlukan penafsiran jika


kata-katanya mampu menggambarkan maksud para pihak dengan jelas.
Namun, realitanya, meskipun kontrak dirumuskan dengan hati-hati,
seringkali kata-kata dalam kontrak memiliki berbagai makna,
menyebabkan ambiguitas. Oleh karena itu, pada tahap pelaksanaan
kontrak, perbedaan penafsiran sering kali muncul. Prinsip-prinsip
penafsiran kontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1342 sampai
dengan Pasal 1351 BW, telah memberikan pedoman, tetapi dalam
prakteknya, penafsiran seringkali memunculkan perbedaan yang semakin
tajam.

Hermeneutika dalam Konteks Penafsiran Kontrak

Hermeneutika, sebagai metode penafsiran yang melibatkan


pemahaman dan interpretasi teks atau konsep, memainkan peran
penting dalam merinci dan memahami maksud serta substansi
perjanjian. Dalam konteks penafsiran kontrak, hermeneutika membantu
memahami lebih dalam konteks dan latar belakang budaya yang
membentuk kontrak tersebut. Dalam pandangan filosofisnya,
hermeneutika bukan hanya metode interpretasi, tetapi juga aliran filsafat
yang memperdalam pemahaman hakikat dari proses mengerti atau
memahami sesuatu.

Perspektif Filosofis Hermeneutika

Tokoh-tokoh seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan


Hans-Georg Gadamer telah mengembangkan hermeneutika sebagai
aliran filsafat. Menurut Gadamer dalam "Truth and Method," pemahaman
tidak dapat dilepaskan dari horison historis dan budaya yang membentuk
individu. Hermeneutika menekankan pada proses dialog dan interaksi
antara pembaca dengan teks atau konteks.

Penerapan Hermeneutika dalam Hukum

Dalam konteks hukum, hermeneutika digunakan untuk mengatasi


kompleksitas penafsiran kontrak yang seringkali memiliki banyak nuansa.
Hermeneutika membantu ahli hukum untuk tidak hanya memahami kata-
kata secara harfiah tetapi juga menggali makna yang lebih dalam dari
perjanjian tersebut. Tujuan hermeneutika hukum adalah memperjelas isi
kontrak agar menjadi lebih jelas dan komprehensif, melibatkan
pemahaman teks, konteks, dan kontekstualisasi.

Proses Tahap-tahap Kontrak dan Tantangan Penafsiran

Kontrak atau perjanjian, sebagai suatu peristiwa hukum, melibatkan


janji antara pihak-pihak yang terlibat. Proses pembentukan kontrak
terdiri dari tahap pra kontrak, tahap penutupan kontrak, dan tahap
pelaksanaan kontrak. Meskipun kontrak telah disepakati, seringkali
perbedaan penafsiran muncul pada tahap pelaksanaan. Penafsiran yang
salah dapat memunculkan sengketa kontrak, seperti yang dinyatakan
oleh Schwartz & Scott bahwa penafsiran kontrak menjadi sumber utama
sengketa kontrak antara perusahaan.

Pentingnya Metode Penafsiran yang Komprehensif


Perbedaan penafsiran yang sering terjadi memunculkan kebutuhan
akan metode penafsiran yang lebih komprehensif. Hukum kontrak,
meskipun memiliki prinsip-prinsip penafsiran, masih memerlukan
pendekatan yang mempertimbangkan konteks lebih luas dan menggali
makna yang terkandung dalam perjanjian.

Dalam menghadapi kompleksitas penafsiran kontrak, hermeneutika


menawarkan pendekatan yang holistik dan mendalam. Dengan
mempertimbangkan konteks, latar belakang budaya, dan dialog antara
pembaca dengan teks, hermeneutika dapat memberikan pemahaman
yang lebih kaya terhadap substansi kontrak. Oleh karena itu, penerapan
hermeneutika dalam hukum kontrak dapat menjadi langkah penting
menuju penyelesaian yang lebih adil dan pemahaman yang lebih
mendalam terhadap perjanjian.

● Penafsiran Kontrak

Penafsiran kontrak adalah sebuah proses yang vital dalam hukum


kontrak, dan pendekatan terhadapnya telah mengalami perubahan
seiring waktu. Dahulu, pandangan umum adalah bahwa penafsiran
hanya diperlukan untuk pernyataan-pernyataan kontrak yang tidak jelas.
Namun, pandangan ini telah ditinggalkan, dan sekarang kontrak tidak
dibedakan antara yang jelas dan yang tidak jelas. Bahkan terhadap kata-
kata yang tampak jelas, penafsiran tetap dapat dilakukan.

Penafsiran kontrak tidaklah mudah, dan untuk itu, diperlukan metode


penafsiran yang dapat memberikan kerangka kerja yang jelas. Selain itu,
pedoman penafsiran juga menjadi instrumen penting dalam memahami
kontrak. Badan Hukum Belanda (BW) misalnya, telah merumuskan
sepuluh prinsip penafsiran kontrak, yang mencakup ketentuan dari Pasal
1342 hingga Pasal 1351 BW. Prinsip-prinsip ini menjadi panduan yang
harus diperhatikan dalam melakukan penafsiran kontrak.

Istilah "penafsiran" seringkali digunakan bersamaan dengan


"interpretasi," yang merupakan serapan dari bahasa Inggris
"interpretation." Black's Law Dictionary mendefinisikan interpretasi
sebagai proses menentukan makna suatu hal, terutama dalam konteks
hukum dan dokumen hukum. Klausula interpretasi kemudian
didefinisikan sebagai ketentuan legislatif atau kontraktual yang
memberikan makna kata-kata yang sering digunakan atau menjelaskan
bagaimana keseluruhan dokumen harus ditafsirkan.

Pitlo berpendapat bahwa melakukan penafsiran adalah kegiatan


subjektif, namun seorang yang jujur akan berusaha untuk melakukannya
secara obyektif. Tujuan penafsiran, menurut Steyn, adalah untuk mencari
makna suatu dokumen sesuai dengan niat para pihak. Prinsip-prinsip yang
mengatur penafsiran bertujuan untuk memberikan efek pada harapan yang
masuk akal.

Ajaran interpretasi pertama kali diperkenalkan oleh F.C. von Savigny,


yang menggunakan metode hermeneutik. Tokoh-tokoh hermeneutik
seperti Schleiermacher dan Dilthey mengidentifikasi interpretasi dengan
konsep "pemahaman." Mereka mendefinisikan pemahaman sebagai
pemahaman maksud pembicara dari sudut pandang asal dalam konteks
wacana. Dalam ranah hukum, hermeneutik menjadi metode interpretasi
yang digunakan oleh para yuris, terutama hakim, untuk mengartikan
teks-teks hukum.

Dalam hermeneutik juga menjadi panduan bagi hakim dalam


menyusun atau mengkonstruksi teks atau kaidah hukum tertentu
terhadap kasus atau perkara konkret. Tujuannya adalah untuk
memastikan bahwa interpretasi dilakukan dengan cermat dan sesuai
dengan niat para pihak, sehingga memberikan keadilan yang diinginkan
oleh hukum kontrak.

Metode hermeneutik, yang berakar pada gagasan saling


ketergantungan yang bermakna antara kehidupan manusia dan budaya,
menjadi penting dalam konteks penafsiran kontrak. Hermeneutik, yang
semula memiliki sifat teknikal untuk memberikan metode-metode
penafsiran, kini telah berkembang menjadi suatu aliran tersendiri dalam
ilmu-ilmu manusia. Eksistensinya diyakini sepanjang peradaban manusia,
tetapi sayangnya, hakim jarang menggunakan hermeneutik dalam
menyelesaikan permasalahan hukum.
Menurut Bruggink, hermeneutik sejajar dengan ilmu-ilmu alam dan
memiliki aksentuasi pada konteks. Meskipun begitu, hakim pada
umumnya masih ragu mengadopsi hermeneutik dalam aktivitas
penafsiran. Alasannya mungkin karena pemahaman tentang hermeneutik
hukum masih terbatas di kalangan yuris. Padahal, menurut Gadamer,
hermeneutik hukum sangat berguna ketika hakim berusaha menambah
makna orisinal dari teks hukum.

Perkembangan hermeneutik dapat ditelusuri sejak zaman Yunani


kuno. Istilah "hermeneutik" berasal dari bahasa Yunani "hermêneuein,"
dan Plato adalah salah satu filsuf pertama yang menggunakannya.
Dalam karya-karyanya, Plato merujuk kepada para penyair sebagai
'hermeneuts of the divine' dan membahas bagaimana pesan Ilahi
disampaikan dalam bahasa manusia. Aristoteles, murid Plato, juga
membahas hermeneutik melalui karyanya "Peri Hermeneias."

Filsafat kuno menawarkan beberapa pendekatan untuk


mengelaborasi sumber-sumber klasik hermeneutik. Tradisi alegoris
digunakan untuk memberikan penjelasan rasional atas tradisi Homeric,
sedangkan peran penafsiran dan ramalan dalam agama Yunani juga
dipertimbangkan. Aristoteles, dalam "De Interpretatione," menunjukkan
bahwa kata-kata lisan dan tertulis adalah ekspresi pikiran batin.

Dalam hermeneutik bukan hanya metode penafsiran teknis, tetapi


juga suatu aliran pemikiran yang memahami bahwa konteks dan budaya
memainkan peran penting dalam interpretasi. Oleh karena itu, hakim
dapat meraih kebermanfaatan penuh dari hermeneutik hukum ketika
berusaha menafsirkan kontrak.

Hermeneutik, dalam perkembangannya, telah menjadi metode atau


seni yang esensial untuk menafsirkan naskah-naskah sejarah kuno dan
kitab suci. Perkembangannya melalui tradisi pemikiran teologi, terutama
dalam konteks Yudeo-Kristiani pada abad ke-4 atau ke-5 M, memberikan
landasan yang kuat bagi penerapan hermeneutik dalam tradisi pemikiran
teologis Kristen. Pada abad pertengahan, tradisi pemikiran Islam juga
melibatkan hermeneutik, meskipun istilah ini mungkin tidak dikenal
dalam sejarah ilmu keislaman tradisional.

Dalam tradisi Yudeo-Kristiani, hermeneutik digunakan untuk


menafsirkan teks-kitab suci seperti Taurat dan Perjanjian Lama.
Meskipun terdapat perbedaan prinsip hermeneutik antara gereja Katolik
dan Protestan, hermeneutik tetap menjadi bagian integral dari pemikiran
teologis Kristen. Dalam konteks Islam, walaupun istilah hermeneutik
mungkin tidak dikenal, konsep penafsiran (tafsir) Al-Quran telah
diterapkan sejak masa awal kekhalifahan, kira-kira pada abad ke-5 M.

Sebagai contoh penerapan hermeneutik dalam Islam, dapat disorot


peristiwa yang melibatkan Khalifah Umar bin Khattab terkait hukum
pencurian. Meskipun Al-Quran secara tegas mengatur hukuman potong
tangan bagi pencuri, Umar bin Khattab tidak menerapkannya secara
harfiah pada dua hamba sahaya yang mencuri harta tuannya. Umar
mempertimbangkan konteks dan faktor-faktor lain, mengancam sang
tuan dengan hukuman potong tangan jika hamba sahayanya kembali
mencuri, karena sang tuan lah yang membiarkan mereka kelaparan.

Peristiwa tersebut mencerminkan bagaimana tradisi Islam pada masa


awal kekhalifahan menerapkan hermeneutik pada ayat-ayat Al-Quran.
Meskipun ayat-ayat tersebut memiliki ketentuan hukum yang tegas,
penafsiran tidak hanya bersifat harfiah, melainkan disandarkan pada
moral ideal yang tersirat dalam teks, konteks, dan kontekstualisasi. Hal
ini menegaskan bahwa penafsiran dalam perspektif hermeneutik dapat
memberikan kedalaman pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran dalam
konteks kehidupan nyata.

Perkembangan hermeneutik yang dinamis sejak abad ke-17 M


menunjukkan evolusi yang mengagumkan dalam pemahaman dan
penerapannya. Richard Palmer menggambarkan kronologi
perkembangan hermeneutik yang mencakup enam bidang, yang
menandai pergeseran dari teori eksegesis Bibel hingga sistem penafsiran
yang lebih luas.

Pada awalnya, hermeneutik dikaitkan dengan ilmu penafsiran,


terutama dalam konteks eksegesis teks. Namun, definisinya berkembang
seiring waktu menjadi enam bidang, termasuk teori eksegesis Bibel,
metodologi filologi umum, ilmu pemahaman linguistik, fondasi
metodologis geisteswissenschaften, fenomenologi eksistensi dan
pemahaman eksistensial, serta sistem penafsiran.

Hermeneutik sebagai teori eksegesis Bibel muncul pada abad ke-17


M dan berkembang cepat di Jerman, Inggris, dan Amerika. Meskipun St.
Agustinus sebelumnya menunjukkan aspek-aspek hermeneutik dalam
karyanya, konsep ini menjadi lebih sistematis dan mendapatkan
perhatian yang lebih besar.

Pada abad ke-18 M, hermeneutik didefinisikan sebagai metode


filologi yang dipengaruhi oleh filologi klasik. Metode kritis historis dalam
teologi muncul, menekankan bahwa metode penafsiran yang diterapkan
pada Bibel dapat diterapkan pada teks lainnya. Filologi klasik dan tokoh-
tokoh seperti Friedrich August Wolf dan Friedrich Ast memainkan peran
penting dalam perkembangan ini.

Pemahaman linguistik menjadi fokus hermeneutik pada abad ke-19


M, melampaui konsep hermeneutik sebagai kaidah. Hermeneutik
diartikan sebagai ilmu atau seni pemahaman, dengan penafsiran
psikologis untuk mendapatkan pengalaman sang pengarang. Wilhelm
Dilthey memperluas hermeneutik sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-
ilmu humaniora.

Pada abad ke-20 M, hermeneutik berkembang menjadi


fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial melalui pemikiran
Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer. Mereka menjadikan
hermeneutik sebagai eksplorasi filosofis tentang keberadaan manusia.

Kembali ke fokus penafsiran teks, Paul Ricoeur mendefinisikan


hermeneutik sebagai teori aturan penafsiran, khususnya terkait dengan
eksegesis tekstual. Ini mencerminkan evolusi konsep hermeneutik dari
teks kitab suci hingga penafsiran teks secara umum.

Menurut Palmer, definisi hermeneutik yang dibelah menjadi dua


aliran utama: tradisi Schleiermacher dan Dilthey yang melihat
hermeneutik sebagai prinsip-prinsip umum interpretasi, dan pengikut
Heidegger yang melihat hermeneutik sebagai eksplorasi filosofis. Emilio
Betti mewakili tradisi prinsip-prinsip interpretasi, sementara Hans-Georg
Gadamer mengembangkan eksplorasi filosofis dalam karyanya Wahrheit
und Methode.

Dalam hermeneutik hukum, sejarahnya dimulai pada abad ke-16 M


dan berkembang pesat pada abad ke-20 M. Hermeneutik hukum
menekankan pentingnya menggali makna hukum dari perspektif
pengguna dan pencari keadilan. Penggunaan istilah hermeneutik dalam
hukum Islam muncul pada abad ke-20 M melalui karya Hassan Hanafi.
Meskipun diperdebatkan di kalangan intelektual Islam, konsep
hermeneutik semakin berkembang dengan karya-karya Fazlur Rahman,
Mohammed Arkoun, dan lainnya.

Asal usul istilah hermeneutik dapat ditelusuri ke mitologi Yunani,


merujuk pada dewa Hermes, utusan para dewa yang menyampaikan
pesan antara manusia dan dewa. Dalam literatur, hermeneutik memiliki
beragam definisi, mulai dari seni menafsirkan teks hingga teori operasi
pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi teks. Pengertian
lebih luas melibatkan enam pemerian, termasuk teori eksegesis Bibel,
metodologi filologi umum, ilmu pemahaman linguistik, fondasi
metodologis ilmu pengetahuan humaniora, fenomenologi eksistensi
manusia, dan sistem penafsiran.

Dalam hermeneutik hukum, definisinya melibatkan serangkaian


aturan yang diakui sebagai berlaku dalam konstruksi dan interpretasi
tulisan hukum. Tugas hermeneutik, menurut Ricoeur, adalah mengenali
substansi teks atau kenyataan yang diungkapkan oleh teks. Sementara
itu, Francis Lieber menyusun sembilan prinsip dasar penafsiran dalam
kerangka hermeneutik, yang berfungsi sebagai kaidah regulatif untuk
proses penafsiran.

Francis Lieber, dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar penafsiran


atau hermeneutik, memberikan panduan yang relevan untuk
mensistemasikan dan meluruskan praktik penafsiran yang tidak dapat
dihindari. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Satu Makna yang Benar (Prinsip Pertama): Sebuah kalimat atau
susunan kata hanya dapat memiliki satu makna yang benar. Ini
menekankan bahwa kata-kata tidak boleh diambil secara harfiah dan
membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam.
2. Itikad Baik dan Akal Sehat (Prinsip Kedua): Tidak ada penafsiran yang
masuk akal tanpa itikad baik dan akal sehat. Prinsip ini menekankan
pentingnya integritas dan kebijaksanaan dalam proses penafsiran.
3. Maksud Penutur (Prinsip Ketiga): Kata-kata harus diartikan sesuai
dengan yang mungkin dimaksudkan oleh penutur. Ini menekankan
pada pemulihan maksud atau niat penutur dan mengakui kesulitan
dalam mempresentasikannya.
4. Umum dan Superior Mengalahkan Khusus dan Inferior (Prinsip
Keempat): Jika ada lebih dari satu makna untuk suatu kata, maka
makna yang sebenarnya ditentukan berdasarkan objek umum dari kata
tersebut. Umum dan superior tidak dapat dikalahkan oleh khusus dan
inferior.
5. Keutamaan yang Superior (Prinsip Kelima): Jika terjadi pertentangan,
yang superior memiliki keutamaan. Ini memberikan panduan untuk
menentukan makna berdasarkan pada yang lebih tinggi atau superior.
6. Yang Mungkin, Wajar, dan Lazim (Prinsip Keenam): Maksud yang
mungkin, wajar, dan lazim lebih diutamakan daripada yang tidak
mungkin, tidak wajar, dan tidak lazim. Ini menekankan pada penafsiran
yang masuk akal dan sesuai dengan norma-norma umum.
7. Aturan Khusus dari Otoritas yang Berwenang (Prinsip Ketujuh):
Penafsiran harus mengikuti aturan khusus yang diberikan oleh otoritas
yang berwenang. Ini memberikan panduan untuk mengikuti petunjuk
khusus yang diberikan oleh sumber yang berwenang.
8. Bantuan dari yang Lebih Dekat (Prinsip Kedelapan): Dalam penafsiran,
usahakan untuk mendapatkan bantuan dari yang lebih dekat sebelum
melanjutkan kepada yang kurang dekat. Ini menekankan pada
penggunaan informasi yang paling relevan dan terdekat.
9. Penafsiran sebagai Metode (Prinsip Kesembilan): Penafsiran bukanlah
tujuan, melainkan sebuah metode. Oleh karena itu, kondisi superior
dapat ada dan digunakan dalam proses penafsiran.

Prinsip-prinsip ini memberikan pedoman untuk mengatasi


kompleksitas penafsiran, terutama dalam konteks hukum, dan menyoroti
pentingnya itikad baik, akal sehat, dan pertimbangan yang masuk akal
dalam mengartikan teks-teks.

F. Penafsiran Teks

Pasal 1342 BW yang menetapkan bahwa penafsiran kontrak harus


didasarkan pada makna literal dengan menggunakan teks kontrak
sebagai parameter memberikan arahan yang seakan-akan memudahkan
proses interpretasi. Namun, kesulitan muncul ketika konsep "teks
kontrak jelas" menjadi relatif dan tidak memiliki parameter yang tegas.
Pandangan Pitlo yang menyatakan bahwa penafsiran harfiah seringkali
menghasilkan gambaran yang kurang tepat, merinci bahwa kata-kata
hanya mencerminkan tinta di atas kertas, memberikan sudut pandang
yang lebih kaya.

Mahkamah Agung RI melalui putusan tertentu menekankan bahwa


penafsiran kontrak tidak boleh semata-mata didasarkan pada kata-kata
di dalamnya. Putusan tersebut (No. 547 K/ Sip/1969) menunjukkan
bahwa penafsiran kontrak yang hanya mengikuti bunyi huruf-huruf
dalam kontrak dapat menghasilkan ketidakadilan. Posisi ini
mencerminkan pemahaman bahwa konteks, maksud, dan tujuan di balik
kata-kata kontrak juga perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan
interpretasi yang adil.

Tradisi common law, yang terkenal ketat dalam pendekatan


terhadap teks kontrak, juga mengalami pergeseran. Pandangan ini
semakin menerima bukti-bukti ekstrinsik sebagai bagian dari proses
penafsiran kontrak. Pendekatan ini mengakui bahwa teks kontrak tidak
bisa menjadi satu-satunya pegangan untuk menentukan isi suatu
kontrak. Seiring dengan perubahan ini, interpretasi kontrak tidak hanya
terpaku pada kata-kata tertulis, tetapi juga memperhitungkan konteks
keseluruhan, niat para pihak, dan tujuan kontrak.
Dengan demikian, interpretasi kontrak yang adil dan efektif
memerlukan lebih dari sekadar menelusuri kata-kata harfiah. Pengertian
mendalam terhadap konteks, maksud, dan tujuan kontrak menjadi
krusial untuk menghindari ketidakadilan dan menyelaraskan interpretasi
dengan prinsip-prinsip keadilan.

Emanuel mengemukakan pendekatan hakim dalam menilai


eksistensi ambiguitas dalam suatu kontrak. Menurutnya terdapat tiga
pendekatan utama, yaitu: “First, The “four corners” rule, is the most
stringent of the three. Under this approach, when the judge decides
whether the term is ambiguous, the judge may not consult any extrinsic
evidence whatsoever. That is, the existence of ambiguity is to be
determined solely by looking within the “four corners” of the contract
itself. Thus not only will the court not consider evidence about the
parties’ negotiations, it will not even consider evidence about the context
surrounding the making of the agreement. This hyper-strict rule is
followed by relatively few courts. Second, The “plain meaning” rule, is in
the middle of the three approaches in terms of strictness. The most
significant aspect of the plain meaning rule is that when the court goes
to decide whether a term used in the agreement is ambiguous, the court
will not hear evidence about the parties’ preliminary negotiations,
(However, the court will hear evidence about the circumstances, or
“context” surrounding the making of the agreement). And third, The
“liberal” rule. Under the liberal view, evidence of the parties’ statements
during their pre-contract negotiations is admissible for the limited
purpose of letting the trial judge determine whether the term is
ambiguous”.

Pendekatan-pendekatan di atas menggambarkan bagaimana hakim


tidak lagi keras dalam menilai teks suatu kontrak. Hakim tidak lagi hanya
bersandar pada dokumen kontrak semata ( four corners), tetapi lebih
memilih untuk menyelidiki aspek konteks suatu kontrak melalui bukti-
bukti ekstrinsik.

G. Penafsiran Konteks
Proses interpretasi kontrak tidak hanya terbatas pada
pemahaman harfiah kata-kata, tetapi melibatkan tahap selanjutnya yang
krusial, yaitu kontekstualisasi. Menurut Catherine Mitchell, dalam
kontrak, interpretasi kontekstual biasanya merupakan proses
menetapkan makna kontekstual dari kata-kata dalam teks. Hal ini
menunjukkan bahwa penafsiran kontrak tidak dapat dipisahkan dari
lingkungan hukum dan fakta-fakta pada saat kontrak dibentuk.

Pada tahap kontekstualisasi, penafsiran kontrak didasarkan pada


sejumlah faktor hukum yang diatur dalam Pasal-pasal Buku Kedua Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (BW). Faktor-faktor ini
melibatkan pertimbangan tentang maksud para pihak, sifat kontrak,
kebiasaan setempat, isi keseluruhan kontrak, dan hal-hal yang nyata-
nyata dimaksudkan. Ini mencerminkan upaya hukum untuk memahami
kontrak dalam konteks perjanjian yang lebih luas.

Dalam tradisi common law, Ewan McKendrick menyoroti


pendekatan yang menekankan pada makna kontekstual bahasa kontrak,
bukan hanya pada niat aktual pihak. Terdapat fokus pada makna yang
dinyatakan daripada niat aktual, dan pendekatan ini telah diterima tanpa
kesulitan yang berarti oleh para hakim.

Pentingnya pelaksanaan kontrak juga diakui dalam interpretasi


hukum. Setelah memahami isi kontrak dalam aspek konteks, langkah
berikutnya adalah menentukan isi kontrak berdasarkan fakta-fakta
hukum pada saat pelaksanaan (kontekstualisasi). Isnaeni menyoroti
bahwa perubahan ekonomi yang cepat dapat memengaruhi pelaksanaan
kontrak. Dalam konteks ini, pasal-pasal BW memberikan panduan
tentang penafsiran ekstensif dan teleologis atau sosiologis, dan
mempertimbangkan probabilitas pelaksanaan kontrak serta hal-hal yang
tidak dinyatakan.

Pemahaman terhadap aspek kontekstualisasi menjadi sangat


penting, terutama ketika kontrak dihadapkan pada perubahan ekonomi
yang signifikan. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih
fleksibel dalam pelaksanaan kontrak, dengan mempertimbangkan
perubahan kontekstual dan menghindari ketidakadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Baird, Douglas G., and Anthony J. Casey. "Piercing the corporate veil."
University of Chicago Law Review (2011): 1-62.

Warren, Elizabeth. "Bankruptcy policy." University of Illinois Law Review


(2007): 1105-1113.

Westbrook, Jay Lawrence. "The social dynamics of creditor-debtor relations:


Bankruptcy and the transformation of cultural forms." Michigan Law
Review (1997): 710-781.

Subekti, R. (2003). Hukum Perjanjian. Penerbit Pradnya Paramita.

Anwar, R. (2009). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Komentar atas


Pasal demi Pasal. Penerbit Erlangga.

Widjaja, Y. I. N. (2018). Perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang


menanggung hutang dalam kredit pemilikan rumah dan kredit investasi
di Bank Mandiri. Lex Jurnalica: Jurnal Ilmiah Hukum, 14(2), 192-206.

Santoso, F. (2012). Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang (PKPU). Penerbit Ghalia Indonesia.

Veritas, A. (2017). Actio Pauliana Dalam Undang-Undang Kepailitan Tentang


Perlindungan Hukum Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Bank. Jurnal
Ilmiah Hukum: Harmoni, 16(3), 304-316.

Soedira, I. G. N. (2008). Hukum Kepailitan di Indonesia. Citra Aditya Bakti.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 37


Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 37


Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.

Santoso, F. (2012). Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang (PKPU). Penerbit Ghalia Indonesia.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 37


Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
Santoso, F. (2012). Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU). Penerbit Ghalia Indonesia.

Butarbutar, T. (2016). Pembuktian dalam Persidangan Perdata. Citra Aditya


Bakti.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang.

Eastman, W. F. (2019). Asset Protection: Concepts and Strategies for


Protecting Your Wealth. CRC Press.

Pico, A. (2018). Clawback Actions in Bankruptcy: An Overview of the Eroding


Line Between Legitimate Planning and Fraud. Commercial Law Journal,
123(4), 386-406.

Elizabethan Statute (13 Elizabeth, c. 5) - Statute of Fraudulent Conveyances.


Retrieved from https://www.legislation.gov.uk/aep/Eliz/13/5.

United States Bankruptcy Code, Pub. L. No. 95-598, 92 Stat. 2549 (1978).

Warren, E., & Westbrook, J. L. (2000). The law of debtors and creditors: Text,
cases, and problems. Aspen.

F. Sudargo, "Hukum Keperdataan Indonesia," Sinar Grafika, 2008.

M. Yahya, "Kumpulan Karangan Ilmiah Hukum: Pilihan Tindakan Pauliana


Sebagai Perlindungan Hukum Kreditor dalam Penyelesaian Sengketa
Perdata," PT Citra Aditya Bakti, 2000.

Andrew Kull, "Fraudulent Conveyances and Preferences," Harvard Law


Review, Vol. 47, No. 4, 1934.

Grant S. Nelson, Dale A. Whitman, and Ann M. Burkhart, "Real Estate


Transfer, Finance, and Development: Cases and Materials," West
Academic, 2013.

Kenneth N. Klee and Whitman L. Holt, "Bankruptcy and the Supreme Court: A
Century of Adjudication," The American Bankruptcy Law Journal, Vol. 74,
No. 1, 2000.

David G. Epstein, Steve H. Nickles, and James J. White, "Bankruptcy: Dealing


with Financial Failure for Individuals and Businesses," West Academic,
2017.
Kenneth N. Klee and Whitman L. Holt, "Bankruptcy and the Supreme Court: A
Century of Adjudication," The American Bankruptcy Law Journal, Vol. 74,
No. 1, 2000.

David G. Epstein, Steve H. Nickles, and James J. White, "Bankruptcy: Dealing


with Financial Failure for Individuals and Businesses," West Academic,
2017.

Italian Insolvency Law (Undang-Undang Kepailitan Italia) - Law Decree No.


35, 14 Maret 2005, diubah menjadi Law 80 pada 14 Mei 2005.

Warren, E., & Westbrook, J. L. (2000). The law of debtors and creditors: Text,
cases, and problems. Aspen.

Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji. (2009). Penjelasan Hukum Perdata dan
Perjanjian. Rineka Cipta.

Peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang.

Santoso, A. H. (2019). Actio Pauliana dalam Sengketa Kepailitan. Jurnal


Hukum & Pembangunan, 49(2), 301-312.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang.

Santoso, A. H. (2019). Actio Pauliana dalam Sengketa Kepailitan. Jurnal


Hukum & Pembangunan, 49(2), 301-312.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, "Pokok-Pokok Perdata," Jakarta: UI-


Press, 2005.

Fauzi, Iqbal. (2018). Hukum Pembuktian. Bandung: Citra Aditya Bakti.

T. Yamashita, "Understanding Tort Law," Springer, 2019.

J. Atiyah, "The Damages Lottery," Hart Publishing, 1997.


John C.P. Goldberg, Anthony J. Sebok, Benjamin C. Zipursky, "Tort Law:
Responsibilities and Redress," Wolters Kluwer Law & Business, 2018.

Frederick Pollock, "A Digest of the Law of Torts," BiblioBazaar, 2008.

Simonsen, F., & Moeljatno. (2007). Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Sinar
Grafika.

Ananda Budi Hardiman. (2013). Hukum Acara Perdata Indonesia. Sinar


Grafika.

Widyantoro, H., & Susanty, A. (2018). "Perlindungan Hukum Bagi Kreditur


Dalam Kaitan Dengan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Undang-
Undang Kepailitan Dan PKPU," Jurnal Hukum Resmi, 28(2).

Sudargo, F. (2008). "Hukum Keperdataan Indonesia," Sinar Grafika.

Wiratraman, A. (2008). "Pembatalan Perbuatan Melawan Hukum dalam


Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata." Alumni.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, "Penelitian Hukum Normatif: Suatu


Tinjauan Singkat," PT RajaGrafindo Persada, 2015.

Mochtar Kusumaatmadja, "Pengantar Ilmu Hukum," Sinar Grafika, 2005.

Sunaryati Hartono, "Hukum Acara Perdata Indonesia," Pustaka Yustisis, 2008.

Sudikno Mertokusumo, "Hukum Acara Perdata Indonesia," Liberty, 1996.

Santoso, D. (2016). "Hukum Perikatan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan di


Indonesia." Pustaka Yustisis.

Subekti, R. (2008). "Pokok-Pokok Hukum Perdata." Intermasa.

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2013). "Hukum Perjanjian." Djambatan.

Subekti, R. (2008). "Pokok-Pokok Hukum Perdata." Intermasa.

Subekti, R. (2013). "Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang." Pradnya Paramita.

Sudikno Mertokusumo, "Hukum Acara Perdata Indonesia," Liberty, 1996.

Subekti, R. (2013). "Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang." Pradnya Paramita.
Sudikno Mertokusumo, "Hukum Acara Perdata Indonesia," Liberty, 1996.

Santoso, D. (2016). "Hukum Perikatan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan di


Indonesia." Pustaka Yustisis.

Sudikno Mertokusumo, "Hukum Acara Perdata Indonesia," Liberty, 1996.

Santoso, D. (2016). "Hukum Perikatan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan di


Indonesia." Pustaka Yustisis.

Sudikno Mertokusumo, "Hukum Acara Perdata Indonesia," Liberty, 1996.

Subekti, R. (2013). "Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang." Pradnya Paramita.

Hadikusumo, S. (2010). "Hukum Perusahaan." Sinar Grafika.

Putusan Nomor 07/PDT.SUS-ACTIO PAULIANA/2015/PN.NIAGA.MDN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Mertokusumo, Sudikno. (2013). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:


Liberty.

Legal Norms in the Context of Contemporary Legal Realism: A Comparative


Study. IS Adams - Emory LJ, 1974.

Putusan Nomor 07/PDT.SUS-ACTIO PAULIANA/2015/PN.NIAGA.MDN

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang

Putusan Nomor 07/PDT.SUS-ACTIO PAULIANA/2015/PN.NIAGA.MDN

Santoso, D. (2016). "Hukum Perikatan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan di


Indonesia." Pustaka Yustisis.

Subekti, R. (2013). "Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang." Pradnya Paramita.

Subekti, R. (2015). Hukum Perdata: Perjanjian, Kewarisan, Benda, dan


Tanggungan. Penerbit Erlangga.

Asshiddiqie, J. (2017). Hukum Perjanjian. Sinar Grafika.

Soerjono Soekanto. (2016). Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. RajaGrafindo


Persada.
Mertokusumo, S. (2009). Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty.

Timur Susanto. (2014). Hukum Perusahaan. PT RajaGrafindo Persada.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Sudikno Mertokusumo. (2009). Hukum Perjanjian. Liberty.

Wirjono Prodjodikoro. (2010). Hukum Kehutanan Indonesia. Kencana Prenada


Media Group.

Santoso, D. (2016). "Hukum Perikatan: Pokok-Pokok Hukum Perikatan di


Indonesia." Pustaka Yustisis.

Subekti, R. (2013). "Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang." Pradnya Paramita.

Soerjono Soekanto. (2010). "Pokok-Pokok Sosiologi Hukum." Rajawali Pers.

Moeljatno. (2018). "Hukum Acara Perdata." Kencana Prenada Media Group

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang.

Subekti, R. (2008). "Hukum Perjanjian." Intermasa.

Wirjono, H. (2015). "Hukum Kepailitan Indonesia." Kencana.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang.

Subekti, R. (2008). "Hukum Perjanjian." Intermasa.

Priyatna, A. (2015). "Komentar Atas Undang-Undang Kepailitan." Rajawali


Pers.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Subekti, R. (2008). "Hukum Perjanjian." Intermasa.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Sudargo, A. (2017). "Hukum Perikatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata." Rajawali Press.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 02/PDT.SUS-ACTIO
PAULIANA/2014/PN.NIAGA.JKT.PST

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 24/PDT.SUS.GLL-ACTIO


PAULIANA/2018/PN.NIAGA.JKT.PST

Putusan Pengadilan terkait Actio Pauliana dalam konteks hukum kepailitan.

Altman, E. I. (2013). Corporate Financial Distress and Bankruptcy: Predict and


Avoid Bankruptcy, Analyze and Invest in Distressed Debt. John Wiley &
Sons.

Franks, J., & Torous, W. (1989). An empirical investigation of U.S. firms in


reorganization. The Journal of Finance, 44(3), 747-767.

Frassetto, T. (2011). Banking Secrecy and Offshore Financial Centers: Legal


and Economic Analysis. Springer Science & Business Media.

Sundararajan, V., & Errico, L. (2002). In the Wake of the Crisis: Leading
Economists Reassess Economic Policy. International Monetary Fund.

Hertig, G. (2009). Overcoming Informational and Incentive Problems in


Financial Regulation: Theory and Applications. European Business
Organization Law Review, 10(1), 53-121.

Sulistyowati, I. (2019). Pemberian Hak Kuasa dan Tanggung Jawab Kurator


dalam Perkara Kepailitan. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 12(1), 83-102.

Respati, W. (2018). Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Kurator Dalam


Penanganan Perkara Kepailitan di Indonesia. Yudisial, 11(1), 109-128.

Santoso, B. I. (2014). Pembatalan Perbuatan Hukum Melalui Gugatan Actio


Pauliana. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 44(2), 234-250.

Soemitro, R. (2011). Hukum Perdata: Suatu Pengantar. Djambatan.

Sudikno, M. (2005). Hukum Perjanjian. PT Alumni.

Sudargo, Y. (2018). Tinjauan Yuridis Penggunaan Hak Pembatalan (Actio


Pauliana) dalam Transaksi Jual Beli dengan Kreditur yang Merugikan.
Mimbar Hukum, 30(1), 1-16.

Sudargo, Y. (2018). Tinjauan Yuridis Penggunaan Hak Pembatalan (Actio


Pauliana) dalam Transaksi Jual Beli dengan Kreditur yang Merugikan.
Mimbar Hukum, 30(1), 1-16.
Santoso, B. I. (2014). Pembatalan Perbuatan Hukum Melalui Gugatan Actio
Pauliana. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 44(2), 234-250.

Sudargo, Y. (2017). Pembatalan Perjanjian oleh Pengadilan. Mandar Maju.

Sudikno, M. (2005). Hukum Perjanjian. PT Alumni.

Santoso, B. I. (2014). Pembatalan Perbuatan Hukum Melalui Gugatan Actio


Pauliana. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 44(2), 234-250.

Sudargo, Y. (2018). Tinjauan Yuridis Penggunaan Hak Pembatalan (Actio


Pauliana) dalam Transaksi Jual Beli dengan Kreditur yang Merugikan.
Mimbar Hukum, 30(1), 1-16.

Utama, S. H. (2016). Upaya Hukum Kreditur pada Perbuatan Melawan Hukum


dalam Kepailitan. Jurnal Media Hukum, 25(1), 82-102.

Kusumaningrum, D. A. (2016). Perlindungan Hukum Terhadap Kepentingan


Kreditor dalam Proses Penanganan Kepailitan. Jurnal Dinamika Hukum,
16(2), 249-265.

Posner, R. A. (2003). Economic Analysis of Law. Aspen Publishers.

Atiyah, P. S. (1986). Essays on Contract. Oxford University Press.

Treitel, G. H. (2003). The Law of Contract. Sweet & Maxwell.

Fridman, G. H. L. (2005). The Law of Contract in Canada. Thomson Carswell.

Farnsworth, E. A. (2004). Contracts. Aspen Publishers.

Burrows, A. S., & Peel, E. (2014). Contract Formation and Parties. In A. S.


Burrows, E. Peel, & E. McKendrick (Eds.), Cases and Materials on
Contract Law in Australia (6th ed.). Oxford University Press.

Treitel, G. H. (2003). The Law of Contract. Sweet & Maxwell.

McKendrick, E. (2017). Contract Law: Text, Cases, and Materials. Oxford


University Press.

Farnsworth, E. A. (2004). Contracts. Aspen Publishers.

Kusumaatmadja, M. (2006). Hukum Perikatan di Indonesia. Sinar Grafika.

Kantaatmadja, M. K. (1992). Tanggung Jawab dan Pembebasan dari


Tanggung Jawab Dalam Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti.
Beteille, R. (2004). Force Majeure and Frustration of Contract. Oxford
University Press.

Subekti, H. (2011). Hukum Perjanjian. Intermasa.

Santoso, I. (2016). Dasar-Dasar Hukum Kontrak di Indonesia. Sinar Grafika.

Posner, R. A. (2003). Economic Analysis of Law. Aspen Publishers.

Treitel, G. H. (2003). The Law of Contract. Sweet & Maxwell.

McKendrick, E. (2017). Contract Law: Text, Cases, and Materials. Oxford


University Press.

Posner, R. A. (2003). Economic Analysis of Law. Aspen Publishers.

Treitel, G. H. (2003). The Law of Contract. Sweet & Maxwell.

Bussani, M., & Palmer, V. (2010). The Common European Sales Law in
Context: Interactions with English and German Law. Cambridge
University Press.

Kusumaatmadja, M. (2006). Hukum Perikatan di Indonesia. Sinar Grafika.

Farnsworth, E. A. (2004). Contracts. Aspen Publishers.

Syahrani, R. (2017). Hukum Perikatan di Indonesia. PT Citra Aditya Bakti.

KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) Indonesia.

Santoso, I. (2016). Dasar-Dasar Hukum Kontrak di Indonesia. Sinar Grafika.

Posner, R. A. (2003). Economic Analysis of Law. Aspen Publishers.

KUH Perdata Indonesia.

Treitel, G. H. (2003). The Law of Contract. Sweet & Maxwell.

Keputusan SEMA No 3 Tahun 1963.

Bix, Brian. (1999). "Teori Hukum Perikatan Modern." Cambridge University


Press.

Fried, Charles. (1981). "Kontraktualisme dan Kewajiban Kontraktual." Harvard


University Press.

Van Maanen, F. S., & Van Gerven, W. J. H. (2009). "Contract Law in the
Netherlands." Kluwer Law International.
Verheij, A. A. G. (2005). "Overmacht, Onvoorziene Omstandigheden en
Onderwijsrecht." Tijdschrift Voor Onderwijsrecht En Onderwijsbeleid,
167-176.

Kusumadi. (2016). "Hukum Perikatan di Indonesia." Rajawali Press.

Huala Adolf. (2007). "Pokok-pokok Hukum Perdata." Pradnya Paramita.

R. Subekti. (1984). "Kitab Undang-Undang Hukum Perdata." Intermasa.

Atiyah, P. S. (1986). "An Introduction to the Law of Contract." Clarendon


Press.

Koutsoubas, G., & Polyzogopoulos, A. (2019). "Contract Law and the Law of
Obligations." Springer.

Treitel, G. H. (2003). "The Law of Contract" (11th ed.). Sweet & Maxwell.

Beatson, J., Burrows, A., & Cartwright, P. (2010). "Anson's Law of Contract"
(29th ed.). Oxford University Press.

Titik Triwulan. "Asas-Asas Hukum Perdata". Mandar Maju, 2015.

Soesilo, D. (2010). "Hukum Perdata". Raja Grafindo Persada.

Subekti, R. (2008). "Hukum Perikatan". Intermasa.

Buku Putih Hukum Perdata oleh Yudhi Widjaja.

Santoso, A. (2020). "Force Majeure dalam Perspektif Keadilan Kontraktual dan


Pandemi COVID-19." Jurnal Hukum Novelty, 1(1), 87-107.

Black, H.C. (1990). Black's Law Dictionary. West Publishing Co.

Keenan, D. J., & Riches, S. (2007). Keenan and Riches' Business Law. Pearson
Education.

Williams, G. (2001). Learning the Law. Sweet & Maxwell.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method. Bloomsbury Academic.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of


Meaning. Texas Christian University Press.

Schleiermacher, F. (1977). Hermeneutics and Criticism: And Other Writings.


Cambridge University Press.
Dilthey, W. (1989). Introduction to the Human Sciences. Princeton University
Press.

Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher,


Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Northwestern University Press.

Betti, E. (1991). Teoria generale dell'interpretazione. Il Mulino.

Gadamer, H. G. (1960). Truth and Method. Seabury Press.

Hanafi, H. (1977). Hermeneutics as Axiomatics: an Islamic Model. Religious


Dialog and Revolution.

Rahman, F. (1980). Major Themes of the Qur’an. University of Chicago Press.

Arkoun, M. (1982). Lecture du Coran. Maisonneuve & Larose.

Black's Law Dictionary (9th ed.). (2009). West Publishing Co.

Ricoeur, P. (1970). De l’interprétation. Éditions du Seuil.

Lieber, F. (1839). Legal and Political Hermeneutics, or Principles of


Interpretation and Construction in Law and Politics. Little and Brown.

Farr, J. (1869). Legal Maxims: With Observations and Cases. George W.


Childs.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 547 K/ Sip/1969 tanggal 6


Juni 1970.

Pitlo, A. H. (1983). Pitlo's Law of Contract in Indonesia. Arsip Hukum.

Stone, R. D. (2015). The Modern Law of Contract. Routledge.

Mitchell, C. (1997). An Introduction to the Law of Contract. Sweet & Maxwell.

McKendrick, E. (2015). Contract Law: Text, Cases, and Materials. Oxford


University Press.

Isnaeni. (2012). Hermeneutika Hukum. RajaGrafindo Persada.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (BW).

-------------------------------, Hukum Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 1993.

---------, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1994.

---------------, The Law of Contract, Clarendon Press, London, 1983.

_________ Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 1978.


_________, Hukum Pembuktian, PT. Pradya Paramita,Jakarta, 1991.

_________, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan


Notaris, Bentuk dan Minuta Akta), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2015.

__________, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan


Nasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun.

__________,Liliana, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang,


2003.

___________, Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang Kenotariatan, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 1998.

___________, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,


Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung,
2005.

___________, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai


Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2007.

_____________,Pembahasan,Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi


Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)

______________, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,


Alumni, Bandung, 1991

______________, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai


Pejabat Publik, Bandung:Refika Aditama, 2008.

______________,Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika,
2004.

_______________, Sekilas Tentang Jual Beli Hak Atas Tanah (Berikut


PeraturanPeraturannya), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1989.

_______Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermassa, 2005)

_______Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1975)

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.


Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah
dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum di Indonesia, PT.Citra Aditia Bakti, Bandung, 1994

Abdurrahman, Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum,UMM Press,


Malang, 2009.

Achmad , Yulianto dan Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Achmad Ihsan, Hukum Perdata I B, Pembimbing Masa, Djakarta, 1969.

Adjie, Habib dan Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam


Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, 2011.

Adjie, Habib, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai


Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008.

Adjie, Habieb, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2009.

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. Jakarta:
Rajawali Pers, 1999.

Ahsin, W.Alhafidz, Kamus Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2013)

Al Rashid, Harun, Sekilas tentang Jual Beli tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1987.

Al Rasyid , Harun, Sekilas Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan – Peraturannya)


Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram min Adilatul Ahkam, diterjemahkan


Harun Zen dan Zenal Mutaqin, (Bandung: Jabal, 2011)

Ali, AM Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana,

Ali, ChaidirdanH. Mashudi, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian


Perdata,Mandar Maju,Bandung, 2001.

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada,1990)

Al-Munawar, Said Aqil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: PT.
Penamadani, 2005)
Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2006)

Anagora, Pandji, Manajemen bisnis, cet.3, (Jakarta: PT. Rineka cipta, 2004)

Anonim, Force Majeure in Troubled Times: The Example of Libya , Jones Day
Publication, Houston, 2011.

Anshori, Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press,


Yogyakarta, 2009.

Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,


2007)

Arfiana Novera, Meria Utama, Dasar-Dasar Hukum Kontrak dan Arbitrase,


Tunggal Mandiri, Malang, 2014.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,(Ed.)


Cet.4 (Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 1998)

Ascarya, Akad dan Produk Bank syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2015)

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah,


(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001)

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

Atiyah, P. S. An Introduction To The Law Of Contract , Third Edition, Claderon


Press, Oxford, 1981.

Badrulzaman, Mariam Darus dkk, Kompilasi Hukum Perikatan,Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, ANDI, Yogyakarta, 2005.

Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni,


Bandung, 1983

Bahsan, M, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja.


GrafindoPersada, Jakarta, 2008.

Bayu Seto Hardjowahono (Ketua Tim), Naskah Akademik Rancangan Undang


Undang Hukum Kontrak, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum Dan Ham RI, 2013.
Brownsword, Roger, Contract Law (themes for the twenty-first century) ,
Oxford University Press, Oxford, 2006.

Budiono, Herlien, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013.
Bungin, Burhan, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis
dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003.

C,F,G. Sunaryati Hartono, Mentjari Bentuk dan Sistim Hukum Perdjanjian


Nasional Kita, Alumni, Bandung, 1969.

Cholid Narbuko dan Achmadi Abu, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, Cetakan 12, 2012,)

Darmawi, Herman, Manajemen Asuransi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)

David, Rene, and John. E.C. Brierley: Major Legal Systems in the World
Today, Second Edition, Stevens & Sons, London, 1978.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-karim Dan Terjemahnya, (Bandung:


Diponegoro 2001)

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat


Bahasa,edisi ke 4, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama 2011)

Dewi, Gemala, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,

Djumialdji, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Mandar Maju, Jakarta,


1995.

Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan (Legal


Protection For The Victim of Land Cases), Pustaka Bangsa Press, Medan,
2003.

Elly Erawati, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan


Perjanjian, Nasional Legal Reform Program-Gramedia, Jakarta, 2010.

Friedman, Lawrence M., Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tata Nusa,


Jakarta, 2001

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra
Aditya Bakti,Bandung, 2007.

Grafindo Persada, 2003)


H.S, Salim, dkk,Perancangan Perjanjian dan Memorandum Of Understanding,
SinarGrafika,Jakarta, 2008.

Hadi, Mudofir, Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim, Varia
Peradilan Tahun VI Nomor 72,1991.

Hadi, Sutrisno , Metode Reseach, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987).

Hakim, Lukman, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2012)

Hamzah, Andi, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1986

Harahap, M.Yahya, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai


Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Harahap, M.Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian,PT. Alumni


Bandung,Bandung, 1986.

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law , Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1996.

Haroen, Nasrun, Fiqh muamalah , (Jakarta: Gaya media Pratama, 2000)

Hartono Soerjopratiknjo, Aneka Perjanjian Jual Beli Cetakan 1, Seksi Notariat


FH UGM, Yogyakarta, 1982.

Hartono, B. F. G. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad


Ke-20, Alumni, Bandung, 1994

Hartono, Sri Rejeki. “Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan


Modern.” Jurnal Hukum Bisnis, Volume VII, (1999)

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-


20,Alumni, Bandung,1994.

Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda


Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas
Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1996.

Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja

HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara,RajaGrafindo Persada, Jakarta,


2008.

Ibrahim, Jhony, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia


Publishing, Malang, 2005
Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum
Normatif,Bayumedia,Jakarta, 2007.

Ja’far, Khumedi, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Pusat Penelitian dan


Penerbitan IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2015

Jajuli, Sulaiman, Kepastian Hukum Gadai Tanah Dalam Islam, Deepublish,


Yogyakarta, 2015.
Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang
Didambakan, Alumni, Bandung, 2006.

Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: IIIT Islam, 2002)

Kato, Alaiddin, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013)

Kelsen, Hans Teori Hukum Murni dengan judul buku asli “General Theory of
Law and State”, alih bahasa Somardi, Rumidi Pers, Jakarta, 2001.

Kie, Tan Thong, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 1994

Kohar, A, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni,Bandung, 1993.

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan


(Kumpulan Karya Tulis) Penerbit Alumni, Bandung, 2002.

Kusumawati, Lanny, Tanggung jawab Jabatan Notaris, Refika Aditama,


Bandung, 2006.

Kusumohamidjojo, Budiono, Panduan untuk Merancang Kontrak,PT. Grasindo,


Jakarta, 2001.

Lumban Tobing , G. H. S., Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan V, Gelora


Aksara Pratama, Jakarta, 1999.

Lumban Tobing,G.H.S, Peraturan Jabatan Notaris,Erlangga, Jakarta, 1983.

Mahfud, Moh Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia,UII Press,


Yogyakarta, 1993.

Mamudji, Sri dan Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Mantayborbir, Hukum Perbankan dan Sistem hukum Piutang dan Lelang


Negara, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006.
Mardani, Ayat-Ayat dan Hadits Ekonomi Syariah, Ed.1-3, (Jakarta: Rajawali
Press, 2014)

Marsh and J. Soulsby, Hukum Perjanjian, alih bahasa oleh Abdulkadir


Muhammad. (Bandung : PT. Alumni, 2006)

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media


Group, Jakarta, 2008.

Mashudi, H dan Chaidir Ali, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum


Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2001.

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta:


LP3ES, 1989)

Merryman, J.H., The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Systems
of Western Europe and Latin America, Stanford University Press,
Stanford, 1985.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty


Yogyakarta, Yogyakarta, 1999.

Mertokusumo,Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Lyberti, Yogyakarta,


1981.

Moch, Chidir Ali, dkk, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian


Perdata, Mandar Maju, Bandung, 1993.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif.Remaja Rosdakarya,


Bandung, 2006.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia,Citra Aditya Bakti,


Bandung, 1990.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti, 2014)

Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) , Alumni,
Bandung, 2003.

Naja,HR. Daeng, Contract Drafting,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung, 2006.

Nugroho, Heru, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa,Pustaka


Pelajar,Yogyakarta, 2001.
Patrik, Purwahid, Hukum Perdata I (Asas-Asas Hukum Perikatan), Jurusan
Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
1986

Perangin, Effendi, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Rajawali Pers,


Jakarta, 1978.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009.

Prodjodikoro, R. Wirjono, Perbuatan Melanggar Hukum dipandang dari sudut


hukum perdata, Mandar Maju, Bandung, 2000.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa ,


Nasional Legal Reform Program-Gramedia, Jakarta, 2010.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata , Bandung:


Alumni, 2006.

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, dalam Hukum Perikatan (Law of


Obligations), diterbitkan oleh Pustaka Larasan Denpasar atas kerjasama
antara Universitas Indonesia, Universitas Leiden dan Universitas
Groningen, 2012.

Rustam, Bambang Rianto, Manajemen Risiko Perbakan Syaiah di Indonesa,


(Jakata: Salemba Empat, 2013)

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan Abdurrahman dan Haris


Abdullah, (Semarang: Asy-Syifa, 1990)

Sabbiq, Sayyid, Fiqh Sunnah 12, alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki,
(Bandung: Alma’arif, 1988)

Salim, Abas, Asuransi dan Manajemen Risiko, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005)

Salim, Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata Comparative


Civil Law, Rajawali Pers, Jakarta, 2014.

Setiawan, R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1979.

Shahatah Husein dan Siddiq Muhammad, Transaksi dan Etika Bisnis dalam
Islam, (Jakarta: Visi Insani, 2005)
Silalahi, Ferdinand, Manajemen Risiko Dan Asuransi, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1997)

Simanjuntak, Ricardo, Teknik Perancangan Perjanjian Bisnis,Kontan


Publishing, Jakarta, 2011.

Simanunsong Simanunsong dan Elsi Kartika Sari, Hukum dalam Ekonomi,


(Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008)

Siregar, Tampil Anshari ,Metodologi Penelitian Hukum, Medan Grafika, Medan,


2004.

Sjahdeini, Sutan Remi Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang


Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,
Institut Bankir Indonesia,Jakarta, 1993.

Sjahdeni. Sutan Remy. Hukum Kepailitan – Memahami


Faillissementsverordening juncto Undang- Undang No. 4 tahun 1998 .
Jakarta : Pusataka Utama Grafiti, 2002.

Soegondo, R. Hukum Notariat di Indonesia, CV. Rajawali,Jakarta, 1982.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Soemitro, Ronny Hanitijo Metodologi Penelitian Hukum dan


Jurimetri,GhaliaIndonesia,Jakarta, 1990.

Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Hak atas Tanah di Indonesia, Arkola,


Surabaya, 2003.

Sofwan, S.S. Masjchoen. Hukum Perdata: Hukum Perutangan, bag 8 .


Jogyakarta: Liberty, 2006.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum perutangan Bag A,FH UGM,


Yogyakarta, 1980.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta:PT


Balai Pustaka, 2014)

Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995)

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987.

Subekti, R, Aneka Perjanjian,Intermasa, Bandung, 1995.


Sudargo Gautama, An Introduction to Indonesian Law , Alumni, Bandung,
1983.

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999)

Suharnoko, Hukum Kontrak Dalam Perspektif Komparatif , dalam Hukum


Perikatan (Law of Obligations), diterbitkan oleh Pustaka Larasan
Denpasar atas kerjasama antara Universitas Indonesia, Universitas
Leiden dan Universitas Groningen, 2012.

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana,Jakarta, 2004

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)

Sulistianingsih, Dewi, Hukum Perikatan, Fakultas Ilmu Sosial Universitas


Negeri Semarang, Semarang, 2007.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum,PT.Raja Grafindo


Persada,Jakarta, 2010.

Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik,Rineka Cipta, Jakarta,


2003.

Suryabrata, Samadi, Metodologi Penelitian,Raja Grafindo Persada, Jakarta,


1998.

Susiadi AS, Metodologi Penelitian, Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Raden
Intan Lampung, Bandar Lampung, 2014.

Syafei, Rachmat, Fiqih Muamalah, cet.7 (Bandung: CV.Pustaka Setia,2001)

Syafi’i, Imam, Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan kitab Al-Umm,
penerjemah Imron Rosadi, Amiruddin dan Imam Awaluddin, jilid 2,
(Jakarta: Pustaka Azzam 2013)

Syafrudin,Ateng, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih


dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas
Parahyangan, Bandung, 2000.

Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Cet. Ketiga, (Jakarta: Bumi
Askara, 1999)

Syahmin, Hukum Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010)


Tanya, Bernard L, dkk, Teori Hukum,Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Taryana Sunandar, Prinsip Prinsip Unidroit Sebagai Sumber Hukum Kontrak


Dan Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Tedjosapatro, Liliana, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, CV Agung,


Semarang,1991.

Tirtodiningrat, Ichtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Pembangunan,


Djakarta, 1966.

Ujan, Andre Ata, Filsafat Hukum-Membangun Hukum, Membela Keadilan,


Kanisius,Yogyakarta, 2009.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Wahbah, Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillathuhu, jilid V, Penerjemah: Abdul


Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2011)

Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,
PT.GrafindoPersada, Jakarta, 2004.

Widjanarko. “Dampak Implementasi Undang-Undang Kepailitan Terhadap


Sektor Perbankan.” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. VIII (1999)

Ya’kub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung : CV.


Diponegoro, 1984),

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Jaminan Fidusia,PT. Grafindo Persada,


Jakarta, 2001.

Yiihassarie, Emmy (eds.). Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan


Hukum. Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum, 2004.

Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa Arab Indonesia,( Jakarta: PT. Hidakarya


Agung, 1990)

Bishoff, Thomas S. and Jeffrey R. Miller, Force Majeure and Commercial


Impractiability: Issues to Consider Before the Next Hurricane or Matural
Disaster Hits, The Michigan Business Law Journal, Volume 1, Issue 1,
Spring 2009.

Erie Hariyanto, Burgelijk Wetboek (Menelusuri Sejarah Hukum


Pemberlakuannya di Indonesia), Jurnal al-Ihkâm Vol. IV No. 1 Juni 2009.
Harry Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian
Internasional, Jurnal Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011.

Havis Arafik, Asuransi dalam Perspektif Islam, dalam Jurnal NURANI, VOL. 16,
NO. 2, DES 2016: 25 – 50

M. Muhtarom, Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam


Pembuatan Kontrak, Jurnal Suhuf, Vol. 26, No. 1, Mei 2014.

Melis, Werner, Force Majeure and Hardship Clauses in International


Commercial Contracts in View of the Practice of the ICC Court of
Arbitration, Report presented by the author at an ICC Seminar an East
West Arbitration held in Paris an December 6-9, 1983.

Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi,


Dalam jurnal Al-Iqtishad: Vol. I, No. 1, Januari 2009

Nelly Pinangkaan, Asas-Asas Dalam Berkontrak Tinjauan Historis Yuridis Pada


Hukum Perjanjian, Penelitian Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sam Ratulangi, Manado, 2010.

Ridwan Khairandy, Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak , Jurnal


Hukum, No. Edisi Khusus Vol, 18 Oktober 2011, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, 2011.

Shobirin, Jual Beli Dalam Pandangan Islam, dalam Jurnal Bisnis dan
Manajemen Islam Vol. 3, No. 2, Desember 2015

Siswadi, Jual Beli Dalam Perspektif Islam, dalam Jurnal Ummul Qura Vol III,
No. 2, Agustus 2013

Suharnoko, Contract Law In A Comparative Perspective , Indonesia Law


Review, Year 2 Vol. 2, May - August 2012.

Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Peraturan Jabatan Notaris, Staasblad 1860 No. 3

Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1974 Tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.


Perpres Nomor 71 tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan Pasal 47 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 2 tahun 2012, Tentang Pengadaan Tanah Bagi


Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah


beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok


Agraria

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014

__________. (2017). Hukum perdata menurut KUHPerdata &


perkembangannya di dalam perundang-undangan Indonesia. Medan:
USU Press.

_____________. (2012). Hukum harta kekayaan, menurut sistematika


KUHPerdata & perkembangannya. Cetakan Kesatu. Bandung: PT Refika.

_____________. (2016). Hukum pembuktian, analisis terhadap kemandirian


hakim sebagai penegak hukum dalam proses pembuktian. Edisi Pertama.
Bandung: CV Nuansa Aulia.

_____________. (2018). Metode peneltian hukum, langkah-langkah untuk


menemukan kebenaran dalam ilmu hukum. Cetakan Kesatu. Bandung:
PT Refika.

Acles & Dorr, “A Critical Analysis of the New Uniform Fraudulent Transfer Act,”
1985 Univercity of Illinois Law Review 527, 1985.

Actio Pauliana.. http://www.niluhgde.blogspot.com/2012/05/actio-


pauliana.html (diakses tanggal 28 Maret 2013).
Butarbutar, E.N. (2001). Relevansi pengadilan negeri/niaga dalam
menyelesaikan perkara utang piutang. Thesis. Yogyakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Cook & Mendales, “Uniform Fraudulent Transfer Act: An Introductory


Critique,” 62 American Bankruptcy Law Journal 87, 1988.

Daniel V. Davidson, et. al., Comprehensive Business Law Prinsiples and Cases,
Boston: Kent Publishing Company, 1987.

Dawson v. Myers, 622 F 2d. 1304, 9th Cir., 1980.

Djojodirdjo, M.A.M. (1979). Perbuatan melawan hukum. Jakarta: Pradnya


Paramita.

Douglas G. Baird & Thomas H. Jackson, “Fraudulent Conveyance Law and its
Proper Domain,” 38 Vanderbilt Law Review 829, 1985.

Elijana, et. al., Penelitian Hukum tentang Penyelesaian Sengketa melalui


Peradilan Niaga, Jakarta: BPHN dan Depkeh dan HAM, 2000.

Fajar, M., & Achmad, Y. (2015). Dualisme penelitian hukum normatif &
empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Frank R. Kennedy “Involuntary Fraudulent Transfers” 9 Cardozo Law Review


531, Desember 1987.

Fred B.G. Tumbuan, “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan


yang Diubah Perpu No. 1/1998,” Newsletter No. 33/IX/Juni/1998

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16190&cl=Berita, “Kepailitan
Ibist Consult, Kurator Sudah Berkoordinasi dengan Polisi,” 12 Februari
2007.

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16321&cl=Berita, “Kurator Ibist


Rencanakan Actio Pauliana Secepatnya,” 8 Maret 2007.

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=1639&cl=Berita, “Pengadilan
Niaga Wadah Ketidakpastian Baru,” 15 Januari 2001.

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16408&cl=Fokus, “Rendah,
Pemulihan Aset dalam Kepailitan,” 27 Maret 2007.

http://www.hukumproperti.com/tag/rechtsverwerking/ di akses pada tanggal


17 Mei 2012.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1003/30/06x2.htm, “Kasus Kepailitan
2003 Turun.” 30 Oktober 2003.

Iman Santoso, “Gharar Dalam Fiqih Muamalah (Realita Dan Solusi)” (On-line),
tersedia di : http://www.syariahonline.com/v2./3191-gharar-dalam-fiqih-
muamalah-realita dan-solusi.html (28 Oktober 2017)

John D. Donell, et. al., Law for Business, Illionis: Richard D. Irwin, Inc., 1983.

Marco Lantelme, “Italy: Insolvency – Claw Back,” Journal of International


Banking Law and Regulation 20 (10), 2005.

Marzuki, P.M. (2014). Penelitian hukum. Jakarta: Prenamedia Group.

McCoid, “Constructively Fraudulent Conveyances: Transfers for Inadequate


Consideration,” 62 Texax Law Review 639, 1983.

Mertokusumo, S. (2013). Hukum acara perdata Indonesia. Edisi Revisi.


Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Michael Bagge, “Planned Poverty’s Pitfalls And Pratfalls—Ain’t We Got Fun?”


69-Aug New York State Bankruptcy Journal 26, Juli/Agustus, 1997.

Miru. A. (2017). Hukum kontrak & perancangan kontrak. Cetakan Ketujuh.


Jakarta: Rajawali Perss.

Oksana Lashko, “Enhancing Creditor Recovery, Should Services Be Deemed


“Property” for the Putpose of Fraudulent Transfer Law?” 72 Brooklyn Law
Review 317, 2006.

Oxford: Clarendon Press.

Paton, G.W. (1975). A text book of jurisprudence.

Putusan Pengadilan Niaga dalam R. Astuti Sitanggang, kurator Eddy


Ondrawinata v. Soesanto Soetrisno, Nomor 02/Actio
Pauliana/2003/PN.Niaga/Jkt.Pst., Putusan Mahkamah Agung pada
tingkat kasasi Nomor 22 K/N/2003, dan Putusan Mahkamah Agung pada
tingkat peninjauan kembali Nomor 13 PK/N/2003.

Putusan Pengadilan Niaga dalam Tuti Simorangkir, Kurator PT Fiskaragung


Perkasa Tbk. v. PT Fiskaragung Perkasa Tbk. dkk., Nomor
03/ActioPauliana/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst., Putusan Mahkamah Agung
pada tingkat kasasi Nomor 16 K/N/2000, dan Putusan Mahkamah Agung
pada tingkat peninjauan kembali Nomor 12 PK/N/2000.

Putusan Pengadilan Niaga dalam William E. Daniel kurator PT Ometraco Multi


Arta v. PT Ometraco Multi Arta, dkk., Nomor 01/Actio
Pauliana/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst., dan Putusan Mahkamah Agung pada
tingkat kasasi Nomor 15 K/N/2000.

Rahmawati, Putu mia, Pelaksanaan Pengadaan Tanah Guna Pembangunan


Waduk Jati Barang di Kota Semarang,www.pps.unud.ac.id/.../unud-
829-..., diakses tanggal 24 Maret 2015

Rosenberg, “Intercorporate Guaranties and the Law of Fraudulent


Conveyances: Lender Beware,” 125 University of Pennsylvania Law
Review 235, 976.

Samosir, D. (2011). Hukum acara perdata, tahapt-ahap penyelesaian perkara


perdata. Edisi Pertama. Bandung: CV Nuansa Aulia.

Sandy Shandro, “Italian Law Reform,” 24 American Bankruptcy Institute


Journal 18, Oktober, 2005.

Satrio, J. (1993). Hukum perikatan, perikatan pada umumnya. Bandung: Citra


Aditya Bakti.

Siahaan, R.H. (2017). Hukum perikatan Indonesia, teori & perkembangannya.


Cetakan I. Malang: Inteligensia Media.

Sidabalok, J. (2012). Hukum perusahaan, analisis terhadap pengaturan peran


perusahaan dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia.
Bandung: Nuansa Aulia.

Soejono & Abdurahman, H. (2003). Metode penelitian hukum. Jakarta: Rineka


Cipta.

Soekanto, S. (2012). Pengantar penelitian hukum. Jakarta: UI Press.

Subekti, R. (2007). Hukum pembuktian. Cetakan Keenambelas. Jakarta:


Pradnya Paramita.

Susilo, Joko, Hak Milik Eigendom, Belajar Hukum Perdata, Blogspot.com/ 2013
01 archive.html?m=1, diakses tanggal 25 Maret 2015.
Tanpa nama, Tujuan Hukum Menurut Pendapat Beberapa Ahli,
http://donxsaturniev.blogspot.co.id/2010/04/tujuan-hukum-
menurutpendapat-beberapa.html?m=1,diakses tanggal 20 Pebruari
2016.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

Victor Situmorang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di


Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Wikipedia, “Notary Public”,http://en.wikipedia.org/wiki/Notary_public, diakses,


tanggal 10 Maret 2015.

www.hukumonline.com, di akses pada tangga 1 Februari 2013. Muhammad


Fajri, Perspektif Notaris Dalam Pemeriksaan Sidang
Pengadilan,(http://www.ptpn5.com), di akses tanggal 1 Februari 2013
Miftakhul Jannah, Aspek Hukum dalam Hutang Piutang,
http://blogmateri.blogspot.co.id/2014/04/aspek-hukum-dalam-
hutangpiutang.html?m=1, diakses tanggal 20 Pebruari 2016.

Black, H.C. (1990). Black's Law Dictionary. West Publishing Co.

Keenan, D. J., & Riches, S. (2007). Keenan and Riches' Business Law. Pearson
Education.

Williams, G. (2001). Learning the Law. Sweet & Maxwell.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method. Bloomsbury Academic.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of


Meaning. Texas Christian University Press.

Schleiermacher, F. (1977). Hermeneutics and Criticism: And Other Writings.


Cambridge University Press.

Dilthey, W. (1989). Introduction to the Human Sciences. Princeton University


Press.

Anda mungkin juga menyukai