Modul 5 Tatanan Dalam Kontrak
Modul 5 Tatanan Dalam Kontrak
DOSEN
BAB I
ACTIO PAULIANA
`Secara etimologi "actio pauliana" berasal dari bahasa Latin, di mana
"actio" berarti "tindakan" atau "gugatan," dan "pauliana" merujuk pada nama
seorang ahli hukum Romawi kuno yang terkenal, yaitu "Paulus" atau "Paul."
Dalam konteks Actio Pauliana atau Paulian action, "Paulus" mengacu pada
tokoh sejarah hukum Romawi yang bernama Sextus Aelius Paulus. Paulus
adalah seorang ahli hukum Romawi yang hidup pada abad ke-2 Masehi. Dia
dikenal karena kontribusinya dalam mengembangkan konsep Actio Pauliana,
yang juga dikenal sebagai Paulian action dalam bahasa Inggris.
Actio Pauliana memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi hak
kreditur dalam kasus kepailitan, serta dalam memastikan integritas dan
keadilan dalam proses hukum. Prinsip-prinsip Actio Pauliana
menggarisbawahi bahwa praktik-praktik manipulatif yang merugikan kreditur
sebelum atau selama kepailitan dapat dibatalkan oleh pengadilan, dengan
demikian memastikan bahwa harta dan aset yang seharusnya digunakan
untuk membayar utang-utang tetap tersedia. Prinsip ini adalah bagian
penting dalam hukum kepailitan yang memainkan peran penting dalam
melindungi hak dan kepentingan kreditur.
Actio Pauliana adalah suatu tindakan hukum yang digunakan dalam hukum
Romawi untuk melindungi kepentingan kreditur terhadap tindakan-tindakan
debitur yang bertujuan menghindari pembayaran kepada kreditur. Paulus
memainkan peran penting dalam pengembangan tindakan ini. Beberapa
konsep kunci yang terkait dengan Actio Pauliana adalah:
Actio Pauliana adalah hak yang diberikan kepada para kreditur dalam
undang-undang kepailitan yang memungkinkan mereka untuk meminta
pengadilan membatalkan perbuatan debitur yang merugikan kreditur. Konsep
ini merujuk kepada upaya untuk mencegah praktik-praktik curang yang
dilakukan oleh debitur sebelum atau selama proses kepailitan. Dalam hal ini,
para kreditur dapat meminta pengadilan agar tindakan debitur yang
merugikan mereka, seperti pemindahan harta atau tindakan yang tidak wajar
lainnya, dapat dibatalkan.
Sita jaminan, juga merupakan alat yang dapat digunakan oleh para
kreditur untuk melindungi kepentingan mereka. Ini melibatkan pengajuan
permohonan kepada pengadilan untuk menyita atau membekukan harta
debitur sebelum putusan kepailitan dijatuhkan. Hal ini bertujuan untuk
mencegah debitur mengalihkan harta mereka secara curang sebelum harta
tersebut dapat digunakan untuk membayar utang kepada para kreditur.
Konsep Actio Pauliana dan sita jaminan adalah alat yang kuat dalam
hukum kepailitan yang dirancang untuk menjaga integritas proses kepailitan
dan memastikan bahwa kepentingan kreditur dilindungi dengan baik. Prinsip-
prinsip ini memastikan bahwa debitur yang tidak jujur tidak dapat
menghindari kewajiban finansial mereka dengan tindakan curang.
Dalam kasus constructive fraud, tidak ada niat jahat yang harus
dibuktikan. Yang penting adalah akibat merugikan yang timbul dari tindakan
tersebut, terlepas dari niat subjektif debitor. Misalnya, jika debitor menjual
asetnya dengan harga yang sangat rendah sehingga aset tersebut seharusnya
dapat digunakan untuk membayar utang-utangnya, maka tindakan tersebut
dapat dianggap sebagai constructive fraud. Begitu juga, bisnis yang
undercapitalized (modal usaha yang tidak mencukupi) juga termasuk dalam
kategori ini, karena kurangnya modal usaha dapat mengakibatkan
ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban keuangan, yang pada gilirannya
dapat merugikan kreditur.
5. Penilaian Hakim:
1. Pernyataan Gugatan:
3. Pertimbangan Hakim:
4. Pertimbangan Legal:
5. Referensi Hukum:
5. Referensi Hukum:
6. Referensi Hukum:
Korelasi antara Bukti P-7 dengan P-6a dan P-6b penting untuk
memastikan konsistensi dan keberlanjutan transaksi. P-6a dan
P-6b mungkin berisi rincian tambahan terkait perjanjian atau
transaksi terkait.
7. Kesimpulan Logis:
8. Referensi Hukum:
6. Logika Transaksi:
7. Referensi Hukum:
7. Kesimpulan Logis:
8. Referensi Hukum:
Prinsip-prinsip hukum kepailitan, hukum perikatan, dan hukum
perusahaan dapat dijadikan referensi untuk memberikan
landasan hukum pada argumen tersebut.
Dengan merujuk pada P-6a, P-6b, P-7, P-9a, dan P-9b, dapat
disimpulkan bahwa tergugat I telah melakukan pengalihan aset
dan transfer dana sekitar sembilan bulan sebelum dinyatakan
pailit, yaitu sekitar bulan November 2014 hingga bulan April
2015.
7. Referensi Hukum:
1. Ketentuan Hukum:
4. Prinsip Kesetaraan:
Prinsip kesetaraan dalam hukum perdata mengindikasikan
bahwa hak untuk meminta pembatalan memberikan
keseimbangan perlindungan antara debitur dan kreditur.
5. Referensi Hukum:
1. Pembayaran Pajak:
2. Pembayaran Upah:
3. Legalitas Kewajiban:
Prinsip legalitas dalam Pasal 41 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2)
menunjukkan bahwa kewajiban yang diatur oleh undang-
undang atau perjanjian yang bersifat legal tidak dapat
dibatalkan melalui permohonan pembatalan.
4. Referensi Hukum:
2. Jaminan Bersama:
4. Prioritas Pembayaran:
5. Referensi Hukum:
5. Referensi Hukum:
5. Referensi Hukum:
1. Pengetahuan Subjektif:
5. Referensi Hukum:
2. Ketidakwajiban:
3. Keterlibatan Ganda:
1. Anggota Direksi:
3. Masa Jabatan:
2. Konsistensi Penandatanganan:
D. Pertimbangan Hukum
Dalam Putusan Nomor 07/PDT. SUS-ACTIO
PAULIANA/2015/PN.NIAGA.MDN, amar yang menyatakan bahwa
perbuatan hukum tergugat I dalam jual beli aset kepada tergugat II, dan
pengalihan dana oleh tergugat I kepada tergugat VII merupakan
perbuatan melawan hukum, didasarkan pada pertimbangan yang cermat
atas alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Hakim memeriksa
dengan teliti kronologi peristiwa yang terjadi, bukti-bukti transaksi, serta
argumen-argumen yang disampaikan.
Penilaian hakim terkait set off dalam penjualan aset debitur menyoroti
bahwa pembayaran hasil penjualan aset tidak diberikan langsung kepada
tergugat I, tetapi di-set off kepada perusahaan induk (tergugat VII).
Konsekuensinya, tergugat I menjadi tidak mampu melunasi utangnya
kepada kreditur-krediturnya, karena pembayaran hasil penjualan tersebut
tidak diterimanya secara langsung.
Telah diatur dalam UUK dan PKPU secara lengkap dan tegas bahwa
Pengadilan Niaga berwenang mengangani perkara actio pauliana.
Dengan diterbitkannya UUK dan PKPU maka perkara actio pauliana
adalah perkara yang berkaitan dengan pemberesan harta pailit, sehingga
Pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
actio pauliana.
Berdasarkan nilai pasar obligasi PT Citra Surya I adalah 17,5% dari nilai
nominalnya dan nilai pasar obligasi PT Eka Gunatama Mandiri adalah 31,5%
dari nilai nominalnya, sehingga seharusnya pada saat itu yang dapat
dianggap sebagai pelunasan utang hanyalah sebesar Rp 9.342.515.000,00
bukan Rp 43.976.666.974,00. Tindakan debitur PT Ometraco Multi Artha
yang menghargai obligasi-obligasi sebesar 100% dari nilai nominalnya
merupakan tindakan yang melanggar kepatutan dan kebiasaan. Debitor
dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui tindakannya yang
menghapuskan utang PT Duta Trada Internusa adalah merugikan
kepentingan para kreditor PT Ometraco Multi Arta. Terhadap permohonan
actio pauliana tersebut Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan untuk
menolaknya. Selanjutnya William E. Daniel selaku kurator mengajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pada
tingkat kasasi memutuskan menolak permohonan kurator dengan
pertimbangan judex factie tidak salah menerapkan hukum.
Actio Pauliana adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur
untuk membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang
merugikan kepentingan kreditur. Perbuatan hukum yang dapat dibatalkan
melalui actio pauliana adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur
dengan sengaja untuk merugikan kreditur, seperti penghibahan harta
kepada pihak lain, penjualan harta dengan harga yang jauh di bawah nilai
wajar, atau melakukan perjanjian tidak wajar dengan pihak lain.
Salah satu contoh nyata dari hambatan ini adalah kesenjangan dalam
pemahaman mengenai tugas dan hubungan antara hakim Pengadilan
Niaga, hakim pengawas, dan pihak eksternal. Kekurangjelasan ini dapat
menciptakan ketidakseimbangan dalam pelaksanaan Undang-Undang
Kepailitan, mengakibatkan perbedaan pendekatan dan tingkat partisipasi
yang minim dari pihak-pihak terkait.
Selain itu, ketentuan masa kadaluarsa hak tagih pajak selama sepuluh
tahun menciptakan kendala tambahan bagi kurator. Kewajiban untuk
menunggu masa kadaluwarsa tersebut sebelum membagikan hasil
pemberesan kepada kreditor konkuren menghambat proses distribusi yang
lebih cepat dan efisien. Hal ini dapat merugikan kreditor dan
memperlambat pemulihan keuangan debitor pailit.
Prinsip dasar dalam Pasal 1341 KUH Perdata adalah hak setiap orang
yang memberikan utang (kreditur) untuk meminta pembatalan perjanjian
yang dilakukan oleh orang yang menerima utang (debitur), asalkan
perjanjian tersebut dilakukan dengan pengetahuan bahwa tindakan
tersebut merugikan para kreditur. Dalam konteks ini, ketentuan ini
memberikan perlindungan hukum yang kuat kepada kreditur agar mereka
tidak dirugikan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh debitur dengan
sengaja merugikan kepentingan para kreditur.
Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa "setiap perjanjian yang dibuat
oleh orang yang bukan pengurus atau wakilnya yang sah, atau yang dibuat
oleh seorang pengurus atau wakilnya yang sah tetapi di luar kekuasaan
yang diberikan kepadanya atau melebihi kekuasaan yang diberikan
kepadanya, adalah batal demi hukum." Namun, ketika kita berbicara
tentang pembatalan perjanjian, kita merujuk pada situasi di mana
perjanjian tersebut dapat dibatalkan, tetapi tidak otomatis dinyatakan batal
demi hukum.
Prinsip dasar ini kembali kepada Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa "suatu perjanjian tidak hanya mengikat pihak-pihak
yang membuatnya, tetapi juga mengikat turunan mereka." Artinya,
perjanjian yang sah memiliki kekuatan mengikat antara pihak-pihak yang
terlibat dan pihak-pihak yang berasal daripada mereka.
A. Definisi Risiko
Risiko memang menjadi bagian intrinsik dari kehidupan manusia, dan
pandangan bahwa tidak ada hidup tanpa resiko telah menjadi suatu
konsep yang mendalam dalam pemahaman kehidupan manusia. Secara
logis, pandangan ini dapat diterangkan melalui beberapa sudut pandang.
Dari segi sosial, risiko dapat diartikan sebagai suatu keharusan untuk
menciptakan kemajuan. Inovasi, perubahan sosial, dan kemajuan ekonomi
seringkali melibatkan pengambilan risiko. Tanpa keterlibatan dalam risiko,
masyarakat akan kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman
dan mencapai kemajuan.
B. Jenis-Jenis Risiko
Di sisi lain, risiko tertentu adalah risiko yang bersifat lebih personal,
mempengaruhi individu secara langsung. Kematian atau cacat adalah
contoh risiko tertentu yang mengenai perorangan secara pribadi. Ini
mencerminkan dimensi yang lebih personal dan intim dari risiko, di mana
dampaknya dirasakan secara individu.
Konsep peril dan hazard merupakan dua unsur yang saling terkait
dalam pemahaman risiko, dan keduanya memiliki peran penting dalam
analisis dan manajemen risiko. Mari kita bahas secara logis dengan bahasa
yang indah dan ilmiah.
Di sisi lain, hazard atau bahaya merujuk pada suatu keadaan atau
kondisi yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya suatu peril atau
bencana. Hazard dapat dianggap sebagai pemicu atau faktor pendorong
yang memperbesar peluang terjadinya kerugian. Sebagai contoh, dalam
konteks kebakaran, kondisi seperti penggunaan listrik yang tidak aman
atau penyimpanan bahan mudah terbakar dapat dianggap sebagai hazard
yang meningkatkan risiko kebakaran.
Dalam KUH Perdata peralihan risiko dalam jual beli disebutkan dalam
pasal 1460-1462 yang bunyinya sebagai berikut :
Pasal 1460 “Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah
ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan
pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak
menuntut harganya”.
Pasal 1461 “Jika barang-barang dijual bukan menurut tumpukan,
melainkan menurut berat, jumlah, dan ukuran, maka barang-barang itu
tetap menjadi tanggungan penjual sampai ditimbang, dihitung, dan
diukur”.
Pasal 1462 “Sebaliknya jika barang itu dijual menurut tumpukan, maka
barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun belum ditimbang,
dihitung atau diukur”.
Pasal 1460, 1461, dan 1462 dalam KUH Perdata mengatur mengenai
peralihan risiko terkait kebendaan yang dijual antara penjual dan pembeli.
Mari kita jelaskan secara logis dengan bahasa yang indah dan ilmiah.
Pasal 1461 KUHPerdata menjadi suatu landasan hukum yang penting dalam
menentukan peralihan risiko dalam jual beli, khususnya pada barang-
barang generik atau bergerak. Mari kita eksplorasikan hal tersebut secara
logis dengan bahasa yang indah dan ilmiah.
Pasal 1461 KUHPerdata menetapkan prinsip yang jelas: risiko jual beli
atas barang-barang generik tetap berada pada pihak penjual sampai pada
saat barang-barang itu ditimbang, diukur, atau dihitung. Konsep ini
menggambarkan bahwa ketika karakteristik kuantitatif barang-barang
generik, seperti berat, ukuran, atau jumlah, belum dapat ditetapkan dengan
pasti, tanggung jawab atas risiko tetap berada pada penjual.
Dalam kasus Roni yang ingin membeli kulkas di toko A, kita dapat
menerapkan konsep Pasal 1460 KUH Perdata. Setelah terjadi kesepakatan
harga dan jenis barang antara Roni dan penjual di toko A, risiko mengenai
kebendaan tersebut beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah
kulkas yang diinginkan oleh Roni ditentukan. Dengan kata lain, saat kulkas
spesifik yang akan dijual kepada Roni sudah diidentifikasi dan ditentukan,
risiko atas kulkas tersebut beralih ke Roni.
Karena Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah
ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan
pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak
menuntut harganya. Seperti ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi
“jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka
telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun
penyerahannya belum dilakukan”. Namun jika pada proses pengiriman
barang pesanan terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga misalnya, barang
yang diperjualbelikan musnah di perjalanan karena mobil penganggut
barang tersebut mengalami kecelakaan dan barang yang menjadi pesanan
konsumen rusak dan hancur akibat dari kecelakaan tersebut. Maka siapakah
yang akan menanggung semua kerugian tersebut? Inilah yang disebut
risiko dalam jual beli.
Pasal 1460 KUH Perdata secara tegas menegaskan bahwa risiko dalam
suatu transaksi jual beli beralih kepada pihak pembeli setelah barang
tersebut ditentukan atau setelah tercapai kata sepakat mengenai barang
yang akan dibeli. Ini berarti bahwa tanggung jawab untuk menjaga
keamanan dan integritas barang berpindah dari penjual ke pembeli seiring
dengan penunjukan atau kesepakatan mengenai barang yang akan
diperoleh.
Di sisi lain, Pasal 1545 KUH Perdata menggambarkan suatu situasi yang
berbeda, terutama dalam konteks tukar-menukar. Pasal ini menyatakan
bahwa jika barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar mengalami
kerusakan di luar kesalahan pemiliknya (penjual), maka perjanjian tersebut
dianggap gugur. Dalam konteks ini, kerusakan tersebut tidak dapat
disalahkan kepada penjual, dan perjanjian tukar-menukar dianggap batal.
Di sisi lain, Pasal 1545 mengakui prinsip dasar bahwa pemilik barang
seharusnya bertanggung jawab atas risiko yang terkait dengan kepemilikan
barang tersebut. Jika barang yang dijanjikan untuk ditukar mengalami
kerusakan di luar kesalahan pemiliknya (penjual), maka perjanjian dianggap
gugur. Prinsip ini menghormati hak pemilik barang dan menempatkan risiko
pada pundak masing-masing pemilik, sejalan dengan prinsip umum
keadilan.
Pasal 1460-1462 KUH Perdata Indonesia memiliki akar hukum yang jelas
dalam Code Civil Perancis, yang merupakan kitab undang-undang hukum
perdata di Perancis. Riwayat legislatif ini menggambarkan adopsi prinsip-
prinsip hukum dari Code Civil ke dalam sistem hukum Indonesia terkait jual
beli. Pemahaman logis terhadap hal ini dapat diuraikan sebagai berikut.
Ketidakadilan yang diakui dalam pasal ini terletak pada situasi di mana
barang yang dijual belum ditentukan secara spesifik, baik dari segi ukuran,
timbangan, maupun jumlahnya. Dalam konteks ini, risiko barang berada
pada pihak pembeli, namun barang yang menjadi objek transaksi belum
diserahkan oleh penjual. Hal ini menciptakan ketidakadilan karena pembeli
sudah menanggung risiko terkait barang tanpa mendapatkan manfaat fisik
dari transaksi tersebut.
Maka jelaskan bahwa sistem code civil di Perancis, dalam hal ini
menerapkan peralihan risiko jual beli apa yang telah tercantum dalam pasal
1460-1462 KUH Perdata. Sebaliknya sistem B.W ( burgelijk wetboek)
mengenai peralihan risiko jual beli masih ada beberapa para ahli yang
mempunyai pendapat masing-masing yang bertentangan dengan pasal
1460-1462 KUH Perdata, sehingga permasalahan mengenai risiko jual beli
ini masih harus dikaji.
Para ahli hukum secara keseluruhan memiliki pendapat yang serupa,
bahwa pada intinya selama belum deliver mengenai barang dari macam apa
saja, risikonya masih harus ditanggung atau dipikul oleh penjual, yang
masih merupakan pemilik sampai pada saat barang tersebut diserahkan
kepada pembeli.
Dalam perjanjian jual beli, risiko merupakan suatu aspek penting yang
memerlukan perhatian khusus. Ajaran resicoleer, atau ajaran tentang
risiko, menjadi relevan ketika terjadi keadaan memaksa (overmacht) yang
menghambat pemenuhan prestasi oleh debitur. Keadaan memaksa ini
merujuk pada suatu kondisi di mana debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya karena terjadi suatu peristiwa yang bukan disebabkan oleh
kesalahannya dan tidak dapat diprediksi pada saat perjanjian dibuat.
Pasal 1460-1462 KUH Perdata mengatur peralihan risiko dalam jual beli
dengan prinsip dasar bahwa semua risiko secara prinsip dibebankan
kepada pembeli. Ini berlaku setelah barang ditentukan, ditimbang,
dihitung, dan ditentukan tumpukannya, meskipun penyerahan resmi
barang belum dilakukan.
Penentuan risiko pada pembeli pada titik ini memiliki dasar yang logis.
Pada tahap ini, barang telah melewati proses identifikasi dan pengukuran
yang meyakinkan bahwa sifat, jumlah, dan kualitasnya telah ditetapkan
dengan jelas. Oleh karena itu, pembeli, yang pada tahap ini telah memiliki
kendali dan pengetahuan penuh tentang barang yang dibelinya, secara
wajar memikul risiko terkait.
Peralihan risiko dalam konteks jual beli terdapat dalam beberapa pasal,
termasuk Pasal 1460-1462. Pasal-pasal ini secara khusus mengatur aspek
risiko dalam perjanjian timbal balik, menciptakan kerangka kerja yang
jelas terkait pembagian tanggung jawab antara pembeli dan penjual.
Resiko atas barang yang menjadi obyek jual beli tidak sama, terdapat
perbedaan sesuai dengan sifat dan keadaan barang tersebut.
Konsep ini memiliki landasan logis yang kuat. Penentuan suatu barang
yang spesifik dalam perjanjian menciptakan kedudukan hukum yang jelas
bagi pembeli, meskipun penyerahan fisik belum terjadi. Pada saat
perjanjian dicapai, barang tersebut secara simbolis "milik" pembeli, dan
risiko yang terkait dengannya menjadi tanggung jawabnya.
Namun, poin penting lainnya yang ditegaskan oleh Pasal 1460 KUH
Perdata adalah bahwa jika barang tersebut mengalami kerusakan atau
musnah bukan karena kesalahan penjual, penjual tetap memiliki hak
untuk menagih harga yang belum dibayar. Hal ini memastikan keadilan
dalam transaksi, di mana penjual tidak menanggung kerugian atas
keadaan di luar kendalinya.
Contohnya jual beli lemari jati di toko A. Roni ingin membeli sebuah
lemari jati di sebuah toko meubel, setelah berdiskusi dengan penjual,
maka terjadilah kesepakatan antara pembeli dan penjual mengenai harga
dan jenis barang yang diinginkan Roni. Kemudian Roni membayar lunas
lemari jati tersebut kepada penjual. Dan Roni meminta agar lemari jati
yang ia beli untuk diantarkan ke rumahnya.
Dalam konteks hukum Islam, terutama dalam analisis jual beli lemari
jati, prinsip fasakh menjadi krusial. Fasakh, atau kerusakan dalam
transaksi jual beli, dapat terjadi jika barang mengalami kerusakan
sebelum serah terima, baik akibat perbuatan penjual, barang itu sendiri,
atau karena bencana alam. Jika jual beli dianggap fasakh, maka peralihan
risikonya tidak ditanggung oleh penjual atau pembeli, karena risiko
tersebut timbul bukan karena tindakan keduanya, melainkan akibat dari
sifat alamiah barang itu sendiri, seperti dalam kasus lemari jati yang
rusak.
Dalam kasus kerusakan yang terjadi setelah serah terima, prinsip jual
beli tangguh atau ba'i ma'dum menjadi relevan. Jika barang (lemari jati)
mengalami kerusakan yang membuatnya tidak dapat digunakan setelah
serah terima, risikonya akan ditanggung oleh pembeli sebagai penguasa
barang. Konsep ini mencerminkan prinsip tanggung jawab atas barang
yang telah berpindah kepemilikan.
Kasus tersebut menunjukan bahwa adanya risiko yang diterima ibu Ira
selaku pembeli yaitu kerusakan pada buah jeruk (busuk). Dari masalah
tersebut bahwa jual beli semacam itu menurut hukum perdata peralihan
risiko berada dipihak penjual ketika buah jeruk tersebut belum ditimbang,
diukur dan dihitung. Tetapi ketika buah jeruk tersebut sudah ditimbang,
diukur dan dihitung, maka risiko dibebankan kepada pembeli walaupun
penyerahannya belum dilakukan.
Prinsip ini sesuai dengan konsep gharar dalam hukum Islam, yang
mencakup ketidakpastian atau ketidakjelasan dalam transaksi. Gharar
pada sifat dan karakter obyek akad, seperti yang terdapat dalam jual beli
ini, dapat mengakibatkan ketidak sahihan transaksi. Dalam hal ini,
kejelasan mengenai barang yang diperdagangkan adalah esensial untuk
menghindari unsur gharar.
Jual beli dalam konteks hukum perdata dan hukum Islam, apabila
telah memenuhi syarat dan rukun yang ditetapkan, dapat dianggap sah
dan mengikat. Konsep ini menggambarkan kecocokan antara prinsip-
prinsip mu'amalah Islam dan tata cara jual beli yang diatur dalam hukum
perdata. Kedua sistem hukum ini sejalan dalam mengakui keabsahan
dan kewajiban yang timbul setelah tercapainya kata sepakat,
menandakan terbentuknya perjanjian jual beli.
“Hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang
mengadakan akad dan hasilnya apa yang saling di- iltzamkan (dipenuhi
sesuai ketentuan) oleh perakadan (perjanjian)”
Hukum perdata dalam sistem civil law mencakup dua aspek pokok
yang memainkan peran sentral dalam mengatur hubungan-hubungan
antar individu, yaitu hukum kontrak dan hukum dagang. Dua komponen
ini merangkum prinsip-prinsip yang mendasari perjanjian dan aktivitas
perdagangan, membentuk kerangka kerja hukum yang esensial untuk
menjaga keseimbangan dan keadilan dalam masyarakat.
Konsep force majeure, yang berasal dari istilah Latin "vis major cui
resisti non potest," mencerminkan suatu realitas hukum yang telah
berakar sejak zaman hukum Romawi. Force majeure merujuk pada
keadaan di mana seseorang tidak dapat mengatasi kekuatan atau
peristiwa yang berada di luar kendalinya. Lazimnya, istilah ini terkait
dengan suatu peristiwa tak terduga dan diluar jangkauan manusia, yang
dapat menghambat atau menghalangi pihak dari memenuhi kewajiban
kontraknya.
Namun, penting untuk dicatat bahwa asas force majeure tidak selalu
dapat diterapkan pada semua jenis perjanjian. Kantaatmadja menegaskan
bahwa asas ini tidak berlaku pada perjanjian perbatasan dan ketika
perubahan keadaan disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh
pihak yang mengajukan tuntutan.
Menurut KUH Perdata, terdapat tiga unsur kunci yang harus dipenuhi
untuk mengkategorikan suatu situasi sebagai keadaan memaksa:
Sementara itu, dalam konteks overmacht yang bersifat subjektif atau relatif,
debitur masih memiliki kemungkinan untuk memenuhi prestasi, namun dengan
kesulitan atau pengorbanan yang besar. Artinya, meskipun secara teoritis
pemenuhan prestasi masih memungkinkan, dalam praktiknya, hal itu akan
menimbulkan banyak kesulitan. Dalam situasi ini, dua aspek penting perlu
diperhatikan:
1. Bukti Ketidakbersalahan:
Pasal ini mengatur bahwa jika suatu barang tertentu yang menjadi
objek perjanjian timbal balik musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka
perjanjian dianggap gugur. Artinya, pihak-pihak yang terlibat dalam
perjanjian tidak lagi memiliki kewajiban untuk melaksanakan perjanjian
tersebut. Lebih lanjut, Pasal 1545 menyatakan bahwa pihak yang telah
memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang yang telah
diberikannya dalam tukar-menukar.
Prinsip ini dapat dijelaskan dengan cara yang indah dan ilmiah
dengan menyampaikan bahwa hukum perdata memberikan perlakuan
yang berbeda tergantung pada konteks dan tujuan dari masing-masing
perjanjian. Dalam hal jual beli, pembeli dianggap memikul tanggung
jawab lebih besar terhadap risiko atas barang yang dibeli, bahkan
sebelum barang tersebut benar-benar diserahkan. Ini menciptakan
dinamika hukum yang beragam, yang mungkin dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan karakteristik khusus dari masing-masing jenis
perjanjian.
Penjelasan ini dapat disajikan dengan bahasa yang indah dan ilmiah,
menggambarkan bahwa keputusan ini tidak hanya sebagai langkah
praktis dalam menyelaraskan hukum perdata, tetapi juga sebagai refleksi
dari keinginan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih berkeadilan
dan sesuai dengan asas-asas kepatutan.
Pasal 1338 :
Asal kata "tort" dapat ditelusuri hingga bahasa Latin, yaitu "orquer"
atau "tortus" dalam bahasa Prancis. Proses evolusi semantik ini
mencerminkan pergeseran arti dari bahasa ke bahasa, di mana kata
"wrong" dalam bahasa Prancis, yaitu "wrung," memiliki konotasi yang
sebanding dengan makna kesalahan atau kerugian (injury).
F. Implikasi Overmacht
1) Ketidakmungkinan (impossibility)
2) Ketidakpraktisan (impracticability)
3) Frustasi (frustration)
a) Seperti juga untuk alasan force majeure lainnya bahwa kejadian yang
menyebabkan frustasi tersebut tidak dapat diantisipasi oleh para pihak.
b) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya frustasi dari maksud kontrak
tersebut adalah peristiwa yang terjadi kemudian, yakni peristiwa yang
terjadi setelah kontrak dibuat (ditanda tangani) tetapi sebelum kontrak
tersebut dilaksanakan
c) Peristiwa tersebut menyebabkan hilangnya secara total atau hampir
total dari maksud kontrak yang bersangkutan.
d) Maksud kontrak yang tidak mungkin lagi tercapai tersebut memang
didasari oleh kedua belah pihak ketika kontrak dibuat.
e) Maksud kontrak yang tidak mungkin lagi tercapai tersebut haruslah
merupakan “dasar” untuk mana kontrak dibuat.
f) Para pihak tidak telah mengalokasikan atau mengasumsikan resiko dari
kejadian yang menyebabkan tidak tercapainya maksud tersebut.
g) Para pihak yang dibebaskan dari tanggung jawabnya tidak telah
melakukan kesalahan dalam hubungan dengan kontrak yang
bersangkutan, baik kesalahan dalam hubungan dengan peristiwa yang
menyebabkan frustasi tersebut maupun tidak. Jadi dia harus tanpa
dosa atau tangannya harus bersih (clean hand ).
Lebih lanjut, pasal ini menguraikan dua aspek kunci yang harus
dipertimbangkan: pertama, kejadian yang tidak terduga yang menjadi
penyebab tidak dilaksanakannya perikatan, dan kedua, ketiadaan itikad
buruk dari pihak yang berutang. Dengan kata lain, pasal ini menuntut
adanya keadaan yang benar-benar di luar kendali dan tidak dapat
diprediksi oleh pihak yang berutang, serta menekankan pentingnya
ketiadaan unsur itikad buruk.
Keenam, jika terjadi force majeure, kontrak menjadi gugur, dan para
pihak seharusnya dikembalikan ke keadaan seolah-olah perjanjian tidak
pernah dilakukan (Pasal 1545 KUHPerdata).
Force majeure memiliki keterkaitan yang erat dengan isu ganti rugi
dalam suatu kontrak. Konsep ini membawa konsekuensi hukum, tidak
hanya terkait dengan hilangnya atau tertundanya kewajiban untuk
melaksanakan prestasi dalam suatu kontrak, tetapi juga membebaskan
para pihak dari tanggung jawab memberikan ganti rugi akibat
ketidaklaksanaan kontrak tersebut. Pengaturan force majeure untuk
kontrak tertentu, atau yang dikenal sebagai kontrak bernama, memang
memiliki pasal-pasal khusus dalam KUHPerdata yang mengatur tentang
force majeure, terutama dalam konteks pengaturan risiko sebagai akibat
dari peristiwa force majeure.
BAB IV
EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS
A. Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus
Dalam konteks perjanjian timbal balik, jika salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, maka pihak lainnya dapat menuntut
pemenuhan kewajiban tersebut. Namun, jika pihak yang menuntut
pemenuhan kewajiban tersebut juga berada dalam keadaan lalai, maka
tuntutannya dapat ditolak oleh pihak yang dituntut. Hal ini karena pihak
yang menuntut pemenuhan kewajiban tersebut juga telah melanggar
perjanjian.
Dalam konteks perjanjian timbal balik, jika salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, maka pihak lainnya dapat menuntut
pemenuhan kewajiban tersebut. Namun, jika pihak yang menuntut
pemenuhan kewajiban tersebut juga berada dalam keadaan lalai, maka
tuntutannya dapat ditolak oleh pihak yang dituntut. Hal ini karena pihak
yang menuntut pemenuhan kewajiban tersebut juga telah melanggar
perjanjian.
"Dalam perjanjian timbal balik, jika salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya, maka pihak lainnya tidak wajib untuk memenuhi
kewajibannya."
1. Peraturan Perundang-undangan
Jika pembeli tidak membayar harga jual beli, maka prestasi penjual
untuk menyerahkan barang yang dijual menjadi tidak mungkin dilakukan. Oleh
karena itu, pembeli tidak dapat menuntut penjual untuk menyerahkan barang
yang dijual jika pembeli sendiri telah melakukan wanprestasi.Penerapan
exceptio non adimpleti contractus dalam perjanjian jual beli telah diakui oleh
hukum positif Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1517
KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
2. Yurisprudensi
b. Pengembangan hukum
c. Penyelesaian sengketa
a. Yurisprudensi biasa
b. Yurisprudensi tetap
Perkara ini bermula dari tuntutan PT. Pacific Oil Company kepada
tergugat Oei Ho Liang selaku penjual dalam perjanjian jual beli karet
untuk menyerahkan sejumlah karet yang diperjanjikan dan membayar
ganti kerugian yang diderita penggugat karena kelalaian tergugat.
Bahwa tergugat dalam suratnya tertanggal 27 Januari 1950 telah
menyatakan bahwa tergugat tidak akan menyerahkan barang-barangnya
tersebut, dengan demikian tergugat telah menyatakan dirinya lalai.
2 Yulia. (2014). Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara
Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012 antara PT.
Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika. Medan: Fakultas Hukum Univeristas Sumatera
Utara.
BAB V
RECHTSVERWERKING
Pelepasan hak ini dilakukan oleh kreditor yakni tidak meminta ganti
rugi. Kreditor menerima dengan diam-diam prestasi yang tidak sesuai.
Contoh kongkrit kreditor telah menerima penyerahan barang walaupun
cacat.3
3 Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I. (2019). Modul Hukum Perdata Materiil.
Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia.
c. Kepentingan swasta
d. Penanaman modal
Pelepasan hak atas tanah merupakan tindakan hukum yang sah dan mengikat
bagi para pihak yang terlibat. Pelepasan hak atas tanah harus dilakukan
dengan itikad baik dan berdasarkan kesepakatan antara pemilik atau
pemegang hak atas tanah dengan pihak yang menerima pelepasan hak
tersebut
Pelepasan hak milik atas tanah dapat dilakukan dengan akta yang
menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh
pemegang haknya, secara notariil atau dibawah tangan, yaitu dengan:
Akta PHGR yang dibuat oleh Notaris dapat digunakan sebagai dasar
untuk pendaftaran hak atas tanah di Kantor Pertanahan. Hal ini karena
akta tersebut telah memenuhi persyaratan formil dan materiil yang
diperlukan untuk pendaftaran hak atas tanah. Memenuhi syarat untuk
kepentingan tertentu Akta PHGR yang dibuat oleh Notaris juga dapat
digunakan untuk memenuhi syarat untuk kepentingan tertentu,
misalnya untuk meminjam uang di bank.
Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi (PHGR) merupakan salah satu bentuk
peralihan hak atas tanah yang harus dilakukan di hadapan Notaris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah yang harus dilaksanakan
dihadapan Notaris adalah melalui jual beli, tukar menukar, hibah,
perbuatan hukum pemindahan hak (pembagian hak bersama),
penggabungan atau peleburan yang didahului likuidasi.
Kecakapan para pihak dalam membuat akta PHGR harus dipenuhi. Kecakapan
para pihak ini meliputi:
- Kecakapan bertindak
- Kecakapan menguasai harta benda
Objek yang dialihkan haknya dalam akta PHGR haruslah sah. Keabsahan
objek yang dialihkan haknya ini meliputi:
Dengan memenuhi semua syarat yang telah disebutkan di atas, maka akta
PHGR yang dibuat oleh Notaris menjadi sah dan memiliki kekuatan
hukum yang mengikat.
Objek penelitian dalam penelitian tesis ini adalah Akta PHGR yang
lahir akibat wanprestasi hutang piutang. Perjanjian hutang piutang yang
diteliti dalam penulisan ini merupakan perjanjian yang dibuat dibawah
tangan dan disahkan penandatanganannya dihadapan Notaris X. Pihak
Peminjam dalam perjanjian ini adalah Tuan Y dengan persetujuan
istrinya yaitu Nyonya W. Pihak pemberi pinjaman adalah Nyonya Z. Isi
perjanjian hutang piutang tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris merupakan suatu alat
bukti, sehingga dalam membuat suatu akta, seorang Notaris harus
memperhatikan norma norma selain kode etik dan Ketentuan
Perundang-undangan lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata, maka akta dibuat sebagai tanda bukti
yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan
menghindari sengketa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
pembuatan akta harus sedemikian rupa sehingga apa yang diinginkan
untuk dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang
dibuatnya.
Apabila salah satu dari persyaratan diatas tidak dipenuhi, maka akta
yang dibuatnya menjadi tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan
seperti akta yang dibuat di bawah tangan, apabila akta ini
ditandatangani oleh para penghadap. Demikian juga halnya, apabila oleh
undang-undang disebutkan untuk suatu perbuatan atau perjanjian atau
ketetapan diharuskan dengan adanya akta otentik, dan jika salah satu
dari persyaratan diatas tidak dipenuhi, maka akta untuk perbuatan atau
perjanjian atau ketetapan itu menjadi tidak sah.
Notaris ada kalanya dapat menolak pembuatan akta, yaitu dalam hal-
hal sebagai berikut:
Akta PHGR yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris X lahir akibat
wanprestasi hutang piutang. Perjanjian hutang piutang tersebut
bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun
1982 tentang larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan
hak atas tanah dan Pasal 39 ayat 1 huruf d Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Mengingat pentingnya sebuah peralihan hak atas tanah yang harus
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka
sudah sewajarnya Notaris/PPAT sebagai pejabat yang berwenang
menerapkan asas kecermatan dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya.
Dalam hal ini, para pihak yang namanya tercantum dalam akta PHGR
dapat mengajukan permohonan pembatalan akta kepada Notaris yang
membuat akta tersebut. Notaris kemudian akan melakukan penelitian
terhadap permohonan tersebut dan membuat akta pembatalan PHGR.
- Putusan pengadilan
Gugatan pembatalan akta PHGR dapat diajukan oleh salah satu pihak
yang namanya tercantum dalam akta, ahli waris dari salah satu pihak yang
namanya tercantum dalam akta, atau pihak ketiga yang merasa dirugikan
oleh akta PHGR tersebut.
4 Banjarnahor, E. N. (2016). Kajian Yuridis Terhadap Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi
Yang Lahir Akibat Wanprestasi Hutang Piutang. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Akta PHGR yang tidak memenuhi syarat formil sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka akta
tersebut menjadi akta di bawah tangan.
b. Penafsiran historis
c. Penafsiran sistematis
d. Penafsiran doktrinal
e. Penafsiran analogis
f. Penafsiran tujuan
Perbedaan penafsiran kontrak dapat terjadi antara para pihak yang membuat
kontrak, atau antara para pihak dengan pihak ketiga, seperti hakim atau
notaris.
Penekanan pada maksud dan tujuan para pihak dalam Pasal 1343
KUH Perdata mencerminkan penerapan teori kehendak (historis-
psikologis) sebagai dasar penafsiran perjanjian. Teori ini menekankan
pada penetapan kehendak subjektif dari pihak yang terlibat dalam
perjanjian sebagai acuan utama dalam menafsirkan kontrak. Dengan
kata lain, penafsiran perjanjian tidak hanya terpaku pada makna literal
kata-kata, tetapi lebih kepada penggalian kehendak sebenarnya yang
melatarbelakangi pembentukan perjanjian.
Pasal 1348 KUH Perdata memberikan prinsip bahwa semua janji yang
terdapat dalam suatu perjanjian harus ditafsirkan dalam hubungan satu sama
lain, yang berarti setiap janji harus dilihat dalam konteks keseluruhan
perjanjian. Prinsip ini menekankan pentingnya memahami setiap ketentuan
perjanjian dalam kaitannya dengan ketentuan-ketentuan lainnya, sehingga
keseluruhan perjanjian dapat dipahami dengan baik.
Meskipun polis asuransi sering kali disusun dalam bentuk standar dan
diatur oleh undang-undang, doktrin Contra Proferentem tetap relevan
karena pihak-pihak yang membuat perjanjian dapat menggunakan
kebebasan berkontrak sebagai dalih untuk menghindari aturan tersebut.
Selain itu, penerapan doktrin ini juga memiliki dampak ekonomi, karena
keputusan hukum yang dihasilkan dari aplikasi doktrin ini tidak hanya
mempengaruhi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tetapi juga
memberikan insentif bagi pihak penanggung untuk merancang polis
secara lebih jelas dan adil
● Penafsiran Kontrak
F. Penafsiran Teks
G. Penafsiran Konteks
Proses interpretasi kontrak tidak hanya terbatas pada
pemahaman harfiah kata-kata, tetapi melibatkan tahap selanjutnya yang
krusial, yaitu kontekstualisasi. Menurut Catherine Mitchell, dalam
kontrak, interpretasi kontekstual biasanya merupakan proses
menetapkan makna kontekstual dari kata-kata dalam teks. Hal ini
menunjukkan bahwa penafsiran kontrak tidak dapat dipisahkan dari
lingkungan hukum dan fakta-fakta pada saat kontrak dibentuk.
United States Bankruptcy Code, Pub. L. No. 95-598, 92 Stat. 2549 (1978).
Warren, E., & Westbrook, J. L. (2000). The law of debtors and creditors: Text,
cases, and problems. Aspen.
Kenneth N. Klee and Whitman L. Holt, "Bankruptcy and the Supreme Court: A
Century of Adjudication," The American Bankruptcy Law Journal, Vol. 74,
No. 1, 2000.
Warren, E., & Westbrook, J. L. (2000). The law of debtors and creditors: Text,
cases, and problems. Aspen.
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji. (2009). Penjelasan Hukum Perdata dan
Perjanjian. Rineka Cipta.
Simonsen, F., & Moeljatno. (2007). Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Sinar
Grafika.
Sundararajan, V., & Errico, L. (2002). In the Wake of the Crisis: Leading
Economists Reassess Economic Policy. International Monetary Fund.
Bussani, M., & Palmer, V. (2010). The Common European Sales Law in
Context: Interactions with English and German Law. Cambridge
University Press.
Van Maanen, F. S., & Van Gerven, W. J. H. (2009). "Contract Law in the
Netherlands." Kluwer Law International.
Verheij, A. A. G. (2005). "Overmacht, Onvoorziene Omstandigheden en
Onderwijsrecht." Tijdschrift Voor Onderwijsrecht En Onderwijsbeleid,
167-176.
Koutsoubas, G., & Polyzogopoulos, A. (2019). "Contract Law and the Law of
Obligations." Springer.
Treitel, G. H. (2003). "The Law of Contract" (11th ed.). Sweet & Maxwell.
Beatson, J., Burrows, A., & Cartwright, P. (2010). "Anson's Law of Contract"
(29th ed.). Oxford University Press.
Keenan, D. J., & Riches, S. (2007). Keenan and Riches' Business Law. Pearson
Education.
Achmad , Yulianto dan Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Adjie, Habieb, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2009.
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. Jakarta:
Rajawali Pers, 1999.
Al Rashid, Harun, Sekilas tentang Jual Beli tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1987.
Al-Munawar, Said Aqil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: PT.
Penamadani, 2005)
Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2006)
Anagora, Pandji, Manajemen bisnis, cet.3, (Jakarta: PT. Rineka cipta, 2004)
Anonim, Force Majeure in Troubled Times: The Example of Libya , Jones Day
Publication, Houston, 2011.
Ascarya, Akad dan Produk Bank syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2015)
Budiono, Herlien, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013.
Bungin, Burhan, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis
dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003.
Cholid Narbuko dan Achmadi Abu, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, Cetakan 12, 2012,)
David, Rene, and John. E.C. Brierley: Major Legal Systems in the World
Today, Second Edition, Stevens & Sons, London, 1978.
Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra
Aditya Bakti,Bandung, 2007.
Hadi, Mudofir, Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim, Varia
Peradilan Tahun VI Nomor 72,1991.
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law , Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1996.
Kato, Alaiddin, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013)
Kelsen, Hans Teori Hukum Murni dengan judul buku asli “General Theory of
Law and State”, alih bahasa Somardi, Rumidi Pers, Jakarta, 2001.
Kie, Tan Thong, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 1994
Merryman, J.H., The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Systems
of Western Europe and Latin America, Stanford University Press,
Stanford, 1985.
Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) , Alumni,
Bandung, 2003.
Sabbiq, Sayyid, Fiqh Sunnah 12, alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki,
(Bandung: Alma’arif, 1988)
Salim, Abas, Asuransi dan Manajemen Risiko, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005)
Shahatah Husein dan Siddiq Muhammad, Transaksi dan Etika Bisnis dalam
Islam, (Jakarta: Visi Insani, 2005)
Silalahi, Ferdinand, Manajemen Risiko Dan Asuransi, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1997)
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
Susiadi AS, Metodologi Penelitian, Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Raden
Intan Lampung, Bandar Lampung, 2014.
Syafi’i, Imam, Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan kitab Al-Umm,
penerjemah Imron Rosadi, Amiruddin dan Imam Awaluddin, jilid 2,
(Jakarta: Pustaka Azzam 2013)
Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Cet. Ketiga, (Jakarta: Bumi
Askara, 1999)
Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,
PT.GrafindoPersada, Jakarta, 2004.
Havis Arafik, Asuransi dalam Perspektif Islam, dalam Jurnal NURANI, VOL. 16,
NO. 2, DES 2016: 25 – 50
Shobirin, Jual Beli Dalam Pandangan Islam, dalam Jurnal Bisnis dan
Manajemen Islam Vol. 3, No. 2, Desember 2015
Siswadi, Jual Beli Dalam Perspektif Islam, dalam Jurnal Ummul Qura Vol III,
No. 2, Agustus 2013
Acles & Dorr, “A Critical Analysis of the New Uniform Fraudulent Transfer Act,”
1985 Univercity of Illinois Law Review 527, 1985.
Daniel V. Davidson, et. al., Comprehensive Business Law Prinsiples and Cases,
Boston: Kent Publishing Company, 1987.
Douglas G. Baird & Thomas H. Jackson, “Fraudulent Conveyance Law and its
Proper Domain,” 38 Vanderbilt Law Review 829, 1985.
Fajar, M., & Achmad, Y. (2015). Dualisme penelitian hukum normatif &
empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16190&cl=Berita, “Kepailitan
Ibist Consult, Kurator Sudah Berkoordinasi dengan Polisi,” 12 Februari
2007.
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=1639&cl=Berita, “Pengadilan
Niaga Wadah Ketidakpastian Baru,” 15 Januari 2001.
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16408&cl=Fokus, “Rendah,
Pemulihan Aset dalam Kepailitan,” 27 Maret 2007.
Iman Santoso, “Gharar Dalam Fiqih Muamalah (Realita Dan Solusi)” (On-line),
tersedia di : http://www.syariahonline.com/v2./3191-gharar-dalam-fiqih-
muamalah-realita dan-solusi.html (28 Oktober 2017)
John D. Donell, et. al., Law for Business, Illionis: Richard D. Irwin, Inc., 1983.
Susilo, Joko, Hak Milik Eigendom, Belajar Hukum Perdata, Blogspot.com/ 2013
01 archive.html?m=1, diakses tanggal 25 Maret 2015.
Tanpa nama, Tujuan Hukum Menurut Pendapat Beberapa Ahli,
http://donxsaturniev.blogspot.co.id/2010/04/tujuan-hukum-
menurutpendapat-beberapa.html?m=1,diakses tanggal 20 Pebruari
2016.
Keenan, D. J., & Riches, S. (2007). Keenan and Riches' Business Law. Pearson
Education.