Anda di halaman 1dari 10

TUGAS FARMAKOKINETIKA & FARMAKODINAMIK

Nama : Aprilia Dwi Anggraini

Nim : 1848201087 (JK Farmasi semester 4)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN IBU JAMBI

TAHUN 2020
Farmakokinetik Dan Farmakodinamik

1. ANTIBIOTIK

PRINSIP TERAPI ANTIBIOTIK

Dalam penggunaan antibiotik pada kasus infeksi, terdapat tiga aspek yang sangat berkaitan
erat, yaitu aspek antibiotik itu sendiri, aspek kuman, dan aspek pejamu (host). Terapi antibiotik
merupakan terapi kausal yang ditujukan untuk melawan kuman penyebab infeksi. Keputusan
memberikan antibiotik pada penderita perlu mempertimbangkan :

1. keluhan dan gejala tersebut disebabkan oleh suatu infeksi

2. kemungkinan kuman penyebab

3. kemampuan antibiotik mencapai tempat infeksi dengan kadar yang cukup

4. jenis antibiotik berikut cara, dosis dan lama pemberian

Penggunaan antibiotik yang rasional dilaksanakan secara “Empat Tepat Satu Waspada”
yaitu dengan (1) Indikasi yang tepat, untuk (2) Penderita yang tepat, dengan (3) Jenis Obat
yang tepat dan diberikan dengan (4) Rejimen Dosis yang tepat serta senantiasa (5) Waspada efek
samping (Usman Hadi, 2005; Worokarti, 2005).

FARMAKOKINETIK

Absorpsi antibiotik menunjukkan nilai dan besarnya bioavailability obat setelah


pemberian secara oral atau suntikan. Absorpsi obat melewati membran dipengaruhi oleh ukuran
molekul, kelarutan dalam lemak, derajat ionisasi dan Ph. Sebagian besar obat larut dalam air dan
juga lemak. Di dalam larutan, obat berada dalam bentuk yang disebut interchangeable forms yaitu
larut-air (bentuk ion) dan larut-lemak (nonion). Semakin lipophilic suatu obat, semakin mudah
menembus membran. Sedangkan yang hydrophilic akan cenderung berada dalam darah. Ketika
dilarutkan, sebagian molekul obat akan terionisasi yang persentasenya ditentukan oleh keasaman
obat dan keasaman pelarutnya serta pKa yaitu pH saat 50% molekul obat terionisasi. Persentase
molekul nonionized menentukan jumlah molekul yang diabsorpsi sehingga menentukan rate of
absorption (Chambers, 1996; Cunha, 2002).
Sebagian besar infeksi terjadi di ekstravaskular dan antibiotik harus mampu mencapai
tempat tersebut. Jika infeksi terletak di lokasi yang terlindung dimana penetrasi obat menjadi
rendah seperti cairan serebrospinal, mata, prostat, vegetasi jantung yang terinfeksi dibutuhkan
dosis antibiotik yang tinggi dan jangka waktu lebih lama untuk terapi. Sebagian besar bakteri
penyebab infeksi pada manusia berada ekstraselular. Pathogen intraselular seperti Legionella,
Chlamydia, Brucella, Salmonella dan Mycobacteria mampu bertahan dan menimbulkan
kekambuhan jika diobati dengan antibiotik yang tidak bisa masuk sel. Pada umumnya, antibiotik
β-laktam, vankomisin dan aminoglikosida penetrasinya ke sel rendah sedangkan makrolid,
tetrasiklin, kloramfenikol, rifampisin, co-trimoksazol dan quinolon penetrasinya ke sel baik
(Archer, 2005).Sebagian besar antibiotik dalam tubuh akan mencapai keseimbangan di jaringan
dan plasma.

distribusi antibiotik ditandai adanya variabilitas antar individu dan antar jaringan. Kadar obat di
tempat infeksi berbeda dengan kadar di plasma. Kadar dibawah MIC dapat memicu terjadinya
resistensi. Hal ini perlu diperhatikan jika terdapat ketidaksesuaian antara respons klinis dan hasil
tes kepekaan. Hambatan penetrasi jaringan oleh antibiotik paling baik ditunjukkan pada infeksi
sistem saraf pusat (SSP). Mekanisme barrier di SSP dan organ lain merupakan pompa transport
aktif sehingga obat dapat masuk ke tempat infeksi. Dalam keadaan keseimbanganpun, konsentrasi
antibiotik di tempat infeksi lebih rendah daripada di plasma. Mekanisme ini sudah terbukti secara
in vitro dan in vivo (Muller, 2004).

Saat ini, dengan adanya teknik yang baru dimungkinkan untuk mengukur distribusi obat di
jaringan perifer. Microdialysis (MD) telah digunakan untuk mengukur farmakokinetik berbagai
antibiotik di jaringan tubuh manusia sehat yang menjadi sukarelawan. Setelah publikasi pertama
pada tahun 1995, MD banyak membantu riset antibiotik dan menjelaskan berbagai pertanyaan
seperti pengaruh ikatan protein, parameter PK-PD di jaringan dan distribusi antibiotik di jaringan.
Parameter PK-PD seperti t > MIC, rasio AUC/MIC, rasio Cmax/MIC yang awalnya
dikembangkan berdasarkan nilai di serum selanjutnya dapat diperluas menjadi parameter di
jaringan perifer dengan bantuan alat ini (Muller, 2004).

Antibiotik mengalami eliminasi di hati, ginjal atau keduanya baik dalam bentuk yang tidak
berubah atau metabolitnya. Untuk antibiotik yang eliminasinya terutama di ginjal, bersihan suatu
obat berkorelasi linear dengan creatinine clearance. Sedangkan antibiotik yang eliminasinya
terutama di hati tidak ada petanda yang bisa dipakai untuk mengatur dosis pada pasien dengan
penyakit hati (Archer, 2005). Pada pasien dengan insufisiensi ginjal dibutuhkan pengaturan dosis.
Penggunaan antibiotik aminoglikosida, vankomisin atau flusitosin harus lebih hati-hati karena
eliminasi obat tersebut di ginjal dan toksisitasnya seiring dengan konsentrasinya di plasma dan
jaringan. Obat-obat yang metabolisme atau ekskresinya oleh hepar (eritromisin, kloramfenikol,
metronidazol, klindamisin) dosisnya harus diturunkan pada pasien dengan kegagalan fungsi hepar
(Chambers, 1996).

Peak serum level adalah konsentrasi puncak di serum (mcg/ml) setelah pemberian dosis
biasa (usual dose). Ini berguna untuk menghitung “kill ratio” yaitu rasio kadar puncak di serum
terhadap MIC suatu organisme. Semakin tinggi “kill ratio” semakin efektif antibiotik tersebut.
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan oleh konsentrasi plasma atau jumlah obat dalam
tubuh berkurang separuhnya. Bersihan merupakan ukuran kemampuan tubuh untuk
mengeliminasi obat. Konsep ini penting dipertimbangkan terutama saat permberian regimen obat
yang rasional dalam periode yang lama. Kadar tunak (Steady-state concentration) akan tercapai
ketika laju eliminasi obat setara dengan pemberiannya. Volume distribusi obat berbanding lurus
dengan jumlah obat di dalam tubuh dan berbanding terbalik dengan konsentrasi obat di plasma.
Volume distribusi sangat bervariasi tergantung pKa obat, besarnya ikatan dengan protein plasma,
koefisien partisi obat terhadap lemak. Volume distribusi juga dipengaruhi oleh usia, gender,
penyakit dan komposisi tubuh (Benet,1996; Cunha, 2002).

FARMAKODINAMIK

a. Time dependent killing, yaitu lamanya antibiotik terdapat dalam darah dalam kadar diatas
KHM sangat penting untuk memperkirakan outcome klinik ataupun kesembuhan. Contoh
antibiotik yang tergolong time dependent killing yaitu penicillin, sefalosporin dan makrolida.
b. Concentration dependent,semakin tinggi kadar antibiotika dalam darah melampaui KHM
maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadap bakteri.Rejimen dosis yang dipilih harus
memiliki kadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih tinggi dari KHM. Jika gagal mencapai
kadar ini ditempat infeksi atau jaringan akan mengakibatkan kegagalan terapi, situasi inilah yang
selanjutnya menjadi salah satu penyebab timbulnya resistensi.

2. ANTI FUNGI
Mikosis yang paling sulit diobati ialah mikosis sistemik yang sering menimbulkan kematian.
Insiden jamur meningkat pada sejumlah penderita dengan penekanan system imun seperti :
penderita kanker, transpanlasi, dan penderita AIDS
Terapi : ketokonazole
Farmakokinetika :
Antijamur pertama yang dapat diberikan secara oral, absorbsi baik secara oral, yang
menghasilkan kadar cukup untuk menekan pertumbuhan berbagai jamur.
Dengan dosis oral 200mg kadar puncak 2-3 mcg/ml yang bertahan selama 6jam atau lebih.
Asborbsi menurun pada cairan pH lambung tinggi dan bila b=diberikan bersama antacid atau
antihistamin H2 ditemukan pada urin, kelenjar lemak, air ludah, kulit yang mengalami infeksi,
tendon dan cairan senoval. Metabolisme lintas pertama diperkirakan dieksresiikan dalam
empedu, usus dan sebagian kecil di urin

1. OBESITAS :
 Rumus Berat Badan dan penetapan dosis :

Penetapan dosis obat pada pasien obesitas dapat berdasarkan berat badan total (TBW), Berat
badan langsing yang memperkirakan berat badan tanpa lemak, fat-free-mass (lean body
weight,LBW), Indeks masa tubuh (body mass index, BMI) Atau luas permukaan tubuuh (BSA)
Tergantung sifat fisiko-kimiawi obat dan tingkat obestitas.

Misalnya :
Penetapan loading dosis, volume distribusi obat lipofilik dihitung menggunakan TBW, untuk
penetapan dosis maintenance obat yg klirens tidak mempengaruhi oleh obesitas digunakan IBW,
sedangkan jika klirens meningkat digunakan IBW. Karena distribusi obat-obat yang hidrofolik
kedalam jaringan adipose sangat kecil, sehingga nilai vd-nya relative tidak berubah, maka tidak
diperlukan perubahan loading dose pada obesitas jadi acuan dosis untuk loading dose
menggunakan IBW

Disposisi Obat

a. Absorbs Obat
Informasi tentang pengaruh obesitas terhadap ketersediaan hayati obat masih belum
banyak, sehingga sementara ini belum dapat dibuat generalisasi mengenai disposisi
obat. Ketersediaan hayati midazolam dan propranolol, dua obat dengan rasio ekstraksi
hepatik (Eh) tinggi, dan juga dexfenfluramin, tidak berbeda antara subyek kegemukan
dengan berat badan normal. Begitu pula ketersediaan hayati siklosporin pada
penerima cangkok ginjal, tidak berbeda antara pasien obesitas dan normal. Bahkan
absorpsi dan enzim metabolisme intestinal tidak terpengaruh oleh pasien obesitas
yang mengalami hypass lambung atau jejunoileum, ketika antipirin digunakan
sebagai probe (Blouin & Ensom, 2007)
b. Distribusi Obat
Kecepatan dan luas distribusi obat tergantung dari berbagai faktor obat dan fisiologik,
sedangkan pada obesitas , terjadi kenaikan curah jantung, volume darah, berat organ,
berat tubuh langsing (lean body mass; LBM) dan kenaikan jaringan adipose. Seperti
yang diketahui, LBM terdiri dari massa sel tubuh termasuk lemak membran sel
(merupakan komponen utama tubuh), air ekstraseluler, dan jaringan konektif tanpa
lemak; dan di dalam massa sel tubuh inilah lebih dari 99% metabolisme terjadi (Jadi
distribusi obat yang larut lemak (lipofilik) umumnya meningkat karena kenaikan
berat badan total, sehingga mempengaruhi besar loading dose, interval pemberian
obat, waktu-paro eliminasi dan waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar tunak di
dalam darah.
c. Metabolisme Obat
Kegemukan juga mempercepat filtrasi glomeruli (GFR) dan sekresi obat melalui
tubuli ginjal, namun mengurangi reabsorpsi tubuli ginjal. Hasil akhir dari fenomena
ini ialah terjadinya kenaiakan klirens ginjal. Jika eliminasi obat dari tubuh sebagian
besar melalui ginjal, dan sedikit dimetabolisme, maka kenaikan klirens ginjal dapat
diartikan sebagai kenaikan klirens total obat dari tubuh. Akibatnya dosis perlu
dinaikan untuk mengimbangi kenaikan klirens tersebut. Selain itu, pada obesitas juga
terjadi kenaikan ukuran ginjal, dimana kenaikan ini sebanding dengan kenaikan berat
tubuh total dan luas permukaan tubuh. Kenaikan GFR pada obesitas dibuktikan
melalui klirens Cr-EDTA dan klirens kreatinin, sedangkan kenaikan klirens ginjal
prokainamid, simetidin dan sefotaksim (Blouin & Ensom, 2007).
d. Ekresi Obat
Kegemukan juga mempercepat filtrasi glomeruli (GFR) dan sekresi obat melalui
tubuli ginjal, namun mengurangi reabsorpsi tubuli ginjal. Hasil akhir dari fenomena
ini ialah terjadinya kenaiakan klirens ginjal. Jika eliminasi obat dari tubuh sebagian
besar melalui ginjal, dan sedikit dimetabolisme, maka kenaikan klirens ginjal dapat
diartikan sebagai kenaikan klirens total obat dari tubuh. Akibatnya dosis perlu
dinaikan untuk mengimbangi kenaikan klirens tersebut. Selain itu, pada obesitas juga
terjadi kenaikan ukuran ginjal, dimana kenaikan ini sebanding dengan kenaikan berat
tubuh total dan luas permukaan tubuh. Kenaikan GFR pada obesitas dibuktikan
melalui klirens Cr-EDTA dan klirens kreatinin, sedangkan kenaikan klirens ginjal
prokainamid, simetidin dan sefotaksim (Blouin & Ensom, 2007).

2. USIA SUBJEK
 Usia Dini
Agar dapat menentukan dosis obat disarankan beberapa penggolongan untuk membagi
masa anak-anak. The British Paediatric Association (BPA) mengusulkan rentang waktu
berikut yang didasarkan pada saat terjadinya perubahan-perubahan biologis :
a. Neonatus : Awal kelahiran sampai usia 1 bulan ( dengan subseksi tersendiri
untuk bayi yang lahir saat usia kurang dari 37 minggu
b. Bayi : 1 bulan sampai 2 tahun
c. Anak : 2 sampai 12 tahun (dengan subseksi: anak dibawah usia 6 tahun
memerlukan bentuk sediaan yang sesuai.
d. Remaja : 12 sampai 18 tahun.

 Regimen Dosis pada Usia Dini (pediatric)


1. Dosis bayi/neonatus: Tidak diperbolehkan untuk bayi <3 bulan
2. Dosis anak: 8 mg/kgBB (maksimum 300 mg) dua kali sehari Berat badan Dosis dua
kali sehari regimen
3. Dosis pagi Dosis malam Total Dosis Sehari
14–21 kg ½ tablet (150 mg) ½ tablet (150 mg) 300 mg
>21–<30 kg ½ tablet (150 mg) 1 tablet (300 mg) 450 mg
≥30 kg 1 tablet (300 mg) 1 tablet (300 mg) 600 mg
4. Dosis remaja (≥16 tahun)/Dewasa: 300 mg dua kali sehari atau 600 mg sekali sehari

 Regimen Dosis Usia Lanjut (geriatric)


Di F.I III daftar dosis maksimum ada  di halaman 959-994. Untuk orang lanjut usia
karena keadaan fisik sudah mulai menurun. Pemberian dosis harus lebih kecil dari dosis
maksimum.
 Menurut buku Obat-Obat penting .
- 65- 74 tahun, dosis biasa - 10%
- 75-84 tahun, dosis biasa - 20%
- Diatas 85 tahun, dosis biasa – 30%
 Menurut buku ilmu resep
- 60 -70 tahun    4/5 dosis dewasa
- 70- 80 tahun     3/4 dosis dewasa
- 80-90 tahun     2/3 dosis dewasa
- 90 tahun ke atas ½ dosis dewasa.
 Persamaan Cockcroft-Gault dan MDRD
Penurunan klirens kreatinin berhubungan denganbertambahnya usia seseorang.
Pada orang lanjut usia, keberhasilanpengobatan ditentukan dengan perhitungan dosis
yang tepat. Hasilpenelitian Hu et al. (2001) menyatakan terdapat rata-rata 34%kesalahan
dosis pada pasien lansia yang diberikan antibiotik setelahdisesuaikan dengan perhitungan
klirens kreatinin dengan formulaCockroft-Gault
Pengukuran klirens kreatinin pada lansia dengan kadarkreatinin serum yang
rendah dapat menyebabkan overprediction dariklirens kreatinin, tetapi penelitian
Tam(2000) menyatakan hal yangsebaliknya yaitu adanya masalah under-estimation
pengukuranklirens kreatinin dengan menggunakan formula Cockroft-Gault
yangdimodifikasi bila dibandingkan dengan pengukuran klirens kreatininurin tampung 24
jam. Hasil penelitian Sennang et al.(2005)menunjukan adanya perbedaan rerata nilai
klirens kreatinin padadewasa sehat yang diukur dengan menggunakan formula Cockroft-
Gault dan MDRD
a. tes klirens kreatinin menurut formula Cockroft-Gault:
LFG = (140-Usia)x(BB)x(0,85 jika perempuan)x1,73 (ml/menit/1,73m2)
sCr x 72)

b. tes klirens kreatinin menurut formula Cockroft-Gault denganstandardisasi:


140-Usia)x(BB)x(0,85 jika perempuan) x 1,73 (ml/menit/1,73m2)
sCr x 72) BSA
c. tes klirens kreatinin menurut formula MDRD:
LFG = 186x(sCr)-1,154x(Usia)-0,203x(0,742 jika perempuan)(ml/menit/1,73m2)

Keterangan:
BB: berat badan
sCr: kreatinin serum (mg/dl)
BSA : Body Surface Area (m2), ditetapkan melalui nomogram

Anda mungkin juga menyukai