Anda di halaman 1dari 12

Farmakologi Dalam Keperawatan

Oleh
Merina Widyastuti, S.Kep.,Ns.,M.Kep

1.1 Pendahuluan
Administrasi obat yang aman adalah komponen penting dari peran
keperawatan. Setiap hari perawat dihadapkan pada keputusan penting
mengenai keselamatan, kesesuaian, dan keefektifan obat yang diberikan
kepada pasien. Sebagai contoh 1) keputusan yang mungkin diambil perawat
selama perawatan pasien dengan penyakit jantung terkait pemberian obat beta
bloker dengan frekuensi jantung 2) Apakah pasien memiliki fungsi ginjal yang
memadai sebelum pemberian dosis antibiotik? 3) Apakah obat nyeri ini efektif
dalam mengendalikan ketidaknyamanan pasien saya?
Untuk membuat keputusan pemberian obat yang aman, perawat harus
memiliki pemahaman yang kuat tentang farmakologi. manajemen gejala,
pemulihan fisik, dan kesejahteraan individu terkait dengan penggunaan obat-
obatan dalam intervensi perawatan pasien. Selain itu pemberian obat masuk
dalam 6 sasaran keselamatan pasien menurut PMK no 1691 tahun 2011 pasal
8 ayat 2 bahwa Sasaran Keselamatan Pasien meliputi tercapainya hal-hal
sebagai berikut
1. Ketepatan identifikasi pasien
2. Peningkatan komunikasi yang efektif
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai
4. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi
5. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan
6. Pengurangan risiko pasien jatuh.

Perawat memainkan peran penting dalam memberikan obat kepada


pasien, memantau respons mereka terhadap obat, dan mendidik pasien dan
keluarga mereka tentang keamanan dan kepatuhan pengobatan. Mereka harus
memiliki pengetahuan menyeluruh tentang farmakologi untuk memberikan
perawatan yang aman, efektif, dan individual kepada pasien.
1.2 DEFINISI
Obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup. Obat
harus menembus sawar sel di berbagai jaringan agar dapat memberi efek.
Ginjal merupakan organ ekskresi terpenting melalui filtrasi glomerulus, sekresi
aktif di tubuli proksimal dan distal. Bila eksresi ginjal menurun maka dosis harus
diturunkan.

Farmakologi keperawatan adalah studi tentang tindakan, penggunaan,


dan efek obat pada tubuh manusia, serta penerapan prinsip farmakologis pada
asuhan keperawatan pasien. Ini melibatkan pemahaman farmakokinetik (apa
yang dilakukan tubuh terhadap obat) dan farmakodinamik (apa yang dilakukan
obat terhadap tubuh) obat, serta indikasi, kontraindikasi, efek samping,
interaksi, dan dosisnya. Beberapa bidang farmakologi keperawatan meliputi:
1. Farmakokinetik
Meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat dalam
tubuh.
2. Farmakodinamik
Efek obat pada tubuh dan mekanisme yang menyebabkan efek tersebut.
3. Farmakoterapi
Penggunaan obat untuk mengobati penyakit atau kondisi tertentu.
4. Farmakologi kelas obat yang berbeda: seperti antibiotik, antihipertensi,
diuretik, analgesik, obat penenang, dan antipsikotik.
5. Keamanan obat
Mencegah kesalahan pengobatan, reaksi obat yang merugikan, dan
interaksi obat.
6. Edukasi pasien
Memberikan informasi tentang obat-obatan, termasuk cara
meminumnya, potensi efek samping, dan pentingnya kepatuhan
terhadap pengobatan.

Beberapa cabang keilmuan yang dikaitkan dengan obat obatan


diantaranya sebagai berikut :
a. Farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat ,
memformulasikan , menyimpan dan menyediakan obat.
b. Farmakologi klinik adalah cabang farmakologi yang mempelajari efek
obat pada manusia
c. Farmakognosi adalah cabang farmakologi yang mempelajari sifat sifat
tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat
d. Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia termasuk
obat, zat yang digunakan dalam rumah tangga, industry maupun
lingkungan hidup beserta cara pencegahan, pengenalan dan
penanggulangan kasus kasus keracunan.

1.3 FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik adalah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat
dalam tubuh yang digambarkan dalam empat tahap yaitu penyerapan,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat. Obat yang masuk ke dalam tubuh
melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorbs, distribusi dan
pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian
dengan atau tanpa biotransformasi , obat akan dieksresikan dari dalam tubuh

Gambar 1.1 Proses farmakokinetik obat


Di tubuh manusia , obat harus menembus sawar / barrier sel di berbagai
jaringan . Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan cara menembus
langsung bukan melewati celah antar sel kecuali pada endotel kapiler. Hal
tersebut dikenal dengan transport lintas membrane yang merupakan bagian
terpenting dari farmakokinetik. Membrane sel terdiri dari 2 lapisan lemak yang
membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membrane dan fase hidrofobik di
antaranya. Cara transport obat lintas membrane yang terpenting ialah difusi
pasif dan transport aktif. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport
ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat ionisasi dan
kelarutan dalam lemak. Bentuk non ion umumnya larut baik dalam lemak
sehingga mudah berdifusi melintasi membrane sedang bentuk ion sukar
melintasi membrane sel karena sukar larut dalam lemak. Transport obat secara
aktif biasanya terjadi pada sel saraf , hati dan tubuli ginjal.
Ada empat tahap dasar yang harus dilalui obat dalam tubuh manusia :
penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Seluruh ini proses kadang-
kadang disingkat ADME. Adapun penjelasan masing masing akan dijelaskan
sebagai berikut
1. Absorbsi
Merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian menyangkut
kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam
bentuk persen dari jumlah obat yang diberikan. Proses ini adalah perjalanan
molekul obat dari tempat pemberian sampai ke darah. Penyerapan terjadi setelah
obat memasuki tubuh dan berjalan dari tempat pemberian ke sirkulasi tubuh.
Faktor yang mempengaruhi adalah jalur pemberian, aliran darah, luas permukaan
tubuh, kelarutan dalam lemak, kemampuan obat untuk larut. Biovailabilitas
menyatakan jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai
sirkulasi sistemik dalam bentuk aktif. Biovailabilitas menggambarkan
kecepatan dan kelengkapan absorbsi sekaligus metabolism obat sebelum
mencapai sirkulasi sistemik. Beberapa obat dengan biovailabilitas yang rendah
pada pemberian oral sehingga ada beberapa obat seperti lidokain yang diberikan
dengan spray atau IV , nitrogliserin dengan sublingual atau rektal atau
memberikannya bersama sama dengan makanan.
Pemberian obat oral merupakan pemberian obat secara umum , aman dan
murah namun banyak factor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat
dapat mengiritasi saluran cerna , perlu ditelan pada pasien sadar dan tidak dapat
diberikan pada pasien koma. Absorbsi obat melalui saluran cerna pada umumnya
terjadi secara difusi pasif karena obat dalam bentuk non ion sehingga mudah larut
dalam lemak. Absorbis obat di usus halus selalu jauh lebih cepat dibandingkan
lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas daripada lambung.
Selain itu epitel lambung tertutup lapisan mucus yang tebal. Dengan demikian
peningkatan pengosongan lambung yang cepat akan meningkatkan absorbsi obat.
Absorbsi di usus halus terjadi dengan transport aktif , car aini terjadi pada obat
obatan seperti metildopa, levodopa, 5-fluorourasil. Obat yang dirusak oleh asam
lambung atau yang menyebabkan iritasi sengaja dibuat sediaan salut enteric.
Absorbsi dapat pula terjadi di mukosa mulut dan rectum walaupun
absorbsinya tidak terlalu luas. Nitrogliserin ialah obat yang sangat poten dan larut
baik dalam lemak maka pemberian sublingual atau perkutan sudah cukup baik
untuk menimbulkan efek. Selain itu obat terhindar dari lintas pertama di hati karena
aliran darah dari mulut tidak melewati hati melainkan langsung ke vena kava
superior. Pemberian obat topikal dan oral berjalan lambat. Pemberian panteral dan
membran mukosa lebih cepat.
2. Distribusi
Adalah proses dimana obat berada didistribusikan ke seluruh tubuh. Obat
yang telah diabsorbsi memasuki aliran darah dan disebarkan ke jaringan tubuh dan
organ target. Dipengaruhi oleh vaskularisasi yaitu aliran darah dan perfusi,
permeabilitas kapiler, ikatan protein (mayoritas berikatan albumin). Blood brain
barier hanya dapat ditembus obat yang larut lemak. Distribusi fase pertama terjadi
segera setelah penyerapan yaitu organ yang perfusinya sangat baik seprti ginjal ,
hati , jantung selanjutnya distribusi fase 2 dengan cakupan yang lebih luas dimana
organ dengan perfusi tidak sebaik organ pada fase 1 yaitu otot, visera, kulit dan
jaringan lemak.
3. Metabolisme
Disebut juga sebagai biotransformasi adalah penguraian suatu obat
molekul. Dimana terjadi proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi
dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Dalam hal ini obat diubah menjadi
polar / mudah larut air daripada larut dalam lemak sehingga mudah
dieksresi oleh ginjal selain itu pada umumnya obat menjadi inaktif sehingga
biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Hati
merupakan tempat utama untuk metabolisme hati. Tujuan metabolisme adalah
menghasilkan metabolit metabolit yang bermuatan dan dapat dieliminasi oleh
ginjal. Obat akan dimetabolisme ke dalam bentuk yang kurang / tidak aktif
sehingga mudah di ekskresi. Biotransformasi terjadi di hati. Fungsi hati yang
menurun akan mengakibatkan penumpukan obat dalam tubuh dan menjadi
intoksikasi.

4. Ekskresi
Proses dimana tubuh menghilangkan limbah. Metabolit obat yang terbentuk
di hati diekskresi melalui ginjal, usus, paru paru dan kelenjar eksokrin (khusus
untuk obat larut lemak). Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat
daripada obat larut lemak kecuali obat yang diekresi lewat paru. Nitrit oksida
dan alkohol dapat dibuang melalui paru. Ginjal merupakan organ utama ekskresi
obat. Ekresi melalui obat dengan 3 proses yaitu filtrasi di glomerulus , sekresi
aktif di tubuli proksimal dan reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga
dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin
dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis obat atau interval
pemberian obat. Eksresi obat juga dapat terjadi melalui keringat , liur , air mata,
air susu dan rambut tetapi dalam jumlah yang relative kecil sehingga seperti
rambut dapat digunakan untuk menemukan logam toksik seperti arsen pada
kedokteran forensic.

1.4 FARMAKODINAMIK

Farmakodinamik mengacu pada efek obat dalam tubuh terhadap


fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh dan mekanisme kerjanya. Tujuan
mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat ,
mengetahui interaksi obat dengan sel dan mengetahui urutan peristiwa serta
spektrum efek dan respons yang terjadi.
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada
sel. Interaksi ini akan mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi sebagai
respon khas dari obat tersebut. Reseptor obat merupakan merupakan
komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 proses penting yaitu 1)
Obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. 2) Obat tidak
menimbulkan fungsi baru namun hanya memodulasi fungsi yang sudah ada
dan hal tersebut tidak berlaku pada terapi gen.
Setiap makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat.
Dan beberapa sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai
reseptor untuk ligan endogen ( Hormon , neurotransmitor). Obat memiliki efek
agonis atau antagonis. AGONIS adalah substansi yang efeknya menyerupai
senyawa endogen dimana yang berikatan dengan suatu reseptor dan
menghasilkan respon biologis. Adapun ANTAGONIS adalah senyawa yang
tidak mempunyai aktivitas intrinsic tetapi menghambat secara kompetitif efek
suatu agonis di tempat ikatan agonis.
Saat obat beredar melalui aliran darah maka akan terjadi afinitas/ ikatan
unik dengan reseptor obat, yang berarti seberapa kuatnya akan mengikat ke
situs. Pemeriksaan tentang bagaimana obat dan situs reseptor membuat
sistem gembok dan anak kunci sangat membantu untuk memahami bagaimana
obat bekerja dan jumlah obat yang mungkin tersisa beredar dalam aliran darah.
Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein dan
asam nukleat. Asam nukleat penting untuk obat obatan sitostatika. Ikatan obat
– reseptor dapat berupa ikatan non kovalen( ikatan ion , hydrogen , hidrofobik
, Van der walls) atau kovalen namun pada umumnya adalah campuran dari
berbagai ikatan tersebut. Ikatan kovalen adalah ikatan yang kuat sehingga
lama kerja obat seringkali Panjang, meskipun ikatan non kovalen yang
afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen. Ikatan antara obat dan reseptor
biasanya merupakan ikatan lemah dan jarang berupa ikatan kovalen.
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap
reseptor dan ativitas instrinsiknya sehingga perubahan kecil pada molekul obat
dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologiknya. Reseptor
tidak hanya berfungsi dalam pengaturan fisiologi dan biokimia namun juga
dipengaruhi mekanisme homeostatic lain. Bila suatu sel dirangsang agonisnya
secara terus menerus maka akan terjadi desensitisasi ( rekfrakterisasi / down
regulation) yang menyebabkan efek perangsangan selanjutnya oleh kadar obat
yang sama berkurang atau menghilang.
Obat agonis mengikat erat reseptor untuk menghasilkan efek yang
diinginkan. Antagonis obat bersaing dengan molekul lain dan memblokir aksi
atau respons spesifik di lokasi reseptor. Misalnya, obat jantung atenolol
(Tenormin) adalah antagonis reseptor beta-1 yang digunakan untuk mengobati
pasien hipertensi atau penyakit jantung. Obat antagonis reseptor beta-1 seperti
atenolol menghasilkan beberapa efek dengan memblokir reseptor beta-1: efek
inotropik negatif terjadi dengan melemahkan kontraksi jantung, sehingga
menyebabkan lebih sedikit kerja otot jantung; efek kronotropik negatif terjadi
saat detak jantung menurun; dan efek dromotropik negatif terjadi ketika
konduksi muatan listrik di jantung melambat. Obat inotropik memengaruhi
kekuatan kontraksi jantung. Obat chronotropic mempengaruhi detak jantung. Obat
dromotropik memengaruhi kecepatan konduksi melalui jaringan konduksi jantung.
Memahami efek obat antagonis beta-1 memungkinkan perawat untuk mengantisipasi
tindakan yang diharapkan dari obat dan respon pasien. Dengan memahami efek obat
antagonis beta-1 memungkinkan perawat untuk mengantisipasi tindakan yang
diharapkan dari pengobatan dan respon pasien.
Secara farmakodinamik antogisme dibagi menjadi 2 yaitu antagonism
fisiologik dan antagonisme pada reseptor ( kompetitif dan nonkompetitif).
Antagonisme fisiologik terjadi pada organ yang sama tetapi pada system
reseptor yang berbeda misal efek bronkokontriksi histamin pada bronkus
dengan reseptor histamin dapat dilawan dengan pemberian adrenalin yang
bekerja pada adrenoreseptor β. Antoganisme pada reseptor terjadi melalui
system reseptor yang sama. Dalam hal ini antagonis mengikat reseptor di
tempat ikatan agonis sehingga terjadi antagonism antara agonis dengan
antagonis. Misal efek histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat
dicegah dengan pemberian anti histamin yang menduduki reseptor yang sama.
Antagonisme pada reseptor dapat diukur berdasarkan interaksi 0bat –
reseptor. Kita ulang kembali bahwa agonis adalah obat yang bila menduduki
reseptor akan menimbulkan efek farmakologi secara intrinsic sedangkan
antagonis adalah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi secara
intrinsic tidak mampu menimbulkan efek farmakologi. Reseptor bloker adalah
antagonis menghalangi reseptor dengan agonisnya sehingga tidak
menimbulkan efek farmakologi. Bloker tidak berefek intrinsic karena efek yang
terlihat bukan efek langsung melainkan penghambatan efek agonis.
Antagonis kompetitif adalah antagonis yang berikatan dengan
reseptor cite secara reversible sehingga dapat digeser dengan agonis dalam
kadar tinggi. Contoh antagonis kompetitif adalah β bloker dan antihistamin.
Kadang suatu antagonis mengikat reseptor bukan di tempat ikatan reseptor
agonis tetapi hanya menyebabkan perubahan konformasi reseptor sedemikian
rupa sehingga afinitas reseptor terhadap agonisnya menurun.
Antagonis non kompetitif terjadi bila antagonis mengikat reseptor
secara irreversible di reseptor site atau tempat lain sehingga menghalangi
ikatan agonis dengan reseptornya. Sehingga dapat dikatakan bahwa antagonis
mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan agonisnya
sehingga efek maksimal akan berkurang.
Intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang
diduduki atau diikatnya, dan intesitas efek mencapai maksimal bila seluruh
reseptor diduduki oleh obat. Potensi menunjukkan rentang dosis obat yang
menimbulkan efek. Besarnya potensi ditentukan oleh 1) kadar obat yang
mencapai reseptor 2) afinitas obat terhadap reseptornya. Sehingga dengan
demikian maka obat yang potensinya terlalu rendah akan memerlukan dosis
yang besar sedangkan obat yang potensinya terlalu tinggi akan berbahaya
terutama bila mudah menguap atau mudah diserap oleh kulit.
Efek maksimal adalah respon maksimal yang ditimbulkan obat bila
diberikan pada dosis yang tinggi. Dosis obat dibatasi oleh timbulnya efek
samping dan dalam hal ini efek maksimal yang dicapai dalam klinik mungkin
kurang dari efek maksimal yang sesungguhnya. Sebagai contoh morfin dan
aspirin berbeda dalam efektivitas sebagai analgesic. Morfin dapat
menghilangkan rasa nyeri hebat sedanfkan aspirin tidak. Efek maksimal obat
tidak selalu berhubungan dengan potensinya.

Saat mempertimbangkan bagaimana sel-sel tubuh merespons


pengobatan, memang begitu penting untuk diingat bahwa sebagian besar obat
berikatan dengan reseptor spesifik pada permukaan atau bagian dalam sel.
Namun, ada banyak seluler lainnya komponen dan situs non-spesifik yang
dapat berfungsi sebagai situs reseptor di mana obat dapat mengikat untuk
membuat respon. Misalnya, apakah Anda tahu bahwa pencahar osmotik
seperti magnesium sitrat menarik dan mengikat dengan air? Ini obat bekerja
untuk menarik kandungan air ke dalam usus dan meningkatkan kemungkinan
buang air besar. Obat lain dapat menghambat situs pengikatan enzim tertentu
untuk mempengaruhi fungsi sel atau jaringan. Misalnya, antimikroba dan obat
antineoplastik umumnya bekerja dengan menghambat enzim yang kritis
terhadap fungsi sel. Dengan penyumbatan situs pengikatan enzim, sel mikroba
atau sel neoplastik tidak lagi hidup dan kematian sel terjadi.

1.5 Spesifitas & selektivitas


Suatu obat dikatakan SPESIFIK jika kerjanya terbatas pada satu jenis
reseptor . Suatu obat dikatakan SELEKTIF bila menghasilkan satu efek pada
dosis rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang
spesifik belum tentu selektif namun obat yang tidak spesifik pasti tidak selektif.
Seperti contoh obat Chlorpromazine HCl adalah obat yang digunakan untuk
pengobatan gangguan mental, seperti skizofrenia, gangguan psikotik, fase
manik gangguan bipolar, masalah perilaku parah pada anak-anak.
Chlorpromazine bukan obat yang spesifik karena bekerja pada berbagai jenis
reseptor kolinergik, adrenergic, histaminergic dan dopaminergic di susunan
saraf pusat. Contoh lain adalah atropine. Obat ini bloker spesifik untuk reseptor
muskarinik tetapi tidak selektif karena reseptor ini terdapat di berbagai organ.
Contoh lain adalah salbutamol dimana agonis β adrenergic yang spesifik dan
relatif selektif dimana obat ini memblok reseptor β2 dan pada dosis terapi hanya
berefek pada bronkus.
Selain dosis , selektifitas obat juga dipengaruhi cara pemberian.
Pemberian obat langsung di tempat kerjanya akan meningkatkan selektifitas
obat. Misal Salbutamol dimana selektif memblok reseptor β2 di bronkus dan
akan meningkat selektifitasnya bila disemprot langsung melalui saluran napas.
Semakin banyak efek suatu obat maka semakin banyak efek
sampingnya. Karena pada dasarnya tidak ada obat yang menghasilkan 1 efek
saja. Selektivitas obat dinyatakan sebagai hubungan antara dosis terapi dan
dosis yang menimbulkan efek toksik. Hal tersebut dikenal dengan indeks terapi
atau batas keamanan obat. Indeks terapi ini hanya berlaku untuk satu efek
terapi obat , jika obat memiliki lebih dari 1 efek terapi obat maka memiliki
beberapa indeks terapi. Sebagai contoh aspirin dimana indeks terapi aspirin
sebagai analgesic lebih besar dibandingkan indeks terapinya sebagai
antireumatik.
Perlu diketahui bahwa obat yang dinyatakan cukup aman untuk
mayoritas pasien belum tentu aman untuk setiap penderita. Karena selalu ada
kemungkinan timbul efek yang menyimpang yang kita kenal dengan alergi.
Misal penisilin dimana tidak toksis untuk sebagian besar penderita tetapi dapat
toksik pada pasien yang memiliki kecenderungan alergi terhadap obat ini.
Kewaspadaan perawat adalah dengan selalu anamnesis pasien terkait riwayat
alergi dan melakukan uji test alergi obat. Pada pasien dengan hipereaktif pada
suatu obat cukup diberikan dosis yang rendah dan sebaliknya pada pasien
yang hiporeaktif memerlukan dosis yang tinggi.
Hipersensitif digunakan untuk istilah alergi obat. Supersensitif adalah
istilah dimana keadaan hipereaktif akibat denervasi ( penghambatan saraf)
atau akibat pemberian kronik suatu bloker reseptor. Toleransi digunakan
sebagai istilah keadaan hiporeaktif akibat pajanan obat sebelumnya. Bila
toleransi timbul akibat pembentukan antibody terhadap obat maka disebut
resisten. Idionsinkrasi adalah istilah untuk efek obat yang aneh, ringan
maupun berat dan sangat terjadi. Hal tersebut bisa berupa alergi obat atau
perbedaan genetik.

1.6 PENGUJIAN OBAT


Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek
samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji
klinik terdiri dari beberapa fase berikut :
1. Uji Klinik Fase I
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada
manusia. Fokus yang diteliti adalah keamanan obat. Tujuan penelitian ialah
untuk menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima ( tidak
menimbulkan efek samping yang serius). Dosis oral yang pertama kali
diberikan pada manusia adalah 1/50 kali dosis minimal yang menimbulkan
efek pada hewan. Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi dilakukan
pemeriksaan hematologi, faal hati , faal ginjal, urin rutin. Hasil penelitian
farmakokinetik ini digunakan untuk menentukan ketepatan pemilihan dosis
pada penelitian selanjutnya. Total jumlah subjek pada fase ini bervariasi
antara 20 – 50 orang.
2. Uji Klinik Fase II
Fase ini dicobakan pertama kali pada sekelompok kecil penderita yang
kelak akan diobati dengan calon obat. Tujuan penelitian ini ialah untuk
melihat apakah efek farmakologi yang tampak pada fase I berguna atau
tidak untuk pengobatan. Peneliti harus membuat protocol penelitian yang
harus dinilai oleh panitia kode etik local . Protokol penelitian harus diikuti
dengan ketat, seleksi penderita harus cermat, setiap penderita harus
dimonitor dengan intensif. Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat
perlu dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkannya dengan
placebo atau bila penggunaan placebo tidak memenuhi syarat etik , maka
obat baru akan dibandingkan dengan obat standart yang telah dikenal.
Jumlah subjek pada fase ini 100 – 200 penderita.
3. Uji Klinik Fase III
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah efek obat bila digunakan
secara luas, efek samping lain yang belum terlihat pada fase II , serta
dampak penggunaannya pada penderita yang tidak diseleksi secara ketat.
Jumlah subjek pada fase ini paling sedikit 500 orang.
4. Uji Klinik Fase IV
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena merupakan
pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Pada fase ini adalah
survei epidemiologic menyangkut efek samping dan efektivitas obat.
Lingkup pengamatan pada fase ini meliputi efek samping penggunaan
berulang ulang pada jangka waktu lama , efektifitas obat pada penderita
penyakit ganda, lansia , anak anak dan penggunaan yang berlebihan /
penyalahgunaan.

Anda mungkin juga menyukai