Anda di halaman 1dari 23

BIOFARMASI SEDIAAN OBAT

YANG DIBERIKAN MELALUI


PARENTERAL
PENGERTIAN
PARENTERAL

Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan


enteron yang berarti disamping atau lain dari usus. Sediaan
ini diberikan dengan cara menyuntikkan obat di bawah atau
melalui satu atau lebih lapisan kulit atau membran mukosa.
Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat
tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membran mukosa,
maka kemurniaan yang sangat tinggi dari sediaan harus
diperhatikan. Yang dimaksud dengan kemurnian yang
tinggi itu antara lain harus steril.
ANATOMI DAN FISIOLOGI TEMPAT
PEMBERIAN MELALUI PARENTERAL
intratecal intraarticular intracardial
intraarterial intrapleural
ANATOMI DAN FISIOLOGI
TEMPAT PEMBERIAN MELALUI
PARENTERAL

Subkutan (hypodermal)
Subkutan (SC) injeksi merupakan pemberian dalam jaringan lunak
hanya dibawah permukaan kulit, karena ruang yang tersedia dalam jaringan
terbatas, volume dari injeksi tidak lebih dari 1 mL. Perhatian diperlukan
untuk membuat formulasi tertentu yang mendekati kondisi fisiologi dalam
pH dan tonisitas.
Intrakutan
Perawat biasanya memberi injeksi intrakutan untuk uji kulit. Karena
keras, obat intradermal disuntikkan ke dalam dermis. Karena suplai darah
lebih sedikit, absorbsi lambat. Pada uji kulit, perawat harus mampu melihat
tempat injeksi dengan tepat supaya dapat melihat perubahan warna dan
integritas kulit. Daerahnya harus bersih dari luka dan relatif tidak berbulu.
Lokasi yang ideal adalah lengan bawah dalam dan punggung bagian atas.
Injeksi intramuskular (IM)
Injeksi intramuskular merupakan injeksi yang dilakukan kedalam otot tubuh.
Injeksi IM sebaiknya tidak lebih dari 3-5 ML. semakin tipis kulit yang diinjeksi
semakin sedikit jumlah obat yang dimasukkan. sudut yang dianjurkan adalah
72-90 derajat celcius. area yang disuntik adalah: vastus lateralis, ventroglutel,
deltoid dan dorsogluteal. pemilihan lokasi pemberian tergantung pada jumlah
pemberian, kekentalan otot, usia pasien/ketebalan lemak, keinginan pasien dan
kemapuan pasien terhadap lokasi injeksi. area ventrogluteal lebih dianjurkan
untuk pasien berusia lebih dari 7 bulan karena otot telah berkembang dengan
baik, lokasi bebas syaraf dan pembuluh darah dan mudah dideteksi melalui
tanda penonjolan tulang.
Injeksi intravena.
Injeksi intravena adalah cara pemberian obat parenteral yan sering dilakukan.
Untuk obat yang tidak diabsorbsi secara oral, sering tidak ada pilihan. Dengan
pemberian IV, obat menghindari saluran cerna dan oleh karena itu
menghindari metabolisme first pass oleh hati. Rute ini memberikan suatu efek
yang cepat dan kontrol yang baik sekali atas kadar obat dalam sirkulasi.
Namun, berbeda dari obat yang terdapat dalam saluran cerna, obat-obat yang
disuntukkan tidak dapat diambil kembali seperti emesis atau pengikatan
dengan activated charcoal. Suntikan intravena beberapa obat dapat memasukkan
bakteri melalui kontaminasi, menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan karena
pemberian terlalu cepat obat konsentrasi tinggi ke dalam plasma dan jaringan-
jaringan. Oleh karena it, kecepatan infus harus dikontrol dengan hati-hati.
Perhatiab yang sama juga harus berlaku untuk obat-obat yang disuntikkan
secara intra-arteri.
Intratekal
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan
serebrospinal. Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk
anestesi spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan secara langsung pada lumbar
spinal atau ventrikel sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk ke dalam
daerah yang berkenaan langsung pada SSP.

Intraartikular
Injeksi yang digunakan untuk memasukkan bahan-bahan seperti obat
antiinflamasi secara langsung ke dalam sendi yang rusak atau teriritasi.

Intracardial
Intracardial merupakan suntikkan langsung ke dalam jantung,
digunakan ketika kehidupan terancam dalam keadaan darurat seperti gagal
jantung.
Intraperitoneal
Merupakan rute yang digunakan untuk pemberian berupa
vaksin rabies. Rute ini juga digunakan untuk pemberian larutan
dialisis ginjal.

Intrasisternal dan peridual


Injeksi ke dalam sisterna intracranial dan durameter pada
urat spinal. Keduanya merupakan cara yang sulit dilakukan,
dengan keadaan kritis untuk injeksi.

Intraarterial
Intraarterial merupakan injeksi yang disuntikkan langsung
ke dalam arteri, digunakan untuk rute intravena ketika aksi segera
diinginkan dalam daerah perifer tubuh.
Intrapleural
Intrapleural merupakan injeksi yang disuntikan pada
selaput dada. Jika penyakit merusak fungsi respirasi maka
pengobatan dilakukan denga rute ini.

Intraventrikular
Intraventrikular merupakan injeksi yang disuntikan
langsung ke ventrikel otot biasanya untuk pengobatan penyakit
menigitis akibata adanya bakteri atau jamur atau fungsi meninges
JENIS-JENIS PEMBERIAN
SEDIAAN PARENTERAL

Sediaan parental dibagi menjadi 2 macam yaitu :


 Sediaan Parenteral Volume Kecil
Sediaan parenteral volume kecil diartikan sebagai
obat steril yang dikemas dalam wadah di bawah 100 ml.
 Sediaan Parenteral Volume Besar
Sediaan cair steril yang mengandung obat yang
dikemas dalam wadah 100 ml atau lebih dan ditujukan untuk
manusia.

.
Kategori sediaan parenteral volume kecil :

• Produk Farmaseutikal yang terdiri dari bahan kimia


organik dan anorganik dalam larutan, suspensi, emulsi,
produk freezedried atau sebagai serbuk steril.
• Produk Biologi yang disiapkan dari sumber biologi
meliputi vaksin, toksoid, ekstrak biologi.
• Zat pendiagnosa seperti media kontras sinar x.
• Produk radiofarmasi untuk deteksi dan diagnosis.
• Produk gigi seperti anestetik lokal.
• Produk bioteknologi.
• Produk liposom dan lipid
KARAKTERISTIK SEDIAAN
PARENTERAL

• Streril
• Bebas dari partikel berukuran besar
• Stabil secara fisika dan kimia
Hal ini menentukan bahwa sediaan steril
akan berada dalam bentuk cair dan serbuk
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES
BIOFARMASEUTIKA OBAT PADA SEDIAAN
PARENTERAL

1. Faktor Intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-
kimia obat, lipofilitas, dosis, dan cara pemberian. Banyak
obat, terutama yang lipofil dapat menstimulir pembentukan
dan aktivitas enzim-enzim hati. Sebaliknya dikenal pula
obat yang menghambat atau menginaktifkan enzim
tersebut, misalnya anti koagulansia, antidiabetika oral,
sulfonamide, antidepresiva trisiklis, metronidazol,
allopurinol dan disulfiram (Tan Hoan Tjay dkk., 1978).
2. Faktor-Fisiologi meliputi sifat-sifat yang dimiliki makhluk hidup
seperti: jenis atau spesies, genetik, umur, dan jenis kelamin.
a) Perbedaan Spesies dan Galur
Dalam proses metabolisme obat, perubahan kimia yang
terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit
berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan yang cukup
besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh
perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat sudah
banyak dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau
perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolismenya atau
perbedaan kuantitatif (Siswandono dan Soekardjo,2000).
b) Faktor Genetik
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah
obat kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan berperan
terhadap kecepatan metabolisme obat (Siswandono dan
Soekardjo,2000).
c) Perbedaan umur
Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin
menurun, tapi biasanya yang lebih penting adalah menurunnya
fungsi ginjal. Pada usia 65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG)
menurun sampai 30% dan tiap 1 tahun berikutnya menurun lagi
1-2% (sebagai akibat hilangnya sel dan penurunan aliran darah
ginjal). Oleh karena itu ,orang lanjut usia membutuhkan
beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada orang muda
(Neal,2005).
d) Perbedaan Jenis Kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada
pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat.
Pada manusia baru sedikit yang diketahui tentang adanya
pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap metabolisme obat.
Contoh: nikotin dan asetosal dimetabolisme secara berbeda pada
pria dan wanita.
3. Faktor Farmakologi
Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi
enzim oleh induktor. Kenaikan aktivitas enzim
menyebabkan lebih cepatnya metabolisme (deaktivasi obat).
Akibatnya, kadar dalam plasma berkurang dan
memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan
efek farmakologinya berkurang dan sebaliknya.
4. Faktor Patologi
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya
pada penderita stroke, pemberian fenobarbital bersama
dengan warfarin secara agonis akan mengurangi efek anti
koagulasinya (sehingga sumbatan pembuluh darah dapat
dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis reseptor H2)
akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam
memetabolisme obat-obat lain.
5. Faktor Makanan
Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan
panggang arang dan sayur mayur cruciferous diketahui
menginduksi enzim CYP1A, sedang jus buah anggur
diketahui menghambat metabolisme oleh CYP3A terhadap
substrat obat yang diberikan secara bersamaan.

6. Faktor Lingkungan
Adanya insektisida dan logam-logam berat. Perokok sigaret
memetabolisme beberapa obat lebih cepat daripada yang
tidak merokok, karena terjadi induksi enzim. Perbedaan
yang demikian mempersulit penentuan dosis yang efektif
dan aman dari obat-obat yang mempunyai indeks terapi
sempit.
7. Induksi Enzim
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya
sendiri dengan induksi enzim (menaikkan kapasitas
biosintesis enzim). Induktor dapat dibedakan menjadi dua
menurut enzim yang di induksinya,antara lain:
EVALUASI BIOFARMASETIK
SEDIAAN OBAT PARENTERAL

Tahapan Uji:
• Menentukan waktu aksi yang diharapkan
• Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai
harapan
• Evaluasi in vivo: penentuan kadar obat di dalam darah hewan dan
manusia.
• Evaluasi sediaan parenteral
 Potensi/Kadar
Penentuan kadar dilakukan dengan pektoskopi UV, HPLC,
Spektroskopi IR.
 Ph
Adanya perubahan pH mengindikasikan telah terjadi
penguraian obat atau interaksi obat dengan wadah.
 Warna
Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang
disimpan pada suhu tinggi (> 40 0C). Suhu tinggi menyebabkan penguraian.
 Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap dan
memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 92-97%
pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70% setelah 3-5 tahun.Terjadinya
kekeruhan dapat disebabkan oleh : benda asing, terjadinya pengendapan atau
pertumbuhan mikroorganisme.
 Bau Pemeriksaan bau dilakukan secara periodik terutama untuk sediaan
yang mengandung sulfur atau anti oksidan.
 Toksisistas
 Lakukan uji LD 50 atau LD 0 pada sediaan parenteral selama
penyimpanan.
 Evaluasi Wadah
 Keseragaman bobot
 Keseragaman volume
DAFTAR PUSTAKA

Ernest, M., 1991, Dinamika Obat : Buku ajar farmakologi dan toksikologi, ITB :
Bandung
Gunawan, Sulistia Gan, 2012, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, FKUI, Jakarta.
Neal, M.J., 2006, At a Glance Farmakologi Medis, Erlangga, Jakarta.
Potter, P., 2005, buku Ajar Fundamental keperawatan, EGC , Jakarta
Shargel, L. Dan Andrew B.C.Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.
Siswandono & Soekardjo, 2008, Buku ajar Fisiologi Kedokteran, EGC : Jakarta
Tjay, Tan Hoan, 2010, Obat-Obat Penting Edisi keenam Cetakan Ke 3, Gramedia,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai