Anda di halaman 1dari 48

Biofarmasetika Sediaan

Parenteral

NURDENIYATI TAMPUBOLON, S.FARM


Sediaan Parenteral

Istilah parenteral berasal dari kata Yunani Para dan


Enteron yang berarti disamping atau lain dari usus.
Sediaan ini diberikan dengan cara menyuntikkan obat
di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit
atau membran mukosa.
Sediaan parenteral adalah sediaan yang digunakan
tanpa melalui mulut atau dapat dikatakan obat
dimasukkan ke dalam tubuh selain saluran cerna
(langsung ke pembuluh darah) sehingga memperoleh
efek yang cepat dan langsung sampai sasaran.
Keuntungan Pemberian Parenteral

Memberikan efek yang cepat


Tidak melalui First Pass Effect
Dapat diberikan apabila penderita sulit makan obat
dan dalam keadaan tidak sadar
Kadar obat didalam darah yang hasilnya bisa
diramalkan
Dapat diberikan untuk obat yang dapat rusak /tidak
diabsorbsi dalam sistem saluran cerna
Contoh: insulin (protein drug)
Kerugian Pemberian Parenteral

Apabila sudah masuk kedalam tubuh susah untuk


dikeluarkan terutama apabila terjadi kasus toksisitas
Harga relatif lebih mahal
Jenis Sediaan

1. Sediaan Parenteral Volume Kecil

2. Sediaan Parenteral Volume Besar


1. Sediaan Parenteral Volume Kecil

Sediaan parenteral volume kecil diartikan sebagai obat steril


yang dikemas dalam wadah di bawah 100 ml.
Kategori sediaan parenteral volume kecil :
 Produk Farmaseutikal yang terdiri dari bahan kimia organik dan
anorganik dalam larutan, suspensi, emulsi atau sebagai serbuk steril.
 Produk Biologi yang disiapkan dari sumber biologi meliputi vaksin,
toksoid, ekstrak biologi.
 Zat pendiagnosa seperti media kontras sinar x.
 Produk radiofarmasi untuk deteksi dan diagnosis.
 Produk gigi seperti anestetik lokal.
 Produk liposom dan lipid.
2. Sediaan Parenteral Volume Besar

Sediaan cair steril yang mengandung obat yang


dikemas dalam wadah 100 ml atau lebih dan
ditujukan untuk manusia.
Tujuan penggunaan volume besar:

Bila tubuh kekurangan air, elektrolit dan


karbohidrat maka kebutuhan tersebut harus cepat
diganti.
Pemberian infus memiliki keuntungan karena
tidak harus menyuntik pasien berulangkali.
Mudah mengatur keseimbangan keasam dan
kebasaan obat dalam darah.
Sebagai penambah nutrisi bagi pasien yang tidak
dapat makan secara oral.
Berfungsi sebagai dialisa pada pasien gagal ginjal.
Syarat-syarat parenteral volume besar

a) Steril
b) Bebas Pirogen
Sediaan Parenteral Volume Besar harus steril dan
bebas pirogen karena :
- Sediaan diinjeksikan langsung kedalam aliran darah
(i.v).
- Sediaan ditumpahkan pada tubuh dan daerah gigi
(larutan penguras).
- Sediaan langsung berhubungan dengan darah
(hemofiltrasi).
- Sediaan langsung ke dalam tubuh (dialisaperitoneal).
c). Bebas dari bahan pertikulat( jernih), karena dapat
menyebabkan emboli.
d). Dikemas dalam wadah dosis tunggal
e). Tidak mengadung bahan baktersid karena volume
cairan terlalu besar.
f). Isotonis dan isohidris
Persyaratan Sediaan Parenteral

Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada


didalam sediaan dengan pernyataan tertulis pada
etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama
penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi
dan sebagainya.
Penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak
hanya memungkinkan sediaan tetap steril , tetapi
juga mencegah terjadinya interaksi antara bahan
obat dengan material dinding wadah.
Tersatukan tanpa terjadi reaksi.
Bebas kuman.
Bebas Pirogen.
Isotonis.
Isohidris.
Bebas partikel melayang
Rute Pemberian

Rute pemberian sedianparenteral atau injeksi


dimuat dalam beberapa pustaka, antara lain
Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua
pustaka tersebut di dalam antara kurung dan lain
sebagainya. Pengetahuan tentang rute pemeberian
ini bukan dimaksudkan agar dapat menyuntikkan
dengan benar, tetapi untuk farmasis lebih
ditekankan pada persyaratan produk ditinjau secara
farmasis.
Persyaratan farmasetik yang dimaksud antara
lain pemilihan wadah dengan ukuran yang tepat,
penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan
penetapan tonisitas.
A. Pemberian Subkutis (Subkutan)

Lapisan ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan


lemak (lipoid) yang dapat digunakan untuk pemberian obat
antara lain vaksin, insulin, skopolamin, dan epinefrin atau
obat lainnya. Injeksi subkutis biasanya diberikan dengan
volume sampai 2 ml (PTM membatasi tak boleh lebih dari 1
ml) jarum suntik yang digunakan yang panjangnya samapi
½ sampai 1 inci (1 inchi = 2,35 cm).
Cara formulasinya harus hati-hati untuk meyakinkan
bahwa sediaan (produk) mendekati kondisi faal dalam hal
pH dan isotonis. FN (1978) mensyaratkan larutannya
isotoni dan dapat ditambahkan bahan vasokontriktor
seperti Epinefrin untuk molekulisasi obat (efek obat).
Cara pemberian subkutis lebih lambat apabila
dibandingkan cara intramuskuler atau intravena.
Namun apabila cara intravena volume besar tidak
dimungkinkan cara ini seringkali digunakan untuk
pemberian elektrolit atau larutan infusei. Cara ini
disebut hipodermoklisis, dalam hal ini vena sulit
ditemukan. Karena pasti terjadi iritasi maka
pemberiannya harus hati-hati. Cara ini dapat
dimanfaatkan untuk pemberian dalam jumlah 250
ml sampai 1 liter.
B. Pemberian intramuskuler

Intramuskuler artinya diantara jaringan otot.


Cara ini kecepatan absorbsinya terhitung nomor 2
sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan
langsung pada serabut otot yang letaknya dibawah
lapisan subkutis. Penyuntikan dapat di pinggul,
lengan bagian atas. Volume injeksi 1 samapi 3 ml
dengan batas sampai 10 ml (PTM—volume injeksi
tetap dijaga kecil, biasanya tidak lebih dari 2 ml,
jarum suntik digunakan 1 samai 1 ½ inci.
Problem klinik yang biasa terjadi adalah
kerusakan otot atau syaraf, terutama apabila ada
kesalahan dalam teknik pemberian (ini penting
bagi praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu
diperhatikan bagi Farmasis anatara lain bentuk
sediaan yang dapat diberikan intramuskuler, yaitu
bentuk larutan emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi
dalam minyak atau suspensi baru dari produk
steril.
Pemberian intramuskuler memberikan efek “depot”
(lepas lambat), puncak konsentrasi dalam darah
dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang mempengaruhi
pelepasan obat dari jaringan otot (im) anatar lain :
rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel
obat dalam pembawa, bahan pembawa, volume
injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari
produk. Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan,
karena masalah iritasi, tetapi dapat dibuat pH
antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel
kurang dari 50 mikron.
C. Pemberian intravena

Penyuntikan langsung ke dalam pembuluh


darah vena untuk mendapatkan efek segera. Dari
segi kefarmasian injeksi IV ini boleh dikata
merupakan pilihan untuk injeksi yang bila
diberikan secara intrakutan atau intramuskuler
mengiritasi karena pH dan tonisitas terlalu jauh
dari kondisi fisiologis. Kelemahan cara ini adalah
karena kerjanya cepat, maka pemberian antidotum
mungkin terlambat.
Volume pemberian dapat dimulai Dari 1 ml
hingga 100 ml, bahkan untuk infus dapat lebih
besar dari 100 ml. Kecepatan penyuntikan sampai
5 ml diberikan 1 ml/10 detik, sedangkan untuk di
atas 5 ml kecepatannya 1 ml/20 detik. Intravena
hanya terbatas untuk pemberian larutan air, kalau
merupakan bentuk emulsi harus memenuhi
ukuran partikel tertentu. Kalau dapat diusahakan
pH dan tonisitas sesuai dengan keadaan fisiologis.
D. Pemberian intrathekal-intraspinal

Penyuntikan langsung ke dalam cairan


serebrospinal pada beberapa tempat. Cara ini
berbeda dengan cara spinalanastesi. Kedua
pemberian ini mensyaratkan sediaan dengan
kemurniaannya yang sangat tinggi, karena dearah
ini ada barier (sawar) darah sehingga daerahnya
tertutup.
Sediaan intraspinalnanastesi biasanya dibuat
hiperbarik yaitu cairannya mempunyai tekanan
barik lebih tinggi dari tekanan barometer. Cairan
sediaan akan bergerak turun karena gravitasi, oleh
sebab itu harus pada posisi pasien tegak.
E. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut,
dimana obat secara cepat diabsorbsi. Sediaan
intraperitoneal dapat juga diberikan secara
intraspinal, im,sc, dan intradermal
F. Intradermal
Cara penyuntikan melalui lapisan kulit
superficial, tetapi volume pemberian lebih kecil
dan sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset
yang dapat dicapai sangat lambat.
Intratekal
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan
berefek pada cairan serebrospinal. Digunakan
untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk
anestesi spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan
secara langsung pada lumbarspinal atau ventrikel
sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk ke
dalam daerah yang berkenaan langsung pada SSP.
Biotransformasi Obat

1. Absorbsi
Obat, untuk dapat menimbulkan aksi dan menghasilkan
efek, terlebih dahulu harus diabsorbsi. Proses absorbsi
meliputi masuknya obat hingga sampai ke aliran darah.
Intravena tidak mengalami tahap absorbsi. Obat
langsung dimasukkan ke pembuluh darah sehingga
kadar obat didalam darah diperoleh dengan cepat, tepat
dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
penderita. Injeksi larutan obat secara langsung ke aliran
darah memberikan prediksi respon farmakologik yang
lebih baik.
Kerugiannya adalah obat yang sudah diberikan
tidak dapat ditarik kembali, sehingga efek toksik
lebih mudah terjadi. Jika penderita alergi akan
lebih terjadi. Pemberian intravena harus dilakukan
perlahan-lahan sambil mengawasi respons
penderita.
Pada daerah subcutan hanya boleh dilakukan
untuk obat yang tidak iritatif terhadap jaringan.
Absorbsi biasanya berjalan lambat dan konstan,
sehingga efeknya bertahan lebih lama. Absorbsi
menjadi lebih lambat jika diberikan dalam bentuk
padat yang ditanamkan dibawah kulit atau dalam
bentuk suspensi. Pemberian obat bersama dengan
vasokonstriktor juga dapat memperlambat
absorbsinya.
Intramuscular dan Subcutan, absorbsi pada
kedua injeksi ini akan lebih cepat jika diberikan
dalam bentuk cairan. Kecepatan absorbsinya
tergantung pada vaskularisasi di wilayah tubuh
yang diinjeksi. Faktor lainnya yang mempengaruhi
adalah konsentrasi obat, derajat ionisasi dan
bentuk lipid nonion, serta wilayah injeksi.
Untuk intrathecal, obat langsung dimasukkan
kedalam ruang subaraknoidspinal, dilakukan bila
diinginkan efek obat yang cepat dan setempat pada
selaput otak atau sumbu cerebrospinal seperti
pada anestesiaspinal atau pengobatan infeksi
sistem saraf pusat yang akut.
Faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan
biotransformasi

1. Faktor Intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-
kimia obat, lipofilitas, dosis, dan cara pemberian.
Banyak obat, terutama yang lipofil dapat menstimulir
pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati.
Sebaliknya dikenal pula obat yang menghambat atau
menginaktifkan enzim tersebut, misalnya anti
koagulansia, antidiabetika oral, sulfonamide,
antidepresivatrisiklis, metronidazol, allopurinol dan
disulfiram (Tan HoanTjay dkk., 1978).
2. Faktor-Fisiologi meliputi sifat-sifat yang dimiliki
makhluk hidup seperti: jenis atau spesies, genetik,
umur, dan jenis kelamin.
a. Perbedaan Spesies dan Galur
Dalam proses metabolisme obat, perubahan
kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi
kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar
pada reaksi metabolismenya.
Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan
galur terhadap metabolisme obat sudah banyak
dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau
perbedaan kualitatif dan pada kecepatan
metabolismenya atau perbedaan kuantitatif
(Siswandono dan Soekardjo,2000).
b. Faktor Genetik
Perbedaan individu pada proses metabolisme
sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam sistem
kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
genetik atau keturunan berperan terhadap
kecepatan metabolisme obat (Siswandono dan
Soekardjo,2000).
c. Perbedaan umur

Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati


mungkin menurun, tapi biasanya yang lebih
penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada
usia 65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG)
menurun sampai 30% dan tiap 1 tahun berikutnya
menurun lagi 1-2% (sebagai akibat hilangnya sel
dan penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena
itu ,orang lanjut usia membutuhkan beberapa obat
dengan dosis lebih kecil daripada orang muda
(Neal,2005).
d. Perbedaan Jenis Kelamin

Pada beberapa spesies binatang menunjukkan


ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan
metabolisme obat. Pada manusia baru sedikit yang
diketahui tentang adanya pengaruh perbedaan
jenis kelamin terhadap metabolisme obat. Contoh:
nikotin dan asetosal dimetabolisme secara berbeda
pada pria dan wanita.
3. Faktor Farmakologi

Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan


induksi enzim oleh induktor. Kenaikan aktivitas
enzim menyebabkan lebih cepatnya metabolisme
(deaktivasi obat). Akibatnya, kadar dalam plasma
berkurang dan memperpendek waktu paro obat.
Karena itu intensitas dan efek farmakologinya
berkurang dan sebaliknya.
4. Faktor Patologi

Menyangkut jenis dan kondisi penyakit.


Contohnya pada penderita stroke, pemberian
fenobarbital bersama dengan warfarin secara
agonis akan mengurangi efek anti koagulasinya
(sehingga sumbatan pembuluh darah dapat
dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis
reseptor H2) akan menghambat aktivitas sitokrom
P-450 dalam memetabolisme obat-obat lain.
5. Faktor Makanan

Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein.


Makanan panggang arang dan sayur mayur
diketahui menginduksi enzim CYP1A, sedang jus
buah anggur diketahui menghambat metabolisme
oleh CYP3A terhadap substrat obat yang diberikan
secara bersamaan.
6. Faktor Lingkungan

Adanya insektisida dan logam-logam berat.


Perokok sigaret memetabolisme beberapa obat
lebih cepat daripada yang tidak merokok, karena
terjadi induksi enzim. Perbedaan yang demikian
mempersulit penentuan dosis yang efektif dan
aman dari obat-obat yang mempunyai indeks
terapi sempit.
7. Induksi Enzim

Banyak obat mampu menaikkan kapasitas


metabolismenya sendiri dengan induksi enzim
(menaikkan kapasitas biosintesis enzim). Induktor
dapat dibedakan menjadi dua menurut enzim yang
di induksinya,antara lain:
Jenis fenobarbital
Jenis metilkolantrena
Untuk terapi dengan obat, induktor enzim
memberi akibat berikut:
Pada pengobatan jangka panjang dengan induktor
enzim terjadi penurunan konsentrasi bahan obat
yang dapat mencapai tingkat konsentrasi dalam
plasma pada awal pengobatan dengan dosis
tertentu.
Kadar bahan berkhasiat tubuh sendiri dalam
plasma dapat menurun sampai dibawah angka
normal.
Pada pemberian bersama dengan obat lain
terdapat banyak interaksi obat yang kadang-
kadang berbahaya. Selama pemberian induktor
enzim, konsentrasi obat kedua dalam darah dapat
juga menurun sehingga diperlukan dosis yang
lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama
(Ernst Mutschler,1991).
Evaluasi biofarmasetik

Tahapan Uji:
Menentukan waktu aksi yang diharapkan
Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil
yang sesuai harapan
Evaluasi invivo: penentuan kadar obat di dalam
darah hewan
Evaluasi Sediaan Parenteral
- Potensi/Kadar
Penentuan kadar dilakukan dengan pektoskopi UV,
HPLC, Spektroskopi IR.
- Ph
Adanya perubahan pH mengindikasikan telah
terjadi penguraian obat atau interaksi obat dengan
wadah.
- Warna
Perubahan warna umumnya terjadi pada
sediaan parenteral yang disimpan pada suhu tinggi
(> 40 0C). Suhu tinggi menyebabkan penguraian.
- Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena
larutan dapat menyerap dan memantulkan sinar.
Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 92-
97% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi
70% setelah 3-5 tahun.Terjadinya kekeruhan dapat
disebabkan oleh : benda asing, terjadinya
pengendapan atau pertumbuhan mikroorganisme.
- Bau Pemeriksaan bau dilakukan secara periodik
terutama untuk sediaan yang mengandung sulfur
atau anti oksidan.
- Toksisistas
Lakukan uji LD 50 atau LD 0 pada sediaan
parenteral selama penyimpanan.
- Evaluasi Wadah
- Keseragaman bobot
- Keseragaman volume
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai