Anda di halaman 1dari 3

TUGAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Nama : Oktria Winda Maryadi

No. BP : 1610111141

Dosen Mata Kuliah : Didi Nazmi, SH., MH

Hukum dan HAM kelas 1.2

Pukul 07.30-09.10 Gedung F1.3

Fakultas Hukum Universitas Andalas


Padang
2017/2018
Pemerintahan Jokowi Dianggap Lebih Kedepankan
Pembangunan daripada HAM

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULING

Aktivis HAM dan keluarga korban pelanggaran HAM memperingati 10 Tahun Aksi Kamisan di
depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/1/2017). Kamisan sebagai bentuk perlawanan
keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia dalam melawan lupa telah berlangsung
selama 10 tahun sejak aksi pertama di depan Istana Merdeka pada 18 Januari 2007.

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Manusia Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Arif Nur Fikri menilai belum
banyak perubahan dalam penanganan masalah hak asasi manusia dalam
pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Menurut Arif, pemerintah saat ini lebih mengedepankan sisi pembangunan ketimbang
penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi (HAM).

"Pemerintahan Jokowi ini kan terlihat bahwa memang lebih dikedepankan sisi soal
pembangunan ketimbang soal hukum dan HAM, penuntasan kasus HAM masa lalu,"
kata Arif saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (10/12/2017).

Menurut Arif, masalah yang berkaitan dengan HAM di era Jokowi justru cenderung
meningkat. Ia menyebut contoh soal eksekusi hukuman mati, tembak mati di tempat
terhadap bandar narkoba, dan kasus-kasus penyiksaan.

Ia menyatakan bahwa beberapa negara dalam Universal Periodic Review (UPR)


Dewan HAM PBB sudah memberikan catatan kepada Indonesia soal hukuman mati.
Seharusnya pemerintah melakukan moratorium hukuman mati setelah menjadi sorotan
dunia internasional.

Namun, dalam RUU KUHP, lanjut Arif, hukuman mati masih tetap ada, meski kini dibuat
sebagai hukuman alternatif.

"Seharusnya ini menjadi moratorium hukuman mati tetapi dalam praktiknya di nasional
sendiri pemerintah baik Presiden maupun di DPR malah menjadikan hukuman mati
dalam pembahasan RUU KUHP," ujaf Arif.

Ia juga menilai bahwa hingga kini masih ada celah pada proses hukum di Indonesia
sehingga menimbulkan potensi pelanggaran HAM terhadap seseorang.

"Kita lihat dari proses hukum yang ada di indonesia, sampai orang divonis mati banyak
celah, misalnya dari penyiksaan, kriminalisasi, akses bantuan hukum yang tidak
diberikan," ujar Arif.

Ia merujuk pada kasus eksekusi terpidana mati kasus narkotika asal Brasil, Rodrigo
Gularte (42), pada April 2015. Rodrigo merupakan terpidana kasus kepemilikan 6
kilogram kokain yang disembunyikan di dalam papan selancarnya pada 2004.

Arif menyatakan, Rodrigo mengalami masalah mental, tetapi tetap dieksekusi mati pada
29 April 2015 dini hari di Nusakambangan, Jawa Tengah. Rodrigo belakangan disebut
didiagnosis menderita skizofrenia.

Selain itu, Arif belum melihat ada keseriusan dari pemerintah soal penyelesaian pada
kasus HAM. Kasus HAM yang terjadi saat ini merupakan efek tidak ada penyelesaian
terhadap kasus HAM masa lalu.

"Bisa dilihat, misalnya, ada pola yang sama di eranya Soeharto, yang mengedepankan
soal prospek pembangunan dan segala macam, dan akhirnya melakukan tindakan-
tindakan pelanggaran HAM dengan mengatasnamakan pembangunan," ujar Arif.

Pada momentum peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional pada 10 Desember,
Arif menyarankan pemerintah untuk fokus menyelesaikan kasus-kasus HAM sebagai
salah satu janji pemerintah.

"Fokusnya jangan hanya mengambil suatu kebijakan yang dilihat oleh publik itu sangat
menonjolkan pemerintahan, populer dan segala macam, tapi pemeintah juga harus
commit terhadap apa yang sudah dijanjikan," ujar dia.
Penulis: Robertus Belarminus

Editor: Laksono Hari Wiwoho

Anda mungkin juga menyukai