Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat.
Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta merta indah pula dalam kenyataannya.
Banyak sekali warga Negara Indonesia yang merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk
agama dan berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang diakui pemerintah,
artinya kalau memeluk agama di luar agama yang diakui itu maka ada efek yang dapat
mengurangi hak-hak sipil warga negara. Bahkan, orang yang mempunyai keyakinan tertentu,
biasa dituduh melakukan penodaan agama. Keyakinan keagamaan kelompok Lia Eden
Aminuddin misalnya, bisa dituduh melakukan penodaan agama dan divonis 2 tahun karena
melanggar KUHP pasal 156a. Hal ini merupakan contoh telanjang betapa diskriminasi atas dasar
agama dan keyakinan, meski diingkari oleh perundang-undangan kita, namun dalam realitasnya
berbeda.
Jaminan kebebasan beragama pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-Undang
Dasar negara kita. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan:
1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif
bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal
22 ditegaskan:
1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu;
2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Dalam KUHP (WvS) sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai delik agama, meski ada
beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik agama.
Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama
hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama .
Pasal 156a yang sering disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik
terhadap agama. Sedang delik kategori c tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi
pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu
pertemuan /upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas
agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
Bagian ini akan lebih difokuskan pada pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk
memutus kasus penodaan agama. Pasal ini selengkapnya berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan
Ketuhanan Yang maha Esa.
Permasalahan yang terkait dengan hukum pidana dan kriminologi terhadap tindak pidana
penistaan agama di Indonesia dalam penyelesaiannya tentu saja ada hal hal yang akan dibahas
dari segi norma dan penerapannya.
Penulis mengangkat latar belakang tersebut di atas, karena penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Analisa Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tidak Pidana
Penistaan Agama Di Indonesia untuk dikaji dalam penelitian ini. Untuk itu, penelitian ini di
harapkan memberikan informasi dan memperluas wawasan dan cakrawala berpikir terhadap
masalah masalah di atas.
C. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas , maka rumusan permasalahan yang akan di bahas di dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah analisa kriminologi terhadap tindak pidana penistaan agama di Indonesia?
2. Bagaimana Pengaturan hukum terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia?
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan penelitian ini secara singkat, adalah
sebagai berikut :
Untuk mengetahui bagaimanakah analisa kriminologi terhadap penistaan agama di Indonesia dan
bagaimana Pengaturan Hukum terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia
Selanjutnya, penulisan penelitian ini juga diharapkan bermanfaat untuk :
a. Manfaat secara teoritis.
Dapat mengetahui dan memperdalam konsep konsep yang berhubungan dengan analisa hukum
pidana dan kriminologi terhadap penistaan agama oleh berbagai aliran sesat di Indonesia
misalnya seperti Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Ahmadiyah dan sebagainya.
F. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Kriminologi
Dalam memberikan pengertian ataupun rumusan apa yang disebut dengan kriminologi pada
prinsipnya belum terdapat suatu definisi yang sama antara pendapat yang satu dengan pendapat-
pendapat penulis lainnya, hal ini disebabkan adanya perbedaan pandangan para sarjana-sarjana
kriminologi. Namun demikian dalam hal memberikan rumusan apa yang dimaksud dengan
kriminologi, maka penulis akan mencoba mengemukakan pengertian kriminologi baik ditinjau
dari segi tata bahasa (etimologi) dan juga beberapa pendapat dari para sarjana.
Secara etimologi, kriminologi sebagaimana yang dimuat di dalam buku karangan Ediwarman,
yang berjudul Selayang Pandang Tentang Kriminologi menyebutkan bahwa kriminologi berasal
dari dua suku kata, yaitu Crime = kejahatan, Logos = ilmu pengetahuan. Jadi kalau diartikan
secara lengkap, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk beluk
kejahatan.
Selanjutnya mengenai pengertian kriminologi dapat juga diketahui dari beberapa rumusan yang
dikemukakan oleh beberapa sarjana , antara lain:
1. Menurut Michael dan Adler berpendapat bahwa, kriminologi adalah keseluruhan keterangan
mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka, dan cara mereka secara
resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penerbit masyarakat dan oleh para anggota
masyarakat.
2. Menurut Wilhelm Sauer berpendapat bahwa kriminologi adalah merupakan ilmu pengetahuan
tentang kejahatan yang dilakukan individu dan bangsa-bangsa yang berbudaya, sehingga objek
penelitian kriminologi ada dua, yaitu:
a. perbuatan individu (Tat Und Tater)
b. perbuatan / kejahatan
3. Menurut Moeljatno, kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan
jelek dan tentang orangnya yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek itu.
Apabila diperhatikan rumusan pendapat-pendapat sarjana tersebut di atas, maka terdapat adanya
satu hal penting yang mempunyai persamaan di mana perumusan itu secara keseluruhan
mempergunakan istilah perbuatan jahat dan atau penjahat.
Teori-teori Kriminologi
Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa teori tentang kriminologi, yaitu :
a. Teori Asosiasi Deferensial
Teori Asosiasi Diferensial dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939 dan tahun
1947. Prilaku kriminal merupakan prilaku yang dipelajari di dalam lingkungan social. Semua
tingkah laku dipelajari dengan berbagai cara. Oleh karena itu perbedaan tingkah laku yang
conform dengan riminal adalah apa dan bagaimana sesuatu itu dipelajari.
Munculnya teori asosiasi diferensial itu didasarkan pada tiga hal yaitu :
1) Setiap orang akan menerima dan mengikuti pola pola prilaku yang dapat dilaksanakan
2) Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku yang menimbulkan ketidakharmonisan
3) Konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan
b. Teori Anomi
Istilah anomi dipergunakan oleh dua tokoh yaitu Emile Durkheim . Durkheim dalam bukunya
The Division of Labour in Society(1893), menggunakan istilah anomi dengan menggambarkan
keadaan deregulasi dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan aturan
yang terdapat dalam masyarakat dan orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain.
c. Teori Subkultur
Teori kriminologi yang berkembang pada tahun 1950-an hinggal awal tahun 1960-an, dengan
beberapa pengecualian, lebih menekankan pada kenakalan remaja. Para teoritisi pada saat itu
berusaha menjelaskan bentuk kenakalan di kalangan remaja yang berbentuk gang. Mereka
tertarik untuk menjelaskan perkembangan yang berbeda beda dari berbagai tipe gang.
Jadi hukum pidana mengatur kepentingan umum. Hukum pidana tidak membuat peraturan-
peraturan yang baru, melainkan mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang
bersifat kepentingan umum. Setiap serangan atas kepentingan hukum perseorangan di samping
menyangkut urusan hukum perdata, juga adakalanya menjadi urusan hukum pidana, seperti
pencurian, penghinaan dan sebagainya. Hukum pidana bersifat memaksa dan mencegah agar
tidak terjadi perkosaan terhadap hak-hak manusia sebagai anggota masyarakat.
Setelah diketahui mengenai pengertian hukum pidana, selanjutnya akan dilihat mengenai
peristiwa pidana (selanjutnya disebut tindak pidana). Tindak pidana (delik) adalah perbuatan atau
rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.
Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai tindak pidana kalau memenuhi unsur-
unsur pidananya, yang terdiri dari :
1) Unsur objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan
mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Yang menjadikan
titik utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya.
2) Unsur subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-
undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang.
Selanjutnya syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu tindak pidana, adalah :
a). Harus ada suatu perbuatan.
b). Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Artinya,
perbuatan itu sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada
saat itu.
c). Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
d). Harus berlawanan dengan hukum. Artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum
dimaksudkan kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan aturan hukum.
e). Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya kalau ada ketentuan yang megnatur
tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat
sanksi ancaman hukumannya.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang diadakan dua macam
pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan dalam Buku ke II dan pelanggaran
yang ditempatkan dalam Buku ke III. Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang
memberikan dasar pembagian tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I selalu ditemukan
penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya cirri-ciri pembedaan itu
terletak pada penilaian-kesadaran hukum pada umumnya dengan penekanan (stressing) kepada
delik hukum (rechts-delichten) dan delik undang-undang (wet-delichten).
Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa delik hukum sudah
sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum sebelum
pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang. Sedangkan delik undang-undang
baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan
dalam undang-undang.
Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan, pembunuhan, pencurian,
perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari delik undang-undang antara lain adalah
pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan, peraturan pendirian perusahaan, peraturan
pengendalian harga dan lain sebagainya. Sarjana lain yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana
dikatakan bahwa dasar pembagian pelanggaran adalah karena sebelumnya tindakan-tindakan
tersebut tidak dirasakan sebagai hal yang melanggar kesopanan atau tak dapat dibenarkan oleh
masyarakat (zedelijk of maatschappelijk ongeoorloofd), karena :
a). ada pelanggaran yang diatur dalam Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru
dapat dirasakan sebagai yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat dan
b). ada beberapa kejahatan seperti Pasal-Pasal 303 (main judi), 396 (merugikan kreditur) yang
justru dapat dirasakan sebelumnya sebagai tindakan yang melanggar kesopanan.
Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang dikemukakan adalah pada
berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seharusnya untuk kejahatan diancamkan pidana yang
berat seperti pidana mati atau penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena
pidana kurungan dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran. Dari sudut
pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai delik hukum atau pelanggaran sebagai delik undang-
undang, tidak banyak faedahnya sebagai pedoman. Demikian pula dari sudut ketentuan
berat/ringannya ancaman pidana terhadapnya, seperti yang dikemukakan di atas, sulit untuk
dipedomani. Dalam penerapan hukum positif tiada yang merupakan suatu kesulitan, karena
dengan penempatan kejahatan dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, sudah
cukup sebagai pedoman untuk menentukan apakah sesuatu tindakan merupakan kejahatan atau
pelanggaran.
Mengenai tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan lainnya setingkat dengan KUHP
telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan tindak pidana
yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah tingkatannya (peraturan pemerintah, peraturan-
peraturan gubernur/kepala daerah dan sebagainya) pada umumnya merupakan pelanggaran.
Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan dalam sistematika KUHP
yang merupakan buku induk bagi semua perundang-undangan hukum pidana. Sedangkan
istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Het Strafbare
feit yang setelah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti:
a) Perbuatan yang dapat/boleh dihukum
b) Peristiwa pidana
c) Perbuatan pidana dan
d) Tindak pidana
Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah Het Strafbaar feit
antara lain :
a) Rumusan Simon
Simon merumuskan Een Strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang
diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig)
dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian
beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan
yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa
kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari petindak.
b) Rumusan Van Hammel
Van Hammel merumuskan Strafbaar feit itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simon, hanya
ditambah dengan kalimat tindakan mana bersifat dapat dipidana.
c) Rumusan VOS
VOS merumuskan Strafbaar feit adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia yang dilarang
dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
d) Rumusan Pompe
Pompe merumuskan Strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban
hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar
untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.
Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak pidana ini, yaitu :
a) Mr. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum.
b) Mr. R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.
c) Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.
d) Dr. Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan subjek
tindak pidana.
Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak pidana, maka selanjutnya
dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua suku kata yaitu tindak dan pidana.
Istilah tindak dan pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan dan penindak. Artinya ada
orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan
penindak. Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal suatu
tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jensi kelamin
saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada negara/pemerintah (pegawai negeri,
militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang dari golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi
seseorang petindak harus ditentukan apakah ia salah seorang dari barang siapa, atau seseorang
dari suatu golongan tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk
-persoon) saja melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum. Setiap tindakan yang
bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan hukum, menyerang kepentingan
masyarakat atau individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat,
baik yang langsung atau tidak langsung terkena tindakan tersebut. Pada umumnya untuk
menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum di samping
kepentingan perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Apabila penguasa tidak turun
tangan, maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak akan
habis-habisnya.
Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat, perlu ditentukan
mengenai tindakan-tindakan yang dilarang atau yang diharuskan. Pelanggaran kepada ketentuan
tersebut diancam dengan pidana. Singkatnya perlu ditentukan tindakan-tindakan apa saja yang
dilarang atau diharuskan dan ditentukan ancaman pidananya dalam perundang-undangan.
Penjatuhan pidana kepada pelanggar, selain dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, juga
untuk mengembalikan keseimbangan kejiwaan dalam masyarakat.
Akhirnya tindak pidana penistaan terhadap agama diatur di dalam Pasal 156 dan 156a, yang
memidanakan barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan :
1. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia.
2. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di negeri Belanda, Jerman dan lain-lain, bahwa ucapan, pernyataan ataupun perbuatan-perbuatan
yang mengejek Tuhan, memiliki peraturan sendiri, suatu Godslasteringswet di samping
peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan delikdelik agama, ataupun pernyataan terhadap
Tuhan, Nabi dan lain-lainnya dituangkan dalam satu ketentuan seperti di Inggris, yaitu
blasphemy.
Selanjutnya Oemar Seno Adji berpendapat, tindak pidana penistaan terhadap agama di Indonesia
sendiri diatur di dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP, yang dimasukkan pada tahun 1965
dengan Penpres No. 1 Tahun 1965 ke dalam kodifikasi mengenai delik agama. Namun demikian,
Indonesia dengan Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima, tidak
memiliki suatu afweer terhadap serangan kata-kata mengejek terhadap Tuhan. Tidak terdapat
di sini suatu perundang-undangan semacam Godslasteringswet ataupun blasphemous libel di
atas. Hal ini dikemukakan sebagai suatu kekurangan yang vital dalam suatu negara yang
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tindak pidana penistaan terhadap agama yang diatur di dalam Pasal 156 KUHP, adalah salah
satu dari haatzaai-artikelen yang befaamd dirumuskan dengan perbuatan pidana yang
kontroversial, yaitu mengeluarkan pernyataan perasaan bermusuhan, benci atau merendahkan
dengan objek dari perbuatan pidana tersebut, ialah golongan penduduk, yang kemudian diikuti
oleh interprestasi otentik.
Dikatakan dalam Pasal 156 KUHP kemudian, bahwa yang dimaksudkan dengan golongan
penduduk ialah golongan yang berbeda, antara lain karena agama dengan golongan penduduk
yang lain. Maka suatu pernyataan perasaan di muka umum yang bermusuhan, benci atau
merendahkan terhadap golongan agama, dapat dipidanakan berdasarkan Pasal 156 KUHP.
Selanjutnya istilah dalam bahasa Belanda, yaitu ongelukkig adalah pernyataan yang ditujukan
terhadap golongan agama itu ditempatkan dalam salah satu haatzaai-artikelen.
Selanjutnya Pasal 156a KUHP memidanakan barangsiapa di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan :
a. yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalagunaan atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia.
b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Seperti telah dikemukakan di atas, pasal ini dimasukkan dalam kodifikasi delik agama pada
Penpres No. 1 Tahun 1965, di mana dalam Pasal 1 Penpres tersebut melarang untuk dengan
sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-
kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan
mana menyimpang dari pokok ajaran agama itu.
Selanjutnya barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 1 tersebut, ia diberi peringatan dan
diperintahkan untuk menghentikan perbuatannya itu ke dalam suatu keputusan bersama menteri
agama, jaksa agung dan menteri dalam negeri. Jika yang melanggar itu suatu organisasi atau
aliran kepercayaan, ia oleh presiden setelah mendapat pertimbangan dari menteri agama,
menteri/jaksa agung dan menteri dalam negeri, dapat dibubarkan dan dinyatakan sebagai
organisasi/aliran terlarang.
Jika setelah diadakan tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di atas, ia masih terus melanggar
ketentuan dalam Pasal 1 itu, maka orang/anggota atau anggota pengurus dari organisasi/aliran
tersebut dipidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Sandaran dari peraturan tersebut adalah pertama-tama melindungi ketenteraman beragama dari
pernyataan ataupun perbuatan penodaan/penghinaan serta ajaran-ajaran untuk tidak memeluk
agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam usulan penelitian ini adalah jenis penelitian Normatif
2. Metode Pendekatan
Dalam Penulisan penelitian ini agar memenuhi kriteria ilmiah dan dapat mendekati kebenaran,
maka metode pendekatan yang digunakan adalah :
a. Pendekatan Konseptual, merupakan pendekatan yang mengkaji tentang asas-asas hukum,
norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari Undang-
Undang, Dokumen, buku-buku, dan sumber-sumber resmi yang berkaitan dengan penulisan
penelitian ini.
b. Pendekatan Sosiologis, yakni pendekatan yang melihat atau memperhatikan keberlakuan atau
penerapan aturan aturan hukum dalam praktik yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
c. Pendekatan Perundang undangan, yakni pengkajian terhadap terhadap peraturan perundang
undangan yang terkait dengan isu hukum.
2. Jenis Bahan Hukum
a.) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan pada hukum
sekunder yang terdiri dari peraturan perundang-undangan.
b.) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang meliputi buku-buku, referensi, makalah,
majalah, hasil penelitian dan lain-lain, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
c.) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia
H. DAFTAR PUSTAKA
1. Buku/Makalah
Adji, Oemar Seno, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Alumni, Bandung, 1983. Ridwan
Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, USU Press, Medan, 1994.
Anwar . H.A.K. Moch, Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama KUHP, Alumni,
Bandung, 1981.
Hendrojono, Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, Srikandi, Agustus 2005
Sahetapy.JE, Kriminologi Suatu Pengantar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
M.W.E,Noach, Kriminologi Suatu Pengantar, diterjemahkan oleh JE. Sahetapy, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1992
_____ , Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung, 1981.
2. Internet
Ahmad Sarwat, Aliran-Aliran Sesat di Indonesia, diakses dari situs :
http://www.eramuslim.com/ustadz/aqd/7b06080216-aliran-aliran-sesat-indonesia.htm
AH. Mahally, Pemicu Timbulnya Aliran Sesat, diakses dari situs Republika online, tanggal 9
November 2007.
H.M. Rizal Fadhilah, Aspek Hukum Pertobatan Mushaddeq, diakses dari situs :
http://www.pikiran-rakyat.com/14/November/2007.
Fenoma Aliran Sesat dan Makna Kebebasan Beragama, Diakses dari situs :
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=4984, 27 November 2007.
3. Surat Kabar/Majalah/Tabloid
Ahmadiyah Jahat dan Sesat, Tabloid Surat Islam, Edisi 36, tanggal 18-31 Januari 2008 M/9 22
Muharram 1429 H.
Majelis Ulama Indonesia, Rakornas Majelis Ulama Indonesia 2007, Suara Islam, Edisi 32
tanggal 23 November 6 Desember 2007 M/13 Dzulqaidah -26
Dzulqaidah 1428 H.
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) tahun 2007
yang lalu menetapkan kriteria sebuah aliran keagamaan dianggap sesat diantaranya
adalah:
Mengingkari dari salah satu rukun Islam yang lima (5) dan rukun Iman yang enam (6);
Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syari (Al-Quran
dan as-Sunnah);
Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir;
Merubah, menambah atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh
syariah, seperti shalat fardhu tidak lima waktu dan pergi haji tidak ke Baitullah;