Anda di halaman 1dari 10

Penegakan hukum atas pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas agama di Indonesia

Ivan Taffarel Almeyda, Efron Lasa Yahuda

NBI 1311900143, NBI 1311900145

Email; ivantaffarel01@gmail.com

ABSTRACT

Artikel ini membahas tentang penegakan hukum mengenai hak asasi manusia di indonesia berdasarkan
undang-undang nomor 39 tahun 1999. Adapun penulis memilih judul ini karena hingga saat ini
penegakan hukum khususnya terkait dengan hak asasi manusia di Indonesia masih kurang maksimal
utamanya dikarenakan sampai saat ini Negara Indonesia masih dalam zona transisi yang masih diwarnai
dengan ketidakpastian hukum. Pokok permasalahan dalam artikel ini adalah: bagaimana penerapan
hukum pada pelanggaran Hak Asasi Manusia, kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia apa saja yang
terjadi terhadap kelompok minoritas agama di Indonesia, bagaimanakah sarana penyelesaian yang dipakai
dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, terutama terhadap kelompok minoritas agama di
Indonesia. Kesimpulan dari permasalahan yang di bahas adalah Penerapan hukum kepada pelanggaran
Hak Asasi Manusia di Indonesia ini berpedoman pada Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
pengadilan Hak Asasi Manusia, di mana dalam Undang-undang tersebut disebut tentang pengadilan ad
hoc yang dipakai untuk mengadili para pelanggar Hak Asasi Manusia di Indonesia. Lembaga yang
mengadili para pelanggar Hak Asasi Manusia adalah pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia, yang tidak
beda dengan pengadilan biasa, khususnya pengadilan pidana. Sebab pada hakekatnya pengadilan pidana
juga mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang bersifat khas adalah bahwa pelanggaran Hak Asasi
Manusia berkaitan dengan kesepakatan internasional. Untuk menyelesaikan kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang terjadi di wilayah Indonesia yaitu melalui pengadilan Ad Hoc apabila waktu
terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia sebelum UndangUndang No. 26 Tahun 2000 tentang
pengadilan Hak Asasi Manusia dan apabila terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut setelah
Undang-undang ini maka diselesaikan melalui pengadilan Hak Asasi Manusia dan apabila terjadinya
pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut sebelum Undangundang ini dapat juga diselesaikan melalui
alternatif penyelesaian yaitu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ditetapkan oleh Undang-
Undang.Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana akan
menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Kata kunci: penegakan hukum, hak asasi manusia

Abstract – This article discusses the enforcement of human rights in Indonesia based on Law
No. 39 of 199. The authors chose this title because until now, law enforcement, especially
related to human rights in Indonesia is still less than the maximum mainly due to the current
State of Indonesia still in the transition zone which is still marked by legal uncertainty. The
main problem in this article are: how the application of the law on human rights violations,
the Institute Which prosecute human rights violators, whether the means of settlement which
is used in cases of human rights violations in Indonesia, as well as how the principles of
Islamic law on Human Rights. The conclusion of the issues discussed is the application of the
law to human rights violations in Indonesia is guided by the Law No. 26 of 2000 on Human
Rights Court, where in the Act called on an ad hoc court used to prosecute human rights
violators in Indonesia. Institution who prosecute the violators of Human Rights is the Ad Hoc
Human Rights, which no different to ordinary courts, particularly criminal court. Cause,
essentially criminal courts also prosecute violations of human rights that is typical is that of
human rights violations related to international agreements. To resolve the case of human
rights violations that occur in Indonesia is through the courts if the timing of the Ad Hoc
Human Rights violations before Law No. 26 of 2000 on Human Rights Court, and if the
violation of Human Rights after this Law then resolved through a court of Human Rights and
if the violation of Human Rights before this Act can also be resolved through an alternative
solution, namely through Commission the truth and Reconciliation Commission established by
the Act.Human Rights in accordance with the principles of Islam can’t be separated from the
Qur'an and sunnah because of these two sources into a rules instructions and guidance for all
mankind. The methodology used in this research is normative, which will use a descriptive
study with normative juridical approach, based on the legislation in force.

Keywords – Law Enforcement, Human Rights, Indonesia

1. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara dengan pluralisme. Pluralisme merujuk pada pengakuan dan
penghormatan terhadap keragaman dalam masyarakat, termasuk keragaman agama, etnis,
budaya, bahasa, dan keyakinan politik. Indonesia memiliki beragam suku bangsa dengan lebih
dari 300 etnis yang berbeda dan ratusan bahasa daerah. Selain itu, Indonesia juga memiliki
beragam agama, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan
tradisional. Keragaman ini tercermin dalam keragaman arsitektur, seni, tarian, musik, dan
tradisi-tradisi lokal yang berbeda di setiap daerah di Indonesia.

Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, menjamin kebebasan beragama dan
mengakui adanya pluralisme dalam masyarakat. Pasal 29 dan 30 UUD 1945 menjelaskan hak
setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya
sendiri. Meskipun demikian, ada juga tantangan dan masalah terkait pluralisme di Indonesia.
Beberapa kelompok masyarakat masih menghadapi diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil
berdasarkan agama, suku, atau latar belakang etnis mereka. Terdapat juga beberapa konflik
sosial dan agama yang terjadi di beberapa wilayah.

Namun, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mempromosikan perdamaian, toleransi,


dan kerukunan antarumat beragama melalui berbagai kebijakan, program pendidikan, dan
dialog antaragama. Selain itu, berbagai organisasi masyarakat sipil dan kelompok keagamaan
juga berperan dalam membangun hubungan harmonis antarumat beragama di Indonesia.

Dengan demikian, Indonesia bisa digambarkan sebagai negara dengan pluralisme karena
masyarakatnya yang beragam dalam agama, etnis, budaya, bahasa, dan keyakinan politik serta
upaya pemerintah dan kelompok masyarakat dalam mempromosikan toleransi dan kerukunan
antar umat beragama.

Dalam konteks pluralisme, hak asasi manusia penting untuk melindungi kebebasan dan hak-
hak minoritas serta kelompok yang mungkin berbeda dalam masyarakat. Pluralisme yang
dijalankan dengan prinsip-prinsip HAM memastikan bahwa individu dan kelompok tidak
menghadapi diskriminasi atau penindasan berdasarkan identitas atau keyakinan mereka.

Namun, penting untuk diingat bahwa di beberapa situasi, konflik dapat muncul antara
pandangan pluralisme dan hak asasi manusia, terutama ketika ada pertentangan antara nilai-
nilai dan keyakinan yang berbeda. Dalam kasus semacam itu, penting untuk mencari titik
keseimbangan yang mempromosikan penghargaan terhadap keberagaman, sambil melindungi
hak-hak asasi setiap individu atau kelompok.

Diskriminasi terhadap minoritas beragama masih menjadi isu yang relevan di Indonesia.
Meskipun Indonesia secara resmi menganut prinsip Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi
tetap satu), yang menekankan keragaman dan toleransi antaragama, namun masih terdapat
beberapa kasus diskriminasi yang melibatkan minoritas agama di negara ini. Berikut adalah
beberapa contoh diskriminasi yang sering dilaporkan:

1. Penolakan Pendirian Tempat Ibadah: Kadang-kadang, minoritas agama mengalami


kesulitan dalam mendapatkan izin untuk membangun tempat ibadah mereka. Ada
laporan tentang penolakan atau penundaan dalam pemberian izin untuk gereja, kuil,
atau tempat ibadah non-Muslim lainnya.

2. Kekerasan dan Intoleransi Agama: Terkadang, terjadi tindakan kekerasan fisik dan
ancaman terhadap minoritas agama. Beberapa kelompok ekstremis melakukan serangan
terhadap gereja atau tempat ibadah minoritas, yang mengakibatkan luka-luka dan
kerusakan properti.

3. Larangan Praktik Agama: Beberapa daerah di Indonesia menerapkan aturan yang


membatasi praktik agama minoritas. Misalnya, ada kasus larangan bagi warga non-
Muslim untuk melaksanakan ibadah di rumah mereka sendiri atau melarang
penggunaan simbol-simbol keagamaan di tempat umum.

4. Diskriminasi dalam Hukum dan Kebijakan Publik: Beberapa undang-undang dan


kebijakan publik di Indonesia tidak sepenuhnya melindungi hak-hak minoritas agama.
Misalnya, ada ketentuan yang mempersulit minoritas agama dalam memperoleh izin
pernikahan antaragama atau membatasi hak-hak waris mereka.

5. Penghinaan dan Penistaan Agama: Terkadang, minoritas agama mengalami penghinaan


dan penistaan agama oleh individu atau kelompok tertentu. Ini dapat terjadi dalam
bentuk retorika kebencian, penghinaan di media sosial, atau penghinaan di tempat
umum.

Problematika hukum HAM ini menunjukkan bahwa masih banyak tantangan yang harus
dihadapi dalam memastikan bahwa hak asasi manusia dihormati dan dilindungi secara
universal. Upaya terus-menerus diperlukan baik dari pemerintah, masyarakat sipil, dan
organisasi internasional untuk mempromosikan pemenuhan hak asasi manusia serta
menyelesaikan isu-isu yang timbul dalam konteks HAM.

2. Metode penelitian

Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana akan
menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penulisan ini penulis
melakukan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan
menggunakan bentuk penelitian kepustakaan (library research). Penulis menggunakan
data sekunder sebagai pendekatan penelitian normatif yang mencari dan menggunakan
bahan kepustakaan seperti tulisan karya ilmiah maupun jurnal-jurnal Ilmiah, buku-
buku tentang hak asasi manusia sebagai referensi dan juga mempelajari perundang-
undangan berkenaan dengan hak asasi manusia.

3. Pembahasan

Konsepsi HAM dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya Pancasila sebagai dasar
pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat. Baik yang menyangkut mengenai
hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan manusia dengan
manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila yang terdapat
pada pancasila.Dalam Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hah Asasi Manusia,
pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada deklarasi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur
mengenai Hak Asasi Manusia. Materi Undang-Undang ini tentu saja harus disesuaikan dengan
kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan pancasila
dan Undang- Undang Dasar 1945. Sedangkan di dalam Undang- Undang Dasar 1945 (yang
telah diamandemen), masalah mengenai Hak Asasi Manusia dicantumkan secara khusus dalam
bab XA pasal 28A sampai dengan 28J yang merupakan hasil amandemen kedua tahun 2000.9
Pemerintah dalam hal untuk melaksanakan amanah yang telah diamanatkan melalui TAP MPR
tersebut di atas, di bentuklah Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
pada tanggal 23 September 1999 telah disahkan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia yang mengatur beberapa hal penting yang menyangkut Pengadilan Hak
Asasi Manusia.

Pertama, definisi pelanggaran Hak Asasi Manusia dideskripsikan sebagai setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-
Undang ini, dan tidak mendapatkan atau di khawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (pasal 1 ayat 6).

Kedua, hak untuk hidup, hak untuk tidak dipaksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat di kecualikan
dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan
terhadap kemanusiaan.

Ketiga, dalam Pasal 7 dinyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk menggunakan semua
upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia
yang di jamin oleh hukum Indonesia oleh negara Republik Indonesia menyangkut Hak Asasi
Manusia menjadi hukum nasional.

Keempat, di dalam Pasal 104 diatur tentang pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai berikut :
Untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di bentuk pengadilan dalam ayat
(1) di bentuk dengan Undang- Undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sebelum
terbentuk pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai mana dimaksudkan dalam ayat (2) di adili
oleh pengadilan yang berwenang

Sungguhpun Begitu, prospek penegakan Hak Asasi Manusia kedepan tentu akan lebih baik dan
cerah, mengingat pada satu sisi proses institusional Hak Asasi Manusia, antara lain melalui
pembaruan serta pembentukan hukum terus menunjukkan kemajuan yang berarti, maupun
pada sisi lain terbangunnya ruang publik yang lebih terbuka bagi perjuangan Hak Asasi
Manusia dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini
1
“Ketika pelanggaran atau kejahatan hak asasi manusia amat luas, pengabaian memang
seharusnya bukan merupakan pilihan, sekalipun upaya menyelesaikan masa lalu tidaklah
sederhana. Dalam sebuah dunia yang sejak perang dunia ke-II disibukkan dengan penyebaran
isu demokratisasi dan penghormatan terhadap martabat manusia, di lama antara proses
penegakan keadilan dan kepentingan politik antara masa transisi, melahirkan apa yang oleh
Tina Rosenberg disebut sebagai dimana besar moral, politik dan filosofis abad ini”.

Pengertian HAM menurut para ahli, hukum nasional dan hukum internasional

Hak Asasi Manusia adalah kristalisasi berbagai sistem nilai dan filsafat tentang manusia dan
seluruh aspek kehidupannya. Fokus utama dari Hak Asasi Manusia (“HAM”) adalah
kehidupan dan martabat manusia. Secara historis, akar filosofis dari munculnya gagasan HAM
adalah teori hak kodrati atau natural rights theory yang dikembangkan para filsuf seperti John
1
Karlina Leksono dan Supelli, Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, (Jakarta : ID
H-THC, 2001) Vol 1 No. 3. Hal 9.
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, (Jakarta: Penabur Ilmu,2003) Hal
Locke, Thomas Paine, dan Jean Jacques Rousseau. Inti dari hak kodrati adalah semua individu
dikarunai oleh alam hak yang melekat pada dirinya, dengan demikian tidak dapat dicabut oleh
negara. Berikut ini kami akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia
berdasarkan doktrin para ahli, hukum nasional, dan hukum internasional.

Pengertian Hak Asasi Manusia menurut Para Ahli

1. Soetandyo Wignjosoebroto

Pengertian hak asasi manusia adalah hak mendasar (fundamental) yang diakui secara universal
sebagai hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodratnya sebagai manusia. HAM
disebut universal karena hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok
manusia, apapun warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang budaya, agama, atau
kepercayaan. Sedangkan sifat inheren karena hak ini dimiliki setiap manusia karena
keberadaannya sebagai manusia, bukan pemberian dari kekuasaan manapun. Karena melekat,
maka HAM tidak bisa dirampas.

2. Muladi

HAM adalah hak yang melekat secara alamiah (inheren) pada diri manusia sejak manusia lahir,
dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang
utuh. Karena keberadaan HAM yang begitu penting, tanpa HAM manusia tidak dapat
mengembangkan bakat dan memenuhi kebutuhannya.

3. Leah Levin

HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya mustahil manusia dapat
hidup sebagai manusia.

4. Thomas Hobbes

Pengertian HAM adalah jalan keluar untuk mengatasi keadaan “homo homini lupus, bellum
omnium contra omnes“ yaitu manusia dapat menjadi serigala bagi manusia lain. Keadaan seperti
ini mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat di mana rakyat menyerahkan hak-haknya
kepada penguasa.

Pengertian Hak Asasi Manusia menurut Hukum Nasional

Secara normatif, definisi HAM di Indonesia dapat Anda temukan dalam Pasal 1 angka 1 UU
HAM yang berbunyi:
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.”

Dari pasal tersebut, dapat diartikan bahwa HAM adalah hak dasar manusia, merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, merupakan hak natural, dan oleh karena itu HAM tidak
dapat dicabut oleh manusia lain sesama mahluk hidup.

Pengertian Hak Asasi Manusia menurut Hukum Internasional

Selanjutnya menjawab pertanyaan Anda terkait instrumen hukum internasional yang


mendefinisikan arti HAM, sepanjang penelusuran kami, instrumen hukum internasional tidak
memberikan definisi harafiah tentang HAM. Namun, Pasal 1 Universal Declaration of Human
Rights/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (“DUHAM”) menyebutkan:

All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and
conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.

Pasal tersebut jika diartikan adalah semua manusia dilahirkan merdeka dan memiliki martabat
dan hak yang sama. Manusia dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama
lain dalam semangat persaudaraan.

Selain itu, definisi HAM secara tersirat diatur dalam preamble/konsideran International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah disahkan di Indonesia UU 12/2005,
yaitu “… these rights derive from the inherent dignity of the human person” yang artinya hak-hak ini
(HAM) berasal dari martabat yang inheren atau melekat pada diri manusia.

Pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas agama di Indonesia

Menurut Setara Institute di Jakarta, terdapat 216 kasus serangan terhadap minoritas agama
pada 2010, 244 kasus pada 2011, dan 264 kasus pada 2012. Wahid Institute, pemantau lain di
Jakarta, mendokumentasikan 92 pelanggaran terhadap kebebasan agama dan 184 peristiwa
intoleransi beragama pada 2011, naik dari 64 pelanggaran dan 134 peristiwa intoleransi pada
2010.

Untuk riset laporan ini, Human Rights Watch mewawancarai 16 individu minoritas agama
yang mengalami serangan fisik dari militan Islamis pada tujuh kejadian terpisah, empat di
antaranya luka serius. Duapuluh dua rumah ibadah atau rumah pribadi dibakar pada enam
kejadian terpisah. Kami juga meringkas beragam peristiwa lain yang dilaporkan media atau
didokumentasikan investigator lain. Selain itu, kami juga memerinci intimidasi dan kekerasan
fisik, penutupan paksa rumah ibadah, pelarangan pembangunan rumah ibadah, dan
penangkapan sewenang-wenang para penganut keyakinan minoritas dengan tuntutan
penodaan agama dan dakwaan lain.

Pada sebagian besar kasus, para pelaku intimidasi dan kekerasan dari kelompok militan Suni—
ditulis dalam laporan ini sebagai kelompok Islamis—yang didukung diam-diam, atau
adakalanya terbuka, oleh pejabat pemerintah dan polisi. Kelompok yang terlibat atau
mendukung penyerangan terhadap minoritas termasuk Forum Umat Islam (FUI), Forum
Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami), Front Pembela Islam, Hizbut-Tahrir Indonesia, dan
Gerakan Islam Reformis (Garis). Mereka disatukan dengan satu pemahaman Islam Sunni
bahwa kaum non-Muslim, tak termasuk Kristen dan Yahudi, sebagai “kafir” dan melabeli
Muslim yang berbeda pandangan dengan Sunni ortodok sebagai “penoda agama.”

Penganiayaan dan kekerasan secara langsung terhadap kelompok agama minoritas ditopang
infrastruktur hukum di Indonesia atas nama “kerukunan umat beragama,” yang praktiknya
justru menggerogoti kebebasan beragama. UUD 1945 dengan tegas menjamin kebebasan
agama, sebagaimana Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi
Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia juga sekian lama membuat, dan dalam beberapa
tahun terakhir memperkokoh, peraturan yang menjadikan agama-agama minoritas
didiskriminasi secara resmi dan menyudutkan penganutnya sehingga rentan diserang oleh
komunitas mayoritas yang tak segan main hakim sendiri. Sejumlah kasus yang
didokumentasikan laporan ini menguraikan penganiayaan dan intimidasi komunitas minoritas
oleh pelbagai kelompok Islamis militan yang melibatkan, secara aktif maupun pasif, pejabat
pemerintah dan aparat keamanan. Kelompok ini bekerjasama dengan, atau mendesak,
pemerintah daerah cegah mengeluarkan izin rumah ibadah bagi kaum minoritas, memaksa
relokasi, atau menghalang-halangi ibadah di sekitar lokasi tersebut. Pada beberapa kasus,
gereja-gereja Kristen yang memenuhi syarat hukum pembangunan rumah ibadah, justru tak
diindahkan izinnya oleh setelah ditekan kelompok Islamis, sekalipun ia bertentangan dengan
keputusan Mahkamah Agung, yang mengizinkan pembangunan tersebut.

Laporan ini juga menyajikan berbagai peristiwa di mana polisi gagal mengambil tindakan
untuk mencegah kekerasan atas nama agama atau gagal menegakkan hukum sesudah kejadian.
Polisi terlalu sering tak melakukan penyelidikan yang layak pada kasus kekerasan terhadap
minoritas agama, menunjukkan kongkalikong dengan para penyerang. Sistem peradilan pidana
juga tak membuktikan sebagai benteng pembela minoritas. Pada beberapa kasus kekerasan
yang diproses ke pengadilan, para jaksa menuntut dakwaan lemah bagi para pelaku kejahatan
berat, dan para hakim pun mendukungnya.

Lembaga pemerintahan juga berperan dalam pelanggaran hak-hak asasi dan kebebasan agama
minoritas. Lembaga negara ini --termasuk Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawas
Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) di bawah Kejaksaan Agung, lembaga semi-
negara Majelis Ulama Indonesia-- menggerogoti kebebasan beragama dengan mengeluarkan
peraturan dan fatwa terhadap penganut agama minoritas dan menggunakan wewenangnya
untuk mendukung kriminalisasi “penoda agama.”

Naiknya kekerasan terhadap minoritas agama dan kegagalan pemerintah bersikap tegas, hal ini
jelas melanggar UUD 1945, yang menjamin kebebasan beragama. Kovenan Internasional Hak-
hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia tahun 2005, menetapkan “orang-orang yang
tergolong dalam kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama
anggota kelompok yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan
mengamalkan agamanya sendiri”

Indonesia termasuk negara pelakon tindakan diskriminasi dalam hal berkeyakinan, utamanya
kaum minoritas agama yang rentan yang notabene terpojokkan. Perlakuan kasar terhadap
kaum minoritas juga dibarengi dengan aksi diskriminasi kebijakan oleh negara salah satunya
dalam peraturan perundang-undangan yang masih bersifat rancu dalam pemenuhan hak-hak
kebebasan beragama. Seolah-olah kaum minoritas merasa tertekan dan merasa tidak mendapat
perlakuan yang sama di muka hukum atas dasar kerentanan kalangan mereka yang oleh aktor
non-negara kemudian di salah gunakan untuk kepentingan yang justru menimbulkan pecah-
belahnya antara kelompok minoritas dengan mayoritas dalam memilih dan memeluk
keyakinan secara bebas. Namun melihat perkembangan realitas dskriminasi terhadap
kelompok minoritas agama baik di Indonesia maupun internasional yang setiap tahun selalu
meningkat. Terjadinya diskriminasi sebab tak sedikitnya setiap individu baik diperlakukan
atau merasa tidak mempunyai kesetaraan hak yang sejatinya semua sama di muka hukum dan
publik. Diskriminasi dapat terjadi kepada siapa saja tanpa memandang jabatan, agama, suku
atau ras. Dalam kategorinya, diskriminasi mempunyai dua bentuk yakni diskriminasi langsung
yang terjadi ketika melihat perlakuan yang berbeda dari lainnya, dan bentuk diskriminasi yang
tidak langsung terjadi ketika dampak praktek dari hukum atau kebijakan masuk dalam bentuk
diskriminasi walaupun hal itu tidak semata-mata untuk tujuan diskriminasi

Implementasi berbagai peraturan perundang-undangan dan hukum internasional masih lemah,


pemerintah dinilai gagal dalam menggalakkan pemenuhan hak-hak mereka. Pembentukan
peraturan undang-undang oleh penguasa yang seharusnya ditegakkan oleh para pejabat yang
berwenang namun pada praktiknya dikuasai oleh segenap golongan masyarakat mayoritas
sehingga kemungkinan sangat rentan terjadinya pelanggaran HAM terhadap golongan
minoritas. Maka dari itu, keberadaan minoritas perlu secepatnya ditegakkan dan dipenuhi
sebagai perhatian dan penjagaan agar tidak adanya diskriminasi dan tumpang tindih sosial
yang mengancam hak-hak dan kebebasan-kebebasannya. Oleh karena itu, diharapkan dalam
penerapan hukum dan peraturan yang berlaku tidak boleh ditetapkan secara sepihak atau
seputar untuk keperluan pribadi penguasa. Adapun suatu hal yang signifikan yang dapat
mengancam pemenuhan kebebasan beragama yaitu kepercayaan masyarakat Indonesia yang
dominan pluralistik diantaranya, enam agama resmi serta satu aliran keyakinan. Selain itu, juga
belum sepenuhnya mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara berdasarkan hukum
yang berlaku terhadap pemangku agama dan keyakinan yang lain.

4. Penutup

Hak kebebasan beragama sebagai landasan hak-hak individu yang bersifat absolut. Hak
ini tergolong sebagai hak yang secara khusus tercantum dalam berbagai perjanjian hak
asasi manusia sebagai hak yang tidak bisa efektif oleh penguasa dalam pemenuhannya
diberbagai situasi, maupun kondisi. Hak ini sebagai utamanya yang harus dihormat dan
dipenuhi oleh setiap negara manapun dalam keadaan apapun. Perlindungan dan
penegakan HAM dalam hal kebebasan beragama yang tercantum dalam perundang-
undangan, DUHAM dan Konvensi SIPOL sudah cukup maksimal menunjukkan bentuk
perlindungan dari pemerintah untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran hak bagi
warga negaranya. Namun, masih lemahnya implementasi dalam penegakan dan
pemajuan hak tersebut sehingga pelanggaran kerap terjadi. Maka dari itu, perlunya
evaluasi dari semua perspektif penegakan hukum dalam implementasinya, karena
belum sepenuhnya teratasi dan terselesaikan berbagai permasalahan dan kasus
pelanggaran yang kerap terjadi

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”, RajaGrafindo Persada,


Jakarta, 2015, h. 362.
Iskandar Hoesin, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas,
Suku Terasing, Dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Makalah Disajikan dalam
Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli
2003.
Komnasham.go.id/index.php/news/2020/9/30/1577/perlindungan-hak
kebebasanberagama-dan-berkeyakinan-di-indonesia.html.
Kurnia, TironSlamet 2005. Reparasi (Reparation) terhadap korban pelanggaran HAM di
Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Nurdin, Boy. 2012. Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di
Indonesia, Bandung : PT. Alumni.
Nur Laela, Yuyun Firstyaningsih, “Paket Informasi Subyek Hak Asasi Manusia”, Pusat
JasaPerpustakaan Nasional RI, Jakarta, 2019, h. 56.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terima kasih kepada Ibu Wiwik Afifah selaku dosen pengampu mata kuliah
Hukum HAM yang telah sudi membagikan ilmu dan pengetahuannya serta banyak
memberikan motivasi untuk kelancaran saya dalam memecahkan masalah pada
penulisan artikel ini.

Anda mungkin juga menyukai