Pada dasarnya, Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap orang dan hak setiap orang untuk
beribadah sesuai dengan agamanya. Hal ini tercermin dari beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan
berikut ini:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
3. Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
4. Pasal 22 UU HAM
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan
ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Sayangnya, UU HAM tidak ada memberikan sanksi bagi orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 22 UU
HAM.
Akan tetapi, bagi orang yang menghalang-halangi kegiatan ibadah yang dilakukan di tempat ibadah, dapat dijerat
dengan Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang
bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Mengenai Pasal 175 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan:
1. pertemuan umum agama adalah semua pertemuan yang bermaksud untuk melakukan kebaktian agama;
2. upacara agama adalah kebaktian agama yang diadakan baik di gereja, mesjid, atau di tempat-tempat lain yang
lazim dipergunakan untuk itu;
3. upacara penguburan mayat adalah baik yang dilakukan waktu masih ada di rumah, baik waktu sedang berada
di perjalanan ke kubur, maupun di makam tempat mengubur.
Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat yang penting adalah bahwa pertemuan umum agama tersebut
tidak dilarang oleh negara.
Sedangkan, pelanggaran atas Pasal 80 UU Ketenagakerjaan, mengenai hak pekerja melakukan ibadah agamanya,
juga dapat dipidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 185 UU Ketenagakerjaan:
Pasal 185 UU Ketenagakerjaan
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat
(7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Jadi pada dasarnya negara menjamin kebebasan semua orang untuk beribadah menurut agamanya masing-masing.
Akan tetapi memang mengenai pelanggaran atas Pasal 22 UU HAM, tidak ada ketentuan sanksinya. Ketentuan
dalam KUHP pun terlihat kurang mengakomodasi perbuatan seseorang yang melarang orang lain melaksanakan
ibadah agamanya dalam hal pelaksanaan ibadah tersebut dilakukan secara individu (bukan dalam bentuk kebaktian
atau ibadah yang dilakukan bersama-sama dengan orang lain dalam suatu tempat ibadah).
Dasar Hukum:
Indonesia sebagai negara hukum dan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa maka Indonesia
harus menjunjung tinggi supremasi hukum serta meyakini bahwa nilai-nilai religius merupakan
salah satu sumber inspirasi bagi negara dalam menjalankan kewajibannya. Salah satu ciri negara
hukum ialah mengakui dan menjamin adanya Hak Asasi Manusia. Salah satu Hak Asasi Manusia
yang penting untuk dijamin keberadaannya ialah hak untuk beragama.
Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjaminnya dalam konstitusi. Namun yang patut
digarisbawahi bahwa kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh negara kaitannya dengan
agama hanyalah menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadah
sesuai dengan agama dan keyakinan yang diyakininya. Negara sama sekali tidak diberikan
kewenangan dan kewajiban untuk mengakui, melindungi, dan menjamin keberadaan agama
tertentu. Jika negara ini kemudian melakukan perlakuan seperti itu, maka sebetulnya negara telah
melakukan perbuatan yang inkonstitusional karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
RI.
Itulah realitas yang akan kita jumpai jika kita menelaah Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaaan Agama. Pada Pasal 1 UU a quo
disebutkan: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan
atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang
dianut di Indonesia .
Pada Pasal tersebut terdapat klausula agama yang dianut di Indonesia. Pada penjelasan ayat
tersebut dijelaskan bahwa penjelasan klausala agama yang dianut di Indonesia ialah ialah
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).
Jadi dari aturan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Indonesia ternyata mengakui,
melindungi, dan menjamin keberadaan agama tertentu dalam hal ini keenam agama di atas.
Adapun alasan pengakuan tersebut didasarkan pada sejarah perkembangan agama-agama di
Indonesia. Keenam macam agama itu merupakan agama-agama yang dipeluk hampir seluruh
penduduk Indonesia.
Landasan yang dijadikan pijakan bagi perumus aturan tersebut bukanlah landasan yuridis
melainkan lebih kepada landasan historis agama yang berkembang di Indonesia. Setidaknya
itulah yang penulis tangkap dari penjelasan klausala agama yang dianut di Indonesia.
Menurut penulis, aturan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Apalagi jika kita kritisi
landasan historis yang dijadikan landasan dirumuskannya aturan itu.
Hal yang patut kita kritisi dari persoalan ini ialah apakah yang dijadikan pertimbangan bagi
perumus atas diakuinya agama tertentu itu berdasarkan besar atau banyaknya jumlah penganut
suatu agama? Lalu apa ukuran besar atau banyaknya jumlah pemeluk suatu agama untuk
kemudian dianggap sebagai agama yang diakui keberadaannya secara yuridis oleh negara?
Maka jawaban dari kedua pertanyaan tersebut bahwa tidak ada pertimbangan dan ukuran yang
jelas lagi logis, yang dijadikan pijakan bagi negara untuk merumuskan aturan tersebut. Alasan-
alasan yang diajukan lebih bersifat asumtif dan tidak memiliki ukuran jelas. Apalagi jika kita
hadapkan alasan tersebut pada kajian historis perkembangan agama yang lebih komprehensif,
maka akan kita dapati kesimpulan bahwa sebetulnya agama-agama yang diakui keberadaannya
oleh pemerintah melalui aturan ini merupakan agama-agama yang diimpor dari luar Indonesia.
Contoh misalnya agama Islam, yang berasal dari para pedagang timur tengah dan india yang
berdagang di Indonesia. Tentu kita masih ingat penjajahan Belanda dengan 3 misinya yaitu Gold,
Glory, Gospel. Gospel ialah misi menyebarkan agama kristen.
Perlakuan khusus terhadap keenam agama yang diakui secara yuridis oleh negara memberikan
konsekuensi mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945,
keenam agama tersebut mendapat bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh Pasal 1
UU No. 1/PNPS/Tahun 1965. Sebaliknya, agama-agama selain keenam agama dimaksud
mendapat pengecualian (exclusion), pembedaan (distinction), serta pembatasan (restriction)
dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 UU a quo, hal mana dapat dilihat dari penjelasan agama-
agama tersebut dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.
Menurut penulis, adanya pengecualian, pembedaan, serta pembatasan tersebut merupakan bentuk
diskriminasi dan itu akan menghasilkan ketidakadilan yang pada perkembangannya nanti hanya
akan menghasilkan ketidakpuasan yang berujung pada kehancuran.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia merupakan negara
hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia diharuskan memperlakukan semuanya memiliki
kedudukan yang sama di hadapan hukum. Menurut A.V Dicey tiga ciri penting negara hukum
ialah Hak Asasi Manusia dijamin melalui Undang-Undang, Persamaan kedudukan di hadapan
hukum, Supremasi aturan-aturan hukum dan tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan
yang jelas
Pasal 1 UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 bertentangan prinsip persamaan yang ada pada Pasal 27
ayat (1) UUD RI yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya, Pasal 28D ayat (1) yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di depan hukum, dan
Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan
yang diskriminatif itu. Dengan adanya pengakuan terhadap keenam agama dan melakukan
pembedaan terhadap agama lain, maka sebetulnya negara telah melanggar pasal-pasal yang ada
di UUD 1945 tersebut.
Terakhir, yang perlu ditegaskan sekali lagi bahwa negara tidak menjamin keberadaan agama
tertentu. Tetapi berdasarkan UUD RI, negara hanya menjamin hak warga negaranya untuk
memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.[]
REPUBLIKA.CO.ID, UU Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu,
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Pasal 2
(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk
menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa
Agung dan Menteri Dalam Negeri.
(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran
kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan
Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden
mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 3
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2
terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam
pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari
aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan
Yang Maha Esa."
Pasal 5
Penetapan Presiden Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap
orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden Republik Indonesia ini
dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.