Anda di halaman 1dari 11

Pertanyaan :

Sanksi Hukum Jika Menghalangi Orang Melaksanakan Ibadah


Saya mau tanya pada Hukumonline, bagaimana penjelasan apabila ada pihak yang melarang
seseorang ketika hendak melaksanakan ibadah? Terima kasih.
Jawaban :

Pada dasarnya, Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap orang dan hak setiap orang untuk
beribadah sesuai dengan agamanya. Hal ini tercermin dari beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan
berikut ini:

1. Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)

Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.

2. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

3. Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)

Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

4. Pasal 22 UU HAM

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

5. Pasal 80 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan)

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan
ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Sayangnya, UU HAM tidak ada memberikan sanksi bagi orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 22 UU
HAM.

Akan tetapi, bagi orang yang menghalang-halangi kegiatan ibadah yang dilakukan di tempat ibadah, dapat dijerat
dengan Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang
bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Mengenai Pasal 175 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan:

1. pertemuan umum agama adalah semua pertemuan yang bermaksud untuk melakukan kebaktian agama;

2. upacara agama adalah kebaktian agama yang diadakan baik di gereja, mesjid, atau di tempat-tempat lain yang
lazim dipergunakan untuk itu;

3. upacara penguburan mayat adalah baik yang dilakukan waktu masih ada di rumah, baik waktu sedang berada
di perjalanan ke kubur, maupun di makam tempat mengubur.

Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat yang penting adalah bahwa pertemuan umum agama tersebut
tidak dilarang oleh negara.

Sedangkan, pelanggaran atas Pasal 80 UU Ketenagakerjaan, mengenai hak pekerja melakukan ibadah agamanya,
juga dapat dipidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 185 UU Ketenagakerjaan:
Pasal 185 UU Ketenagakerjaan

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat
(7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Jadi pada dasarnya negara menjamin kebebasan semua orang untuk beribadah menurut agamanya masing-masing.
Akan tetapi memang mengenai pelanggaran atas Pasal 22 UU HAM, tidak ada ketentuan sanksinya. Ketentuan
dalam KUHP pun terlihat kurang mengakomodasi perbuatan seseorang yang melarang orang lain melaksanakan
ibadah agamanya dalam hal pelaksanaan ibadah tersebut dilakukan secara individu (bukan dalam bentuk kebaktian
atau ibadah yang dilakukan bersama-sama dengan orang lain dalam suatu tempat ibadah).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

4. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


UNDANG-UNDANG KEBEBASAN BERAGAMA UNTUK KERUKUNAN HIDUP
MASYARAKAT INDONESIA PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1
TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN
AGAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka
pengamanan Negara dan Masyarakat, citacita Revolusi Nasional dan pembangunan Nasional
Semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur, perlu mengadakan peraturan untuk mencegah
penyalah-gunaan atau penodaan agama; b. bahwa untuk pengamanan revolusi dan ketentuan
masyarakat, soal ini perlu diatur dengan Penetapan Presiden; Mengingat : 1. pasal 29 Undang-
undang Dasar; 2. pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar; 3. penetapan Presiden No. 2
tahun 1962 (Lembara-Negara tahun 1962 No. 34); 4. pasal 2 ayat (1) Ketetapan M.P.R.S. No.
II/MPRS/1960; Memutuskan: Menetapkan : Penetapan Presiden Republik Indonesia tentang
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama. Pasal 1. Setiap orang dilarang dengan
sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum,
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu;
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Pasal 2. (1)
Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras
untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama,
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat
(1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik
Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut
sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari
Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Pasal 3. Apabila, setelah
dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang,
Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1,
maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari
aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Pasal 4. Pada Kitab
Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut : ,,Pasal
156a." Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja
di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa." Pasal 5. Penetapan Presiden Republik Indonesia ini
mulai berlaku pada hari diundangkannya. www.djpp.depkumham.go.id ditjen Peraturan
Perundang-undangan Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan
pengundangan Penetapan Presiden Republik Indonesia ini dengan penempatan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1965. Presiden
Republik Indonesia, SUKARNO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1965.
Sekretaris Negara, MOHD. ICHSAN www.djpp.depkumham.go.id ditjen Peraturan
PENJELASAN ATAS PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA No. 1 TAHUN 1965
tentang PENCEGAHAN PENYALAH-GUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA I.
UMUM 1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945
berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia telah menyatakan, bahwa Piagam Jakarta tertanggal
22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Menurut Undang-undang Dasar 1945 Negara kita berdasarkan : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan; 5. Keadilan Sosial.
Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral diatas
Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berasas
keagamaan. Pengakuan sila pertama (Ke-Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisahpisahkan
dengan Agama, karena adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi
bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha
nation-building. 2. Telah teryata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir diseluruh Indonesia tidak
sedikit timbul aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang
bertentangan dengan ajaranajaran dan hukum Agama. Diantara ajaran-ajaran/perbuatan-
perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal
yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan
teranglah, bahwa aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat
yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini
bertambah banyak dan telah berkembang kearah yang sangat membahayakan Agamaagama yang
ada. 3. Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut diatas yang dapat membahayakan
persatuan Bangsa dan Negara, maka dalam rangka www.djpp.depkumham.go.id ditjen Peraturan
Perundang-undangan kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu
dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang
merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketatanegaraan dan keagamaan, agar oleh
segenap rakyat diseluruh wilayah Indonesia ini dapat dinikmati ketenteraman beragama dan
jaminan untuk menunaikan ibadah menurut Agamanya masing-masing. 4. Berhubung dengan
maksud memupuk ketenteraman beragama inilah, maka Penetapan Presiden ini pertama-tama
mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama
yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan
(pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari
penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa/(Pasal 4). 5. Adapun penyelewengan-penyelewengan keagamaan yang
nyata-nyata merupakan pelanggaran pidana dirasa tidak perlu diatur lagi dalam peraturan ini,
oleh karena telah cukup diaturnya dalam berbagai-bagai aturan pidana yang telah ada. Dengan
Penetapan Presiden ini tidaklah sekali-kali dimaksudkan hendak mengganggu gugat hak hidup
Agama-gama yang sudah diakui oleh Pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini diundangkan.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Dengan kata-kata "Dimuka Umum" dimaksudkan apa yang
lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agamaagama
yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong
Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di
Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh
penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal
29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan
seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya :
Yahudi,Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh
seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan www.djpp.depkumham.go.id ditjen Peraturan
Perundang-undangan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan,
Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan
Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A.
Bidang I, angka 6. Dengan kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam
kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama,
mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran
kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama
dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara untuk
menyelidikinya. Pasal 2 Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang
ataupun penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau anggota Pengurus
Organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk permulaannya dirasa cukup
diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau
penganutpenganut aliran kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius bagi masyarakat
yang beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk
menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya (jo pasal 169
K.U.H.P.). Pasal 3 Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini, adalah tindakan
lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2. Oleh
karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti organisasi/perhimpunan,
dimana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotanya, maka mengenai aliranaliran
kepercayaan, hanya penganutnya yang masih terus melakukan pelanggaran dapat dikenakan
pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut.
Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa
sudah wajar. Pasal 4 Maksud ketentuan ini telah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum
diatas. Cara mengeluarkan persamaan atau melakukan perbuatan dapat
www.djpp.depkumham.go.id ditjen Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan lisan,
tulisan ataupun perbuatan lain. Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang
semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan
demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan
ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata
atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tinak pidana
menurut pasal ini. Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disini, disamping
mengganggu ketentraman orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari Negara
secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya itu dipidana
sepantasnya. Pasal 5 Cukup jelas. www.djpp.depkumham.go.id ditjen Peraturan Perundang-
undangan Deklarasi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap
orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18). Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik
mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18). Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E
jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22
UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu
atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau
keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya. Negara berkewajiban menghormati dan
menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah
kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan
keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal usulnya. Dalam
konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil dan hak politik. Hak ini
termasuk ke dalam dimensi non-derogable, artinya tidak bisa ditawar atau dikurangi dalam
keadaan apa pun sehingga negara harus memenuhinya. Pembatasan HAM HAM sebagai hak
yang sebebas-bebasnya termasuk dalam beragama dan berkeyakinan. Dalam pemahaman secara
sempit pendapat ini dapat dibenarkan. Namun, jangan lupa bahwa dalam HAM juga dikenal
adanya kewajiban asasi manusia dan pembatasan terhadap HAM itu sendiri. Pasal 28J UUD
1945 menyatakan bahwa: (1) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya setiap orang tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum. Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 73 UU No.39/1999 tentang HAM. Jadi,
implementasi kebebasan HAM tidak boleh melanggar HAM orang lain, tidak melanggar hukum,
kesusilaan, ketertiban, maupun norma agama. Pemerintah dapat mengatur atau membatasi
kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui undang-undang. Pemerintah
berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak
fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari
kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang
perbudakan, kekejaman dan juga hak-hak kaum minoritas. Kebebasan untuk menjalankan agama
atau kepercayaan seseorang dapat dibatasi demi kepentingan melindungi keselamatan dan
ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
Di antara kelima agama resmi yang diakui oleh pemerintah yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
dan Budha di Indonesia tidak pernah ada penganut agama yang satu menuntut pembubaran
agama lain karena pada dasarnya masing-masing agama tersebut mempunyai ajaran yang
berbeda dan tidak terkait. Meski demikian, satu-satunya pihak yang mempunyai otoritas
pembatasan HAM adalah negara. Segala bentuk kekerasan dalam mengatasi persoalan agama
justru akan kontraproduktif dengan upaya penegakan HAM. - Kebebasan menjalankan agama
atau kepercayaan dapat dibatasi demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban
publik. - Pemerintah dapat mengatur atau membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau
kepercayaan melalui undang-undang. DR.Kristian Sirait,ST,MT /www.krist-sirait.blogspot.com
www.krist-sirait.blogspot.com www.partai-satria-indonesia.blogspot.com Selengkapnya...
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.krist-sirait.blogspot.com/undang-undang-
kebebasan-beragama_550ad7e1813311af75b1e370

Pengakuan Terhadap 6 Agama Resmi adalah


Inkonstitusional
Maret 17, 2012 ressay Tinggalkan komentar Go to comments
Oleh: Yasser Arafat, SH

Indonesia sebagai negara hukum dan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa maka Indonesia
harus menjunjung tinggi supremasi hukum serta meyakini bahwa nilai-nilai religius merupakan
salah satu sumber inspirasi bagi negara dalam menjalankan kewajibannya. Salah satu ciri negara
hukum ialah mengakui dan menjamin adanya Hak Asasi Manusia. Salah satu Hak Asasi Manusia
yang penting untuk dijamin keberadaannya ialah hak untuk beragama.

Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjaminnya dalam konstitusi. Namun yang patut
digarisbawahi bahwa kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh negara kaitannya dengan
agama hanyalah menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadah
sesuai dengan agama dan keyakinan yang diyakininya. Negara sama sekali tidak diberikan
kewenangan dan kewajiban untuk mengakui, melindungi, dan menjamin keberadaan agama
tertentu. Jika negara ini kemudian melakukan perlakuan seperti itu, maka sebetulnya negara telah
melakukan perbuatan yang inkonstitusional karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
RI.

Itulah realitas yang akan kita jumpai jika kita menelaah Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaaan Agama. Pada Pasal 1 UU a quo
disebutkan: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan
atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang
dianut di Indonesia .

Pada Pasal tersebut terdapat klausula agama yang dianut di Indonesia. Pada penjelasan ayat
tersebut dijelaskan bahwa penjelasan klausala agama yang dianut di Indonesia ialah ialah
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).

Jadi dari aturan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Indonesia ternyata mengakui,
melindungi, dan menjamin keberadaan agama tertentu dalam hal ini keenam agama di atas.
Adapun alasan pengakuan tersebut didasarkan pada sejarah perkembangan agama-agama di
Indonesia. Keenam macam agama itu merupakan agama-agama yang dipeluk hampir seluruh
penduduk Indonesia.

Landasan yang dijadikan pijakan bagi perumus aturan tersebut bukanlah landasan yuridis
melainkan lebih kepada landasan historis agama yang berkembang di Indonesia. Setidaknya
itulah yang penulis tangkap dari penjelasan klausala agama yang dianut di Indonesia.

Menurut penulis, aturan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Apalagi jika kita kritisi
landasan historis yang dijadikan landasan dirumuskannya aturan itu.

Hal yang patut kita kritisi dari persoalan ini ialah apakah yang dijadikan pertimbangan bagi
perumus atas diakuinya agama tertentu itu berdasarkan besar atau banyaknya jumlah penganut
suatu agama? Lalu apa ukuran besar atau banyaknya jumlah pemeluk suatu agama untuk
kemudian dianggap sebagai agama yang diakui keberadaannya secara yuridis oleh negara?
Maka jawaban dari kedua pertanyaan tersebut bahwa tidak ada pertimbangan dan ukuran yang
jelas lagi logis, yang dijadikan pijakan bagi negara untuk merumuskan aturan tersebut. Alasan-
alasan yang diajukan lebih bersifat asumtif dan tidak memiliki ukuran jelas. Apalagi jika kita
hadapkan alasan tersebut pada kajian historis perkembangan agama yang lebih komprehensif,
maka akan kita dapati kesimpulan bahwa sebetulnya agama-agama yang diakui keberadaannya
oleh pemerintah melalui aturan ini merupakan agama-agama yang diimpor dari luar Indonesia.
Contoh misalnya agama Islam, yang berasal dari para pedagang timur tengah dan india yang
berdagang di Indonesia. Tentu kita masih ingat penjajahan Belanda dengan 3 misinya yaitu Gold,
Glory, Gospel. Gospel ialah misi menyebarkan agama kristen.

Perlakuan khusus terhadap keenam agama yang diakui secara yuridis oleh negara memberikan
konsekuensi mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945,
keenam agama tersebut mendapat bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh Pasal 1
UU No. 1/PNPS/Tahun 1965. Sebaliknya, agama-agama selain keenam agama dimaksud
mendapat pengecualian (exclusion), pembedaan (distinction), serta pembatasan (restriction)
dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 UU a quo, hal mana dapat dilihat dari penjelasan agama-
agama tersebut dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.

Menurut penulis, adanya pengecualian, pembedaan, serta pembatasan tersebut merupakan bentuk
diskriminasi dan itu akan menghasilkan ketidakadilan yang pada perkembangannya nanti hanya
akan menghasilkan ketidakpuasan yang berujung pada kehancuran.

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia merupakan negara
hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia diharuskan memperlakukan semuanya memiliki
kedudukan yang sama di hadapan hukum. Menurut A.V Dicey tiga ciri penting negara hukum
ialah Hak Asasi Manusia dijamin melalui Undang-Undang, Persamaan kedudukan di hadapan
hukum, Supremasi aturan-aturan hukum dan tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan
yang jelas

Pasal 1 UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 bertentangan prinsip persamaan yang ada pada Pasal 27
ayat (1) UUD RI yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya, Pasal 28D ayat (1) yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di depan hukum, dan
Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan
yang diskriminatif itu. Dengan adanya pengakuan terhadap keenam agama dan melakukan
pembedaan terhadap agama lain, maka sebetulnya negara telah melanggar pasal-pasal yang ada
di UUD 1945 tersebut.

Terakhir, yang perlu ditegaskan sekali lagi bahwa negara tidak menjamin keberadaan agama
tertentu. Tetapi berdasarkan UUD RI, negara hanya menjamin hak warga negaranya untuk
memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.[]
REPUBLIKA.CO.ID, UU Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu,
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Pasal 2
(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk
menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa
Agung dan Menteri Dalam Negeri.
(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran
kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan
Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden
mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2
terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam
pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari
aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan
Yang Maha Esa."

Pasal 5
Penetapan Presiden Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap
orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden Republik Indonesia ini
dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta, 27 Januari 1965


Presiden Republik Indonesia
Sukarno

Anda mungkin juga menyukai