Selain dari kriteria yang dikeluarkan MUI tersebut, Undang-Undang Nomor 1/PNPS
Tahun 1965 telah mengatur tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama (UU PNPS). Pasal 1 menyatakan:
"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan
atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang
dari pokok-pokok ajaran dari agama itu".
Agama yang dianut di Indonesia yang dimaksud dalam pasal tersebut ialah Islam,
Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu.
UU PNPS kemudian menyatakan agar pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menambahkan Pasal 156a, yaitu:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
1. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia;
2. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 156a KUHP ini kemudian menjadi pasal yang digunakan untuk mendakwa pihak-
pihak yang terlibat dalam aliran sesat dengan ancaman pidana maksimal lima tahun.
Pasal ini dikenal dengan pasal penodaan agama.
Selain dari pasal tersebut, pihak-pihak yang terlibat dalam aliran sesat tersebut bisa juga
dijerat dengan pasal lain apabila perbuatan yang dilakukan oleh aliran ini merupakan
suatu perbuatan pidana. Misalnya, Lia Eden juga didakwa pasal 355 KUHP (perbuatan
tidak menyenangkan) karena membakar salah satu pengikutnya dalam kegiatan
penyucian komunitas Eden.
Meski Pasal 156a KUHP digunakan untuk menjerat aliran sesat, tak jarang ada
beberapa pihak yang berpendapat pasal ini bertentangan dengan hak asasi manusia
karena dianggap mencederai kebebasan seseorang untuk berkeyakinan dan beragama
yang sudah diatur pada Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Namun, Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor
140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 sudah membatasi ketentuan hak asasi manusia
pada Pasal 28 J ayat (2) yang isinya memperkenankan negara untuk membatasi
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Sumber hukum:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 telah mengatur tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.