Anda di halaman 1dari 30

Nama : Gilang Akbar Pratama

Npm : 2003021024

Smstr : 6 ( enam )

Prodi : S1 – Perbankan Syariah (A)

Matkul : Fatwa DSN MUI

SOAL

1. Jelaskan pengertian FATWA, MUFTI, MUSTAFTI, ISTIFTA dan IFTA dengan contoh
masing-masing istilah. Dan tuliskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang
akan memberikan fatwa ?

Jawaban :

 FATWA adalah pendapat hukum Islam yang dikeluarkan oleh seorang ahli hukum Islam
yang kompeten, berdasarkan interpretasi mereka terhadap sumber-sumber hukum Islam,
seperti Al-Qur'an, Hadis, ijma' (kesepakatan ulama), dan qiyas (analisis analogi). Fatwa
memberikan panduan tentang perilaku yang diharapkan dari umat Muslim dalam situasi
tertentu.

Contoh Fatwa: Seorang mufti mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa menggunakan
narkoba adalah haram (dilarang) dalam Islam dan memberikan penjelasan tentang konsekuensi
negatif yang mungkin timbul dari penggunaan narkoba.

 MUFTI adalah seorang cendekiawan Islam yang memiliki pengetahuan dan kualifikasi
hukum Islam yang mendalam. Mufti adalah orang yang berwenang untuk memberikan
fatwa.

Contoh Mufti: Seorang cendekiawan agama terkenal di suatu negara, seperti seorang ulama
terkemuka, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang hukum Islam dan memberikan fatwa
kepada masyarakat Muslim.
 MUSTAFTI adalah orang yang meminta fatwa atau pertanyaan hukum kepada seorang
mufti. Mustafti adalah orang yang mencari nasihat hukum atau jawaban atas pertanyaan
agama mereka.

Contoh Mustafti: Seseorang yang memiliki pertanyaan tentang pernikahan poligami dalam Islam
mengajukan pertanyaan mereka kepada seorang mufti untuk mendapatkan penjelasan dan
panduan hukum.

 ISTIFTA adalah tindakan mengajukan pertanyaan hukum atau fatwa kepada seorang
mufti atau otoritas hukum Islam lainnya. Istifta merupakan bentuk komunikasi yang
melibatkan pencarian nasihat hukum dalam Islam.

Contoh Istifta: Seseorang mengirimkan surat atau mengajukan pertanyaan secara langsung
kepada kantor mufti untuk meminta fatwa tentang masalah waris dalam Islam.

 IFTA adalah proses memberikan fatwa oleh seorang mufti atau otoritas hukum Islam. Ifta
melibatkan pemeriksaan sumber-sumber hukum Islam dan menyimpulkan pendapat
hukum yang akurat berdasarkan hukum tersebut.

Contoh Ifta: Seorang mufti melakukan penelitian dan analisis terhadap sumber-sumber hukum
Islam untuk memberikan fatwa tentang kehalalan atau keharaman penggunaan produk keuangan
tertentu dalam sistem perbankan Islam.

 Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan memberikan fatwa adalah:
 Pengetahuan yang mendalam tentang hukum Islam: Seseorang yang memberikan fatwa
harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang sumber-sumber hukum Islam,
termasuk Al-Qur'an, Hadis, ijma', dan qiyas.
 Kualifikasi hukum: Individu tersebut harus memiliki kualifikasi hukum yang diakui
dalam masyarakat Islam, seperti lulusan dari lembaga-lembaga pendidikan agama yang
terkemuka atau memiliki pengalaman yang relevan dalam bidang hukum Islam.
 Integritas dan keadilan: Orang yang memberikan fatwa harus memiliki integritas yang
tinggi dan

REFERENSI :
a) Shah, Mohammad Hashim. (2006). The Muslim Law of Divorce. Oxford University
Press. ISBN: 978-0195479270.
b) Kamali, Mohammad Hashim. (2008). Principles of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts
Society. ISBN: 978-0946621687.
c) Al-Qaradawi, Yusuf. (2010). Fiqh al Zakah: A Comparative Study. Dar Al Kotob Al
Ilmiyah. ISBN: 978-2745137204.

2. Jelaskan bagaimana metode fatwa (metode istinbath hokum dalam fatwa), serta jelaskan
bagaimana kedudukan fatwa dalam hukum Islam dan relevansinya dengan qadha’
(putusan hakim) ?

Jawaban :

Metode Fatwa (Metode Istinbath Hukum dalam Fatwa):


Metode istinbath hukum dalam fatwa adalah proses dimana seorang mufti melakukan
ijtihad (upaya penemuan hukum) untuk mencari pemahaman dan penafsiran hukum Islam
terkait suatu masalah yang diajukan dalam fatwa. Metode ini melibatkan analisis
mendalam terhadap sumber-sumber hukum Islam, seperti Al-Qur'an, Hadis, ijma'
(kesepakatan ulama), dan qiyas (analisis analogi), serta penerapan prinsip-prinsip dan
metode penalaran hukum Islam.
Dalam metode ini, seorang mufti menggunakan pemahaman dan pengetahuannya untuk
menggali prinsip-prinsip dan aturan hukum yang relevan dari sumber-sumber tersebut.
Mereka kemudian menerapkan metode penalaran hukum, seperti qiyas, untuk memahami
bagaimana aturan tersebut berlaku dalam konteks masalah yang sedang dibahas. Selain
itu, mereka juga dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip umum Islam, maqasid al-
shariah (tujuan-tujuan syariah), dan keadaan kontemporer untuk memberikan fatwa yang
relevan dan bermanfaat bagi masyarakat Muslim.
Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam dan Relevansinya dengan Qadha' (Putusan
Hakim):Fatwa memiliki kedudukan yang penting dalam hukum Islam, meskipun peran
dan otoritasnya dapat berbeda-beda dalam berbagai konteks dan yurisdiksi. Fatwa tidak
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan qadha' (putusan hakim) dalam sistem
peradilan Islam formal. Namun, fatwa tetap memiliki relevansi dan pengaruh yang
signifikan dalam kehidupan umat Muslim. Berikut adalah beberapa aspek tentang
kedudukan fatwa dalam hukum Islam dan relevansinya dengan qadha

REFERENSI :

a) Kamali, Mohammad Hashim. (2005). Principles of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts


Society. ISBN: 978-0946621748.
b) Ramadan, Tariq. (2009). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford
University Press. ISBN: 978-0195331714.
c) Hallaq, Wael B. (2009). Sharī'a: Theory, Practice, Transformations. Cambridge
University Press. ISBN: 978-0521872256.

3. Jelaskan kedudukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam organisasi Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan bagaimana tugas dan wewenang DSN serta jelaskan mekanisme
kerja (istinbath hukum) DSN MUI ?

Jawaban :

 Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah lembaga yang berada di bawah naungan Majelis
Ulama Indonesia (MUI). MUI merupakan organisasi Islam yang memiliki peran penting
dalam mengemukakan pendapat dan fatwa terkait hukum dan kehidupan umat Muslim di
Indonesia. DSN adalah salah satu lembaga di dalam MUI yang bertanggung jawab dalam
bidang syariah.
 Tugas dan Wewenang DSN: Mengeluarkan fatwa syariah: DSN memiliki kewenangan
untuk mengeluarkan fatwa syariah yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum Islam
di Indonesia. Fatwa-fatwa ini berfungsi sebagai panduan dan pedoman bagi umat Muslim
dalam menjalankan kehidupan agama mereka.
 Menetapkan prinsip-prinsip syariah: DSN memiliki tugas untuk menetapkan prinsip-
prinsip syariah yang berkaitan dengan bidang ekonomi, keuangan, perbankan, asuransi,
pasar modal, dan sektor-sektor lainnya. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa
kegiatan ekonomi dan keuangan umat Muslim sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
 Memberikan nasihat dan konsultasi: DSN memberikan nasihat dan konsultasi kepada
pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat terkait dengan implementasi prinsip-
prinsip syariah dalam berbagai bidang.
 Mekanisme Kerja (Istinbath Hukum) DSN MUI: DSN MUI melakukan istinbath hukum
(penemuan hukum) dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dan sumber-sumber
hukum Islam yang diakui, seperti Al-Qur'an, Hadis, ijma' (kesepakatan ulama), dan qiyas
(analisis analogi). Mereka juga mempertimbangkan konteks sosial, ekonomi, dan hukum
Indonesia dalam membuat keputusan fatwa.Proses istinbath hukum DSN MUI
melibatkan diskusi, kajian, dan penelitian oleh para anggota DSN yang terdiri dari ulama
dan ahli syariah. Mereka merujuk pada sumber-sumber hukum Islam, literatur klasik, dan
perkembangan terkini dalam pemikiran dan praktik syariah. Setelah mencapai
kesepakatan, fatwa disusun dan diterbitkan sebagai panduan hukum Islam dalam konteks
Indonesia.

REFERENSI :

a) MUI Official Website: www.mui.or.id


b) Lukens-Bull, R. (2011). A Peaceful Jihad: Negotiating Identity and Modernity in Muslim
Java. Palgrave Macmillan. ISBN: 978-0230115813.
c) Abdullah, M. A. (2015). Islamic Banking and Finance in Indonesia: A Critical Analysis
of Current Issues. Springer. ISBN: 978-9812875491.

4. Tuliskan 3 contoh fatwa DSN MUI dalam perbankan syariah dan bagaimana teknik
pengambilan hukumnya atau dalil yang dijadikan landasan hukumnya ?

Jawaban :

1. Fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/III/2000 tentang Penggunaan Jasa Rekening


Bersama dalam Perbankan SyariahDalil yang menjadi landasan hukum:
 Al-Qur'an: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan" (Q.S. Al-Ma'idah: 2)
 Hadis Nabi Muhammad SAW: "Barangsiapa yang membantu seseorang dalam urusan
dunia, maka Allah akan membantu urusan-urusan agamanya."
 Teknik pengambilan hukum:Fatwa ini dikeluarkan berdasarkan qiyas (analogi) dengan
mengambil prinsip-prinsip syariah yang melarang kerjasama dalam perbuatan dosa dan
permusuhan. Dalam hal ini, penggunaan jasa rekening bersama dianggap bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah tersebut.
2. Fatwa DSN-MUI No. 03/DSN-MUI/III/2000 tentang Jual Beli dengan Sistem
Musyarakah dalam Perbankan SyariahDalil yang menjadi landasan hukum:
 Al-Qur'an: "Dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Mu'minun: 51)
 Hadis Nabi Muhammad SAW: "Transaksi jual beli di antara kamu adalah mubah, kecuali
jika ada larangan dari Allah atau Rasul-Nya."
 Teknik pengambilan hukum: Fatwa ini didasarkan pada dalil-dalil syariah yang
mendorong umat Islam untuk melakukan amal shalih dan memperbolehkan transaksi jual
beli, kecuali ada larangan yang ditetapkan oleh Allah atau Rasul-Nya. Oleh karena itu,
fatwa ini memperbolehkan penggunaan sistem musyarakah dalam perbankan syariah.
3. Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Akad Murabahah dalam Perbankan
SyariahDalil yang menjadi landasan hukum:
 Al-Qur'an: "Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Q.S. Al-
Baqarah: 275)
 Hadis Nabi Muhammad SAW: "Riba terdapat dalam 70 pintu, pintu yang paling ringan
adalah seperti seorang laki-laki menyetubuhi ibunya."
 Teknik pengambilan hukum: Fatwa ini didasarkan pada dalil-dalil yang melarang riba
dan memperbolehkan jual beli. Dalam fatwa ini, akad murabahah dianggap sebagai
alternatif yang sesuai dengan prinsip syariah karena tidak melibatkan unsur riba.

REFERENSI :

a) Fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/III/2000 tentang Penggunaan Jasa Rekening


Bersama dalam Perbankan Syariah
b) Fatwa DSN-MUI No. 03/DSN-MUI/III/2000 tentang Jual Beli dengan Sistem
Musyarakah dalam Perbankan Syariah
c) Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Akad Murabahah dalam Perbankan
Syariah
Nama : M. Arbain Nurul Miftahul Qodri
Npm : 2003022014
Prodi : Perbankan Syariah
Mata Kuliah : Fatwa (UAS)
Dosen Pengampu : Husnul Fatarib

Soal
1. Jelaskan pengertian FATWA, MUFTI, MUSTAFTI, ISTIFTA dan IFTA dengan contoh
masing-masing istilah. Dan tuliskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang
akan memberikan fatwa.
Jawab :
 Fatwa, berasal dari bahasa Arab al-Fatwa, menurut Ibnu Manshur kata fatwa ini
merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru,
penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat al-Fayumi yang
mengartikan sebagai pemuda yang kuat. Sehingga orang yang mengeluarkan fatwa
dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam
memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai
mana kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda.
Contohnya : Seorang mufti memberikan fatwa bahwa merokok hukumnya haram
(dilarang) berdasarkan interpretasi Al-Quran dan Hadis. Fatwa ini memberikan panduan
bagi umat Muslim untuk menjauhi kebiasaan merokok.
 Mufti, adalah Lembaga atau ulama (perorangan) yang memberikan pendapat atau
keputusan mengenai ajaran islam atas permintaan atau pertanyaan dari seseorang atau
dari kelompok (kolektif), Orang yang mempunyai otoritas memberikan fatwa disebut
seorang mufti, yang merupakan para ulama dengan kredibel yang tinggi dibidang hukum
Islam, dengan berbagai persyaratan yang mengindikasikan keilmuan dan kompetensi
yang dimiliki olehnya.
Contohnya : Seorang mufti terkemuka di negara tersebut memberikan fatwa yang
melarang praktik perjudian berdasarkan nash-nash agama dan prinsip-prinsip Islam.
 Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta
fatwa.
Contohnya : Seseorang yang memiliki pertanyaan tentang keabsahan produk keuangan
syariah dapat menghubungi seorang mufti dan menjadi mustafti dengan mengajukan
pertanyaan secara tertulis atau lisan.
 Istifta, dalam fikih adalah pertanyaan yang disampaikan kepada seorang mujtahid dari
para pengikutnya tentang permasalahan-permasalahan dan hukum-hukum agama.
Contohnya : Seorang individu menulis surat atau mengirim email kepada seorang mufti
dengan menjelaskan masalah atau pertanyaannya terkait dengan warisan dalam Islam dan
meminta fatwa atau nasihat tentang cara membagi harta tersebut sesuai dengan hukum
Islam.
 Ifta, ifta' adalah masdar dari kata afta, yufti, Ifta'an, adapun kata futya, atau fatwa adalah
isim masdar dari afta, hanya saja kata futya lebih sering digunakan oleh orang Arab
sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Mandzur dalam lisanya.
Adapun pengertian Ifta' secara etimologi adalah al-Ibanah (penjelasan), yaitu
memberikan penjelasan kepada orang lain." Atas dasar ini, Ifta' berarti memberikan
penjelasan kepada orang lain yang menanyakan suatu hal.
Contohnya : Islamic Fiqh Academy mengeluarkan fatwa tentang etika teknologi dalam
Islam, memberikan panduan dan pedoman kepada umat Muslim tentang penggunaan
teknologi modern seperti media sosial, kecerdasan buatan, dan lain-lain, berdasarkan
prinsip-prinsip Islam.
Syarat syarat nya yaitu :
 Jumhur ulama bersepakat untuk memberi persyaratan yang harus dipenuhi seorang
mufti. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat umum, syarat pokok, dan syarat
pelengkap. Syarat umum yakni baligh, Muslim, sehat pikiran, dan cerdas.
 Sementara, syarat pokok mencakup menguasai kandungan Alquran beserta ilmu-
ilmunya yang mencakup ayat-ayat hukum, asbabun nuzul, nasakh-mansukh, takwil-
tanzil, makiyah–madaniyah, dan sebagainya. Selain itu juga hafal dan menguasai
berbagai hadis Nabi SAW dengan seluk-beluk asbabul wurud, periwayatan, ilmu
mustalah, dan sebagainya.
 Seorang mufti juga harus mahir berbahasa Arab berikut dengan kaidah-kaidah dan
pengetahuan tentang literatur bahasa, yaitu ilmu nahwu-sharaf, balaghah, mantiq,
bayan, ma'ani, adab, fiqhul lughah, dan sebagainya. Selanjutnya, mufti harus
memahami dan menguasai ilmu ushul fikih beserta qawaid fiqhiyyahnya.
Sumbernya :
- https://www.scribd.com/document/498652343/MAKALAH-TENTANG-FATWA
MUFTI-MUSTAFTI-DAN-IFTA
- https://id.wikishia.net/view/Fatwa#:~:text=nilai%20fatwa
%20tersebut.,Istifta',permasalahan%20dan%20hukum%2Dhukum%20agama
- https://khazanah.republika.co.id/berita/o0mxft313/keluarkan-fatwa-ini-syarat-
yang-harus-dipenuhi-mufti
2. Jelaskan bagaimana metode fatwa (metode istinbath hokum dalam fatwa), serta jelaskan
bagaimana kedudukan fatwa dalam hukum Islam dan relevansinya denga qadha’ (putusan
hakim).
Jawab :
Metode fatwa dalam Islam adalah proses istinbath hukum atau penarikan hukum dari
sumber-sumber hukum Islam untuk menjawab pertanyaan atau mengeluarkan pendapat
mengenai suatu masalah agama yang belum diatur secara rinci dalam Al-Quran dan Sunnah.
Metode ini dilakukan oleh seorang mufti atau sekelompok ulama yang memiliki keahlian dan
otoritas dalam ilmu syariah.
Proses istinbath hukum dalam fatwa melibatkan penelitian mendalam terhadap sumber-
sumber hukum Islam seperti Al-Quran, Hadis, Ijma' (kesepakatan ulama), dan Qiyas
(analogi). Para mufti akan menganalisis konteks, makna, dan implikasi hukum yang terkait
dengan masalah yang diajukan. Mereka juga dapat merujuk pada prinsip-prinsip umum
dalam hukum Islam, seperti maslahah (kemaslahatan), maqasid syariah (tujuan syariah), dan
urf (kebiasaan masyarakat).
Kedudukan fatwa dalam hukum Islam sangat penting karena fatwa dapat memberikan
panduan kepada umat Muslim dalam menghadapi situasi atau masalah yang spesifik.
Meskipun fatwa tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan qadha' (putusan hakim),
fatwa masih memiliki relevansi yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim.
3. Jelaskan kedudukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam organisasi Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan bagaimana tugas dan wewenang DSN serta jelaskan mekanisme kerja
(istinbath hukum) DSN MUI.
Jawab :
Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan lembaga yang tergabung dalam struktur
organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI adalah organisasi yang memiliki peran
penting dalam mengurus dan mengkoordinasikan urusan keagamaan di Indonesia, khususnya
dalam hal kegiatan keagamaan Islam. MUI bertujuan untuk menjaga, mengembangkan, dan
menyelenggarakan ajaran agama Islam yang sejalan dengan konstitusi dan kepentingan umat
Islam di Indonesia.
Dalam struktur MUI, DSN berperan sebagai lembaga yang memiliki otoritas dan keahlian
dalam masalah-masalah syariah Islam. DSN bertanggung jawab untuk memberikan fatwa
dan pendapat hukum Islam (syariah) yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan
masyarakat, baik itu dalam bidang ekonomi, keuangan, perbankan, hukum, sosial, dan lain
sebagainya.
Tugas dan wewenang DSN :
- Tugas
1. Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syari’ah dalam kegiatan perekonomian
pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan syariah.
3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syari’ah.
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
- Wewenang
1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dimasing-
masing lembaga keuangan Syari’ah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia.
3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan
duduk sebagai Dewan Pengawas Syari’ah pada suatu lembaga keuangan syari’ah.
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam
pembahasan ekonomi syari’ah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam
maupun luar negeri.
5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syari’ah untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional.
6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila
peringatan tidak diindahkan.
Sumbernya :
- https://ejournal.iaitabah.ac.id/index.php/musthofa/article/download/
739/532#:~:text=DSN%2DMUI%20merupakan%20lembaga%20independen,bank
%20syariah%20terhadap%20hukum%20Islam.
- https://journal.uinalauddin.ac.id/index.php/minds/article/view/4634/4219#:~:text=DSN
%20berwenang%20untuk%20menetapkan%20dan,dan%20lembaga%20keuangan
%20syari'ah.
4. Tuliskan 3 contoh fatwa DSN MUI dalam perbankan syariah dan bagaimana teknik
pengambilan hukumnya atau dalil yang dijadikan landasan hukumnya.
Jawab :
1. Fatwa tentang Penentuan Alur Dana Pihak Ketiga dalam Akad Mudharabah Teknik
Pengambilan Hukum: Fatwa ini didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yang terkait
dengan akad mudharabah, yaitu kerjasama antara pemilik modal (shahibul maal) dan
pengelola modal (mudharib). Fatwa ini mengatur tentang pengelolaan dana pihak ketiga
oleh bank syariah dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian (ihtiyat) dan keadilan bagi
semua pihak yang terlibat.
2. Fatwa tentang Sertifikat Wadiah Bank Syariah Teknik Pengambilan Hukum: Fatwa ini
didasarkan pada prinsip wadiah, yang merupakan simpanan amanah yang ditempatkan
pada bank syariah. Dalam fatwa ini, DSN MUI memberikan panduan dan persyaratan
dalam penerbitan sertifikat wadiah oleh bank syariah. Fatwa ini mengacu pada dalil-dalil
Al-Qur'an dan Sunnah yang mengatur tentang wadiah dan amanah.
3. Fatwa tentang Penyelenggaraan Jasa Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Profit
Sharing) Teknik Pengambilan Hukum: Fatwa ini didasarkan pada prinsip-prinsip syariah
yang terkait dengan pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil. Dalam fatwa ini, DSN
MUI mengatur tata cara dan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan jasa pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil. Fatwa ini mengacu pada dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah
yang menegaskan prinsip keadilan dan berbagi hasil dalam aktivitas ekonomi.
Penting untuk dicatat bahwa konteks fatwa dan teknik pengambilan hukum dapat berbeda
tergantung pada masing-masing fatwa dan perincian kasus yang dianalisis oleh DSN MUI.
Informasi yang diberikan di atas hanya merupakan contoh umum dan tidak mencakup
seluruh fatwa DSN MUI dalam perbankan syariah.
Nama : Syukron Nashirudin
NPM : 2003021062
Jurusan : S1 Perbankan Syariah
Semester : VI (Enam) / 2022-2023

1. FATWA : Fatwa (Ar.: al-fatwa= petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan
dengan hukum; jamak: fatawa). Dalam ilmu usul fikih, berarti pendapat yang
dikemukakan seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa
dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa
pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Fatwa dalam B.Arab adalah sebuah
istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum
Islam. Fatwa sendiri dalam bahasa Arab artinya adalah "nasihat", "petuah", "jawaban"
atau "pendapat". 
CONTOH : Pada 2009 Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan haram merokok di
tempat umum. MUI menambahkan, rokok juga haram jika dikonsumsi oleh wanita dan
anak-anak. Komisi Fatwa MUI Zaini Naim mengatakan, permasalahan rokok haram atau
makruh tidak perlu diperdebatkan. Ia menyerahkan seluruhnya kepada keyakinan umat.
Fatwa haram tersebut kemudian mendapatkan dangan beragam dari masyarakat .Salah
satunya dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Menurut staf dewan halal PBNU,
Kiai Arwani Faisal, semua kiai NU pun telah sepakat untuk memperbolehkan
pengikutnya mengisap rokok.
MUFTI : Mufti yaitu ahli hukum Islam yang memenuhi syarat untuk mengeluarkan
fatwa yang tidak mengikat tentang suatu permasalahan dalam hukum Islam. Mufti adalah
orang yang diberi wewenang untuk menghasilkan fatwa dengan cara ijtihad. Tugas Mufti
adalah mengenalkan dan menerapkan syariat Islam dalam suatu masyarakat. Syarat untuk
menjadi mufti adalah menguasai ilmu ushul fikih, fikih dan syariat Islam serta memiliki
sifat yang mulia dan sehat. Fatwa yang dibuat oleh Mufti harus mengikuti perkembangan
zaman.
CONTOH : sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga
atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama,
sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa
(mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak
harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.
MUSTAFTI : Orang yang bertanya tentang suatu hukum syar’i. mustafti (orang yang
bertanya kepada mufti), yaitu orang yang boleh ber-taqlid, adalah siapa saja yang belum
layak berijtihad, baik ia orang awam yang sedikit pun tak memiliki ilmu untuk sampai
derajat ijtihad, maupun orang alim (orang berilmu) yang telah mempelajari secara serius
dan menguasai sebagian ilmu untuk mencapai tingkatan ijtihad, namun belum mampu
berijtihad.
ISTIFTA : Maksud dari istifta dalam fikih adalah pertanyaan yang disampaikan kepada
seorang mujtahid dari para pengikutnya tentang permasalahan-permasalahan dan hukum-
hukum agama.
CONTOH : Hukum menggunakan kalender masehi, menonton acara special natal dan
tahun baru.
IFTA : ifta adalah usaha untuk menyampaikan dan menerangkan hasil penggalian
tersebut kepada orang yang bertanya.Ifta adalah salah satu cara untuk menyampaikan
hasil ijtihad kepada orang lain. al-Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa hal yang
perlu diperhatikan kaitannya dengan hukum berfatwa yaitu:
1) Berfatwa hukumnya fardhu kifayah dimana jika ada orang atau pihak yang
menanyakan suatu masalah maka wajib bagi orang yang mempunyai kompetensi
berfatwa menjawabnya.
2) Jika suatu fatwa itu sudah dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu hal fatwa
tersebut dirasa tidak sesuai, maka bagi pihak yang mengeluarkan fatwa harus
memberitahukan orang yang meminta fatwa, bahwa fatwa yang telah dikeluarkan
terdahulu adalah tidak sesuai.
3) Haram hukumnya bagi mufti untuk terlalu mudah mengeluarkan fatwa, dan jika
diketahui seperti itu maka haram bagi mustafti meminta fatwa kepadanya.
4) Seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus stabil psikis dan fisiknya, sehingga
bisa berfikir jernih dan menjaga kenetralannya dalam menetapkan hukum suatu
masalah.
5) Seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber penghasilan untuk
kepentingan dirinya.
6) Bagi mufti yang menetapkan fatwa tentang suatu hukum masalah kemudian dilain
waktu ada pihak lain yang menanyakan masalah yang sama, maka mufti boleh
menyamakan dengan yang pertama dengan syarat masih ingat dalil-dalil dan
penjelasannya.
7) Jika mufti yang dalam menetapkan fatwa merujuk pada pendapat ulama madzhab
tertentu, maka harus didasarkan pendapat ulama yang terdapat dalam kitab fiqih
yang diakui.
8) Ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung dilaksanakan oleh peminta fatwa.
2. Adapun metode yang dipergunakan oleh MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan
melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qathi, Pendekatan Qauli dan Pendekatan
Manhaji.
Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena fatwa merupakan
pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam (fuqaha) tentang kedudukan hukum
suatu masalah baru yang muncul di kalangan masyarakat. Ketika muncul suatu masalah
baru yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit (tegas), baik dalam al-Qur’an,
asSunnah dan ijma’ maupun pendapat-pendapat fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan
salah satu institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan
hukum masalah tersebut.
3. DSN-MUI memiliki peran penting dalam menjaga kepatuhan LKS terhadap
prinsipprinsip Syariah. UU Nomor 21 Tahun 2008 menegaskan bahwa setiap kegiatan
usaha tidak boleh bertentangan dengan syariah, yang dirujuk pada fatwa yang telah
dikeluarkan DSNMUI dan telah dikonfersi ke dalam PBI.
Dewan Syariah bertugas untuk menggali, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip-
prinsip hukum Islam (syariah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di
lembaga-lembaga keuangan syariah serta mengawasi pelaksaan dan implementasinya.
Anggota lembaga adalah para ahli hukum Islam serta praktisi ekonomi, terutama sektor
keuangan, baik bank maupun non bank yang berfungsi untuk menjalankan tugas-tugas
MUI.
DSN mempunyai wewenang sebagai berikut:
1) Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan
syariah dan menjadi dasar tindakan hukum terkait.
2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti departemen keuangan dan
Bank Indonesia.
3) Memberikan rekomendasi dan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan
duduk sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah (LKS).
4) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam
pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan
dalam maupun luar negeri.
5) Memberikan peringatan kepada LKS untuk menghentikan penyimpangan dari
fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.
6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila
peringatan tidak diindahkan.
Mekanisme Kerja DSN Secara garis besar, mekanisme kerja DSN sebagai berikut:
1) Mengesahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN
dalam rapat pleno.
2) Menetapkan, mengubah atau mencabut berbagai fatwa dan pedoman kegiatan
lembaga keuangan syari’ah dalam rapat pleno.
3) Mengesahkan atau mengklarifikasi hasil kajian terhadap usulan atau pertanyaan
mengenai suatu produk atau jasa lembaga keuangan syari’ah dalam rapat pleno.
4) Melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan atau bilamana
diperlukan.
5) Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan
(annual report) bahwa lembaga keuangan syari’ah yang bersangkutan telah/tidak
memenuhi segenap ketentuan syari’ah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh
Dewan Syari’ah Nasional (DSN).
4. Fatwa Nomor: 80/DSN-MUI/III/2011 : Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme
Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas Di Pasar Reguler Bursa Efek.
Fatwa Nomor: 59/DSN-MUI/V/2007 : Obligasi Syariah Mudharabah Konversi.
Fatwa Nomor: 50/DSN-MUI/III/2006 : Akad Mudharabah Musytarakah.
Nama : Meri Ratna Diana

NPM : 2003022013

Kelas :A

Prodi : S1-Perbankan Syariah

Semester :6

Mata Kuliah : Fatwa Dewan Syariah Nasional

Soal UAS

1. Jelaskan pengertian FATWA, MUFTI, MUSTAFTI, ISTIFTA dan IFTA dengan contoh
masing-masing istilah. Dan tuliskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang
akan memberikan fatwa?
2. Jelaskan bagaimana metode fatwa (metode istinbath hokum dalam fatwa), serta jelaskan
bagaimana kedudukan fatwa dalam hukum Islam dan relevansinya dengan qadha’
(putusan hakim)?
3. Jelaskan kedudukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam organisasi Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan bagaimana tugas dan wewenang DSN serta jelaskan mekanisme
kerja (istinbath hukum) DSN MUI?
4. Tuliskan 3 contoh fatwa DSN MUI dalam perbankan syariah dan bagaimana teknik
pengambilan hukumnya atau dalil yang dijadikan landasan hukumnya?

Jawaban UAS

1. Definisi dan contoh serta syarat-syarat dapat kita fahami dibawah ini
 Fatwa jika kita merujuk kedalam bahasa arab kata fatwa sendiri berasal dari kata affta
yang memiliki arti petuah, nasihat, dan jawaban pertanyaaan atas hukum. Hal ini juga
telah dijelaskan mengenai pengertian fatwa yakni menurut Amir Syarifuddin yang
menjelaskan bahwa fatwa merupakan sebuah pemberian penjelasan, dalam hal ini
yang dimaksud adalah sebuah usaha yang nantinya disampaikan untuk memberikan
sebuah kejelasan terhadap hukum-hukum syara yang memang telah dipilih kepada
orang yang memang ahli dalam bidang tersebut kepada orang-orang yang belum
mengetahuinya. Dari pengertian tersebut dapat kita fahami makna atau pengertian dari
fatwa yaitu sebuah pemikiran yang isinya mengenai kejelasan hukum-hukum islam
atau aturan-aturan dalam hukum islam yang nantinya dapat dijadikan sebuah acuan
atau pokok untuk melakukan sebuah Tindakan agar tidak menyalahi atau menyimpang
dari ajaran-ajaran islam.
Contoh Fatwa: Fatwa DSN-MUI No:152/DSN-MUI/VI/2022 tentang penghimpunan
dana dengan akad wakalah BI Al-Istitmar
 Mufti merupakan seseorang atau sekolompok yang mengkaji terkait akan pengeluaran
pendapat fatwa yang dimana seorang mufti ini merupakan orang yang telah memiliki
ahli dalam bidang fatwa karena nantinya mufti inilah yang akan mengeluarkan fatwa.
Contoh: Lembaga DSN-MUI
 Mustafti atau yang biasa dikenal dengan orang yang bertanya ke pada
mufti,maksudnya adalah seseorang yang diperbolehkan bertaqlid namun dalam hal ini
seorang mustafti adalah orang yang memiliki ilmu untuk mencapai ijtihad tetapi masih
belum mampu untuk berijtihad
Contoh: orang yang bertanya
 Iftifta sendiri merupakan pertanyaan yang dilontarkan atau diberikan kepada seorang
mufti terkait permasalahan hukum-hukum dalam agama (Fatwa)
Contoh Pertanyaan ini dari diambil dari kisah sepupu Ibnu Abbas sepupu Rassullah
SAW, ketika beliau menyampaikan ceramahnya didepan sahabat-sahabat ketika dalam
penyampaian ada yang bertanya Wahai Ibnu Abbas Bagaimanakah Hukumnya orang
yang membunuh apakah ia diterima taubatnya atau tidak?
 Ifta merupakan proses dalam penyampaian dari hasil pertanyaan atau bis akita fahami
ifta merupakan sebuah jawaban yang nantinya disampaikan dan dijelaskan kepada
pihak yang bertanya (mustafti)
Contoh: Ibnu Abbas sejenak melihat orang itu lalu menjawabnya bahwa tidak, orang
yang membunuh tidak diterima taubatnya. Namun jawaban ini sempat menjadi
polemik diantara sahabat-sahabat pasalnya pada fatwa yang disampaikan ibnu abbas
sebelumnya bahwa membunuh dengan ia benar-benar taubat maka akan diampuni
dosa-dosanya, namun dalam kasus diatas karena si penanya nantinya dijalan akan
membunuh sesorang makanya beliau menjawab tidak akan diampuni.
Berikut merupakan syarat-syarat untuk seorang mufti atau orang yang mengeluarkan
fatwa:
a. Balig
b. Berakal dan Merdeka
c. Adil dan memenuhi persyaratan untuk menjadi seorang mujtahid atau memiliki
kemampuan ahli dalam bidang mengeluarkan fatwa1
2. Dalam menentukan metode istinbath hukum fatwa sendiri menggunakan metode dengan
berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist,Islam sendiri memiliki pandangan yang sangat
penting terkait kedudukan fatwa dimana fatwa sendiri memiliki kedudukan yang
signifikan terhadap doktrin agama karena fatwa diambil dari landasan yang sesuai dengan
al-quran dan hadist yang nantinya dikaji oleh seorang ahli yang telah memahami isi
kandungan dari al-quran dan hadist.2 Dalam hukum islam fatwa sendiri bukanlah
merupakan sumber hukum utama, karana pada dasarnya sumber hukum utama adalah al-
quran dan al-hadist. Relevansinya terhadap putusan hakim ini adalah nantinya bisa
digunakan ketika dalam hukum nasional tidak bisa menemukan jawaban atau solusi
terhadap permasalahan tersebut namun hakim tetaplah harus lebih teliti ketika ingin
memutuskan sebuah perkara permasalahan.3
3. Jika kita melihat secara structural organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) DSN
sendiri memiliki kedudukan dibawah MUI. Dalam hal ini Dewan Syariah Nasional
memiliki beberapa tugas dan wewenang, Adapun tugas dan wewenang dapat kita lihat
sebagai berikut:
Tugas
a. Menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa LKS, LBS, dan LPS
b. Mengawasi penerapan fatwa melalui DPS di LKS, LBS, dan LPS l
c. Membuat Pedoman Implementasi Fatwa untuk lebih menjabarkan fatwa tertentu
agar tidak menimbulkan multi penafsiran pada saat diimplementasikan di LKS,
LBS, dan LPS lainnya dan Mengeluarkan Surat Edaran (Ta‟limat) kepada LKS,
LBS, dan LPS lainnya

1
NOVA EFFENTY MUHAMMAD, “‫ة‬,” AL-MIZAN 147, no. March (2016): 11–40.
2
https://kemenag.go.id/nasional/menetapkan-fatwa-harus-dengan-metodologi-809yfr
3
Masnun Tahir, “Menimbang Etika Berfatwa Dalam Pemikiran Hukum Islam,” Ulumuddin V (2009): 391–98.
d. Memberikan rekomendasi calon anggota dan/atau mencabut rekomendasi anggota
DPS pada LKS, LBS, dan LPS lainnya
e. Memberikan Rekomendasi Calon ASPM dan/atau mencabut Rekomendasi ASPM
dan Menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atau Keselarasan Syariah bagi
produk dan ketentuan yang diterbitkan oleh Otoritas terkait
f. Menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atas sistem, kegiatan, produk, dan
jasa di LKS, LBS, dan LPS lainnya
g. Menerbitkan Sertifikat Kesesuaian Syariah bagi LBS dan LPS lainnya yang
memerlukan
h. Menyelenggarakan Program Sertifikasi Keahlian Syariah bagi LKS, LBS, dan
LPS lainnya
i. Melakukan sosialisasi dan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan,
bisnis, dan ekonomi syariah
j. Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya
Adapun wewenang dari DSN sendiri sebagai berikut:
a. Memberikan peringatan kepada LKS, LBS, dan LPS lainnya untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang diterbitkan oleh DSN-MUI dan
Merekomendasikan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan
apabila peringatan tidak diindahkan
b. Membekukan dan/atau membatalkan sertifikat Syariah bagi LKS, LBS, dan LPS
lainnya yang melakukan pelanggaran, Menyetujui atau menolak permohonan
LKS, LBS, dan LPS lainnya mengenai usul penggantian dan/atau pemberhentian
DPS pada lembaga yang bersangkutan
c. Merekomendasikan kepada pihak terkait untuk menumbuhkembangkan usaha
bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah dan Menjalin kemitraan dan
kerjasama dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri untuk
menumbuh kembangkan usaha bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah.

Dalam mekanisme kerja sendiri hukum istinbat sebagaimana yang memang tealh
diamanatkan oleh undang-undang sendiri bahwa bersifat mengikat untuk fatwa DSN-
MUI sendiri, sebagai contohnya jika dalam produk perbankan syariah persyaratan
yang memang harus dipenuhi oleh produk perbankan syariah sendiri ialah harus
memperhatikan apakah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah atau tidaknya.4

4. Berikut contoh Fatwa DSN-MUI dalam perbankan syariah serta dalil yang dijadikan
landasanya:
a. Fatwa DSN-MUI No:152/DSN-MUI/VI/2022 tentang penghimpunan dana
dengan akad wakalah BI Al-Istitmar, dalam menentukan fatwa ini DSN-MUI
dalam pengambilan teknik pengambilan hukumnya atau dalil yang dijadikan
sumber hukumnya yakni pada potongan (QS.Al-Maidah (5):1).
yang artinya:” Hai orang-orang yang beriman,penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan
bagimu Binatang ternak,kecuali yang akan dibacakan kepadamu.yang demikian
itu dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji ”
Dan masih ada beberapa sumber landasanya seperti di potongan QS. Al-Isra’
(17):34, QS.Al-Kahfi(18):19.
b. Fatwa DSN-MUI No: 130/DSN-MUI/X/2019 tentang pedoman bagi lembaga
penjamin simpanan dalam pelaksanaan penanganan atau penyelesaian bank
syariah yang mengalami permasalahan solvabilitas
Fatwa DSN-MUI ini dalam pengambilan dasar hukum atau dadil yang digunakan
ada beberapa yang dijadikanya sebuah landasan salah satunya yakni dalam
QS.An-Nisa (4): 29
Artinya: " Hai orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu."
c. Fatwa DSN-MUI No: 118/DSN-MUI/II/2018 tentang pedoman penjaminan
simpanan nasabah bank sayriah, dalam teknik atau pengambilan dalil pada fatwa
ini DSN-MUI menjadikan sebuah landasan dasar hukum melalui berapa surat
yang ada dalam Al-Qur’an salah satunya terdapat dalam Q.S Al-Baqarah (2):282
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskanya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskanya dengan benar.5
4
Ahmad Badrut Tamam, “Kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dan Fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN) Dalam Sistem Hukum Indonesia,” Al-Musthofa: Journal Of Sharia Economics 4, no. 2 (2021): 172–81.
5
https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/
REFERENSI JAWABAN

MUHAMMAD, NOVA EFFENTY. “‫ة‬.” AL-MIZAN 147, no. March (2016): 11–40.

Tahir, Masnun. “Menimbang Etika Berfatwa Dalam Pemikiran Hukum Islam.” Ulumuddin V
(2009): 391–98.

Tamam, Ahmad Badrut. “Kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dan Fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) Dalam Sistem Hukum Indonesia.” Al-Musthofa: Journal Of Sharia
Economics 4, no. 2 (2021): 172–81.

SOAL UAS
FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MUI

NAMA : Ahmad Saefudin

NPM : 1903021002

MATA KULIAH : Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI

Petunjuk: Jawablah 4 pertanyaan berikut disertai dengan referensi (sumber bacaan) di setiap
pointnya.

Jelaskan pengertian FATWA, MUFTI, MUSTAFTI, ISTIFTA dan IFTA dengan


I contoh masing-masing istilah. Dan tuliskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang yang akan memberikan fatwa.

Jelaskan bagaimana metode fatwa (metode istinbath hokum dalam fatwa), serta
II jelaskan bagaimana kedudukan fatwa dalam hukum Islam dan relevansinya denga
qadha’ (putusan hakim).

Jelaskan kedudukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam organisasi Majelis Ulama
III Indonesia (MUI), dan bagaimana tugas dan wewenang DSN serta jelaskan
mekanisme kerja (istinbath hukum) DSN MUI.

Tuliskan 3 contoh fatwa DSN MUI dalam perbankan syariah dan bagaimana teknik
IV
pengambilan hukumnya atau dalil yang dijadikan landasan hukumnya.

JAWABAN

1. FATWA adalah pendapat atau penilaian hukum yang diberikan oleh seorang ahli agama atau
lembaga keagamaan yang diakui, seperti majelis ulama, mufti, atau lembaga fatwa, dalam
hal-hal yang berkaitan dengan ajaran agama Islam. Fatwa sering kali berfungsi sebagai
panduan atau pedoman bagi umat Muslim dalam menghadapi masalah agama atau sosial
yang kompleks.
MUFTI adalah seorang cendekiawan atau sarjana agama Islam yang memiliki pengetahuan
yang mendalam tentang hukum Islam dan berwenang untuk memberikan fatwa. Mufti adalah
seseorang yang memiliki kualifikasi keilmuan dalam berbagai disiplin ilmu Islam, seperti
fiqh (hukum Islam), hadis, tafsir, dan sebagainya.

MUSTAFTI adalah seseorang yang mencari fatwa atau nasihat hukum Islam. Seorang
mustafti mengajukan pertanyaan atau konsultasi kepada seorang mufti atau ulama yang
berwenang untuk memperoleh penjelasan atau panduan dalam menyelesaikan masalah agama
atau hukum Islam yang dihadapinya.

ISTIFTA adalah proses pengajuan pertanyaan atau permintaan fatwa kepada seorang mufti
atau lembaga fatwa. Istifta dilakukan oleh seorang mustafti yang ingin memperoleh jawaban
atau penilaian hukum dalam menghadapi situasi atau permasalahan tertentu.

IFTA (Istitāʿa) adalah proses memberikan fatwa oleh seorang mufti atau lembaga fatwa
kepada mustafti. IFTA melibatkan analisis dan penelitian terhadap pertanyaan atau
permasalahan yang diajukan, dan berakhir dengan memberikan penilaian atau pendapat
hukum yang disusun secara tertulis.6

Contoh penggunaan istilah-istilah ini dalam sebuah kasus:

Misalkan seseorang memiliki pertanyaan mengenai hukum mengenakan bunga pada


pinjaman dalam Islam. Orang ini dapat melakukan istifta dengan mengajukan pertanyaan
kepada seorang mufti melalui surat, email, atau platform konsultasi keagamaan yang
disediakan oleh lembaga fatwa. Mustafti tersebut mengirimkan pertanyaannya melalui istifta
dan meminta fatwa mengenai masalah tersebut.

Setelah menerima pertanyaan, mufti akan melakukan penelitian dan analisis tentang masalah
tersebut dengan menggunakan sumber-sumber hukum Islam, seperti Al-Qur'an, hadis, dan
pendapat para ulama terkemuka. Setelah merenungkan masalah tersebut, mufti kemudian
memberikan fatwa tertulis yang menjawab pertanyaan mustafti. Fatwa tersebut mungkin
menyatakan bahwa mengenakan bunga pada pinjaman adalah haram dalam Islam
berdasarkan nash-nash yang ada.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan memberikan fatwa antara lain:

6
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, “Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia
Edisi Revisi 2018,” Majelis Ulama Indonesia, 2018.
1) Pengetahuan yang mendalam: Seseorang yang memberikan fatwa harus memiliki
pengetahuan yang mendalam tentang ajaran agama Islam, termasuk prinsip-prinsip fiqh
(hukum Islam), hadis, tafsir, dan sebagainya.
2) Memahami konteks: Seorang mufti harus memahami konteks dan situasi yang dihadapi
oleh mustafti. Fatwa yang diberikan harus mempertimbangkan kondisi sosial, budaya,
dan perubahan zaman.
3) Mengutamakan niat ikhlas: Seseorang yang memberikan fatwa harus memiliki niat yang
tulus dan ikhlas untuk memberikan panduan yang benar kepada umat Muslim, bukan
untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
4) Berdasarkan sumber-sumber utama: Fatwa harus didasarkan pada Al-Qur'an, hadis, dan
penelitian ilmiah yang diakui dalam lingkup keilmuan Islam.
5) Memperhatikan perbedaan pendapat: Dalam hal-hal yang memiliki perbedaan pendapat
di antara para ulama, mufti harus mempertimbangkan berbagai pendapat dan memberikan
argumen yang kuat dan jelas untuk fatwa yang diberikan.
6) Konsultasi dengan ulama lain: Dalam beberapa kasus, seorang mufti dapat berkonsultasi
dengan ulama lain atau majelis ulama untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas
sebelum memberikan fatwa.7
Namun perlu dipahami bahwa fatwa tidaklah mutlak dan dapat berbeda antara satu mufti
dengan yang lainnya. Umat Muslim dianjurkan untuk merujuk kepada mufti yang terpercaya
dan memiliki pengetahuan yang mendalam dalam menyelesaikan masalah agama yang
kompleks.

2. Metode fatwa dalam Islam adalah proses pengambilan keputusan hukum oleh seorang mufti
atau ulama yang dilakukan berdasarkan penafsiran Al-Qur'an, hadis, prinsip-prinsip fiqih,
serta pertimbangan dan pemahaman mereka terhadap masalah-masalah kontemporer. Metode
ini dikenal sebagai istinbath hukum atau penarikan hukum dari sumber-sumber hukum Islam
yang ada.
Proses istinbath hukum dalam fatwa melibatkan langkah-langkah berikut:

7
Ibid.
1) Studi Sumber Hukum: Mufti atau ulama akan mempelajari Al-Qur'an, hadis, dan prinsip-
prinsip fiqih untuk mencari dasar-dasar hukum yang relevan dengan masalah yang
dihadapi.
2) Analisis Kontekstual: Setelah memahami dasar-dasar hukum, mufti akan menganalisis
konteks masalah yang dihadapi dan mempertimbangkan faktor-faktor seperti waktu,
tempat, kondisi sosial, dan kebutuhan umat Muslim pada saat itu.
3) Pendekatan Metodologi: Mufti akan menggunakan prinsip-prinsip fiqih dan metode
interpretasi yang telah diterima dalam tradisi Islam, seperti ijtihad (penafsiran), qiyas
(analogi), maslahah mursalah (kemaslahatan umum), dan urf (adat istiadat) untuk
mencari solusi hukum yang tepat.
4) Fatwa: Setelah melalui proses analisis dan pemikiran yang mendalam, mufti akan
mengeluarkan fatwa, yaitu pendapat atau keputusan hukum yang ditujukan untuk
memandu umat Muslim dalam menghadapi masalah yang spesifik.
5) Kedudukan fatwa dalam hukum Islam berbeda dengan qadha, yang merujuk pada putusan
hakim dalam proses peradilan. Fatwa bukanlah bentuk hukum yang mengikat secara
hukum seperti putusan hakim. Fatwa adalah pandangan hukum yang diberikan oleh
seorang mufti atau ulama berdasarkan penafsiran mereka terhadap hukum Islam. Oleh
karena itu, fatwa tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara langsung.8
Namun, fatwa memiliki relevansi yang penting dalam masyarakat Muslim. Fatwa dapat
memberikan pedoman hukum dan etika bagi individu dan masyarakat dalam menjalankan
agama mereka. Fatwa juga dapat mempengaruhi praktik-praktik sosial, keputusan politik,
dan kehidupan sehari-hari umat Muslim. Meskipun tidak mengikat secara hukum, fatwa
memiliki otoritas moral dan pengaruh yang kuat dalam komunitas Muslim.

Putusan hakim dalam qadha, di sisi lain, adalah bentuk hukum yang mengikat secara
langsung dalam konteks peradilan. Qadha adalah hasil dari proses peradilan yang
berlandaskan hukum Islam, yang mencakup penelitian terhadap fakta-fakta, bukti-bukti,
argumen hukum, dan prinsip-prinsip fiqih. Putusan hakim dalam qadha memiliki kekuatan
hukum yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh individu dan pihak terkait.

8
Nur Hidayah, Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional Kajian Terhadap Aspek Hukum Islam Perbankan Syariah
Di Indonesia (Jakarta: Puslitpen, 2019).
Dalam beberapa kasus, fatwa dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam proses
pengambilan keputusan dalam qadha. Namun, penting untuk diingat bahwa fatwa bukanlah
putusan hukum yang mengikat hakim. Hakim memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan
bukti dan argumen yang disajikan dalam kasus yang mereka hadapi, serta merujuk pada
prinsip-prinsip hukum Islam dan hukum yang berlaku dalam yurisdiksi mereka.

Dengan demikian, fatwa memiliki relevansi dan pengaruh dalam masyarakat Muslim,
kedudukannya berbeda dengan qadha. Fatwa adalah pandangan hukum yang diberikan oleh
ulama berdasarkan penafsiran mereka, sedangkan qadha adalah putusan hakim yang
mengikat secara hukum.

3. Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah salah satu lembaga di bawah naungan Majelis Ulama
Indonesia (MUI). DSN berfungsi sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam
mengeluarkan fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan syariah yang berkaitan dengan berbagai
masalah kehidupan umat Muslim di Indonesia. DSN memiliki peran penting dalam
memberikan panduan dan pedoman bagi umat Muslim dalam menjalankan agama sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah.9
Tugas dan wewenang DSN MUI meliputi:

1) Menetapkan fatwa syariah: DSN memiliki tugas utama dalam menetapkan fatwa-fatwa
syariah yang berfungsi sebagai pedoman bagi umat Muslim dalam berbagai aspek
kehidupan, seperti ekonomi, keuangan, hukum waris, zakat, dan sebagainya.
2) Mengeluarkan keputusan hukum: DSN juga memiliki wewenang dalam mengeluarkan
keputusan hukum terkait perkara-perkara syariah yang menjadi pertimbangan dalam
penyelesaian masalah hukum Islam di Indonesia.
3) Memberikan konsultasi syariah: DSN memberikan konsultasi syariah kepada individu,
lembaga, atau instansi yang membutuhkan panduan dalam menjalankan aktivitas yang
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
4) Mekanisme kerja (istinbath hukum) DSN MUI melibatkan proses konsultasi dan
pembahasan oleh para anggota DSN yang terdiri dari ulama dan cendekiawan Muslim

9
Muh. Irbabunnuha Sholeh, Asrorun Niam, M. Amin Suma, Abdurrahman Dahlan, Jaih Mubarok, Maulana
Hasanuddin, Abdul Halim Sholeh, Miftahul Huda, “Peran Fatwa MUI Dalam Perubahan Sosial,” Sekretarian Komisi
Fatwa, 2022, 589.
yang memiliki keahlian dan pemahaman mendalam dalam hukum Islam. Berikut adalah
langkah-langkah dalam mekanisme kerja DSN:
5) Konsultasi: Ketika ada masalah atau pertanyaan terkait hukum Islam, individu, lembaga,
atau instansi dapat mengajukan konsultasi kepada DSN MUI. Pertanyaan tersebut dapat
berupa masalah ekonomi, keuangan, hukum waris, pernikahan, atau hal lain yang
memerlukan panduan syariah.
6) Studi dan pembahasan: DSN melakukan studi mendalam terkait pertanyaan atau masalah
yang diajukan. Para anggota DSN akan melakukan pembahasan dan analisis terhadap
berbagai aspek hukum Islam yang terkait dengan masalah tersebut.
7) Penyusunan fatwa atau keputusan hukum: Setelah melakukan studi dan pembahasan,
DSN menyusun fatwa atau keputusan hukum yang menjadi jawaban atau panduan terkait
masalah yang diajukan. Fatwa atau keputusan hukum ini didasarkan pada interpretasi dan
aplikasi prinsip-prinsip syariah dalam konteks Indonesia.
8) Pengesahan: Fatwa atau keputusan hukum yang disusun oleh DSN harus melalui tahap
pengesahan oleh Dewan Pertimbangan MUI. Setelah mendapatkan pengesahan, fatwa
atau keputusan hukum tersebut menjadi pedoman resmi yang diakui oleh MUI.
9) Mekanisme kerja DSN MUI mengutamakan keterlibatan ulama dan cendekiawan Muslim
yang memiliki keahlian dan keilmuan dalam bidang hukum Islam. Dengan demikian,
fatwa-fatwa dan keputusan hukum yang dihasilkan oleh DSN MUI diharapkan dapat
memberikan panduan yang komprehensif dan sesuai dengan konteks sosial dan
kehidupan umat Muslim di Indonesia.
4. Berikut adalah tiga contoh fatwa DSN MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia) dalam perbankan syariah beserta teknik pengambilan hukumnya atau dalil yang
dijadikan landasan hukumnya:10

1) Fatwa tentang Akad Murabahah


Fatwa ini menjelaskan tentang prinsip-prinsip dan ketentuan akad murabahah, yang
meruakan salah satu jenis akad yang umum digunakan dalam perbankan syariah. Fatwa
ini didasarkan pada prinsip-prinsip syariah, seperti prinsip keadilan, transparansi, dan
larangan riba. DSN MUI mengambil hukum berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan
10
Indonesia, “Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi 2018.”
hadis yang mendasari prinsip-prinsip tersebut, seperti larangan riba dan keharusan
memberikan informasi yang jelas kepada pihak yang bertransaksi.

2) Fatwa tentang Akad Mudharabah


Fatwa ini memberikan panduan mengenai akad mudharabah, yang merupakan salah satu
akad yang digunakan dalam pembiayaan syariah. Fatwa ini didasarkan pada prinsip-
prinsip syariah, seperti prinsip berbagi risiko dan keuntungan, keadilan, dan tanggung
jawab. DSN MUI mengambil hukum berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadis
yang mendasari prinsip-prinsip tersebut, seperti prinsip musyarakah dan syirkah.

3) Fatwa tentang Wadiah


Fatwa ini menjelaskan tentang akad wadiah, yang merupakan salah satu akad dalam
perbankan syariah yang digunakan untuk penyimpanan dana nasabah. Fatwa ini
didasarkan pada prinsip-prinsip syariah, seperti prinsip amanah, kepercayaan, dan
keadilan. DSN MUI mengambil hukum berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadis
yang mendasari prinsip-prinsip tersebut, seperti larangan penggelapan harta dan
keharusan menjaga keamanan dan keutuhan harta simpanan.11

Teknik pengambilan hukum dalam fatwa DSN MUI melibatkan para ulama dan pakar
keuangan syariah yang mempelajari nash-nash (teks-teks) agama, termasuk Al-Qur'an, hadis,
ijma' (konsensus ulama), dan qiyas (analogi). Mereka menganalisis prinsip-prinsip syariah
yang terkandung dalam nash-nash tersebut dan mengaplikasikannya dalam konteks
perbankan syariah. Fatwa-fatwa DSN MUI kemudian dikeluarkan sebagai pedoman bagi
lembaga keuangan syariah untuk memastikan bahwa operasional mereka sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahyar A. Gayo. “Hukum Tentang Kedudukan Fatwa Mui Dalam Upaya Mendorong Pelaksanaan
Ekonomi Syariah.” BPHN Puslitbang, 2011.

Hidayah, Nur. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional Kajian Terhadap Aspek Hukum Islam
Perbankan Syariah Di Indonesia. Jakarta: Puslitpen, 2019.
11
Ahyar A. Gayo, “Hukum Tentang Kedudukan Fatwa Mui Dalam Upaya Mendorong Pelaksanaan Ekonomi
Syariah,” BPHN Puslitbang, 2011.
Indonesia, Dewan Pimpinan Majelis Ulama. “Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis
Ulama Indonesia Edisi Revisi 2018.” Majelis Ulama Indonesia, 2018.

Sholeh, Asrorun Niam, M. Amin Suma, Abdurrahman Dahlan, Jaih Mubarok, Maulana
Hasanuddin, Abdul Halim Sholeh, Miftahul Huda, Muh. Irbabunnuha. “Peran Fatwa MUI
Dalam Perubahan Sosial.” Sekretarian Komisi Fatwa, 2022, 589.

Anda mungkin juga menyukai