Anda di halaman 1dari 38

Daftar organisasi massa Islam di Indonesia

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian


Berikut adalah daftar Organisasi Masyarakat (ormas) Islam di Indonesia, disusun berdasarkan
abjad.

 Al Irsyad Al Islamiyyah
 Al Ittihadiyah
 Al Washliyah
 Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
 Dewan Masjid Indonesia (DMI)
 Forum Umat Islam (FUI)
 Front Pembela Islam (FPI)
 Forum Dakwah Islam Indonesia (FDII)
 Gerakan Pemuda Ansor
 Himpunan ahlus Sunnah Untuk Masyarakat Islami (Hasmi)
 Hidayatullah
 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
 Ikatan Da'i Indonesia (Ikadi)
 Lembaga Dakwah Kemuliaan Islam (LDKI)
 Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
 Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)
 Majelis Az Zikra
 Majelis Dakwah Islamiyah
 Majelis Ulama Indonesia (MUI)
 Majelis Tafsir Al-Quran (MTA)
 Mathla'ul Anwar
 Muhammadiyah
 Nahdlatul Ulama (NU)
 Nahdlatul Wathan (NW)
 Pemuda Muslimin Indonesia (Pemuda Muslim)
 Persatuan Islam (Persis)
 Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
 Persatuan Umat Islam (PUI)
 Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
 Syarikat Islam (SI)
 Wahdah Islamiyah
 BP4
 Syarikat Islam Indonesia (SII)

Dewan Da'wah Islamiyah


Indonesia atau DDII merupakan salah satu organisasi Islam di Indonesia
yang berdiri pada tanggal 26 Februari 1967 dengan pendiri & Ketua DDII yang
pertama, Mohammad Natsir.
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Pada 26 Februari 1967, atas undangan pengurus masjid Al-Munawarah, Kampung Bali, Tanah
Abang, Jakarta Pusat, para alim ulama dan zu'ama berkumpul untuk bermusyawarah,
membahas, meneliti, dan menilai beberapa masalah, terutama yang rapat hubungannya dengan
usaha pembangunan umat, juga tentang usaha mempertahankan aqidah di dalam
kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Musyawarah menyimpulkan dua hal sebagai berikut:

1. Menyatakan rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam
usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan
umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi, serta atas usaha-usaha
yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.
2. Memandang perlu (urgent) lebih ditingkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi
sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan dan
banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah tersebut.
Untuk menindaklanjuti kesimpulan pada butir kedua di atas, musyawarah para ulama dan
zu'ama mengkonstatir terdapatnya berbagai persoalan, antara lain:

1. Mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan sistem


perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi, lebih-lebih lagi sangat
dirasakan perlunya dalam usaha menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-
macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh penganut agama-agama lain dan
kepercayaan-kepercayaan (antara lain paham anti Tuhan yang masih merayap di bawah
tanah), Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan sebagainya terhadap masyarakat Islam.
2. Planning dan integrasi yang di dalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh
penelitian (research) dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur dan badan-badan
dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan
berencana.
Dalam menampung masalah-masalah tersebut, yang mengandung cakupan yang cukup luas
dan sifat yang cukup kompleks, maka musyawarah alim ulama itu memandang perlu membentuk
suatu wadah yang kemudian dijelmakan dalam sebuah Yayasan yang diberi nama Dewan
Da'wah Islamiyah Indonesia disingkat Dewan Dakwah. Pengurus Pusat yayasan ini
berkedudukan di ibu kota negara, dan dimungkinkan memiliki Perwakilan di tiap-tiap ibu kota
Daerah Tingkat I serta Pembantu Perwakilan di tiaptiap ibu kota Daerah Tingkat II seluruh
Indonesia.
Dewan Dakwah yang dikukuhkan keberadaannya melalui Akta Notaris Syahrim Abdul Manan
No. 4, tertanggal 9 Mei 1967, melandaskan kebijaksanaannya kepada empat hal:

1. Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berdasarkan taqwa dan keridhaan Allah.
2. Dalam mencapai maksud dan tujuannya, Dewan Dakwah mengadakan kerja sama yang
erat dengan badan-badan dakwah yang telah ada di seluruh Indonesia.
3. Dalam hal yang bersifat kontroversial (saling bertentangan) dan dalam usaha melicinkan
jalan dakwah, Dewan Da'wah bersikap menghindari dan atau mengurangi pertikaian
paham antara pendukung dakwah, istimewa dalam melaksanakan tugas dakwah.
4. Di mana perlu dan dalam keadaan mengizinkan, Dewan Dakwah dapat tampil mengisi
kekosongan, antara lain menciptakan suatu usaha berbentuk atau bersifat dakwah,
usaha mana sebelumnya belum pernah diadakan, seperti mengadakan pilot projek
dalcrm bidang dakwah.
Musyawarah alim ulama juga merumuskan program kerja sebagai penjabaran dari landasan
kebijaksanaan di atas. Program kerja tiga pasal itu ialah sebagai berikut:

1. Mengadakan pelatihan-pelatihan atau membantu mengadakan pelatihan bagi


muballighin dan calon-calon muballighin.
2. Mengadakan research (penelitian) atau membantu mengadakan penelitian, yang
hasilnya dapat segera diinanfaatkan bagi perlengkapan usaha para muballighin pada
umumnya.
3. Menyebarkan aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku, brosur, dan atau siaran
lain yang terutama ditujukan untuk memperlengkapi para muballighin dengan ilmu
pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, guna
meningkatkan mutu dan hasil dakwah. Usaha ini diharapkan dapat mengisi kekosongan-
kekosongan di bidang lektur, yang khusus diperlukan dalam masyarakat.

Pengurus[sunting | sunting sumber]


Pertama kali kepengurusan Dewan Dakwah Islam Indonesia sebagai berikut:

 Ketua: Mohammad Natsir


 Wakil Ketua: Dr. H.M. Rasjidi
 Sekretaris: H. Buchari Tamam
 Sekretaris II: H. Nawawi Duski
 Bendahara: H. Hasan Basri
 Anggota: K.H. Taufiqurrahman
Mochtar Lintang
H. Zainal Abidin Ahmad
Prawoto Mangkusasmito
H. Mansur Daud Datuk Palimo Kajo
Prof. Osman Raliby
Abdul Hamid [1]
Dan Ketua Umum DDII untuk periode tahun 2015 - 2020 (Dewan Dakwah Islam Indonesia)
adalah Drs Muhammad Siddiq, MA[butuh rujukan]

Al Jam'iyatul Washliyah (Arab : ‫ ) الجمعيةالوصليه‬adalah salah satu


organisasi Islam di Indonesia[1][2].Kata Al jam'iyatul Washliyah berasal dari Bahasa Arab Yang
artinya Perkumpulan atau perhimpunan yang menghubungkan, baik yang menghubungkan
Manusia dengan Allah (hablun minAllah) dan yang menghubungkan Manusia dengan
Manusia(hablun minannas).Al Jam'iyatul washliyah sekarang lebih di kenal dengan Al
Washliyah.Al wasliyah khusus aktif membela kemaslahatan umat Islam dan Indonesia pada
umumnya.[3]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Seiring dengan menajamnya perpecahan di tengah-tengah ummat Islam,baik yang datang dari
luar maupun dari intern ummat Islam itu sendiri dikarenakan perbedaan mahzab atau
Pandangan,maka para Cendikiawan muslim mencari jalan tengah untuk mempersatukan ummat
Islam. Maka di bentuklah Al Jam,iyatul Washliyah pada
tanggal 30 November 1930 atau 9 Rajab 1349 Hijriah di Maktap Islamiyah Tapanuli
Selatan,Medan. Adapun Tokoh pendiri Al Alwashliyah adalah Ismail Banda ,H.M.Arsyad Thalib
Lubis[4] dan H.Abdurrahman Syihab.
Dewan Masjid Indonesia (DMI)
adalah organisasi tingkat nasional dengan tujuan untuk mewujudkan fungsi masjid sebagai
pusat ibadah, pengembangan masyarakat dan persatuan umat. Organisasi ini didirikan pada
tahun 1972 dengan maksud untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia dan
kecerdasan umat serta tercapainya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT, dalam
wilayah Negara Republik Indonesia.
DMI mempunyai kepengurusan di setiap provinsi dan kabupaten di Indonesia. Pimpinan pusat
DMI dipilih secara demokratis setiap lima tahun melalui muktamar nasional. Ketua umum
pengurus pusat DMI periode 2012-2022 adalah DR. H. Muhammad Jusuf Kalla [1], yang
menggantikan Dr. Tarmizi Taher. Ia terpilih pada Muktamar VI DMI tahun 2012 di Jakarta dan
diberi amanah untuk memimpin organisasi ini hingga tahun 2017.
Kantor pusat DMI berada di Kompleks Masjid Istiqlal, Jl. Taman Wijayakusuma, Jakarta 10710.

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Ide dibentuknya Dewan Masjid Indonesia bermula dari pertemuan tokoh-tokoh Islam yang
dihadiri oleh Bapak H. Rus'an dari Dirjen Bimas Islam dan Wakil Ketua Jakarta Pusat Bapak
H. Edi Djajang Djaatmadja membentuk panitia untuk mendirikan Dewan Kemakmuran Masjid
Seluruh Indonesia (DKMSI). Pada tanggal 16 Juni 1970 disusunlah formatur yang diketuai oleh
KH. MS. Rahardjo Dikromo yang beranggotakan H. Sudirman, KH. MS. Rahardjo Dikromo, KH.
Hasan Basri, KH. Muchtar Sanusi, KH. Hasyim Adnan, BA dan KH. Ichsan.
Tepatnya pada tanggal 22 Juni 1972 rapat tim formatur memutuskan untuk mendirikan Dewan
Masjid indonesia (DMI).

Perkembangan DMI dari masa ke masa[sunting | sunting sumber]


1. Periode 1975-1981

 Masa Perkembangan dan Pemantapan


 DMI memperluas ruang lingkup kegiatan dan kerja sama
 Ikut ambil bagian pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
 Kerja sama dengan Robitoh al-Alami al-Islam (O.I.I) di Makkah.
 Kerja sama dengan organisasi Islam Kualalumpur, Singapura dan lain-lain.
2. Periode 1981-1984

 Masa Konsolidasi dan Pemantapan


 DMI diterima sebagai anggota Dewan Masjid sedunia (al-Majlis al-A'la al-Alami lil masjid di
Mekkah)
 Kegiatan dan kerja sama dengan pemerintah dan organisasi Islam semakin meningkat
Sejak periode ini DDMI semakin diakui diberbagai lapisan.
3. Periode 1984-1989 Penyempurnaan AD/ART ke-I. Program kerja meningkat:

 Bidang Organisasi
 Bidang Penggalian dan Penggunaan Dana
 Bidang Pembangunan tempat-tempat Ibadah
 Bidang Publikasi
 Bidang Pengkajian dan Perpustakaan
 Bidang anak-anak Remaja, wanita masjid.
 Bidang Bina Jamaah
 Bidang Kemurnian Masjid
4. Periode 1989-1994 (Muktamar II)

 Penyempurnaan AD/ART ke-II.


 Program semakin disesuaikan dengan kebutuhan.
5. Periode 1995-2000 (Muktamar III)

Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi


massa Indonesia. Mengusung pandangan Islamisme konservatif, FPI memiliki basis massa yang
signifikan dan menjadi motor di balik beberapa aksi pergerakan Islam di Indonesia, seperti Aksi 2
Desember pada 2016

Sejarah
FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman
Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan Jakarta oleh sejumlah Habaib,
Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari
daerah Jabotabek.[1] Pendirian organisasi ini hanya empat bulan setelah Presiden Soeharto
mundur dari jabatannya, karena pada saat pemerintahan orde baru presiden tidak mentoleransi
tindakan ekstrimis dalam bentuk apapun. FPI pun berdiri dengan tujuan untuk menegakkan
hukum Islam di negara sekuler.[2]
Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam
menegakkan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar[3] di setiap aspek kehidupan.
Latar belakang pendirian FPI sebagaimana diklaim oleh organisasi tersebut antara lain:

1. Adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial
penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
oknum penguasa.
2. Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor
kehidupan.
3. Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta
ummat Islam.
Pada tahun 2002 pada tablig akbar ulang tahun FPI yang juga dihadiri oleh mantan Menteri
Agama dan terdakwa kasus korupsi Dana Abadi Umat (DAU), Said Agil Husin Al Munawar, FPI
menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, "Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan menambahkan "kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" seperti yang tertera pada butir pertama dari Piagam
Jakarta yang dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945 ke dalam amendemen UUD 1945 yang
sedang di bahas di MPR sambil membawa spanduk bertuliskan "Syariat Islam atau Disintegrasi
Bangsa".
Namun Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dr. J. Soedjati
Djiwandono berpendapat bahwa dimasukkannya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945
yang diamendemen, justru dikhawatirkan akan memecah belah kesatuan bangsa dan negara,
mengingat karekteristik bangsa yang majemuk.[4]
Pembentukan organisasi yang memperjuangkan syariat Islam dan bukan Pancasila inilah yang
kemudian menjadi wacana pemerintah Indonesia untuk membubarkan ormas Islam yang
bermasalah pada tahun 2006.

Aksi
Artikel utama: Daftar aksi Front Pembela Islam
FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998, terutama
yang dilakukan oleh laskar paramiliternya yakni Laskar Pembela Islam.[5] Rangkaian aksi
penutupan klab malam, tempat pelacuran dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat
maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga
negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling
sering diperlihatkan dalam media massa.[butuh rujukan]
Di samping aksi kontroversial yang dilakukan, FPI juga melibatkan diri dalam aksi-aksi
kemanusiaan antara lain pengiriman relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh,[6] bantuan
relawan dan logistik saat bencana gempa di Padang dan beberapa aktivitas kemanusiaan
lainnya.[7][8]
Tindakan FPI sering dikritik berbagai pihak karena tindakan main hakim sendiri yang berujung
pada perusakan hak milik orang lain. Pernyataan bahwa seharusnya Polri adalah satu-satunya
intitusi yang berhak melakukan hal tersebut dijawab dengan pernyataan bahwa Polri tidak
memiliki insiatif untuk melakukannya.
Rizieq, sebagai ketua FPI, menyatakan bahwa FPI merupakan gerakan lugas dan tanpa
kompromi sebagai cermin dari ketegaran prinsip dan sikap. Menurut Rizieq kekerasan yang
dilakukan FPI dikarenakan kemandulan dalam sistem penegakan hukum dan berkata bahwa FPI
akan mundur bila hukum sudah ditegakkan. Ia menolak anggapan bahwa beberapa pihak
menyatakan FPI anarkis dan kekerasan yang dilakukannya merupakan cermin kebengisan hati
dan kekasaran sikap.

Kontroversi
Karena aksi-aksi kekerasan itu meresahkan masyarakat, termasuk dari golongan Islam sendiri,
beberapa ormas menuntut agar FPI dibubarkan. Melalui kelompok surat elektronik yang
tergabung dalam forum wanita-muslimah mereka mengirimkan petisi pembubaran FPI dan
ajakan bergabung.[9]
Menurut mereka walaupun FPI membawa nama agama Islam, pada kenyataannya tindakan
mereka bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islami, bahkan tidak jarang menjurus
ke vandalisme.
Sedangkan menurut Pengurus FPI, tindakan itu dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang /
tidak memahami Prosedur Standar FPI.[10]
Pada bulan Mei 2006, FPI berseteru dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pertikaian ini
berawal dari acara diskusi lintas agama di Purwakarta, Jawa Barat. Gus Dur, yang hadir di sana
sebagai pembicara, sempat menuding organisasi-organisasi Islam yang mendukung Rancangan
Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi disokong oleh sejumlah jenderal. Perdebatan
antara Gus Dur dan kalangan FPI pun memanas sampai akhirnya mantan presiden ini turun dari
forum diskusi.
Pada bulan Juni 2006 Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo
Kumolo dan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar meminta
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto untuk menindak ormas-
ormas anarkis secepatnya. Pemerintah, melalui Menko Polhukam Widodo AS sempat
mewacanakan pembubaran ormas berdasarkan peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1985, namun hal ini hanya berupa wacana, dan belum dipastikan. Kabarnya pendiria
ormas di Indonesia harus berdasarkan Pancasila sedangkan FPI berdasarkan syariat Islam dan
tidak mau mengakui dasar lainnya.
Kalangan DPR juga meminta pemerintah bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang bertindak
anarkis dan meresahkan ini. Tindakan tegas aparat keamanan dinilai penting agar konflik
horizontal tidak meluas.[11]
Pada 20 Juni 2006 Dalam acara diskusi "FPI, FBR, versus LSM Komprador" Rizieq menyatakan
bahwa rencana pemerintah untuk membubarkan ormas Islam adalah pesanan dari Amerika
merujuk kedatangan Rumsfeld ke Jakarta.[12] FPI sendiri menyatakan bahwa bila mereka
dibubarkan karena tidak berdasarkan Pancasila maka organisasi lainnya
seperti Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) juga harus
dibubarkan.

Insiden Monas
Artikel utama: Insiden Monas

Insiden Monas adalah sebutan media untuk peristiwa penyerangan yang dilakukan FPI terhadap
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas
pada tanggal 1 Juni 2008. Satu hari setelah peristiwa tersebut, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengadakan Rapat Koordinasi Polkam yang membahas aksi kekerasan tersebut.
Presiden dalam jumpa persnya mengatakan negara tidak boleh kalah dengan perilaku
kekerasan,[13] menambahkan bahwa aksi-aksi kekerasan telah mencoreng nama baik di dalam
dan di luar negeri. Ketua Komando Laskar Islam, Munarman, mengoreksi pemberitaan media
dan menyatakan bahwa penyerangan terhadap AKBB dilakukan oleh Komando Laskar Islam
dan bukan FPI. Sehari sebelumnya Polisi menemui Rizieq di markas FPI, Petamburan Jakarta,
namun tidak melakukan penangkapan, karena ketua FPI berjanji akan menyerahkan anggotanya
yang bertanggung jawab pada insiden Monas,[14] polisi sendiri sudah mengidentifikasi lima
anggota FPI yang diduga terlibat dalam penyerangan di Lapangan Monas.[15] Setelah tidak ada
yang menyerahkan diri, pada 4 Juni 2008 sejumlah 1.500 anggota polisi dikerahkan ke Markas
FPI di Jalan Petamburan III, Tanahabang, Jakarta Pusat dan menangkap 57 orang untuk
diselidiki, di antara yang dijadikan tersangka yaitu ketua FPI, Rizieq.[16][17][18][19] Ketua Laskar
Islam Munarman telah ditetapkan sebagai DPO Polisi (Daftar Pencarian Orang) karena telah
melarikan diri dan keberadaannya tidak diketahui.[20][21] Pemerintah sendiri akan melakukan
pengkajian terhadap keberadaan FPI berdasar UU No 8/1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan seperti yang dinyatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan
(Polhukam) Widodo Adi Sutjipto. Pembinaan terhadap ormas yang ada di masyarakat penting
agar berjalan sesuai dengan UU yang berlaku. Pembinaan dapat berupa teguran, peringatan,
dan tindakan tegas yakni pembubaran.[22] Hingga saat ini pemerintah sulit untuk membubarkan
FPI secara resmi karena keberadaan FPI tidak berlandaskan hukum ungkap Menteri Kehakiman
dan HAM Andi Mattalata.[2]
Insiden Monas dalam rangka memperingati Hari Lahirnya Pancasila terus menuai protes. Din
Syamsuddin Ketua PP Muhammadiyah menyatakan bahwa aksi tersebut merupakan kriminalitas
nyata, Ketua DPR Agung Laksono menilai kekerasan tersebut tidak bermoral.[13] Sementara aksi
menentang FPI terjadi di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Mojokerto, Malang, Jember dan
Surabaya, Jawa Timur oleh ratusan ormas seperti PMII, Banser, Satgas, Garda Bangsa and GP
Anshor yang umumnya merupakan partisan PKB Gus Dur,[23] masa mulai mengancam apabila
pemerintah tidak mengambil tindakan, mereka akan mengambil tindakan sendiri. Di Yogya,
sekelompok orang tidak bersenjata berjumlah sekitar 100 orang dengan menggunakan sepeda
motor menyerbu kantor FPI di Sleman pada 2 Juni 2008 dan merusak papan nama FPI, mereka
langsung melarikan diri untuk menghindari konflik saat anggota-anggota FPI keluar dengan
membawa senjata tajam.[24] Di Bali, Masyarakat Aliansi Penegak Pancasila menggelar aksi
pengecaman terhadap tindakan FPI di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali.[25][26]

Struktur organisasi
FPI memiliki struktur organisasi yang terdiri atas:[27]

1. Dewan Pimpinan Pusat, sebagai pengurus organisasi berskala nasional


o Ketua Majelis Syura DPP FPI: Hb. Muhsin Ahmad Al-Attas
o Ketua Majelis Tanfidzi DPP FPI: Habib Rizieq (2003–2008)
2. Dewan Pimpinan Daerah, sebagai pengurus organisasi berskala provinsi
o Ketua FPI bagian Surakarta (disingkat FPIS) adalah Abu Bakar Ba'asyir[28]

1. Dewan Pimpinan Wilayah, sebagai pengurus organisasi berskala Kota/Kabupaten


2. Dewan Pimpinan Cabang, sebagai pengurus organisasi berskala kecamatan.
Gerakan Pemuda Ansor (disingkat GP Ansor)
adalah sebuah organisasi kemasyarakatan pemuda di Indonesia, yang berafiliasi
dengan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini didirikan pada tanggal 24 April 1934. GP Ansor
juga mengelola Barisan Ansor Serbaguna (Banser).[1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Sejarah lahirnya GP Ansor tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kelahiran dan gerakan NU
itu sendiri. Tahun 1921 telah muncul ide untuk mendirikan organisasi pemuda secara intensif.
Hal itu juga didorong oleh kondisi saat itu, di mana-mana muncul organisasi pemuda bersifat
kedaerahan seperti, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatra, Jong Minahasa, Jong Celebes dan
masih banyak lagi yang lain.
Dibalik ide itu, muncul perbedaan pendapat antara kaum modernis dan tradisionalis. Disebabkan
oleh perdebatan sekitar tahlil, talkin, taqlid, ijtihad, mazhab dan masalah furuiyah lainnya. Tahun
1924 KH. Abdul Wahab membentuk organisasi sendiri bernama Syubbanul Wathan (pemuda
tanah air). Organisasi baru itu kemudian dipimpin oleh Abdullah Ubaid (Kawatan) sebagai Ketua
dan Thohir Bakri (Peraban) sebagai Wakil Ketua dan Abdurrahim (Bubutan) selaku sekretaris.
Setelah Syubbanul Wathan dinilai mantap dan mulai banyak remaja yang ingin bergabung. Maka
pengurus membuat seksi khusus mengurus mereka yang lebih mengarah kepada kepanduan
dengan sebutan “ahlul wathan”. Sesuai kecendrungan pemuda saat itu pada aktivitas kepanduan
sebagaimana organisasi pemuda lainnya.[2]
Setelah NU berdiri (31 Januari 1926), aktivitas organisasi pemuda pendukung KH. Abdul Wahab
(pendukung NU) agak mundur. Karena beberapa tokoh puncaknya terlibat kegiatan NU.
Meskipun demikian, tidak secara langsung Syubbanul Wathan menjadi bagian (onderbouw) dari
organisasi NU.
Atas inisiatif Abdullah Ubaid, akhirnya pada tahun 1931 terbentuklah Persatuan Pemuda
Nahdlatul Ulama (PPNU). Kemudian tanggal 14 Desember 1932, PPNU berubah nama menjadi
Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Pada tahun 1934 berubah lagi menjadi Ansor Nahdlatul
Oelama (ANO). Meski ANO sudah diakui sebagai bagian dari NU, namun secara formal
organisasi belum tercantum dalam struktur NU, hubungannya masih hubungan personal.
Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) karena tuntutan kebutuhan alamiah Jam'iyyah.
Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh
Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan
mubaligh, dan pembinaan kader. KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas
Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat
tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam.
Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH Abdul
Wahab,yang kemudian menjadi pendiri NU membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan
(Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda
Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU),
Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab (ulama besar sekaligus guru besar kaum
muda saat itu), yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW
kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan
menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta
tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat
predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO (yang kelak disebut GP Ansor) harus senantiasa
mengacu pada nilai-nilai dasar Sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan
pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam. Inilah komitmen awal
yang harus dipegang teguh setiap anggota ANO (GP Ansor).
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum
dalam struktur organisasi NU. Hubungan ANO dengan NU saat itu masih bersifat hubungan
pribadi antar tokoh. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10
Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen)
pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah
Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam (tanggal 24 April itulah yang kemudian
dikenal sebagai tanggal kelahiran Gerakan Pemuda Ansor).
Dalam perkembangannya secara diam-diam khususnya ANO Cabang Malang mengembangkan
organisasi gerakan kepanduan yang disebut Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang
kelak disebut BANSER (Barisan Serbaguna). Dalam Kongres II ANO di Malang tahun 1937. Di
Kongres ini, Banoe menunjukkan kebolehan pertamakalinya dalam baris berbaris dengan
mengenakan seragam dengan Komandan Moh. Syamsul Islam yang juga Ketua ANO Cabang
Malang. Sedangkan instruktur umum Banoe Malang adalah Mayor TNI Hamid Rusydi, tokoh
yang namaya tetap dikenang dan bahkan diabadikan sebagai salah satu jalan di kota Malang.
Salah satu keputusan penting Kongres II ANO di Malang tersebut adalah didirkannya Banoe di
tiap cabang ANO. Selain itu, menyempurnakan Anggaran Rumah Tangga ANO terutama yang
menyangkut soal Banoe.
Pada masa pendudukan Jepang organisasi-organisasi pemuda diberangus oleh pemerintah
kolonial Jepang termasuk ANO. Setelah revolusi fisik (1945 – 1949) usai, tokoh ANO Surabaya,
Moh. Chusaini Tiway, melempar mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini
mendapat sambutan positif dari KH. Wachid Hasyim – Menteri Agama RIS kala itu, maka pada
tanggal 14 Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan nama baru
Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih pupuler disingkat GP Ansor).
GP Ansor hingga saat ini telah berkembang sedemikan rupa menjadi organisasi kemasyarakatan
pemuda di Indonesia yang memiliki watak kepemudaan, kerakyatan, keislaman dan
kebangsaan. GP Ansor hingga saat ini telah berkembang memiliki 433 Cabang (Tingkat
Kabupaten/Kota) di bawah koordinasi 32 Pengurus Wilayah (Tingkat Provinsi) hingga ke
tingkat desa. Ditambah dengan kemampuannya mengelola keanggotaan
khusus Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang memiliki kualitas dan kekuatan tersendiri di
tengah masyarakat.
Di sepanjang sejarah perjalanan bangsa, dengan kemampuan dan kekuatan tersebut GP Ansor
memiliki peran strategis dan signifikan dalam perkembangan masyarakat Indonesia. GP Ansor
mampu mempertahankan eksistensi dirinya, mampu mendorong percepatan mobilitas sosial,
politik dan kebudayaan bagi anggotanya, serta mampu menunjukkan kualitas peran maupun
kualitas keanggotaannya. GP Ansor tetap eksis dalam setiap episode sejarah perjalan bangsa
dan tetap menempati posisi dan peran yang stategis dalam setiap pergantian kepemimpinan
nasional.

Daftar Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (PP. GP)


Ansor[sunting | sunting sumber]
Berikut ini adalah daftar Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (PP. GP. Ansor):
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
No Awal Akhir
Foto Nama Foto Nama

1 Abdullah Ubaid Abdurrahim 1924 -

4 H. Nusron Wahid H. M. Aqil Irham 2010 2015


5 H. Yaqut Cholil Qoumas Abdul Rochman 2015 2020

Ikatan Cendekiawan Muslim


Indonesia disingkat ICMI
adalah sebuah organisasi cendekiawan muslim di Indonesia yang dibentuk pada tanggal 7
Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8
Desember 1990. Di pertemuan itu juga dipilih Baharuddin Jusuf Habibie sebagai ketua ICMI
yang pertama. Dan saat ini Ketua Umum ICMI periode 2015-2020 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
S.H terpilih dalam Muktamar VI dan Milad ke-25 ICMI di Hotel Lombok Raya, Mataram, Nusa
Tenggara Barat, Minggu (13/12/2015).[1]

Latar Belakang Kelahiran ICMI[sunting | sunting sumber]


Kelahiran ICMI bukankah sebuah kebetulah sejarah belaka, tetapi erat kaitannya dengan
perkembangan global dan regional di luar dan di dalam negeri. Menjelang akhir dekade 1980-an
dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi.
Seiring dengan itu semangat kebangkitan Islam di belahan dunia timur ditandai dengan
tampilnya Islam sebagai ideologi peradaban dunia dan kekuatan altenatif bagi perkembangan
perabadan dunia. Bagi Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius karena itu
berarti hegemoni mereka terancam. Apa yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban
lahir dari perasaan Barat yang subjektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban dunia yang
sedang bangkit kembali sehingga mengancam dominasi peradaban Barat.
Kebangkitan umat Islam ditunjang dengan adanya ledakan kaum terdidik (intelectual booming)
yang di kalangan kelas menengah kaum santri Indonesia. Program dan kebijakan Orde Baru
secara langsung maupun tidak langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang
terpelajar, modern, berwawasan kosmopolitan, berbudaya kelas menengah, serta mendapat
tempat pada institusi-institusi modern. Pada akhirnya kaum santri dapat masuk ke jajaran
birokrasi pemerintahan yang mulanya didominasi oleh ?kaum abangan? dan di beberapa tempat
oleh non muslim. Posisi demikian jelas berpengaruh terhadap produk-produk kebijakan
pemerintah.
Dengan kondisi yang membaik ini, maka pada dasa warsa 80-an mitos bahwa umat Islam
Indonesia merupakan mayoritas tetapi secara teknikal minoritas runtuh dengan sendirinya.
Sementara itu, pendidikan berbangsa dan bernegara yang diterima kaum santri di luar dan di
dalam kampus telah mematangkan mereka buka saja secara mental, tetapi juga secara
intelektual. Dari mereka itulah lahir critical mass yang responsif terhadap dinamika dan proses
pembangunan yang sedang dijalankan dan juga telah memperkuat tradisi inteletual melalui
pergumulan ide dan gagasan yang diekpresikan baik melalui forum seminar maupun tulisan di
media cetak dan buku-buku. Seiring dengan itu juga terjadi perkembangan dan perubahan iklim
politik yang makin kondusif bagi tumbuhnya saling pengertian antara umat Islam dengan
komponen bangsa lainnya, termasuk yang berada di dalam birokrasi.
ICMI dibentuk pada tanggal 7 Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim
di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990. Di pertemuan itu juga dipilih Baharuddin Jusuf
Habibie sebagai ketua ICMI yang pertama.

Masjid Kampus Universitas Brawijaya Malang[sunting | sunting


sumber]
Kelahiran ICMI berawal dari diskusi kecil di bulan Februari 1990 di masjid kampus Universitas
Brawijaya (Unibraw) Malang. Sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondiri umat
Islam, terutama kadena ?berserakannya? keadaan cendekiawan muslim, sehingga menimbulkan
polarisasi kepemimpinan di kalangan umat Islam. Masing-masing kelompok sibuk dengan
kelompoknya sendiri, serta berjuang secara parsial sesuai dengan aliran dan profesi masing-
masing.
Dari forum itu kemudian muncul gagasan untuk mengadakan simposium dengan tema
Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas yang direncanakan akan
dilaksanakan pada tanggal 29 September ? 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw yang terdiri
dari Erik Salman, Ali Mundakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para
pembicara, di antaranya Muhammad Imaduddin Abdulrahim dan M. Dawam Rahardjo.
Dari hasil pertemuan tersebut pemikiran mereka terus berkembang sampai muncul ide untuk
membentuk wadah cendekiawan muslim yang berlingkup nasional. Kemudian para mahasiswa
tersebut dengan diantar Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo dan Syafi'i Anwar
menghadap Menristek Prof. Bacharuddin Jusuf Habibie dan meminta dia untuk memimpin
wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional. Waktu itu B.J. Habibie menjawab, sebagai
pribadi dia bersedia tetapi sebagai menteri harus meminta izin dari Presiden Soeharto. Dia juga
meminta agar pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan
dukungan secara tertulis dari kalangan cendekiawan muslim. Sebanyak 49 orang cendekiawan
muslim menyetujui pencalonan B.J. Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan muslim
tersebut.

Tokoh B.J. Habibie dan Soeharto[sunting | sunting sumber]


Pada tanggal 27 September 1990, dalam sebuah pertemuan di rumahnya, Bacharuddin Jusuf
Habibie memberitahukan bahwa usulan sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim itu
disetujui Presiden Soeharto. Dia juga mengusulkan agar wadah cendekiawan muslim itu diberi
nama Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia disingkat ICMI.
Tanggal 28 September 1990, sejumlah cendekiawan muslim bertemu lagi dalam rangka
persiapan simposium yang akan diselenggarakan bulan Desember. Pada tanggal 25-26
November 1990, sekitar 22 orang cendekiawan yang akan membentuk wadah baru berkumpul
di Tawangmangu, Solo dalam rangka merumuskan beberapa usulan untuk GBHN 1993 dan
pembangunan Jangka Panjang Tahap kedua 1993-2018 serta rancangan Program Kerja dan
Struktur Organisasi ICMI.
Pelaksanaan simposium sempat terganggu oleh gugatan tentang rencana B.J. Habibie sebagai
calon Ketua Umum ICMI karena dia sebagai birokrat. Kepemimpinannya dikhawatirkan akan
berdampak negatif terhadap kebebasan para cendekiawan muslim. Tanggal 30 November dan 1
Desember, panitia secara khusus mengadakan rapat untuk menjawab isu negatif soal pemilihan
Habibie. Dari pertemuan tersebut menghasilkan beberapa komitmen. Pertama, berdirinya ICMI
merupakan ungkapan syukur umat Islam yang mampu melahirkan sarjana dan
cendekiawan. Kedua, untuk memimpin ICMI diperlukan tokoh cendekiawan muslim yang
reputasi nasional dan internasional serta dapat diterima oleh umat Islam, masyarakat Indonesia
maupun pemerintah. Ketiga, hanya Unibraw salah satu wahana keilmuan- yang cukup pantas
melahirkan organisasi itu, apalagi pemrakasanya adalah mahasiswa univeritas tersebut.
Halangan juga sempat datang dari aparat keamanan setempat. Dalam rapat gabungan antara
penyelenggara, pemda dan aparat keamanan di Surabaya, empat hari menjelang acara, aparat
keamanan menyoal pembentukan organisasi tersebut. ICMI, kata mereka harus diwaspadai.
Tapi Abdul Aziz Hosein yang menghadiri acara tersebut sebagai panitia penyelenggara
mengatakan bagaimanapun ICMI akan terbentuk karena presiden sudah menyetujui dan
AD/ART-nya sudah disusun.
Tanggal 7 Desember 1990 merupakan lembaran baru dalam sejarah umat Islam Indonesia di era
Orde Baru, secara resmi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk di Malang.
Saat itu juga secara aklamasi disetujui kepemimpinan tunggal dan terpilih Bacharuddin Jusuf
Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. Dalam sambutannya dia mengatakan bahwa
dengan berdirinya ICMI tidak berarti kita hanya memperhatikan umat Islam, tetapi mempunyai
komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia, karena itu juga merupakan tugas
utama.
Ketua ICMI[sunting | sunting sumber]

Muktamar Tanggal Ketua terpilih Periode

6-8 Desember 1990 di Kota Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf 1990-
Muktamar I
Malang Habibie 1995

7-9 Desember 1995 Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf 1995-


Muktamar II
di Jakarta Habibie 2000

Muktamar 9-12 November 2000 2000-


Adi Sasono
III di Jakarta 2005

2005-
2006
Dr. Marwah Daud Ibrahim (Presidium)
2006-
Prof. Dr. Nanat Fatah 2007
Muktamar 4-7 Desember 2005 Natsir (Presidium)
2007-
IV di Makassar Ir. M. Hatta Rajasa (Presidium) 2008
Dr. Ir. Muslimin Nasution, APU. 2008-
(Presidium) 2009
Prof. Dr. Azyumardi Azra (Presidium) 2009-
2010

2010-
Dr. Ing. H. Ilham Akbar Habibie, MBA. 2011
(Presidium)
2011-
Prof. Dr. Nanat Fatah 2012
Muktamar Natsir (Presidium)
4-7 Desember 2010 di Bogor 2012-
V
Dr. Hj. Marwah Daud Ibrahim, Ph.D. 2013
(Presidium)
2013-
Drs. Priyo Budi Santoso (Presidium) 2014
Dr. Sugiharto, SE. MBA. (Presidium) 2014-
2015

Muktamar 11-13 Desember 2015 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H (Ketua 2015-
VI di Kota Mataram Umum) 2020)
Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (disingkat LDII) adalah organisasi sosial independen untuk
studi dan penelitian tentang Quran dan Hadis. Sesuai dengan visi, misi, tugas pokok dan
fungsinya, LDII mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas peradaban, hidup, harkat dan
martabat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta turut serta dalam
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa guna terwujudnya masyarakat madani yang demokratis dan
berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila, yang diridai Allah.[1]

Sejarah

Lembaga Dakwah Islam Indonesia berdiri pada 1 Juli 1972 di Kota Kediri, Jawa Timur dengan
nama Yayasan Lembaga Karyawan Islam (YAKARI) sesuai Akta Notaris Mudijomo tanggal 27
Djuli 1972 tentang Pembetulan Akta Tanggal 3 DJanuari 1972 Berisi Pembentulan Tanggal
Pendirian LEMKARI. Lembaga ini didirikan oleh:[2][3]

1. Drs. Nur Hasyim


2. Drs. Edi Masyadi
3. Drs. Bahroni Hertanto
4. Soetojo Wirjo Atmodjo BA.
5. Wijono BA.
Pada Musyawarah Besar (Mubes) tahun 1981 namanya diganti menjadi Lembaga Karyawan
Islam (LEMKARI).
Pada Mubes tahun 1990, atas dasar Pidato Pengarahan dari Sudarmono, SH. dan Jenderal
Rudini kala itu, serta masukan baik pada sidang-sidang komisi maupun sidang Paripurna dalam
Musyawarah Besar IV LEMKARI tahun 1990, nama organisasi diubah dari yang awalnya
Lembaga Karyawan Dakwah Islam (disingkat LEMKARI) yang sama dengan akronim LEMKARI
(Lembaga Karate-Do Indonesia), menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (disingkat LDII).[4]

Legalitas

Wikisource Indonesia
memiliki teks asli yang
berkaitan dengan artikel
ini:
Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2017

LDII adalah organisasi yang independen, resmi, dan legal sesuai dengan peraturan-peraturan di
bawah ini:

1. Undang-undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan[5]


2. Surat Keterangan terdaftar No. 98/D.III.3/VIII/2005 tanggal 23 Agustus 2005 dari
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jendral Kesatuan Bangsa dan
Politik
3. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. AHU-18. AH.01.06. Tahun.
2008, Tanggal, 20 Februari 2008.
4. Keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 03/Kep/KF-MUI/IX/2006 Tanggal
11 Syaban 1427 H / 4 September 2006 tentang Lembaga Dakwah Islam Indonesia
(LDII)
5. AD/ART LDII[6]

Moto
Dalam menjalankan roda organisasi, LDII memiliki tiga moto, yaitu:
 "Dan hendaklah ada di antara kamu sekalian segolongan yang mengajak kepada kebajikan
dan menyuruh pada yang ma’ruf (perbuatan baik) dan mencegah dari yang munkar
(perbuatan tercela), mereka itulah orang-orang yang beruntung."

— Ali Imron 3:104

 "Katakanlah: inilah jalan (agama)-Ku, dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah (dalil/dasar hukum) yang nyata. Maha suci Allah dan aku tidak
termasuk golongan orang yang musyrik."

— Yusuf 12:108

 "Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik,
dan bantahlah mereka dengan yang lebih baik."

— An-Nahl 16:125

Tingkatan Organisasi

Nomor Nama[7] Kepanjangan Kedudukan di Tingkat Jumlah

1 DPP Dewan Pimpinan Pusat Pusat (Jakarta) 1

2 DPW Dewan Pimpinan Wilayah Provinsi 33

3 DPD Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota 432

4 PC Pimpinan Cabang Kecamatan/Subdistrik >1.637

5 PAC Pimpinan Anak Cabang Desa/Kelurahan >4.500

Kegiatan
Beberapa bidang diantaranya:
Bidang Pendidikan, Kepemudaan, Pers, dan Olahraga
Dalam bidang Pendidikan Keterampilan, Kepemudaan dan Olahraga, LDII menyelenggarakan
kursus keorganisasian, keterampilan, perkemahan pemuda dan kegiatan Kepanduan. Dalam
bidang olahraga, di antaranya menyelenggarakan Pencak Silat Persinas ASAD (Ampuh Sehat
Aman Damai) yang sudah menjadi anggota IPSI, sudah mengikuti turnamen Pencak Silat tingkat
Nasional, turnamen sepak bola sampai tingkat Nasional dalam rangka memperingati Hari
Sumpah Pemuda pada tahun-tahun 1991, 1994, dan 1996, 2000 dan 2002.[9][10] Dalam bidang
kepanduan, LDII membentuk Sako Gerakan Pramuka Sekawan Persada Nusantara (Sako
SPN).[11][12] Dalam bidang pers, LDII membentuk Nuansa Persada.[13]

Bidang Ekonomi
LDII peduli dan turut serta dalam pemberdayaan ekonomi rakyat dengan uji coba mengadakan
kegiatan Usaha Bersama (UB) yang berbasis di tingkat Pimpinan Cabang (PC) yang berada di
tingkat kecamatan yang tersebar di seluruh Indonesia.[14]

Pondok Pesantren LDII


Artikel utama: Pondok pesantren yang berafiliasi dengan LDII

Kontroversi
Melihat banyaknya aktivitas berupa pengajian yang diselenggarakan oleh masjid-masjid
naungan LDII, membuat LDII sempat dianggap ekslusif.[butuh rujukan] Hal ini dimanfaatkan oleh para
oknum penyebar hoax untuk memfitnah LDII[15] bahkan mereka terang-terangan menyebut LDII
sesat.[butuh rujukan] Hal ini menyebabkan umat Islam terpecah. Untuk mencegah semakin meluasnya
fitnah, DPP LDII sebagai pihak yang merasa dirugikan memberikan klarifikasi pada
publik[16][17] yang kemudian diikuti oleh pengurus-pengurus organisasi tingkat daerah[18][19][20][21]

Wikisource Indonesia
memiliki teks asli yang
berkaitan dengan artikel
ini:
Keputusan Komisi
Fatwa MUI tentang
Lembaga Dakwah
Islam Indonesia

MUI melalui Komisi Fatwanya pun turun tangan untuk mengatasi masalah ini dengan
menerbitkan fatwa yang menegaskan bahwa LDII bukanlah aliran sesat.[22][23][24] Pemerintah
Republik Indonesia turut melindungi LDII dari serangan hoax tersebut. Kementerian Dalam
Negeri[25] dan Kementerian Hukum dan HAM[26][27] mengakui LDII sebagai organisasi yang legal
dan tidak menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
Pada tanggal 4 Maret 2010, Mahkamah Agung menolak permintaan kasasi yang diajukan oleh
Drs. Hajarullah Aswad bin Muhamad Amin, seorang penceramah asal Tanjung Pinang sekaligus
terdakwa kasus tindak pidana di muka umum (yaitu) menyatakan permusuhan terhadap
LDII.[28] Putusan tersebut juga memuat barang-barang bukti, termasuk buku-buku berisi fitnah
yang khusus ditujukan pada LDII. Buku-buku tersebut dinyatakan ikut dirampas sekaligus
dimusnahkan sehingga tidak bisa lagi menjadi dasar untuk memfitnah LDII (dengan kata lain,
bila ada oknum yang menyatakan LDII sesat, maka oknum tersebut bisa dituntut melalui jalur
hukum).[29]
Reaksi
Terlepas dari segala tuduhan yang menyerang LDII, pada kenyataannya LDII beserta anggota
dan warganya diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Hal ini, salah satunya
terbukti dengan kehadiran beberapa aparatur negara pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas)
dan Musyawarah Nasional (Munas) LDII, termasuk diantaranya Presiden Republik
Indonesia saat ini, Joko Widodo.[30][31][32] Hadir pula Menteri Agama RI Lukman Hakim
Saefuddin[33] dan para petinggi negara lainnya.[34][35]
Pada Rakernas LDII 2018, dua calon presiden RI, Joko Widodo dan Prabowo Subianto hadir
untuk memberikan sambutan serta penjabaran visi-misi mereka sebagai calon presiden
RI.[36][37][38][39][40] Selain Rapimnas dan Munas, LDII juga mengadakan Sosialisasi Empat Pilar
Negara di Pondok Pesantren Walibarokah Kediri. Sosialisasi yang diselenggarakan bersamaan
dengan Penutupan Pengajian Asrama Syarah Asma Allah Al Husna tersebut turut dihadiri
oleh Ketua MPR-RI Zulkifli Hasan yang turut serta menyosialisasikan Empat Pilar.[41][42]
Di kepengurusan MUI tingkat pusat hingga daerah, terdapat beberapa pengurus yang
merupakan anggota/warga LDII.[43] Selain itu, LDII juga menjalin hubungan baik
dengan Pemerintah,[44][45][46][47][48] MUI,[49][50][51] dan ormas-ormas Islam
seperti Muhammadiyah,[52][53][54] NU,[55][56] dll.
Sebagai ormas sosial-keagamaan, LDII juga turut membantu pemerintah di masyarakat. Salah
satunya dengan mengadakan pelatihan keterampilan, menyelenggarakan Focus Group
Discussion (FGD), mengadakan pengajian umum, dan lain-lain.[57][58][59][60][61][62][63][64]

Metode Pengajaran
LDII menggunakan metode pengajian tradisional,[65] yaitu guru-guru yang berasal dari beberapa
alumni pondok pesantren kenamaan, seperti: Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo, Tebu
Ireng di Jombang, Kebarongan di Banyuwangi, Langitan di Tuban, dll. Mereka bersama-sama
mempelajari ataupun bermusyawarah beberapa waktu terlebih dahulu sebelum menyampaikan
pelajaran dari Quran dan Hadis kepada jemaat pengajian rutin atau kepada santriwan-santriwati
di pondok-pondok afiliasi LDII, untuk menjaga supaya tidak terjadi kekeliruan dalam memberikan
makna dan penjelasan. Kemudian guru mengajar murid secara langsung (Proses ini
disebut bahasa Arab: ‫منقول‬, translit. manqūl) baik bacaan, makna (diterjemahkan secara
harfiyah), maupun keterangan, dan untuk bacaan Quran memakai ketentuan tajwid.[66]

Aktivitas Pengajian
LDII menyelenggarakan pengajian Quran dan Hadis dengan rutinitas kegiatan yang cukup
tinggi.[65][67][68] Setiap daerah memiliki perbedaan mengenai frekuensi aktivitas. Walau begitu, pada
umumnya di tingkat PAC (Desa/Kelurahan) umumnya pengajian diadakan 2-3 kali seminggu,
sedangkan di tingkat PC (Kecamatan) diadakan pengajian seminggu sekali.[69] Untuk
memahamkan syariah Islam, LDII mempunyai program pembinaan cabe rawit (usia prasekolah
sampai SD) yang terkoordinasi di seluruh masjid LDII. Selain pengajian umum, juga ada
pengajian khusus remaja dan pemuda, pengajian khusus Ibu-ibu, dan bahkan pengajian khusus
Manula/Lanjut usia. Ada juga pengajian usia mandiri.[65] Disamping itu ada pula pengajian yang
sifatnya tertutup, juga pengajian terbuka. Pada musim liburan sering diadakan Kegiatan
Pengkhataman Quran dan Hadis selama beberapa hari yang diikuti oleh anak-anak warga LDII
maupun masyarakat umum untuk mengisi waktu liburan mereka. Dalam pengajian ini pula diberi
pemahaman kepada peserta didik tentang bagaimana pentingnya dan pahalanya orang yang
mau belajar dan mengamalkan Quran dan Hadis dalam keseharian mereka.[65]
LDII mengadakan berbagai forum tipe pengajian berdasarkan kelompok usia dan gender antara
lain[65]:
1. Pengajian Majelis Taklim tingkat PAC

Pengajian ini diadakan rutin 2 – 3 kali dalam seminggu di masjid-masjid, musala-musala,


atau surau-surau yang bernaung di bawah organisasi. Setiap kelompok PAC biasanya terdiri
50 sampai 100 orang jemaat. Materi pengajian di tingkat Majelis Taklim ini yaitu Quran
(bacaan, terjemahan dan keterangan), Hadis-Hadis himpunan dan nasihat agama. Dalam
forum ini pula jemaat LDII diajari hafalan-hafalan doa, dalil-dalil Quran Hadis dan hafalan
surat–surat pendek Quran. Dalam forum pengajian kelompok tingkat PAC ini jemaat juga
dikoreksi amalan ibadahnya seperti praktik berwudu dan salat agar sesuai dengan
hasil mengaji.[65]

2. Pengajian Cabe Rawit (pengajian TPA)

Pengajian Cabe Rawit diadakan setiap hari di tingkat PAC dengan materi antara lain bacaan
iqro’ atau Tilawati dan Al Quran, menulis pegon, hafalan doa-doa dan surat-surat pendek Al
Quran, serta pendidikan akhlakul karimah. Pada akhir semester, anak-anak akan dievaluasi
perkembangannya selama mengikuti pengajian Cabe Rawit. Evaluasi tersebut dapat berupa
ujian tertulis dan praktik atau dalam bentuk penyelenggaraan Festival Anak Sholeh (FAS)
setiap setahu sekali.[65]

3. Pengajian Muda-Mudi (Remaja)

Muda-mudi atau usia remaja perlu mendapat perhatian khusus dalam pembinaan mental
agama. Pada usia ini pola pikir anak mulai berkembang dan pengaruh negatif pergaulan dan
lingkungan semakin kuat. Karena itu pada masa ini perlu menjaga dan membentengi para
remaja dengan kepahaman agama yang memadai agar generasi muda LDII tidak terjerumus
dalam perbuatan maksiat, dosa-dosa dan pelanggaran agama yang dapat merugikan masa
depan mereka. Sebagai bentuk kesungguhan dalam membina generasi muda, LDII telah
membentuk Tim Penggerak Pembina Generus (TPPG) yang terdiri dari pakar pendidikan dan
ahli psikologi.[70] Pembinaan generasi muda dalam LDII setidaknya memiliki 3 sasaran yaitu[70]:

 Menjadikan generasi muda yang sholeh, alim (banyak ilmunya) dan fakih dalam beribadah
 Menjadikan generasi muda yang berakhlakul karimah (berbudi pekerti luhur), berwatak
jujur, amanah, sopan dan hormat kepada orang tua dan orang lain
 Menjadikan generasi muda yang tertib, disiplin, terampil dalam bekerja dan bisa hidup
mandiri[65]
4. Pengajian Wanita/Ibu-Ibu

Pengajian ini banyak membahas persoalan khusus dalam agama Islam yang menyangkut
peran wanita dan para ibu, seperti haid, kehamilan, nifas, bersuci (menjaga najis), mendidik
dan membina anak, melayani dan mengelola keluarga. Disamping memberikan keterampilan
beribadah forum pengajian Wanita/ibu-ibu ini juga memberikan pengetahuan dan ketrampilan
praktis tentang keputrian yang berguna untuk bekal hidup sehari-hari dan menunjang
penghasilan keluarga.[65]

5. Pengajian Lansia

Para lansia perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat pada usia senja diharapkan umat
muslim lebih mendekatkan diri kepada Allah sebagai persiapan menghadap kepada Ilahi
dalam keadaan khusnul khotimah.[65]

6. Pengajian Umum
Pengajian umum merupakan forum gabungan antara beberapa jemaat PAC dan PC LDII.
Pengajian ini juga merupakan wadah silaturahim antar jemaat LDII untuk membina kerukunan
dan kekompakan antar jemaat. Semua pengajian LDII bersifat terbuka untuk umum, siapapun
boleh datang mengikuti setiap pengajian sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan[65]

Sumber Hukum
Sumber hukum LDII adalah Quran dan Hadis. Dalam memahami Quran dan Hadis, ulama LDII
juga menggunakan ilmu alat seperti ilmu nahwu, shorof, badi’, ma’ani, bayan, mantek, balaghoh,
usul fiqih, mustholahul-hadis dan sebagainya.[71] Untuk memahami arti dan maksud ayat-ayat
Quran tidak cukup hanya dengan penguasaan dalam bahasa ataupun ilmu shorof. Quran
memang berbahasa Arab tapi tidak berarti orang yang mampu berbahasa Arab akan mampu
pula memahami arti dan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar. Penguasaan di bidang
bahasa Arab hanyalah salah satu kemampuan yang patut dimiliki oleh
seorang dai atau mubaligh.[72]
Untuk memahami arti dan maksud dari ayat-ayat Quran maka para dai, ulama, dan mubaligh
telah memiliki kemampuan-kemampuan sebagaimana berikut[72]:
1. Ilmu Balaghoh, yaitu ilmu yang dapat membantu untuk memahami dan menentukan mana
ayat-ayat yang mansukh (diganti/ralat) dan mana ayat-ayat yang nasikh (gantinya), dan mana
ayat-ayat yang merupakan petunjuk larangan (pencegahan).
2. Ilmu Asbabun Nuzul, yaitu ilmu yang membahas sebab-musabab turunnya ayat-ayat Quran.
Dengan ilmu tersebut dapat diketahui situasi dan kondisi bagaimana dan kapan serta di mana
ayat suci Quran diturunkan.
3. Ilmu Kalam, yaitu ilmu tauhid yang membicarakan tentang keesaan Allah, sekaligus
membicarakan sifat-sifat-Nya.
4. Ilmu Qiro’at, yaitu ilmu yang membahas macam-macam bacaan yang telah diterima dari Nabi
Muhammad (Qiro’atus Sab’ah).
5. Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang membahas cara-cara yang benar dalam membaca Quran.
6. Ilmu Wujuh Wan-Nadzair, yaitu ilmu yang menerangkan kata-kata dalam Quran yang
mempunyai arti banyak.
7. Ilmu Ghoribil Quran, yaitu ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil yang tidak
terdapat dalam kitab-kitab biasa atau tidak juga terdapat dalam percakapan sehari-hari.
8. Ilmu Ma’rifatul Muhkam Wal Mutasyabih, yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat hukum
dan ayat-ayat yang mutasyabihat.
9. Ilmu Tanasubi Ayatil Quran, yaitu ilmu yang membahas persesuaian/kaitan antara satu ayat
dalam Quran dengan ayat yang sebelum dan sesudahnya.
10. Ilmu Amtsalil Quran, yaitu ilmu yang membahas segala perumpamaan atau permisalan.[72]

Majelis Ulama
Indonesia (disingkat MUI; bahasa Arab: ‫مجلس العلماء‬
‫ اإلندونيسي‬Majlis al-ʿUlama' al-Indunīsī) adalah lembaga independen yang mewadahi
para ulama, zuama, dan cendikiawan Islam untuk membimbing, membina, dan mengayomi
umat Islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada 17 Rajab 1395 Hijriah atau 26
Juli 1975 Masehi di Jakarta, Indonesia.[1] Sesuai dengan tugasnya, MUI membantu pemerintah
dalam melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam, seperti mengeluarkan
fatwa dalam kehalalan sebuah makanan,[2] penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama
Islam,[3] dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang muslim dengan lingkungannya.[4]

Peran
Pemerintah ketika membentuk MUI menyatakan tiga tujuan umum MUI:

1. Memperkuat agama dengan cara yang dijelaskan Pancasila untuk memastikan


ketahanan nasional.
2. Partisipasi Ulama dalam pembangunan nasional.
3. Mempertahankan keharmonisan antar umat beragama di Indonesia.[5]
MUI bertindak sebagai antarmuka antara pemerintah Indonesia yang sekuler, dan masyarakat
Islam.
Perubahan dalam masyarakat sipil setelah jatuhnya Suharto telah memperluas peran MUI dan
membuatnya semakin kompleks. MUI memberikan fatwa kepada masyarakat Islam; melalui ini
mereka menentukan arah umum kehidupan umat Islam di Indonesia.[6]
MUI (khususnya sejak kejatuhan Suharto) telah memberikan pendapat dan mengeluarkan fatwa
tentang berbagai masalah, mulai dari peran Tentara Indonesia dalam pemerintahan, penerimaan
publik terhadap tarian bintang pop Inul Daratista, hingga hukum berdosanya pembakar hutan
ilegal.[7][8]

Tugas
Pengabdian Majelis Ulama Indonesia tertuang dalam tujuh tugas MUI, yaitu:[9]

1. sebagai pengawal bagi penganut agama Islam


2. sebagai pemberi edukasi dan pembimbing bagi penganut agama Islam
3. sebagai penjaring kader-kader yang lebih baik
4. sebagai pemberi solusi bagi masalah keagamaan di dunia internasional
5. sebagai perumus konsep pendidikan Islam
6. sebagai pengawal konten dalam media massa
7. sebagai organisasi yang menjalankan kerja sama dengan organisasi keagamaan

Ketua Umum
Artikel utama: Daftar Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia

Ketua Majelis Ulama Indonesia

Petahana
Zainut Tauhid Sa'adi dan Yunahar Ilyas (Plt.)[10]
sejak 20 Oktober 2019

Masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih satu kali jabatan


Dibentuk 26 Juli 1975

Pejabat pertama Prof. Dr. K.H. Abdul Malik Karim Amrullah

Situs web www.mui.or.id

Berikut ini adalah daftar Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat sejak 1975 sampai
sekarang.[11] <onlyinclude>

Mulai Akhir Musyawarah


No. Ketua MUI Periode Ket. Representatif
menjabat menjabat Nasional

26 Juli 19 Mei Munas MUI I Masjumi –


1 Buya Hamka 1
1975 1981 (1975) Muhammadiyah

20
K.H. Syukri 24 Juli Munas MUI II
2 September NU
Ghozali 1981 (1981)
1984
2

1984 1985 Fait Accompli

K.H. Hasan Masjumi –


3
Basri Munas MUI Muhammadiyah
1985 1990 3 III
(1985)

Munas MUI
1990 1995 4 IV
(1990)
Dr. K.H.
4 Muhammad NU
Ali Yafie
Munas MUI
1995 2000 5 V
(1995)

Munas MUI
Dr. (HC). 29 Juli 28 Juli
5 6 VI Masjumi – NU
K.H. 2000 2005
(2000)
Mohammad
Achmad
Sahal Munas MUI
28 Juli 25 Juli
Mahfudz 7 VII [12]
2005 2010
(2005)

Munas MUI
25 Juli 24 Januari
VIII [13]
2010 2014
(2010)

8
Prof. Dr.
18 27
K.H. Din
6 Februari Agustus Fait Accompli Muhammadiyah
Syamsuddin,
2014 2015
MA

27 Munas MUI
K.H. Ma'ruf
7 Agustus Petahana 9 IX [14]
NU
Amin
2015 (2015)

Konflik
MUI adalah organisasi yang didanai pemerintah yang bertindak secara independen. Namun
dalam beberapa kasus, MUI diminta untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Contoh dari kasus
ini (yang akhirnya menyebabkan gesekan dalam tubuh MUI sendiri) adalah permintaan
pemerintah agar MUI mendukung program Keluarga Berencana. Pemerintah terpaksa meminta
dukungan dari MUI karena banyak kalangan keagamaan menolak beberapa aspek dari program
ini.[15]

Yayasan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah


sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan
di Surakarta. MTA didirikan oleh Alm. Ust. Abdullah Thufail Saputra di Surakarta pada tangal 19
September 1972 dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai
dengan nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman,
penghayatan dan pengamalan Al-Qur’an menjadi kegiatan utama MTA.[1]

Latar Belakang
Sebagai seorang pedagang Al-Ustadz Abdullah Thufail Saputro pernah berkeliling ke berbagai
wilayah Indonesia sampai ke pelosok-pelosok nusantara. Sehingga, dia melihat bahwa amalan
ummat Islam dimana-mana jauh dari tuntunan Islam. Karena mereka hanya mengikuti amalan-
amalan dari nenek moyang mereka. Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa bersatu.
Dia telah menempuh berbagai cara untuk menyatukan kelompok-kelompok Islam namun tidak
mendapat tanggapan yang positif dari para tokoh di kalangan ummat Islam. Akhirnya dia
memutuskan untuk mendirikan lembaga dakwah yang bertujuan mengajak ummat Islam kembali
kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang kemudian diberi nama Yayasan Majelis Tafsir Al-Qur'an
(MTA) di Surakarta.

Pimpinan MTA[sunting | sunting sumber]


Ketua Umum sekaligus pendiri MTA itu wafat pada tanggal 15 September 1992, setelah 20
tahun menumbuhkan dan mengembangkan MTA. Kepemimpinan selanjutnya diteruskan oleh
murid dia Ust. Drs. Ahmad Sukina. MTA berkembang dengan pesat ke seluruh pelosok tanah air
dan saat ini telah memiliki lebih dari 50 perwakilan dan lebih dari 170 cabang. MTA berkembang
dari bawah, yakni atas permintaan warga masyarakat untuk mengadakan pengajian rutin, lalu
setelah mekar dan merasa mantap akan kebenaran ajaran yang dikaji mereka mengajukan
permohonan untuk menjadi bagian dari keluarga besar MTA. Permohonan ini baru dikabulkan
kalau para siswa setempat telah dinilai oleh Pimpinan Pusat membuktikan kesungguhan mereka
dalam mengamalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari ada ujiannya.

Kegiatan MTA - Majelis Tafsir Al-Quran


Pengajian[sunting | sunting sumber]
Pengajian khusus[sunting | sunting sumber]
Sesuai dengan tujuan pendirian MTA, yaitu untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Quran,
kegiatan utama di MTA berupa pengajian Al-Quran. Pengajian Al-Quran ini dilakukan dalam
berbagai pengajian yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengajian khusus dan pengajian
umum. Pengajian khusus adalah pengajian yang siswa-siswanya (peserta) terdaftar dan setiap
masuk mengisi daftar hadir. Pengajian khusus diselenggarakan seminggu sekali, baik di pusat
maupun di perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang, dengan guru pengajar yang dikirim dari
pusat atau yang disetujui oleh pusat. Di perwakilan-perwakilan atau cabang-cabang yang tidak
memungkinkan dijangkau satu minggu sekali, kecuali dengan waktu yang lama dan tenaga serta
biaya yang besar, pengajian yang diisi oleh pengajar dari pusat diselenggarakan lebih dari satu
minggu sekali, bahkan ada yang diselenggarakan satu semester sekali. Perwakilan-perwakilan
dan cabang-cabang yang jauh dari Surakarta ini menyelenggarakan pengajian seminggu-sekali
sendiri-sendiri. Konsultasi ke pusat dilakukan setiap saat melalui telepon.
Materi yang diberikan dalam pengajian khusus adalah tafsir Al-Quran dengan acuan tafsir Al-
Quran yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dan kitab-kitab tafsir lain, karya ulama
Indonesia maupun karya ulama dari luar negeri, karya ulama salafi maupun ulama khalafi. Kitab
tafsir yang sekarang sedang dikaji antara lain adalah kitab tafsir oleh Ibn Katsir dan kitab tafsir
oleh Ibn Abbas. Kajian terhadap kitab tafsir oleh Ibn Abbas dilakukan khusus oleh siswa-siswa
MTA yang kemampuan bahasa Arabnya telah memadai.
Proses belajar mengajar dalam pengajian khusus dilakukan dengan teknik ceramah dan tanya
jawab. Guru pengajar menyajikan meteri yang dibawakannya kemudian diikuti dengan
pertanyaan-pertanyaan dari siswa. Dengan tanya jawab pokok bahasan dapat berkembang ke
berbagai hal: kajian aqidah, kajian syari'at, kajian akhlak, kajian tarikh, dan kajian masalah-
masalah aktual sehari-hari. Dengan demikian, meskipun materi pokok adalah tafsir Al-Quran,
tidak berarti cabang-cabang ilmu agama yang lain tidak disinggung. Bahkan, sering kali kajian
tafsir hanya disajikan sekali dalam satu bulan dan apabila dipandang perlu kajian tafsir untuk
sementara dapat diganti dengan kajian masalah lain yang mendesak untuk segera diketahui oleh
siswa. Disamping itu, pengajian tafsir Al-Quran yang dilakukan di MTA secara otomatis
mencakup pengajian Hadits karena ia adalah sumber rujukan.
Dari itu semua dapat dilihat bahwa yang dilakukan di MTA bukanlah menafsirkan Al-Quran,
melainkan mengaji kitab-kitab tafsir yang ada dalam rangka pemahaman Al-Quran agar dapat
dihayati dan selanjutnya diamalkan.
Pengajian Umum[sunting | sunting sumber]
Pengajian umum adalah pengajian yang dibuka untuk umum, siswanya tidak terdaftar dan tidak
diabsen. Materi pengajian lebih ditekankan pada hal-hal yang diperlukan dalam pengamalan
agama sehari-hari. Pengajian umum ini baru dapat diselenggarakan oleh MTA Pusat yang
diselenggarakan satu minggu sekali pada hari Minggu pagi di Gedung Pengajian Ahad Pagi di Jl.
Ronggowarsito No. 111A, Timuran, Banjarsari, Timuran, Surakarta, Kota Surakarta, Jawa
Tengah 57131. Pengajian ini disiarkan secara live melalui radio Persada FM 102.2, MTA FM
107.9, dan MTA TV yang bisa diakses melalui satelit palapa dan live streaming di website
www.mta.or.id dan www.mtatv.net.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]


Pengamalan Al-Qur’an membawa ke pembentukan kehidupan bersama berdasar Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Kehidupan bersama ini menuntut adanya berbagai kegiatan yang terlembaga
untuk memenuhi kebutuhan anggota. Salah satu kegiatan terlembaga yang dibutuhkan oleh
anggota adalah pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan nilai-nilai keislaman. Oleh karena
itulah, di samping pengajian, MTA juga menyelenggarakan pendidikan, baik formal maupun non-
formal.
Pendidikan formal[sunting | sunting sumber]
Pendidikan formal yang telah diselenggarakan terdiri atas SD, SMP, dan SMA. SMP dan SMA
baru dapat diselenggarakan oleh MTA Pusat. SD MTA sampai saat ini terdiri dari SD IT MTA
Gemolong, SD IT MTA Matesih, SD IT MTA Sukoharjo. SMP MTA diselenggarakan di
Gemolong, Kabupaten Sragen, dan SMA MTA diselenggarakan di Surakarta. Tujuan dari
penyelenggaraan SMP dan SMA MTA ini adalah untuk menyiapkan generasi penerus yang
cerdas dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, di samping memperoleh pengetahuan umum
berdasar kurikulum nasional yang dikeluarkan oleh Depdiknas, siswa-siswa SMP dan SMA MTA
juga memperoleh pelajaraan diniyah.
Di samping diberi pelajaran diniyah, untuk mencapai tujuan tersebut siswa SMP dan SMA MTA
juga perlu diberi bimbingan dalam beribadah dan bermu’amalah. Untuk itu, para siswa SMP dan
SMA MTA yang memerlukan asrama diwajibkan tinggal di asrama yang disediakan oleh sekolah.
Dengan tinggal di asarama yang dikelola oleh sekolah dan yayasan, siswa SMP dan SMA MTA
dapat dibimbing dan diawasi agar dapat mengamalkan pejaran diniyah dengan baik.
Alhamdulillah, sampai pada saat ini, baik SMP maupun SMA MTA berhasil meraih prestasi
akademis yang cukup menggembirakan. Oleh karena prestasinya itu, SMA MTA masuk ke
dalam daftar lima puluh SMA Islam unggulan se Indonesia. Di samping itu, siswa-siswa yang
melakukan kenakalan yang umum dilakukan oleh remaja-remaja dapat dideteksi dan selanjutnya
dibimbing semaksimal mungkin untuk menghentikan kenakalan-kenakalannya.
Pendidikan non-formal
Pendidikan non-formal juga baru dapat diselenggarakan oleh MTA Pusat¸ kecuali kursus bahasa
Arab yang telah dapat diselenggarakan oleh sebagian perwakilan dan cabang. Selain kursus
bahasa Arab, pendidikan non-formal yang diselenggarakan oleh MTA Pusat antara lain adalah
kursus otomotif dengan bekerjasama dengan BLK Kota Surakarta, kursus menjahit bagi siswi-
siswi putri, dan bimbingan belajar bagi siswa-siswa SLTP dan SMU. Disamping itu, berbagai
kursus insidental sering diselenggarakan oleh MTA Pusat, misalnya kursus kepenulisan dan
kewartawanan.

Kegiatan Sosial[sunting | sunting sumber]


Kehidupan bersama yang dijalin di MTA tidak hanya bermanfaat untuk warga MTA sendiri,
melainkan juga untuk masyarakat pada umumnya. Dengan kebersamaan yang kokoh, berbagai
amal sosial dapat dilakukan. Amal sosial tersebut antara lain adalah donor darah, kerja bakti
bersama dengan Pemda dan TNI, pemberian santunan berupa sembako, pakaian, dan obat-
obatan kepada umat Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang sedang
tertimpa mushibah, dan lain sebagainya.
Donor darah, begitu juga kerja bakti bersama Pemda dan TNI, sudah mentradisi di MTA, baik di
pusat mau pun di perwakilan dan cabang. Secara rutin tiga bulan sekali MTA, baik pusat
maupun perwakilan, menyelenggarakan donor darah. Kini MTA memiliki tidak kurang dari lima
ribu pedonor tetap yang setiap saat dapat diambil darahnya bagi yang mendapat kesulitan untuk
memperoleh darah dari keluarganya atau dari yang lainnya.

Ekonomi[sunting | sunting sumber]


Kehidupan bersama di MTA juga menuntut adanya kerja sama dalam pengembangan ekonomi.
Untuk itu, di MTA diselenggarakan usaha bersama berupa simpan-pinjam. Dengan simpan-
pinjam ini, siswa atau warga MTA dapat memperoleh modal untuk mengembangkan kehidupan
ekonominya. Di samping itu, siswa atau warga MTA biasa tukar-menukar pengetahuan dan
ketrampilan dalam bidang ekonomi. Seorang warga MTA yang belum mendapat pekerjaan atau
kehilangan pekerjaan dapat belajar pengetahuan atau ketrampilan tertentu kepada siswa warga
MTA yang lain sampai akhirnya dapat bekerja sendiri.

Kesehatan[sunting | sunting sumber]


Dalam bidang kesehatan, dilakukan rintisan untuk dapat mendirikan sebuah rumah sakit yang
diselenggarakan secara Islami. Kini baru MTA Pusat yang telah dapat menyelenggarakan
pelyanan kesehatan berupa Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin. Di samping itu, untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada siswa atau warga MTA di bentuk kader-kader
kesehatan dari perwakilan dan cabang-cabang yang secara periodik mengadakan pertemuan.

Penerbitan, Komunikasi, dan Informasi[sunting | sunting sumber]


Penerbitan, komunikasi, dan informasi merupakan sendi-sendi kehidupan modern, bahkan juga
merupakan sendi-sendi globalisasi. Untuk itu, MTA tidak mengabaikan bidang ini, meskipun
yang dapat dikerjakan masih perlu dikembangkan. Dalam bidang penerbitan, sesungguhnya
MTA telah memiliki majalah bulanan yang sudah terbit sejak tahun 1974 dan telah memiliki STT
sejak tahun 1977. Namun, hingga kini belum tampak adanya perkembangan yang
menggermbirkan dari majalah yang diberi nama Respon ini. Di samping Respon, MTA juga telah
menerbitkan berbagai buku keagamaan. Dalam bidang informasi, MTA telah mempunyai web.
site dengan alamat: http://www.mta.or.id dengan alamat E-mail : humas_mta@yahoo.com. MTA
juga sekarang memiliki saluran televisi yang bernama MTA TV.

Amal Usaha[sunting | sunting sumber]


MTA dalam pendanaan selain dari partisipasi warga majlis, juga memiliki beberapa usaha, yaitu:
1. Percetakan Al-Abrar
2. KJKS Dirgantara
3. Toko Dirgantara
4. Air Minum Kafur

Sumber Dana[sunting | sunting sumber]


Banyak yang bertanya-tanya dengan heran, dari mana MTA memperoleh dana untuk
menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya? Isu yang pernah berkembang di masyarakat adalah
bahwa MTA memperoleh dana dari luar negeri, isu lain mengatakan bahwa MTA memperoleh
dana dari orpol tertentu. Sesungguhnya, apabila umat Islam betul-betul memahami dan
menghayati agamanya, keheranan semacam itu tidak perlu muncul. Apalagi sampai-sampai
menfitnah dana nya dari Yahudi.
Bahwa jihad merupakan salah satu sendi keimanan tidak ada yang meragukan, bahkan sampai
ada yang mengatakan bahwa jihad merupakan rukun Islam yang ke enam. Akan tetapi bahwa
sesungguhnya jihad terdiri atas dua unsur, yakni jihad bi amwal dan jihad bi anfus, kurang
dihayati; biasanya hanya jihad bi anfus saja yang banyak dikerjakan. Apabila jihad bi anwal
dihayatai dengan baik dan diamalkan, umat Islam tidak akan kekurangan dana untuk membeayai
kegiatan-kegiatannya.
MTA membiayai seluruh kegiatannya sendiri karena warga MTA yang ingin berpartisipasi dalam
setiap kegiatan harus berani berjihad bukan hanya bi anfus, akan tetapi juga bi anwal, karena
memang demikianlah yang diconthkan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Rintangan dan Dorongan[sunting | sunting sumber]


Dalam perjalanannya semenjak berdiri hingga kini, MTA banyak mengalami rintangan.
Rintangan paling banyak diperoleh justru dari umat Islam sendiri. Ketika siswa/warga MTA
mengamalkan pengetahuannya tentang amal-amal yang telah banyak ditinggalkan oleh umat
Islam atau meninggalkan amal-amal yang telah biasa dikerjakan oleh umat Islam tetapi
sesungguhnya laisa minal Islam, siswa/warga MTA sering dituduh membawa agama baru.
Ketika siswa/warga MTA melaksanakan sholat jamak-qashar saja karena sedang dalam
keadaan safar sudah mendapat tuduhan membawa agama baru, padahal kebolehan sholat
jamak-qashar bagi musafir sudah merupakan pengetahuan populer di kalangan umat Islam.
Akan tetapi, karena kebolehan sholat jamak-qosor tidak pernah dilaksanakan, ketika
siswa/warga MTA melaksanakannya dituduh membawa agama baru.
Rintangan semacam ini memang telah diramalkan oleh Nabi akan dihadapi oleh orang-orang
yang mengikuti sunnahnya, “awalnya Islam itu asing dan akan kembali asing sebagaimana
awalnya”.
Di samping rintangan yang tidak sedikit, tentu ada juga hal-hal yang menimbulkan dorongan.
Yang paling menimbulkan dorongan adalah bahwa ketika Al-Qur’an diamalkan dengan sungguh-
sungguh, dengan tiada disertai keraguan sedikitpun, ternyata membuahkan hasil yang sering
sangat mengherankan dan sama sekali di luar dugaan.
Ketika benih yang ditabur jatuh di tanah yang subur, benih tersebut tumbuh menjadi tumbuhan
yang subur pula. Melihat benih yang kecil yang lemah dan tak berdaya dapat tumbuh menjadi
tumbuhan yang besar, rindang, dan menjulang tinggi, timbullah keheranan dan keharuan dalam
hati. Inilah yang menjadikan segala rintangan yang datang tampak tak berarti. Maha Agung Allah
dengan segala janji-janji-Nya.

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang


besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga
Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi
Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam
proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat
yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat
pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam
segala aspeknya.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-
perintah Alquran, di antaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut,
menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam
menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung
penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban
organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan,
dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung
Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).[1]
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk
memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa
pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian
sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan
selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal
dengan Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat di
Jalan S Parman no 68 Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Madrasah Mu'allimat
Muhammadiyah Yogyakarta khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta yang keduanya
skarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan dibawahi
langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah”
pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang
bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan
yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan
setelah melalui salat istikharah (Darban, 2000: 34).[2] Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan
(1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan
seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan
sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada
tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatra
Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus
gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatra Barat, dan dari daerah inilah
kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun
1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.

Organisasi[sunting | sunting sumber]


Jaringan Kelembagaan[sunting | sunting sumber]

1. Pimpinan Pusat, Kantor pengurus pusat Muhammadiyah awalnya berada di Yogyakarta.


Namun pada tahun 1970, komite-komite pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan
kesejahteraan berpindah ke kantor di ibu kota Jakarta. Struktur Pimpinan Pusat
Muhammadiyah 2010-2015 terdiri dari lima orang Penasihat, seorang Ketua Umum yang
dibantu dua belas orang Ketua lainnya, seorang Sekretaris Umum dengan dua anggota,
seorang Bendahara Umum dengan seorang anggotanya.
2. Pimpinan Wilayah, setingkat Provinsi, terdapat 33 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
3. Pimpinan Daerah, setingkat Kabupaten/Kota.
4. Pimpinan Cabang, setingkat Kecamatan.
5. Pimpinan Ranting, setingkat Pedesaan/Kelurahan.
6. Pimpinan Cabang Istimewa, untuk luar negeri.
Pembantu Pimpinan Persyarikatan[sunting | sunting sumber]

1. Majelis
o Majelis Tarjih dan Tajdid
o Majelis Tabligh
o Majelis Pendidikan Tinggi
o Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
o Majelis Pendidikan Kader
o Majelis Pelayanan Sosial
o Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan
o Majelis Pemberdayaan Masyarakat
o Majelis Pembina Kesehatan Umum
o Majelis Pustaka dan Informasi
o Majelis Lingkungan Hidup
o Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia
o Majelis Wakaf dan Kehartabendaan

1. Lembaga
o Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
o Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan
o Lembaga Penelitian dan Pengembangan
o Lembaga Penanggulangan Bencana
o Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah
o Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
o Lembaga Seni Budaya dan Olahraga
o Lembaga Hubungan dan Kerja sama International
Organisasi Otonom[sunting | sunting sumber]
Muhammadiyah juga memiliki beberapa organisasi otonom, yaitu:

 'Aisyiyah (Wanita Muhammadiyah)


 Pemuda Muhammadiyah
 Nasyiatul Aisyiyah (Putri Muhammadiyah)
 Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)
 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
 Hizbul Wathan (Gerakan kepramukaan)
 Tapak Suci Putera Muhammadiyah (Perguruan silat)
Daftar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Berikut ini adalah daftar Ketua Umum Muhammadiyah:[3]

Awal Akhir Tempat


No Rapat/ Ke
Ketua Umum menjab menjab Musyawara
. Muktamar t.
at at h[4]

Rapat
Tahun ke–
K.H. Ahmad 1
1 1912 1923 Yogyakarta
Dahlan

Rapat
Tahun ke–
2

Rapat
Tahun ke–
3

Rapat
Tahun ke–
4

Rapat
Tahun ke–
5

Rapat
Tahun ke–
6

Rapat
Tahun ke–
7

Rapat
Tahun ke–
8

Rapat
Tahun ke–
9

Rapat
Tahun ke–
10

Rapat
Tahun ke–
11
Rapat
Tahun ke–
12

Rapat
Tahun ke–
13

Rapat
Tahun ke–
14

Kongres
Surabaya
ke–15

Kongres
Pekalongan
ke–16

2 K.H. Ibrahim 1923 1934


Kongres
Yogyakarta
ke–17

Kongres
Padang
ke–18

Kongres
Surakarta
ke–19

Kongres
Yogyakarta
ke–20

Kongres
Makassar
ke–21

Kongres
Semarang
ke–22
Kongres
Yogyakarta
ke–23

Kongres
3 K.H. Hisyam 1934 1937 Banjarmasin
ke–24

Kongres
Jakarta
ke–25

Kongres
Yogyakarta
ke–26

Kongres
Malang
ke–27

K.H. Mas Kongres


4 1937 1942 Medan
Mansur ke–28

Kongres
Yogyakarta
ke–29

Kongres
ke–30

Purwokerto

Fait
1942 1944
Accompli

Muktamar
1944 1946
Darurat
Ki Bagoes
5 Hadikoesoe
mo
Silahturrah
Yogyakarta
1946 1950 mi se–
Jawa

1950 1953
Muktamar
ke–31

Muktamar
1953 1956 Purwokerto
ke–32
Buya A.R.
6 Sutan
Mansur
Muktamar
1956 1959 Yogyakarta
ke–33

K.H. M. Muktamar
7 1959 1962 Palembang
Yunus Anis ke–34

Muktamar
1962 1965 Jakarta
ke–35
K.H. Ahmad
8
Badawi
Muktamar
1965 1968 Bandung
ke–36

KH Faqih Muktamar
9 1968 1968
Usman ke–37

Palembang

Fait
1968 1971
Accompli

Muktamar
1971 1974 Makassar
ke–38

K.H. A.R. Muktamar


10 1974 1978 Padang
Fachruddin ke–39

Muktamar
1978 1985 Surabaya
ke–40

Muktamar
1985 1990 Surakarta
ke–41
K.H. Ahmad
Muktamar
11 Azhar 1990 1995 Yogyakarta
ke–42
Basyir

Prof. Dr. H. Muktamar


12 1995 1998
Amien Rais ke–43

Banda Aceh
Sidang
Tanwir &
1998 2000
Rapat
Prof. Dr. H. Pleno
13 Ahmad
Syafii Maarif

Muktamar
2000 2005 Jakarta
ke–44

Muktamar
2005 2010 Malang
ke–45
Prof. Dr. KH.
Din
14
Syamsuddin
MA
Muktamar
2010 2015 Yogyakarta
ke–46

Dr. K.H.
Haedar Muktamar
15 2015 2020 Makassar
Nashir, ke–47
M.Si.

Amal Usaha[sunting | sunting sumber]


Amal usaha Muhammadiyah terutama bergerak di bidang Pendidikan serta layanan Kesehatan
dan Sosial dalam wadah Pembina Kesejahteraan Umat (PKU), yaitu:

 Pendidikan [5]
1. TK/TPQ, jumlah TK/TPQ Muhammadiyah adalah sebanyak 4623.
2. SD/MI, jumlah data SD/MI Muhammadiyah adalah sebanyak 2604.
3. SMP/MTs, jumlah SMP/MTs Muhammadiyah adalah sebanyak 1772.
4. SMA/SMK/MA, jumlah SMA/MA/SMK Muhammadiyah adalah sebanyak 1143.
5. Perguruan Tinggi Muhammadiyah, jumlah Perguruan Tinggi Muhammadiyah adalah
sebanyak 172.
 Kesehatan:
1. Rumah Sakit, jumlah Rumah Sakit Umum dan Bersalin Muhammadiyah/ Aisyiyah
yang terdata sejumlah 72 [6].
2. Balai Kesehatan Ibu dan Anak
3. Balai Kesehatan Masyarakat
4. Balai Pengobatan
5. Apotek
 Sosial
1. Panti Asuhan Yatim
2. Panti Jompo
3. Balai Kesehatan Sosial
4. Panti Wreda/ Manula
5. Panti Cacat Netra
6. Santunan (Keluarga, Wreda/ Manula, Kematian)
7. BPKM (Balai Pendidikan dan Keterampilan Muhammadiyah)
8. Rehabilitasi Cacat
9. Sekolah Luar Biasa
10. Pondok Pesantren

Pendidikan

Nahdlatul 'Ulama
'Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah
(Kebangkitan

sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia.[3] Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan
bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan
salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya,
yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah.[4] Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi
pribumi lain baik yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir di masa penjajah, pada
dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah.[5] Hal ini didasarkan, berdirinya NU
dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran
politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi dalam menjawab kepentingan
nasional dan dunia Islam umumnya.[6]

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum
terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat
kebangkitan terus menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi
pendidikan dan pembebasan.
Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk
pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan
"Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum
saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan
ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan
lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan
berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti
konferensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan
dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini
dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu adalah
perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk
amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni",
yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Bagi para kiai pesantren,
pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap
tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu,
Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan kitab
Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan
sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial,
keagamaan dan politik.

Paham keagamaan[sunting | sunting sumber]


NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil
jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu
sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari
pemikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam
bidang teologi/Tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti
mazhab: Imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Maliki,dan
Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah.
Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-
Bagdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan
kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam
bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Daftar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama[sunting | sunting sumber]


Berikut ini adalah daftar Rais Am Syuriah (Dewan Penasehat) dan Ketua
Umum Tanfidziyah (Dewan Pelaksana) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
Rais Aam Syuriyah Ketua Umum Tanfidziyah
No Awal Akhir
Foto Nama Foto Nama
1 KH. Mohammad Hasyim Asy'arie 1926 1928
KH. Hasan Gipo
1947 1952
2 K.H. Abdul Wahab Chasbullah
1952 1971

3 KH. Bisri Syansuri KH. Idham Chalid 1972 1980

4 KH. Muhammad Ali Maksum 1980 1984

KH. Achmad Muhammad Hasan


5 1984 1991
Siddiq
Dr (HC). KH. Abdurrahman
6 KH. Ali Yafie (pjs) Wahid 1991 1992

7 KH. Mohammad Ilyas Ruhiat 1992 1999

KH. Hasyim Muzadi 1999 2010


Dr (HC).KH. Mohammad Ahmad
8
Sahal Mahfudz
2010 2014

9 KH. Ahmad Mustofa Bisri 2014 2015


Prof. Dr. KH. Said Aqil
Siradj, M.A.
10 KH. Ma'ruf Amin 2015 2018

11 KH. Miftachul Akhyar (penjabat) 2018 Petahana

Basis Pendukung[sunting | sunting sumber]


Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas,
yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan
NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu
dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya
serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik,
bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan
NU, seperti PKB, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham
keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham
kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar
48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[7] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim
santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah
keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang
sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini
semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karaktaristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di
pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa
pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah
rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesivitas yang tinggi,
karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama
sangat menjiwai ajaran ahlussunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup
kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan
perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota
memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di
pedesaan, maka saat ini di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga
dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan
dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki
sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari
dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini
belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap kepengurusan
NU.

Organisasi[sunting | sunting sumber]


Tujuan[sunting | sunting sumber]
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usaha[sunting | sunting sumber]

1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa


persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal
ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan
sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang
sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil
pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai
dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu
masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha
mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Struktur pengurus[sunting | sunting sumber]

1. Pengurus Besar (tingkat Pusat).


2. Pengurus Wilayah (tingkat Provinsi), terdapat 33 Wilayah.
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk
kepengurusan di luar negeri, terdapat 439 Cabang dan 15 Cabang Istimewa.
4. Pengurus Majelis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan), terdapat 5.450 Majelis
Wakil Cabang.
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan), terdapat 47.125 Ranting.
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Mustasyar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)


2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Keanggotaan berbasis di ranting dan di cabang untuk cabang istimewa.
Lembaga[8][sunting | sunting sumber]
Lembaga adalah perangkat departementasi organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai
pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama, berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan/atau
yang memerlukan penanganan khusus. Lembaga ini meliputi:

1. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LD-NU) [1]


2. Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
3. Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU)* (Indonesia) Lembaga Asosiasi
Pesantren Nahdlatul Ulama
4. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LP-NU)
5. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPP-NU)
6. Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama (LPK-NU)
7. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKK-NU)
8. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama
(LAKPESDAM-NU)
9. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH-NU)
10. Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (LESBUMI-NU)
11. Lembaga Zakat, Infaq, dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZIS-NU)
12. Lembaga Waqaf dan Pertanahan Nahdlatul Ulama (LWP-NU)
13. Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU)
14. Lembaga Ta'mir Masjid Nahdlatul Ulama (LTM-NU)
15. Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LK-NU)
16. Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LF-NU)
17. Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN-NU)
18. Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI-NU)
Lajnah[sunting | sunting sumber]
Merupakan pelaksana program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan
khusus. Berdasarkan perubahan AD/ART hasil Muktamar 33 NU di Jombang, Lajnah Nahdlatul
Ulama[9] digantikan dengan lembaga. Semula ada 3 (tiga) Lajnah yaitu:

1. Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN-NU) menjadi Lembaga Ta'lif wan Nasyr
Nahdlatul Ulama (LTNNU)
2. Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LF-NU) menjadi Lembaga Falakiyah Nahdlatul
Ulama (LFNU)
3. Lajnah Pendidikan tinggi (LPT-NU) menjadi Lembaga Pendidikan Nahdlatul Ulama
(LPTNU)
Badan otonom[sunting | sunting sumber]
Badan otonom[10] adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi melaksanakan
kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan
beranggotakan perorangan.
Badan Otonom dikelompokkan dalam katagori Badan Otonom berbasis usia dan kelompok
masyarakat tertentu, dan Badan Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya.
Jenis badan otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu adalah:

1. Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU)


2. Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (GP Ansor NU)
3. Fatayat Nahdlatul Ulama (Fatayat NU)
4. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
5. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
6. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
7. Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh an-Nahdliyah (MATAN)
Badan otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya:

1. Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah (JATMAN)


2. Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz Nahdlatul Ulama (JQHNU)
3. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
4. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
5. Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa (IPSNU Pagar Nusa)
6. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU)
7. Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU)
8. Ikatan Seni Hadroh Indonesia (ISHARI)
9. Ansor Banser Cyber Nahdlatul Ulama (ABCNU)

NU dan politik[sunting | sunting sumber]


Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan
Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan
meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal
sebagai partai yang mendukung Soekarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis,
Agama, Komunis). Nasionalis diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI), Agama Partai Nahdhatul
Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5
Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP.
Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu
untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang
terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid.
Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman
Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR

Anda mungkin juga menyukai