Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HADITS

Dosen Pengampu: Khairullah, S. Ag., M.A.

Disusun Oleh Kelompok 8:

Amalia Rahmadanti (2041010187)

Yuliana Maya Susanty (2041010166)

Yuni Dara Ayu Permata (2041010168)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

TAHUN AJARAN 2020/2021

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah segala puji syukur kai panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang
berjudul”Hadits”yang insya allah makalah ini tersusun dengan baik.

Sholawat beserta salam marilah kita sanjung agungkan kepada Nabi besar kita yakni Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Terimakasih juga kami ucapkan kepada
teman-teman yang telah berdiskusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini insya
allah bisa tersusun dengan baik dan rapih.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca atau
pendengarnya. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Wassalamualaikum wr.wb

Bandar Lampung, 1 Desember 2020

Pemakalah

DAFTAR ISI

ii
Kata Pengantar ………………………………………………………………... ii

Daftar Isi ……………………………………………………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1

A. Latar Belakang ………………………………………………………….. 1


B. Rumusan Masalah ………………………………………………………. 2
C. Tujuan Penulis …………………………………………………………... 2

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………….. 2

A. Pengertian Hadits .....................……………………………………. .......... 3


B. Unsur-Unsur Hadits .................... ……………………………………….... 4
C. Kedudukan dan Fungsi Hadits …………………………………………… 9

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………...

A. Kesimpulan ………………………………………………………………. 13

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 14

iii
BAB 1 PEMBAHASAN

A. Latar Belakang
Hadits Rasulullah adalah sebagai pedoman hidup yang utama bagi umat Islam
setelah Alquran. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak
diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut dalil yang masih utuh,
tidak dikhususkan menurut dalil yang masih mutlak dalam Alquran, hendaklah dicarikan
penyelesiannya dalam Hadits.
Sejak masa lalu umat Islam telah mengakui bahwa hadits Nabi saw adalah sumber
kedua syariat Islam setelah Alquran.1 Hal itu tercatat dalam warisan ilmu pengetahuan
Islam dan dijelaskan oleh ilmu usul fikih dalam semua mazhab. Telah banyak kitab yang
ditulis untuk menjelaskan hal itu, baik pada masa lampau maupun masa modern ini. Ini
merupkan masalah yang tidak diperselisihkan oleh semua orang yang bertuhankan Allah,
beragama Islam, dan mengakui bahwa Muhammad saw. adalah Rasulullah.
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan
yang tak dapat diragukan lagi.Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping
al-Qur’an.“Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang
bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perketaan, perbuatan, atau
taqrir-nya.
Hadits sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, sejarah perjalanan hadits
tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.Akan tetepi, dalam beberapa
hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan
pendekatankhusus.
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat
Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi.Hal ini disebabkan,
“Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau.tetapi Nabi juga pernah
menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadits ?
2. Apa saja unsur-unsur hadits ?
3. Apa saja fungsi hadits ?
4. Bagaimana kedudukan hadits ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mendapatkan pengetahuan baru
2. Untuk mengetahui pengertian dari hadits
3. Untuk mengetahui unsur unsur hadits
4. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi hadits

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru),
lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar
(berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
orang lain. Kata jamak nya adalah al-Hadits.
Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam 
memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa
definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits,
adalah :  "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits
menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang
Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran,
dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian
hadits dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupunsifatnya".
            Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :"Sesuatu
yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun
sifatnya".
           Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits.Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits
dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun
perbuatan.Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari
perumusan definisi hadits.Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi
sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut.Kemudian ada ahli hadits yang
menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits,
tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
         Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum

3
syara”.
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat
persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan
kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau
tabi’in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya.Definisi dari ahli hadits
mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir.Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul
hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk
menetapkan hukum syara’.

B. Unsur-Unsur Hadits
1. Sanad
Kata “sanad” menurut bahasa A‫ المعتمد‬artinya yang menjadi sandaran, tempat
bersandar, sesuatu yang dapat di pegang atau di percaya. Dikatakan demikian, karena
hadis bersandar kepadanya. Sedang menurut istilah, terdapat beberapa perbedaan
pendapat. Al-Badru bin Jamaah dan at-Tibby mengatakan bahwa sanad adalah
ِ ‫اَ ِال ْخبَا ُر ع َْن طَ ِري‬
‫ْق ال َمتَ ِن‬
“Berita tentang jalan matan”
Yang lain menyebutkan
‫صلَةُ لِ ْل َمتَ ِن‬
ِ ْ‫ِس ْل ِسلَةُ الرّجا َ ِل ال ُمو‬
“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya kepada matan
hadis”.
Ada juga yang menyebutkan:
‫َر ْه األَ َّو ِل‬
ٍ ‫ِسل ِسلَةُ الرُّ َوا ِة اّل ِذ ْينَ نَقَلُوْ ْال َم ْتنَ ع َْن َمصْ د‬

“Silsilah para perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.
Dalam istilah ilmu hadis, sanad adalah rangkaian urutan orang-orang yang menjadi
sandaran atau jalan yang menghubungkan satu hadis atau sunnah sampai pada nabi
SAW.  Pengertian lain bahwa sanad adalah sandaran hadis, yakni referensi atau sumber

4
yang memberitakan hadis mengenai rangkaian para rawi keseluruhan yang meriwayatkan
suatu hadis.
Pada saat ini, saat hadis telah terkoleksi di dalam kitab hadis, sandaran suatu hadis
adalah  para mudawwin (orang yang mengumpulkan yang berkaitan dengan istilah sanad,
terdapat kata-kata seperti al-Isnad, Al-Musnid dan Al-Musnad. Kata-kata ini secara
terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh
para ulama’. Kata Al-Isnad berarti menyandarkan,mengasalkan (mengembalikan ke
asal),  dan mengangkat. Yang dimaksud disini, menyandarkan hadis kepada orang yang
mengatakannya (raf’uhadistilaqa’ilih atau ‘azwuhadistilaqa ‘ilih). Menurut Al-Thiby,
sebenarnya kata Al-Isnad dan Al-Sanad digunakan oleh para ahli hadis dengan pengertian
yang sama.  Isnad dapat diartikan sebagai proses menerangkan rangkaian urutan sanad
suatu hadis. Kata  al musnid berarti orang yang menerangkan sanad suatu hadis. Kata
almusnad mempunyai banyak arti. Bisa berarti hadis yang di sandarkan atau di isnadkan
oleh seseorang, bisa berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan
sistem penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat para perawi hadis, seperti
kitab Musnad Ahmad, bisa juga berarti nama bagi hadis yang marfu’ dan muttashil.  Atau
dapat di artikan sebagai hadist yang di terangkan dengan menyebutkan sanadnya
sehingga sampai kepada nabi saw..
 Misalnya, seperti kata al-Bukhari:
ٌ َ‫ ( ثَال‬:‫لعم‬AA‫س َع ِن النَّبِ ِّى ص‬
‫ث‬ ٍ َ‫ َح َّدثَنَا اَيُّ ُوبُ ع َْن اَبِى قِالَبَةَ ع َْن اَن‬:‫فى قَا َل‬ ِ ‫ َح َّدثَنَا َع ْبد ُْال َوهَّا‬:‫َح َّدثَنَا ُم َح َم ُد بْنُ اَ ْل ُمثَنّ َى قَا َل‬
ِ َ‫ب اَلثَّق‬
‫ َوأَ ْن‬: ِ ‫رْ أَةَ الَيُ ِحبُّهُ اِالَّ هّلِل‬A‫ َوأَ ْن ي ُِحبَّ ْال َم‬:‫ َواهُ َما‬A‫ ِه ِم َّما ِس‬Aْ‫وْ لُهُ أَ َحبَّ إِلَي‬A‫وْ نَ هللاُ َو َر ُس‬A‫ أَ ْن يَ ُك‬: ‫ا ِن‬A‫ َد َحالَ َوةَ ا ِﻹ ْي َم‬A‫َم ْن ُك َّن فِ ْي ِه َو َج‬
‫ار) راوه البخار‬ ِ َّ‫يَ ْك َرهَ اَ ْن يَعُوْ َد فِى ْال ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أَ ْن يُ ْقدَفَ فِى الن‬
Artinya : “Telah memberitakan kepadaku Muhammad bin al musanna, ujarnya “Abdul
wahab ats- Tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, ujarnya “ telah bercerita kepadaku
Ayyub atas pemberitaan abi qilabah dari Nabi Muhammad SAW, sabdanya: tiga perkara,
yang barang siapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman. Yakni: (1)
Allah dan Rasulnya hendaknya lebih di cintai dari pada selainnya. (2) kecintaannya
kepada seseoramg, tak lain karena Allah semata-mata, dan (3) keenggananya kembali
kepada kekufuran, seperti keenganannya di campakkan ke neraka.” (HR. Bukhari)
Jadi sanad adalah rangkaian rawi yang menjadi sumber pemberitaan hadisMatan hadis di
atas diterima al-Bukhari melalui sanad pertama, Muhammad bin mutsanna, sanad kedua

5
Abdul Wahab as-Tsaqafi, sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilabah, dan
seterusnya sampai sanad terakhir adalah Anas, seorang sahabat yang langsung menerima
sendiri dari nabi Muhammad. contoh lain yaitu:
‫صلى ا هلل عليه وسلم قال‬ ‫رسول هللا‬ ‫عبدهللا بن عمران‬ ‫عن‬ ‫نافع‬ ‫عن‬ ‫مالك‬ ‫اخبرنا‬  
Maksud dari tanda tersebut adalah untuk mengetahui arah dari mana kita memulai
menentukan urut-urutan orang yang menjadi sandaran suatu hadis sampai pada
Rasulullah SAW. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Malik sebagai sanad pertama, Nafi’
sebagai sanad  kedua, Abdullah bin Umar sebagai sanad ketiga, dan Rasulullah sebagai
sanad keempat atau sanad terakhir.
Martabat sanad:
Martabat sanad ini sebenarnya bergantung pada rawi-rawi. Kalau rawi-rawinya
bermartabat tinggi, tentu sanadnya pun juga tinggi. Demikian juga kalau rawi-rawi
bermartabat pertengahan atau rendah.
Oleh karena itu martabat bagi sanad hadis juga boleh dibagi kepada tiga derajat, yaitu:
1.    ‘Ulya (yang tinggi) Sanad yang bermartabat ‘ulya ini ada banyak diantaranya :
a.   Silsilatudzdzahab, artinya rantai emas. Diriwayatkan dari Imam Malik, dari Nafi’,
dari ibnu Umar. 
b.   Yang diriwayatkan dari jalan Hisyam bin ‘Urwah, dari ‘Urwah, dari Aisyah.
c.    Yang diriwayatkan dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah, dari ‘Amr bin Dinar, dari Jabir.
Ulama’ masukan mereka ini semua dalam martabat ‘Ulya karena mereka bersifat dengan
sifat-sifat yang tinggi.
2.  Derajat wushtha (yang pertengahan)
a. Yang diriwayatkan dari jalan Buraid bin Abdillah bin Abi Burdah, dari Abdullah, dari
Abi Burdah, dari Abi Musa.
b. Yang diriwayatkan dari jalan Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Anas.
Mereka ini teranggap masuk pertengahan, karena bersifat dibawah dari derajat ‘Ulya.
3. Derajat dun-ya (yang rendah)
a.Yang diriwayatkan dari jalan Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya (Abi Shalih), dari
Abi Hurairah.
b.Yang diriwayatkan dari jalan Al-’ala’ bin Abdirrahman, dari bapaknya (Abdurrahman),
dari Abi Hurairah.

6
 Mereka ini, derajad hafalan dan ketelitiannya, kurang dari martabat ‘Ulya dan wushtha.
Karena itu, dimasukkan dalam bagian yang paling rendah dari sifat-sifat shahih.
Kemudian, dilihat dari kualifikasi dibedakan dalam tiga klarifikasi, yaitu: ashahhu
al-asanid (sanad-sanad yang paling shahih), ahsan al-asanid (sanad-sanad yang paling
hasan), dan adhaf al-asanid (sanad-sanad paling lemah). Hal itu, dikenal pula dengan
istilah shighat al-isnad, yaitu lafal-lafal dalam sanad yang digunakan oleh para perawi
pada saat menyampaikan hadis atau riwayat. Shighat al-isnad ini ada delapan tingkatan,
di mana tingkatan atau martabat pertama lebih tinggi dari pada tingkatan kedua, tingkatan
kedua lebih tinggi dari pada tingkatan ketiga, dan seterusnya.

2.   Matan
Kata matan atau al-matn menurut bahasa berarti mairtafa’a min alardhi (tanah
yang meninggi). Bisa juga diartikan sebagai punggung jalan. Sedang menurut istilah
adalah
‫َمايَ ْنتَ ِهى ِإِلَ ْي ِه ال َّسنَ ُد ِمنَ ْالكَاَل ِم‬
“perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda nabi SAW yang di sebut sesudah
habis di sebutkan sanadnya’.
Atau dengan redaksi lain,ialah:
ِ ‫اَ ْلفَاظُ ال َح ِد ْي‬
‫ث اَلَّتِي تَتَقَ َّو ُم بِهَا َم َعا نِ ْي ِه‬
“lafadz-lafadz hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu”.
Ada juga redaksi yang lebih simpel lagi, yang menyebutkan bahwa matan adalah
ujung sanad (gayah as sanad). Dari semua pengertian di atas,menunjukkan bahwa yang di
maksud dengan matan ialah materi atau lafadzhadist itu sendiri atau isi dari kandungan
hadis.
Contohnya:
( ‫ َوأَ ْن‬:‫ أَ ْن يَ ُكوْ نَ هللاُ َو َرسُوْ لُهُ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم َّما ِس َواهُ َما‬: ‫ث َم ْن ُك َّن فِ ْي ِه َو َج َد َحالَ َوةَ ا ِﻹ ْي َما ِن‬ ٌ َ‫ثَال‬

ِ َّ‫ َوأَ ْن يَ ْك َرهَ اَ ْن يَعُوْ َد فِى ْال ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أَ ْن يُ ْقدَفَ فِى الن‬: ِ ‫)ي ُِحبَّ ْال َمرْ أَةَ الَيُ ِحبُّهُ اِالَّ هّلِل‬
‫ار‬
Namun,para muhadditsin telah melakukan pengkajian terhadap matan hadis dari berbagai
aspek lain sebagai pelengkap bagi pembahasan mereka yang berkenaan dengan diterima
dan ditolaknya hadis, serta untuk memenuhi kebutuhan para peneliti dan pencari hadis,
terdapat cabang-cabang hadis, yaitu ada tiga kelompok.

7
a.      Ilmu-ilmu tentang matan hadis dari aspek pembicaraannya yakni ada empat cabang
ilmu, yaitu hadis qudsi, hadis marfuk, hadis mauquf, dan hadis maqthu’.
b.     Ilmu-ilmu tentang uraian matan hadis yang kami bahas di antaranya adalah gharib
al-hadis, sebab-sebab lainnya hadis, nasikh dan mansukhdalam hadis, mukhtalifal-
hadisdan muhkam al-hadis.
c.          
Ilmu-ilmu yang lahir karena adanya kontroversi antara satu matan dalam suatu
riwayat dengan riwayat-riwayat dari hadis-hadis lain.

3.       Rawi

Rawi adalah seorang yang menyampaikan atau yang menuliskan dalam sebuah
kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seorang (guru). Bentuk
jamaknya ruwah dan perbuatannya menyampaikan hadis tersebut di namakan me-rawi
(riwayat)-kan hadis. Atau, singkatnya rawi adalah orang yang meriwayatkan atau
memberi hadis. “jumhur imam hadis dan fiqih sepakat bahwa syarat bagi orang yang
dapat di pakai hujjah riwayatnya hendaknya adil dan dhabith hadis yang diriwayatkan
hadisnya. Perinciannya adalah rawi tersebut seorang muslim, baligh, berakal sehat,
terbebas dari sebab-sebab kefasikan dan hal-hal yang merusak muru’ah, benar-benar
sadar dan tidak lalai, kuat hafalannya, dan tepat tulisan.
Berikut ini penjelasan dari adil dan dhabith :
a.    Keadilan (al-‘Adalah)
“Adalah” merupakan suatu watak dan sifat yang sangat kuat yang mampu mengarahkan
orangnya kepada perbuatan takwa, menjauhi perbuatan mungkar dan segala sesutau yang
akan merusak harga dirinya. Faktor-faktor “Adalah” sebagai berikut:
1.          Beragama islam. Hal ini berdasarkan firman Allah.
‫ضوْ نَ ِمنَ ال ُّشهَدَاء‬
َ ْ‫ِم َّم ْن تَر‬
…dari saksi-saksi yang engkau ridai. (QS. Al Baqarah[2] :282)
2.        Baligh. Hal ini karena merupakan suatu paradigma akan kesanggupan memikul
tanggung jawab mengemban kewajiban dan meninggalakan hal-hal yang di larang.
3.        Berakal sehat. Sifat ini harus di miliki oleh seorang periwayat agar dapat berlaku
jujur dan berbicara tepat.

8
4.        Takwa. Yaitu menjauhi dosa-dosa besar dan tidak membiasakan perbuatan-
perbuatan dosa kecil.
5.        Berperilaku yang sejalan dengan muru’ahserta meninggalkan hal-hal yang
mungkin merusaknya; yaitu meninggalkan segala sesuatu yang bisa menjatuhkan harga
diri manusia menurut tradisi masyarakat yang benar.
b.     Kuat hafalan (dabith)
          Menurut muhadditsin dabith adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat
hafalan apabila hadis yang diriwayatkan berdasarkan hafalannya, benar tulisannya
apabila hadis yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan; sementara apabila ia
meriwayatkan hadsi secara makna maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang sesuai
yang digunakan

C. Fungsi dan Kedudukan Hadist

1. Fungsi Hadits

Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat
hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum
dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang
utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah
dalam surat An-Nahl :64Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al
Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh,
maka Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani  dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut :
1. Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau
disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti
mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah
dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya :

9
“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda
Nabi yang artinya :
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam
hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar
artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara
umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari
ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan
salam. Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kamu
melihat saya mengerjakan shalat.
Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-
Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya
bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada
hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas
apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan
memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat
dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang
diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami
lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-
Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor

2. Kedudukan Hadits

10
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum
dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah
dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan
hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena
memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits
sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi
bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh
keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah
sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua
umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya
:
1. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull
sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat
An-Nisa : 59 :
 artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti
mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti
apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam
Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu
mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum
untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi:
pertama, dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi kekuatan penunjukannya
terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran

11
pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, danahad
sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari
Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i
dalam arti diyakini kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah
hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana
kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam
periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara mutawatir
sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat
mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka
berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa
memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya
khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di
antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan.
Syarat-syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

12
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpilkan sebagai berikut:
Hadits adalah Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan
hukum syara

Unsur- unsur hadits :


1. Sanad, artinya yang menjadi sandaran, tempat bersandar, sesuatu yang dapat di
pegang atau di percaya.
2. Matan, berarti mairtafa’a min alardhi (tanah yang meninggi). Bisa juga diartikan
sebagai punggung jalan
3. Rawi, adalah seorang yang menyampaikan atau yang menuliskan dalam sebuah kitab
apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seorang (guru)

Kedudukan dan Fungsi hadits, fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-
Qur’an.

Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka
Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani  dalam hubungannya
dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut :
a. Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau
disebut fungsi ta’kid dan taqrir.
b. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam
hal :

13
c. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
d. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
e. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
f. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, 1999, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, Semarang:PT. Pustaka
Rizki Putra.
Ismail ,M.Syuhudi . 1989. Pengantar Ilmu Hadits. Ujung Pandang: Berkah Ujung Pandang
Mudasir. 1999.Ilmu Hadits. Bandung. Pustaka Setia
http://mnhmotivator.blogspot.com/2011/06/fungsi-hadist-terhadap-al-quran_05.html

14

Anda mungkin juga menyukai