Disusun Oleh:
Kelas X-3
Muhammad Fir Uftadi (19) | 88
Nabila Saesa Aisyah (21) | 89
Yaskiram Muhammad Alfarashin (33) | 88
Zahira Ainun Najwa (35) | 89
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah ﷻ, Tuhan semesta alam. Atas izin
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu. Tak lupa pula penulis
haturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad ﷺ. Semoga
syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak, aamiin ya rabbal aalamin.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4
A. Latar Belakang......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................6
A. Definisi Hadits......................................................................................................................6
B. Definisi Sunnah....................................................................................................................7
C. Definisi Khabar dan Atsar....................................................................................................9
D. Sanad Matan Rowi..............................................................................................................10
E. Klasifikasi Hadits..............................................................................................................13
a. Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas..........................................................................13
b. Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kualitas............................................................................20
c. Klasifikasi Hadits Dari Aspek Periwayatan dan Sumbernya.............................................26
d. Klasifikasi Hadits Dari Aspek Penyajiannya.....................................................................33
F. Hikmah Yang Terkandung Di Hadits Yang Diriwayatkan Abu Dawud.............................34
BAB III PENUTUP......................................................................................................................35
A. Kesimpulan.........................................................................................................................35
B. Saran...................................................................................................................................35
C. Penutup...............................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................36
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sempurna dan tertata. Islam mengatur segala
aspek kehidupan manusia dari tidur sampai tidur lagi. Kesempurnaan dan ketatanan
Islam terpampang di petunjuk/sumber hukumnya. Agama yang tertata pasti
memiliki sumber hukum sebagai pedoman dalam mengatur eksistensi Islam itu
sendiri. Sumber hukum Islam ada dua yakni Al-Qur’an dan hadits.
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua memiliki struktur dalam
penulisannya seperti sanad, matan, perawi, dan lain sebagainya. Selain istilah
hadits, terdapat istilah sunah, khabar, dan atsar yang sebagian ulama
mendefinisikannya sebagai sinonim hadits. Namun ada juga sebagian ulama yang
mendefinisikannya berbeda.
Tulisan ini menggali lebih dalam mengenai Hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Abu Dawud mengenai syariat pembayaran zakat fitrah pada zaman nabi
sebanyak satu sha’. Kami mengkaji mulai dari pengklasifikasian riwayat tersebut
termasuk kedalam hadits, khabar, sunah, atau atsar, unsur-unsur yang terdapat di
riwayat seperti sanad, matan, rowi, kualitas, kuantitas, dan juga hikmah yang
terkandung didalam riwayat tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadits, sunnah, khabar, atsar?
2. Apa yang dimaksud dengan sanad, matan, juga rowi?
3. Apa yang dimaksud dengan klasifikasi hadits berdasarkan kuantitasnya? Apa
saja istilah-istilah yang terdapat didalamnya?
4. Apa yang dimaksud dengan klasifikasi hadits berdasarkan kualitasnya? Apa
saja istilah-istilah yang terdapat didalamnya?
5. Apa yang dimaksud dengan klasifikasi hadits dari aspek periwayatan dan
sumbernya? Apa saja istilah-istilah yang terdapat didalamnya?
4
6. Apa yang dimaksud dengan klasifikasi hadits berdasarkan aspek penyajiannya?
Apa saja istilah-istilah yang terdapat didalamnya?
7. Apa saja hikmah yang terkandung didalam hadits tersebut?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi hadits, sunnah, khabar, atsar.
2. Mengetahui definisi sanad, matan, juga rowi.
3. Mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan kuantitasnya.
4. Mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan kualitasnya.
5. Mengetahui klasifikasi hadits dari aspek periwayatan dan sumbernya.
6. Mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan aspek penyajiannya.
7. Mengetahui hikmah yang terkandung didalam hadits tersebut.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits
6
mendefinisikannya sebagai sinonim hadits. Namun ada juga sebagian ulama yang
mendefinisikannya berbeda.
B. Definisi Sunnah
Menurut bahasa sunnah artinya jalan, baik terpuji maupun tercela. Sunnah
juga diartikan sebagai tradisi/kebiasaan perbuatan yang dilakukan secara terus-
menerus/berulang-ulang.
Ajjaj al-Khathib menambahkan: “Jika kata Sunnah diterapkan pada urusan
hukum syara’ maka kata Sunnah disini berarti segala sesuatu yang diperintahkan,
dilarang dan dianjurkan oleh Rasulullah baik dalam perkataan atau perbuatan. Oleh
karena itu, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan al-Sunnah,
yang dimaksud adalah al-Qur'an dan hadits.”
Menurut istilah, terdapat beberapa pandangan ulama mengenai sunnah ini,
yakni:
1. Menurut para ulama hadist
Para muhadisin berpendapat bahwa sunnah sesuai kalimat berikut:
ان::واء ك::كل ما اثر عن النبي محمد صلى هللا عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية أو سيرة س
ذالك قبل البعثة أم بعدها
Artinya:
“Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ajaran, sifat, keadaan, atau perjalanan hidup
sebelum maupun sesudah menjadi rasul.”
Para ulama yang mendefinisikan Sunnah seperti diatas menganggap Nabi
Muhammad SAW bukanlah sebagai sumber hukum, melainkan sebagai uswatun
hasanah (teladan yang baik). Oleh karena itu, para ulama hadits menerima semua
berita yang diterima melalui Nabi dan meriwayatkan seutuhnya tanpa membedakan
apakah berita yang diberitakan tersebut berkaitan dengan ketentuan hukum syariah
atau tidak. Demikian pula, para ulama hadits tidak membeda-bedakan apakah
perkataan atau perbuatannya dilakukan sebelum atau sesudah Rasulullah diutus
7
sebagai Rasul. Dalam pandangan ulama hadits, segala sesuatu tentang Rasulullah
adalah sama baik sebelum dan sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.
Pandangan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS Al-Ahzab ayat
21, yang berbunyi:
11. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.”
Dalam QS as-Syura ayat 52 juga disebutkan:
َو ِإَّنَك َلَتْهِد ي ِإَلى ِصَر اٍط ُم ْس َتِقيٍم
“Dan sesungguhnva kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus,
yaitu jalan Allah.”
2. Menurut para ulama fiqih, sunnah adalah segala sesuatu yang dimiliki Nabi SAW
dan perbuatannya yang menunjukkan ketentuan syara’. Para ulama fiqih
mendefinisikan sunnah sebagai berikut:
ون دليال::لح ان يك::ا يص::ر مم::ل أو تقري::كل ما صدر عن النبي صلى هللا عليه وسلم غير القران من قول أو فع
لحكم
شرعي
Artinya:
“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW selain Alqur’an, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya yang pantas untuk dijadikan
dalil bagi hukum syara.”
Pengertian diatas membatasi pengertian sunnah yakni yang bersumber dari
Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan syariat islam. Jadi segala sesuatu
yang tidak berhubungan dengan hukum syariat islam tidak bisa disebut sunnah.
Pengertian yang dikemukakan para ahli ushul fiqh ini didasarkan pada landasan
bahwa beliau adalah Rasulullah pengambil keputusan atau pengatur hukum yang
menjelaskan kepada masyarakat tentang aturan-aturan kemudian meletakkan
landasan metodologis dalam penjelasan dan kajian hukum Islam.
Pendapat ahli ushul fiqh mengenai masalah ini mengacu pada beberapa ayat
Al-Qur'an. Hal ini tercantum dalam QS Al-Hasyr ayat 7
8
َو َم ا َأَتاُك ُم الَّرُس وُل َفُخ ُدوُه َو َم ا َنَهاُك ْم َع ْنُه َفاْنَتُهوا َو اَّتُقوا َهَّللا ِإَّن َهَّللا َش ِد يُد اْلِع َقاِب
“Apa yang diberikan Rasulullah SAW kepadamu, maka terimalah dia dan apa-apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnva Allah sangat keras hukum-Nya.”
Dari ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia bahwa segala hal yang
diperintahkan Rasul menjadi hal yang harus ditaati dan menjadi pedoman untuk
dilaksanakan, begitupun sebaliknya apabila Rasul melarangnya menjadi keharusan
untuk ditinggalkan.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi sunnah karena perbedaan
sudut pandang. Para ahli hadist menganggap Nabi sebagai teladan, sehingga segala
sesuatu yang berkaitan dengan Rasulullah adalah uswatun hasanah (teladan yang
baik). Sedangkan para ulama fiqih menganggap bahwa Nabi mempunyai peran
penentu nilai hukum dalam segala aspek kehidupan, mulai dari kewajiban, sunnah,
haram, makruh.
9
memakai istilah atsar untuk perkataan-perkataan ulama-ulama salaf, sahabat,
tabi’in, dan lain-lain.
Dari beberapa penjelasan diatas, riwayat Abu Dawud ini termasuk kedalam
kategori hadits. Sesuai definisinya, hadits merupakan ucapan Rasulullah yang berisi
syariat Islam. Disebut sebagai hadits karena didalamnya terdapat syariat islam yakni
sistem pembayaran zakat fitrah harus 1 sha’. Sebagaimana yang tertuang didalam
maknanya “Saya tidak akan mengeluarkan zakat fitrah kecuali sebanyak satu sak.
Sesungguhnya kami pada masa Rasulullah SAW mengeluarkan zakat fitrah satu
sa’tamar, atau kurma mentah.”
Pada hadits riwayat Abu Dawud diatas, hadist tersebut berasal dari
perkataan sahabat yakni Abu Said Alkhuduri. Hadits tersebit dibawa dari generasi
ke generasi. Dimulai dari Abu Said Alkhuduri yang secara fi’liyah melihat tindakan
nabi yang dapat dijadikan hujjah. Kemudian beliau memberitahukan hal tersebut
kepada ‘Iyad. Iyad memberitakan kepada Ibn Ijlan. Ibn Ijlan memberitakan kepada
Yahya. Yahya memberitakan kepada Sufyan. Sufyan memberikan kepada Hamid
Ibn Yahya.
10
itu. Rangkaian rawi (penyampai hadits) antara Abu Said al-Khuduri hingga sampai
kepada Hamid Ibn Yahya yang menjelaskan secara fi’liyah mengenai syariat islam
dalam sistem zakat fitrah inilah yang dinamakan sanad. Melalui merekalah hadits
itu mengalir dari zaman ke zaman hingga sampai ke Hamid Ibn Yahya.
2. Definisi Matan
Menurut bahasa matan ialah tengah jalan, punggung bumi, atau bumi yang
keras dan tinggi. Sedangkan Menurut istilah para ulama memiliki pendapatnya
tersendiri seperti
1. sebagaimana dikemukakan oleh al-Thibi bahwa matan ialah lafal-lafal hadist
yang didalamnya terdapat makna akan syariat islam.
2. Al-Syayuthi dan Ibnu Jamaah berpendapat bahwa matan ialah sesuatu yang
kepadanya berakhir sanad dari berbagai macam perkataan, kemudian dihubungkan
dengan hadis.
3. Ajaj al-Khatib mengemukakan bahwa matan adalah unsur terpenting didalam
hadits, hal itu didasarkan bahwa matan itulah yang tampak pada hadis dan menjadi
materi atau isi dari hadis tersebut.
Dari pengertian sanad dan matan hadis sebagaimana dikemukakan di atas,
dapat difahami bahwa sanad dan matan menduduki eksistensi primer dalam sebuah
hadist. Suatu hadits dikatakan “hadits” apabila jelas sanad dan matannya. Olehnya
tidak dapat disebut hadis jika unsur sanad maupun matan tidak dijamin
keabsahannya.
Syarat-Syarat Keshahihan Matan
Syarat-syarat suatu matan dapat diterima haruslah memenuhi kriteria atau
syarat sebagai berikut:
a. Tidak bertolak belakang dengan ayat Al-Quran.
b. Tidak bertolak belakang dengan hadits Mutawatir.
c. Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih sahih.
d. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
e. Tidak bertentangan dengan Ijmak.
11
(Ash Shiddieqy, I 1987: 116).
3. Definisi Rowi
Rawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab
mengenai perkataan, perbuatan, dan taqrir Rasulullah yang didengar atau diterima
dari guru-gurunya yang terdahulu. (Ismail, 1987: 17). Bentuk jama'nya ruwah dan
perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan Me-rawy (riwayat) kan
hadits. (Rahman, 1991: 14). Seorang rawi dapat diterima hadits nya apabila diterima
periwayatan dhabit. (Rahman, 1991: 97). Dhabit artinya orang yang kuat
ingatannya, tidak banyak lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada
kesalahannya. Kalau seseorang mempunyai ingatan yang lebih kuat, sejak dari
menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu
sanggup kapan dan dimana saja dikehendaki, disebut orang yang dlabithu'shshadri.
Akan tetapi apabila yang disampaikan itu berdasarkan pada buku catatannya, maka
disebut orang yang dlabithu'l-kitab. (Rahman, 1991: 32). Juga, menurut kesepakatan
ulama ahli hadits, rowi dapat diterima apabila ia memiliki sifat adil didalam
jiwanya. Yang dimaksud dengan adil adalah islam dan mukallaf (Ash-Shiddieqi,
1976). Sehingga tidak dapat diterima periwayatan orang kafir, dan orang gila.
12
3. Fasiq yaitu ia suka melanggar perintah agama dalam hal lain, bukan dalam hal
i'tiqad.
4. Jahalal yaitu tidak dikenal pribadi, tidak terkenal perowinya dijadikan dasar
menolak hadits adalah karena orang yang tidak dikenal namanya dan pribadinya,
tentu tidak dikenal keadaannya, apakah ia orang kepercayaannya ataukah
sebaliknya.
5. Bid'ah yaitu mempunyai i'tiqad yang menyalahi agama (kitab dan sunnah) dengan
tidak sengaja, lantarar sesuatu kesamaran atau salah satu pengertian, (Ash-
shiddieqy, I, 1987:230-233).
6.Terlalu lengah, banyak kesalahan dalam menerima hadits.
7.Banyak keliru artinya, banyak salah dalam memberikan hadits kepada orang lain.
8.Menyalahi orang kepercayaan dalam meriwayatkan hadits.
9.Tidak baik hafalannya, banyak lupanya daripada ingatnya dalam meriwayatkan
hadits. (ash-ahiddieqy, I: 235 236).
E. Klasifikasi Hadits
a. Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas
Kuantitas hadits disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan
suatu hadits atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur mayoritas ulama membagi
hadits secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad. Terdapat juga pendapat lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu:
hadits mutawatir, hadits masyhur (hadits mustafidh) dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
A. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir secara bahasa berasal dari kata “tawatara” yang berarti beruntun,
yakni beriring-iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak. Sedangkan secara
istilah mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang memiliki
kesamaan sifat, sama-sama tsiqoh (terpercaya). Yang menurut akal dan kebiasaan
perawi mustahil sepakat untuk berdusta. Menurut Nur Ad-Din, hadits mutawatir
13
adalah hadits yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan
mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad.
14
berubah (Kullu hadits mutghayyirun). Alam berubah (al- alamu mutaghayyirun).
Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadits). Baru artinya sesuatu yang
diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Para ulama sepakat bahwa hadits
mutawatir adalah hujjah (hukum) bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya
untuk mengamalkan kandungan- kandungan yang ada pada hadits mutawatir.
15
Contoh hadits mutawatir maknawi yang artinya:
ه إاال فى::يئ من دعائ::ه في ش::اض إبط::تى رؤى بي::ه ح::قال موسى ما رفع رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يدي
)اإلستسقاء (رواه اليخار ومسلم
“Abu Musa berkata Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua
tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada
waktu berdoa memohon hujan”. (Hadits Riwayat Mutafaq’ Alaihi)
• Hadits Mutawatir ‘Amali
Hadits mutawatir ‘amali adalah hadits mutawatir yang menyangkut
perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang
banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang
banyak pada generasi-generasi berikutnya. Contoh: Hadits-hadits Nabi tentang
waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat ‘ied, adanya shalat
jenazah, dan sebagainya. Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama
oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadits
mutawatir ‘amali. Seperti hadits mutawatir maknawi, jumlah hadits mutawatir
‘amali cukup banyak.
16
menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan
hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadits
ahad, dan hadits mutawatis memiliki kekutan sebagai hujjah setelah al-Qur’an.
2. Hadits Ahad
A. Pengertian hadits ahad
Ahad menurut bahasa adalah kata jamak dari wahid atau ahad. Bila wahid
atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya, berarti satu- satu. Hadits
ahad menurut bahasa berarti hadits satu-satu. Sebagaimana halnya dengan
pengertian hadits mutawatir, maka pengertian hadits ahad, menurut bahasa terasa
belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama.
Batasan hadits ahad antara lain berbunyi, yaitu hadits yang para rawinya
tidak mencapai jumlah rawi haditst mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga,
empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa
hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadits mutawatir, atau
dengan kata lain Hadits Ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
17
Contoh hadits masyhur (mustafidah) adalah hadits berikut ini, yang artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin
tidak terganggu oleh lidah dan tangannya.” (Haditst Riwayat Bukhari, Muslim, dan
Turmudzi)
Hadits di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke
tingkat imam-imam yang membukukan hadits (dalam hal ini adalah Bukhari,
Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap
tingkatan.
• Hadits ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa, berarti yang mulia atau yang kuat dan juga berarti
jarang. karena memang hadits ‘aziz itu jarang adanya. Para ulama memberikan
batasan yaitu haditst ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi,
kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh
banyak rawi.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadits pada
tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh
lebih dari dua rawi maka hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits ‘aziz.
Contoh hadits aziz adalah hadits berikut ini, yang artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia)
dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Haditst Riwayat Hudzaifah dan Abu
Hurairah Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda :
إذا جاءكم الجمعة فليغتسل
“Apabila datang hari jum’at, maka hendaklah mandi.”
Hudzaifah dan Abu Hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadits tersebut
adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadits itu
diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadits itu tetap saja dipandang
sebagai hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk
hadits ‘aziz.
• Hadits Gharib
18
Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang
lain. Hadits gharib menurut bahasa berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari
yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadits gharib adalah
haditst yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun
dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadits yang berdiri sendiri seorang perawi di
beberapa tingkatan sanad.
Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadits hanya diriwayatkan
oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh
banyak rawi, haditst tersebut tetap dipandang sebagai haditst gharib.
Contoh hadits gharib itu antara lain adalah haditst berikut, yang artinya:
ال يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده والناس أجمعين (رواه البخاري ومسلم
Tidak beriman seseorang sehingga ia lebih mencintaiku dari pada orang tuanya dan
manusia yang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)
19
yang tergolong banyak dengan jumlah 7 orang, sehingga terhindar dari kesepakatan
para perawi untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad.
A. Hadist Shahih
Dari segi bahasa Shahih berarti “Dhiddus saqim” yaitu lawan kata dari sakit.
Sedangkan dari segi istilahnya, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari sejak awalhingga
akhir sanad, tanpa adanya syadz dan illat.
امًا اْلَح ِد يُت الَّصِح يُح َفُهَو اْلَح ِد يُث اْلُم ْس َنُد اَّلِذ ي يتِص ال ْس ناُد ُه بَنْق ِد ِل اْلَع ْد ِل الَّض ا ِب ِط َع ِن اْلَع ْد ِل الَّض ا ِب ِط ِإَل
ُم ْنِتحا ُه َو َال َيُك ْو ُن َشاًذ ا َو اَل ُم عَّلًال
Artinya: “Adapun hadist shahih ialah hadist yang sanadnya bersambung (sampai
kepada Nabi), diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad,
tidak ada kejanggalan dan berillat”.
20
b. Periwayatan bersifat adil
Seorang periwayat dikatakan bersifat adil apabila ia seorang muslim yang
baligh, berakal sehat, selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan maksiat.
c. Periwayatan bersifat dhabit
Dhabit adalah sebutan bagi orang yang kuat serta tajam hafalannya tentang
apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia
menghendakinya.
21
➢ Al-Jami’ As-Shahih Al-Bukhari merupakan kitab hadits terbaik yang disususn
oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Al-Mughirah Ibn
Birdizbah (194-256H).
➢ Sahih muslim adalah kitab hadits shahih yang menempati posisi ke dua setelah
sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj Al-Qusyairy An-
Nasisabury (206-261H).
➢ Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih yang disusun oleh abu abdullah
ibn abu bakar Al-huzaimah yang wafat pada 313 di dalam kitab ini memuatt kitab
hadits yang belum tercaver dalam kitab Al- Bukhari
➢ Sahih Ibn-Hibban adalah kitab sahih yang di tulis oleh Abu hatim Muhammad
Ibn-Hibban (354 H).
Jenis jenis hadits sahih itu ada dua, yaitu sahih Li zatihi dan sahih Li gairih.
Sahih Li zatihi adalah hadits sahih yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana
diatas. Hadits sahih Li gairih ialah Hadits yang tidak memiliki sifat maqbul
sempurna, yaitu rawi yang meriwayatkannya adalah orang adil yang hapalannya
kurang sempurna. Akan tetapi apabila ditemukan konteks hadits hasan li zatih
(hadits yang perawainya adil akan tetapi hafalannya kurang sempurna), berada di
keadaan kekurangan rawi tentang hafalannya (kedabitannya) dapat ditutupi dengan
sanad lain yang lebih dabit rawinya, maka itu dianggap hadits sahih Li gairih.
Naiklah derajat hadits tersebut. (Rahman, 1987: 101)
22
✓ Mustadrak al-Hakim (w. 405).
✓ Shahih Ibn As-Sakan.
✓ Shahih Al-Abani
B. Hadist Hasan
الَح ِد يُث الَح َس ُن ُهَو الَح ِد يُث اَّلِذ ي ِإَّتَص َل َس َنُد ُه ِبَنْقِل َعْد ٍل َخ َّف َضْبُطُه َغ ْيُر َشاٍد
َو اَل ُم َعَّلٍل
Artinya: “Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak
bercacat”.
Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa hadis Shahih hampir sama
dengan hadis shahih, yang membedakannya hanya pada ingatan perawinya. Dalam
hadis shahih hafalan perawinya harus sempurna, namun dalam hadis hasan ingatan
atau daya hafalnya kurang sempurna. Dengan kata lain, suatu hadits dapat dikatakan
hadits hasan apabila memenuhi syarat berikut:
a. Sanad berkesinambungan
b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabit, tetapi kedhabitannya dibawah kedhabitan perawi hadist hasan
d. tidak terdapat kejanggalan (syadz)
e. tidak ada illat (cacat)
23
Di sumber yang lain dijelaskan bahwa hadits hasan lighairih merupakan
Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang mastur tak nyata keahliannya
bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak nampak adanya sebab yang
menjadikannya fasiq dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan
yang semisal dan semakna dari segi yang lain. (Rahman, 1987: 111).
Jumhur ulama ahli hadits dan Jumhur ahli ijtihad telah sepakat bahwa hadits
sahih dan hadits hasan dapat menjadi Hujjah (dasar hukum). Bahkan sebagian
Ulama, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban Ibnu Huzaimah memasukkan hadits hasan
kedalam kategori hadits sahih, walaupun diakui derajatnya lebih rendah. (Ash
Shiddieqy, I 1987: 168)
C. Hadist Dhaif
Secara bahasa, dhaif berarti lemah, lawan kata dari dhaif adalah kuat. Dari
segi kebahasaan, istilah hadist dhaif berarti hadist yang lemah atau hadis yang tidak
kuat. Secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
mendefinisikan hadits dhaif ini. Namun isi dan maknanya pada dasarnya sama.
Adapun ciri-ciri hadits dhaif ialah;
✓ Periwatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta,
✓ Banyak membuat kekeliruan,
✓ Suka pelupa,
✓ Suka maksiat atau fasik,
✓ Banyak angan-angan,
✓ Menyalahi periwayat kepercayaan,
✓ Periwayatnya tidak di kenal,
✓ Penganut bid’ah bidang aqidah, dan
✓ Tidak baik hafalannya.
Contoh hadist dhaif:
َم ْن َناَم َبْعَد الَعْص ِر َفاْج َتَلَس َع ْقُلُه َفال َيُلْو َم ْن ِإاَّل َنْفَسُه
24
Artinya: “Barangsiapa tidur sesudah ashar kemudian akalnya terganngu maka
jamgan menyalakan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri”.
Hadis ini merupakan hadis dha’if. Karena perawinya tidak adil, tidak dhabit, dan
ada kejanggalan dalam matan.
25
dan hadits dhaif adalah hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits
shahih dan hadits hasan. Atau dapat juga diartikan hadits yang kehilangan, satu
syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.
Jika dilihat dari aspek kualitasnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud mengenai zakat fitrah diatas tergolong hadits shohih. Karena hadits tersebut
telah memenuhi syarat-syarat hadits shohih seperti ketersambungan antar sanad,
dari sanad pertama yakni Abu Said Alkhuduri sampai sanad terakhir yakni Hamid
Ibn Yahya. Juga, periwayatnya berjiwa dhabit (kuat serta tajam hafalannya) dan
terhindar dari syadz (bertentangan makna dengan hadits yang diketahui berkualitas
tinggi) dan ‘illat (tidak terdapat kecacatan).
26
B. Kedudukan Hadits Qudsi
Kedudukan Hadits Qudsi diantara al-Qur’an dan Hadits Nabawi, tidaklah
sama karena al-Qur’an disandarkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz dan maknanya.
Sedangkan Hadits Nabawi disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
baik lafadz dan ma’nanya. Hadits Qudsi tidak diragukan lagi kebenarannya karena
berasal dari Maha Agung lagi Maha Suci.
Hadits Qudsi disandarkan kepada Allah Ta’ala secara ma’na tidak secara
lafadznya dan karena itu tidak bernilai ibadah di dalam membaca lafadznya dan
tidak boleh dibaca didalam sholat, dan tidak dinukil secara mutawattir
(keseluruhannya) sebagaimana penukilan Al-Qur’an.
Penamaan hadits ini dengan nama hadits qudsi adalah sebagai
penghormatan terhadap hadits-hadits yang demikian mengingat bahwa sandarannya
adalah Allah. Dengan kata lain, hadits qudsi adalah hadits yang maknanya dari
Allah SWT tetapi redaksinya berasal dari nabi Muhammad SAW. Dengan
perantaraan ilham atau mimpi. Maka rasul menjadi rawi kalam Allah swt ini dari
lafadz beliau sendiri.
2. Hadits Marfu'
A. Definisi
Hadits Marfu’ adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir (kesepakatan)
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik bersambung sanadnya, maupun
tidak. Keistimewaan hadits marfu’ terdapat di sanadnya yang berpusat langsung di
27
Rasulullah. Satu hal yang harus digarisbawahi, kualitas hadis marfu’ belum tentu
shahih. Karena walaupun sanadnya berpusat langsung di Rasulullah, akan tetapi
rangkaian sanad (rantai perawi) hadits marfu’ dapat bersambung secara langsung
(muttashil) atau tidak.
28
tanpa memperoleh redaksi dari beliau, baik dengan menyetujuinya atau
mencegahnya. Seperti hadits di bawah ini ;
لم:ه وس:لى هللا علي:ول هللا ص:ان رس:مس وك:قال ابن عباس رضي هللا عنه كنا نصلى ركعتين بعد غروب الش
يراَن ولم يأمرَن ولم ينهاَن
“Ibn Abbas ra berkata “kami sholat dua rakaat setelah terbenam matahari , sedang
Rasulullah SAW melihat kami dan tidak memerintahkan kepada kami atau
melarangnya.”
➢ Hadits marfu’ qauli hukmi
Hadits marfu’ qauli hukmi adalah hadits yang tidak secara tegas disandarkan
kepada sabdanya, dan marfu’nya hadits tersebut dapat diketahui karena adanya
qarinah (keterangan) yang lain, bahwa itu berasal dari Nabi SAW. Tanda-tanda
yang member petunjuk bahwa hadits tersebut adalah hadits marfu’ qauli hukmi
diantaranya adalah bahwa sebelum penyebutan matan hadits, biasanya didahului
dengan kata-kata,
seperti hadits di bawah ini:
)عن أنس قال أمر بالل أن يشفع األذان ويوتر اإلقامة (متفق عليه
“Dari Anas ra Bilal telah diperintahkan untuk mengucapkan lafaz azan secara genap
dan iqamah secara ganjil.” (Muttafaq alaih)
➢ Hadits Marfu; fi’il hukmi
Hadits Marfu; fi’il hhukmi adalah hadits yang menjelaskan tentang
perbuatan sahabat, yang dilakukan di hadapan Rasulullah SAW atau di zamannya.
Seandainya dalam hadits tersebut tidak ada penjelasan bahwa perbuatan sahabat itu
dilakukan di hadapan atau di zaman Rasulullah, maka hadits yang bersangkutan
bukan hadits marfu’, tetapi hadits mauquf, demikian pendapat Jumhur ulama.
Sedangkan pendapat sebagian ulama, walaupun tidak dijelaskan di hadapan atau di
zaman Rasulullah SAW, tetapi hadits tersebut sifatnya umum (tidak dilakukan
secara sembunyi-sembunyi), maka hadits itu tetap hadits marfu’.
Seperti hadits di bawah ini:
ه::عن ابن عمر قال كنا نتوضأ نحن والنساء على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من إَن ء واحد ندلى في
)أيدينا (رواه أبو داود
29
“Dari Ibn Umar berkata “pada zaman Rasulullah SAW kami berwudhu’ bersama
kaum wanita di dalam satu bejana. Kami menjulurkan tangan- tangan kami pada
bejana tersebut.” (HR. Abu Daud)
3. Hadits Mauquf
A. Definisi
Hadits Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada
Sahabat, baik sanadnya bersambung maupun tidak, seperti contoh hadits di bawah
ini ;
)عن ابن عمر قال من استفاد ماال فال زكاة فيه حتى يحول عليه الحول (رواه الِتمذى
Dari Ibn Umar ra berkata : “barang siapa mendapatkan harta, maka tidak ada zakat
atasnya kecauali setelah melewati satu tahun. (HR. Turmuzi)
Hadits mauquf bisa naik statusnya menjadi hadits marfu’ apabila memenuhi
salah satu kreteria sebagai berikut :
✓ Apabila pada hadits tersebut tercantum kata-kata yang menunjukkan رواية
يبلغ به – ياثره- – رفعه: kemungkinan marfu’nya, seperti kata
: seperti hadits di bawah ini ,– مرفوعا – يرفعه – يرويه
عن أبى هريرة رضى هللا عنه يبلغ به النب صلى هللا عليه وسلم الناس تبع لقريش
30
()متفق عليه
Dari Abi Hurairah ra disampaikan berita kepada Rasulullah SAW bahwa orang-
orang mengikuti orang-orang Quraiys (Muttafaq Alaihi).
✓ Apabila isi hadits tersebut berkenaan dengan penafsiran Sahabat terhadap
sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an. Hal ini dapat difahami karena demikian
merupakan keadaan yang ada pada masa Nabi SAW. Oleh karenanya keterangan
atau penafsiran sahabat tentang turunnya al-Qur’an merupakan bagian dari peristiwa
yang terjadi di zaman Rasulullah SAW, contohnya penjelsan Jabir tentang sebab
turunnya ayat 223 surat al-Baqarah. Jabir berkata
كانت اليهود تقول من أتى امرأته من دبرها فى قبلها جاءوا لولد أحول.
“Orang-orang Yahudi berkata: barang siapa yang mendatangi istrinya dari bagian
belakang dari duburnya, maka akan lahir anak yang matanya juling.”
✓ Isi hadits merupakan suatau keterangan dari sahabat, tetapi keterangan
tersebut bukanlah merupakan ijtihad atau pendapat pribadi. Misalnya :
كان عمر وابن عباس يقصران ويقطران أربعة برد (رواه
)البخارى
"Umar dan Ibn Abbas mengqasar dan berbuka puasa untuk perjalan yang
berjarak empat barid (18.000 langkah). (HR. al-bukhri).
4. Hadits Maqthu'
A. Definisi
Maqthu' secara lughah adalah isimma'ful dari kata kerja “Qatha'a” lawan
31
dari kata “Washala” (menghubungkan) sehingga maqthu artinya yang diputuskan
atau yang terputus, yang dipotong atau yang terpotong. Hadits Maqthu’ adalah
perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in serta di-mauquf-kan
(berhenti sanadnya) kepadanya, baik sanadnya bersambung atau tidak. Contoh
hadits maqthu’
صل وعليه بد عته: قول الحسن البصري في الصالة خلف المبتدع.
Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid'ah, "Shalatlah
dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan bid'ahnya".
32
Yahya. Yahya memberitakan kepada Sufyan. Sufyan memberikan kepada Hamid
Ibn Yahya.
33
satunya tidak mengulangi. Mereka menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dan menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi
shalatnya: "Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah cukup". Dan beliau
juga berkata kepada yang berwudhu dan mengulangi shalatnya: "Bagimu pahala dua
kali” (HR. Ad-Darimi).
4. Hadist Hammiyah
Hadits Hammiyah adalah hadis yang berupa keinginan Nabi Muhammad
Saw. yang belum terealisasikan. Contoh: Ada satu amalan sunnah yang termasuk
masih berupa keinginan Rasulullah SAW karena belum sempat terlaksana oleh
beliau. Amalan sunnah yang dimaksud adalah berpuasa sunnah pada 9 Asyura.
Keterangan tersebut didasarkan dari salah satu riwayat hadits yang dikisahkan oleh
Ibnu Abbas RA. Ia berkata, Ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: "Ya, Nabi
Muhammad! Hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan
Nasrani." Rasulullah SAW bersabda, "Tahun yang akan datang insya Allah aku
akan berpuasa pada hari yang kesembilan." (HR Muslim).
Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud ini merupakan hadits fi’liyah karena
hadits tersebut disandarkan kepada perbuatan yang dilakukan Nabi SAW. Perbuatan
Nabi Muhammad SAW ini kemudian dijadikan sebagai hujjah. Perbuatan Nabi
semasa hidupnya mengeluarkan zakat fitrah sebanyak 1 sha’ memberikan pedoman
bagi para sahabat kemudian ke tabi’in dan ke generasi selanjutnya.
34
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud nomor 1378 mengenai zakat
fitrah ini tercatat didalam kitab Sunan Abu Dawud. Hadits ini tergolong hadits
shohih karena diriwayatkan oleh perawi yang dhabit. Seperti Abu Dawud, Bukhari,
Muslim. Dari aspek kuantitasnya, hadits ini disebut hadits mutawattir karena
diturunkan dari generasi ke generasi yang telah memenuhi syarat-syarat
kemutawattiran sebuah hadits.
Sesuai hadits diatas, tertuang bagaimana tata cara pembayaran zakat fitrah
yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah SAW sebagai suri tauladan bagi
Ummat. Rasulullah mempraktikkan ketentuan dalam zakat fitrah berupa 1 sha’.
Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam mengeluarkan zakat fitrah harus
dalam 1 sha’ atau dikonversi menjadi 3kg.
B. Saran
Hadirnya makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan teman teman
sekalian mengenai hadits, khabar, atsar, sunnah juga segala hal yang termuat
didalamnya. Kebutuhan akan mempelajari hadits haruslah dijadikan sebagai
kebutuhan primer. Karena hikmah yang terdapat didalamnya luar biasa. Salah
satunya seperti dapat mengenali diri Rasulullah dan sahabat lebih dalam, sehingga
dapat menambahkan rasa cinta kepada Rasul SAW. Allahumma shalli alaa
sayyidina muhammad.
C. Penutup
Demikian dari makalah ini, terimakasih kepada semua pihak yang sudah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga makalah ini dapat membawa
manfaat bagi penulis maupun pembaca-pembacanya. Mohon maaf apabila ada
kesalahan dalam pengetikan atau lain sebagainya. Akhir kata wassalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakat
35
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Indal. (2020). Ilmu Matan Hadits. (Diakses pada 12 Februari 2024 pukul 07.45
WITA)
Anwar, Syamsul. (2022). Hadits Sebagai Pedoman Hidup dan Pengembangan Keilmuan.
(Diakses pada 10 Februari 2024 pukul 08.45 WITA)
Habibah, Nuraini. (2023). Struktur Hadits: Sanad, Rowi, dan Matan. (Diakses pada 11
Februari 2024 pukul 19.00 WITA)
Kharisman, Utsman. (2021). Hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’. (Diakses pada 9
Februari 2024 pukul 16.00 WITA)
Paramitha, Sintia. (2022). Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas dan Kuantitas Sanad.
(Diakses pada 11 Februari 2024 pukul 15.40 WITA)
Rahman, S. (2010). Kajian Matan Dan Hadits Dalam Metode Historis. (Diakses pada 9
Februari 2024 pukul 13.40 WITA)
Ridwan, dkk. (2021). Sumber Sumber Hukum Islam dan Implementasinya (Kajian
Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. (Diakses pada 14
Februari 2024 pukul 20.51 WITA)
Tysara, Laudia. (2023). Hadits Marfu Adalah Langsung Kepada Rasulullah SAW,
Benarkah Pasti Shahih? (Diakses pada 15 Februari 2024 pukul 08.26 WITA
Zulkifli (2015). Studi Hadits Integrasi Ilmu Ke Amal Sesuai Sunnah. (Diakses pada 9
Februari 2024 pukul 13.50 WITA)
36