Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH QUR’AN HADITS

Disusun Oleh:
Kelas X-3
Muhammad Fir Uftadi (19) | 88
Nabila Saesa Aisyah (21) | 89
Yaskiram Muhammad Alfarashin (33) | 88
Zahira Ainun Najwa (35) | 89

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 MATARAM


Jalan Pendidikan No. 25 Telp./Fax (0370) 633077 Mataram NTB
NUSA TENGGARA BARAT
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah ‫ﷻ‬, Tuhan semesta alam. Atas izin
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu. Tak lupa pula penulis
haturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad ‫ﷺ‬. Semoga
syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak, aamiin ya rabbal aalamin.

Penulisan makalah berjudul “Makalah Quran Hadits” bertujuan untuk memenuhi


tugas mata pelajaran Quran Hadits pada semester genap kelas X. Pada makalah diuraikan
mengenai hadits secara terperinci. Makalah tidak hanya berisikan definisi hadits saja,
melainkan termuat di dalamnya mengenai unsur unsur penyusunan hadits seperti sanad,
matan, rowi, dan lain sebagainya.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada H. Fitrianto Wahyudi


H., S.Hi., M.pdl selaku guru mata pelajaran Quran Hadits. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami. Penulis juga mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila terdapat ketidaksesuaian


kalimat dan kesalahan. Meskipun demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran dari
pembaca demi kesempurnaan makalah. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi
berbagai pihak.

Mataram, 24 Februari 2024

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4
A. Latar Belakang......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................6
A. Definisi Hadits......................................................................................................................6
B. Definisi Sunnah....................................................................................................................7
C. Definisi Khabar dan Atsar....................................................................................................9
D. Sanad Matan Rowi..............................................................................................................10
E. Klasifikasi Hadits..............................................................................................................13
a. Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas..........................................................................13
b. Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kualitas............................................................................20
c. Klasifikasi Hadits Dari Aspek Periwayatan dan Sumbernya.............................................26
d. Klasifikasi Hadits Dari Aspek Penyajiannya.....................................................................33
F. Hikmah Yang Terkandung Di Hadits Yang Diriwayatkan Abu Dawud.............................34
BAB III PENUTUP......................................................................................................................35
A. Kesimpulan.........................................................................................................................35
B. Saran...................................................................................................................................35
C. Penutup...............................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................36

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sempurna dan tertata. Islam mengatur segala
aspek kehidupan manusia dari tidur sampai tidur lagi. Kesempurnaan dan ketatanan
Islam terpampang di petunjuk/sumber hukumnya. Agama yang tertata pasti
memiliki sumber hukum sebagai pedoman dalam mengatur eksistensi Islam itu
sendiri. Sumber hukum Islam ada dua yakni Al-Qur’an dan hadits.
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua memiliki struktur dalam
penulisannya seperti sanad, matan, perawi, dan lain sebagainya. Selain istilah
hadits, terdapat istilah sunah, khabar, dan atsar yang sebagian ulama
mendefinisikannya sebagai sinonim hadits. Namun ada juga sebagian ulama yang
mendefinisikannya berbeda.
Tulisan ini menggali lebih dalam mengenai Hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Abu Dawud mengenai syariat pembayaran zakat fitrah pada zaman nabi
sebanyak satu sha’. Kami mengkaji mulai dari pengklasifikasian riwayat tersebut
termasuk kedalam hadits, khabar, sunah, atau atsar, unsur-unsur yang terdapat di
riwayat seperti sanad, matan, rowi, kualitas, kuantitas, dan juga hikmah yang
terkandung didalam riwayat tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadits, sunnah, khabar, atsar?
2. Apa yang dimaksud dengan sanad, matan, juga rowi?
3. Apa yang dimaksud dengan klasifikasi hadits berdasarkan kuantitasnya? Apa
saja istilah-istilah yang terdapat didalamnya?
4. Apa yang dimaksud dengan klasifikasi hadits berdasarkan kualitasnya? Apa
saja istilah-istilah yang terdapat didalamnya?
5. Apa yang dimaksud dengan klasifikasi hadits dari aspek periwayatan dan
sumbernya? Apa saja istilah-istilah yang terdapat didalamnya?

4
6. Apa yang dimaksud dengan klasifikasi hadits berdasarkan aspek penyajiannya?
Apa saja istilah-istilah yang terdapat didalamnya?
7. Apa saja hikmah yang terkandung didalam hadits tersebut?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi hadits, sunnah, khabar, atsar.
2. Mengetahui definisi sanad, matan, juga rowi.
3. Mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan kuantitasnya.
4. Mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan kualitasnya.
5. Mengetahui klasifikasi hadits dari aspek periwayatan dan sumbernya.
6. Mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan aspek penyajiannya.
7. Mengetahui hikmah yang terkandung didalam hadits tersebut.

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits

Hadits secara bahasa memiliki beberapa arti, diantaranya ‫( جديد‬yang baru),


lawan ‫( قديم‬yang lama), ‫( خبر‬berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang
lain), dan ‫ قريب‬bermakna dekat atau belum lama terjadi. Sedangkan hadits secara
istilah dimaknai dengan segala ucapan, perbuatan, dan segala hal yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW. Namun, perlu digarisbawahi terdapat beberapa pendapat
ulama mengenai hadits ini, seperti:
Para ahli hukum dan Ushul-Fiqh (metodologi hukum Islam) membatasi
makna hadist hanya pada segala sesuatu yang berkaitan dengan ketentuan agama
(syara’). Peristiwa tentang Nabi Muhammad SAW yang tidak ada kaitannya dengan
agama seperti tentang berpakaian, makan, tidur nabi tidak dianggap hadist.
Demikian pula, sirah perjalanan kehidupan Nabi sebelum beliau menjadi Nabi tidak
dianggap sebagai hadist oleh para fukaha dan ushul fiqh. Menurut pandangan para
ushul fiqh, hadist adalah perkataan, dan perbuatan Nabi yang berkaitan dengan
hukum syariat. Oleh karena itu, pemahaman hadist di kalangan ahli fukaha dan
ushul fiqh lebih sempit dibandingkan pemahaman hadist di kalangan ahli hadist.
Sedangkan menurut para ahli hadist, hadist adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan Nabi. Segala ucapan, perbuatan, dan seluruh ketetapan Nabi
Muhammad SAW. Sebagian ulama hadits lain menjelaskan bahwa hadits meliputi
ucapan, perbuatan, dan hal ihwal. Hal ihwal meliputi hikmah, karakteristik, sejarah
kelahiran, juga kebiasaan Nabi Muhammad SAW. Bagi para ahli hadist, hadist
adalah fakta sejarah yang melingkupi Nabi, baik yang berkaitan dengan aturan
agama maupun tidak. Eksistensi hadits di kalangan ahli hadits merupakan sesuatu
hal yang luas maknanya. Tidak hanya terbatas disandarkan kepada Rasulullah
semata (hadits marfu’). Melainkan juga terdapat hadits mauquf yakni segala yang
disandarkan kepada sahabat, dan hadits maqthu’ yang disandarkan kepada tabiin.
Selain istilah hadits, terdapat istilah sunah, khabar, dan atsar yang sebagian ulama

6
mendefinisikannya sebagai sinonim hadits. Namun ada juga sebagian ulama yang
mendefinisikannya berbeda.

B. Definisi Sunnah
Menurut bahasa sunnah artinya jalan, baik terpuji maupun tercela. Sunnah
juga diartikan sebagai tradisi/kebiasaan perbuatan yang dilakukan secara terus-
menerus/berulang-ulang.
Ajjaj al-Khathib menambahkan: “Jika kata Sunnah diterapkan pada urusan
hukum syara’ maka kata Sunnah disini berarti segala sesuatu yang diperintahkan,
dilarang dan dianjurkan oleh Rasulullah baik dalam perkataan atau perbuatan. Oleh
karena itu, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan al-Sunnah,
yang dimaksud adalah al-Qur'an dan hadits.”
Menurut istilah, terdapat beberapa pandangan ulama mengenai sunnah ini,
yakni:
1. Menurut para ulama hadist
Para muhadisin berpendapat bahwa sunnah sesuai kalimat berikut:
‫ان‬::‫واء ك‬::‫كل ما اثر عن النبي محمد صلى هللا عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية أو سيرة س‬
‫ذالك قبل البعثة أم بعدها‬
Artinya:
“Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ajaran, sifat, keadaan, atau perjalanan hidup
sebelum maupun sesudah menjadi rasul.”
Para ulama yang mendefinisikan Sunnah seperti diatas menganggap Nabi
Muhammad SAW bukanlah sebagai sumber hukum, melainkan sebagai uswatun
hasanah (teladan yang baik). Oleh karena itu, para ulama hadits menerima semua
berita yang diterima melalui Nabi dan meriwayatkan seutuhnya tanpa membedakan
apakah berita yang diberitakan tersebut berkaitan dengan ketentuan hukum syariah
atau tidak. Demikian pula, para ulama hadits tidak membeda-bedakan apakah
perkataan atau perbuatannya dilakukan sebelum atau sesudah Rasulullah diutus

7
sebagai Rasul. Dalam pandangan ulama hadits, segala sesuatu tentang Rasulullah
adalah sama baik sebelum dan sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.
Pandangan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS Al-Ahzab ayat
21, yang berbunyi:
11. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.”
Dalam QS as-Syura ayat 52 juga disebutkan:
‫َو ِإَّنَك َلَتْهِد ي ِإَلى ِصَر اٍط ُم ْس َتِقيٍم‬
“Dan sesungguhnva kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus,
yaitu jalan Allah.”
2. Menurut para ulama fiqih, sunnah adalah segala sesuatu yang dimiliki Nabi SAW
dan perbuatannya yang menunjukkan ketentuan syara’. Para ulama fiqih
mendefinisikan sunnah sebagai berikut:
‫ون دليال‬::‫لح ان يك‬::‫ا يص‬::‫ر مم‬::‫ل أو تقري‬::‫كل ما صدر عن النبي صلى هللا عليه وسلم غير القران من قول أو فع‬
‫لحكم‬
‫شرعي‬
Artinya:
“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW selain Alqur’an, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya yang pantas untuk dijadikan
dalil bagi hukum syara.”
Pengertian diatas membatasi pengertian sunnah yakni yang bersumber dari
Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan syariat islam. Jadi segala sesuatu
yang tidak berhubungan dengan hukum syariat islam tidak bisa disebut sunnah.
Pengertian yang dikemukakan para ahli ushul fiqh ini didasarkan pada landasan
bahwa beliau adalah Rasulullah pengambil keputusan atau pengatur hukum yang
menjelaskan kepada masyarakat tentang aturan-aturan kemudian meletakkan
landasan metodologis dalam penjelasan dan kajian hukum Islam.
Pendapat ahli ushul fiqh mengenai masalah ini mengacu pada beberapa ayat
Al-Qur'an. Hal ini tercantum dalam QS Al-Hasyr ayat 7

8
‫َو َم ا َأَتاُك ُم الَّرُس وُل َفُخ ُدوُه َو َم ا َنَهاُك ْم َع ْنُه َفاْنَتُهوا َو اَّتُقوا َهَّللا ِإَّن َهَّللا َش ِد يُد اْلِع َقاِب‬
“Apa yang diberikan Rasulullah SAW kepadamu, maka terimalah dia dan apa-apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnva Allah sangat keras hukum-Nya.”
Dari ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia bahwa segala hal yang
diperintahkan Rasul menjadi hal yang harus ditaati dan menjadi pedoman untuk
dilaksanakan, begitupun sebaliknya apabila Rasul melarangnya menjadi keharusan
untuk ditinggalkan.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi sunnah karena perbedaan
sudut pandang. Para ahli hadist menganggap Nabi sebagai teladan, sehingga segala
sesuatu yang berkaitan dengan Rasulullah adalah uswatun hasanah (teladan yang
baik). Sedangkan para ulama fiqih menganggap bahwa Nabi mempunyai peran
penentu nilai hukum dalam segala aspek kehidupan, mulai dari kewajiban, sunnah,
haram, makruh.

C. Definisi Khabar dan Atsar


Secara bahasa, khabar berarti “Berita.” Dapat juga diartikan sebagai
“Pembicaraan yang mengandung kebenaran maupun kebohongan.” Terdapat
beberapa pandangan mengenai definisi khabar ini, diantaranya:
1. Menurut ulama muhaddisin khabar adalah berita yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, sahabat, dan tabi’in.
3. Ulama Khurasan berpendapat bahwa khabar ialah hadis yang disandarkan pada
sahabat (mauquf). Hal ini ditujukan untuk memudahkan klasifikasi serta untuk
membedakan antara khabar dengan hadis atau sunah.
5. Ulama lain berpendapat bahwa khabar hanya dimaksudkan sebagai berita yang
diterima dari selain Nabi Muhammad saw.
Sedangkan atsar menurut bahasa adalah “Jejak sesuatu.” namun bisa juga
diartikan sebagai “Suatu kesimpulan, suatu tanda, suatu bagian.” Sebagian ulama
mengatakan, bahwa atsar lebih umum daripada khabar karena atsar berlaku untuk
sesuatu dari Nabi Muhammad saw. maupun yang selainnya. Adapun para fukaha

9
memakai istilah atsar untuk perkataan-perkataan ulama-ulama salaf, sahabat,
tabi’in, dan lain-lain.
Dari beberapa penjelasan diatas, riwayat Abu Dawud ini termasuk kedalam
kategori hadits. Sesuai definisinya, hadits merupakan ucapan Rasulullah yang berisi
syariat Islam. Disebut sebagai hadits karena didalamnya terdapat syariat islam yakni
sistem pembayaran zakat fitrah harus 1 sha’. Sebagaimana yang tertuang didalam
maknanya “Saya tidak akan mengeluarkan zakat fitrah kecuali sebanyak satu sak.
Sesungguhnya kami pada masa Rasulullah SAW mengeluarkan zakat fitrah satu
sa’tamar, atau kurma mentah.”

D. Sanad Matan Rowi


1. Definisi Sanad

Secara bahasa, sanad berarti sandaran, dapat dipercaya kebenarannya,


dipegang dan dijamin keabsahannya. Sedangkan secara istilah, sanad adalah jalan
yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits
dan menyampaikannya. Melalui sanad, dapat diketahui asal usulnya/sumbernya
hingga sampai kepada penghimpun, yakni Rasulullah SAW. Sanad merupakan
bagian primer didalam hadits. Eksistensi sanad harus jelas dan tersusun agar dapat
menciptakan hadits yang berkualitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa hadits tanpa
sanad bukanlah hadits.

Pada hadits riwayat Abu Dawud diatas, hadist tersebut berasal dari
perkataan sahabat yakni Abu Said Alkhuduri. Hadits tersebit dibawa dari generasi
ke generasi. Dimulai dari Abu Said Alkhuduri yang secara fi’liyah melihat tindakan
nabi yang dapat dijadikan hujjah. Kemudian beliau memberitahukan hal tersebut
kepada ‘Iyad. Iyad memberitakan kepada Ibn Ijlan. Ibn Ijlan memberitakan kepada
Yahya. Yahya memberitakan kepada Sufyan. Sufyan memberikan kepada Hamid
Ibn Yahya.

Abu Said al-Khuduri menjelaskan bahwa semasa kehidupan rasul, beliau


mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’tamar/satu kurma mentah pada saat

10
itu. Rangkaian rawi (penyampai hadits) antara Abu Said al-Khuduri hingga sampai
kepada Hamid Ibn Yahya yang menjelaskan secara fi’liyah mengenai syariat islam
dalam sistem zakat fitrah inilah yang dinamakan sanad. Melalui merekalah hadits
itu mengalir dari zaman ke zaman hingga sampai ke Hamid Ibn Yahya.

2. Definisi Matan
Menurut bahasa matan ialah tengah jalan, punggung bumi, atau bumi yang
keras dan tinggi. Sedangkan Menurut istilah para ulama memiliki pendapatnya
tersendiri seperti
1. sebagaimana dikemukakan oleh al-Thibi bahwa matan ialah lafal-lafal hadist
yang didalamnya terdapat makna akan syariat islam.
2. Al-Syayuthi dan Ibnu Jamaah berpendapat bahwa matan ialah sesuatu yang
kepadanya berakhir sanad dari berbagai macam perkataan, kemudian dihubungkan
dengan hadis.
3. Ajaj al-Khatib mengemukakan bahwa matan adalah unsur terpenting didalam
hadits, hal itu didasarkan bahwa matan itulah yang tampak pada hadis dan menjadi
materi atau isi dari hadis tersebut.
Dari pengertian sanad dan matan hadis sebagaimana dikemukakan di atas,
dapat difahami bahwa sanad dan matan menduduki eksistensi primer dalam sebuah
hadist. Suatu hadits dikatakan “hadits” apabila jelas sanad dan matannya. Olehnya
tidak dapat disebut hadis jika unsur sanad maupun matan tidak dijamin
keabsahannya.
Syarat-Syarat Keshahihan Matan
Syarat-syarat suatu matan dapat diterima haruslah memenuhi kriteria atau
syarat sebagai berikut:
a. Tidak bertolak belakang dengan ayat Al-Quran.
b. Tidak bertolak belakang dengan hadits Mutawatir.
c. Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih sahih.
d. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
e. Tidak bertentangan dengan Ijmak.

11
(Ash Shiddieqy, I 1987: 116).

3. Definisi Rowi
Rawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab
mengenai perkataan, perbuatan, dan taqrir Rasulullah yang didengar atau diterima
dari guru-gurunya yang terdahulu. (Ismail, 1987: 17). Bentuk jama'nya ruwah dan
perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan Me-rawy (riwayat) kan
hadits. (Rahman, 1991: 14). Seorang rawi dapat diterima hadits nya apabila diterima
periwayatan dhabit. (Rahman, 1991: 97). Dhabit artinya orang yang kuat
ingatannya, tidak banyak lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada
kesalahannya. Kalau seseorang mempunyai ingatan yang lebih kuat, sejak dari
menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu
sanggup kapan dan dimana saja dikehendaki, disebut orang yang dlabithu'shshadri.
Akan tetapi apabila yang disampaikan itu berdasarkan pada buku catatannya, maka
disebut orang yang dlabithu'l-kitab. (Rahman, 1991: 32). Juga, menurut kesepakatan
ulama ahli hadits, rowi dapat diterima apabila ia memiliki sifat adil didalam
jiwanya. Yang dimaksud dengan adil adalah islam dan mukallaf (Ash-Shiddieqi,
1976). Sehingga tidak dapat diterima periwayatan orang kafir, dan orang gila.

Sifat-sifat yang menggugurkan kualitas hadits seorang perowi

Kecacatan seorang rawi dalam meriwayatkan hadits, ada kalanya bisa


menggugurkan keadilannya, sehingga haditsnya harus ditolak. Seorang yang cacat
adakalanya merusak kedabitannya bila demikian, maka turunlah nilai hadits yang ia
riwayatkannya, sehingga hadits vang diriwayatkan harus di bekukan. Berikut
beberapa sifat yang menggugurkan kualitas hadits yang diriwayatkan seorang
perawi ialah:
1. Dusta yaitu orang yang pernah berbuat dusta pada sesuatu hadits (pernah
membuat hadits maudlu')
2. Tertuduh dusta yaitu bahwa perowi itu, telah masyhur berdusta dalam
pembicaraan.

12
3. Fasiq yaitu ia suka melanggar perintah agama dalam hal lain, bukan dalam hal
i'tiqad.
4. Jahalal yaitu tidak dikenal pribadi, tidak terkenal perowinya dijadikan dasar
menolak hadits adalah karena orang yang tidak dikenal namanya dan pribadinya,
tentu tidak dikenal keadaannya, apakah ia orang kepercayaannya ataukah
sebaliknya.
5. Bid'ah yaitu mempunyai i'tiqad yang menyalahi agama (kitab dan sunnah) dengan
tidak sengaja, lantarar sesuatu kesamaran atau salah satu pengertian, (Ash-
shiddieqy, I, 1987:230-233).
6.Terlalu lengah, banyak kesalahan dalam menerima hadits.
7.Banyak keliru artinya, banyak salah dalam memberikan hadits kepada orang lain.
8.Menyalahi orang kepercayaan dalam meriwayatkan hadits.
9.Tidak baik hafalannya, banyak lupanya daripada ingatnya dalam meriwayatkan
hadits. (ash-ahiddieqy, I: 235 236).

E. Klasifikasi Hadits
a. Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas
Kuantitas hadits disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan
suatu hadits atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur mayoritas ulama membagi
hadits secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad. Terdapat juga pendapat lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu:
hadits mutawatir, hadits masyhur (hadits mustafidh) dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir
A. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir secara bahasa berasal dari kata “tawatara” yang berarti beruntun,
yakni beriring-iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak. Sedangkan secara
istilah mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang memiliki
kesamaan sifat, sama-sama tsiqoh (terpercaya). Yang menurut akal dan kebiasaan
perawi mustahil sepakat untuk berdusta. Menurut Nur Ad-Din, hadits mutawatir

13
adalah hadits yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan
mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad.

B. Syarat-syarat Hadits Mutawatir


Berdasarkan definisinya ada 4 kriteria suatu hadits dikatakan hadits
mutawatir, yaitu sebagai
berikut:
✓ Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Para perawi hadits mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama
berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadits tersebut dan tidak
ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10
orang, 40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun,
pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.
✓ Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal
sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja
maka tidak dinamakan mutawatir, tetapi dinamakan ahad atau wahid.
✓ Mustahil bersepakat bohong
Diantara alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah
pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena
dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka
menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain.
Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai
jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berbohong.
✓ Sandaran berita itu pada pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau
dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau
akal seperti tentang sifat barunya, berdasarkan kaedah logika; Setiap yang baru itu

14
berubah (Kullu hadits mutghayyirun). Alam berubah (al- alamu mutaghayyirun).
Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadits). Baru artinya sesuatu yang
diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Para ulama sepakat bahwa hadits
mutawatir adalah hujjah (hukum) bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya
untuk mengamalkan kandungan- kandungan yang ada pada hadits mutawatir.

2. Jenis-jenis Hadits Mutawatir


Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadits Mutawatir ada 3 yaitu:S
• Hadits Mutawatir Lafdhi
Hadits mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang
persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama
pula, juga dipandang sebagai hadits mutawatir lafdhi, hadits mutawatir dengan
susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata- kata muradifnya (kata-
kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar
dan perincian makna hadits itu tetap sama.
Contoh hadits mutawatir lafdhi yang artinya:
‫ منكذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من النار‬: ‫قال الرسول صلى هللا عليه وسلم‬
“Rasulullah SAW, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka
hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka”. (Hadits Riwayat
Bukhari).
Hadits tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat
puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang
sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadits itu dengan redaksi yang sama.
• Hadits Mutawatir Maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir yang memiliki makna
umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya.
Dengan kata lain, hadits-hadits yang banyak itu, walaupun berbeda redaksi dan
perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama. Jumlah hadits-
hadits yang termasuk hadits mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadits-
hadits yang termasuk hadits mutawatir lafdhi.

15
Contoh hadits mutawatir maknawi yang artinya:
‫ه إاال فى‬::‫يئ من دعائ‬::‫ه في ش‬::‫اض إبط‬::‫تى رؤى بي‬::‫ه ح‬::‫قال موسى ما رفع رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يدي‬
)‫اإلستسقاء (رواه اليخار ومسلم‬
“Abu Musa berkata Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua
tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada
waktu berdoa memohon hujan”. (Hadits Riwayat Mutafaq’ Alaihi)
• Hadits Mutawatir ‘Amali
Hadits mutawatir ‘amali adalah hadits mutawatir yang menyangkut
perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang
banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang
banyak pada generasi-generasi berikutnya. Contoh: Hadits-hadits Nabi tentang
waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat ‘ied, adanya shalat
jenazah, dan sebagainya. Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama
oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadits
mutawatir ‘amali. Seperti hadits mutawatir maknawi, jumlah hadits mutawatir
‘amali cukup banyak.

3. Kedudukan Hadits Mutawatir


Seperti telah disinggung, hadits-hadits yang termasuk kelompok hadits
mutawatir adalah hadits-hadits yang pasti (qath’i) berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu qath’i”
(pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan,
perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa
menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan
yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni
pengetahuan yang tidak dapat diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau
persetujuan yang disampaikan oleh hadits itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau
persetujuan Rasulullah SAW.
Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali.
Menolak hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan

16
menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan
hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadits
ahad, dan hadits mutawatis memiliki kekutan sebagai hujjah setelah al-Qur’an.

2. Hadits Ahad
A. Pengertian hadits ahad
Ahad menurut bahasa adalah kata jamak dari wahid atau ahad. Bila wahid
atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya, berarti satu- satu. Hadits
ahad menurut bahasa berarti hadits satu-satu. Sebagaimana halnya dengan
pengertian hadits mutawatir, maka pengertian hadits ahad, menurut bahasa terasa
belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama.
Batasan hadits ahad antara lain berbunyi, yaitu hadits yang para rawinya
tidak mencapai jumlah rawi haditst mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga,
empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa
hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadits mutawatir, atau
dengan kata lain Hadits Ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.

B. Pembagian hadits ahad


• Hadits Masyhur (Hadits Mustafidah)
Masyhur menurut bahasa berarti terkenal, sudah tersebar atau yang sudah
populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar.
Jadi menurut bahasa hadits masyhur dan hadits mustafidah sama-sama berarti hadits
yang sudah tersebar atau tersiar.
Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang
haditst masyhur dan hadits mustafidah sama dalam pengertian istilah ilmu hadits
yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan namun tidak
mencapai derajat hadits mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadits
masyhur (hadits mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan
bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadits
mutawatir.

17
Contoh hadits masyhur (mustafidah) adalah hadits berikut ini, yang artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin
tidak terganggu oleh lidah dan tangannya.” (Haditst Riwayat Bukhari, Muslim, dan
Turmudzi)
Hadits di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke
tingkat imam-imam yang membukukan hadits (dalam hal ini adalah Bukhari,
Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap
tingkatan.
• Hadits ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa, berarti yang mulia atau yang kuat dan juga berarti
jarang. karena memang hadits ‘aziz itu jarang adanya. Para ulama memberikan
batasan yaitu haditst ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi,
kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh
banyak rawi.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadits pada
tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh
lebih dari dua rawi maka hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits ‘aziz.
Contoh hadits aziz adalah hadits berikut ini, yang artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia)
dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Haditst Riwayat Hudzaifah dan Abu
Hurairah Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda :
‫إذا جاءكم الجمعة فليغتسل‬
“Apabila datang hari jum’at, maka hendaklah mandi.”
Hudzaifah dan Abu Hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadits tersebut
adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadits itu
diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadits itu tetap saja dipandang
sebagai hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk
hadits ‘aziz.
• Hadits Gharib

18
Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang
lain. Hadits gharib menurut bahasa berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari
yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadits gharib adalah
haditst yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun
dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadits yang berdiri sendiri seorang perawi di
beberapa tingkatan sanad.
Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadits hanya diriwayatkan
oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh
banyak rawi, haditst tersebut tetap dipandang sebagai haditst gharib.
Contoh hadits gharib itu antara lain adalah haditst berikut, yang artinya:
‫ال يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده والناس أجمعين (رواه البخاري ومسلم‬
Tidak beriman seseorang sehingga ia lebih mencintaiku dari pada orang tuanya dan
manusia yang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)

D. Kedudukan Hadits Ahad


Bila hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah
SAW dan dapat dijadikah sebagai sumber hokum Islam, maka tidak demikian pada
hadits ahad. Haditst ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga
(zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau.
Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadits ahad mungkin benar
berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.
Karena hadits ahad itu tidak pasti (ghairu qath’i), tetapi diduga (zhanni atau
mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadits ahad sebagai
sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Dan apabila
suatu hadits, yang termasuk kelompok hadits ahad, bertentangan isinya dengan
hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus ditolak.
Jika dilihat dari aspek kuantitasnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud mengenai zakat fitrah diatas tergolong hadits mutawattir. Karena hadits
tersebut memenuhi syarat-syarat mutawattir baik dari segi jumlah periwayatnya

19
yang tergolong banyak dengan jumlah 7 orang, sehingga terhindar dari kesepakatan
para perawi untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad.

b. Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kualitas


Hadits dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul
dan hadits mardud. Adapun hadits maqbul ialah hadits yang unggul pembenaran
pemberitaanya, dalam hal ini hadits maqbul ialah hadits yang mendapat dukungan
bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Sedangkan hadits
mardud ialah hadits yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadits mardud ialah hadits
yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya.

A. Hadist Shahih
Dari segi bahasa Shahih berarti “Dhiddus saqim” yaitu lawan kata dari sakit.
Sedangkan dari segi istilahnya, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari sejak awalhingga
akhir sanad, tanpa adanya syadz dan illat.
‫امًا اْلَح ِد يُت الَّصِح يُح َفُهَو اْلَح ِد يُث اْلُم ْس َنُد اَّلِذ ي يتِص ال ْس ناُد ُه بَنْق ِد ِل اْلَع ْد ِل الَّض ا ِب ِط َع ِن اْلَع ْد ِل الَّض ا ِب ِط ِإَل‬
‫ُم ْنِتحا ُه َو َال َيُك ْو ُن َشاًذ ا َو اَل ُم عَّلًال‬
Artinya: “Adapun hadist shahih ialah hadist yang sanadnya bersambung (sampai
kepada Nabi), diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad,
tidak ada kejanggalan dan berillat”.

B. Syarat-syarat Hadits Shohih


Menurut ta'rif muhadditsin, dapat dikatakan hadits Shohih apabila telah
memenuhi lima syarat:
a. Sanadnya bersambung
Yang dimaksud sanad bersambung adalah adanya
keterkaitan/kesinambungan tiap-tiap periwayatan dalam sanad hadits menerima
periwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan ini berlangsung
demikian sampai akhir anad dari hadits itu.

20
b. Periwayatan bersifat adil
Seorang periwayat dikatakan bersifat adil apabila ia seorang muslim yang
baligh, berakal sehat, selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan maksiat.
c. Periwayatan bersifat dhabit
Dhabit adalah sebutan bagi orang yang kuat serta tajam hafalannya tentang
apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia
menghendakinya.

d. Tidak Janggal atau Syadz


Tidak terdapat kejanggalan/bertabrakan makna/bertentangan makna dengan
hadits lain yang sudah diketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
e. Terhindar dari 'illat (cacat)
Hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan adanya hal hal yang
tidak bak, yang kelihatannya samar samar.
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai
berikut:
✓ Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama
sampai perawi terakhir.
✓ Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqah, dalam arti adil
dan dhobith,
✓ Haditsnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal)
✓ Para perawi yang terdekat dalam sanad harus sezaman.
Sumber-sumber hadits-hadits sahih adalah kitab-kitab yang memuat hadits
sahih yaitu antara lain:
➢ Al-Muawaththa ialah kitab hadits yang pertama yang disusun oleh Imam Malik
(93- 179H/712- 798 M).

21
➢ Al-Jami’ As-Shahih Al-Bukhari merupakan kitab hadits terbaik yang disususn
oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Al-Mughirah Ibn
Birdizbah (194-256H).
➢ Sahih muslim adalah kitab hadits shahih yang menempati posisi ke dua setelah
sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj Al-Qusyairy An-
Nasisabury (206-261H).
➢ Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih yang disusun oleh abu abdullah
ibn abu bakar Al-huzaimah yang wafat pada 313 di dalam kitab ini memuatt kitab
hadits yang belum tercaver dalam kitab Al- Bukhari
➢ Sahih Ibn-Hibban adalah kitab sahih yang di tulis oleh Abu hatim Muhammad
Ibn-Hibban (354 H).

Jenis jenis hadits sahih itu ada dua, yaitu sahih Li zatihi dan sahih Li gairih.
Sahih Li zatihi adalah hadits sahih yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana
diatas. Hadits sahih Li gairih ialah Hadits yang tidak memiliki sifat maqbul
sempurna, yaitu rawi yang meriwayatkannya adalah orang adil yang hapalannya
kurang sempurna. Akan tetapi apabila ditemukan konteks hadits hasan li zatih
(hadits yang perawainya adil akan tetapi hafalannya kurang sempurna), berada di
keadaan kekurangan rawi tentang hafalannya (kedabitannya) dapat ditutupi dengan
sanad lain yang lebih dabit rawinya, maka itu dianggap hadits sahih Li gairih.
Naiklah derajat hadits tersebut. (Rahman, 1987: 101)

Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai


berikut:
✓ Shahih Al-Bukhari (w.250 H)
✓ Shahih Muslim (w. 261 H).
✓ Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
✓ Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).

22
✓ Mustadrak al-Hakim (w. 405).
✓ Shahih Ibn As-Sakan.
✓ Shahih Al-Abani

B. Hadist Hasan
‫الَح ِد يُث الَح َس ُن ُهَو الَح ِد يُث اَّلِذ ي ِإَّتَص َل َس َنُد ُه ِبَنْقِل َعْد ٍل َخ َّف َضْبُطُه َغ ْيُر َشاٍد‬
‫َو اَل ُم َعَّلٍل‬
Artinya: “Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak
bercacat”.
Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa hadis Shahih hampir sama
dengan hadis shahih, yang membedakannya hanya pada ingatan perawinya. Dalam
hadis shahih hafalan perawinya harus sempurna, namun dalam hadis hasan ingatan
atau daya hafalnya kurang sempurna. Dengan kata lain, suatu hadits dapat dikatakan
hadits hasan apabila memenuhi syarat berikut:
a. Sanad berkesinambungan
b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabit, tetapi kedhabitannya dibawah kedhabitan perawi hadist hasan
d. tidak terdapat kejanggalan (syadz)
e. tidak ada illat (cacat)

Jenis-jenis Hadits Hasan.


Sebagaimana hadits sahih, dibagi menjadi sahih lizatihi dan sahih li gairih,
hadits Hasan juga dibagi menjadi Hasan li zatihi dan Hasan li gairih. Hadits Hasan
lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya
kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan
kecacatan. Sedangkan hadits hasan ligairih adalah hadits yang hakikatnya adalah
dhaif, dan karena didukung oleh hadits dhaif yang lain, maka dia menjadi hasan
Lighairihi.

23
Di sumber yang lain dijelaskan bahwa hadits hasan lighairih merupakan
Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang mastur tak nyata keahliannya
bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak nampak adanya sebab yang
menjadikannya fasiq dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan
yang semisal dan semakna dari segi yang lain. (Rahman, 1987: 111).
Jumhur ulama ahli hadits dan Jumhur ahli ijtihad telah sepakat bahwa hadits
sahih dan hadits hasan dapat menjadi Hujjah (dasar hukum). Bahkan sebagian
Ulama, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban Ibnu Huzaimah memasukkan hadits hasan
kedalam kategori hadits sahih, walaupun diakui derajatnya lebih rendah. (Ash
Shiddieqy, I 1987: 168)

C. Hadist Dhaif
Secara bahasa, dhaif berarti lemah, lawan kata dari dhaif adalah kuat. Dari
segi kebahasaan, istilah hadist dhaif berarti hadist yang lemah atau hadis yang tidak
kuat. Secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
mendefinisikan hadits dhaif ini. Namun isi dan maknanya pada dasarnya sama.
Adapun ciri-ciri hadits dhaif ialah;
✓ Periwatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta,
✓ Banyak membuat kekeliruan,
✓ Suka pelupa,
✓ Suka maksiat atau fasik,
✓ Banyak angan-angan,
✓ Menyalahi periwayat kepercayaan,
✓ Periwayatnya tidak di kenal,
✓ Penganut bid’ah bidang aqidah, dan
✓ Tidak baik hafalannya.
Contoh hadist dhaif:
‫َم ْن َناَم َبْعَد الَعْص ِر َفاْج َتَلَس َع ْقُلُه َفال َيُلْو َم ْن ِإاَّل َنْفَسُه‬

24
Artinya: “Barangsiapa tidur sesudah ashar kemudian akalnya terganngu maka
jamgan menyalakan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri”.
Hadis ini merupakan hadis dha’if. Karena perawinya tidak adil, tidak dhabit, dan
ada kejanggalan dalam matan.

d. Kehujjahan Hadits Dhaif


Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-
Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan,
dengan beberapa syarat:
• Level kedhaifannya tidak parah. Hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya
dan banyak jenjangnya, dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau
hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa
dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal
haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk
perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
• Berada di bawah nash lain yang shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu
kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan
hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus
shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus
berada di bawah nash yang sudah shahih.
• Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini ketsabitannya. Maksudnya,
ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini
merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan
adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari
Rasulullah SAW.
Perbedaan antara hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhoif ialah di hadits
shahih adanya ketersambungan sanad, diriwayatkan oleh perawi yanga adil dan
dhabit hingga sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak berikat.
Sedangkan hadits hasan merupakan hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil,
tapi kurang kuat ingatannya yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.

25
dan hadits dhaif adalah hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits
shahih dan hadits hasan. Atau dapat juga diartikan hadits yang kehilangan, satu
syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.
Jika dilihat dari aspek kualitasnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud mengenai zakat fitrah diatas tergolong hadits shohih. Karena hadits tersebut
telah memenuhi syarat-syarat hadits shohih seperti ketersambungan antar sanad,
dari sanad pertama yakni Abu Said Alkhuduri sampai sanad terakhir yakni Hamid
Ibn Yahya. Juga, periwayatnya berjiwa dhabit (kuat serta tajam hafalannya) dan
terhindar dari syadz (bertentangan makna dengan hadits yang diketahui berkualitas
tinggi) dan ‘illat (tidak terdapat kecacatan).

c. Klasifikasi Hadits Dari Aspek Periwayatan dan Sumbernya


1. Hadits Qudsi
A. Definisi
Secara bahasa Hadits Qudsi berasal dari kata qadusa, yaqdusu, qudsan,
artinya suci atau bersih. Dan secara terminologi terdapat beberapa defenisi yang
berbeda, antara lain:
‫مايخَباهلل تعالى به النب صلى هللا عليه وسلم ِبإللهام أو ِبلمنام فأخَبالنب من ذالك المعنى بعبارة نفسه‬
”Sesuatu yang diberitakan Allah SWT. kepada Nabi SAW. dengan ilham atau
mimpi, kemudian nabi menyampaikan berita itu dengan unkapan-ungkapan sendiri.
Dari semua defenisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Hadits Qudsi
adalah hadits yang bersumber langsung dari Allah SWT kepada Nabi SAW. Disebut
Hadits karena redaksinya disusun sendiri oleh Nabi SAW, dan disebut Qudsi karena
hadits ini suci dan bersih (ath-Thaharah wa at-Tanzih) dan datangnya dari Dzat
Yang Mahasuci. Hadits Qudsi ini juga sering disebut dengan hadits Ilahiyah atau
hadits Rabbaniah. Disebut Ilahi atau Rabbani karena hadits ini datang dari Allah
raab al-‘alamin.

26
B. Kedudukan Hadits Qudsi
Kedudukan Hadits Qudsi diantara al-Qur’an dan Hadits Nabawi, tidaklah
sama karena al-Qur’an disandarkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz dan maknanya.
Sedangkan Hadits Nabawi disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
baik lafadz dan ma’nanya. Hadits Qudsi tidak diragukan lagi kebenarannya karena
berasal dari Maha Agung lagi Maha Suci.
Hadits Qudsi disandarkan kepada Allah Ta’ala secara ma’na tidak secara
lafadznya dan karena itu tidak bernilai ibadah di dalam membaca lafadznya dan
tidak boleh dibaca didalam sholat, dan tidak dinukil secara mutawattir
(keseluruhannya) sebagaimana penukilan Al-Qur’an.
Penamaan hadits ini dengan nama hadits qudsi adalah sebagai
penghormatan terhadap hadits-hadits yang demikian mengingat bahwa sandarannya
adalah Allah. Dengan kata lain, hadits qudsi adalah hadits yang maknanya dari
Allah SWT tetapi redaksinya berasal dari nabi Muhammad SAW. Dengan
perantaraan ilham atau mimpi. Maka rasul menjadi rawi kalam Allah swt ini dari
lafadz beliau sendiri.

C. Contoh Hadits Qudsi yaitu:


،‫ َأَنا ِع ْنَد َظِّن َع ْبِد ي ِبي‬:‫ “َيُقوُل ُهَّللا َتَعاَلى‬: ‫ َقاَل الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َعْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َر ِض َي ُهَّللا َع ْنُه َقاَل‬
‫َو َأَنا َم َعُه ِإَذ ا َذ َك َر ِني‬..”
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu beliau berkata, telah
bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Telah berfirman Allah Subhanahu
wa ta’ala, ‘Aku adalah sebagaimana prasangka hambaKu kepadaku, dan Aku
bersamanya ketika dia mengingatKu” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Hadits Marfu'
A. Definisi
Hadits Marfu’ adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir (kesepakatan)
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik bersambung sanadnya, maupun
tidak. Keistimewaan hadits marfu’ terdapat di sanadnya yang berpusat langsung di

27
Rasulullah. Satu hal yang harus digarisbawahi, kualitas hadis marfu’ belum tentu
shahih. Karena walaupun sanadnya berpusat langsung di Rasulullah, akan tetapi
rangkaian sanad (rantai perawi) hadits marfu’ dapat bersambung secara langsung
(muttashil) atau tidak.

B. Pembagian Hadits Marfu’


➢ Hadits marfu’ Qauli haqiqi
Hadits marfu’ Qauli haqiqi adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi
SAW, berupa sabda beliau dalam bentuk beritanya dngan tegas dinyatakan bahwa
Nabi telah bersabda. Diantara tanda-tandanya sebelum menyebutkan matan hadits
biasanya didahuli dengan kata-kata:
‫ َس عت رسول هللا يقول‬:
Contoh Hadits marfu’ Qauli haqiqi
‫عن عمر بن الخطاب رضي هللا عنه قال َس عت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ ال يقبل هللا صالة بغْي طهور وال صدقة من غلول‬: ‫يقول‬.
“Dari Umar bin Khattab ra, beliau berkata : saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda : Allah SWT tidak menerima sholat dari orang yang tidak suci, dan tidak
menerima sedekah dari tipu daya. (HR. Muslim).
➢ Hadits marfu’ fii’il haqiqi
Yang dimaksud dengan hadits marfu’ fi’il haqiqi adalah perbuatan
Rasulullah SAW seperti hadits di bawah ini,
‫الة فأَس ع قراءنه‬:‫دو إلى الص‬::‫ا لم يغتسل ثم يغ‬:‫بح جنب‬:‫لم يص‬::‫ه وس‬:‫لى هللا علي‬:‫عن عائشة قالت كان النب ص‬
‫ويصوم‬
“Dari Aisyah ra berkata, Nabi SAW pada waktu subuh dalam keadaan junub,
kemudian beliau mandi dan pergi sholat subuh. Saya mendengar bacaan beliau pada
waktu itu dan beliau juga berpuasa.” (HR. Ahmad)
➢ Hadits marfu’ taqriri haqiqi
Yang dimaksud dengan Hadits marfu’ taqriri haqiqi adalah hadits yang
menjelaskan tentang perbuatan sahabat yang dilakukan di hadapan Rasulullah SAW

28
tanpa memperoleh redaksi dari beliau, baik dengan menyetujuinya atau
mencegahnya. Seperti hadits di bawah ini ;
‫لم‬:‫ه وس‬:‫لى هللا علي‬:‫ول هللا ص‬:‫ان رس‬:‫مس وك‬:‫قال ابن عباس رضي هللا عنه كنا نصلى ركعتين بعد غروب الش‬
‫يراَن ولم يأمرَن ولم ينهاَن‬
“Ibn Abbas ra berkata “kami sholat dua rakaat setelah terbenam matahari , sedang
Rasulullah SAW melihat kami dan tidak memerintahkan kepada kami atau
melarangnya.”
➢ Hadits marfu’ qauli hukmi
Hadits marfu’ qauli hukmi adalah hadits yang tidak secara tegas disandarkan
kepada sabdanya, dan marfu’nya hadits tersebut dapat diketahui karena adanya
qarinah (keterangan) yang lain, bahwa itu berasal dari Nabi SAW. Tanda-tanda
yang member petunjuk bahwa hadits tersebut adalah hadits marfu’ qauli hukmi
diantaranya adalah bahwa sebelum penyebutan matan hadits, biasanya didahului
dengan kata-kata,
seperti hadits di bawah ini:
)‫عن أنس قال أمر بالل أن يشفع األذان ويوتر اإلقامة (متفق عليه‬
“Dari Anas ra Bilal telah diperintahkan untuk mengucapkan lafaz azan secara genap
dan iqamah secara ganjil.” (Muttafaq alaih)
➢ Hadits Marfu; fi’il hukmi
Hadits Marfu; fi’il hhukmi adalah hadits yang menjelaskan tentang
perbuatan sahabat, yang dilakukan di hadapan Rasulullah SAW atau di zamannya.
Seandainya dalam hadits tersebut tidak ada penjelasan bahwa perbuatan sahabat itu
dilakukan di hadapan atau di zaman Rasulullah, maka hadits yang bersangkutan
bukan hadits marfu’, tetapi hadits mauquf, demikian pendapat Jumhur ulama.
Sedangkan pendapat sebagian ulama, walaupun tidak dijelaskan di hadapan atau di
zaman Rasulullah SAW, tetapi hadits tersebut sifatnya umum (tidak dilakukan
secara sembunyi-sembunyi), maka hadits itu tetap hadits marfu’.
Seperti hadits di bawah ini:
‫ه‬::‫عن ابن عمر قال كنا نتوضأ نحن والنساء على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من إَن ء واحد ندلى في‬
)‫أيدينا (رواه أبو داود‬

29
“Dari Ibn Umar berkata “pada zaman Rasulullah SAW kami berwudhu’ bersama
kaum wanita di dalam satu bejana. Kami menjulurkan tangan- tangan kami pada
bejana tersebut.” (HR. Abu Daud)

➢ Hadits Marfu’ Taqriri Hukmi


Hadits Marfu’ Taqriri Hukmi adalah hadits yang berisi suatu berita yang
berasal dari sahabat, kemudian diikuti dengan kata-kata “Sunnah Abi Qasim” atau
“Sunnah Nabiyyin”, “Min as-Sunnah” atau kata-kata yang semacamnya.
Seperti hadits di bawah ini:
‫ال من‬:‫ك ق‬:‫نزع خفي‬:‫ذ كم لم ت‬:‫ال من‬:‫ر فق‬:‫اب من مص‬:‫ر بن الخط‬:‫دم على عم‬:‫عن عقبة بن عامر الجهنى أنه ق‬
)‫الجمعة إلى الجمعة قال اصبت السنة (إبن ماجه‬
“Dari Uqbah bin Amir al-Juhani ra, bahwasanya dia menghadap kepada Umar bin
Khattab, setelah dia bepergian dari Mesir, maka Umar bertanya kepadanya, sejak
kapan kamu tidak melepaskan sepatu khufmu. Uqbah menjawab : sejak hari jum’at
sampai jum’at. Umar berkata kamu sesuai dengan sunnah. (HR. Ibn Majah).

3. Hadits Mauquf
A. Definisi
Hadits Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada
Sahabat, baik sanadnya bersambung maupun tidak, seperti contoh hadits di bawah
ini ;
)‫عن ابن عمر قال من استفاد ماال فال زكاة فيه حتى يحول عليه الحول (رواه الِتمذى‬
Dari Ibn Umar ra berkata : “barang siapa mendapatkan harta, maka tidak ada zakat
atasnya kecauali setelah melewati satu tahun. (HR. Turmuzi)
Hadits mauquf bisa naik statusnya menjadi hadits marfu’ apabila memenuhi
salah satu kreteria sebagai berikut :
✓ Apabila pada hadits tersebut tercantum kata-kata yang menunjukkan ‫رواية‬
‫ يبلغ به – ياثره‬- ‫ – رفعه‬: kemungkinan marfu’nya, seperti kata
: seperti hadits di bawah ini ,– ‫مرفوعا – يرفعه – يرويه‬
‫عن أبى هريرة رضى هللا عنه يبلغ به النب صلى هللا عليه وسلم الناس تبع لقريش‬

30
(‫)متفق عليه‬
Dari Abi Hurairah ra disampaikan berita kepada Rasulullah SAW bahwa orang-
orang mengikuti orang-orang Quraiys (Muttafaq Alaihi).
✓ Apabila isi hadits tersebut berkenaan dengan penafsiran Sahabat terhadap
sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an. Hal ini dapat difahami karena demikian
merupakan keadaan yang ada pada masa Nabi SAW. Oleh karenanya keterangan
atau penafsiran sahabat tentang turunnya al-Qur’an merupakan bagian dari peristiwa
yang terjadi di zaman Rasulullah SAW, contohnya penjelsan Jabir tentang sebab
turunnya ayat 223 surat al-Baqarah. Jabir berkata
‫كانت اليهود تقول من أتى امرأته من دبرها فى قبلها جاءوا لولد أحول‬.
“Orang-orang Yahudi berkata: barang siapa yang mendatangi istrinya dari bagian
belakang dari duburnya, maka akan lahir anak yang matanya juling.”
✓ Isi hadits merupakan suatau keterangan dari sahabat, tetapi keterangan
tersebut bukanlah merupakan ijtihad atau pendapat pribadi. Misalnya :
‫كان عمر وابن عباس يقصران ويقطران أربعة برد (رواه‬
‫)البخارى‬
"Umar dan Ibn Abbas mengqasar dan berbuka puasa untuk perjalan yang
berjarak empat barid (18.000 langkah). (HR. al-bukhri).

B. Status Berhujjah Hadits Mauquf


Ulama berbeda pendapat tentang apakah hadits mauquf dapat dijadikan
hujjah atau tidak. dalam hal ini ada beberapa perbedaan pendapat, antara lain;
• Imam syafi’i berpendapat bahwa hadits mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, hal
senada juga dikatakan oleh Imam Maliki.
• Ulama selain dua imam diatas membolehkan hadits mauquf sebagai hujjah, karena
hadits mauquf lebih didahulukan daripada qiyas.

4. Hadits Maqthu'
A. Definisi
Maqthu' secara lughah adalah isimma'ful dari kata kerja “Qatha'a” lawan

31
dari kata “Washala” (menghubungkan) sehingga maqthu artinya yang diputuskan
atau yang terputus, yang dipotong atau yang terpotong. Hadits Maqthu’ adalah
perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in serta di-mauquf-kan
(berhenti sanadnya) kepadanya, baik sanadnya bersambung atau tidak. Contoh
hadits maqthu’
‫ صل وعليه بد عته‬: ‫قول الحسن البصري في الصالة خلف المبتدع‬.
Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid'ah, "Shalatlah
dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan bid'ahnya".

C. Kedudukan Hadits Maqthu’


Hadits Maqthu' tidak dapat dijadiakan sebagai hujjah atau dalil untuk
menetapkan suatu hukum, karena status dari perkataan Tabi'in sama dengan
perkataan Ulama lainnya, walaupun benar penisbatannya kepada orang (Tabi`in)
yang mengatakan. Sebab hanya merupakan perkataan atau perbuatan seorang
muslim. Bukan merupakan perkataan Allah SWT ataupun Rasulullah SAW. Namun
jika terdapat tanda yang menunjukan kemarfu`an hadits tersebut. Maka yang
demikian bisa dihukumi hadits marfu’ mursal. Demikian juga jika ada tanda-tanda
kemauqufannya. Maka bisa dihukumi dengan hukum mauquf.
Adapun tempat-yempat yang diduga terdapat Hadits al-Maqthu’ dapat ditemukan
dalam :
✓ Mushannaf Ibnu AbiSyaibah;
✓ Mushannaf Abdurrazzaq;
✓ Kitab-kitab tafsir: Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibn al-Mundzir.
Dari aspek periwayatan dan sumbernya, Hadits yang diriwayatkan abu
dawud termasuk kedalam hadits maukuf karena hadits tersebut berasal dari
perkataan sahabat yakni Abu Said Alkhuduri. Hadits tersebit dibawa dari generasi
ke generasi. Dimulai dari Abu Said Alkhuduri yang secara fi’liyah melihat tindakan
nabi yang dapat dijadikan hujjah. Kemudian beliau memberitahukan hal tersebut
kepada ‘Iyad. Iyan memberitakan kepada Ibn Ijlan. Ibn Ijlan memberitakan kepada

32
Yahya. Yahya memberitakan kepada Sufyan. Sufyan memberikan kepada Hamid
Ibn Yahya.

d. Klasifikasi Hadits Dari Aspek Penyajiannya


1. Hadist Fi'liyah
Hadits Fi’liyah atau juga disebut sunnah fi'li adalah segala yang disandarkan
kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita. Segala perbuatan
Nabi SAW yang didalamnya terdapat syariat islam dikatakan fi’liyah.
Contoh hadist fi'liyah:
"Dari Siti Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW membuat heran (selalu melakukan)
dengan mendahulukan sisi kanan di dalam memakai sandalnya, menyisir
rambutnya, cara bersucinya, dan di dalam setiap keadaannya - Disepakati
keshohihan hadits oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim"
2. Hadist Qauliyah
Hadis Qauliyah adalah hadis yang didasarkan pada ucapan Nabi Muhammad
Saw. Yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk yang berkaitan dengan aspek
akidah dan akhlak. Contoh hadist qauliyah:
"Dari Sahabat Anas bin Malik, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang
siapa yang mengunjungi orang yang alim, maka dia benar-benar telah
mengunjungiku. Dan barang siapa telah mengunjungiku, maka wajib baginya
syafa'atku dan baginya setiap langkah adalah pahala orang yang mati syahid".
3. Hadist Taqririyah
Hadis Taqririyah adalah hadis yang didasarkan pada persetujuan Nabi
Muhammad Saw. terhadap perilaku para sahabatnya dalam suatu hukum Allah
SWT. Contoh hadist taqririyah:
"Dari Abu Sa'id Al Khudri radliallahu 'anhu ia berkata: "Pernah ada dua orang
bepergian dalam sebuah perjalanan jauh dan waktu shalat telah tiba, sedang mereka
tidak membawa air, lalu mereka berdua bertayamum dengan debu yang bersih dan
melakukan shalat, kemudian keduanya mendapati air (dan waktu shalat masih ada),
lalu salah seorang dari keduanya mengulangi shalatnya dengan air wudhu dan yang

33
satunya tidak mengulangi. Mereka menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dan menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi
shalatnya: "Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah cukup". Dan beliau
juga berkata kepada yang berwudhu dan mengulangi shalatnya: "Bagimu pahala dua
kali” (HR. Ad-Darimi).
4. Hadist Hammiyah
Hadits Hammiyah adalah hadis yang berupa keinginan Nabi Muhammad
Saw. yang belum terealisasikan. Contoh: Ada satu amalan sunnah yang termasuk
masih berupa keinginan Rasulullah SAW karena belum sempat terlaksana oleh
beliau. Amalan sunnah yang dimaksud adalah berpuasa sunnah pada 9 Asyura.
Keterangan tersebut didasarkan dari salah satu riwayat hadits yang dikisahkan oleh
Ibnu Abbas RA. Ia berkata, Ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: "Ya, Nabi
Muhammad! Hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan
Nasrani." Rasulullah SAW bersabda, "Tahun yang akan datang insya Allah aku
akan berpuasa pada hari yang kesembilan." (HR Muslim).
Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud ini merupakan hadits fi’liyah karena
hadits tersebut disandarkan kepada perbuatan yang dilakukan Nabi SAW. Perbuatan
Nabi Muhammad SAW ini kemudian dijadikan sebagai hujjah. Perbuatan Nabi
semasa hidupnya mengeluarkan zakat fitrah sebanyak 1 sha’ memberikan pedoman
bagi para sahabat kemudian ke tabi’in dan ke generasi selanjutnya.

F. Hikmah Yang Terkandung Di Hadits Yang Diriwayatkan Abu Dawud

Segala ucapan, perbuatan, ketentuan yang ditetapkan dan dilakukan oleh


Nabi SAW dijadikan sebagai pedoman dalam beragama. Di hadits diatas tertuang
bagaimana tata cara pembayaran zakat fitrah yang dipraktikkan langsung oleh
Rasulullah SAW sebagai suri tauladan bagi Ummat. Rasulullah mempraktikkan
ketentuan dalam zakat fitrah berupa 1 sha’. Sehingga, dapat diambil kesimpulan
bahwa dalam mengeluarkan zakat fitrah harus dalam 1 sha’ atau dikonversi menjadi

34
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud nomor 1378 mengenai zakat
fitrah ini tercatat didalam kitab Sunan Abu Dawud. Hadits ini tergolong hadits
shohih karena diriwayatkan oleh perawi yang dhabit. Seperti Abu Dawud, Bukhari,
Muslim. Dari aspek kuantitasnya, hadits ini disebut hadits mutawattir karena
diturunkan dari generasi ke generasi yang telah memenuhi syarat-syarat
kemutawattiran sebuah hadits.
Sesuai hadits diatas, tertuang bagaimana tata cara pembayaran zakat fitrah
yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah SAW sebagai suri tauladan bagi
Ummat. Rasulullah mempraktikkan ketentuan dalam zakat fitrah berupa 1 sha’.
Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam mengeluarkan zakat fitrah harus
dalam 1 sha’ atau dikonversi menjadi 3kg.

B. Saran
Hadirnya makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan teman teman
sekalian mengenai hadits, khabar, atsar, sunnah juga segala hal yang termuat
didalamnya. Kebutuhan akan mempelajari hadits haruslah dijadikan sebagai
kebutuhan primer. Karena hikmah yang terdapat didalamnya luar biasa. Salah
satunya seperti dapat mengenali diri Rasulullah dan sahabat lebih dalam, sehingga
dapat menambahkan rasa cinta kepada Rasul SAW. Allahumma shalli alaa
sayyidina muhammad.

C. Penutup
Demikian dari makalah ini, terimakasih kepada semua pihak yang sudah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga makalah ini dapat membawa
manfaat bagi penulis maupun pembaca-pembacanya. Mohon maaf apabila ada
kesalahan dalam pengetikan atau lain sebagainya. Akhir kata wassalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakat

35
DAFTAR PUSTAKA

Abror, Indal. (2020). Ilmu Matan Hadits. (Diakses pada 12 Februari 2024 pukul 07.45
WITA)

Anwar, Syamsul. (2022). Hadits Sebagai Pedoman Hidup dan Pengembangan Keilmuan.
(Diakses pada 10 Februari 2024 pukul 08.45 WITA)

Habibah, Nuraini. (2023). Struktur Hadits: Sanad, Rowi, dan Matan. (Diakses pada 11
Februari 2024 pukul 19.00 WITA)

Kharisman, Utsman. (2021). Hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’. (Diakses pada 9
Februari 2024 pukul 16.00 WITA)

Paramitha, Sintia. (2022). Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas dan Kuantitas Sanad.
(Diakses pada 11 Februari 2024 pukul 15.40 WITA)

Rahman, S. (2010). Kajian Matan Dan Hadits Dalam Metode Historis. (Diakses pada 9
Februari 2024 pukul 13.40 WITA)

Ridwan, dkk. (2021). Sumber Sumber Hukum Islam dan Implementasinya (Kajian
Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. (Diakses pada 14
Februari 2024 pukul 20.51 WITA)

Tysara, Laudia. (2023). Hadits Marfu Adalah Langsung Kepada Rasulullah SAW,
Benarkah Pasti Shahih? (Diakses pada 15 Februari 2024 pukul 08.26 WITA

Zulkifli (2015). Studi Hadits Integrasi Ilmu Ke Amal Sesuai Sunnah. (Diakses pada 9
Februari 2024 pukul 13.50 WITA)

36

Anda mungkin juga menyukai