BAB I Pendahuluan……………………………………………………………… 2
BAB II Pembahasan……………………………………………………………… 4
BAB III Kesimpulan……………………………………………………………… 15
Daftar Pustaka
1
BAB I
PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG
Al-Quran adalah kitab suci Umat Islam, yang salah satu fungsinya sebagai
petunjuk bagi seluruh umat manusia. Karena sedemikian pentingnya al-Quran,
membuat al-Quran terus terjaga dan dijaga keotentikan nya hingga hari kiamat nanti.
Di era digital dan media sosial yang semakin berkembang dan terus maju tanpa ada
batas kontrol, dan makin banyaknya media maupun individu yang membahas maupun
mengajarkan Al-Quran melalui media sosial (Facebook, Instagram, Twitter dll)
maupun media youtube yang tanpa kita tahu keabsahan pembahasannya dalam hal
pembahasan Al-Quran itu sendiri
Salah satu cara untuk menjaga keotentikan Al-Quran adalah dengan belajar
tentang ULUMUL QUR’AN serta sejarah turunnya, penulisan, dan pemeliharaan al-
qur’an dari dulu sampai sekarang. Oleh karena itu sangat penting untuk kita
mempelajari ULUMUL QUR’AN sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajiban kita
sebagai orang muslim maupun sebagai individu akademik yang harus terus
melestarikan budaya belajar tentang ULUMUL QUR’AN serta sejarah turunnya,
penulisan, dan pemeliharaan Al-Qur’an, sehingga diharapkan dapat memberi
pemahaman tentang Al-Qur’an itu sendiri.
Oleh karena itu dalam makalah ini, kami akan membahas dan menjelaskan tentang
ULUMUL QUR’AN serta sejarah turunnya, penulisan, dan pemeliharaan al-qur’an.
b. RUMUSAN MASALAH
2
4. Bagaimana Sejarah turunnya Al-Qur’an serta penulisan dan pemeliharaan Al-
Qur’an ?
Tujuan dari dibuatnya makalah ini selain sebagai tugas mata kuliah Studi Qur’an dan
Tafsir Tarbawi, juga antara
1. Mendefinisikan Ulumul Qur’an serta menguraikan ruang lingkup dan cabang-
cabang Ulumul Qur’an
2. Menceritakan serjarah serta mendiskusikan urgensi mempelajari Ulumul Qur’an
3. Mendefinisikan Al-qur’an serta menjelaskan hikmah wahyu
4. Menceritakan dan menjelaskan pemeliharaan Al-qur’an
3
BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu atau alat yang diperlukan tidak cukup satu, tetapi sangat banyak, maka
muncul istilah “Ulum Al-Qur’an” (Ilmu-ilmu Al-Quran). Kata ‘ulum’ jamak dari
‘ilm’, artinya al-fahm wa al-idrak (paham dan menguasai). Ulum Al-Qur’an adalah
sekumpulan ilmu yang membahas tentang berbagai segi dari Al-Qur’an.
Para ulama mendefinisikan ‘Ulum Al-Qur’an sebagai ilmu yang membahas hal-hal
yang berhubungan dengan Al-Qur'an dari segi aspek turun, sistematika, pengumpulan
dan penulisan, bacaan, tafsir, dan kemukjizatan.
Di samping itu masih banyak ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab al-
Itqan, Assuyuthi menuliskan cabang Ulumul Qur’an ada 80, di mana tiap-tiap cabang
terdapat beberapa cabang ilmu lagi.
4
Sedangkan menurut Abu Bakar Ibnu al-Araby,yang dikutif Muhammad Abu al-Fadhil
Ibrahim, dalam kitab al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Az Zarkasyi, cabang Ulumul
Qur’an terdiri dari 77.450 cabang ilmu. Hal ini berdasarkan kepada jumlah kata yang
terdapat dalam Al-Qur’an dikalikan empat baik makna dzahir, bathin, terbatas dan
tidak terbatas.
Perhitungan ini jika ditinjau dari sudut mufradatnya, adapun jika dilihat dari
maknanya maka tidak akan terhitung jumlahnya. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Qur’an Surat al-Kahfi: 109:
Artinya”Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”.
Ruang lingkup Ulumul Qur’an ini berkembang dan semakin kompleks sesuai
dengan kebutuhan yang perlu segera diselesaikan dalam pembahasan yang berkaitan
dengan Al-Qur’an. Akan tetapi dalam perkembangannya, Ulumul Qur’an selalu
berpegang kepada sumber-sumber dasar hukum Islam sebagai berikut:
1. Al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an terkadang memuat ayat yang global, akan tetapi dijelaskan secara
terperinci pada ayat lainnya baik membatasi atau mengkhususkannya, inilah yang
disebut tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
3. Para Sahabat
Para sahabat merupakan orang paling dekat dan tahu dengan apa yang diajarkan
oleh Rasulullah SAW. Riwayat dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah SAW
cukup menjadi acuan dalam pengembangan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
5
4. Pemahaman dan Ijtihad
Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Al-Qur’an dan tidak pula
mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah SAW, dan
banyak perbedaan di kalangan para sahabat, maka mereka melakukan ijtihad dengan
mengerahkan segenap kemampuan nalar. Hal ini mengingat mereka adalah orang
Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, dan mengetahui dengan baik aspek-
aspek yang ada di dalamnya.
Sedangkan ruang lingkup ‘Ulum Al-Qur’an ini bila ditinjau dari segi pokok
bahasannya secara garis besar terdapat dua kelompok besar yaitu:
a) Ilmu Riwayah, yaitu ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti
yang membahas tentang macam-macam Qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an,
waktu-waktu turunnya, dan sebab-sebabnya.
b) Ilmu Dirayah, yaitu ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang
diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafaz yang
gharib serta mengetahui ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Dengan melihat ruang lingkup kajian Ulum Al-Qur’an baik dari yang sederhana
sampai yang terperinci maka akan terlahir berbagai cabang disiplin Ulumul Qur’an,
dan pada suatu waktu tidak menutup kemungkinan akan timbul perkembangan baru
disiplin ‘Ulum Al-Qur’an yang pada generasi sebelumnya belum ditemukan.
6
2) Ilmu Tawarikh al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan dan menjelaskan masa
turun ayat dan tertib turunnya, satu demi satu dari awal turun hingga akhirnya dan
tertib surat dengan sempurna.
3) Ilmu Asbab al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat.
4) Ilmu Qiraat, yaitu ilmu yang menerangkan rupa-rupa Qira’at (bacaan yang diterima
dari Rasulullah SAW).
5) Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang menerangkan cara membaca Al-Qur’an, tempat mulai
dan pemberhentiannya.
6) Ilmu Ghârib al-Qur’an yaitu, ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil
yang tidak terdapat dalam kitab-kitab biasa, atau tidak terdapat dalam percakapan
sehari-hari. Ilmu ini menerangkan makna-makna kata yang halus, tinggi dan pelik.
7) Ilmu I`rab al-Qur’an yaitu ilmu yang menerangkan baris Al-Qur’an dan
kedudukan lafal dalam ta’bir (susunan kalimat).
8) Ilmu Wujûh al-Nazhair, yaitu ilmu yang menerangkan kata-kata Al-Qur’an yang
banyak arti, menerangkan makna yang dimaksud pada satu-satu tempat.
10) Ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh, yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang
dianggap mansukh oleh sebagian mufasir.
11) Ilmu Badai`u al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas keindahan-keindahan Al-
Qur’an. Ilmu ini menerangkan kesusasteraan Al-Qur’an, kepelikan dan ketinggian
balaghahnya.
12) Ilmu I’jaz al-Qur’an, yaitu ilmu menerangkan kekuatan susunan tutur Al-Qur’an,
sehingga dipandang sebagai mukjizat.
7
13) Ilmu Tanasub ayat Al-Qur’an, yaitu ilmu yang menerangkan persesuaian suatu
ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
14) Ilmu AQ.Sam al-Qur’an, yaitu ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud
sumpah yang terdapat dalam Al-Qur’an.
15) Ilmu Amsal al-Qur’an, yaitu ilmu yang menerangkan perumpamaan yang ada
dalam Al-Qur’an.
16) Ilmu Jidâl al-Qur’an, yaitu ilmu untuk mengetahui rupa-rupa debat yang
dihadapkan Al-Qur’an kepada kaum musyrikin dan lainnya.
17) Ilmu Adab al-Tilawah al-Qur’an, yaitu ilmu yang mempelajari segala bentuk
aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan di dalam membaca Al-Qur’an, serta
segala kesusilaan, kesopanan, dan ketentuan yang harus dijaga ketika membaca Al-
Qur’an.
Cabang-cabang ‘Ulum Al-Qur’an ini tidak terlepas dari faktor sejarah yang
membentuknya dalam kurun waktu yang berlangsung lama. Tidak menutup
kemungkinan cabang-cabang dari ‘Ulum Al-Qur’an akan bertambah dari waktu ke
waktu seiring dengan perkembangan-perkembangan spesifikasi ilmu yang membahas
Al-Qur’an.
pada masa Nabi segala masalah selalu dikembalikan kepada beliau. Karena itu,
kebutuhan Ulumul Qur'an pada masa itu tidak dibutuhkan. Setelah Nabi wafat dan
kepemimpinan umat Islam berada di tangan Khulafa' al-Rasyidin, mulai muncul
adanya ilmu-ilmu Al-Qur'an. Khususnya dimulai ketika adanya perintah penulisan Al-
Qur'an yang dipelopori oleh 'Utsman bin 'Affân. Karenanya, ilmu yang pertama kali
tentulah ilmu rasm Al-Qur'an, karena berkaitan dengan tulis-menulis. Posisi 'Utsman
berarti sebagai perintis awal ilmu-ilmu Al-Qur'an sehingga namanya tetap diabadikan
dengan rasm al-'Utsmâni.
8
Setelah itu, tampil 'Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti 'Utsman. Lalu, 'Ali
menugaskan Abu al-Aswâd al-Dualis merancang dan meletakkan kaidah-kaidah
nahwu. Ilmu parama- sastra ini muncul sebagai landasan yang bagus bagi timbulnya
ilmu I'rab Al-Qur'an. Usaha pengembangan ilmu Al-Qur'an ini tetap berlanjut pada
masa sahabat. Sesuai dengan kapabilitas, bobot dan kualitas sahabat, mereka
mempunyai konsen tersendiri, namun tujuan tetap sama menggali hikmah-hikmah
yang ada di dalam Al-Qur'an dan menyampaikan tafsir-tafsirnya kepada umat Islam.
Usaha mereka berikutnya dilanjutkan oleh generasi tabiin, begitu seterusnya sampai
sekarang.
Ulumul Qur’an sangat erat kaitannya dengan ilmu tafsir. Seseorang tidak akan
mungkin dapat menafsirkan al-Qur’an dengan benar tanpa mempelajari Ulumul
Qur’an. Itulah kenapa posisi dan urgensi Ulumul Qur’an bagi kita yang mempelajari
ataupun menafsirkan Al-Qur’an.
Tujuan utama Ulumul Qur’an adalah untuk mengetahui arti-arti dari untaian kalimat
al-Qur’an, penjelasan ayat-ayatnya dan keterangan makna-maknanya dan hal-hal yang
samar, mengemukakan hukum-hukumnya dan selanjutnya melaksanakan tuntunannya
untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
9
5. Sebagai senjata dan tameng untuk menangkis tuduhan dan keraguan pihak lawan
yang menyesatkan tentang isi dan kandungan dari al-Qur’an. Letak urgensi dalam
mempelajari Ulumul Qur’an yaitu pemahaman yang baik terhadap Ilmu ini
merupakan neraca yang sangat akurat dan dapat dipergunakan
a. Pengertian Al Qur’an
Pengertian Al-Qur'an secara terminologi (Istilah) Para ulama pun berbeda pendapat
tentang pengertian ini. Menurut Manna Al-Qaththan beliau mengatakan bahwa Al-
Qur'an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan
membacanya mendapat pahala. Sedangkan menurut Abu Shahbah dia mengemukakan
pendapatnya bahwa Al-Qur'an itu katanya kitab Allah yang diturunkan baik lafazh
maupun maknanya kepada Nabi terakhir Muhammad SAW yang diriwayatkan secara
mutawir yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan (akan kesesuaiannya dengan
apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad)
10
lawan-lawannya, mudah dipahami dan dihafal, susunannya akan lebih baik. sesuai
dengan kejadian lalu lintas.
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa-masa awal kehadiran agama Islam,
bangsa Arab tempat diturunkannya Al-Qur'an tergolong ke dalam bangsa yang buta
huruf, sangat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca. Masa itu
belum mengenal kertas, sebagaimana kertas yang dikenal sekarang. Meskipun bangsa
Arab pada saat itu masih tergolong buta huruf pada awal penurunan Al-Qur'an, tetapi
mereka dikenal memilki daya ingat (hafal) yang sangat kuat. Mereka terbiasa
menghafal berbagai sya'ir Arab dalam jumlah yang tidak sedikit atau bahkan sangat
banyak.
Pada masa Nabi Muhammad Saw. penulisan dilakukan dengan dan dalam media
yang terbatas. Mereka menulisnya pada pelepah tamar (kurma), lempengan batu,
daun lontar, kulit/daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Adapun alat
yang digunakan untuk menulis wahyu pada saat itu juga masih sangat sederhana.
Para sahabat menulis Al- Qur'an pada usub (pelepah kurma), likhaf (batu halus
berwarna putih), riqa (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang
biasa dipasang di atas punggung unta). Salah seorang sahabat yang paling banyak
terlibat dalam penulisan Al-Qur'an pada masa nabi adalah Zaid bin Tsabit. Dan juga la
terlibat dalam pengumpulan dan pembukuan Al-Qur'an masing-masing di masa Abu
bakar dan Utsman bin Affan.
11
Pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah disibukkan oleh para pembangkang. Dalam
penumpasan inilah, banyak sahabat yang menjadi syahid, terutama mereka yang menyandang
gelar sebagai huffäzh Al-Qur'an. Para penghafal Al-Qur'an semakin menipis jumlahnya akibat
peperangan di Yamamah, para sahabat yang syahid mencapai tujuh puluh orang lebih. Jumlah
yang cukup banyak itu di mata 'Umar bin Khathab sangat mengkhawatirkan, juga
mencemaskan kelangsungan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Atas
kegeniusan dan kecemerlangan visi ke depannya itu, Umar dengan inisiatifnya itu kemudian
mengusulkan pengumpulan dan pembukuan Al-Qur'an kepada Abu Bakar.
Memang pada mulanya Khalifah Abu Bakar keberatan, namun dengan argumen yang
dikemukakan oleh Umar, akhirnya Abu Bakar menerima usulan itu. Usaha itu dimulai dengan
mengumpulkan para sekretaris Nabi. Terutama Zaid bin Tsabit, walaupun melalui perdebatan
dengan Abu Bakar dan Umar, akhirnya ia menyetujui tugas yang bakal diemban- nya. Ia
mulai mengumpulkan Al-Qur'an yang masih berserakan di pelepah-pelepah kurma, kepingan-
kepingan batu, dan dari hafalan para penghafal Al-Qur'an. Pendek kata, Zaid bin Tsabit
melakukan tugas mulia dan berat, dengan hati-hati sehingga keautentikan Al-Qur'an benar-
benar asli dan terjaga. Akhirnya, tersusunlah apa yang disebut mushaf seperti yang ditugaskan
oleh Abu Bakar di samping mushaf-mushaf lain. yang bersifat mushaf pribadi seperti mushaf
milik 'Ali, 'Ubai, dan mushaf Ibn Mas'ud, tetapi mushaf-mushaf ini tidak ditulis secara teratur
sebagaimana mushaf Abu Bakar".
Pada masa khalifah Abu Bakar, yang dikenal dengan mushaf Abu Bakar,
penjagaan dan pemeliharaan Al-Qur’an dilanjutkan oleh khalifah Umar Bin Khatab
setelah Abu Bakar wafat. Mushaf Abu Bakar yang semula tetap berada di rumah
beliau akhirnya diserahkan pada Umar Bin Khattab. Mushaf tersebut dipindahkan ke
rumah Umar Bin Khattab dan dijaga selama masa pemerintahannya selesai, yakni
ketika beliau wafat dipindahkan ke rumah Hafsah,putrinya, juga istri Rasulullah Saw
sampai masa pengumpulan dan penulisan ulang Al-Qur’an pada masa sahabat Utsman
Bin Affan.
12
Pada masa Umar Bin Khattab telah terjadi penyebaran islam yang sangat baik.
Banyak wilayah-wilayah luar Jazirah Arab memeluk agama islam. Penyebaran ini
lebih dari sekadar mengirimkan lembaran-lembaran mushaf Al-Qur’an tetapi juga
disertai dengan pengajarannya. Khalifah Umar Bin Khatab mengirim sekitar 10
sahabat sahabat ke Basrah untuk mengajarkan Al-Qur’an dan mengirimkan sahabat
Ibnu Mas’ud ke Kufah untuk melakukan misi yang sama.
Selain mengirim dua sahabat ke Basrah dan Kufah, Umar juga mengirimkan dua
utusan ke Palestina, mereka adalah sahabat Muadz Bin Jabal, Ubadah, dan Abu Darda
ra. Setelah berdakwah dan mengajarkan dikota Homs, salah satu di antara mereka
diutus untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Damaskus dan beberapa tempat lain
di Palestina. Umar Bin Khatab juga mengirimkan beberapa utusan ke negara dan
wilayah lain untuk mengajarkan Al-Qur’an.
Menjelang beliau wafat, beliau memang bermaksud menyerahkan Mushaf Abu Bakar
pada salah satu dari enam sahabat, akan tetapi, beliau khawatir dianggap mendukung
sahabat yang akan menerima mushaf sebagai khalifah berikutnya untuk mengganti
masa kekhalifahan beliau yang akan berakhir. Umar berpesan hendaklah
bermusyawarah dalam memilih khalifah. Lalu beliau memutuskan mushaf disimpan
di rumah putrinya Hafsah, salah seorang pengafal Al-Qur’an terbaik yang dimiliki
umat islam saat itu.
Pada masa Usman bin Affan untuk pertama kalinya al-Qur'an ditulis dalam satu
mushaf Kebijakan tersebut, yaitu untuk membuat sebuah mushaf standar yang ditulis
dengan sebuah jenis penulisan yang baku yang dikenal dengan istilah cara penulisan
(rasam) Usmani yang digunakan hingga saat ini. Jumhur ulama dari salaf dan khalaf
berpendapat bahwa mushaf dengan rasam Usmani meliputi "huruf yang tujuh" dan
memuat bacaan terakhir yang dibacakan Nabi Saw. kepada Jibril tanpa meninggalkan
satu huruf pun. Dalam kaidah bahasa Arab disebutkan, bahwa "Lafazh harus ditulis
dengan huruf- huruf hija dengan memperhatikan permulaan dan pemberhentiannya".
Karena itu, para ulama nahwu (gramatika Arab) telah meletakkan dasar-dasar dan
kaidah-kaidahnya. Tetapi, khath (tulisan) mushaf rasam Usmani dalam beberapa
13
hurufnya berbeda dengan kaidah-kaidah tersebut. Karena itu, dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat.
Menurut Imam Malik, penulisan mushaf harus ditulis sesuai dengan penulisan
yang pertama (Usmani) dan tidak boleh ditulis dengan kaidah-kaidah yang diciptakan
oleh orang-orang sekarang. Sedangkan menurut Imam Ahmad, penulisan mushaf
tidak boleh menyalahi khath mushaf Usmani, baik menyangkut penulisan huruf wau,
ya', alif, maupun huruf lainnya.
14
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16