Anda di halaman 1dari 19

FIQIH DAKWAH

(ISLAMISASI DI PALU SULAWESI-TENGGARA)


Dosen Pengampu : Rudi Wahyudi, M.A

Disusun Oleh:
Ibnu Hajar

Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir


SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AR-RAHMAN
JONGGOL, BOGOR
1442H/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah ‫ ﷻ‬atas
segala nikmat yang dicurahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Sholawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita semua ummatnya yang masih konsisten
dengan ajaran yang di bawah oleh beliau.

Dalamm penulisan makalah ini penulis tidak menjamin bahwa tulisan ini sudah
sempurna. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran kepada pembaca untuk
memberikan kritik dan saran kepada penulis. Hal ini dengan tujuan untuk perkembangan
dan kemajuan penulis dalam penulis selanjutnya.

Enrekang, 24 Februari 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fiqih dakwah terdiri dari dua kata yaitu fiqih dan dakwah. Secara bahasa kata
fiqih memiliki dua makna. Pertama adalah mengerti secara langsung atau hanya sekedar
mengerti saja. Makna kedua ialah sebuah pemahaman yang bersifat luas dan mendalam.
Sedangkan fiqih secara istilah ialah ilmu yang mempelajaru hukum-hukum syariat yang
bersifat amaliah berdasarkan dalil-dalil yang ada.

Kata dakwah berasal dari bahasa arab da’a yang berarti menyeru, mengajak.
Sedangkan secara istilah dakwah adalah kegiatan menyeru dan menyakinkan orang lain
supaya menerima sesuatu kepercayaan.

Dari penjelasan di atas dapat di taruk kesimpulan bahwa fiqih dakwah adalah
memberi pemahaman, pengetahuan untuk mengenali hak diri dan tanggung jawab
sebagai seorang yang menyebarkan seruan islam kepada semua manusia untuk mengajak
mereka mengenali Allah ‫ ﷻ‬.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman keadaan di palu Sulawesi tengah pra-islam?
2. Bagaiman proses masuknya islam ke palu Sulawesi tengah?
3. Siapa saja tokoh penyebar islam di palu Sulawesi tengah?
C. Tujuan
1. Mengetahui kondisi dan keaadaan Palu Sulawesi Tengah pra-Islam?
2. Mengetahui proses masuknya Islam ke Palu Sulawesi Tengah?
3. Mengetahui tokoh-tokoh yang menjadi penyebar islamm di Palu Sulawesi
Tengah?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Palu Sebelum Islam

Secara geologi Palu berupa lembah. Menurut Abendanon seorang ahli geografii
belanda menjelaskan bahwa daratan palu dulunya membentuk sebuah danau gunung
kemudian bersambung dengan teluk yang sudah ada. Penyataan ini memperkuat cerita
bahwa tepi laut teluk Palu dulunya sampai ke batas Kerajaan Bangga dan Sigi (Bora).
Abendanon juga memperirakan bahwa proses laut mengalami pengeringan dan menjadi
lembah seperti sekarang diakibatkan oleh peristiwa gempa bumi.1

Asal usul nama Kota Palu adalah kata Topalu’e yang artinya tanah yang
terangkat karena daerah ini awalnya lautan. Peristiwa gempa bumi lalu terjadi pergeseran
lempeng (Sesar Palu Koro) sehingga daerah yang tadinya lautan, terangkat dan
membentuk daratan lembah yang sekarang menjadi Kota Palu dan terdiri dari 8
kecamatan (Palu Barat, Ulujadi, Palu Selatan, Tatanga, Palu Timur, Mantikulore, Palu
Utara, dan Tawaeli) dan 45 kelurahan.2

Wilayah lembah dan teluk palu dalm beberapa sumber biasanya disebut Caile,
Kylie, Kajeli, Cajeli dan Palosbaai (Teluk Palu). Dalam buku Valentijn disebutkan
bahwa daerah Kaili terdiri dari dua puluh tiga negeri, yakni: Cajeli, Lero, Laboang,
Wanni, Baja, Roedana, Badi, Kaymolove, Rano, Taipa, Batotela, Dolo, Mambora,
Bizemaroe, Walawantoe, Sidondo, Prigi, Sigi, Plolo, Tonde-Biro, BoloAuw, Pakkoeli,
dan Lindoe. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kategori 23 kampung tersebut
berada di pesisir laut Teluk Palu, sedangkan 5 kampung berada di pegunungan. Wilayah
Palu dalam hal ini terdiri atas: Taboelanga, Tagari, Tendame, Boya, Tatanga, Bongi,
Laswangi, dan Poeloe.3

1
Jamrin Abubakar, Mengenal Khazanah Budaya Dan Masyarakat Lembah Palu, ( Palu:
YKST, 1999), 6-7.
2
Minan Nur, Pengembangan Dakwah AlKhairat di Kota Palu, Al-Misbah, Vol. 12 No. 1 Januari-Juni
2016: Hal. 37
3
Haliadi, Karakteristik Ulama Penyiar Agama Islam di Palu, Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol.
10, No. 1, 2021, Hal. 136

5
Data tersebut menunjukkan bahwa setiap kampung di wilayah Palu dipimpin oleh
raja atau kepala suku.4 Pada masa itu sering terjadi perang antar kampung atau suku yang
mana ini menjadi cikal bakal munculnya kerajaan besar di Teluk Palu seperti Banawa,
Sigi, Palu, dan Tawaeli. Beberapa kampung akhirnya melakukan persekutuan Bersama
untuk menghadapi musuh. Dalam proses perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan
system social di Teluk Palu, masyarakat di sana mulai Menyusun suatu system
pemerintahan yang lebih baik.5 Yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang Magau (Raja). Saat itu yang terpilih sebagai Magau I kerajaan
Kaili adalan Pue Nggarai.6

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Kaili masih Hidup di dalam kepercayaan


traditional. Masyarakat kaili mengenal kepercayaan adanya Karampua Langi (penguasa
langit, roh yang mengatur iklim. cuaca, bulan dan matahari, gerhana bulan dan matahari,
serta benda-benda langit lainnya), dan Karampua Ntana (penguasa tanah/bumi, karena
dipecaya dapat mengatur kehidupan di bumi. gempa, banjir, angin ribur, dan lain-lain).7

Masyarakat juga memiliki kepercayaan kepada kekuatan arwah yang dapat


menyembuhkan berbagai macam penyakit. Hal ini diketahui dengan adanya sebuh ritual
dan kepercayaan traditional yang disebut Balia. Secara bahasa ‘balia’ berasal dari bahasa
kaili ’nabali ia’ yang artinya ’berubah dia’. Perubahan yang dimaksud adalah ketika
seseorang telah dirasuki oleh roh halus sehingga segaal prilaku, perbuatan, cara berbicara
hingga cara berpakaian orang tersebut akan berubah. Perubahan ini sesuai dengan
karakter roh halus yang masuk ke dalam tubuhnya. Makna lain dari ‘balia’ adalah lebih
dikonotasikan ke penyakit yang diderita oleh orang yang melangsungkan upacara ini
8
untuk merubah dari ‘sakit’ menjadi ‘sembuh’. Tujuan pokok ‘balia’ adalah sebagai
penyembahan, permohonan dan perlindungan kepada kekuatan gaib sebagi sumber
pemberi rezeki, keselamatan sekaligus malapetaka bagi manusia. Sistem kemasyarakatan

4
Ismail Syawal. Syekh Abdullah Raqi: Orang Minangkabau Penyebar Islam di Palu Pada Abad XVII,
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol.5 No.2 November 2019 Hal. 196
5
Sofjan B. Kambay, Perguruan Islam Alkhairat Dari Masa KeMasa, (Palu: Tim Peneliti
S.K.P.B Al-Khairat, 1991), 3.
6
Masyhudin H. Hasyuda, Palu Meniti Zaman, (Palu: Yayasan Kebudayaan Sulawesi
Tengah Bekerjasama Dengan Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kota Palu, 2000), 101.
7
Ismail Syawal. Syekh Abdullah Raqi: Orang Minangkabau Penyebar Islam di Palu Pada Abad XVII,
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol.5 No.2 November 2019 Hal. 194
8
Jamrin Abubakar, Mengenal Khazanah Budaya Dan Masyarakat Lembah Palu, ( Palu:
YKST, 1999) Hal. 23

6
dan kepercayaan tradisional seperti yang diuraikan di atas bertahan hingga agam Islam
masuk ke wilayah lembah Palu.

B. Proses Masuknya Islam ke-Palu

Proses masuknya islam ke wilayah Sulawesi Tengah relatif lebih lambat


dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.9 Dan masuknya Islam ke Lembah
Palu diyakini sebagai tonggak awal modernisasi masyarakat Sulawesi Tengah. Secara
garis besar, perkembangan Islam di Lembah Palu di bagi menjadi tiga periode, yaitu
Periode Mitologi, Periode Ideologi, dan Periode Ilmu Pengetahuan.10

1. Periode Mitologi

Menurut C. Kruyit, agama islam pertama kali masuk ke tanah kaili pada awal
11
abad ke 17 Masehi di bawah oleh seorang Ulama dari Minangkabau. Nama ulama
tersebut adalah Abdullah Raqie yang masyarakat kaili pada saat itu menyebutnya dengan
gelar Dato Karama. Beliau datang bersama dengan keluarga dan pengikutnya kurang
lebih sebanyak lima puluh orang. Beliau datang bersama istinya yang bernama Ince Jille,
iparnya yang bernama Ince Saharibanon, dan anaknya bernama Ince Dingko.Perjalanan
Dato Karama meninggalkan tanah kelahirannya disebabkan oleh suatu pertikaian antara
keluarga kemudian hijrah selamanya ke tanah Kaili dan bermaksud menyebarkan ajaran
Islam di sana.12

Periode Islam mitologis di Palu Sulawesi Tengah ditandai dengan ceritacerita


mitos tentang Agama Islam.13 Menurut kepercayaan lokal, Dato Karama adalah seorang
yang keramat, sehingga pada waktu memasuki Teluk Palu, arus sedang derasderasnya
sehingga perahunya terdampar di pantai, tetapi setelah perahunya terdampar, perahu
9
Azyurmadi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan
Media Utama, 2002), 166. Hal. 166
10
Nurdin Nurdin, Sejarah Dakwah Dato Karama: Menelusuri Ulama Sumatera Barat Penyebar Islam di
Lembah Palu, Al-Mishbah, Vol. 14, No. 2, Juli-Desember 2018 Hal. 232
11
Jamrin Abubakar, Mengenal Khazanah Budaya Dan Masyarakat Lembah Palu, ( Palu:
YKST, 1999) Hal. 28
12
Nurdin Nurdin, Sejarah Dakwah Dato Karama: Menelusuri Ulama Sumatera Barat Penyebar Islam di
Lembah Palu, Al-Mishbah, Vol. 14, No. 2, Juli-Desember 2018 Hal. 228
13
Ismail Syawal. Syekh Abdullah Raqi: Orang Minangkabau Penyebar Islam di Palu Pada Abad XVII,
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol.5 No.2 November 2019 Hal. 190

7
tersebut, berubah menjadi tikar yang membentang dan layarnya merupakan suatu
perkemahan. Pantai tempat terdamparnya perahu Dato Karama itu disebut Karampe
artinya tempat perahu terdampar. Tempat tersebut sampai saat ini disebut kampung
Karampe. Rombongan Dato Karama, termasuk keluarganya menetap di Palu dan
terjadilah perkawinan dengan turunan raja-raja. Hal itulah yang mempercepat proses
perkembangan Islam di lembah Palu dan Sulawesi Tengah pada umumnya.

Ada dua versi kedatangan Dato Karama ke Sulawesi Tengah baik dalam hal
kapan dan bagaiman kedatangan beliau ke Palu. Menurut waktu kedatangannya,
pendapat pertama mengatakan bahwa beliau datang pada tahun 1645 M sedangkan
pendapat lain mengatakan bahwa beliau datang pada tahun 1606. Tapi yang pasti pada
Tahun 1681, telah dijumpai pemeluk Islam di Wilayah Palu. 14 Kemudian berkaitan
dengan jalur kedatangan beliau, pendapat pertama mengatakan bahwa datang melalui
Ternate Banggai lalu Pergi ke Parigi dan Kemudian ke Palu. Kemudian yang lainnya
adalah melalui Ternate, Gorontalo, Buol, Teluk Tomini, Parigi dan berakhir di Kota
Palu. Ia datang ke Teluk Palu dengan menggunakan perahu.15

Kedatangan Dato Karama beserta rombongan menjadi pusat perhatian


masyarakat di Sulawesi Tengah, terutama masyarakat Lembah Palu sebagai tempat
berlabuhnya sang Dato. Hingga saat ini masyarakat selalu mengaitkan kedatangan beliau
dengan peristiwa mistis. Nama Dato Karama diberikan oleh masyarakat Sulawesi
Tengah untuk menandai peristiwa aneh ini. Ia datang menggunakan perahu jenis Kora-
Kora dengan membawa alat kebesaran seperti bendera kuning, panji orang-orangan,
puade, jijiri, bulo, gong, dan kakula(Kulintang).16

Dato Karama tiba di Palu di sambut oleh Raja Palu yang bernama Nggari. Dato
Karama kemudian mengenalkan Agama Islam kepada tiga bangsawan Palu saat itu yaitu
Pue Nggari sendirim Pue Njidi, dan Pue Bonggo. Keluarga Daro Karama yang datang
bersama beliau kemudian mejalin hubungan perkawinan dengan penduduk setempat

Valentijn. 1856 [Edisi pertama, 1724]. Oud en Nieuw Oost-Indien Deel I. [Ed. S. Keyzer], s
14

Gravenhage: H. C. Susan
15
Nurdin Nurdin, Sejarah Dakwah Dato Karama: Menelusuri Ulama Sumatera Barat Penyebar Islam di
Lembah Palu, Al-Mishbah, Vol. 14, No. 2, Juli-Desember 2018 Hal. 227
16
Nurdin Nurdin, Sejarah Dakwah Dato Karama: Menelusuri Ulama Sumatera Barat Penyebar Islam di
Lembah Palu, Al-Mishbah, Vol. 14, No. 2, Juli-Desember 2018 Hal. 229

8
sehigga melahirkan keluarga campuran yang disebut ‘paranaka’.17 Oleh karena itu,
segala alat kebesaran Dato Karama yang berupa bendera kuning, panji orang-orangan,
puade, jijiri, bulo dan kakula dipersembahkan kepada raja. Hal ini dilakukan dengan
maksud untuk memperat ikatan keluarga.

Ada tiga tujuan utam dakwah yang dilakukan oleh Dato Karama, yaitu:

Pertama, menanamkan akidah yang mantap di setiap hati seseorang, sehingga


keyakinannya tentang ajaran Islam tidak dicapai dengan rasa keraguan.

Kedua, tujuan hukum. Dakwah harus diarahkan kepada kepatuhan setiap orang
terhadap hukum yang telah di syariatkan (ditetapkan) oleh Allah ‫ ﷻ‬yang
ditujukan untuk hamba-Nya, baik melalui al-Qur’an ataupun dengan sunnah Nabi
‫ ﷺ‬yang berupa perkataan, perbuatan dan pengakuan.

Ketiga, menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat Lembah Palu.


Sehingga terbentuk pribadi muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat-sifat
terpuji dan bersih dari sifat tercela.

Daro Karama mulai menjelaskan maksud kedatangan dan memberitahukan


tentang Islam. Diatara orang yang pertama memeluk agama Islam ialah Pue Nggari
sendiri bersama putranya. Kabar masuk Islamnya kedua bangsawan ini begitu cepat
tersebar di masyarakat Lembah Palu dan akhirnya masayarakat mulai mengikuti jejak
mereka.18

Dalam berdakwah beliau tidak memaksa dan cenderung menempuh jalan damai,
dengan Tindakan yang nyata. Adapun metode dakwah beliau ialah dengan
memanfaatkan kesenian sebagai media dakwah seperti menggunakan kakula atau gong
serta tembang untuk mengisi rohani umat islam saat itu. Datuk Karama juga
memanfaatkan media masyarakat sebagai sarana penunjang dakwah dan berusaha keras
menciptakan budaya baru yang penuh kreatifitas sehingga lahirlah aneka jenis mainan
anak-anak yang bermafaat sesuai falsafat islami, baik berupa tembang atau lagu, kakula,
musik bambu dan aneka jenis permainan lainnya. Datuk Karama juga menciptakan sastra

17
Haliadi, Karakteristik Ulama Penyiar Agama Islam di Palu, Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol.
10, No. 1, 2021, Hal. 137
18
Nurdin Nurdin, Sejarah Dakwah Dato Karama: Menelusuri Ulama Sumatera Barat Penyebar Islam di
Lembah Palu, Al-Mishbah, Vol. 14, No. 2, Juli-Desember 2018 Hal. 230

9
kaili yang sangat tinggi nilai estetis dan falsafahnya, seperti suluk, dan beberapa karya
sastra lainnya.19

Ajaran Islam yang diperkenalkan oleh Dato Karama adalaj ajaran ar-riyadhah,
ar-ridha dan al-mardiyyah. Ar-riyadhah adalah adalah optimalisasi latihan jasmani dan
rohano untuk mencapi tujuan rohani (maqamat)i. Dari satu amalan ke amalan lainnya,
terdapat berbagai tingkatan maqamat, salah satunya ridha. Ajaran ini berasal dari “Hizb
Bahr”, yang di dalamnya terdapat riyadhah-riyadhah. Sedangkan Ar-Ridha adalah
tahapan perjalanan Riyadah yang siap menerima keputusan Allah. Ajaran Dato Karama
pada akhirnya adalah Mardiyyah yaitu tentang konsep ketenangan hidup.20

Dato Karama dalam dakwahnya, menggunakan pendekatan syariat, budaya, seni


dan tasawuf. Dato Karama menggunkan5 pilar ajaran, antara lain:

a. Natau, artinya membuka cara pandang orang Kaili untuk memiliki ilmu
pengetahuan.
b. Kasiromu Mpu Karja, artinya membentuk tim kerja dalam menyukseskan
usaha bersama.
c. Namanusia Mpu, artinya mengimplementasikan prinsip-prinsip kemanusiaan
dan interksi sosial, seperti: Nemo Rakalingasi Tupu, Nemo Malanga Rara,
Nemo Deraurusi, Nemo Masala Rapojarita, Nemo Madava, Nemo Rapovia
Da´. Artinya; Jangan lupa Tuhan dalam segala aktivitas, jangan
membanggakan diri, jangan mengabaikan lingkungan sekitar, jangan salah
bicara, jangan berbohong, jangan menyinggung orang lain.”
d. Mompakanoa Jarita, artinya jujur dalam berbicara.
e. Ponturo Pompeguru, artinya menjadikan diri sebagai pusat pembelajaran (Ali,
2014:73)

Selain Dato Karama, terdapat juga dua ulama lainnya yang kedatangannya
hampir bersamaan dengan datangnya beliau di ke Lembah Palu. Kedua ulama tersebut
adalah Daeng Konda dari Mandar Sulawesi Barat dan juga Syekh Lokia dari Donggala.
Daeng Konda yang biasa dipanggil Pue Bulangisi yang menjadi ulama Islam
19
Moh. Ali, Sejarah Penyebaran Islam Pada Masa Datuk Karama Abad Xvii Di Lembah
Palu, ed. Syaifulla, M. S, Jurnal Penelitian Ilmiah, ol. 1, No. 2 Juli-Desember P3M STAIN
Datokarama Palu, (Palu: ISTIQRA, 2013), 164
20
Haliadi, Karakteristik Ulama Penyiar Agama Islam di Palu, Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol.
10, No. 1, 2021, Hal. 138

10
pendamping Raja Daesalemba di Kerajaan Tavaeli diceritakan datang dari Mandar
dengan menaiki sajadah. Demikian juga dengan cerita mengenai Syekh Lokia yang pergi
ke tanah Arab hanya mengedipkan mata.21

Daeng Konda berasal dari daerah Cendrana Mandar yang datang ke Tavaeli Palu
untuk mengislamkan Raja dan Masyarakat Kerajaan Tavaeli. Beliau di panggil dengan
nama Pue Bulangisi karena giginya yang putih sebab pada masanya beliau tidak makan
sirih seperti orang-orang tua lainnya di Tavaeli. Tokoh inilah yang mengislamkan Raja
Tavaeli yang bernama Raja Dasalemba yang berkuasa di Tavaeli. Di dalam sebuah
Riwayat dikatakan bahwa beliau datang dengan menaiki selembar sajadah.

Ajaran Islam yang dikembangakan oleh Pue Bulangisi adalah ajaran tentang
Khalwatiah karena beliau adalah murid dari Syekh Yusuf Al-Makassari. Syekh Yusuf
berkata bahwa awal perbuatan memasuki jalan tasawuf adalah memiliki pengetahuan,
lalu beraman, dan hasil keduanya akan sampai pada penyerahan diri dan memperoleh
karunia Tuhan. Menurut Syekh Yusuf, fana adalah manusia yang telah melupakan
dirinya dalam angan-angan maupun kesadarannya, ---bukan mabuk kepayang--- keadaan
dirinya ada dalam kefanaan, hanya saja dirinya diketahui sebagai yang mewujudkan,
yang maujud, dan perwujudan, inilah yang disebut maujud dalam Allah SWT. Manusia
merasa meng-ada dengan Tuhan, jika menyifati sebagai sifat Tuhan. Tuhan tetap adanya,
walaupun tajalli dan ta’ayyun dalam hamba-Nya, dan menyifati sebagian sifat-sifat
hamba-Nya. Daeng Konda menyatukan ajaran ini dengan pemahaman local terhadap
pengobatan tradisional yakni upacara “Balia.”

2. Periode Ideologi

Paskah periode mitologi, pada abad ke 18 islam di palu memasuki periode


ideologi yang ditandai dengan kedatangan orang-orang Bugis dan Mandar di Lembah
Palu. Mereka dikenal sebagai Kare-Kare (Karaeng) termasuk di dalamnya La Iboerahima
Wartabone dari Gorontalo pada tahun 1842 dengan mengembankan Islam secara
Ideologis.22 Selain itu terdapat pula tokoh lain seperti Sayyed Aqil Al Mahdali dari
Hadramaut, Sayyed Baharullah Al Aidid dari Cikoang Makassar, La Satande Dunia dari
21
Haliadi, Karakteristik Ulama Penyiar Agama Islam di Palu, Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol.
10, No. 1, 2021, Hal. 137
22
Ismail Syawal. Syekh Abdullah Raqi: Orang Minangkabau Penyebar Islam di Palu Pada Abad XVII,
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol.5 No.2 November 2019 Hal. 190

11
Tatanga Palu, Yojofuri dari Besusu Palu, Lasadindi dari Enu. Mangge Rante atau Pue
Lasadindi berasal dari Enu Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah.

Problem diskontinuitas sejarah dalam historiografi Islam di Sulawesi Tengah


semakin jelas terlihat khususnya jika kita memperhatikan selisih tahun kedatangan antara
Datokarama dan Guru Tua yang terpaut lebih dari tiga abad. Dari selisih ini, dan
mengingat tidak adanya penulisan sejarah yang mendalam mengenai perkembangan
Islam pada masa di antara kedua tokoh tersebut, muncul hipotesis di sekitar kita bahwa
perkembangan Islam di Sulawesi Tengah mengalami kevakuman pasca Datokarama, di
mana kevakuman ini baru berakhir saat kedatangan Guru Tua di tahun 1929.

Tetapi jika kita melihat lebih seksama sumber-sumber sejarah tentang


perkembangan Islam di Sulawesi Tengah, kita dapat melihat bahwa dalam periode antara
Datokarama dan Guru Tua tersebut, Islam dikembangkan oleh para mubaligh maupun
pedagang yang berasal dari Mandar, Bugis, dan Makassar seperti Pilewiti di Tojo dan
Pue Bulangisi di Tawaeli. Kedatangan para mubaligh dan pedagang dari Mandar, Bugis
dan Makassar ini merupakan awal periode Ideologis dalam perkembangan Islam di
Sulawesi Tengah. Sampai saat ini, kita masih melihat pengaruhnya dalam kehidupan
masyarakat islam Sulawesi Tengah seperti, model mengaji huruf ugi, barasanji, dan yang
utama adalah eksistensi kebudayaan “selatan” yang mengalami akulturasi dengan budaya
Sulawesi Tengah.

Sudah sejak lama orang-orang Bugis dan Mandar dikenal sebagai perantau,
pelaut dan pedagang. Selain itu mereka juga dikenal sebagai muballigh yang
menyebarkan ajaran agama Islam melalui ceramah dan dakwah dan juga berperan
sebagai guru-guru mengaji. Meskipun jalan yang mereka tempuh hanya melalui ceramah
dan dakwah secara sepintas, dimana mereka datang dan tidak lama kemudian mereka
kembali ke daerah asalnya, namun kedatangan mereka ikut mewarnai dan menambah
ilmu keagamaan bagi masyarakat Islam di Lembah Palu.

Disebut sebagai periode ideologi, karena Islamisasi yang dilakukan oleh orang-
orang Bugis Makassar yang bermigrasi ke Sulawesi Tengah, dimulai dengan penanaman
idiologi sebagai akibat dari ditandatanganinya Perjanjian Bongaya oleh Raja Gowa yang
menyebabkan bangsawan-bangsawan Bugis Makassar kehilangan status
kebangsawananya dan berupaya mencari hegemoni di tempat lain. Mereka membentuk

12
mitos-mitos agar dapat diterima di masyarakat lokal dan mencari legitimasi agar mereka
leluasa berdagang sekaligus menyiarkan Islam. Dalam pengajaran membaca Al-Quran
(mangaji), mereka menggunakan metode ejaan bugis dan hingga saat ini masih banyak
masyarakat Palu yang menggunakan metode tersebut. Mereka juga membawa naskah
lontara (Lontara dalam bahasa Bugis bisa berarti aksara karena awalnya ditulis di daun
lontar, bermakna sejarah, dan juga kitab atau naskah. Jadi tergantung konteksnya.
Misalnya “ma‟baca lontara” yang berarti membaca lontara, merujuk kepada benda yakni
kitab atau naskah) yang mengajarkan bagaimana tata karma dalam berkehidupan, di
samping yang utama tentunya mengajarkan nilai-nilai dalam Al- Quran.

Selain para muballigh dari Bugis dan Mandar, pada periode ini juga terdapat
beberapa ulama yang juga berpengaruh. Ialah Pu Lasadindi, seorang putra aslli Kaili
yang lahir di Enu Wilayah Kabupaten Donggala. Beliu lahir dari keluarga Bangsawan
Kaili di Enu. Tokoh ini hidup antara tahun 1828-1958, mulai dari kelahirannya hingga
kematiannya dipenuhi oleh cerita mitos yang hampirhampir membuat tokoh ini bukan
manusia biasa. Namun, Tokoh ini sebagai manusia biasa yang memiliki keluarga,
memiliki murid dan aktif dalam organisasi Syarekat Islam Sulawesi Tengah. Menurut
keterangan buku “Sinduae Tana Pamula” dikatakan bahwa Pue Lasadindi menikah
dengan sebelas orang perempuan di Kampung Enu, Wani, Besusu, Pantoloan, Sidole,
Ambesia, Alindau, Toaya, Kalora, dan Kampung Vayanga.

Kegiatan Pue Lasadindi adalah berdakwah dan secara resmi bergabung kedalam
Sarekat Islam (SI) pimpinan HOS. Cokroaminoto pada tahun 1917. Beliau melakukan
dakwah Islam di daerah-daerah terpencil dimana terdapat suku-suku terpencil. Beliau
membuat cara berdakwah yang mudah dipahami oleh pemeluk agama Islam di Sindue
yakni menciptakan Pangaji Tonji. “Pangaji Tonji ini berbentuk ‘buku’ atau lontara yang
berisi ajaran-ajaran Pue Lasadindi. Pue Lasadindi selalu bilang, tanah itu penting sekali.
Penting bagi kehidupan manusia karena sebelum nenek moyang kita ada, tanah itu sudah
ada, dan dari tanah itu pula nenek moyang kita berasal. “Kalu mamate kita, hau ri tana
kita sei” ini ajarannya, Ajaran ini yang selalu dihubungkan konsep “tana sanggamu”
(tanah segenggam). Ajaran Tana Sanggamu yang dikembangkan oleh Pue Lasadindi
terdiri atas: tanah sanggamu, tanah sanggaku dan tanah sangga kamu. Masyarakat Kaili
berdasarkan ajaran Lasatande Dunia dan Pue Lasadindi, mempercayai bahwa asal muasal

13
kejadian manusia dari segenggam tanah. Ajaran tanah sanggamu berarti seperti tangan
yang menggenggam ibu jari, kalau tana sanggaku berarti genggaman dengan jari di luar,
sementara tana sangga kamu berarti bahwa menggenggam sesuatu. Ibu jari dalam bahasa
Kaili disebut sebagai Kotumpu. Kotumpu inilah yang menjadi pusat ajaran yang
dikembangkan oleh Lasatande Dunidan Pue Lasadindi sebagai seorang ulama Islam di
Lembah Palu Sulawesi Tengah. Lasatande Dunia mengajarkan sanggamu disimbolkan
dalam bentuk kepalan tangan dengan posisi ibu jari dalam genggaman. Artinya, manusia
di waktu masih janin di perut ibu, sudah diberikan ketentuan atau takdir. Ada empat hal
yang ditetapkan oleh Allah kepada jabang bayi yang sudah ditiupkan roh yaitu rezki,
amal perbuatan, ajal dan takdir baik atau buruk.

3. Periode Organisasi Islam dan Ilmu Pengetahuan

Kehadiran Islam baik telah membawa pengaruh sekaligus perubahan dalam


kehidupan masyarakat Lembah Palu ke arah yang lebih baik, Perubahan itu ditandai
dengan keberadaan masyarakat asli Lenbah Palu, yakni orang Kaili yang mulai mengenal
bahkan memeluk agama Islam. Selain itu, masuknya agama Islam juga dipahami sebagai
tonggak awal modernisasi masyarakat Kaili di Lembah Palu.

Meskipun demikian, situasi dan kondisi masyarakat Lembah Palu saat itu,
masih sangat memprihatinkan. Adapun situasi dan kondisi tersebut, secara singkat
dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, kehidupan mereka belum sepenuhnya
terlepas dari kepercayaan tradisional (mistik). Ajaran agama Islam tidak murni
lagi karena sudah bercampur dengan ajaran atau kepercayaan tradisional. Dengan
kata lain, kehidupan keagamaan mereka masih bersifat sinkretisme. Kedua, usaha
dakwa agama Islam saat itu, masih sangat terbatas. Dilaksanakan secara
tradisional dalam bentuk pengajian Al Qur'an secara individual, diselenggarakan
di rumah guru yang bersangkutan atau di rumah orang tua murid yang mempunyai
kedudukan penting di tengah masyarakat. Ketiga, saat itu, Palu dianggap sebagai pusat
gerakan misi Kristenisasi yang dilakukan oleh Kolonial Belanda. Keempat,dari segi
pendidikan masyarakat Palu masih sangat jauh ketinggalaln jika dibandingkan dengan
daerah-daerah lain di wilayah Indonsia.23 Fenomena seperti inilah yang dihadapi oleh
Alkhairaat, ketika pertama kali masuk di Wilayah Lembah Palu.
23
Noor Sulaeman, Peranan Al-Khairat Dalam Perubahan Sosial Budaya Masyarakat
Kaili Di Sulawesi Tengah, 1930-1996, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), 8.

14
Al-Khairat didirikan oleh Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri seorang ulama yang
berasal dari Hadramaut. Beliau lahir di Taris, Hadramaut, Yaman Selatan pada 15
Sya’ban 1309 H/15 Maret 1890. Ayahnya bernama Salim bin Alawy seoragn mukti
24
Hadramaut. Sayyid Idrus pertama kali mempelajari Islam dari ayahnya. Kemudian ia
juga belajar kepada ulama setempat yang merupakan kawan ayahnya. Diantara ulama-
ulama tersebut adalah Sayid Muhsin bin Alwi Al-Saggaf, Abd Al-Rahman bin Ali bin Umar
Al- Saggaf, Muhammad bin Ibrahim Balfaqih, Abd Allah bin Husain Saleh Al-Bahra,
dan Idrus bin Umar Al-Habsyi. Sayyed Idrus juga sempat belajar dan memperoleh
banyak manfaat dari sejumlah ulama di Mekkah ketika ayahnya membawanya kesana
dalam rangka menunaikan ibadah haji. Dalam riwayat pendidikannya, Sayyed Idrus
adalah lulusan Perguruan Tinggi Arrabithatul Alawiyah di Kota Tarim Yaman. 25

Kemudian pada tahun 1925, beliau datang ke Indonesia meninggalkan Tarim


untuk mengajar pada sebuah Madrasah di Batavia. Kemudian beliau pindah ke
Pekalongan ke salah satu tempat bermukim bagi orang arab sejak akhir abad ke-19.
Perjalan beliau selanjutnya menuju Jombang Jawa Timur dan bertemu dengan Hasyim
Asy’ari salah seorang pendiri Nahdatul Ulama (NU) dan tinggal di sana selama dua
tahun. Sayid Idrus kemudian pindah ke Solo, tempat pemukiman Arab lainnya di Jawa
Tengah. Di sana beliau diberi kepercayaan mengajar di Madrasah Al-Rabitah Al-
Alawiyah. Beliau dilantik mengetuai Madrasah yang berubah menjadi Yayasan
Pendidikan Islam Diponegoro. Selepas dari Solo, Sayid Idrus menuju ke Ternate Maluku
dan Sulawesi Utara karena ada keluarganya yang berniaga di Sulawesi Utara. Beliau
kemudian pindah dari Manado ke Gorontalo untuk kemudian ke Wani Sulawesi Tengah
dan pada akhirnya tinggal di Palu.

Menurut Azyumardi Azra selama di Indonesia Sayid Idrus mengabdikan dirinya


dalam bidang dakwah saja.26 Sayid Idrus yang dikenal di Palu dengan panggilan Guru
Tua berperan penting dalam bidang pendidikan Agama Islam di Sulawesi Tengah. Pada
tahun 1930, Sayyed Idrus bin Salim Aljufri atas dukungan masyarakat Palu, mendirikan

24
Azyumardi Azra, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal ( Bandung: Mizan,
2002), h. 170.
25
Minan Nur, Pengembangan Dakwah AlKhairat di Kota Palu, Al-Misbah, Vol. 12 No. 1 Januari-Juni
2016: Hal. 32
26
Azyumardi Azra, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal ( Bandung: Mizan,
2002), h. 170.

15
Lembaga Pendidikan Islam. Pendidikan Agama Islam yang dibangun dinamakan
“Alkahiraat.” Pendirian Alkhairat dihubungkan dengan makna al-khair dalam al-Qur’an,
yakni iman kepada Allah, Agama Islam, al-Qur’an sebagai pedoman, karunia Allah
sebagai ketentuan, ketaatan pada alah, amal saleh, berbuat adil pada sesama, kemampuan
seseorang, kekuatan sebagai anugrah, kemenangan dan keuntungan di dunia dan
akhirat.27

Menurut penjelasan Syamsuri bahwa kata Khair berarti Pertama, khair mutlaq
yang mengandung arti sebagai kebaikan seperti surga karena ketentuannya sudah begitu.
Kedua, khair muqayyad mengarah pada kebaikan dan keburukan seseorang. Harta yang
banyak dapat membuat seseorang yang sombong, bersikap ria, dan hidup berfoya-foya
sehingga lupa diri. Kata khair ditemukan dalam Al Quran dalam beberapa bentuk,
seperti: masdar, ism tafdil, fi’l madhi dan fi’l mudhari’. Kebanyakan kata khair dalam al-
Qur’an bermakna kebaikan yang lebih.

Sayid Idrus memilih tinggal di rumah Daeng Marotja di Kampung Baru Palu dan
juga digunakan sebagai tempat mengajar murid-muridnya. Secara umum pengaturan
waktu belajarnya dan materi yang diberikan adalah sebagai berikut:

1. Sehabis sholat subuh hingga pukul 07.00 pagi, belajar khusus qira ’ah
langsung dijelaskan dan dibuka tanya-jawab.
2. Pukul 07.00 pagi sampai waktu dhuhur diajarkan pelajaran bahasa Arab
sebagai pengetahuan dasar seperti Nahwu dan Shorof ditambah pelajaran
Tauhid dan Fiqhi.
3. Setelah ashar mereka melakukan latihan olahraga, biasanya sepak bola,
4. Waktu magrib sampai isya’ diberikan kembali pelajaran mengaji dengan
tajwid, dan
5. Sesudah isya’ diadakan Tanya jawab antara murid dengan Guru Tua
langsung.

Pada tahun 1935, Guru Tua telah meluluskan beberapa muridnya yang menjadi
ulama yang berasal dari masyarakat lokal Sulawesi Tengah. Dalam kurun waktu empat
tahun saja (1934), Madrasah Alkhairat telah menghasilkan tamatan pertamanya sebanyak
27
Haliadi, Karakteristik Ulama Penyiar Agama Islam di Palu, Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol.
10, No. 1, 2021, Hal. 140

16
dua orang, yakni H.M. Hasim Maragau dan Syech Abd. Rahman Aldjufrie. Setahun
kemudian (1935), Madrasah ini kembali menamatkan muridnya sebanyak dua belas
orang, antara lain: 1. Alwi Intje Unte, 2. Abdullah Hay Abdullah, 3. Hasjim Samsuddim,
4. Saat F. Basjir,5. Zahrani,6. M. Muhammad, 7. B. Daeng Malino, 8. Hasan Intje Ote, 9.
M. Noh Lawewa,10. D.M.P Djaelangkara,11. Zainuddin,12. S. Aidid Al-Hasni.

Para alumni pertama dan kedua merupakan kader-kader pertama yang diberikan
kepercayaan oleh Guru Tua untuk menjadi guru, karena telah dibekali dengan ilmu
pengetahuan sebagai pegangan untuk menjadi muballig. Setelah itu menyusul lagi
tamatan-tamatan yang berikutnya. Mereka-mereka inilah yang pada gilirannya menjadi
juru dakwah tidak hanya di Sulawesi Tengah, tetapi juga di Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, bahkan di Kalimantan. Kemudian, banyak diantara mereka yang membuka
cabang-cabang Alkhairat di daerah mereka masing-masing.

Taman pengajian Al-Khairat telah membina masyarakat Kaili di Lembah Palu


sejak tahun 1931. Kemudian pada usianya yang ke-25 diadakanlah muktamar Al-Khairat
pertama di Palu yang berlangsung selama lima hari sejak tanggal 21-25 Agustus 1956.
Hasil dari muktamar tersebut adalah tersusunnya anggaran dasar Al-Khairat dan
perguruan ini dijadikan sebagai suatu organisasi bidang pendidikan yang lebih teratur
dalam hal administrasi dan pengelolaannya. Pada tahun 1958 madrasah Alkhairat secara
resmi didirikan sebagai sebuah yayasan dengan nama yayasan pendidikan Alkhairat.
Pengurusan aktenya dikuasakan oleh Sayid Idrus kepada Z.A Betalembah selaku Ketua I
dan M. Nawawian Abdullah selaku sekertaris umum.

Pada tahun 1958 juga, Al-Khairat telah memiliki badan hukum. Kemudian pada
tahun 1962 cabang Al-Khairat sudah mencapai kurang lebih 100 dengan jumlah murid
kurang lebih 12.000 orang dengan tenaga pengajar sebanyak kurang lebih 200 orang.
Sementara jumlah murid di Al-Khairat Pusat sebanyak 1.000 orang dan tenaga pengajar
sebanyak 20 orang. Pada tanggal 10-15 Agustus 1963 kembali diadakan muktama ke-
dua. Dalam muktamar ini. Guru Tua menegaskan bahwa Al-Khairat adalah organisasi
yang bersifat non-politik dan tidak berafiliasi pada organisasi manapun di Indonesia.
Penyataan ini menunjukkan bahwa Guru Tua atau Sayyid Idru dan Al-Khairat berusaha
untuk tidak terlibat dalam konflik politik dan agama yang mengemuka khususnya pada
pertengahan 1960-an. Menurut buku karya Huzaimah dkk. bahwa Sayyid Idrus memilih

17
Madzhab Syafi’I dan Thariqah yang di ikutinya Alawiyah yang berafiliasi dengan
Tariqah Aidarisiyyah.28 Al-Khairat diterima oleh masyarakat Sulawesi Tengah sehingga
dapat berkembang hingga mampu membuka Perguruan Tinggi yang bernama Universitas
Al-Khairat di Kota Palu.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

28
Hj. Huzaimah T. Yanggo, et. All.. Sayyid Idrus Bin Salim Al Jufri Pendiri
Alkhairat dan Kontribusinya Dalam Pembinaan Umat, (Ed: H. Abdul Wahab Abd.
Muhaimin) (Palu dan Jakarta: Yayasan Alkhairat dan Gaung Persada (GP) Press: 2013),
h. 88.

18
Agama Islam masuk sekitar abad ke-17 dan berkembang dan menjadi faktor
kemajuaan peradaban yang ada di Lembah Palu. Proses penyebaran Islam di lembah Palu
melalui proses panjang yang dibagi menjadi tiga periode. Yang mana di setiap periode
memiliki tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Lembah Palu
dan seitiap periode memiliki ciri dan karakternya masing-masing.

B. Saran

19

Anda mungkin juga menyukai