Anda di halaman 1dari 12

PENERAPAN ETIKA DALAM MELAKSANAKAN PERKERJAAN MENURUT

HUKUM DI INDONESIA DAN SYARIAT ISLAM

Fierly Sauliyah Sukma

Manajemen Bisnis Syariah


fsauliyah@gmail.com

Abstract

There are still many Muslim communities who consider business ethics not too important in
their existence in business activities, because business is nothing but to seek profit. The
Qur'an's business ethics contains basic business values such as the value of unity, balance,
free will, responsibility, and ihsan. then gave birth to business ethics which is free from evil,
damage and tyranny such as usury practices, fraud, reducing doses or fraud, corruption,
bribery, gambling, gharar and hoarding and so on

Keywords: ethics, business, Qur'an, Islam

Abstrak

Masih banyak masyarakat muslim menganggap etika bisnis tidak terlalu penting
keberadaannya dalam akitvitas bisnis, karena bisnis tidak lain hanyalah bertujuan untuk
mencari keuntungan semata. Etika bisnis Al-Qur’an mengandung nilai-nilai dasar bisnis
seperti nilai kesatuan, keseimbangan, kehendak bebas, pertangung jawaban, dan ihsan.
kemudian melahirkan etika bisnis yang mana terbebas dari unsur kebatilan, kerusakan dan
kezaliman seperti praktik riba, penipuan, mengurangi takaran atau penipuan, korupsi, suap,
judi, gharar dan penimbunan dan lain sebaginya

Kata kunci : Etika, Bisnis, Al-Qur'an, Islam


A. PENDAHULUAN

Salah satu cara manusia menghindari diri dari perbuatan yang bathil adalah dengan jalan
berbisnis. Ini perintah Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT, menegaskan dalam Q.S. an-
Nissa (4): 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu”. Atas dasar perintah Allah SWT tersebut, maka hukum
dasar berbisnis adalah boleh, kecuali ada ketentuan Allah SWT yang melarang bisnis tersebut.
Dilain sisi, dengan nafsu yang dimiliki manusia selain akal, terkadang cara berbisnis manusia
seringkali merugikan manusia lainnya bahkan alam pun tak luput dari keserakahan. Allah
SWT memerintahkan dan menganjurkan manusia untuk berperilaku bisnis sesuai
tuntunannya dan menjauhi perilaku bisnis yang dilarang.

B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Etika dan Moral

Kata Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata Yunani Ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti tempat tinggal, yang biasa, padang rumput kandang,
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta
etha) sartinya adalah adat kebiasaan.1 Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi
terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles sudah dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral.2 Jadi jika membatasi diri pada asal usul kata ini, maka etika
berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.

Etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).3 Etika bisa dipakai
dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral4 yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika juga berarti kumpulan asas
atau nilai-nilai moral, yang dimaksud adalah kode etik.5 Nilai-nilai dan norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelomok dalam mengatur tingkah
lakunya. Misalnya bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral, dengan itu dimaksudkan
bahwa perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku
dalam masyarakat. Moralitas (dari kata sifat latin moralis) mempunyai arti yang pada
dasarnya sama dengan “moral” hanya ada nada lebih abstrak. Moralitas adalah sifat moral
atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

Kerap kali antara etika dan etiket dicampuradukkan begitu saja padahal perbedaan
diantaranya sangat hakiki. Etika di sini berarti moral dan etiket berarti sopan santun. Di
samping itu ada juga persamaannya yaitu etika dan etiket menyangkut perilaku manusia.
Istilah-istilah ini hanya dipakai mengenai manusia. Hewan tidak mengenal etika maupun
etiket. Baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif artinya
memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Justru karena sifat normatif ini kedua istilah
tersebut mudah dicampuradukkan.

2. Macam-Macam Etika
Dalam menelaah ukuran baik dan buruk suatu tingkah laku yang ada dalam masyarakat
kita bisa menggolongkan etika, yakni terdapat dua macam etika yaitu.

a. Etika Deskriptif

Etika deskriptif Merupakan usaha menilai tindakan atau prilaku berdasarkan


pada ketentuan atau norma baik buruk yang tumbuh dalam kehidupan bersama di
dalam masyarakat. Kerangka etika ini pada hakikatnya menempatkan kebiasaan yang
sudah ada di dalam masyarakat sebagai acuan etis. Suatu tindakan seseorang disebut
etis atau tidak. Tergantung pada kesesuaiannya dengan yang dilakukan kebanyakan
orang.Etika deskriptif mempunyai dua bagian yang sangat penting.

Yang pertama ialah sejarah kesusilaan. Bagian ini timbul apabila orang
menerapkan metode historik dalam etika deskriptif. Dalam hal ini yang di selidiki
adalah pendirian-pendirian mengenai baik dan buruk, norma-norma kesusilaan yang
pernah berlaku, dan cita-cita kesusilaan yang dianut oleh bangsa-bangsa tertentu
apakah terjadi penerimaan dan bagaimana pengolahannya. Perubahan-perubahan
apakah yang di alami kesusilaan dalam perjalanan waktu, hal-hal apakah yang
mempengaruhinya, dan sebagainya. Sehingga bagaimanapun sejarah etika penting
juga bagi sejarah kesusilaan.Yang kedua ialah fenomenologi kesusilaan. Dalam hal ini
istilah fenomenologi dipergunakan dalam arti seperti dalam ilmu pengetahuan agama.
Fenomenologi agama mencari makna keagamaan dari gejala-gejala keagamaan,
mencari logos, susunan batiniah yang mempersatukan gejala-gejala ini dalam
keselarasan tersembunyi dan penataan yang mengandung makna. Demikian pula
dengan fenomenologi kesusilaan. Artinya, ilmu pengetahuan ini melukiskan
kesusilaan sebagaimana adanya, memperlihatkan ciri-ciri pengenal, bagaimana
hubungan yang terdapat antara ciri yang satu dengan yang lain, atau singkatnya,
mempertanyakan apakah yang merupakan hakekat kesusilaan. Yang dilukiskan dapat
berupa kesusilaan tertentu, namun dapat juga moral pada umumnya.

Masalah-masalah ini bersifat kefilsafatan. Pertanyaan yang utamanya ialah,


apakah kesusilaan harus di pahami dari dirinya sendiri ataukah kesusilaan itu
didasarkan oleh sesuatu yang lain. Dengan perkataan lain, apakah kesusilaan mengacu
ataukah tidak mengacu kepada sesuatu yang terdapat di atas atau setidak- tidaknya di
luar dirinya sendiri.

Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku
manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu
yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa
adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait
dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang
kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang
dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
Contohnya: Mengenai masyarakat Jawa yang mengajarkan tatakrama berhubungan
dengan orang yang lebih tua dari pada kita.

b. Etika Normatif

Kelompok ini mendasarkan diri pada sifat hakiki kesusilaan bahwa di dalam
perilaku serta tanggapan- tanggapan kesusilaannya, manusia menjadikan norma-
norma kesusilaan sebagai panutannya. Etika menetapkan bahwa manusia memakai
norma-norma sebagai panutannya, tetapi tidak memberikan tanggapan mengenai
kelayakanukuran-ukuran kesusilaan. Sah atau tidaknya norma- norma tetap tidak
dipersoalkan yang di perhatikan hanya berlakunya.17Etika normatif tidak dapat
sekedar melukiskan susunan -susunan formal kesusilaan. Ia menunjukkan prilaku
manakah yangbaik dan prilaku manakah yang buruk. Yang demikian ini
kadangkadang yang disebut ajaran kesusilaan, sedangkan etika deskriptif disebut juga
ilmu kesusilaan. Yang pertama senantiasa merupakan etika material. Etika normatif
memperhatikan kenyataan-kenyataan,yang tidak dapat di tangkap dan diverifikasi
secara empirik.

Etika yang berusaha menelaah dan memberikan penilaian suatu tindakan etis
atau tidak, tergantung dengan kesesuaiannya terhadap norma-norma yang sudah
dilakukan dalam suatu masyarakat. Norma rujukan yang digunakan untuk menilai
tindakan wujudnya bisa berupa tata tertib, dan juga kode etik profesi.

Contohnya: Etika yang bersifat individual seperti kejujuran, disiplin, dan tanggung
jawab.

c. Etika Deontologi
Etika Deontologi adalah suatu tindakan dinilai baik buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Dengan kata lain, suatu tindakan
dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga
merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya suatu tindakan dinilai
buruk secara moral karena tindakan itu memang buruk secara moral sehingga tidak
menjadi kewajiban untuk kita lakukan. Bersikap adil adalah tindakan yang baik, dan
sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian.

Etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan


tersebut: baik atau buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan
untuk menentukan kualitas moral suatu tindakan. Atas dasar itu, etika deontologi
sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat untuk bertindak
sesuai dengan kewajiban.
Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Jadi,
etika Deontologi yaitu tindakan dikatakan baik bukan karena tindakan itu
mendatangkan akibat baik, melainkan berdasarkan tindakan itu baik untuk dirinya
sendiri.

d. Etika Teleologi

Etika Teleologi menilai baik buruk suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat
dari tindakan tersebut. suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan baik dan
mendatangkan akibat baik. Jadi, terhadap pertanyaan, bagaimana harus bertindak
dalam situasi kongkret tertentu, jawaban teleologi adalah pilihlah tindakan yang
membawa akibat baik.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa etika teleologi lebih bersifat situasional dan
subyektif. Kita bisa bertindak berbeda dalam situasi yang lain tergantung dari
penilaian kita tentang akibat dari tindakan tersebut. demikian pula, suatu tindakan
yang jelas-jelas bertentangan dengan norma dan nilai moral bisa di benarkan oleh kita
teleologi hanya karena tindakan itu membawa akibat yang baik.
Suatu tindakan dikatakan baik jika tujuannya baik dan membawa akibat yang baik dan
berguna. Dari sudut pandang “apa tujuannya”, etika teleologi dibedakan menjadi dua,
yaitu:

a) Teleologi Hedonisme (hedone = kenikmatan) yaitu tindakan yang bertujuan


untuk mencari kenikmatan dan kesenangan.

b) Teleologi Eudamonisme (eudemonia = kebahagiaan) yaitu tindakan yang


bertujuan mencari kebahagiaan yang hakiki
Etika Keutamaan

Etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan.qJuga, tidak


mendasarkan penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal. Etika
keutamaan lebih mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Dalam kaitan dengan itu, sebagaimana dikatakan Aristoteles, nilai moral ditemukan dan
muncul dari pengalaman hidup dalam masyarakat, dari teladan dan contoh hidup yang
diperlihatkan oleh tokoh-tokoh besar dalam suatu masyarakat dalam menghadapi dan
menyikapi persoalan-persoalan hidup ini.

Dengan demikian, etika keutamaan sangat menekankan pentingnya sejarah kehebatan


moral para tokoh besar dan dari cerita dongeng ataupun sastra kita belajar tentang nilai dan
keutamaan, serta berusaha menghayati dan mempraktekkannya seperti tokoh dalam sejarah,
dalam cerita, atau dalam kehidupan masyarakat. Tokoh dengan teladannya menjadi model
untuk kita tiru.Etika keutamaan sangat menghargai kebebasan dan rasionalitas manusia,
karena pesan moral hanya di sampaikan melalui cerita dan teladan hidup para tokoh lalu
membiarkan setiap orang untuk menangkap sendiri pesan moral itu. Juga setiap orang
dibiarkan untuk menggunakan akal budinya untuk menafsirkan pesan moral itu, artinya,
terbuka kemungkinan setiap orang mengambil pesan moral yang khas bagi dirinya, dan
melalui itu kehidupan moral menjadi sangat kaya oleh berbagai penafsiran.
3. UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1948 TENTANG UNDANG-UNDANG
KERJA TAHUN 1948.

BAGIAN I.

Tentang istilah-istilah dalam Undang-undang ini

Pasal 1.

1) Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan :

a) Pekerjaan, ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam
suatu hubungan kerja dengan menerima upah.

b) Orang dewasa, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18


tahun keatas.

c) Orang muda, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur diatas 14
tahun, akan tetapi dibawah 18 tahun.

d) Anak-anak, ialah orang laki-laki maupun perampuan, yang berumur 14 (empat


belas) tahun kebawah.

e) Hari, ialah waktu sehari-semalam selama 24 jam.

f) Siang-hari, ialah waktu antara jam 6 sampai jam 18.

g) Malam-hari, ialah waktu antara jam 18 sampai jam 6.

h) Seminggu, ialah waktu selama 7 hari.

2) Dalam arti kata majikan termasuk juga kepala, pemimpin atau pengurus
perusahaan, atau bagian perusahaan.

3) Disamakan dengan perusahaan ialah segala tempat pekerjaan, dari Pemerintah


maupun partikelir.

BAGIAN II

Tentang pekerjaan anak-anak dan orang muda


Pasal 2

Anak-anak tidak boleh menjalankan pekerjaan.

Pasal 3.

Jikalau seorang anak yang berumur 6 tahun atau lebih terdapat dalam ruangan yang
tertutup, dimana sedang dijalankan pekerjaan, maka dianggap bahwa anak itu menjalankan
pekerjaan ditempat itu, kecuali jikalau ternyata itu sebaliknya.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL :


Pasal 1 Ayat (1)

Yang diatur dalam Undang-undang ini ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh
untuk majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah. Maka yang penting
ialah syarat, bahwa harus ada suatu hubungan kerja yang "zakelijk". Dalam arti kata upah
tidak hanya termaktub upah dengan uang, melainkan juga upah dengan barang atau
perbuatan imbangan, dan bentuk-bentuk upah lainnya. Berhubungan dengan itu misalnya
tidak dikenakan oleh, Undang-undang ini : pekerjaan yang dijalankan oleh pelajar-pelajar
sekolah pertukangan yang bersifat pendidikan, pekerjaan yang dijalankan oleh seseorang
untuk diri sendiri atau perusahaannya sendiri, pekerjaan yang dijalankan oleh seorang
anak untuk orang tuanya, oleh seorang isteri untuk suaminya, pekerjaan yang dijalankan
oleh anggauta-anggauta sekeluarga untuk perusahaan keluarga itu dan pekerjaan yang
dijalankan oleh seorang untuk tetangganya atas dasar tolong menolong menurut ada
kebiasaan. Dalam pasal ini diadakan 3 golongan orang. Orang dewasa : yaitu orang laki-
laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun keatas. Orang muda : yaitu orang laki-
laki maupun perempuan, yang berumur lebih dari 14 tahun tetapi kurang dari 18 tahun.
Dalam umur itu kemungkinan kemajuan badan dan kecerdasan sedang berkembang.
Berhubung dengan itu, perlu diadakan pembatasan kerja yang mengenai buruh muda,
untuk menjaga jangan sampai kemungkinan kemajuan itu terhalang. Anak : ialah orang
laki-laki maupun perempuan, yang berumur 14 tahun kebawah. Penetapan batas umur ini
berhubungan dengan larangan pekerjaan anak. Keadaan badan anak umumnya masih
lemah. Dipandang dari sudut pendidikan anak masih harus bersekolah sampai umum 14
tahun, yang kira-kira sampai sekolah menengah atau sekolah kepandaian istimewa 2 atau
3 tahun sesudahnya keluar dari sekolah rendah.
Dalam penetapan batas umur dan laranganpekerjaan anak terkandung cita-cita, bahwa
anak-anak kita umumnya sekurang-kurangnya harus berpendidikan rendah ditambah
dengan 2 atau 3 tahun sekolah menengah atau sekolah kepandaian istimewa. Batas umur
14 tahun ini ialah sama dengan yang telah ditetapkan dalam Converentie internasional.
Undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda dulu mengambil sebagai batas umur 12
tahun untuk larangan pekerjaan anak. Undang-undang kerja ini dapat dikatakan amat
majudalam hal itu.
Ayat (2)
Dalam Undang-undang ini dianggap tidak perlu ditegaskan arti kata majikan, ialah
umumnya tiap-tiap orang pemberi pekerjaan (werkgever). Yang dianggap penting yalah,
perluasan arti yang termaktub dalam ayat ini berhubung dengan tanggung jawab tentang
berlakunya

Undang-undang ini termaksud dalam

Pasal 17 Ayat (3)

Perluasan arti perusahaan dengan sifat umum yang dimaksudkan dengan Undang-undang ini.

Pasal 2 Ayat (1)

Larangan pekerjaan anak didasarkan atas maksud untuk menjaga kesehatan dan
pendidikannya. Badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan apalagi yang berat.
Pekerjaan yang ringanpun merugikan kemungkinan kemajuan kecerdasan anak, karena
pekerjaan, apalagi yang sifatnya routine, menyebabkan tumpulnya kecerdasan anak. Selain
dari pada itu larangan pekerjaan anak dihubungkan dengan kewajiban belajarbagi anak-anak
sekarang di Indonesia belum ada kewajiban belajar. Maksudnya bersama-sama dengan
larangan pekerjaan anak diadakan tempat pendidikan yang cukup bagi anak.

Pasal 3.

Pasal ini memudahkan soal bukti dalam menuntut pelanggaran larangan pekerjaan anak.
Dilihat dari perkembangan etika bisnis, kajian tentang etika bisnis lebih dahulu
berkembangan di dunia barat. Walaupun etika bisnis sudah menjadi sorotan dari dahulu,
bahkan etika bisnis seumur dengan bisnis itu sendiri. Misalnya sejak manusia berdagang ia
sudah tahu bahwa kemungkinan akan ada penipuan
Al-Qur’an juga sudah mengigatkan akan terjadinya penipuan itu :
‫سوا‬ َ ‫ّٰللا َما لَكُ ْم ِ ِّم ْن ا ِٰل ٍه‬
ُ ‫غي ُْر ۗه قَدْ َج ۤا َءتْكُ ْم َب ِيِّنَةٌ ِ ِّم ْن ر ِبِّكُ ْم فَا َ ْوفُوا ا ْل َك ْي َل َوا ْلمِ يْزَ انَ َو ََل ت َ ْب َخ‬ َ ‫َوا ِٰلى َمدْ َينَ اَخَاهُ ْم شُ َع ْيب ًۗا قَا َل ٰيقَ ْو ِم ا ْع ُبدُوا ه‬
‫ص ََلحِ َه ۗا ٰذ ِلكُ ْم َخي ٌْر لكُ ْم ا ِْن كُ ْنت ُ ْم ُّمؤْ مِ نِ ْي َن‬
ْ ِ‫ض بَ ْعدَ ا‬ ِ ‫اس ا َ ْشيَ ۤا َءهُ ْم َو ََل ت ُ ْف ِسد ُْوا فِى ْاَلَ ْر‬ َ ‫الن‬

Dan kepada penduduk Madyan, (Kami utus) Syu’aib, saudara mereka sendiri. Dia berkata,
“Wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia.
Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan
timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikainya (Q.S. Al-A’raaf:85)

Etika bisnis selalu mendapatkan perhatian yang intensif hingga sekarang ini, bahkan
sudah menjadi kajian ilmiah dan akademik tersendiri. Richard De George mengusulkan untuk
membedakan antara ethics in business (etika dalam bisnis) dan business ethics (etika bisnis).
Maksudnya bahwa etika selalu sudah dikaitkan dengan bisnis, sejak bisnis itu ada.
Sebagaimana etika selalu dikaitkan dengan politik, keluarga, seksual, profesi dan sebagainya.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud


dengan penelitian kualitatif ialah rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi dari
kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu oobjek, dihubungkan dengan suatu masalah, baik
dari sudut pandang teoritis maupun praktis (Shaleh, 2008: 80).

Sumber data yang digunakan ialah data sekunder. Data berasal dari dokumen, jurnal-
jurnal atau penelitian terdahulu yang relevan dan buku-buku yang berkaitan dengan
penelitian ini. Selain itu teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
studi literatur. Studi literatur adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data-data atau
sumber-sumber yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu penelitian
(Moleong, 2007: 217).

Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis dekriptif.Teknik
analisis deskriptif adalah suatu teknik penelitian yang meliputi proses pengumpulan data
yang sudah terkumpul dan tersusun kemudian dianalisis sehingga diperoleh data penelitian
yang jelas dan dapat diinterpretasikan
(Surachmad, 1998: 140).

D. KESIMPULAN

Upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun tatanan bisnis yang Islami yaitu suatu
rekonstruksi kesadaran baru tentang bisnis. Bisnis baik sebagai aktivitas yang dilakukan oleh
individual, organisasi atau perusahaan, bukan semata-mata bersifat duniawi semata. Akan
tetapi sebagai aktivitas yang bersifat material sekaligus immaterial. Suatu bisnis bernilai,
apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara seimbang, tidak mengandung
kebatilan, kerusakan dan kezaliman. Akan tetapi mengandung nilai kesatuan, keseimbangan,
kehendak bebas, pertanggung-jawaban, kebenaran, kebajikan dan kejujuran. Sehingga dengan
ketiga prinsip landasan praktik mal bisnis diatas, dapat dijadikan tolok ukur apakah suatu
bisnis termasuk ke dalam wilayah yang bertentangan dengan etika bisnis atau tidak.
Diperlukan suatu cara pandang baru dalam melakukan kajian-kajian keilmuan tentang bisnis
dan ekonomi yang lebih berpijak pada paradigma pendekatan normatif-etik sekaligus empirik
induktif yang mengedepankan penggalian dan pengembangan nilai-nilai Al-Qur'an, agar
dapat mengatasi perubahan dan pergeseran zaman yang semakin cepat.
REFERENSI

Undang- Undang No. 12 Tahun 1948. Tentang Undang – Undang Kerja Tahun 1948

K. Berten, Pengantar Etika Bisnis, Halaman 34-35

Keraf. A. Sonny. Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur.
(Yogyakarta: Kasnisius, 1991). h.23

H. De vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1987), h.8-10 bid, H.10
Ibid, H.12-13

Keraf. A. Sonny. Etika Lingkungan,(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h.8-9


Ibid, h. 15

Hj Darmawati, “Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam : Eksplorasi Prinsip Etis Al-Qur’an
dan Sunnah”

Nur Kholis (2004), “Etika Kerja dalam Prespektis Islam” Al- Mawardi Edisi XI Tahun 2004

Anda mungkin juga menyukai