MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Etika Bisnis Islam
Dosen Pengampu: Ulin Nuha, M.S.I.
Disusun Oleh:
Kelompok 5-B5MBR
1. M. Abdul Majid 2020310048
2. Sepfia Enggar D 2020310049
3. Umi Siti Khotimah 2020310050
C. Tujuan ...........................................................................................................2
A. Kesimpulan .................................................................................................17
B. Saran............................................................................................................18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dimana dalam makalah ini akan dibahas mengenai kriteria dan prinsip
etika utilitarianisme, nilai positif etika utilitarianisme, utilitarianisme sebagai
proses dan sebagai standar penilaian, analisis keuntungan dan kerugian,
kelemahan etika utilitarianisme, dan jalan keluar.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep dasar teori ini adalah suatu perbuatan yang secara moral adalah benar,
jika:
1. Utilitarianisme Klasik
Berasal dari tradisi pemikiran moral Inggris. Diawali dari pemikiran David
Hume (1711-1776) yang kemudian dikembangkan oleh Jeremy Bentham
(1748-1832). Dimaksudkan sebagai dasar etis untuk memperbaharui hukum
di Inggris khususnya hukum pidana, Bentham juga mengadopsi prinsip
hedonisme karena menurutnya perbuatan dinilai baik jika dapat
meningkatkan kesenangan dan sebaliknya.
1
Anak Aguang Dwi Widyani, Etika Bisnis Perspektif Teori dan Praktis (Badung Bali: CV.
Noah Alethia, 2020), 23.
3
Prinsip utilitarianisme (the greatest happines theory) menuai banyak kritik
dan kesalahpahaman, namun diluruskan oleh John Stuart Mill. Kelebihan
prinsip ini ialah menggunakan prinsip yang jelas dan rasional serta
mempertimbangkan hasil perbuatan. Kritiknya adalah sama seperti
hedonisme, hanya saja tidak memuat egoisme etis, prinsip yang digunakan
tidak selamanya benar dan tidak memberi jaminan bahwa kebahagiaan
dibagi secara adil, tidak memberi tempat pada “hak” dan Utilitarianisme
sebagai sistem moral yang tidak menerapkan keadilan.
2. Utilitarianisme Aturan
4
b) Kesenangan atau kebahagiaan - ia memakai kata-kata ini sebagai sebuah
sinonim - yang buruk adalah penderitaan. Oleh karena itu, suatu keadaan
jika mencakup kesenangan yang lebih besar daripada penderitaan,
penderitaan yang lebih kecil daripada kesenangan, adalah lebih baik
daripada keadaan lain. Di antara semua keadaan yang mungkin itu, yang
paling terbaik adalah mencakup kesenangan yang lebih besar daripada
penderitaan.
c) Bahwa kebaikan - kebaikan adalah kebahagiaan pada umumnya, akan
tetapi juga bahwa setiap individu senantiasa memburu apa yang menurut
keyakinannya merupakan kebahagiaannya sendiri. Oleh sebab itu,
menurutnya, tugas 23 legislator adalah menghasilkan keserasian antara
kepentingan publik dan kepentingan pribadi (Russel, Ibdi: 1008).
Jadi Ulilitarisme adalah paham atau aliran dalam filsafat moral yang
menekankan prinsip manfaat atau kegunaan sebagai prinsip moral yang paling
dasar. Tindakan yang secara moral benar adalah tindakan yang berguna. Suatu
tindakan dinilai berguna kalau akibat tindakan tersebut mencakup secara
keseluruhan, dengan memperhitungkan semua pihak yang terlibat dan tanpa
membeda-bedakan orang, membawa akibat baik berupa keuntungan atau
kebahagianan yang semakin besar bagi semakin banyak orang. The greatest
good to the greatest number merupakan diktum yang selalu didengungkan oleh
utilitarisme. Paham ini menyatakan bahwa diantara semua tindakan yang di
ambil atau diantara semua peraturan yang sejauh dapat diperhitungkan akan
paling memajukan kepentingan banyak orang atau paling membawa
kebahagiaan mereka.
5
sebaliknya diwajibkan yang memberi nilai moral terhadap tindakan-tindakan
atau peraturan tersebut adalah akibat-akibatnya. Contohnya, para penganut
aliran Ulilitarisme tidak dapat menerima begitu saja bahwa hubungan seks
diluar perkawinan, sebagaimanapun juga pada dirinya sendiri tidak pernah
dapat dibenarkan secara moral. Mereka akan bertanya mengapa tidak boleh
melakukan hubungan seks diluar perkawinan, mereka akan menuntut agar dapat
diberikan alasan-alasan yang masuk akal. Dengan demikian, rasionalitas
penilaian moral atas tindakan ataupun pemberlakuan suatu peraturan moral
ditentukan oleh lebih banyaknya akibat baik yang ditimbulkan dibandingkan
dengan akibat buruknya.2
Menurut Keraf (1998:96) terdapat tiga nilai positif etika utilitarianisme, yaitu:
1. Rasionalitas
Prinsip moral yang diajukan etika utilitarianisme tidak didasarkan pada
aturan-aturan kaku yang tidak dipahami atau tidak diketahui
kebasahaannya. Etika utilitarianisme memberikan kriteria yang objektif dan
rasional.
2. Otonom
Etika utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral
untuk berpikir dan bertindak dengan hanya memperhatikan tiga kriteria
objektif dan rasional seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Tidak ada
paksaan bahwa orang 24 harus bertindak dengan cara tertentu yang tidak
diketahui alasannya.
3. Universal
Etika utilitarianisme mengutamakan manfaat atau akibat dari suatu tindakan
bagi banyak orang. Suatu tindakan dinilai bermoral apabila tindakan
tersebut memberi manfaat terbesar bagi banyak orang. Secara universal
semua pebisnis dunia saat ini berlomba-lomba mensejahterakan masyarakat
dunia, selain membuat diri mereka menjadi sejahtera. berbisnis untuk
2
Anak Aguang Dwi Widyani, Etika Bisnis Perspektif Teori dan Praktis (Badung Bali: CV.
Noah Alethia, 2020), 23.
6
kepentingan individu dan di saat yang bersamaan mensejahterakan
masyarakat luas adalah pekerjaan profesional sangat mulia. Dalam teori
sumber daya alam dikenal istilah Backwash Effect, yaitu di mana
pemanfaatan sumber daya alam yang terus menerus akan semakin
merusakan kualitas sumber daya alam itu sendiri, sehingga diperlukan
adanya upaya pelastarian alam supaya sumber daya alam yang terkuras
tidak habis ditelan jaman.
7
dinilai jelek secara moral, berdasarkan kerugian terbesar yang ditimbulkannya
bagi banyak orang. Ini berarti, pada wujud yang kedua, etika utilitarianisme
sangat tepat untuk evaluasi kebijaksanaan atau proyek yang sudah dijalankan.
Terlepas dari apa pun per timbangan yang dipakai dalam menjalankan
kebijaksanaan atau proyek tertentu, krite ria etika utilitarianisme menjadi
pegangan utama dalam evaluasi mengenai berhasil tidaknya, baik tidaknya,
suatu kebijaksanaan atau program tertentu.
Dalam banyak hal sesungguhnya kedua wujud tersebut digunakan secara
bersa maan karena keduanya berkaitan erat satu sama lain. Dalam membuat
perencanaan, kriteria etika utilitarianisme dapat dipakai juga sebagai standar
penilaian. Hanya saja apa yang dinilai baru merupakan bakal tindakan atau
kebijaksanaan. Maka, hasil atau akibat dari bakal tindakan atau kebijaksanaan
itu baru merupakan kemungkinan atau dugaan-dugaan kuat dan juga sangat
mungkin masuk akal atau bisa terjadi. Dalam wujud ini, etika utilitarianisme
sebagai standar penilaian dapat dipakai untuk mencari jalan keluar atau
pemecahan atas akibat negatif tertentu yang tidak diinginkan yang diduga akan
terjadi sehubungan dengan bakal tindakan atau kebijaksanaan yang akan
diambil itu. Ia lalu dapat berpengaruh untuk mengubah atau merevisi
kebijaksanaan itu dari awal. Dengan kata lain, dalam membuat perencanaan,
kriteria etika utilita rianisme sebagai tujuan dapat digunakan sekaligus sebagai
standar penilaian bagi bakal kegiatan sebagai perealisasian rencana tersebut
sebagai baik atau tidak.
Sebagai penilaian atas tindakan atau kebijaksanaan yang sudah terjadi,
kriteria etika utilitarianisme dapat juga sekaligus berfungsi sebagai sasaran atau
tujuan ketika kebijaksanaan atau program tertentu yang telah dijalankan itu
akan direvisi. Pada tingkat ini, etika utilitarianisme sebagai standar penilaian
berfungsi sekaligus sebagai sasaran akhir dari sebuah kebijaksanaan atau
program yang ingin direvisi.3
3
Sonny Keraf, Etika Bisnis (Yogyakarta: PustakaFilsafat, 1998), 98-99.
8
pemikiran kepentingan banyak orang. Kepentingan banyak orang ini
dirumuskan dalam berbagai bentuk sesuai dengan lingkup kebijaksanaan itu:
peningkatan devisa negara, penciptaan lapangan kerja, penurunan harga, dan
sebagainya.
Dalam bidang ekonomi, etika utilitarianisme punya relevansi yang kuat dan
dapat ditemukan dalam beberapa teori ekonomi yang populer. Sebut saja
misalnya prinsip optimalitas dari Pareto, yang menilai baik buruknya suatu
sistem ekonomi. Suatu sistem ekonomi akan dinilai lebih baik kalau dalam
sistem itu paling kurang satu orang menjadi lebih baik keadaannya dan tidak
ada orang yang menjadi lebih bu ruk keadaannya dibandingkan dengan sistem
lainnya. Berdasarkan prinsip ini, pasar misalnya dianggap paling baik karena
memungkinkan konsumen memperoleh keuntungan secara maksimal. Dengan
kata lain, suatu sistem dinilai lebih baik karena mendatangkan manfaat lebih
besar (paling kurang satu orang menjadi lebih baik keadaannya dan tidak ada
orang yang menjadi lebih buruk keadaannya) dibandingkan dengan sistem
alternatif lainnya.
Dalam ekonomi, etika utilitarianisme juga relevan dalam konsep efisiensi
eko nomi. Prinsip efisiensi menekankan agar dengan menggunakan sumber
daya (input) sekecil mungkin dapat dihasilkan produk (output) sebesar
mungkin. Dengan mengguna kan sumber daya secara hemat harus bisa dicapai
hasil yang maksimal. Karena itu, semua perangkat ekonomi harus dikerahkan
sedemikian rupa untuk bisa mencapai hasil terbesar dengan menggunakan
sumber daya sekecil mungkin. Ini prinsip dasar etika utilitarianisme.
Dalam bidang bisnis, etika utilitarianisme juga mempunyai relevansi yang
sangat kuat. Secara khusus etika ini diterapkan, secara sadar atau tidak, dalam
apa yang dikenal dalam perusahaan sebagai the cost and benefit analysis
(analisis biaya dan keuntungan). Yang intinya berarti etika ini pun digunakan
dalam perencanaan dan evaluasi (atau reevaluasi) kegiatan bisnis suatu
perusahaan; dalam segala aspek: produksi, promosi, penjualan, diversifikasi,
pembukaan cabang, penambahan tenaga, penambahan modal, dan seterusnya.
Satu hal pokok yang perlu dicatat sejak awal adalah bahwa baik etika
utilitarian isme maupun analisis keuntungan dan kerugian pada dasarnya
menyangkut kalkulasi manfaat. Karena itu, etika utilitarianisme sangat sejalan
dengan hakikat dan tujuan bisnis untuk mencari keuntungan. Hanya saja, apa
yang dikenal dalam etika utilita rianisme sebagai manfaat (utility), dalam bisnis
lebih sering diterjemahkan secara lurus sebagai keuntungan. Maka, prinsip
maksimalisasi manfaat ditransfer menjadi mak simalisasi keuntungan yang
tidak lain diukur dalam kerangka finansial. Sasaran akhir yang hendak dicapai
lalu tidak lain adalah the greatest net benefits atau the lowest net costs. Intinya,
kebijaksanaan ataupun tindakan apa pun yang akan diambil oleh sebuah
9
perusahaan harus punya sasaran akhir: dalam batas-batas yang bisa diukur,
mendatang. kan keuntungan keseluruhan paling besar dengan menekan biaya
keseluruhan sekecil mungkin. Sebaliknya, suatu kebijaksanaan atau tindakan
yang telah diambil perusahaan dinilai baik kalau dan hanya kalau kebijaksanaan
atau tindakan itu mendatangkan ke rugian keseluruhan sekecil mungkin.
Persoalan pokok baru timbul menyangkut pertanyaan tujuan keuntungan
untuk siapa? Sering kali analisis keuntungan dan kerugian terlalu
menitikberatkan keuntungan bagi perusahaan. Bahkan bagi De Geroge ini yang
menjadi inti perbedaan antara eti ka utilitarianisme dan analisis keuntungan dan
kerugian yang dipakai dalam bisnis. Dalam analisis keuntungan dan kerugian,
manfaat dan kerugian selalu atau terutama dikaitkan dengan perusahaan.
Sedangkan pada etika utilitarianisme, manfaat dan kerugian itu dikaitkan,
dengan semua orang yang terkait. Tentu saja sebagaimana telah dikatakan, ini
tidak salah. Namun, kalau kita boleh menggunakan kembali argumen-argumen
yang telah dikatakan pada bab sebelumnya, termasuk pendekatan stakeholder,
kini analisis keuntungan dan kerugian tidak lagi semata-mata tertuju langsung
pada keuntungan bagi perusahaan. Atau, kalaupun betul bahwa sasaran pokok
dalam analisis keuntungan dan kerugian adalah meningkatkan dan
mempertahankan keuntungan perusahaan dan meminimalisasi kerugian sebisa
mungkin, ada beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian, terutama
jika analisis keuntungan dan kerugian ini ditempatkan dalam kerangka etika
bisnis.
Pertama, keuntungan dan kerugian, costs and benefits, yang dianalisis
jangan se mata-mata dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi
perusahaan, kendati benar bahwa ini sasaran akhir. Yang juga perlu mendapat
perhatian adalah keuntungan dan kerugian bagi banyak pihak lain yang terkait
dan berkepentingan, baik kelompok primer maupun sekunder. Jadi, dalam
analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana dan sejauh mana suatu
kebijaksanaan dan kegiatan bisnis suatu perusahaan membawa akibat yang
menguntungkan dan merugikan bagi kreditor, konsumen, pemasok, penyalur,
karyawan, masyarakat luas, dan seterusnya. Ini berarti etika utilitarianisme
sangat sejalan dengan apa yang telah kita bahas sebagai pendekatan stakeholder.
Kalau dipikirkan secara mendalam, pertimbangan ini bukan hanya demi
kepen tingan kelompok terkait yang berkepentingan, melainkan justru pada
akhirnya demi kepentingan (keuntungan) perusahaan itu sendiri. Karena, bisa
saja suatu kebijaksanaan dan kegiatan bisnis terlihat sangat menguntungkan
bagi perusahaan tetapi ternyata merugikan pihak tertentu, yang pada akhirnya,
dengan satu dan lain cara, khususnya dalam jangka panjang, akan secara negatif
mempengaruhi keuntungan dan kelangsungan bisnis perusahaan tersebut.
Karena itu, tetap dalam semangat etika utilitarianisme, adalah hal yang niscaya
10
bahwa analisis keuntungan dan kerugian itu dilakukan dalam semangat kriteria
ketiga: bagi sebanyak mungkin pihak terkait yang berkepentingan, yang berarti
juga bagi keuntungan dan kepentingan perusahaan tersebut.
Kedua, sering kali terjadi bahwa analisis keuntungan dan kerugian
ditempatkan dalam kerangka uang (satuan yang sangat mudah dikalkulasi).
Tentu saja ini tidak ada salahnya. Namun dari segi etika dan demi kepentingan
bisnis yang berhasil dan tahan lama, kecenderungan ini tidak memadai. Yang
juga perlu mendapat perhatian serius adalah bahwa keuntungan dan kerugian di
sini tidak hanya menyangkut aspek finansial, melainkan juga aspek-aspek
moral: hak dan kepentingan konsumen, hak karyawan, kepuasan konsumen, dan
sebagainya. Jadi, dalam kerangka klasik etika utilitarianisme, manfaat harus
ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejahteraan, kebahagiaan, keamanan
sebanyak mungkin pihak terkait yang berkepentingan.
Ketiga, bagi bisnis yang baik, hal yang juga mendapat perhatian dalam
analisis keuntungan dan kerugian adalah keuntungan dan kerugian dalam
jangka panjang. Ini penting karena bisa saja dalam jangka pendek sebuah
kebijaksanaan dan tindakan bisnis tertentu sangat menguntungkan, tetapi
ternyata dalam jangka panjang merugikan atau paling kurang tidak
memungkinkan perusahaan itu bertahan lama. Karena itu, benefits yang
menjadi sasaran utama semua perusahaan adalah long term net benefits.
Biasanya unsur kedua dan ketiga sangat terkait erat. Aspek moral biasanya
baru terlihat menguntungkan dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka
pendek di rasakan sebagai merugikan. Membangun nama, reputasi. citra, brand
memang tidak hanya didasarkan pada aspek keunggulan finansial, tapi terutama
juga aspek moral. Ini biasanya tidak terjadi dalam semalam, tetapi melalui
sebuah sejarah yang panjang. Hanya dalam jangka panjang menempatkan
kejujuran, mutu, pelayanan, disiplin, dan semacamnya sebagai keunggulan
suatu perusahaan baik ke dalam maupun ke luar, masyarakat lalu mempercayai
perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang hebat dan punya nama yang
dipertaruhkan. Semua ini pada akhirnya bermuara pada satu hal: keuntungan
yang akan datang dengan sendirinya karena kepentingan dan hak semua
kelompok terkait yang berkepentingan diperhatikan, karena aspek-aspek moral
diperhatikan, dan karena yang diutamakan adalah kepentingan jangka panjang
dan bukan keuntungan sesaat. Untuk apa mengeruk keuntungan sesaat dengan
menekan gaji karyawan di bawah standar yang wajar, tetapi pada akhirnya
seluruh produk per usahaan itu diboikot dalam pasar internasional, karena
diproduksi dengan mengeks ploitasi manusia, yaitu buruh? Untuk apa
merugikan kepentingan konsumen dengan menawarkan barang yang tidak
sesuai dengan apa yang diiklankan, kendati mendatang kan keuntungan besar,
tapi dalam jangka panjang diprotes oleh konsumen, tidak hanya dalam negeri
11
tetapi juga secara internasional? Demikian pula, lebih baik membayar gaji dan
menjamin hak-hak karyawan secara maksimal, dengan akibat mereka bisa
berkonsentrasi penuh demi mengembangkan perusahaan, daripada menekan
gaji dan hak karyawan demi keuntungan sesaat, tapi malah membuat karyawan
tidak punya komitmen yang baik dan karena itu bekerja seenaknya yang malah
akan merugikan perusahaan.
Dalam kaitan dengan ketiga hal tersebut di atas (keuntungan bagi semua
pihak terkait, keuntungan dalam kaitan dengan aspek-aspek moral, dan
keuntungan jangka panjang), menjadi jelas bagi kita bahwa kendati etika
utilitarianisme dapat membenar kan tindakan menipu dalam bisnis, melalui
iklan misalnya, hanya karena menipu mendatangkan keuntungan besar bagi
perusahaan, etika utilitarianisme tidak membe narkan semua dan segala macam
tindakan menipu dalam bisnis. Karena, pada akhirnya harus dipersoalkan
apakah manfaat dari tindakan menipu itu juga untuk semua pihak terkait.
Apakah tidak satu pun stakeholders, primer dan sekunder, tidak dirugikan?
Kalau ternyata keuntungan itu hanya bagi perusahaan, tindakan menipu tersebut
tidak bisa dibenarkan berdasarkan kriteria sebanyak mungkin pihak terkait
harus mendapat manfaat dari tindakan itu. Kedua, apakah manfaat atau
keuntungan itu juga menyangkut aspek-aspek moral ataukah hanya finansial?
Kalau ternyata tindak an itu hanya menguntungkan secara finansial tetapi
merugikan secara moral pihak tertentu, tindakan itu akan ditolak oleh etika
utilitarianisme. Ketiga, apakah dalam jangka panjang tindakan itu juga
menguntungkan, tidak hanya bagi semua pihak ter kait, tapi juga bagi
perusahaan tersebut? Kalau seandainya tindakan menipu itu, kendati dalam
jangka pendek menguntungkan perusahaan, dalam jangka panjang merugikan
perusahaan secara jauh lebih besar, maka dari sudut pandang etika
utilitarianisme akan tidak diterima sebagai tindakan yang baik dan etis. 4
Sehubungan dengan ketiga hal tersebut, langkah konkret yang perlu
dilakukan dalam membuat sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan
dan mempertim bangkan alternatif kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sebanyak-
banyaknya. Semua alternatif kebijaksanaan dan kegiatan itu terutama
dipertimbangkan dan dinilai dalam kaitan dengan manfaat bagi kelompok-
kelompok terkait yang berkepentingan - atau paling kurang, alternatif yang
tidak merugikan kepentingan semua kelompok terkait yang berkepentingan.
Kedua, semua alternatif pilihan itu perlu dinilai berdasarkan keuntungan yang
akan dihasilkannya dalam kerangka luas menyangkut aspek-aspek moral.
Ketiga, neraca keuntungan dibandingkan dengan kerugian, dalam segala aspek
itu, perlu dipertimbangkan dalam kerangka jangka panjang. Kalau ini bisa
4
Sonny Keraf, Etika Bisnis (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1998), 102-103.
12
dilakukan, pada akhirnya ada kemungkinan besar sekali bahwa kebijaksanaan
atau kegiatan dilakukan suatu perusahaan tidak hanya menguntungkan secara
finansial, melainkan juga baik dan etis.
Ini berarti setiap kebijaksanaan atau kegiatan bisnis yang pada akhirnya dala
jangka panjang akan merugikan salah satu kelompok terkait yang berkepenting
dan yang juga - kendati secara finansial menguntungkan - diperkirakan dalam
jang panjang merugikan perusahaan tersebut secara keseluruhan, harus
dihindari. Timb pertanyaan, bagaimana dengan kebijaksanaan atau kegiatan
yang ternyata dalam jangka panjang tidak hanya menguntungkan perusahaan
tersebut melainkan juga sebagian besar kelompok terkait yang berkepentingan;
tapi merugikan sebagian kecil atau satu kelompok terkait? Jawaban atas
pertanyaan ini akan diberikan di bawah ini dalam kaitan dengan jalan keluar
atas berbagai kelemahan etika utilitarianisme ini. 5
13
bahwa utilitarianisme membenarkan hak kelompok minoritas tertera
dikorbankan demi kepentingan mayoritas (kriteria ketiga). 6
F. Jalan Keluar
Tanpa ingin memasuki secara lebih mendalam persoalan ini, ada
baiknya kita secara khusus mencari beberapa jalan keluar yang mungkin
berguna bagi bisnis dalam menggunakan etika utilitarianisme yang memang
punya daya tarik istimewa ini. Yang perlu diakui adalah bahwa tidak mungkin
mungkin kita memuaskan semua pihak secara sama dengan tingkat manfaat
yang sama isi dan bobotnya. Hanya saja, yang pertama-tama harus dipegang
adalah bahwa kepentingan dan hak semua orang harus diperhatikan, dihormati,
dan diperhitungkan secara sama. Namun, karena kenyataan bahwa kita tidak
bisa memuaskan semua pihak secara sama dengan tingkat manfaat yang sama
isi dan bobotnya, dalam situasi tertentu kita memang terpaksa harus memilih di
antara alternative yang tidak sempurna itu. Dalam hal ini, etika utilitarianisme
telah menberi kita Kriteria paling objektif dan rasional untuk memilih diantara
berbagai alternative yang kita hadapi, kendati mungkin bukan paling sempurna.
Karena itu, dalam situasi di mana kita terpaksa mengambil
kebijaksanaan dan tindakan berdasarkan etika utilitarianisme, yang
mengandung beberapa kesulitan dan kelemahan tersebut di atas, beberapa hal
ini kiranya perlu diperhatikan.
a) Dalam banyak hal kita perlu menggunakan perasaan atau intuisi moral kita
untuk mempertimbangkan secara jujur apakah tindakan yang kita ambil itu,
yang memenuhi kriteria etika utilitarianisme diatas, memang manusiawi
atau tidak.
14
b) Dalam kasus konkret di mana kebijaksanaan atau tindakan bisnis tertentu
yang dalam jangka panjang tidak hanya menguntungkan perusahaan tetapi
juga banyak pihak terkait. termasuk secara moral tetapi ternyata ada pihak
tertentu yang terpaksa dikorbankan atau dirugikan secara tak terelakkan,
kiranya pendekatan dan komunikasi pribadi akan merupakan sebuah
langkah yang punya nilai moral tersendiri. 7
15
bukan hanya kepada yang kaya namun juga yang miskin juga harus
mensubsidikan sebagian dari pendapatannya.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Keraf, terdapat tiga nilai positif dalam etika utilitarianisme, yaitu
rasionalitas, otonom, dan universal. Etika utilitarianisme dapat digunakan
sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan, kebijaksanaan, ataupun
tindakan. Etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian atau
evaluasi bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilaksanakan. Dalam
dunia bisnis, etika utilitarianisme mempunyai relevansi yang kuat. Etika ini
diterapkan secara sadar atau tidak dalam the cost and benefit analysis (analisis
biaya dan keuntungan).
17
perusahaan tetapi juga banyak pihak terkait, termasuk secara moral, tetapi
ternyata ada pihak tertentu yang terpaksa dikorbankan atau dirugikan secara tak
terelakkan, kiranya pendekatan dan komunikasi pribadi akan merupakan sebuah
langkah yang punya nilai moral tersendiri.
B. Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
Widyani, Anak Aguang Dwi. Etika Bisnis Perspektif Teori dan Praktis. Badung
Bali: CV.Noah Alethia. 2020
19