Anda di halaman 1dari 16

LINGKUNGAN ETIKA DAN AKUNTANSI

Oleh :
Ari Sudrajat
Iqbal Dzulhansyah
M. Restian Malik

PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI (PPAk)


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS WIDYATAMA
2016
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat
yang tidak terhingga kepada kami selaku kelompok kami, sehingga dapat
menyelesaikan makalah manajemen perpajakan ini.
Makalah lingkungan etika dan akuntansi ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah etika profesi dan tata kelola korporat. Makalah ini juga merupakan
salah satu bahan diskusi dalam proses belajar mengajar di kampus.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran dari pihak pembaca demi
penyempurnaan makalah yang akan datang.

Bandung, 05 Maret 2016

Tim Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar 2
Daftar Isi
BAB I

3
PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN
2.1.

4
5

Pengertian manajemen perpajakan

2.2. Fungsi manajemen perpajakan 5


2.3. Perencanaan pajak

2.4. Motivasi perencanaan pajak

2.5. Manfaat perencanaan pajak

2.6. Tahapan perencanaan pajak

2.7. Strategi umum perencanaan pajak


2.7.1.

31

Tax avoidance, tax evasion, tax saving 31

BAB III PENUTUP

16

DAFTAR PUSTAKA

17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Di era globalisasi ini, profesi akuntan sangat berperan penting dalam dunia
bisnis. Profesi akuntan memiliki tempat yang istimewa karena hampir dibutuhkan
oleh organisasi apapun, baik perusahaan swasta, BUMN/BUMD, perusahaan
multinasional, perusahaan asing, pemerintahan, dan organisasi nirlaba sekalipun.
Adanya tuntutan pada era globalisasi ini, untuk menyajikan laporan keuangan
yang dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemakai eksternal maupun
internal menjadikan profesi akuntan banyak dibutuhkan oleh para pelaku bisnis.
Kondisi yang demikian, menjadikan seorang akuntan dituntut untuk mampu
bertindak secaara profesional sesuai dengan etika profesional yang dikeluarkan
oleh asosiasi profesi nya dalam hal ini adalah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Integritas, independen, dan profesionalisme merupakan suatu keharusan yang
dimiliki oleh seorang akuntan dalam menjalankan setiap tugasnya.
Kebutuhan profesi akuntan meningkat seiring dengan perkembangan
banyaknya perusahaan yang sudah go public, dimana perusahaan harus
menyajikan laporan keuangan yang telah diaudit mutlak sebagai standar
perusahaan go public. Untuk itu profesi akuntan sekarang banyak diburu karena
merupakan pekerjaan yang dianggap menjanjikan. Profesi akuntan pun dianggap
sebagai profesi yang mempunyai prospek ke depan yang cerah, baik sebagai
akuntan manajemen, akuntan public, auditor pemerintah, auditor intern, hingga

auditor pajak. Sehingga semakin banyak orang yang mendirikan KAP (Kantor
Akuntan Publik). KAP tersebut menyediakan jasa laporan audit keuangan, jasa
audit khusus, jasa atestasi, jasa review laporan keuangan, serta jasa konsultasi dan
jasa konsultasi pajak.
Ketika Akuntan Profesional dihadapkan dengan suatu permasalahan
tertentu yang tidak terdapat pada prinsip seta peraturan dalam kode etik, akuntan
dapat memilih alternatif keputusan berdasarkan prinsip umum. Alternatif tersebut
dibutuhkan suatu pembahasan tentang prinsip-prinsip etika dan bagaimana
mengembangkan sebuah kerangka keputusan menyeluruh yang praktis dan
komprehensif berdasarkan pada bagaimana tindakan yang diusulkan akan
mempengrtuhi pemangku kepentingan untuk membuat keputusan. Hal ini juga
didukung dengan kasus yang terjadi pada perusahaan pembuat mobil Ford Pinto
dan Ernst & Young di Amerika.
Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat suatu topik Pengambilan
Keputusan Beretika Terhadap Keterbatasan Kode Etik yang akan menjadi
pokok pembahasan dalam makalah kali ini. Penulis berusaha untuk menyusun
makalah ini semenarik mungkin agar para masyarakat khususnya mahasiswa dan
pelajar lainnya dapat memahami serta dapat menerapkan kerangka keputusan
menyeluruh yang praktis dan komprehensif berdasarkan pada bagaimana tindakan
yang diusulkan akan mempengatuhi pemangku kepentingan utuk membuat
keputusan.
1.2.Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah ini adalah masih adanya Akuntan Publik yang
tidak mematuhi kode etik.

1.3.Tujuan Penulisan
5

Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk mencari solusi atas masalah
yang terjadi berkaitan dengan etika profesi.

BAB II
ISI

1.1.

Etika dan Moral


Terdapat beberapa definisi mengenai etika. Brooks dan Dunn (2012)

menggunakan definisi dari Encyclopedia of Philosopy, yang melihat etika dari


tiga definisi, yaitu:
1. Pola umum atau cara pandang kehidupan
6

2. Sekumpulan aturan perilaku atau kode moral


3. Pertanyaan mengenai cara pandang kehidupan dan aturan perilaku
Definisi pertama terkait dengan etika agama, definisi kedua terkait
dengan etika profesional dan perilaku tidak beretika. Sedangkan definisi ketiga
berhubungan dengan cabang filsafat. Etika profesi akuntansi tentunya
berhubungan dengan definisi kedua.
Selanjutnya, jika definisi kedua dikaji lebih lanjut, maka menurut
Encyclopedia of Philosopy, aturan perilaku atau kode moral ini memiliki empat
karakteristik, yaitu:
1. Keyakinan tentang sifat manusia
2. Keyakikan tentang cita-cita, tentang sesuatu yang baik atau berharga
untuk dikejar atau dicapai
3. Aturan mengenai apa yang harus dikerjakan dan tidak dikerjakan
4. Motif yang mendorong kita untuk meilih tindakan yang benar atau
salah.
Keempat karakteristik ini menjadi perhatian dari teori-teori etika. Teoriteori ini sebetulnya berakar pada filsafat etika, yang mana setiap teori masih
dipertanyakan kelemahan dan kekurangannya. Namun dengan mengaitkannya
dengan keempat karakteristik ini diharapkan akan membantu pemahaman
mengenai etika sebagai sekumpulan perilaku atau kode moral.
Menurut Brooks dan Dunn (2012) terdapat tiga dasar mengapa manusia
melakukan tindakan beretika, yaitu:
1. Agama
Agama pada dasarnya sudah mengatur atau memberi petunjuk
mengenai seluruh tindakan manusia di dunia, yang harus dilakukan
dan tidak dilakukan.
2. Hubungan dengan pihak lain
Manusia minimal tidak merugikan pihak lain dan yang terbaik adalah
memberikan manfaat kepada orang lain.
3. Persepsi tentang diri sendiri

Dasar ketiga ini berdasarkan asumsi bahwa manusia sebetulnya


memiliki sifat mementingkan diri sendiri. Manusia berupaya
melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi dirinya sendiri.
Brooks dan Dunn (2012) membedakan antara mementingkan diri sendiri
dengan egois. Egois adalah melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi
diri sendiri dan tidak memdulikan apakah tindakan tersebut merugikan pihak lain
atau tidak. Sedangkan mementingkan diri sendiri adalah melakukan tindakan yang
memberi manfaat bagi diri sendiri dengan tidak merugikan pihak lain.

1.2.

Teori Etika
Sebelum membahas berbagai teori etika yang ada, terlebih dahulu perlu

dipahami apa yang dimaksud dengan teori dan apa yang dimaksud dengan ilmu.
Ilmu pada dasarnya adalah kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan
berbagai gejala alam (dan social) yang memungkinkan manusia melakukan
serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan
yang ada, sedangkan teori adalah pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan
mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan (Suriasumantri,
2000) dalam (Agoes, 2019). Fungsi teori dalam ilmu pengetahuan adalah untuk
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Etika sebagai disiplin ilmu
berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan
norma-norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik.
1.2.1 Egoisme
Rachels (2004) dalam Agoes (2009) memperkenalkan dua konsep yang
berhubungan dengan egoisme, yaitu : egoisme psikologis dan egoisme etis.
Egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan
manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri sendiri (selfish). Menurut teori
ini, orang bolehj saja yakin bahwa ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan
suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur dan/atau tindakan
yang suka berkorban tersebut hanyalah ilusi. Pada kenyataanya, setiap orang
hanya peduli pada dirinya sendiri. Jadi, menurut teori ini, tidak ada tindakan yang
sesungguhnya bersifat altruisme. Altruisme adalah suatu tindakan yang peduli
8

pada

orang

lain

atau

mengutamakan

kepentingan

orang

lain

dengan

mengorbankan kepentingan dirinya.


Egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri
(selfish). Hal ini dapat dilihat dalam hal berikut : apabila saya belajar hingga larut
malam atau bekerja keras untuk mendapat penghasilan, maka semua tindakan
tersebut dapat dikatakan dilandasi oleh kepentingan diri sendiri, namun tidak
dianggap sebagai tindakan berkutat diri. Tindakan berkutat diri ditandai dengan
ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan
mementingkan diri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain.
1.2.2 Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata latin utilis, kemudian menjadi kata
inggris utility yang berarti bermanfaat (bartens, 2000) dalam Agoes, 2009.
Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatakan baik jika membawa manfaat
bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat, atau dengan istilah yang sangat
terkenal: the greatest happiness of the greatest numbers. Jadi, ukuran baik
tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi atau tujuan dari tindakan
itu - apakah memberikan manfaat atau tidak.
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak
pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang
kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut
kepentingan orang banyak (kepentingan bersama, kepentingan rakyat).
Dari uraian sebelumnya, paham utilitarianisme dapat diringkas sebagai
berikut :
1. Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya
(akibat, tujuan, atau hasilnya).
2. Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter
yang

penting

adalah

jumlah

kebahagiaan

atau

jumlah

ketidakbahagiaan.

3. Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.


1.2.3 Deontologi
Paham deontologi mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak
ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan
tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk
menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Suatu perbuatan tidak pernah menjadi
baik karena hasilnya baik. Hasil baik tidak pernah menjadi alasan untuk
membenarkan suatu tindakan, melainkan hanya karena kita wajib melaksanakan
tindakan tersebut demi kewajiban itu sendiri.
1.2.4 Teori Keadilan
Filsuf Inggris David Hume (1711-1776) meyakini bahwa kebutuhan
keadilan muncul karena dua alasan. Pertama bahwa manusia tidak selalu bersifat
baik dan penolong, dan kedua adalah masalah kelangkaan sumber daya. Keadilan
(Justice) adalah proses pemberian atau alokasi sumber daya dan beban
berdasarkan alasan rasional. Ada dua aspek dari justice, yaitu procedural justice
(proses penentuan alokasi) dan distributive justice (alokasi yang dilakukan).
Procedural

justice

berkepentingan

dengan

bagaiamana

justice

diadministrasikan. Aspek utama dari suatu sistem hokum yang adil adalah
prosedur yang adil dan transparan. Artinya setiap orang diperlakukan sama dan
aturan diterapkan tanpa membedakan. Penerapan hukum harus konsisten di
wilayah hukum kapanpun terjadi. Keadilan juga dapat dinilai berdasarkan fakta.
Artinya informasi yang digunakan untuk menilai sebuah tuntutan harus relevan,
dapat dipercaya dan mudah diperoleh.
Berikutnya adalah distributive justice, melakukan alokasi yang adil
berdasarkan ketidaksamaan. Terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan untuk
melakukan alokasi, yaitu berdasarkan kebutuhan, aritmatika kesamaan dan merit.
Sistem perpajakan cenderung menggunakan kriteria kebuthan, dimana anggota
masyarakat

yang

beruntung

secara

ekonomi

membayar

pajak

untuk

didistribusikan kepada anggota masyarakat yang kurang beruntung.

10

Kriteria kedua adalah aritmatika kesamaan. Sebagai contoh, untuk


menjamin distribusi yang sama dalam pembagian kue, maka orang yang bertugas
memotong kue mendapatkan potongan yang terakhir. Kriteria ketiga adalah
berdasarkan merit. Seorang yang memberikan kontribusi lebih atas suatu
pekerjaan akan mendapatkan alokasi yang lebih besar.
1.2.5 Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Berbeda dengan teori teleologi dan deontologi yang keduanya sama sama
menyoroti moralitas berangkat dari suatu tindakan, teori keutamaan berasal dari
manusia itu sendiri. Teori keutamaan tidak menanyakan tindakan mana yang etis
dan tindakan mana yang tidak etis.
Dasar pemikiran teori keutamaan sangat berbeda. Teori ini tidak lagi
mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat dari pertanyaan mengenai sifatsifat atau karakter yang dimiliki seseorang agar bisa disebut sebagai manusia
utama, dan sifat-sifat atau karakter yang mencerminkan manusia hina. Dengan
demikian karakter/sifat utama dapat didefinisikan sebagai disposisi sifat/watak
yang telah melekat/dimiliki oleh seseorang yang memungkinkan dia untuk selalu
bertingkah laku yang secara moral dinilai baik (Agoes, 2009).

1.3.

Pengambilan keputusan beretika

1.4.Kasus Ford Pinto


Dennis A. Gioia, professor dari Pennsylvania State University. Setelah
menyelesaikan pendidikan MBA di tahun 1972, ia diterima bekerja di perusahaan
impiannya, yaitu Ford Motor Company. Sebagai generasi tahun 1960an, ia aktif
terlibat dalam demonstrasi anti perang Vietnam dan berbagai gerakan protes
lainnya. Ia tumbuh menjadi orang yang sangat berprinsip . dan siap untuk
mengubah dunia. Ia juga kritis terhadap perusahaan yang dianggapnya hanya
mengejar laba. Ia bercita-cita untuk mengubah Ford dari dalam.
Tak lama kemudian, Gioia terbenam dalam keasyikan bekerja,
menaklukkan satu tantangan ke tantangan lain, dan berlomba dengan pegawai

11

baru lainnya untuk mendapat pengakuan sebagai bintang yang cemerlang. Iapun
dengan

cepat

dipromosikan

menjadi

Field

Recall

Coordinator

yang

mengumpulkan informasi terkait dengan kemungkinan terjadinya masalah pada


kendaraan dan memberikan rekomendasi untuk menarik kembali mobil-mobil
yang bermasalah. Jabatan ini penting karena keputusannya dapat mempengaruhi
keselamatan orang banyak.
Awalnya Gioia sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia
mempertimbangkan banyak aspek, yang sampai membuatnya susah tidur. Namun,
dengan berjalannya waktu, ia semakin trampil dalam pengambilan keputusan,
dengan hanya memperhatikan beberapa faktor kunci. Kebetulan ketika itu
perusahaan menghadapi tekanan persaingan dari Jepang yang mengakibatkan
penurunan produksi dan pengurangan pekerja secara signifikan. Dengan demikian
pertimbangan kelangsungan hidup perusahaan menjadi dominan, termasuk ketika
ia merekomendasikan Ford Pinto, salah satu dari sedikit andalan perusahaan,
untuk tidak perlu ditarik kembali. Padahal telah jatuh beberapa korban yang
terbakar karena adanya kesalahan dalam disain dan penekanan biaya produksi.
Kasus Ford Pinto pada akhirnya meledak menjadi isu nasional. Gioia, setelah
keluar dari perusahaan, mengakui keputusannya merupakan keputusan yang tidak
etis. Namun semasa ia bekerja di perusahaan ia tidak memiliki sedikit keraguan.
Paket sistem, organisasi ,lingkungan kerja, dan budaya perusahaan berhasil
mengubah Gioia menjadi orang yang berbeda, tanpa disadarinya.

1.5.

Analisis kasus ford pinto

12

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan
Analisis dampak pemangku kepentingan menawarkan cara formal dalam
membawa kebutuhan dari organisasi dan individu konsikuennya (masyarakat)
kepada sebuah keputusan. Perdagangan merupakan hal yang sulit dan dapat
memperoleh keuntungan dari kemajuan teknik semacam itu. Penting untuk tidak
melupakan fakta bahwa konsep analisis dampak pemangku kepentingan yang
dibahas dalam makalah ini perlu diterapkan bukan merupakan teknik tunggal,
tetapi (teknik) bersama-sama sebagai suatu perangkat. Hanya dengan begitulah
suatu analisis yang komprehensif akan dicapai dan keputusan etis dapat dibuat.
Bergantung pada sifat dari keputusan yang akan dihadapi, dan pemangku
kepentingan yang akan terpengaruhi, analisis yang tepat dapat didasarkan pada
konsekuensialisme, deontologi, dan etika kebajikan sebagai kumpulan, atau salah
satu dari 5-pertanyaan yang dimodifikasi, standar moral, atau pendekatan Pastin,
dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya masalah bersama yang timbul.
Setiap pendekatan EDM yang komprehensif harus menyertakan tidak hanya
sebuah pemeriksaan dampak keputusan atau tindakan, tetapi juga analisis gap dari
motivasi kebajikan, dan sifat karakter yang terlihat.
Seorang akuntan profesional dapat menggunakan analisis pemangku
kepentingan dalam membuat keputusan tentang akuntansi, audit, hal-hal praktik,
dan harus siap untuk memperisapkan atau membantu majikan atau klien dalam
13

analisi tersebut seperti yang saat ini menjadi kasus di area lain. Meskipun banyak
eksekutif berorientasi angka dan akuntan waspada jika terlibat dengan analisi
subjektif lunak yang menggambarkan analisis kebijakan dan harapan para
pemangku kepentingan, mereka harus ingat bahwa dunia telah berubah dengan
menempatkan nilai yang jauh lebih tinggi pada informasi non-angka. Mereka
harus berhati-hati menempatkan bobot terlalu banyak dalam analisis numerik, jika
tidak mereka jatuh ke dalam perangkap ekonom, yang, sebagaimana dikatakan
Oscar Wilde: ketahuilah harga dari segala sesautu dan nilai dari sesuatu yang
sebenarnya tidak bernilai.
Direksi, eksekutif, dan akuntan juga harus mengerti bahwa teknik-teknik
yang dibahas dalam makalah ini menawarkan pemahaman berarti yang lebih baik
dalam hal interaksi di antara organisasi mereka dan/atau profesi dan potensi
pendukung.

Penilaian

dampak

terhadap

pemangku

kepentingan

bila

dikombinasikan dengan peringkat kemampuan setiap pemangku kepentingan


untuk melawan aksi akan mengarah pada pencapaian sasaran strategis yang lebih
baik berdasarkan pemangku kepentingan yang puas. Operasi yang berhasil dalam
jaringan pemangku kepentingan global akan memerlukan tindakan di masa depan
yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga dapat dipertahankan secara etis.
3.2.Saran
Diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun
penyusun dapat mengambil keputusan etis praktis yang baik dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam menjalankan usaha/bisnisnya, seorang pengusaha haruslah
mengambil keputusan yang etis. Melalui kasus diatas diharapkan pula
memberikan kesadaran yang jauh lebih besar dari masalah-masalah dan tren etika
yang sedang berjalan, termasuk konflik kepentingan dan kontrol kepentingan
pribadi. Kita harus mampu melakukan persaingan yang bebas dari segala bentuk
kecurangan dan tidak hanya untuk mencari keuntungan semata dengan
menghalalkan segala cara atau perbuatan setiap haruslah mencerminkan tata
kelola dan etika yang ia junjung. Sebaiknya usahanya memulai sebelum
pengetahuan atau pelatihan dasar-dasar yang harus dipatuhi seperti yang terdapat
dalam kode menjadi landasan dasarnya.

14

15

DAFTAR PUSTAKA
Brooks, Leonard J dan Paul Dunn. 2011. Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur,
Eksekutif, dan Akuntan. Jakarta; PT Salemba Empat.
Tuankotta, Theodorus M. .2011. Berpikir Kritis dalam Auditing. Jakarta: Salemba empat.

16

Anda mungkin juga menyukai