Anda di halaman 1dari 5

Integrasi Sosial Masyarakat Beragama dalam Perspektif Tafsir

Jakarta - Agama, dalam bentuknya yang bagaimana pun adalah Way of Live yang menghubungkan
manusia dengan suatu Dzat di luar dirinya yang dianggap absolute, Tuhan. Dalam proses interaksi
dirinya dengan Dzat dimaksud, agama dianggap memberikan panduan untuk menuju titik komunikatif
antara keduanya.

Jalan hidup, itulah barangkali yang memberikan agama sebagai Syari'at (asal kata assari' yang berarti
jalan besar-raya). Untuk dapat melalui jalan besar itu pada fitrahnya manusia memilih jalan kecil (al-
thariq: jalan kecil-gang) yang mereka anggap lebih cepat untuk sampai ke syariat itu.

Pernyataan ini dapat diilustrasikan bahwa syariat adalah jalan besar yang secara langsung menuju tujuan
utama (Tuhan), dan al-thariq adalah jalan-jalan kecil yang menghubungkan manusia menuju jalan besar
(syariat) tersebut. Di jalan itu terdapat banyak lajur kendaraan yang berbeda pula. Bahkan, ada yang
lebih senang melewati jalur-jalur alternatif, atau bahkan jalan tol untuk lebih cepat sampai.

Jenis kendaraan yang dipakai pun macam-macam. Dari sepeda motor, mobil pribadi, hingga ke bus
besar. Warna dan mereknya pun berbeda. Namun, semua kendaraan itu menuju satu tujuan yang sama.

Pemahaman terhadap cara pandang di atas akan dapat menumbuhkan kesadaran pada setiap pemeluk
agama untuk saling menghormati sesame pengguna jalan (syariat) hidup beragama. Dengan memahami
dan menghormati jenis dan bahkan "merk" kendaraan yang dipakai dengan tidak mengatakan mereka
yang berbeda dari sebagiannya adalah tidak sah.

Ironisnya, dalam prakteknya perbedaan jalan ini memunculkan banyak persinggungan yang tak jarang
berujung konflik (adu jotos-mungkin). Realitas ini semakin membiaskan konsepsi universal tentang satu
tujuan yang sma, Tuhan.

Terminologi Integrasi Sosial

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia integrasi diartikan sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan.
Kesatuan sendiri dengan demikian mengisyaratkan perhimpunan elemen-elemen berbeda. Ilmu
sosiologi memaknai sebagai perhatian terhadap nilai kemajemukan pada tingkat perilaku individual
(behavioral) atau satuan-satuannya.

Integrasi sosial meliputi interaksi individu dengan semua arti yang berhubungan dengan komunikasi
simbolik, penyesuaian timbal balik, kerja sama atau konflik dan pola penyesuaian (adaptation) atau yang
berhubungan satu sama lain terhadap lingkungan yang lebih luas dan berbeda.

Dalam konteks masyarakat beragama, integrasi sosial dengan demikian mencakup segala proses
penyatuan kelompok beragama dalam kapasitas sosialnya (bukan keyakinannya-madzhab sekali pun) ke
dalam kesatuan sosial lebih dari sikap mengedepankan simbol atau identitas golongan. Al-Quran
mengingatkan dalam surat al-Imran ayat 102 dan 103:
"Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah sebenar-benarnya takwa (yaitu dengan
mentaati dan bukan mendurhakai. Mensyukuri dan tidak kufur nikmat, mengingat dan tidak
melupakanNya. Kata para sahabat; wahai rasulallah, siapakah yang sanggup melaksanakan ini?"

Maka ayat ini dinasakhkan dengan firmanNya; "bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kemampuanmu", dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam
(bertauhid kepada Allah). Berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah (agamanya) ke semuanya, dan
janganlah kamu berpecah belah (setelah menganut Islam) serta ingatlah nikmat Allah (karuniaNya)
kepadamu ketika kamu dulu (sebelum islam) bermusuh-musuhan, maka dirukunkanNya (dihimpunNya)
di antara kamu (melalui Islam) lalu jadilah kamu berkat nikmatNya bersaudara (dalam agama dan
pemerintahan) padahal kamu telah berada di pinggir jurang neraka (sehingga tak ada lagi jalan kecuali
terjerumus ke dalamnya dan mati dalam kekafiran) lalu diselamatkannya kamu dari padanya (melalui
iman kalian), demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya supaya kamu memperoleh petunjuk."

Secara Ijmali, Al-Maraghi menafsirkan ayat di atas dengan kewajiban berpeganag teguh kepada kitab
dan janji Allah yang telah dijanjikanNya. Dalam perjanjian itu menurut Al-Maraghi terkandung perintah
hidup rukun dan bermasyarakat (bernegara) untuk taat kepada Allah dan rasulNya dan melaksanakan
perintahNya.

Dalam konteks asbabunnuzul, Al-Faryabi dan abi Hatim bersumber dari Anas r.a meriwayatkan ayat ini
katika kaum Aus dan Khajraj terlibat dialog tentang kegagahan-kehebatan masing-masing dari keduanya
sebelum disatukan oleh Islam (jahiliyah). Hingga ahirnya terpola pada egoisme-primordial keduanya,
sehingga kedua kelompok ini saling tuding dan hendak berhadapan satu sama lain sebelum akhirnya
berita ini terdengar oleh Rasulullah SAW dan diwahyukanNya ayat ini pada Rasulullah.

Pada suratal-An'am ayat 153 Allah lagi-lagi menegaskan tentang pentingnya integrasi dalam kehidupan
manusia. "Dan bahwa yang kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia: jangan
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena itu menceraiberaikan kamu dari jalanNya".

Yang dimaksud tali Allah dalam ayat ini adalah jalan yang lurus; perpecahan itu dengan demikian adalah
jalan yang tidak boleh ditempuh. Jalan-jalan yang lain dimaksud adalah agama-agama dan kepercayaan
yang selain Islam. Kecaman Allah bagi mereka yang mengikuti jalan lain itu dapat disimak dalam surat
yang sama ayat 159 yang artina:

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi berpecah belah
(bergolongan), tidak ada sedikit pun tanggung jawab kamu terhadap mereka, sesungguhnya urusan
mereka hanyalah terserah Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah
mereka perbuat".

Masalahnya adalah, di sisi yang lain, perbedaan adalah Sunnatullah. Setiap manusia diberikan
kebebasan untuk menggunakan akal dan nuraninya unuk mencari jalan yang terbaik menuju Allah.
Dalam term ini, Islam (Syariah) sebagai sistem nilai yang idiil hampir menemukan kemapanannya.
Tentunya kesatuan tauhid akan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad SAW adalah mutlak.
Kemapanan ini akan berbeda ketika sudah memasuki wilayah sosiologis masyarakat beragama.
Nilai kesatuan Tauhid itu dalam pencapaiannya sebagai sunnatullah sering kali menimbulkan perbedaan.
Perbedaan dalam proses inilah yang memicu terjadinya konflik sosial masyarakat beragama sesuai
dengan latar belakang sosiologis mereka masing-masing dalam menangkap pemahaman tauhid. Klaim
paling benar dalam perbedaan itulah yang dikecam Allah SWT. Karenanya secara an sich siapa yang
paling benar nantinya hanya hak Allah untuk menentukannya sebagai hak absolitesmeNya.

Integrasi: Antara Pluralitas dan Konflik

Cara pandang yang sempit terhadap makna dan hakikat agama. Dus, kurangnya sikap menerima
perbedaan sebagai sunnatullah an sich akan memicu konflik dalam beragama (masyarakat beragama),
atau bahkan intern komunitas agama.

Konflik sebagai suatu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat antara individu dan kelompok
muncul karena adanya perbedaan cara pandang dan penyikapan atasnya yang diperparah dengan
berbedanya latar belakang sosial budaya, pengetahuan, keyakinan, norma dan nilai-nilai yang dianut.

Secara teoritik konflik berangkat dari adanya sesuatu yang tidak sama antara satu bagian dengan bagian
lainnya yang menimbulkan ketegangan-pertentangan. Walau pada akhirnya menurut Paul B Horton
(1996: 19) pertentangan itu akan membawa perubahan.

Cara pandang Horton ini memusatkan perhatiannya pada perbedaan, ketegangan, dan perubahan yang
dipaksakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan keuntungan dari konflik dimaksud. Sosiolog
Muslim era abad 13-an Ibn Khaldun kurang lebih memandang konflik memiliki potensi integratif. Ibn
Khaldun memandang sisi positif dari konflik yang terjadi di masyarakat.

Menurutnya, konflik it terjadi hanya karena persepsi keliru terhadap makna "ashabiah" sebagaimana
terjadi pada masa jahiliyah sebelum kelahiran Islam. Persepsi keliru itu menafikan potensi nasionalisme
semangat kesukuan untuk kesatuan yang lebih besar daripada kecintaan berlebih terhadap
kelompoknya.

Masih menurut Khaldun konsep Ashabiah jahiliyah merupakan perilaku negatif yang timbul karena
kesombongan, takabur, dan keinginan untuk menyokong-bergabung dengan suku yang lebih kuat dan
terhormat sehingga sering kali menimbulkan konflik di antara kelompok-kelompok yang ada. Padahal
konsep Ashabiah mengandung nilai-nilai solidaritas sosial berdasarkan nilai-nilai Islam, sesuai dengan
makna "Ashab" yang berarti persahabatan atau "isabah" yang berarti ikatan mental sosial yang
menghubungkan orang-orang secara kekeluargaan.

Integrasi dan Pluralisme: Upaya Mencari Persamaan Persepsi

Prinsip religius plurality tidak melulu dimaknai sebagi pengakuan kebenaran semua agama. Akan tetapi
pluralisme keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk
hidup mengingat semua agama pada mulanya menganut prinsip yang sama tenang ke-Esaan.
Maka dengan demikian agama-agama iu baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena
persinggungan satu sama lain akan secara berangsur-angsur menemukan kebenaran asalnya sendiri.
Sehingga, semua akan bertumpu pada satu titik pertemuan. Meminjam istilah Nurcholis Madjid
Cammon Platform ini dalam al-Quran disebut dengan kalimatun sawa.

Dalam Islam, pada saat syariat itu datang, ia tidak memonopoli beragam jalan keselamatan an sich
hanya pada pemeluknya saja. Namun, keberagamannya diakui Islam. Baik metode-cara, syariat-syariat,
dan agama-agama sebelumnya dalam kesatuan tauhid adan uluhiyyah dus mengakui konsep iman
kepada hari pembangkitan dan berperilaku baik.

Dengan menempatkan pluralitas pada posisi ini pluralitas dapat melahirkan pengayaan peradaban dan
budaya. Sebut saja sebagai contoh. Islam dalam potret masyarakat Timur Tengah tidak mesti sama
dengan Islam di Asia, atau Islam Jawa dengan Islam di luar Jawa memiliki corak yang tidak persis sama.
Dinamiknya bentuk keberagamaan ini tentunya masih dalam kesatuan tauhid.

Allah SWT dalam surat Hud ayat 118-199 menegaskan: "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisiah pendapat, kecuali orang-
orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka".

Sa'id Ibn Jubair (45-95 H / 665-714 M) menafsirkan "ummatan waahidatan" dengan agama Islam atau
syari'at Islam semata. Sedangkan Mujahid Ibn Jubair al-Maliki (21-104 H / 624-722 M) dan Qhatadah Ibn
Duamah as-Sadusi (61-118 H / 680-736 M) menafsirkan ayat "tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat" dengan keniscayaan manusia selalu berada dalam syari'at-syari'at yang beraneka ragam. Dan,
Hasan al-Basyri (21-110 H / 642-628 M), Muqatil Ibn Sulaiman (150 H / 761 M), dan Atha Ibn Dinar (126
H / 744 M) menafsirkan "dan untuk itulah Allah menciptakan mereka" sebagai pemafhuman atas
indikasi adanya perbedaan, atau karena manusia berbedalah maka Allah SWT menciptakan mereka.

Sebagaimana struktur Agama Islam yang dapat merangkum pluralitas dan keyakinan dalam beragama.
Demikian juga dimensi universalisme-humanismenya yang diatur oleh kerangka ke-ummat-an, subtansi
dan pemahamannya menjadi membesar dan terus elastifistik, futuristik, dan dinamik. Dengan demikian
jika kesatuan umat dapat menaungi pluralitas syariat dan ahama-agama, dipastikan dapat juga
menaungi pluralitas bangsa-bangsa.

Kedua warna pluralitas dan kemajemukan itu adalah satu ayat (kebesaran) Allah SWT. Keyakinan
beragam yang berbeda menggariskan batas-batas lingkaran keyakinan-keyakinan yang berbeda dalam
naungan kesatuan agama. Dan, bahasa-bahasa menggariskan batas-batas lingkaran kebangsaan yang
beragam dalam naungan integrasi umat. Dalam al-Quran ditegaskan: "dan di antara tanda-tanda
kekuasaanNya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu,
sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui" (ar-
Rum : 22).
Integrasi Sosial dalam Strata Bangsa Indonesia

Bangsa yan besar ini dalam dimensi horizontal dapat disederhanakan dengan penandaan terhadap
adanya kolektivisme sosial berdasarkan kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan. Pada perjalanan
sejarahnya sering kali terjadi gesekan sosial baik dalam terma kesukuan, keagamaan, maupun
kedaerahan. Motif dan nuansanya juga beragam. Tak jarang perbedaan kedaerahan misalnya dipertajam
dengan perbedaan adat istiadat atau juga kesenjangan ekonomi antar daerah.

Dalam masyarakat beragama konflik sering kali disulut oleh "semangat membabi buta" antar kelompok
agama, dan banyak lagi contoh kasus konflik sara lainnya yang terekam kuat dalam ingatan masyarakat
bangsa ini. Singkatnya pekerjaan rumah seluruh elemen bangsa ini bagi tercapainya integritas sosial
masyarakatnya untuk mencari solusi bagaiman konsep kesejahteraan berlaku aktif menembus batas-
batas kedaerahan dengan berbagai manifestinya.

Konflik yang terus berkecamuk di daerah-darah rawan konflik beberapa waktu lalu seperti Ambon, Poso,
maluku, Aceh, Timika, dan lainnya hanyalah percikan api dari belum tuntasnya proses integrasi nasional
dalam tinjauan vertikalistik. Perlu kesadaran mendalam seluruh elemen bangsa ini untuk saling
bergandengan tangan dengan semangat toleransi akan perbedaan untuk kesatuan nasional yang lebih
baik di kemudian hari. Wallahualam.

Anda mungkin juga menyukai