Penulis,
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ihsān dalam Al Qur’an...................................................................... 2
2.2. Penerapan Ihsān dalam Kehidupan Bermasyarakat............................................ 4
2.3. Balasan Bagi Orang-Orang yang Berbuat Ihsān................................................. 7
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan......................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika
kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang
saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain)
untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid,
2
sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk
membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”. (QS. al Isra’ : 7)
3
perbuatan baik orang lain dengan yang lebih baik, memaafkan dan berbuat baik
kepada orang yang berbuat kesalahan termasuk perbuatan ihsān.
Perbuatan ihsān ini merupakan perwujudan dan sikap manusia yang
menyadari akan eksistensinya sebagai makhluk sosial. Hal ini berarti bahwa
manusia disamping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial yang
senantiasa memerlukan bantuan dan pertolongan orang lain. Karena itulah, Allah
menyuruh kepada manusia agar mereka menjalin hubungan baik, saling
menghormati, membantu dan berbuat kebajikan, sekaligus melarang melakukan
perbuatan-perbuatan yang akan menimbulkan ke-madharat-an bagi sesama
manusia.
Dalam konteks ini, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa definisi adil
dalam ayat tersebut adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan ihsān
menempatkannya bukan pada tempatnya. Dengan kata lain, ihsān adalah
memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya, atau memperlakukan yang
bersalah dengan perlakuan yang baik. Sikap ihsan dinilai sebagai sesuatu yang
melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama
dari pada kedermawanan atau ihsān. Pengertian berbuat kebajikan tersebut
dibangun dari kutipan M. Quraish Shihab terhadap pernyataan Ali bin Abī Thālib.
[8]
4
Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. an Nisa’ : 36)
Wahbah al Zuhaily menguraikan secara jelas bahwa ihsān kepada orang tua meliputi
berbuat baik kepada keduanya dan berkhidmat serta mengikuti permintaan mereka
sesuai dengan kemampuan. Termasuk dalam kategori ini adalah bersikap lemah lembut
dalam perangai dan tutur kata terhadap keduanya.[10]
Perintah untuk berbuat kebajikan (ihsān) kepada kedua orang tua dilandasi beberapa
alasan. Di antara alasan dimaksud adalah fakta bahwa kedua orang tua telah berjasa
besar dalam membesarkan dan memelihara anaknya, sebagaimana difahami dari
penjelasan ayat juga dalam dan QS. Luqmān (31) : 14-15;
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu. (14) Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan.(15)” (QS. Luqman : 14-15)
Perintah untuk berbuat ihsān kepada kedua orang tua pada dua ayat terdahulu
mengisyaratkan kepada lawan bicara bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah
keniscayaan mengingat peran dan penderitaan orang tua dalam mengasuh anaknya.
5
Latar belakang inilah yang kemudian menjadi penekanan kepada sang anak untuk
berbakti kepada kedua orang tua mereka.
Tahap selanjutnya, diisyaratkan kepada sang anak untuk memperhatikan batas-
batas ketaatan yang dimaksud dengan informasi bahwa kesemua itu hanya pada aspek
yang tidak mengarah kepada pemusyrikan. Al Qur’an secara apik mendeskripsikan
kepada lawan bicara bahwa ada masa tertentu sang anak akan berhadapan dengan
kondisi dimana ia diminta secara tegas untuk memilih, taat kepada kedua orang tua
pada satu sisi dan tidak memusyrikkan Allah pada sisi lain. Untuk kondisi yang
sedemikian itu, al Qur’an mempertegas bahwa hanyalah kepada Allah semata ketaatan
itu dan tiada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 14-
15.
Meski pada redaksional ayat, QS. Luqmān: 14-15 dan QS. al Ankabūt
mengedapankan perintah berbuat ihsān kepada kedua orang tua. Kongklusi ini ditarik
berdasarkan pengertian bahwa inti pembicaan pada keseluruhan ayat mengisyaratkan
manusia untuk tidak mempersekutukan Tuhannya dengan dasar apapun, bahkan dalam
keadaan lawan bicara tidak mengetahui dasarnya. Untuk kondisi yang sedemikian itu,
al Qur’an mempertegas bahwa hanyalah kepada Allah semata ketaatan itu dan tiada
sekutu bagi-Nya. Seperti yang dikemukakan oleh al Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya
al Kasyf bahwa ketaatan kepada orang tua terbatasi dengan perintah mempersekutukan
Allah.[12]
Ihsān juga digambarkan dalam bentuk ناTT حسsebagaimana lanjutan ayat bahwa
perbuatan ihsān yang diarahkan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan
orang-orang miskin harus pula diiringi dengan mengucapkan perkataan baik kepada
manusia.
Dalam redaksional surat QS. al Ankabūt ayat 8 menjelaskan bahwa manusia telah
diwajibkan untuk berbuat ihsān kepada kedua orang tua. Perbuatan ini kemudian
dibatasi dengan bentuk dispensasi bahwa taat dan patuh yang dijadikan dasar untuk
berbuat ihsān kepada kedua orang tua tidak dalam hal memperserikatkan Allah dengan
lainnya. Keadaan ini berlaku pada kondisi lawan bicara itu tahu atau tidak. Lengkapnya
ayat tersebut sebagai berikut ;
6
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya.
dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya
kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.” (QS. al Ankabut : 8)
7
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah :
195)
Al Suyuthi menjelaskan kembali dalam tafsirnya, al Jalalain bahwa Allah akan
memberi pahala kepada orang-orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allah.
[17]
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya. dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan. mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus
: 26)
8
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Secara bahasa, kata ihsān sama artinya dengan kata al khoir, al birr, dan al
ma’ruf, yang kesemuanya itu bermakna kebaikan. Tetapi, ihsān secara istilah lebih luas
dalam pengertiannya. Dalam al Qur’an, kata ihsān disebutkan ke dalam 165 ayat. Ihsān
adalah sebuah perbuatan yang melampaui kebiasaan pada umumnya, ia dapat
berbentuk perilaku ataupun perbuatan. Banyak redaksi ayat-ayat dalam al Qur’an yang
menjelaskan tentang ihsān dan penerapannya dalam kebidupan bermasyarakat. Salah
satu contoh perbuatan ihsān adalah berbuat baik terhadap kedua orang tua yang telah
tertulis dalam al Qur’an surat al Ankabut ayat 8.
9
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an
Abady, Muhammad bin Ya’qub Fairuz. Qamus al Muhith. ttp: tnp, tth
Eni, Handi. “Perbedaan al khoir, al birr, al ma’ruf, dan ihsān”, dalam
http://handienioke.blogspot.com, (diakses pada 16 November 2014)
Fathullah, Ahmad Luthfi. al Qur’an al Hadi 11 Kemudahan Berinteraksi dengan al Qur’an.
Jakarta: Pusat Kajian Hadits, tth.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Pustaka Mizan, 2013.
Suyuthi (al), Jalal al Din. Tafsir al Jalalain. Surabaya: al Haramain, 2008.
Zamakhsyari (al), Abu al Qasim. al Kasyf. Beirut: Dar al Kitab al ‘Araby, 1407 H.
Zuhaily (al), Wahbah bin Musthafa. al Tafsir al Munir fi al ‘Akidah wa al Syari’at wa al
Manhaj. Damaskus: Dar al Fikr, 1418 H.
10