Anda di halaman 1dari 8

Tingkatan Maqamat

Berkaitan dengan tingkatan-tingkatan maqamat yang harus ditempuh seseorang untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah SWT, para sufi memiliki pendapat yang berbeda-beda. Menurut
Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum ad-Din, maqamat terdiri dari 8 tingkatan yaitu taubat,
sabar, zuhud, tawakal, mahabbah, ridha dan ma’rifat. Menurut as-Sharraj ath-Thusi maqamat
terdiri dari 7 tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, ridho, dan tawakal. Sedangkan
menurut Muhammad al-Kalabazy maqamat terdiri dari 10 tingkatan yaitu taubat, zuhud, sabar,
faqr, tawadhu’, takwa, tawakal, ridho, mahabbah, dan ma’rifat. Dan ini merupakan penjelasan
dari tingkatan-tingkatan maqamat.

1. Taubat

Taubat berasal dari bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti kembali dan
penyesalan. Sedangkan pengertian taubat menurut ahli sufi adalah memohon ampun atas
segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk
tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan
yang dianjurkan oleh Allah SWT.1 Hakikat taubat ialah kembali kepada Allah dengan
melaksanakan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-
Nya atau kembali dari sesuatu yang dilarang kepada sesuatu yang diperintahkan. Tiga hal
yang harus dipenuhi dalam taubat, yaknipenyesalan, meninggalkan dosa yang pernah
dilakukan, dan menyadari kelemahan serta ketidakberdayaan. Hakikat taubat ialah
menyesali dosa-dosa yang pernah diperbuat, sadar terhadap dosa tersebut dan bertekad
tidak mengulanginya kembali.2
Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang
bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat
Allah SWT, dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi 2: taubat wajib dan
taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena meninggalkan perkara-perkara wajib
atau menyesal melakukan perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat
karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah atau menyesal
1
Hamzah Tualeka dkk, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013).,hlm. 244

2
http://eprints.walisongo.ac.id/3949/2/Hasyim_Muhammad-Al_Jilani.pdf pada 25 Oktober 2017 pukul 21.38
melakukan perbuatan-perbuatan makruh. Dan Ibnu Taimiyah juga menjelaskan dua
tingkatan orang yang bertaubat yaitu al abrar al-muqtashidun (orang-orang yang
melakukan taubat wajib) dan as-sabiqun al-awwalun (orang yang melakukan taubat wajib
dan taubat sunnah).3
Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan tentang maqam taubat diantaranya
ayat yang berbunyi:
‫ب إذلل اَ ل‬
‫السس نولنسسمم‬ ‫نواَللذذيِنن اَذنذاَ فننعللوُ اَنفاَذحنشةة أنموظنلنلموُاَأنمنفلنسسسهلمم نذنكلرواَ ل‬
‫انسس نفاَمسسستنمغفنلراَ لذسسلذلنوُبذذهمم نونمسسمن يِنمغفذسسلر اَلسسذذلنوُ ن‬
‫صذرواَنعلنىى نماَ فننعللوُاَ نوهلمم يِنمعلنلموُنن‬ ‫يِل ذ‬
Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-
dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan
mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Q.S Ali
Imran : 135)

2. Zuhud
Zuhud secara harfiah berarti meninggalkan kesenangan dunia, atau tidak ingin kepada
sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut pandangan para sufi zuhud diartikan sebagai
suatu sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan
mengutamakan kehidupan ukhrawi. Zuhud merupakan sarana untuk mengendalikan diri
dari pengaruh kehidupan duniawi. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar
kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi daripada mengejar kehidupan dunia
yang fana’ dan sepintas.4

Zuhud terbagi dalam tiga tingkatan, Pertama: zuhudnya orang awam, yaitu seseorang
yang meninggalkan segala hal yang diharamkan oleh Allah. Kedua, zuhudnya orang
khusus, yaitu meninggalkan hal-hal yang berlebih-lebihan dari segala hal yang di
halalkan oleh Allah. Ketiga, zuhudnya orang yang ma’rifat, yaitu meninggalkan
5
kesibukan selain dari Allah

3
Hamzah Tualeka dkk, op.cit.,hlm 245-246

4
Ibid.,hlm 247

5
http://eprints.walisongo.ac.id/3949/2/Hasyim_Muhammad-Al_Jilani.pdf pada 25 Oktober 2017 pukul 21.38
Terdapat ayat yang menjelaskan tentang zuhud diantaranya:
          
    
Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka. dan sungguh akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?” (Q.S Al An’am : 32)
3. Sabar

Sabar menurut bahasa adalah menahan atau bertahan. Selanjutnya definisi sabar
adalah menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah, menahan lidah dari keluh
kesah, menahan anggota tubuh dari kekacauan. 6Dalam pandangan al-Misri sabar berarti
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT, tetap
tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupaun sebenarnya
dalam kefakiran.7 Sabar dalam tiga tingkatan, yakni: sabar agar selalu teguh dalam
melaksanakan ibadah dan perintah Allah, sabar dalam menghindar dan menjauhkan diri
dari perbuatan yang dilarang oleh-Nya, serta sabar dalam menghadapi atau menanggung
cobaan.8
Ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai maqam sabar di antaranya:
               
Artinya: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan
janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (Q.S an-Nahl:
127)
4. Wara’

Wara’ secara harfiah berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.
Sedangkan wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak
jelas hukumnya (subhat), baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan

6
http://eprints.walisongo.ac.id/3949/2/Hasyim_Muhammad-Al_Jilani.pdf pada 25 Oktober 2017 pukul 21.38

7
Hamzah Tualeka dkk, op.cit.,hlm 250-251

8
http://eprints.walisongo.ac.id/3949/2/Hasyim_Muhammad-Al_Jilani.pdf pada 25 Oktober 2017 pukul 21.38
lainnya. 9Selain meninggalkan semua yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi tasawuf
wara’ juga memiliki arti meninggalkan segala sesuatu yang berlebihan, baik itu dalam
bentuk benda maupun perilaku. Selain itu meninggalkan semua hal yang tidak memiliki
rmanfaat atau tidak jelas manfaatnya.10
Wara’ dibagi menjadi dua yaitu wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah
adalah tidak mempergunakan segala sesuatu yang masih diragukan dan meninggalkan
kemewahan. Sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati
kecuali dengan mengingat Allah SWT. Wara’ juga dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama,
wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan
diri dari segala sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’
orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.
5. Faqr
Faqr secara harfiah berarti sebagai orang yang membutuhkan atau memerlukan. Dalam
pandangan sufi faqr diartikan tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki
dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.
Sikap faqr merupakan pondasi yang kuat dalam menghadapi pengaruh kemewahan hidup
di dunia. Seseorang yang memiliki sikap faqr terhindar dari keserakahan karena sikap ini
merupakan rentetan dari sikap zuhud.
Faqr terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu pertama, orang yang tidak memiliki apa-apa ,
tidak mengharapkan apapun dari seseorang dan apabila diberi sesuatu ia tidak mau
,menerimanya. Kedua, orang yang tidak memiliki apapun, tidak meminta kepada
siapapun, namun jika diberi sesuatu maka ia akan mengambilnya. Ketiga, orang yang
tidak memiliki apa-apa, namun jika membutuhkan sesuatu ia akan mengungkapkannya
kepada sebagian orang yang dikenalnya.11

Dasar dari ajaran faqr adalah firman Allah:


           
          
        

9
Hamzah Tualeka dkk, op.cit.,hlm 252-253

10
http://eprints.walisongo.ac.id/3949/2/Hasyim_Muhammad-Al_Jilani.pdf pada 25 Oktober 2017 pukul 21.38

11
Hamzah Tualeka dkk, op.cit.,hlm 253-254
Artinya: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang
yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara
diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-
sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” (Q.S Al Baqarah: 273)
6. Tawakal

Tawakal secara harfiah berarti menyerahkan diri. Pengertian umumnya adalah pasrah
dan menyerahkan segalanya kepada Allah SWT setelah melakukan suatu rencana atau
usaha. Menurut al Misri tawakal adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT
disertai perasaan tidak memiliki kekuatan apapun. 12Tawakal bukan berarti bahwa seorang
manusia hanya diam dan menerima semua yang ada tanpa berusaha dan bekerja, sebab
Allah telah memberikan bekal kesempurnaan bagi setiap manusia, baik fisik maupun
psikis.13
Tingkatan tawakal terdiri dari tingkatan orang pada derajat tawakal pertama tetap
melakukan usaha, sedangkan tingkatan orang pada derajat kedua tidak melakukan upaya
tetapi tetap berdoa dan meminta kepada Allah SWT. Tingkatan orang pada derajat ketiga
tidak melakukan usaha juga tidak meminta dan tidak berdoa kepada Allah SWT.14
Bertawakal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah SWT, sebagaimana
dalam firmannya:
               
Artinya: “Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-
orang yang beriman harus bertawakal.” (Q.S at Taubah: 51 )
7. Ridha

12
Ibid.,hlm 255

13
http://eprints.walisongo.ac.id/3949/2/Hasyim_Muhammad-Al_Jilani.pdf pada 25 Oktober 2017 pukul 21.38

14
Hamzah Tualeka dkk, op.cit.,hlm 255-256
Ridha secara harfiah berarti rela, senang, dan suka. Sedangkan pengertian secara
umum ridha adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah SWT, menerima segala qadha
dan qadar dengan senang hati. 15Ridha ialah kondisi kejiwaan atau sikap mental seseorang
yang selalu menerima dengan lapang dada atas semua karunia yang diberikan atau
musibah yang ditimpakan kepadanya. Seorang sufi akan selalu merasa senang dalam
setiap situasi yang meliputinya. Seorang yang ridha akan senantiasa merasa cukup dengan
apa yang telah dikehendaki Allah. Seorang yang ridha akan terhindar dari kekhawatiran,
keraguan dan kegoncangan jiwa yang biasa dirasakan oleh orang-orang yang tidak rela
akan hilangnya kenikmatan duniawi yang ada pada dirinya.
Menurut al-Munajjid ada 2 alasan mengapa seseorang bisa menjadi ridha, yakni:
pertama: menyadari bahwa Allah telah membuat segala sesuatu sebaik-baiknya dengan
menuntaskannya dengan serapi-rapinya. Sehingga kita dapat menerima apa yang telah
menjadi keputusan Allah. Kedua, Allah Maha Mengetahui mana yang baik dan apa yang
16
lebih baik bagi seseorang. Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua
macam yaitu ridha dengan Allah SWT dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah
SWT. Ridha dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai
pengatur jagad raya semesta. Sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu
rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah.17
Seperti dalam firman Allah:
             
     
Artinya: “Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan
RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan
memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya
Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih
baik bagi mereka).” (Q.S at-Taubah: 59)
8. Mahabbah

15
Ibid.,hlm 257

16
http://eprints.walisongo.ac.id/3949/2/Hasyim_Muhammad-Al_Jilani.pdf pada 25 Oktober 2017 pukul 21.38

17
Hamzah Tualeka dkk, op.cit.,hlm 257-258
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu mahabbatan yang berarti mencintai secara
mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-
sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya
kecintaan yang mendalam kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak dasar
mahabbah. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang
melebihi cinta kepada siapapun dan apapun.
Dalam pandangan at-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama mahabbah
al-ammah, yaitu cinta yang timbul dari belas kasihan dan kebaikan Allah kepada hamba-
Nya. Kedua, hubb ash-shadiqin wa al-muttaqin yaitu cinta yang timbul dari pandangan
hati sanubari terhadap kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah.
Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa al-arifin yaitu mahabbah yang timbul dari penglihatan
dan ma’rifat para sufi terhadap kekalnya kecintaaan allah yang ‘illat.dalam al-Qur’an
terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang mahabbah diantaranya:18
          
    
Artinya: “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S al-Imran: 31)
9. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau
pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu
yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan
pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin.
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Allah tentang segala ada. Dalam Ihya’ Ulum ad-Din membedakan
jalan sampai kepada Tuhan antara orang awam, ulama, dan sufi. Bagi orang awam
keyakinan akan pengetahuan dibangun atas dasar taqlid yaitu hanya mengikuti perkataan
orang lain tanpa menyelidikinya. Bagi ulama, keyakinan akan Allah dibangun dengan
dasar adanya tanda-tanda atau atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah
dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyf illahi.

18
Ibid.,hlm 258-259
Ma’rifat dalam pandangan al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Allah dengan
hati sanubari mereka.19

19
Ibid.,hlm 261-262

Anda mungkin juga menyukai