Anda di halaman 1dari 12

KEARIFAN LOKAL DALAM

TRADISI KEAGAMAAN ISLAM DI NUSANTARA

Disusun oleh Kelompok B - 9G :

AHMAD KHOIRUL AZIZI (02)


AQILA ZULFA ATSILA (06)
CAHYO SAPUTO (10)
CLARA DIAH RAHMAWATI (12)
FLORENDA AURA SUCI R.K (17)
NADINE ALMIRA DINARYA (27)
WINANTI SEPTIKA SARI (32)

MATA PELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SMP NEGERI 2 GENTENG
BANYUWANGI
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“TRADISI ISLAM DI NUSANTARA”.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Pendidikan Agama


Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan pembaca
tentang apa saja tradisi islam yang ada di nusantara.

Penulis mengucapakan terima kasih kepada Ibu FARIDATUL MAGFIROH S.PD


selaku guru Mata Pelajaran PAI kelas 9. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah terutama Kelompok B.

Akhir kata, kami menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT
semata, dan segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini adalah tanggung
jawab kami sepenuhnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Banyuwangi, 16 Oktober 2024

Kelompok B 9G

II
DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................


Kata Pengantar ...................................................................................... ||
Daftar Isi ............................................................................................... |||

BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................... 4
Tujuan............................................................................................................. 4

BAB 2 PEMBAHASAN
Tradisi Halal Bihalal ............................................................................. 5
Tradisi Rabu Wekasan........................................................................... 8

BAB 3 PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................................... 12
Daftar Pustaka ................................................................................................ 12

III
BAB I
PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Indonesia, dengan keanekaragaman budaya dan etnisnya, telah lama menjadi


rumah bagi berbagai tradisi dan kepercayaan. Seiring dengan penyebaran Islam di
Nusantara, terjadi proses akulturasi antara nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal yang
telah ada sebelumnya. Hal ini menghasilkan keragaman dalam praktik keagamaan dan
adat istiadat di berbagai daerah di Indonesia. Tradisi Islam di Nusantara menjadi ciri
khas yang membedakan Islam Indonesia dengan Islam di negara lain.
Tradisi Islam di Nusantara tidak hanya terfokus pada aspek keagamaan semata,
namun juga melibatkan kehidupan sehari-hari, seni, dan budaya. Hal ini tercermin
dalam seni tradisional, arsitektur, musik, dan tarian yang memiliki unsur-unsur Islam
yang mendalam. Di samping itu, nilai-nilai kegotong-royongan, toleransi, dan
keberagaman juga menjadi bagian integral dari tradisi Islam di Nusantara.
Dalam makalah ini, kami akan mengungkap lebih dalam tentang tradisi Halal
Bihalal dan Tradisi Rabu Wekasan, serta bagaimana tradisi-tradisi tersebut masih
bertahan dan berkembang hingga saat ini. Kami berharap makalah ini dapat
memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kekayaan budaya dan
keberagaman tradisi Islam di Nusantara.

I.B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai perkembangan dan
ragam tradisi Islam di Nusantara. Melalui pemahaman lebih lanjut terhadap tradisi-
tradisi ini, Khususnya tradisi Halal Bihalal dan Tradisi Rabu Wekasan. Diharapkan
kita dapat mengapresiasi kekayaan budaya dan sejarah Islam di Indonesia serta
memahami bagaimana agama Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas
masyarakat Nusantara. Dengan demikian, makalah ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam meningkatkan pemahaman kita tentang pluralitas dan harmoni dalam
keberagaman budaya di Nusantara yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam.

4
BAB II
PEMBAHASAN

II.A. Tradisi Halal Bihalal


a) Pengertian
Halal bihalal merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang dilakukan
sesudah hari lebaran baik di kalangan instansi pemerintah, perusahaan dan dunia
pendidikan. Kegiatan ini tentu saja menjadi tradisi tahunan yang unik dan tetap
dipertahankan serta dilestarikan. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan
sikap persaudaraan, persatuan, dan saling berbagi kasih sayang pasca lebaran.

Source : Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, halal bihalal berarti acara maaf-
maafan pada hari lebaran, sehingga mengandung unsur silaturahmi. Sedangkan
dalam bahasa Arab, halal bihalal berasal dari kata “Halla atau Halala” yang
mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya, antara lain:
penyelesaian problem (kesulitan) mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan
yang membelenggu. Maka arti halal bihalal adalah suatu kegiatan saling
bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah lebaran melalui silaturahmi,
sehingga dapat mengubah hubungan sesama manusia dari benci menjadi senang,
dari sombong menjadi rendah hati dan dari berdosa menjadi bebas dari dosa.

Di dalam al-Qur'an dan hadis tidak disebutkan secara jelas tentang istilah
halal bihalal. Hal ini bukan berartı halal bihalal termasuk ajaran Islam yang ilegal.
akan tetapi nilai-nilai ajaran dan praktik dalam halal bihalal memiliki dasar hukum
yang kuat dalam al-Qur'an dan hadis. Pembahasan yang dikupas hanya fokus

5
terhadap beberapa poin, di antaranya berkaitan dengan halal bihalal, silaturahım,
saling memaafkan, harı raya Idul fitri dan ucapan minal-'aidin wa al-faizin.
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman yang terdapat pada surat Ar-Ra’du
[13]: 21 disebutkan bahwa salah satu tanda orang yang beruntung nanti dihari
akhirat ialah orang yang didunianya senang menyambungkan silaturrahim,
sebagaimana firman Allah SWT :

َ ْْۤ ُ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ُّ ْ َ ٖٓ ُ ‫َّ ْ َ َ ُ ْ َ َ ٓ َ َ ه‬
ۗ‫ب‬ َ ‫ال ِذين ي ِصلون ما ام َر اّٰلل ِبه ان يوصل ويخشون رب هم ويخافون سوء ْال ِح‬
ِِ ‫سا‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan (silaturrahim), dan mereka takut kepada
Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.”(Q.S. Ar-Ra’du [13]: 21)

Dari sudut pandang al-Qur’an dan Hadis, silaturahim merupakan sesuatu


yang istimewa, amal shalih yang penuh berkah, orang yang menjalankannya
akan mendapat kedudukan yang tinggi, sanjungan yang indah, sebutan yang baik
di dunia dan kesudahan yang indah di akhirat.

Source : MTSN 3 KEDIRI

Jadi inti dari menjaga silaturrahim ini adalah untuk mempererat kembali
hubungan yang selama ini mungkin renggang dan bahkan putus. Maka
salah satu cara untuk menghubungkannya adalah dalam momen hari raya Idul
Fitri yang setiap tahun kita rayakan, yaitu halal bihalal.

Dalam halal bihalal terdapat nilai filosofis yang tinggi berupa usaha
menjalin tali silaturahim sampai terjalinnya ukhuwahantar sesama. Dengan
adanya halal bihalal ini juga diharapkan mampu menambahkan keharmonisan
hubungan antar keluarga, kerabat dan tetangga-tetangga sekitarnya.

6
b) Asal Usul

Source : KOMPAS.COM

Tradisi halal bihalal pertama kali dirintis oleh Mangkunegara I, lahir 08


April 1725, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, untuk
menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah shalat Idul Fitri, Pangeran
Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan
prajurit secara serentak di balai istana. Dalam budaya Jawa, seseorang yang
sungkem kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan
sungkem adalah sebagai lambang penghormatan dan permohonan maaf.

Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak


ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa
Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah
kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut.
Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada
orang lain (Alquran Surat Ali Imran ayat 134).
ْ ُّ ُ ُ َّ َ َِ ‫ي ْٱل َغ ْي َظ َو ْٱل َعاف‬
َ ‫ي‬ َِ ‫ٱلّضاء َو ْٱل َك ظم‬
ٓ ِ َ ٓ ِ َ ُ ُ َ َّ
َ ِ
َ‫ي‬ ‫ب ٱل ُم ْح ِس ِن‬ ‫اس ۗ وٱّٰلل ي ِح‬
ِ ‫ٱلن‬ ‫ن‬
ِ ‫ع‬ ِ ِ ِ ِ ‫و‬ ‫ء‬ِ ‫ا‬
‫ٱلَّس‬ ‫ف‬ ِ ‫ٱل ِذين ي ِنفقون‬
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (Q.S. Ali-Imran [3]: 134)

Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari lebaran itu
antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masing-
masing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halalbihalal.
Jadi, disebut hari lebaran, karena puasa telah lebar (selesai), dan dosa-
dosanya telah lebur (terhapus).

Dari uraian di atas dapat dimengerti, bahwa tradisi lebaran halal bihalal
merupakan perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam yang juga
memilki manfaat yang besar dalam mempererat tali silaturrahim antar umat
Islam.

7
c) Hikmah

Beberapa hikmah dari tradisi halal bihalal ini antara lain:

1. Membangun Silaturahmi :
Tradisi halal bihalal memperkuat tali silaturahmi antara anggota masyarakat,
keluarga, dan teman-teman. Ini membantu dalam mempererat hubungan sosial dan
memperluas jaringan pertemanan.

2. Mengedepankan Etika dan Norma:


Halal bihalal mengajarkan pentingnya menjaga etika dan norma dalam berinteraksi
sosial. Ini termasuk menghormati, menghargai, dan memperlakukan sesama
dengan baik.

3. Membangun Keharmonisan Keluarga :


Tradisi ini juga dapat menjadi momen penting untuk memperbaiki hubungan yang
retak di antara anggota keluarga. Meminta maaf dan memaafkan adalah langkah
awal untuk membangun kembali keharmonisan keluarga.

4. Mengajarkan Kepedulian Sosial :


Halal bihalal juga merupakan kesempatan untuk menunjukkan keprihatinan dan
perhatian terhadap sesama, terutama yang kurang mampu atau membutuhkan
bantuan.

5. Menghilangkan Sifat Sombong dan Dendam :


Dengan memaafkan dan melupakan kesalahan masa lalu, halal bihalal membantu
menghilangkan sifat-sifat negatif seperti sombong dan dendam.

6. Menguatkan Identitas Budaya :


Halal bihalal adalah bagian dari budaya Indonesia yang kaya. Melalui tradisi ini,
nilai-nilai kebersamaan, keramahan, dan saling menghormati sebagai bagian dari
identitas budaya Indonesia semakin terjaga.

7. Menguatkan Spiritualitas :
Tradisi ini juga dapat menjadi momen untuk meningkatkan spiritualitas, dengan
mengingat pentingnya memaafkan sesuai ajaran agama dan menciptakan
kedamaian batin.

II.B. Tradisi Rabu Wekasan di Bangka


a. Pengertian
Rebo Wekasan merupakan suatau fenomena yang terjadi dimasyarakat karena
faktor akulturasi budaya Jawa dengan Islam secara intensif. Islam di wilayah
Jawa sendiri memiliki karakter yang berbeda dari yang lain dikarenakan, banyaknya
prosesi ritual keagamaan yang bersumber dari perpaduan nilai-nilai Islam dengan
animisme dan dinamisme. Istilah Rebo Wekasan, dalam tradisi masyarakat, memiliki
beragam varian dalam penyebutannya dan maknanya.

8
Sebagian masyarakat menyebutnya dengan istilah Rebo Wekasan, Rebo yang
berarti hari Rabu dan wekasan yang berarti pesanan. Berdasarkan makna tersebut,
maka istilah Rebo Wekasan berarti hari Rebo yang khusus. Dari hal itu dapat
bahwa Rebo Wekasan hanya terjadi sekali dalam setahun dimana para sesepuh
berpesan (wekas/manti-manti ) agar berhati-hati pada hari itu.

Source : detik.com

Tradisi seperti ini sudah menjadi tradisi tahunan di daerah Jawa tetapi tidak
semuanya melaksanakannya, walaupun memang hal ini adalah tradisi turun temurun
dari nenek moyang. Ritual ini Ritual ini dilaksanakan pada hari rabu terakhir di bulan
Shafar. Rebo wekasan juga disebut dengan rebo pungkasan atau rebo kasan. istilah
Rebo wekasan bisanya sering digunakan oleh masyarakat Jawa Timur, sedangkan
istilah rebo pungkasan atau rebo kasan banyak digunakan oleh masyarakat Jawa
Tengah dan Jawa Barat. Istilah rebo kasan sebagian mengasumsikan kata kasan
merupakan penggalan dari kata pungkasan yang berarti akhir dengan mambuang suku
kata depan menjadi kasan. Sebab rebo kasan adalah hari rabu yang terakhir dari bulan
Shafar. Rebo wekasan merupakan ritual yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur
kepada Allah dan sekaligus memohon pada Allah agar dijauhkan dari segala bencana.
Masyarakat jahiliah kuno termasuk bangsa Arab sering mengatakan bahwa bulan
Shafar merupakan bulan sial, karena dipercayai pada bulan Shafar Allah menurunkan
banyak malapetaka.

b. Asal Usul
Secara umum tradisi Rebo wakesan termasuk warisan nenek moyang kita sejak
dahulu dan merupakan bagian dari aktivitas kehidupan masyarakat jawa yang sudah
berurat akar dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ini dilakukan Rabu Terakhir dari
bulan Safar, yaitu bulan ke-2 dari 12 bulan penanggalan Hijriyah. Karena itu tradisi
ini sangat kental dengan Islam. Cara memperingatinya pun berbeda-beda.

Asal-usul tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi
(w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa
Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid (biasa disebut: Mujarrobat ad-Dairobi). Anjuran serupa juga
terdapat pada kitab: ”Al-Jawahir Al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin
Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya. Dalam
kitab-kitab tersebut disebutkan bahwa salah seorang Waliyullah yang telah mencapai
maqam kasyaf (kedudukan tinggi dan sulit dimengerti orang lain) mengatakan bahwa
dalam setiap tahun pada Rabu terakhir Bulan Shafar, Allah Swt menurunkan 320.000
(tiga ratus dua puluh ribu) macam bala’ dalam satu malam.

9
Terdapat dalam hadist dan syaikh Abdul Hamid Al- Qudsy guru besar Masjid
Makkah Al-Mukarromah pun dalam kitabnya “Kanzun Najah Wassurur”
menerangkan bahwa Setiap tahun Allah menurunkan bala’ ke dunia sebanyak 320.000
macam bala’ (malapetaka) untuk satu tahun. Tepatnya bala’ itu turun pada Rabu
terakhir dari bulan Shafar atau yang terkenal dengan sebutan “Rebo Wakesan”. Dan
juga diperkuat menurut keyakinan arab kuno, bulan shafar diyakini sebagai bulan sial.

Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Abu Daud no. 3414. AlQur‟an juga
menjelaskan perihal hari nahas yang terdapat dalam QS. al-Qamar: 19 :

ِ‫ص ًراِفِيِيَ ْو ِمِنَحْ ٍسِمِ ْست َِم ٍر‬


َ ‫ص ْر‬ ِ ‫س ْلنَاِ َعلَ ْي ِه ْم‬
َ ِ‫ِري ًحا‬ َ ‫إِنَّاِأ َ ْر‬

Artinya :

Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat


kencang pada hari nahas yang terus menerus.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menurunkan musibah pada hari nahas (hari
sial). Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa hari sial memang ada. Dan kebanyakan
masyarakat meyakini bahwa hari sial tersebut jatuh pada hari rabu terakhir bulan
shafar. Sebagaimana keterangan dalam kitab tajwid madura, bahwa pada hari tersebut
akan diturunkan banyak malapetaka.

Source : Serambimata.com

Bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam.


Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak
memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan
Shafar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah
dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.

10
Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah, "Tidak ada wabah (yang
menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak
pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari
penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan
Muslim). Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu,
bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka
berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar
pada ketentuan dari takdir Allah. Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua
kembali kepada kehendak Allah.

c. Hikmah
1. Menjaga Kebersamaan :
Tradisi Rabu Pahing sering kali dilakukan secara bersama-sama oleh anggota
keluarga atau masyarakat setempat. Hal ini memperkuat ikatan antara sesama
dan memperkokoh rasa solidaritas serta kebersamaan dalam menjalankan
kegiatan keagamaan.

2. Mengingatkan pada Kehidupan Akhirat:


Melalui kegiatan seperti berdoa dan memberikan sedekah, tradisi Rabu Pahing
mengingatkan manusia akan pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan
akhirat. Hal ini merangsang refleksi spiritual dan memotivasi untuk melakukan
amal baik serta meningkatkan kualitas ibadah.

3. Meningkatkan Kepedulian Sosial:


Memberikan sedekah kepada yang membutuhkan merupakan salah satu bagian
penting dari tradisi Rabu Pahing. Ini menciptakan kesadaran akan pentingnya
berbagi rezeki dengan sesama dan meningkatkan kepedulian sosial dalam
masyarakat.

4. Memperkokoh Identitas Budaya:


Tradisi Rabu Pahing merupakan bagian dari warisan budaya Jawa yang telah
dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat selama berabad-abad. Melalui
pemeliharaan dan praktikasi tradisi ini, generasi muda dapat mempelajari dan
memahami lebih dalam akan identitas budaya mereka.

11
BAB III
PENUTUP
III.A. Kesimpulan

Kita telah membahas dua tradisi budaya yang memiliki nilai-nilai penting
dalam masyarakat Indonesia, yaitu tradisi Halal Bihalal dan Rabu Wekasan. Kedua
tradisi ini memiliki akar yang dalam dalam kehidupan masyarakat, baik dari segi
agama, budaya, maupun sosial.

Dengan adanya tradisi halal bihalal dan rabu wekasan kami dapat mengetahui
suatu amalan perbuatan untuk mendekatkan kita kepada allah swt. Dan mempererat
tali persaudaraan serta membersihkan hati dari rasa dendam,rasa sakit hati atau
kesalahan yang pernah dilakukan sehingga dapat mempererat antara sesama umat
beragama. Dan menjauhkan kita pada suatu penyakit dan musibah yang menimpa kita.

Dengan demikian, kedua tradisi ini tidak hanya sebagai serangkaian kegiatan
ritual, tetapi juga sebagai sarana pembentukan karakter dan kebersamaan dalam
masyarakat Indonesia. Melalui pemahaman dan pengamalan yang tepat, tradisi Halal
Bihalal dan Rabu Pahing (Wekasan) akan terus menjadi bagian penting dari kehidupan
sosial dan budaya masyarakat Indonesia.

III.B. Daftar Pustaka

Astrida, S.Pd.I. MAKNA HALAL BIHALAL . Jurnal ilmiah . Guru PAI SMP Sandika
Kabupaten Banyuasin.

Eko Zulfikar. TRADISI HALAL BIHALAL DALAM PRESPEKTIF AL-QUR’AN DAN


HADIS. Jurnal Study islam. Institut Agama Islam Negri (IAIN) Tulungagung.

Inayatul Khanifah , Muhammad Darul Chikam, Muhammad Arif Efendy, Rizal Arifqi.
MITOS REBO WEKASAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI AGAMA ISLAM. Jurnal
Kajian Pendidikan Islam dan Studi Islam. STAINU Purworejo: Jurnal Al Ghazali

tafsirweb.com/1266-surat-ali-imran-ayat-134.

merdeka.com/quran/ar-rad/ayat-21

tafsirq.com/54-al-qamar/ayat-19

12

Anda mungkin juga menyukai