Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Landasan Qur’an dan sunnah tentang Ajaran Tasawuf

Disusun guna memenuhi tugas kuliah Ilmu Tasawuf


Dosen pengampu : Kholil Said, M.H.I

Disusun oleh :
1. Muhammad Khudhori (1121082)
2. Fikrotus Shofi (1121083)
3. Syahal Maghfud (1121084)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, kami ucapkan atas


selesainya makalah ini. Tanpa ridho, hidayah, inayah-Nya mustahil penulisan makalah ini bisa
selesai secara tepat waktu.

Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Kholil Said, M.H.I yang telah
membimbing dan mengajarkan Mata Kuliah Ilmu Tasawuf ini serta pihak-pihak yang
bersangkutan yang telah membantu, sehingga makalah ini bisa terselesaikan.

Meskipun demikian kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna ,oleh karena itu
saran dan kritik dari semua pihak,khususnya teman-teman seprofesi menjadi harapan bagi kami
guna perbaikan selanjutnya.

Akhirnya permohonan dan harapan semoga apa yang telah kami lakukan mendapat ridho
dan kebaikan dari Allah SWT,serta bermanfaat bagi para pembaca sebagai jembatan ilmu
pengetahuan. Amin.

Pekalongan, 30 September 2021

Penyusun
Daftar Isi
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebanyakan kalangan muslim percaya bahwa salah satu aspek penting untuk
mengetahui keuniversalan ajaran Islam adalah adanya dorongan untuk senantiasa mencari ilmu
pengetahuan dimana saja dan kapan saja umat Islam berada. Dengan adanya dorongan
dari ayat-ayat al-Qur‘an maupun dalam al-Hadits yang menganjurkan umat Islam agar
mencari ilmu pengetahuan inilah yang menyebabkan lahirnya beberapa disiplin ilmu
pengetahuan dalam Islam, dimana salah satu di antaranya adalah lahirnya ilmu tasawuf.
Tasawuf adalah cabang ilmu dalam Islam yang penerapannya menekankan pada
pembersihan diri melalui pembentukan akhlak yang baik. Tasawuf memegang peranan
penting dalam kehidupan rohani Islam,dengan kata lain bertasawuf itu adalah fitrah manusia
dimana dapat membersihkan diri dari segala kesibukan duniawi yang bertujuan untuk
pencapaian hakikat kesucian rohani yang sesungguhnya, karena sesungguhnya tujuan akhir
manusia adalah mengikat lingkaran rohaninya dengan Allah SWT. Sebagaimna tujuan dari
penciptaanya yang semata-mata untuk mengabdikan diri pada Sang Kholik.
Mempelajari tasawuf merupakan solusi tepat dalam mengatasi krisis-krisis akibat
modernisasi untuk melepaskan dahaga dan memperoleh kesegaran dalam mencari Tuhan.
Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu ia berada di hadirat-Nya. Terdapat
beberapa tujuan kenapa tasawuf perlu dikembangkan dan disosialisasikan kepada masyarakat
tujuan tersebut antara lain Menyelamatkan kemanusiaan dari kebingungan dan kegelisahan
yang mereka rasakan sebagai akibat kurangnya nilai-nilai spiritual Memahami tentang
aspek asoteris islam, baik terhadapmasyarakat Muslim maupun non Muslim, Menegaskan
kembali bahwa aspek asoteris islam (tasawuf) adalah jantung ajaran islam.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang
terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu
tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu
keislaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
B. Rumusan Masalah

1. Apa landasan-landasan ilmu tasawuf


2. Apa hubungan ilmu tasawuf dengan disiplin ilmu Filsafat
3. Apa hubungan ilmu tasawuf dengan psikologi
4. Apa hubungan ilmu tasawuf dengan fiqh
5. Apa hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu kalam

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui landasan-landasan ilmu tasawuf


2. Untuk mengetahui hubungan ilmu tasawuf dengan disiplin ilmu Filsafat
3. Untuk mengetahui hubungan ilmu tasawuf dengan psikologi
4. Untuk mengetahui hubungan ilmu tasawuf dengan fiqh
5. Untuk mengetahui hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu kalam
BAB 2 PEMBAHASAN

A. Alquran sebagai landasan pertama tasawuf


1. Seruan Alquran untuk bersikap zuhud

Penjelasan ayat-ayat zuhud

Sudah maklum adanya bahwa kaum sufi men cenderung berperilaku zuhud, dan jika
mencermati Alquran maka terlihat bahwa kitab suci ini menyerahkan sikap zuhud terhadap
keduniaan dan memperingatkan ke tenggelaman dalam berbagai kenikmatan hidup titik ayat-ayat
Alquran dalam masalah ini cukup banyak dan lugas sehingga cukup kami paparkan sebagian
saja, disertai syarat tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya dengan mengutip dari
sejumlah pakar tafsir, demi lebih memberikan kejelasan.1

Salah satu ayat yang jelas dalalah-nya dan kuat argumentasinya dalam mengafirmasi hal
ini adalah gambaran Allah mengenai dunia sebagai sesuatu yang cepat berubah dan sirna.

Allah SWT berfirman :

‫اعلموا أنما الحيوة الدنيا لعب ولها وزينة وتفاخر بينهم وتكاثر فى أموال واألولد‬

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya, kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga an tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam tanamannya mengagumkan para petani,
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-nya.
Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al-Hadid (57):20)

Jika memang dunia berstatus sebagai mana yang diilustrasikan Allah; tidak kekal abadi
dan keindahannya pun bersifat semu belaka maka tidak seyogyanya hati orang-orang mukmin
terpikat dan menggemarinya hingga Tara rakus yang praktis melalaikan mereka atau

1
Muhammad Fauqi Hajjaj “Tasawuf Islam & Akhlaq” (Jakarata, Amzah 2011) hlm.27
memalingkan mereka dari berbagai macam amal ibadah dan ketaatan yang dapat mendekatkan
diri mereka kepada Allah, Tuhan sekalian alam.

Mengomentari ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan: "setelah memberikan ilustrasi


perumpamaan yang menunjukkan kepastian kecernaan dunia dan kehabisan nya, sementara
akhirat tetap kekal, Allah pun memperingatkan statusnya dan mendorong untuk memilih
kebaikan yang terkandung di dalamnya Dengan mengatakan: "dan di akhirat nanti ada azab keras
dan ampunan dari Allah serta keridhaan-nya." Artinya, di akhirat yang segera datang hanya ada
dua opsi: antara azab yang pedih atau ampunan dan keridhaan Allah. Selanjutnya, Allah
berfirman: "dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu" . Artinya,
dunia hanyalah kesenangan semu yang jika dipilih maka ia berarti telah terperdaya dengan
pesonanya hingga meyakini bahwa tidak ada lagi kehidupan setelahnya, padahal ia teramat hina
dan sedikit dibanding dengan kehidupan akhirat. 2

Di ayat lain, Allah subhanahu wa ta'ala memetakan pesona pesona dunia yang menggiurkan agar
kaum mukmin menyikapinya dengan penuh kewaspadaan, dalam batas-batas kewajaran dan
moderat, antara lain wanita, anak-anak, harta kekayaan, dan fenomena-fenomena kenikmatan
duniawi lainnya, kemudian menutupnya dengan pesan bahwa hanya di sisi Allah SWT tempat
kembali yang baik. Dia berfirman:

‫زين للناس حب الشهوت من النساء والبنين والقنطير المقنطرة من الذهب والفضة‬

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa apa yang diingini, yaitu
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak komadan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah
tempat kembali yang baik ( surga ). (QS. Ali Imran (3): 14)

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan penjelasan yang mendudukkan maksud Allah
SWT dibalik pesan tersebut. Tuturnya:

"Allah SWT memberitahukan jenis-jenis kenikmatan yang disukai oleh kebanyakan manusia di
dunia, antara lain wanita dan anak-anak.

2
Tafsir Ibn Katsir, I/313
Dia menempatkan wanita sebagai pesona dunia yang pertama karena efek fitnah yang
diakibatkannya paling dahsyat, sebagaimana sebuah hadis sahih, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: "tidak aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya atas kaum laki-laki
daripada fitnah kaum wanita". Adapun jika menyukai wanita dengan tujuan menjaga kehormatan
diri dan memperbanyak keturunan maka hal itu merupakan sesuatu yang disukai Dan dianjurkan
sebagaimana yang tertera dalam hadits-hadits yang menganjurkan pernikahan.

Pesona selanjutnya adalah anak-anak Didik jika cinta anak-anak ditumpangi tendensi untuk
kebanggaan dan perhiasan maka ia masuk dalam kategori yang tercela. Sementara jika diniatkan
untuk memperbanyak keturunan dan memperbesar populasi umat Muhammad SAW yang
menyembah Allah SWT semata tanpa menyekutukannya maka ini termasuk perbuatan terpuji
sebagai ketetapan dalam sebuah hadis :

‫تزوجا الودود الورود فإنني مكاثر يكن امن يوم القيامة‬

Nikahilah wanita-wanita romantis dan subur, sesungguhnya, di hari kiamat kelak aku
membangga-banggakan banyaknya jumlah kalian di antara umat umat yang lain.

Berikutnya adalah cinta kekayaan titik jika dimaksudkan sebagai media kebanggaan
kesombongan dan keangkuhan terhadap orang lemah, bahkan semena-mena terhadap orang-
orang fakir maka ia termasuk yang tercela. Namun, jika niatnya untuk didermakan guna
kepentingan pendekatan diri kepada Allah, mempererat tali silaturahim dengan keluarga, dan
jalur-jalur Charitas dan ketaatan lainnya maka hal itu baik dan terpuji secara syara'.

Begitu juga dengan kecintaan pada kuda pilihan (kendaraan) yang memiliki tiga dimensi
kepentingan titik jika kepemilikannya diniatkan untuk persiapan menghadapi jihad dijalan Allah
sehingga sewaktu-waktu dibutuhkan mereka dapat menggunakannya untuk berperang maka
mereka mendapat pahala titik namun, jika diniatkan untuk sekadar kebanggaan bahkan
memusuhi Islam maka pemiliknya berdosa. Sedangkan, jika untuk kepentingan menjaga
kehormatan diri dan mengembangbiakan keturunannya tanpa melupakan hak Allah di dalamnya
maka ia akan menjadi penghalang bagi pemiliknya (dari api neraka).3

3
Ibid., I/351
Gaya Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini memberi kejelasan kepada kita bahwa
tujuan Alquran menirukan sikap zuhud terhadap keduniaan bukankah berpaling dari segala
perhiasan dunia secara total, sebagaimana yang disalahpahami sebagian kalangan, sebab harta
kekayaan merupakan sarana untuk berinfak dijalan kebaikan, menikahi wanita merupakan sarana
menjaga kehormatan diri, mengembangbiakkan keturunan, dan meramaikan semesta, kemudian
anak-anak adalah modal umat dalam kondisi damai maupun perang, sedangkan kuda merupakan
sarana untuk jihad dijalan Allah.

Jika memang demikian halnya maka tidak logis jika Alquran menyerukan zuhud terhadap semua
itu dalam arti meninggalkannya secara total. Akan tetapi, penafsiran yang paling tepat terhadap
ayat ini dan ayat-ayat sejenisnya yang menyerukan zuhud adalah apa yang telah penulis tetapkan
diatas karena inti pesan Allah subhanahu wa ta'ala adalah agar hamba-hambaNya tidak sibuk
mengurusi kenikmatan hidup dunia hingga lalai menunaikan berbagai macam ibadah yang dapat
mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

‫يأيهاالذين ءامنوا ال تلهكم اموالكم وال أولدكم عن ذكر هللا‬

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat
Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS.
al-Munafiqun (63): 9)

Di kesempatan lain, Allah SWT merumuskan tujuan penciptaan berbagai sarana dan
prasarankenikmatan hidup di dunia secara singkat dan lugas, yaitu sebagai ujian bagi segenap
manusia untuk membedakan antara hamba yang busuk dan hamba yang baik yang tidak
terpesona oleh pesona dunia secara rakus, melainkan tetap menikmatinya tanpa merupakan hak
Allah SWT atasnya. Dia berfirman:

‫إما جعلنا ما على األرض زين لها لنبلوهم أيهم أحسن عمال‬

Sesungguhnya, kami telah menjadikan apa yang di bumi berbagai perhiasan baginya, agar kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS. al-Kahfi (18): 7)
Simpul kata, Al Quran memberi perhatian besar terhadap penggalakan perilaku zuhud di dunia,
namun, zuhud yang dituntut Alquran dari seorang mukmin adalah zuhud dalam batas-batas
kewajaran dan moderat.4

2. Seruan al-quran untuk beribadah

Penjelasan beberapa ayat ibadah

Sudah maklum adanya bahwa kaum sufi juga gemar mendekatkan diri kepada Allah
SWT dengan ibadah ekstra. Hal ini telah digalakkan oleh Alquran dalam sejumlah ayat tanpa
ambiguitas sedikitpun titik diantaranya firman Allah SWT:

‫وما خافت الجن وآني ا ليعبدون‬

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.
(QS. adz-Dzariyat (51): 56)

Menafsiri ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan: "artinya, sesungguhnya, aku ciptakan mereka
untuk aku perintahkan agar beribadah kepada-Ku karena kebutuhan-Ku pada mereka. Ali bin
Abi Thalhah mengatakan: menurut Ibnu Abbas: klausa ‫ "اال ليعبدون‬berarti arti kecuali agar mereka
mengakui penghambaan kepada-Ku, baik secara sukarela maupun terpaksa. Penafsiran ini dipilih
oleh Ibnu jarir (ath-Thabari). Sementara Ibnu juraij mengartikannya sebagai "kecuali agar
mereka mengenal-Ku." Sedangkan ar-Rabi' bin Anas mengartikannya sebagai "kecuali untuk
beribadah".5

Sebuah riwayat mengatakan, bahwa para sahabat sangat antusias mengikuti Rasulullah
SAW dalam menjalankan qiyamul lail di sebagian besar waktu malam dengan tahajud kepada
Allah dan beribadah demi mendekatkan diri kepada-Nya. Kemudian turunlah ayat yang memberi
keringanan kepada mereka dalam menjalankan qiyamul lail, dengan menyerahkan mereka agar
4
Muhammad Fauqi Hajjaj “Tasawuf Islam & Akhlaq”, hlm.32
5
Tafsir Ibn Katsir, IV/238
bersikap moderat dalam beribadah dan memerintahkan mereka untuk membaca ayat Alquran
yang mereka hafal.

Allah SWT berfirman :

‫ك ۗ  َوا هّٰلل ُ يُقَ ِّد ُر الَّ ْي َل َوا لنَّهَا َر ۗ  َعلِ َم اَ ْن لَّ ْن تُحْ صُوْ هُ فَتَا‬
َ ‫ك تَقُوْ ُم اَ ْد ٰنى ِم ْن ثُلُثَ ِي الَّي ِْل َو نِصْ فَهٗ َوثُلُثَهٗ َوطَٓاِئفَةٌ ِّمنَ الَّ ِذ ْينَ َم َع‬ َ َّ‫ك يَ ْعلَ ُم اَن‬
َ َّ‫اِ َّن َرب‬
‫ۙ و ٰا‬ ‫هّٰللا‬ ٰ ٰ ْ‫ب َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق َرءُوْ ا َما تَيَ َّس َر ِمنَ ْالقُرْ ٰا ِن ۗ  َعلِ َم اَ ْن َسيَ ُكوْ نُ ِم ْن ُك ْم َّمر‬
َ  ِ ‫ض يَ ْبتَ ُغوْ نَ ِم ْن فَضْ ِل‬ ِ ْ‫ضى ۙ  َوا خَ رُوْ نَ يَضْ ِربُوْ نَ فِى ااْل َ ر‬ َ
َ ‫خَ رُوْ نَ يُقَا تِلُوْ نَ فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ ۖ فَا ْق َرءُوْ ا َما تَيَ َّس َر ِم ْنهُ ۙ  َواَ قِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰا تُوا ال َّز ٰكوةَ َواَ ْق ِرضُوا هّٰللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا ۗ  َو َما تُقَ ِّد ُموْ ا اِل‬
‫ْنفُ ِس ُك ْم ِّم ْن َخي ٍْر تَ ِج ُدوْ هُ ِع ْن َد هّٰللا ِ هُ َو َخ ْيرًا َّواَ ْعظَ َم اَجْ رًا ۗ  َوا ْستَ ْغفِرُوا هّٰللا َ ۗ اِ َّن هّٰللا َ َغفُوْ ٌر َّر ِحيْم‬

"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (sholat) kurang dari
dua pertiga malam, atau seperdua malam, atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui
bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan
kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an; Dia mengetahui bahwa
akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al-Qur'an dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan berikanlah pinjaman
kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya
kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling
besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang." (QS. Al-Muzzammil 73: Ayat 20)

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan penjelasan yang memberi pencerahan
kepada kita bahwa qiamulail di sebagian besar waktu malam pada awalnya dahulu diwajibkan
atas kaum muslim, namun, karena Allah tahu di antara mereka ada yang tidak mampu
menjalankannya secara konsisten maka dia pun menetapkan ibadah ini sebagai ibadah
mustahabah (yang sangat dianjurkan) bagi kaum muslim yang mampu. Dalam hal ini, Allah
SWT berfirman: "sesungguhnya, tuhanmu mengetahui bahwasannya kamu berdiri (shalat)
kurang dari dua pertiga malam atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula)
segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. "Artinya, kadang segitu, dan terganteng
segitu. Hal itu semua tanpa kalian sengaja titik namun, ternyata kalian tidak mampu menjaga
konsistensi menjalankan qiyamulail yang diperintahkan kepada kalian karena memang yang
demikian berat sekali bagi kalian. Karena itu, Allah SWT kemudian berfirman: "keringanan
kepadamu karena itu bacalah apa yang (bagimu) dari Alquran. "Firman Allah SWT: "dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang orang yang sakit dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi
berperang di jalan Allahi" berarti dia mengetahui bahwa kelak di antara umat ini akan ada orang-
orang yang terhalang oleh udzur untuk menjalankan qiyamul lail, entah karena sakit hingga tidak
mampu menjalankannya, atau karena sedang melakukan perjalanan demi mencari karunia Allah
dalam aktivitas perniagaan, atau sibuk dengan urusan yang lebih penting bagi hak mereka, yakni
berpegang di jalan Allah.6

Dari semua ini jelas bahwa Alquran menganjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan memperbanyak ibadah, namun semua itu tetap dalam batas-batas kewajaran dan ke
moderatan.

B. Sunnah Rasul sebagai landasan ke-2 Tasawuf


1. Kezuhudan Rasulullah SAW dan kesederhanaannya

Jika mencermati sirah, sejarah hidup nabi SAW maka akan terpapar dengan jelas bahwa ada
hubungan erat antara pola hidup Rasulullah SAW yang penuh kezuhudan dan kesederhanaan,
dengan kehidupan kaum zuhud di masa permulaan Islam, kemudian kaum sufi sejati setelah
mereka yang menempa diri mereka dengan aneka macam riyadhoh dengan tujuan meminimalisir
tuntutan-tuntutan fisik agar jiwa mereka mudah menjalankan berbagai macam ibadah,
berkomunikasi dengan Allah dan berdekatan dengan-Nya.

Tidak ada yang lebih menunjukkan fakta ini daripada deretan khabar tentang perilaku kehidupan
beliau yang dimuat dalam sejumlah hadits shahih.

a. Kezuhudan dan Kesederhanaan Rasulullah dalam Hal Makanan


Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hazim dari Rasulullah SAW
bahwa beliau sangat bersahaja dalam soal makan. Ia bercerita: aku melihat Abu Hurairah
memberi isyarat dengan jarinya beberapa kali, seraya berkata, "demi dzat yang jiwa Abu

6
Tafsir Ibn Katsir, IV/438
Hurairah ada dalam genggaman tangan-Nya, Rasulullah SAW tidak pernah kenyang
selama 3 hari berturut-turut dengan mengonsumsi roti gandum sampai beliau meninggal
dunia.7 (HR. al-Bukhari).
Cerita Aisyah semakin mempertegas riwayat Abu hazim dari Abu Hurairah ini sebab ia
adalah orang terdekat beliau dan tentu saja ia lebih tahu bagaimana kezuhudan Rasulullah
SAW dalam hal makan.
Mashuq berkata: aku pernah bertemu pada Aisyah Ra., Lalu ia menyilakan ku makan.
(Selesai makan) iya berkata, "tidaklah aku kenyang karena makanan, melainkan aku ingin
menangis." masruq berkata: Aku bertanya: "Kenapa?" Ia menjawab: "aku teringat saat
terakhir rasulullah SAW meninggal dunia. Demi Allah, beliau tidak pernah kenyang dari
roti dan daging dalam sehari !" (Katanya) sampai dua kali. (HR. At-Tirmidzi).
Perlu dicatat pula, mengingat nilai pentingnya bahwa Rasulullah SAW tidak menganggap
pola makan minum sebagai kekhususan beliau yang tidak boleh diikuti oleh umatnya,
namun, Rasulullah SAW juga ingin agar umatnya menerapkan pola serupa karena hal itu
mengandung unsur kesederhanaan dan tidak tenggelam dalam kenikmatan hidup
diriwayatkan dari al-hasan, ia berkata: Rasulullah SAW berkhutbah, lalu bersabda: "demi
Allah tidaklah keluarga Muhammad memasuki waktu sore dengan satu sha' pun
makanan! "Padahal di sana ada 9 rumah. Demi Allah ah, beliau tidak mengatakannya
karena menganggap remeh rezeki Allah akan tetapi beliau ingin agar umatnya mengikuti
jejaknya."
b. Kezuhudan dan Kesederhanaan Rasulullah dalam Berpakaian
Kesederhanaan makan Rasulullah SAW bukan satu-satunya potret kezuhudan dan
kesederhanaan beliau, namun beliau juga begitu zuhud dan sederhana dalam hal
berpakaian. Diriwayatkan dari Anas SAW, bahwasanya "Rasulullah SAW makan-
makanan kasar, makai pakaian berbahan kasar, dan hanya sesekali mengenakan pakaian
dari bulu domba."
Perlu dicatat di sini, bahwa Rasulullah SAW tidak suka memakai kain dari bulu domba di
segala waktu. Bahkan, beliau pernah melepasnya karena satu hal yang diperhatikan oleh
salah seorang istrinya, yaitu Aisyah. Saat ia menyebutkan hal itu kepada beliau, beliau
langsung enggan memakai kain dari bulu domba. Diriwayatkan dari al-Mutharrif dari

7
Al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib, IV/187
Aisyah Ra,. Ia bercerita: nabi SAW pernah dibuatkan selimut hitam dari bulu domba, lalu
beliau memakainya. Lalu aku teringat akan keputihan kulit beliau dan warna hitam kain
tersebut. Tatkala beliau berkeringat, beliau mencium bau tidak enak pada selimut tersebut
sehingga beliau langsung membuangnya karena beliau suka dengan bau yang wangi."8

Pendek kata, atsar ini secara umum tidak mengurangi fakta konkret bahwa
Rasulullah SAW lebih menyukai pakaian dari bahan kasar.
c. Kezuhudan dan Kesederhanaan Alas Tidur Rasulullah

Rasulullah SAW juga menyukai alas tidur berkualitas rendah karena lebih mengutamakan
perilaku zuhud dan kesederhanaan daripada terlena dalam kenikmatan hidup.
Diriwayatkan dari Aisyah Ra,. Ia berkata : "sesungguhnya, alas tidur Rasulullah SAW
berupa lembaran kulit berisikan rerumputan kering."9 (HR Muslim).

Pilihan Rasulullah SAW pada alas tidur yang sangat bersahaja dilatarbelakangi oleh
keimanan beliau yang sempurna bahwa dunia hanyalah tempat tinggal sementara, bukan
untuk selama-lamanya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Ra, ia berkata: Rasulullah
SAW tidur di atas tikar lalu beliau bangun, tikar itu membekas di Lampung beliau, kami
berkata: andai kami membuatkan hamparan lunak untuk anda. Beliau bersabda: "apa
urusanku dengan dunia?! Aku di dunia tidak lain seperti seorang pengendara yang
bernaung di bawah motor setelah itu pergi meninggalkannya. (HR. At-Tirmidzi).

Di sini tidak ada seorangpun yang dapat menyangkal Dengan mengatakan bahwa riwayat
tentang kebersahajaan alas tidur Rasulullah SAW lebih dikarenakan bangsa Arab kala itu
belum mengenal sarana-sarana hidup seperti masyarakat beradab, bukan karena faktor
kezuhudan beliau. Sirah Nabawi sendiri menunjukkan kebatilan persepsi ini, begitu juga
sejarah bangsa Arab. Sebab mereka telah mengenal berbagai fasilitas penanda peradaban
bagaimana yang dinikmati oleh para raja dari bangsa-bangsa lain. Buktinya, para sahabat
pernah menawarkan kepada nabi shallallahu alaihi wasallam untuk membuat fasilitas-
fasilitas kemewahan hidup layaknya para raja, namun beliau menolaknya karena
kezuhudan beliau terhadap keduniaan.

8
Ath-Thabaqat, I/453.
9
At-Targhib, III/110
Satu fakta kebenaran yang harus diungkapkan bahwa kezuhudan dan kesederhanaan
Rasulullah SAW bukanlah karena faktor kemiskinan dan keterbatasan kondisi hidup,
melainkan lebih karena sebuah pilihan dan kegemaran. Beliau lebih memilih hidup zuhud
dan sederhana daripada menyibukkan diri dengan berbagai bentuk kenikmatan hidup di
dunia yang fana.

2. Ibadah extra Rasulullah SAW

Jika mencermati kehidupan Rasulullah SAW, tergambar jelas pula bahwa beliau banyak
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah ekstra, Dan ini menjadi sumber inspirasi
bagi kaum zuhud generasi awal, kemudian kaum sufi sepeninggal mereka dalam menjalankan
pola ibadah serupa.

Hadis-hadis yang menunjukkan kerajinan Rasulullah SAW dalam beribadah cukup banyak dan
masyhur .

C. Hubungan ilmu tasawuf dengan filsafat


Pembahasan tentang filsafat sangat identic dengan polemic, kritik dan juga perdebatan.
Banyak kalangan yang menuduh kajian filsafat sebagaii sesuatu yang tiada guna. Belajar filsafat
pun sering diibaratkan seperti mencari kucing hitam di dalam ruangan yang gelap, bahkan tidak
sedikit yang menyebut kajian filsafat dalam islam identik dengan kekufuran. Mengenai filsafat
yang penuh dengan polemic, kritik dan debat, Imam al-Ghazali dalam sebuah buku yang
berjudul tahfut al falsifah dan al munqidh min al dhalal yang isinya adalah kritik terhadap
pemikiran beberapa filosuf muslim atas beberapa masalah yang dianggap telah menyesatkan
umat islam. Ilmu tasawuf yang mempunyai keterkaitan dengan disiplin ilmu filsafat, ilmu kalam,
dan juga ilmu psikologi.10
Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan
pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa.
Secara jujur harus diakui bahwa terminology yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran
filsafat.

Kajian-kajian tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan
sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia islam. Kajian-
10
Mardiyan hayati “hubungan tasawuf dengan filsafat, theology dan psikologi” hlm.28-29
kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf.
Namun, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah
istilah qalb (hati). Istilah qalb ini memang lebih spesifik dikembangkan dalam tasauwf. Namun,
tidak berani bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.

Menurut sebagian ahli tasawuf jiwa adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh
dan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini
akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki
tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan di situ tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan
kalbu (qalb, hati) tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi
binasa karena melayani jiwa.

 Ilmu tasawuf sangat erat kaitannya dengan ilmu filsafat menurut Tiswani dalam bukunya
Buku Daras Akhlak Tasawuf menyatakan:
1. Ilmu filsafat memberikan penjelasan terhadap terminology-terminologi yang
digunakan dalam tasawuf
2. Ilmu tasawuf dan ilmu filsafat sama-sama mempunyai tujuan yakni mencari
kebenaran sejati atau kebenaran tertinggi
3. Ilmu filsafat lebih menitikberatkan pada teori, sedangkan ilmu tasawuf pada aplikasi.
4. Tasawuf landasannya berpijak dan bertolak dari perasaan sedangkan filsafat
landasannya berpijak pada rasio dan kepandaian menggunakan akal pikiran.
5. Filsafat turut mempengaruhi materi-materi dalam tasawuf.

D. Hubungan tasawuf dengan psikologi

Tasawuf dapat dijadikan pijakan jiwa alternative dalam menghadapi problem


kehidupan yang semakin kompleks. Setiap orang membutuhkan pijakan dalam hidupnya
untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan yang berimplikasi pada psikologi pada
orang tersebut. Tasawuf dijadikan pijakan karena tasawuf lebih dekat dengan disiplin
ilmu psikologi. Akan tetapi sering kedua kajian tersebut seakan terpisahkan, padahal objek kajian
tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental berurusan dengan soal yang sama, yakni soal
jiwa.11
11
Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif, Bogor: Kencana, 2003.hlm127
Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh
mana hubungan perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang dimunculkan
jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategorikategori perbuatan
manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik. Jika perbuatan
yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika
perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak jelek.

Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, yang akan tampak dalam kepribadiannya
adalah ketenangan. Perilakunya juga akan menampakkan perilaku dan akhlak-akhlak yang
terpuji.

Dalam setiap akhlak dibutuhkan suatu penghayatan apakah akhlak itu baik atau buruk
melalui kejiwaan kita sendiri dimana kita akan menilai seberapa kita mampu menjalankan
segala sesuatu yang telah menjadi hak dan kewajiban kita sebagai muslim. Mengingat adanya
hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa,
terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari kajian tentang
kejiwaan manusia itu sendiri.

Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa akhlak tasawuf ialah suatu mendekatkan
diri kepada Allah SWT sedekat mungkin melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak
ibadah. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan akhlak dalam segi agama akhlak tasawuf
lebih mendalam lagi, karenanya dibutuhkan keyakinan dalam kejiwaan seseorang, dalam
hal ini ialah ilmu jiwa agama yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang
dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah
laku serta keadaan hidup pada umumnya.

Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang
dikendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah
terciptanya keserasian antar keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan
para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan prilaku yang diperaktekan manusia dengan
dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi, dari sini terlihatlah
perbuatan itu berakhlak baik atau sebaliknya.
Ditekankanya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidak berarti mengabaikan unsur
jasmani manusia. Unsur ini juga penting karena rohani sangat memerlukan jasmani
dalammelaksanakan kewajibannya dalam beribadah kepada Allah. Seorang tidak mungkin
sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak
sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik.
Pandangan mengenai jiwa berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental yang merupakan
bagian dari ilmu jiwa (psikologi).

Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup,
dan pada mereka akan timbul perasaan tenang hatinya. Namun, bagi orang yang kurang
sehat mentalnya hatinya tidak tenang sehingga menjauh dari Tuhannya. Ketidaktenangan
itu menjelma menjadi prilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma yang
ada.

Harus diakui, jiwa manusia seringkali sakit, ia tidak akan sehat sempurna tanpa
melakukan perjalanan menuju Allah. Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya,
kepribadiannya tampak tenang dan prilakunya pun terpuji. Pola kedekatan manusia dengan
Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf, dari sinilah tampak keterkaitan
erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa.

E. Hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu Fiqh

Biasanya, pembahasn kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari thaharah ( tata cara bersuci ),
kemudian berlanjut pada persoalan-persoalan ke-fiqih-an lainya. Namun, pembahasan ilmu
fiqqih tentang thaharah atau lainya tidak secara lamgsung dengan pembicaraan nilai-nilai
rohaniyahnya. Padahal, thaharah akan terasa lebih bermakn ajika disertai pemahaman
rohaniya.12
Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqih dalam
persoalan-persoalan diatas ? ilmu tasawuf tampaknya mrupakan jawaban yang paling tepat
kaeena ilmu ini memberikan corak batin terhadapilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud, srperti
ikhlas dan khusyu’ berikut jalnannya asing-masing. bahkan, ilmu ini mampu menumbuhkan

12
Drs.Rosihon Anwar,M. ag. Drs.Muchtar Solihin,M. ag. “ilmu tasawuf” (bandung cv pustaka setia) hlm.90-92
kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan kewajiban
manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Ma’rifat secara rasa ( al-ma’rifat al- dzauqiyah ) terhadap allah melahirkan pelaksanaan
hukum-hukumNYA secara sempurna. Dari sinilah dapat dketahui kelirunya pendapat yang
menuduh perjalanan menuju allah ( dalam tasawuf ) sebagai tindakan melepaskan diri dari
hukum-hukum allah.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan, “ barang siapa mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf,
berarti ia fasik ; barang siapa bertasawuf, tetapi keduanya berarti ia bertahaqquq ( melakukan
kebenaran ). Tasawuf dan fiqih adala 2 disiplin ilmu yangsaling menyempurnakan. Jika terjadi
pertentangan antara keduanya, berarti telah terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya,
boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqih atau menjauhi fiqih, atau seorang hli fiqih tidak
memgamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fiqih harus bertasawuf. Seba;iknya, seorang ahli tasawuf atau ( sufi ) pun
harus mebdalami da mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang faqih harys mnegetahui hal-hak
yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tatacara pengamalannya. Seorang
sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Syaikh ar-
rifa’I berkata, “ sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi adalah satu. “ pernyataan ar-
rifa’I diatas perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang “ terkelabui “ selalu menhujat setiap
orag dengan perkataan, “ orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.”
Ungkapan ini dikatakan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk syaikhnya; dilontarkan
oleh sufi keliru yang tidak tahu bagaimana seharusnya menndudukan tasawuf pada tempat yang
sebenarnya.
Para pengamat ilmu tasawuf mengakui bahwa orang yang tah berhasil menyatukan tasawuf
dengan fiqih adalah al-ghozali. Kitab ikhya’ ulumu ad-din dapat dipamdang sebagai kitab yang
mewakili dua disiplin ini, disamping disiplin ilmu lainya, seperti ilmukalam dan filsafat.
Papafran diatas telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf dan ilmu fiqih adalah dua disiplin
ilmu yangsaling melengkapi.setiap oranng harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa
kebutuhanperseorangan terhadap edua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar
kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat difahami bahwa ilmu fiqih, yang berkesan sangat
formalistic- lahirlah, menjad “ sangat kering “, “kaku”, dan tidak mempunyai makna bagi
penghambaan seseorang jika tdak diisi dengan muatan kesadaran rohaniah yang dimiliki oleh
tasawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap- sikap “ merasa suci”
Sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam fiqih.
F. Hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu kalam

Al-Ghazali lebih dikenal sebagai sufi ketimbang mutakallim karena dalam sejarahnya Al-
Ghazali pernah mengkritik bangunan pemikiran filsafat dan ilmu kalam. Al-Ghazali menurut M.
Amin Abdullah, tidak serta merta menolak ilmu Kalam namun ia menggarisbawahi
keterbatasan-keterbatasan ilmu kalam sehingga berkesimpulan bahwa kalam tidak dapat
dijadikan sandaran oleh para pencari kebenaran. Kalam tidak dapat mengantarkan manusia
mendekati Tuhan, tetapi hanya kehidupan sufilah yang dapat mengantarkan seseorang dekat
dengan Tuhannya.13

Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan dan manusia sulit terjawab hanya dengan


berlandaskan pada ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada
penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah yang membahas
bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana
merasakan tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam
ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta
kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan
atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, serta untuk meyelamatkan
diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasanbatasannya oleh
seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap
saja melaksanakannya.14

 Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai
berikut:
1. Sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang
mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau
teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan
penyempurna ilmu kalam.

13
M. Amin Abdullah, Op.Cit., h. 86
14
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h.17
2. Sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang
bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau
penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan
AsSunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulamaulama salaf, hal itu harus
ditolak.
3. Sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatanperdebatan kalam.
Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi
sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional di samping muatan naqliyah, ilmu
kalam dapat bergerak kearah yang lebih bebas. Di sinilah ilmu tasawuf berfungsi
memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam terkesan sebagai dialektika keislaman
belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan hati.

Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan.


Jika rasa sabar tidak ada, misalnya, muncullah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit, lahirlah suatu
bentuk kegelapan sebagai reaksi.

Begitu juga ilmu tauhid dapat memberi kontribusi kepada ilmu tasawuf. Sebagai contoh, jika
cahaya tauhid telah lenyap, akan timbullah penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, conkak, riya’,
dengki, hasud, dan sombong. Kalau saja manusia sadar bahwa Allah-lah pnecipta segala sesuatu,
niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya’. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid
merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi).

BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Al-Qur’an dan as-Sunah merupakan dua landasan utama dalam kehidupan bertasawuf
2. Bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan,
sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan dan intisari dari itu
adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan
Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi.
3. Lebih mengetahui tentang tasawuf, yang merupakan salah satu ilmu yang tentu saja
berhubungan dengan ilmu lainnya. Keterkaitan ini kadang-kadang dilihat dari
persamaan objek, persamaan sudut pandang, persamaan sumber dan lain sebagainya.
B. Saran
Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu tasawuf
tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam ilmu tasawuf, perlu pula melengkapi
dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan di atas. Selain itu uraian tersebut menunjukan
bahwa tasawuf adalah ilmu yang sangat erat kaitannya dengan berbagai permasalahan
yang lainnya yang ada di sekitar kehidupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Fauqi Hajjaj “Tasawuf Islam & Akhlaq” (Jakarata, Amzah 2011) hlm.27
Tafsir Ibn Katsir, I,IV

Al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib, IV/187

Al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib, IV/187


Ath-Thabaqat, I/453.

Mardiyan hayati “hubungan tasawuf dengan filsafat, theology dan psikologi” hlm.28-29

Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif, Bogor: Kencana, 2003.hlm127

Drs.Rosihon Anwar,M. ag. Drs.Muchtar Solihin,M. ag. “ilmu tasawuf” (bandung cv pustaka
setia) hlm.90-92

Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,
h.17

Anda mungkin juga menyukai