Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

DASAR-DASAR TAUHID, AKHLAK DAN TASAWUF


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tauhid dan Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Dr H Abdul Kholiq MA

Disusun Oleh :

Muhammad Azka Hafidzi (2203016087)


Kelas PAI 1 C

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena telah memberikan
kelancaran dan kemurahan-Nya terhadap kami, sehingga dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
“Tauhid dan Akhlak Tasawuf” dalam bentuk makalah, Sholawat serta salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada junjungan kita Nabiyullah Muhammad, SAW.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan dan
pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul “Dasar-Dasar Tauhid dan Akhlak
Tasawuf” ini, masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat
kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini, kami berharap dari makalah yang
kami susun ini dapat bermamfaat dan menambah wawasan bagi kami maupun pembaca. Amin.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Semarang, 28 November 2022


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………… 2

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………... 3

BAB I………………..…………………………………………………………………………… 4

PENDAHULUAN…..…………………………………………………………………………… 4

A. Latar Belakang…………………………………………………………………………… 4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………... 4
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………………. 4
BAB II……………………………………………………………………………………………. 5
PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………….5
A. Dasar-Dasar Tauhid dan Akhlak Tasawuf ………………………………………………..5
B. Pandangan Tasawuf Terhadap Dunia……………………………………………………. 7
BAB III…………………………………………………………………………………………. 10
PENUTUP……………………………………………………………………………………… 10
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………... 10
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………... 12
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tauhid dan akhlak tasawwuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual
Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, secara historis dengan teologis
Tauhid dan Akhlak Tasawwuf tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup umat agar
selamat dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW.
Adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor
pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang
prima. Khazanah pemikiran dan pandangan di bidang akhlak dan tasawwuf itu kemudian
menemukan momentum pengembangan dalam sejarah, antara lain ditandai dengan munculnya
sejumlah besar ulama tasawwuf dan ulama di bidang akhlak.

Bersamaan dengan perkembangan itu teknologi di bidang alat-alat anti hamil,


makanan minuman, dan obat-obatan telah membuka peluang terciptanya kesempatan untuk
membuat produk alat-alat, makanan, minuman dan obat-obatan terlarang yang
menghancurkan masa depan generasi muda. Tempat-tempat beredarnya obat terlarang
semakin canggih. Demikian juga sarana yang membawa orang lupa pada Tuhan, dan
cenderung maksiat terbuka lebar di mana-mana, menyebabkan pentingnya mempelajari ilmu
tauhid dan akhlak tasawuf bagi kehidupan, selain kita mempelajari ilmunya kita harus tahu
tentang dasar-dasar dalil mengenai Tauhid dan Akhlak Tasawuf. Mengingat pentingnya tauhid
dan akhlak tasawuf dalam kehidupan ini tidaklah mengherankan jika tauhid dan akhlak
tasawuf ditetapkan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh kita semua dikarenakan
pentingnya hal tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah dasar-dasar Tauhid dan Akhlak Tasawuf ?

2. Apakah Tasawuf memandang negative terhadap dunia ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliah Tauhid dan
Akhlak Tasawuf serta untuk mengetahui dasar-dasar dan pandangan Tasawuf terhadap dunia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar-Dasar Tauhid dan Akhlak Tasawuf

Suatu ketika Rasulullah Saw ditanya Sahabatnya, 'Apa yang paling banyak
memasukkan manusia ke surga?' Rasulullah SAW menjawab, 'Takwa kepada Allah dan
akhlak yang baik'. Beliau kembali ditanya, 'Lalu, apa yang paling banyak memasukkan
manusia ke dalam neraka?'. Rasulullah Saw menjawab, 'Dua rongga, yaitu mulut dan
kemaluan' (HR. Ibnu Majah). Hadis di atas dikutip oleh Syaikh Ibnu 'Athoillah al-
Sakandari dalam kitabnya Tajul 'Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus. Hadis tersebut
memberi penjelasan bahwa Islam sejatinya menggabungkan antara takwa dan akhlak.
Keduanya tidak dipisah secara dikotomis. Takwa memperbaiki hubungan hamba dengan
Allah. Sementara akhlak memperbaiki hubungan dirinya dengan makhluk. Hubungan
baik dengan makhluk merupakan bagian dari pengamalan takwa kepada-Nya. Sedangkan
takwa merupakan pengamalan dasar dari tauhid. Dalam tradisi para ulama tasawuf,
akhlak tidak pernah lepas dari tauhid. Apalagi, tauhid menjadi syarat dasar seorang sufi
berakhlak.
Pemisahan secara dikotomik antara akhlak dan tauhid ternyata bertentangan
dengan kaidah-kaidah yang dibangun oleh Syaikh Ibnu Athoillah al-Sakandari. Ia tidak
sependapat dengan pernyataan, bahwa akhlak yang baik itu hanya memulyakan manusia
tetapi melupakan Tuhan. Ia mengatakan: “Apakah menurut Anda berakhlak baik itu
adalah (hanya) dengan menyapa manusia dengan baik, memulyakan manusia, namun
mengabaikan hak-hak Allah?”. Bukan. Akhlak yang baik tidak seperti itu. Akhlak yang
baik itu adalah dengan menunaikan hak-hak Allah, menjaga hukum-Nya, tunduk kepada-
Nya, serta menjauhi larangan-Nya” (Ibnu 'Athoillah, Tajul 'Arus al-Hawi li Tahdzib al-
Nufus) Akhlak kepada Allah inilah esensi tauhid. Imam al-Qusyairi, penulis kitab
tasawuf al-Risalah al-Qusyairiyah, menjelaskan bahwa, para ulama tasawuf membangun
kaidah-kaidah tasawufnya di atas tauhid, menjaga akidahnya dari bid'ah dan mendekat
kepada ajaran-ajaran salafus sholih Ahlussunnah wal Jama'ah ( Abdul Karim al-Qusyairi,
al-Risalah al-Qusyairiyah, hal.41 ).
Menurut seorang ulama sufi, Ahmad bin Muhammad al-Jariry, barang siapa (dari
ahli tasawuf) yang tidak beridiri di atas ilmu tahid dengan dalil-dalilnya, maka ia akan
tertipu dalam jurang kesesatan. Oleh karena itu, para ulama tasawuf sangat berhati-hati
dalam mengamalkan syariat. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, membangun tariqahnya
dengan amat ketat. Ia menjadikan akidah tauhid sebagai fase pertama yang harus
dibersihkan bagi seorang murid (pengikut tarekat). Ia mengatakan: “Wajib bagi murid
(pengikut tarekat) untuk menjadikan akidah Sunni sebagai 'sayapnya' sebagai media
dalam bertariqah untuk sampai kepada Allah” (Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah II ,
163). Hikmah dan akhlak menurut Imam al-Junaid, pembesar ulama sufi, tidak akan
diperoleh tanpa ma'rifah kepada Allah. Ma'rifah (mengenal) Allah yang dimaksud adalah
mengamalkan hak-hak yang wajib ditunaikan kepada-Nya ( al-Risalah al-Qursyairi, hal.
42).
Tauhid para ulama tasawwuf terbebas dari akidah tasybih, tamsil (penyerupaan
Allah dengan makhluk-Nya), dan meremehkan-Nya. Karena, sebagaimana dijelaskan
oleh Abu al-Thayyib al-Maraghi, kemurnian ibadah tidak akan diperoleh kecuali dengan
kejernihan Tauhid. Begitu pula akhlak yang baik tidak mungkin diperoleh kecuali dari
hati yang bersih tauhidnya kepada Allah. Sebab, pada hakikatnya, akhlak yang baik itu
melakukan apapun yang membuat Allah sendang dan ridha. Akhlak yang baik bukanlah
dengan melakukan sesuatu yang membuat manusia senang. Tapi yang mendatangkan
ridha Allah Swt. Bukanlah akhlak yang baik, jika melakukan kemaksiatan yang disenangi
manusia, sebab kemaksiatan itu mendatangkan murka kepada-Nya. Bisa jadi seorang
muslim bertutur baik di hadapa orang, tapi ucapannya tidak sopan kepada Allah, seperti
menghina Rasulullah, menyembunyikan Sahabatnya, apalagi ingkar kepada Allah.
Sehingga, seorang ateis atau sekuler tidak tepat disebut berakhlak baik dalam
pandapangan para ulama tasawuf (pandangan Islam), sebab, seorang ateis ingkar kepada-
Nya, dan sekuler pertarungan hukum-hukum Allah. Jadi, bisa saja seorang ateis dan
sekularis itu disebut moralis, tapi dari perspektif ini tidak bisa disebut berakhlak baik.
Ibnu 'Athoillah memberi istilah bahwa berkhaklak kepada Allah itu dengan
'bersahabat dengan-Nya'. Ketika ditanya, bagaimana cara bersahabat dengan Allah. Ibnu
Athoillah menjawab: “Ketahuilah bahwa bersahabat dengan segala sesuatu harus sesuai
dengan keadannya. Bersahabat dengan Allah mewujudkan dengan mengerjakan perintah-
Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bersahabat dengan malaikat Raqib dan Atid dilakukan
dengan mendiktekan berbagai kebaikan hati. Bersahabat dengan al-Qur'an dan al-Sunnah
diwujudukan dengan mengamalkan isinya. Bersahabat dengan langit dan bumi
dijuwudkan dengan mentadaburinya, mengambil pelajaran darinya” ( Tajul 'Arus
Pelatihan Lengkap Mendidik Jiwa (terj) , hal. 446).
Dengan demikian, akhlak yang baik, menurut Ibnu 'Athoillah, bersumber dari
keimanan. Buah keimanan di antaranya adalah menunaikan hak Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Barangsiapa yang melakukan semua itu, berarti ia memiliki akhlak yang
baik.
B. Pandangan Tasawuf Terhadap Dunia
Secara terminologis, tasawuf adalah “mencari yang hakikat, dan putus asa
terhadap apa yang ada di tangan mahkluk. Barang siapa yang bersungguh-sungguh
dengan kefakiran, maka berarti belum sungguh-sungguh dalam bertasawuf”, definisi ini
dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhy (w 200 H). Kemudian tasawuf menurut Sahal al-
Tustury (w 283), yakni “seorang sufi ialah orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh
pemikiran, terputus dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil”. Untuk
mencapai tujuan tasawuf seseorang dituntut melakukan latihan kesungguhan riyadlah-
mujahadah untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah). Dalam praktiknya, tasawuf ini
lazim ditempuh melalui pelatihan spiritual yang terfomulasikan dalam maqamat ruhiyah
(tahapan spiritual). Yakni kedudukan hamba yang hanya mempersembahkan jiwa
raganya di hadapan Allah Swt. Sebenarnya jalan menuju Allah itu tidak dapat dipastikan
secara matematis, setiap sufi memilki pengalaman ruhani sendiri-sendiri. Meski
demikian, para ahli tasawuf secara umum membakukan pada tujuh maqamat, yaitu :
tobat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal, dan ridla atau syukur.

Kemudian al-Ghazali berpendapat dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din,


bahwasanya maqamat dalam bertasawuf itu ada delapan, yaitu : taubat, sabar, zuhud
(berpaling dari dunia), tawakal, mahabbah, ma’rifah, dan syukur. Perilaku-perilaku di
atas yang termasuk dalam maqamat sebenarnya merupakan akhlak yang mulia.
Semuanya dilakukan seorang sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya dengan
bertaubat dan menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Hal itu merupakan proses
takhalli yakni membersihkan diri dari sifat buruk dengan bertaubat dan menghiasi diri
dengan sifat-sifat terpuji ini yang dinamakan proses tahalli. Sebagai konsekuensi logis
dari perolehan maqamat tadi, seorang sufi akan mengalami ahwal. Ahwal menurut Said
Aqil yakni kondisi spiritual yang menyelimuti qalb, bersifat spontan dan merupakan
ekpresi ketulusan seorang sufi dalam mengingat Allah. Kehadiran ahwal semata-mata
atas anugrah dan rahmat dari Allah Swt, bukan diperoleh atas usaha manusia. Diantara
ahwal adalah: al-muraqabah (visi), al-qurb (kedekatan), almahabbah (kecintaan), al-
khawf (segan), ar-raja’ (optimistis), asy-syauq (kerinduan), al-uns (harmonis), al-
musyahadah (persaksian), dan al-yaqin (keteguhan)

Tasawuf yang apabila dipraktikkan dengan benar dan tepat akan menjadi metode
yang efektif dan impresif untuk menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi, apa pun
zamannya atau bagaimana kondisi di dunia akan dihadapi dengan hati yang dingin,
pikiran yang jernih, menilai dengan objektif, dan penuh ketenangan. lantas kemudian,
masih relevan kah dunia tasawuf menjawab tantangan zaman seperti sekarang ini?
Sebagian ahli mengatakan masa modernisasi. Modernitas, sejak kemunculannya yang
ditandai dengan renaissancesekitar abad 17, disamping memiliki dampak positif yang
hebat, juga mendatangkan efek negatif yang tidak kalah dahsyatnya. Sisi positifnya telah
banyak diakui dan kita dinikmati seperti meningkat pesatnya sains dan teknologi,
semakin menyempitnya dunia dalam cakupan komunikasi yang semakin tunggal, sistem
informasi yang makin mengalami percepatan yang kian melangit, dan tentunya
berubahnya dunia ke dalam satu sistem tunggal, satelit, yang meniscayakan adanya dunia
maya (cyber-space) melalui internet.

Awalnya banyak orang terpukau dengan modernisasi, mereka menyangka bahwa


dengan modernisasi itu akan membawa kesejahteraan. Tetapi berbeda dengan kenyataan
bahwa modernisasi yang serba gemerlap memukau itu ada gejala yang dinamakan the
agony modernisation, yaitu adzab sengsara yang disebabkan modernisasi. Dalam
menikmati semua itu, menjadikan manusia lupa akan jati dirinya yang sebenarnya, secara
tidak sadar justru diperbudak oleh modernitas-sains yang semakin melingkupi dan
memenjarakan jiwanya. Manusia modern menjadikan kerja dan materi sebagai aktualisasi
kehidupannya. Ia akan berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya demi terpenuhi
hasrat ‘memiliki’ dengan cara apapun. Peradaban manusia modern semakin terlihat ingin
menguasai, mendominasi, dan mengekploitasi. Maka gejala-gejala yang dapat kita
saksikan dari modernisasi ini seperti meningkatnya angka kriminalitas yang disertai
dengan tindak kekerasan, begal, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), pemerkosaan,
korupsi, prostitusi, bunuh diri, gangguan jiwa, kenakalan remaja, dan lain sebagainya.
Dikemukakan oleh para ahli, bahwa gejala psikososial di atas disebabkan karena semakin
modern suatu masyarakat semakin bertambah intensitas dan eksistensitas dari berbagai
disorganisasi dan disintegrasi sosial masyarakat.

Menurut Said Aqil Siradj, dalam bukunya Tasawuf sebagai kritik sosial
mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi, titik puncak kesempurnaan
beragama seseorang terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam dan
menyelaminya sehingga bersikap arif dan bijaksana. Disinilah perlunya mengedepankan
aspek esoteris dalam Islam. Sisi positif dari pendekatan tasawuf ini adalah pemahaman
keislaman yang moderat serta bentuk dakwah yang mengedepankan qaulan karimah
(perkataan yang mulia), qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), qaulan maisura (perkataan
yang pantas), sebagaimana diamanatkan dalam al-Qur’anTasawuf adalah intisari ajaran
Islam yang membawa pada kesadaran manusia seperti itu. Tasawuf sangat dibutuhkan
menjadi semangat era global dan modernism yang mengalami kegersangan dari nilai-nilai
spiritualitas. Tasawuf sebenarnya merupakan bagian dari penelaahan rahasia dibalik
teks-teks Ilahiah. Said Aqil tidak sependapat mengenai orientasi tasawuf yang hanya
cukup disebut sebagai moralitas saja. Seperti menurut Ibn Taimiyyah, tasawuf tidak lain
merupakan moralitas dalam Islam. Tujuan tasawuf dalam hal ini sama dengan tugas Nabi
Muhammad Saw. “Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang
luhur”. Semua orang sepakat akan pentingnya moralitas yang merupakan pijakan
mendasar dalam berinteraksi dengan di luar dirinya termasuk kepada sang Pencipta.

Tasawuf menurut Said Aqil Siroj : Tasawuf bukan sekedar etika, melainkan juga
estetika, keindahan. Tasawuf tidak hanya bicara soal baik buruk, tapi juga sesuatu yang
indah. Ia selalu terkait dengan jiwa, ruh, dan intuisi. Ia tidak hanya membangun dunia
yang bermoral, tapi juga dunia yang indah dan penuh makna. Tasawuf tidak hanya
berusaha menciptakan manusia yang hidup dengan benar, rajin beribadah, berakhlak
karimah, tapi juga bisa merasakan indahnya hidup dan nikmatnya ibadah. Kemudian
tasawuf yang apabila dipraktikkan secara benar dan tepat maka akan menjadi metode
yang efektif untuk menghadapi tantangan zaman. Menurut sufi besar Abu Bakar al-
Kattani (w. 322 H), tasawuf adalah pembersihan hati dan penyaksian terhadap realitas
hakiki, yang disebut juga al-shofa wa al-musyahadah (kejernihan dan kesaksian).
Tasawuf bertujuan untuk memperolah hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan,
dengan melakukan kontemplasi dan melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa
berubah dan bersifat sementara ini.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tauhid dan akhlak tasawuf sangat penting untuk dipelajari dan diamalkan dalam
kehidupan, dengan Tauhid dan akhlak tasawuf kita akan mengetahui betapa pentingnya
hubungan antara Manusia dengan Tuhan (hablumminAllah) dan hubungan antara
Manusia dengan Manusia (hablumminannas). Sesuai dengan hadist Rasulullah yang
menyebutkan sesuatu yang paling banyak memasukan manusia ke dalam surge ialah:
berTakwa kepada Allah dan berakhlak baik sesama Manusia. Hadist ini memberi
penjelasan bahwa Islam sejatinya menggabungkan antara takwa dan akhlak. Keduanya
tidak dipisah secara dikotomis. Takwa memperbaiki hubungan hamba dengan Allah.
Sementara akhlak memperbaiki hubungan dirinya dengan makhluk. Hubungan baik
dengan makhluk merupakan bagian dari pengamalan takwa kepada-Nya. Sedangkan
takwa merupakan pengamalan dasar dari tauhid.

Dalam tradisi para ulama tasawuf, akhlak tidak pernah lepas dari tauhid. Apalagi,
tauhid menjadi syarat dasar seorang sufi berakhlak. Tetapi berakhlak itu tidak serta merta
hanya kepada manusia saja tetapi Akhlak yang baik itu adalah dengan menunaikan hak-
hak Allah, menjaga hukum-Nya, tunduk kepada-Nya, serta menjauhi larangan-Nya itulah
esensi dari Tauhid. Dan di dalam kehidupan ilmu Tasawuf juga sangat penting. Ilmu
tasawuf dapat diartikan sebagai sebuah upaya yang dilakukan manusia untuk
memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada agama dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah.

Tasawuf menurut Said Aqil adalah Shafa wa Musyahadah, yakni suatu upaya dalam
rangka membersihkan hati (Tazkiyah al-Nafs) untuk sampai pada maqam ma’rifat
(pengenalan terhadap Allah Swt). Berbeda dengan ilmu, jika ilmu hanya sebatas
mengetahui mengenai sesuatu, sedangkan ma’rifah adalah mengenal Allah Swt. Karna
tujuan primer dari tasawuf ini adalah ma’rifah. Tentunya dalam merai semua itu tidak
mudah, dalam proses tasawuf seseorang akan menemui berbaga macam cobaan. Oleh
karenanya seorang salik disyaratkan untuk bersungguhsungguh dalam menjalankan
proses ini, yang dikenal dengan Mujahadah dan latihan-latihan spiritual Riyadlah.

Tasawuf bagi Said Aqil tidak sekedar akhlak al-Karimah, bukan pula tasawuf
diidentikkan dengan secara ekstrem sebagai wahana untuk memperbanyak ibadah
(katsrah al-ibadah) yang sifatnya ritual. Tarekat pun yang disebut sebagai pelembagaan
dari praktik tasawuf tidak bisa disejajarkan dengan makna tasawuf. Cakupan tasawuf
bukan sekedar etika, melainkan juga estetika, keindahan. Tidak hanya bicara soal baik
buruk, tapi tasawuf mampu membuat sesuatu yang indah. Tasawuf tidak hanya berusaha
menciptakan manusia yang hidup dengan benar, rajin beribadah, tetapi juga bisa
merasakan indahnya hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Mustafa. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.

Thaib, Ismail. 1984. Risalah Akhlak.Yogyakarta: CV Bina Usaha.

Ibnu 'Athoillah, Tajul 'Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus

Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hal.41

Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah II , 163

https://inpasonline.com/tauhid-dan-akhlak-menurut-para-ulama-tasawwuf/

https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/19235/2/11510005_bab-i_iv-atau-v_daftar-pustaka.pdf

Anda mungkin juga menyukai