Disusun Oleh :
Fardan Ali
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan berbagai
nikmat-NYA kepada kita semua. Shalawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurahkan
kepada beliau Nabi agung Muhammad SAW.
Makalah dengan judul ’’TRADISI HALAL BIHALAL’’ ini saya susun guna
memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam yang telah Ibu Arifiyah Tsalatsati
AM,M,S,I berikan.
Saya menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam diri saya, maka saya memohon
maaf apabila ada kesalahan atau kekeliruan dalam penyusunan makalah ini. Namun, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi saya, anda , dan semua pihak yang membutuhkan.
Penyusun,
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Kesimpulan .......................................................................................................14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Pendekatan Sosiologis
Dalam pendekatan sosiologis tradisi Halal bihalal yang biasa dilakukan pada
waktu hari raya lebaran cenderung berkurang, kurangnya minat masyarakat khususnya
Generasi Muda yang lebih individualistik menjadikan tradisi yang biasa dilakukan saat
lebaran lama kelaamaan luntur. Silahturahmi yang diadakan dengan kunjungan ke
rumah sanak saudara dan masyarakat sekitar rumah juga mulai jarang dilakukan. Tradisi
ini justru masih bertahan di Lingkungan Pedesaan, dimana interaksi sosial antar
4
warganya masih tetap terjaga. Padahal Tradisi ini merupakan budaya asli yang
dilakukan di Indonesia.
Halal bihalal sendiri merupakan momen yang tepat untuk bersilaturahim dan
saling meminta maaf antar sesama. Halal bihalal juga dianggap sebagai ajang
komunikasi produktif antar berbagai komponen bangsa yang dilaksanakan dengan suka
cita dan dibentuk secara seremonial yang diikuti oleh sekelompok warga dari berbagai
macam agama, ras dan suku. Suasana halal bihalal yang penuh dengan nuansa religius,
kekeluargaan dan keterbukaan membuat semua orang yang hadir tidak memiliki beban
psikolgis tertentu. Pada saat itulah komunikasi sehat bisa terbangun dengan baik. Pada
gilirannya muncul keinginan untuk saling membantu dan saling membesarkan yang
akhirnya membawa dampak positif bagi keberlangsungan hubungan mereka dalam
bermasyarakat dan terciptanya sikap plural dengan agama lain.
Selain itu, Banyaknya masyarakat muslim dari berbagai kalangan, baik dari
kalangan atas, menengah sampai masyarakat biasa yang menyelenggarakan acara
halalbihalal, dikarenakan adanya anggapan masyarakat bahwa acara halal bi halal
tersebut merupakan bagian dari hari raya Idul Fitri dimana pada kesempatan tersebut
terjadi proses saling maaf memaafkan sebagaimana yang diperintahkan oleh agama.
Terkait dengan hal itu, mengemuka pertanyaan apakah acara halalbihalal.sebagaimana
yang digambarkan tersebut diatas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hari
raya Idul Fitri dan bagaimana tinjauannya dari kacamata agama apakah sesuai dengan
syari’at?
C. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Halal bihalal, fungsi, dan sejarahnya?
2. Apa saja tradisi lokal yang terdapat pada tradisi Halal bihalal?
3. Pendekatan apa saja yang ada pada tradisi Halal bihalal?
4. Bagaimana perkembangan tradisi Halal bihalal sekarang ini?
5
BAB II
PEMBAHASAN
4
M. Quraish Shihab, Op.cit. hal. 322.
5
https://www.nu.or.id/post/read/60965/kh-wahab-chasbullah-penggagas-istilah-ldquohalal-
bihalalrdquo (diakses 7 Januari 2020, Pukul 16.01).
7
C. Tradisi Lokal Pada Tradisi Halal Bihalal
Pengertian budaya lokal dapat dirumuskan sebagai bentuk dari nilai-nilai lokal
yang terwujud dari hasil pemikiran serta perilaku masyarakat tersebut yang terbentuk
secara alami seiring dengan berjalannya waktu. Pada umumnya, ia dapat berwujud
salah satunya sebagai tradisi. Oleh karena luas wilayah indonesia vang begitu luas
serta memiliki bentuk masyarakat yang benar-benar bervariasi maka terdapat beragam
khazanah kekayaan lokal yang tercantum sebagai kebudayaan lokal, Tradisi lokal yang
dimaksud, yaitu:
8
2) Tradisi mengucapan Minal Aidin Wal Faizin
Adapun ucapan minal 'aidin wal faizin tidak bisa kita lepaskan dari hari raya
Idul Fitri, karena setiap datang hari raya Idul Fitri ini ucapan inilah yang selalu kita
dengar dalam kehidupan masyarakat, dengan harapan dan do'a yang kita ucapkan
kepada sanak keluarga dan handai tolan pada Idul Fitri. Dalam pengertian minal 'aidin
wal faizin ini kita tidak dapat merujuk kepada al- Qur'an untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan kata 'aidin, karena bentuk bentuk kata tersebut tidak bisa kita
temukan di dalam al-Qur'an.
Namun dari segi bahasa, minal 'aidin berarti "semoga kita termasuk orang-
orang yang kembali". Kembali di sini adalah kembali kepada fitrah, yakni "asal
kejadian", atau "kesucian", atau "agama yang benar". Sementara itu, al-faizin bentuk
jamak dari kata faiz yang berarti orang yang keberuntungan. Kata ini terambil dari
kata fauz yang berarti keberuntungan.
10
3) Mencerminkan kesempurnaan. Bentuk ketupat begitu sempurna dan hal ini
dihubungkan dengan kemenangan umat Islan setelah sebulan lamanya berpuasa
dan akhirnya menginjak Idul Fitri. Karena ketupat biasanya dihidangkan dengan
lauk yang bersaman, maka dalam pantun Jawa pun ada yang bilang "KUPAT
SANTEN", Kulo Lepat Nyuwun Ngapunten (Saya Salah Mohon Maaf). Akan
lebih indah seandainya kita dapat memaknai ketupat di hari raya Idul Fitri ini
sesuai asal-muasal katanya yakni dengan saling mengakui dan memaafkan
kesalahan masing masing. Supaya hari kemenangan ini tidak hanya berbekas
tentang baju baru, sepatu baru. nastar ataupun ketupat sayur, melainkan tentang
kelahiran hati baru nan suci untuk diisi dengan benih- benih cinta terhadap Ilahi.
a. Pendekatan Hukum
Pendekatan dari Segi Hukum, dalam Halal bihalal terdapat kata Halal yakni lawan
dari kata Haram. Halal adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan. Sedangkan
haram adalah suatu tuntutan untuk ditinggalkan atau perbuatan yang melahirkan
dosa dan mengakibatkan siksaan. Jika istilah halal bihalal dikaitkan dengan
pengertian halal lawan dari haram, maka akan timbul kesan bahwa orang yang
melakukan halal bihalal akan terbebas dari dosa dan menjadikan sikap seseorang
yang tadinya haram atau berdosa menjadi halal dan tidak berdosa lagi. Namun
tinjauan hukum seperti ini memiliki kelemahan. 6
b. Pendekatan Bahasa
Pendekatan dalam Segi Bahasa / Linguistik, Kata halal dari segi bahasa
diambil dari akar kata halla atau halala yang memiliki berbagai bentuk dan makna
sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Secara bahasa, makna halla ialah
6
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an., hlm. 240.
11
menyelesaikan problem atau kesulitan, meluruskan benang kusut, dan mencairkan
yang beku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.7
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, halal bihalal berarti acara maaf-
maafan pada hari lebaran, sehingga mengandung unsur silaturahmi. Sedangkan
dalam bahasa Arab, halal bihalal berasal dari kata “Halla atau Halala” yang
mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya, antara lain:
penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang
beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. maka arti halal bihalal adalah
suatu kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah lebaran
melalui silaturahmi, sehingga dapat mengubah hubungan sesama manusia dari
benci menjadi senang, dari sombong menjadi rendah hati dan dari berdosa
menjadi bebas dari dosa.
Dengan begitu pendekatan linguistik atau bahasa ini memberikan
pendekatan yang Universal bahwa seseorang menginginkan adanya sesuatu yang
mengubah hubungannya dari yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku
menjadi cair, dari yang terikat menjadi terlepas atau bebas, walaupun perkara
tersebut belum tentu haram.
c. Pendekatan Al-Qur’an
Pendekatan dalam segi Al-Qur’an, Di dalam al-Qur’an sendiri, kata halal
dapat ditemukan sebanyak 6 ayat yang terliput dalam 5 surah. 8 Dua di antaranya
dirangkaikan dengan kata haram dan dikemukakan dalam konteks kecaman
(bersifat negatif).9 Sedangkan keempat sisanya selalu dirangkaikan dengan kata
kulu (makanlah) dan kata thayyibah (yang baik).10 Seperti dalam surat An-Nahl
ayat 116, artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-
sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan haram” untuk mengadakan
kebohongan kepada Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan
7
Isma’il bin Hammad al-Jauhari, al-Shihah Taj al-Lughah wa Shihah al-‘Arabiyah, ed.
Ahmad
‘Abdul Ghafur ‘Aththar, (Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1979), Cet. II, hlm. 1672-1674.
8
Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fazi al-Qur’an al-Karim,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 216.
9
Lihat QS. al-Nahl (16): 116-117 dan QS. Yunus (10): 59.
10
Lihat QS. al-Baqarah (2): 168 , QS. Maidah (5): 88, QS. al-Anfal (8): 69 dan QS. al-Nahl
(16): 114.
12
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Q.S. An-Nahl: 116). Selanjutnya
dalam surat Yunus ayat 59 juga digandengkan, sebagai berikut : Katakanlah :
“terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu
kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah
“apakah Allah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-ada
saja terhadap Allah?”(Yunus: 59).
Dan sisannya selalu dirangkaikan dengan kata kuluu artinya makanlah
dan kata thayyibah artinya yang baik. Hal ini dapat dilihat dalam surat al-Baqarah
: 168, surat al-Anfal : 69, surat al-Maidah: 88 dan surat an-Nahl : 116. Salah satu
ayat penting tentang halal adalah dalam surat al-Baqarah : 168 artinya Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah: 168).
Pada ayat ini, dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk mengkonsumsi makanan yang
baik atas rezeki yang Allah berikan agar mereka senantiasa dianggap bersyukur
atas rezeki Allah yang diberikan kepadanya Mengkonsumsi perkara halal adalah
sarana terkabulnya doa dan diterimanya amal ibadah sebagaimana mengkonsumsi
perkara haram menghalangi doa dan tertolaknya amal ibadah.11
Dijelaskan juga dalam surat al-Anfal ayat 69, artinya : Maka makanlah
dari sebagian rampasan perang yang telah engkau ambil itu, sebagi makanan
yang halal lagi baik, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (al-Anfaal: 69). Surat Al-Maidah ayat 88,
artinya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rizkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-
Nya (al-maidah: 88). Terakhir dalam surat an-Nahl ayat 166 artinya : Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (an-
Nahl: 116).
11
Abu al-Fida’ Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1998), hal. 347.
13
Sedangakan makna thayyib pada ayat tersebut adalah lawan dari khabits
yang berarti jelek atau menjijikkan. Makna thayyib adalah perkara yang secara
akal dan fitrah dianggap suci dan baik12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam acara halalbihalal yang semarak pada hari raya Idul Fitri dalam sebuah
pertemuan yang dihadiri oleh banyak undangan, dengan agenda khusus untuk saling
bermaaf-maafan di antara sesama yang di hadiri oleh sebagian kalangan. Hal ini
dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari hari raya Idul Fitri, sehingga sudah
menjadi tradisi yang terus dilestarikan. Asal muasal dari acara tersebut bersumber
mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I yang terkenal dengan sebutan
Pangeran Sambernyawa. Dan tradisi ini dikenalkan kembali pada masa-masa
kemerdekaan demi mempererat persaudaraan bangsa Indonesia. Dan apa yang
diperbuat oleh Mangkunegara I tersebut selanjutnya diikuti oleh banyak orang.
12
Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ay al-Qur’an, ed. ‘Abdul
Muhsin al-Turki, Juz III, (Kairo: Dar Hijr, 2001), hlm. 38.
14
Sebagai bentuk kecintaan dan kepedulian terhadap budaya asli Indonesia,
tradisi halal bihalal yang sudah mengakar di kehidupan masyarakat harus tetap
dipertahankan dan dilestarikan. Salah satu cara pelestarian tersebut ialah dengan
meningkatkan kualitas acara halal bihalal itu sendiri, tidak hanya sebatas dijadikan
acara seremonial semata namun harus ada penghayatan dan pengamalan terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam halal bihalal. Bersilaturahim dan sikap saling maaf
memaafkan tidak hanya sebatas ikut-ikutan, namun harus benar-benar tulus dari hati
nurani untuk meminta maaf dan memaafkan. Sehingga diharapkan nilai filosofis dari
halal bihalal tidak hanya terpraktik pada hari raya ‘Idul fitri, tetapi juga pada setiap
waktu selalu terjalin silaturahim dan saling maaf memaafkan tatkala melakukan
kesalahan.
15
DAFTAR PUSTAKA
• Sumber Buku
Abdurrahman, Khalid bin Husain bin, 2009. Silaturahim, Keutamaan dan Anjuran
Melaksanakannya, terj. Muhammad Iqbal al-Ghazali. t.tp: Islam House.
Departemen Agama RI, 1989. al-Qur’an Terjemahan. Semarang: CV. Toha Putra.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Shihab, M. Quraish, 2007. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan
Ummat, Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish, 2009. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish, 2008. Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:
Mizan.
• Sumber Jurnal
Hakam, Saiful. 2015. Halal Bi Halal a Festival of Idul Fitri and It's Relation with the
History of Islamization in Java. Jurnal Epistemé, 10 (2): 386 – 486.
Husna, Maisarotil. 2019. Halal Bihalal dalam Perspektif Adat dan Syariat. Perada: Jurnal
Studi Islam Kawasan Melayu. 2 (1): 45-56.
Zulfikar, Eko. 2018. Tradisi Halal Bihalal dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis. Jurnal
Studi Al-Qur’an. 14 (2): 29 – 52.
• Sumber Internet
https://islam.nu.or.id/post/read/92012/halal-bi-halal-tinjauan-hukum-bahasa-dan-quran.
https://tirto.id/sejarah-halalbihalal-tradisi-unik-dan-otentik-lebaran-di-indonesia-d7GZ.
https://m.mediaindonesia.com/read/detail/166807-sejarah-dan-makna-halalbihal.
16