Anda di halaman 1dari 16

TRADISI HALAL BIHALAL

Disusun guna memenuhi tugas :


Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
Prodi : PAI Pagi
Semester : 1 (Satu)
Dosen Pengampu : Arifiyah Tsalatsati AM,M,S,I

Disusun Oleh :
Fardan Ali

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BREBES

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan berbagai
nikmat-NYA kepada kita semua. Shalawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurahkan
kepada beliau Nabi agung Muhammad SAW.

Makalah dengan judul ’’TRADISI HALAL BIHALAL’’ ini saya susun guna
memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam yang telah Ibu Arifiyah Tsalatsati
AM,M,S,I berikan.

Saya menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam diri saya, maka saya memohon
maaf apabila ada kesalahan atau kekeliruan dalam penyusunan makalah ini. Namun, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi saya, anda , dan semua pihak yang membutuhkan.

Atas perhatiannya saya mengucapkan terima kasih.

Brebes, 28 Desember 2022

Penyusun,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................2

DAFTAR ISI ................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .....................................................................................................4

B. Pendekatan Masalah ............................................................................................5

C. Rumusan Masalah ...............................................................................................5

BAB II: PEMBAHASAN

A. Pengertian Tradisi Halal bihalal .........................................................................6

B. Fungsi Tradisi Halal bihalal ...............................................................................7

C. Sejarah Tradisi Halal bihalal ..............................................................................7

D. Tradisi Lokal yang terdapat pada Halal bihalal .................................................8

E. Pendekatan pada Tradisi Halal bihalal ..............................................................11

F. Perkembangan Tradisi Halal bihalal pada masa Modern ..................................13

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di masa modern ini perkembangan budaya di Indonesia mengalami


perkembangan yang signifikan dengan Globalisasi yang massif serta masuknya budaya
asing di Indonesia menjadikan peran masyarakat dalam tradisi masyarakat begitu
penting. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam terutama yang
berada di Pulau Jawa dan Sumatera. Tradisi Islam sangat mengakar dalam tradisi dan
budaya di Indonesia, memunculkan beragam kegiatan yang islami. Tradisi besar Islam
setiap tahun yang terjadi di Indonesia adalah Hari Raya Idul Fitri atau banyak orang
menyebut sebagai Lebaran. Dalam tradisi tersebut, banyak orang yang melakukan
berbagai kegiatan dan acara-acara yang dilakukan seperti Pulang Kampumg (Mudik),
Shalat Eid, Perayaan Ketupat, dan berbagai kegiatan lainnya. Dalam tradisi lebaran
juga terdapat Tradisi Halal bihalal yang pada masanya merupakan kearifan local dalam
bidang muamalah, dimana tradisi ini tidak ada dalam ajaran Islam namun merupakan
hasul kreativitas bangsa Indonesia, baik dalam Namanya maupun cara pelaksanaannya.
Tradisi ini telah dilakukan di berbagai sector kehidupan mulai perkotaan hingga
pedesaan. Namun dalam beberapa waktu belakangan ini tradisi ini mulai berubah seperti
dalam perubahan istilahnya dari Halal bihalal menjadi Open House. Dan pada masa ini
pula Tradisi Halal bihalal cenderung ditinggalkan Generasi sekarang, terutama anak-
anak muda, mereka cenderung malas, dan tidak ada waktu dalam bersilahturami dengan
sanak saudara serta masyarakat.

B. Pendekatan Sosiologis
Dalam pendekatan sosiologis tradisi Halal bihalal yang biasa dilakukan pada
waktu hari raya lebaran cenderung berkurang, kurangnya minat masyarakat khususnya
Generasi Muda yang lebih individualistik menjadikan tradisi yang biasa dilakukan saat
lebaran lama kelaamaan luntur. Silahturahmi yang diadakan dengan kunjungan ke
rumah sanak saudara dan masyarakat sekitar rumah juga mulai jarang dilakukan. Tradisi
ini justru masih bertahan di Lingkungan Pedesaan, dimana interaksi sosial antar

4
warganya masih tetap terjaga. Padahal Tradisi ini merupakan budaya asli yang
dilakukan di Indonesia.
Halal bihalal sendiri merupakan momen yang tepat untuk bersilaturahim dan
saling meminta maaf antar sesama. Halal bihalal juga dianggap sebagai ajang
komunikasi produktif antar berbagai komponen bangsa yang dilaksanakan dengan suka
cita dan dibentuk secara seremonial yang diikuti oleh sekelompok warga dari berbagai
macam agama, ras dan suku. Suasana halal bihalal yang penuh dengan nuansa religius,
kekeluargaan dan keterbukaan membuat semua orang yang hadir tidak memiliki beban
psikolgis tertentu. Pada saat itulah komunikasi sehat bisa terbangun dengan baik. Pada
gilirannya muncul keinginan untuk saling membantu dan saling membesarkan yang
akhirnya membawa dampak positif bagi keberlangsungan hubungan mereka dalam
bermasyarakat dan terciptanya sikap plural dengan agama lain.
Selain itu, Banyaknya masyarakat muslim dari berbagai kalangan, baik dari
kalangan atas, menengah sampai masyarakat biasa yang menyelenggarakan acara
halalbihalal, dikarenakan adanya anggapan masyarakat bahwa acara halal bi halal
tersebut merupakan bagian dari hari raya Idul Fitri dimana pada kesempatan tersebut
terjadi proses saling maaf memaafkan sebagaimana yang diperintahkan oleh agama.
Terkait dengan hal itu, mengemuka pertanyaan apakah acara halalbihalal.sebagaimana
yang digambarkan tersebut diatas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hari
raya Idul Fitri dan bagaimana tinjauannya dari kacamata agama apakah sesuai dengan
syari’at?

C. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Halal bihalal, fungsi, dan sejarahnya?
2. Apa saja tradisi lokal yang terdapat pada tradisi Halal bihalal?
3. Pendekatan apa saja yang ada pada tradisi Halal bihalal?
4. Bagaimana perkembangan tradisi Halal bihalal sekarang ini?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Halal bihalal


Tradisi Halal bihalal merupakan tradisi yang biasannya berlangsung selama
Hari raya Lebaran. Halal bihalal ialah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan
kata halal, yang di tengahnya terdapat satu huruf (kata penghubung) yaitu ba’
(baca/bi).1 Sedangkan istilah halal bihalal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
memiliki makna hal maaf memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa bulan
Ramadhan, yang biasa diadakan dalam sebuah tempat oleh sekelompok orang.
Sedangkan makna berhalal bihalal artinya bermaaf-maafan pada waktu lebaran.2.
Dengan demikian dalam halal bihalal berarti terdapat unsur silaturahim. Namun
makna halal bihalal bisa menjadi luas jika dianalisis dengan berbagai macam aspek
dan sudut pandang.

A. Fungsi Halal bihalal


1) Sebagai Media Silahturahmi
Secara harfiyah silaturahim merupakan kata majemuk yang merupakan
gabungan dari kata silat dan rahim. Kata silat berasal dari kata wasl yang berarti
menyambung dan menghimpun. Ungkapan ini berarti objek sasaran silat ialah
perkara yang putus dan terserak. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti kasih
sayang, kemudian berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan),
karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.3 Dalam
Alquran dan Hadis sendiri, silaturahim merupakan sesuatu yang istimewa, amal
shalih yang penuh berkah, orang yang menjalankannya akan mendapat kedudukan
yang tinggi, sanjungan yang indah, sebutan yang baik di dunia dan kesudahan
yang indah di akhirat. Dalam halal bihalal terdapat nilai filosofis yang tinggi
1
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 317.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008) hlm. 503.
3
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz VIII, (CD ROOM: al-Maktabah al-
Syamilah, Digital), No Hadis 5591, hal. 8.
6
berupa usaha menjalin tali silaturahim sampai terjalinnya ukhuwah antar sesama.
Dengan adanya halal bihalal ini juga diharapkan mampu menambahkan
keharmonisan hubungan antar keluarga, kerabat dan tetangga-tetangga sekitarnya.

2) Tradisi saling memaafkan dalam Halal Bihalal


Dalam tradisi halal bihalal terdapat upaya saling maaf memaafkan. Kata “bi”
dalam istilah halal bihalal yang berarti “dengan”, menunjukkan bahwa ia berlaku
dalam konteks hubungan antar manusia. Meskipun juga tidak tertutup
kemungkinan hubungan antara manusia dengan Allah, serta dengan makhluk lain
misalnya dengan alam, tanah, air, hutan dan lain-lain yang masih berkaitan dengan
kehidupan sehari-harinya.4

B. Sejarah Tradisi Halal bihalal


Konon, tradisi halal bihalal pertama kali dirintis oleh Mangkunegara I, lahir 08
April 1725,yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, untuk
menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah shalat Idul Fitri, Pangeran
Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit
secara serentak di balai istana. Dalam budaya Jawa, seseorang yang sungkem kepada
orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan sungkem adalah
sebagai lambang penghormatan dan permohonan maaf.5
Sumber lainnya adalah tradisi halal bihalal lahir bermula pada masa revolusi
kemerdekaan, di mana Belanda datang lagi. Saat itu, kondisi Indonesia sangat
terancam dan membuat sejumlah tokoh menghubungi Soekarno pada bulan Puasa
1946, agar bersedia di hari raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan Agustus menggelar
pertemuan dengan mengundang seluruh komponen revolusi. Tujuannya adalah agar
lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan menerima keragaman dalam bingkai
persatuan dan kesatuan bangsa.

4
M. Quraish Shihab, Op.cit. hal. 322.
5
https://www.nu.or.id/post/read/60965/kh-wahab-chasbullah-penggagas-istilah-ldquohalal-
bihalalrdquo (diakses 7 Januari 2020, Pukul 16.01).
7
C. Tradisi Lokal Pada Tradisi Halal Bihalal
Pengertian budaya lokal dapat dirumuskan sebagai bentuk dari nilai-nilai lokal
yang terwujud dari hasil pemikiran serta perilaku masyarakat tersebut yang terbentuk
secara alami seiring dengan berjalannya waktu. Pada umumnya, ia dapat berwujud
salah satunya sebagai tradisi. Oleh karena luas wilayah indonesia vang begitu luas
serta memiliki bentuk masyarakat yang benar-benar bervariasi maka terdapat beragam
khazanah kekayaan lokal yang tercantum sebagai kebudayaan lokal, Tradisi lokal yang
dimaksud, yaitu:

1) Makna Tradisi Kunjungan


Adalah menjadi kebiasaan di masyarakat kita untuk saling berkunjung ke
rumah kerabat dan tetangga saat lebaran tiba. Bahkan orang rela datang jauh-jauh
dengan tujuan pokok bisa berjumpa kerabat ketika hari raya idul fitri. Memang ragam
tradisi Indonesia tidak pernah luput untuk terus di kaji. Berbagai tradisi tersebut
merupakan tradisi yang menggambarkan rasa syukur. rasa kekeluargaan dan bahkan
rasa toleransi umat muslim terhadap sesama. Oleh karena itu, manfaatkanlah momen
lebaran dengan mempererat tali silaturahmi antar keluarga, umat muslim, dan umat
agama lain agar suka- cita lebaran dapat dirasakan untuk semua. Masyarakat
kelurahan ini mengajarkan hidup rukun dan damai.
Halal bil halal entah dari mana asal muasalnya dan siapa yang memulainya.
Tidak dicontohkan di dalam ajaran Islam "ritual" ini, tetapi yang jelas hal bil halal
adalah produk asli Indonesia. Hanya ada di Indonesia. Halal bil halal kurang lebih
artinya saling menghalalkan kesalahan yang pernah dilakukan kepada sesama
manusia. Menghalalkan kesalahan artinya memaafkan kesalahan yang pernah kita
lakukan kepada orang lain.
Tidak ada keterangan sejak kapan orang Indonesia mengadakan tradisi hatal bil
halal. acara halal bil halal lahir dari kebiasaan orang Indonesia yang saling berkunjung
ke rumah-rumah kerabat pada Hari Raya Idul Fitri. Meskipun tidak pernah
dicontohkan Nabi, tetapi halal bil halal ini merupakan tradisi yang baik dan mulia.
Intinya adalah silaturahmi, yaitu menyambung kasih sayang antara sesama manusia.
Hidup akan indah kalau kita selalu berkasih sayang kepada semua makhluk
hidup, khususnya sesama manusia. Orang yang selalu mengisi hidup dengan kasih
sayang biasanya mempunyai umur yang panjang. Jika anda ingin silaturahmi. umur
yang panjang, perbanyaklah

8
2) Tradisi mengucapan Minal Aidin Wal Faizin
Adapun ucapan minal 'aidin wal faizin tidak bisa kita lepaskan dari hari raya
Idul Fitri, karena setiap datang hari raya Idul Fitri ini ucapan inilah yang selalu kita
dengar dalam kehidupan masyarakat, dengan harapan dan do'a yang kita ucapkan
kepada sanak keluarga dan handai tolan pada Idul Fitri. Dalam pengertian minal 'aidin
wal faizin ini kita tidak dapat merujuk kepada al- Qur'an untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan kata 'aidin, karena bentuk bentuk kata tersebut tidak bisa kita
temukan di dalam al-Qur'an.
Namun dari segi bahasa, minal 'aidin berarti "semoga kita termasuk orang-
orang yang kembali". Kembali di sini adalah kembali kepada fitrah, yakni "asal
kejadian", atau "kesucian", atau "agama yang benar". Sementara itu, al-faizin bentuk
jamak dari kata faiz yang berarti orang yang keberuntungan. Kata ini terambil dari
kata fauz yang berarti keberuntungan.

3) Makna Tradisi Salam-salaman


Tradisi ini umum dilakukan bukan hanya pada saat lebaran saja namun pada
koscharian juga biasa kita lakukan Dalam rangka mempererat persaudaraan atau
menumbuhkan rasa cinta, dan saling menghormati satu dengan lainnya. Nabi
Muhammad saw memang pernah mengisyaratkan "Jika ada dua orang muslim
bertemu, lalu keduanya saling berjabat tangan (mushafahah) tak ada hal lain diantara
keduanya kecuali Allah mengampuni dosa kedua orang itu sampai mereka berpisah
kembali". Bersalaman mengandung makna semangat perdamaian sekaligus
mencerminkan iklim persaudaraan yang kuat diantara sesama muslim. Karena itu
bersalaman harus dapat melahirkan konsekwensi sosial yang lebih fungsional. Tradisi
ini sejatinya menjadi perekat terpeliharanya komunikasi sosial yang lebih fungsional.
Bersalaman berakar dari kata selamat karena itu bersalaman bermkna juga
saling memberikan keselamatan diantara orang-orang yang melakukannya. Dalam
berjabatan atau bersalaman terdapat keragaman tradisi. Di suasana idul fitri salaman
9
biasanya meningkat bagi seorang muslim. Bagi seorang muslim bersalaman pada saat
lebaran seharusnya tidak hanya merupakan tradisi dan rutinitas serta tuntutan sosial
yang secara refleks dilakukan tetapi lebih dari itu bersalaman dilakukan atas dasar
semangat perdamaian untuk memperkokoh ikatan persaudaraan.

4) Makna Tradisi Ketupat


Ketupat tidak lepas dari perayaan Idul Fitri. Dalam perayaan Idul Fitri,
tentunya di situ ada satu hal yang tidak pernah pisah dari perayaan Ketupat Lebaran.
Istilah tersebut telah menjamur di semua kalangan umat Islam. Ketupat atau kupat
sangatlah identik dengan Hari Raya Idul Fitri. Dalam filosofi Jawa, ketupat lebaran
bukanlah sekedar hidangan khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna khusus
Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan
Laka Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Ngaki Lepo Tradisi sungkeman
menjadi implementasi ngaku tepat mengakui kesalahan) bagi orang Jawa. Laku papat
artinya empat tindakan dalam perayaan Lebaran, empat tindakan tersebut adalah:
Lebaran, Luberan, Leburan, Laburan.
Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Berasal dari
kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar. Luberan Bermakna meluber
atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran
zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib dilakukan umat
Islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia. Leburan Maknanya
adalah habis dan melebur. Maksudnya pada momen lebaran, dosa dan kesalahan kita
akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu
sama lain. Laburan Berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa
digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia
selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain. Sedangkan dengan Filosofi
ketupat yaitu:
1) Mencerminkan beragam kesalahan manusia. Hal ini bisa terlihat dari rumitnya
bungkusan ketupat ini.
2) Kesucian hati. Setelah ketupat dibuka, maka akan terlihat nasi putih dan hal ini
mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari
segala kesalahan.

10
3) Mencerminkan kesempurnaan. Bentuk ketupat begitu sempurna dan hal ini
dihubungkan dengan kemenangan umat Islan setelah sebulan lamanya berpuasa
dan akhirnya menginjak Idul Fitri. Karena ketupat biasanya dihidangkan dengan
lauk yang bersaman, maka dalam pantun Jawa pun ada yang bilang "KUPAT
SANTEN", Kulo Lepat Nyuwun Ngapunten (Saya Salah Mohon Maaf). Akan
lebih indah seandainya kita dapat memaknai ketupat di hari raya Idul Fitri ini
sesuai asal-muasal katanya yakni dengan saling mengakui dan memaafkan
kesalahan masing masing. Supaya hari kemenangan ini tidak hanya berbekas
tentang baju baru, sepatu baru. nastar ataupun ketupat sayur, melainkan tentang
kelahiran hati baru nan suci untuk diisi dengan benih- benih cinta terhadap Ilahi.

D. Pendekatan dalam Tradisi Halal bihalal


Pada hakikatnya, dalam Tradisi Halal bihalal terdapat 3 Pendekatan yang diketahui
yaitu pendekatan bahasa, pendekatan hukum dan pendekatan al-Quran, sebagai
berikut:

a. Pendekatan Hukum
Pendekatan dari Segi Hukum, dalam Halal bihalal terdapat kata Halal yakni lawan
dari kata Haram. Halal adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan. Sedangkan
haram adalah suatu tuntutan untuk ditinggalkan atau perbuatan yang melahirkan
dosa dan mengakibatkan siksaan. Jika istilah halal bihalal dikaitkan dengan
pengertian halal lawan dari haram, maka akan timbul kesan bahwa orang yang
melakukan halal bihalal akan terbebas dari dosa dan menjadikan sikap seseorang
yang tadinya haram atau berdosa menjadi halal dan tidak berdosa lagi. Namun
tinjauan hukum seperti ini memiliki kelemahan. 6

b. Pendekatan Bahasa
Pendekatan dalam Segi Bahasa / Linguistik, Kata halal dari segi bahasa
diambil dari akar kata halla atau halala yang memiliki berbagai bentuk dan makna
sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Secara bahasa, makna halla ialah

6
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an., hlm. 240.
11
menyelesaikan problem atau kesulitan, meluruskan benang kusut, dan mencairkan
yang beku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.7
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, halal bihalal berarti acara maaf-
maafan pada hari lebaran, sehingga mengandung unsur silaturahmi. Sedangkan
dalam bahasa Arab, halal bihalal berasal dari kata “Halla atau Halala” yang
mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya, antara lain:
penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang
beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. maka arti halal bihalal adalah
suatu kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah lebaran
melalui silaturahmi, sehingga dapat mengubah hubungan sesama manusia dari
benci menjadi senang, dari sombong menjadi rendah hati dan dari berdosa
menjadi bebas dari dosa.
Dengan begitu pendekatan linguistik atau bahasa ini memberikan
pendekatan yang Universal bahwa seseorang menginginkan adanya sesuatu yang
mengubah hubungannya dari yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku
menjadi cair, dari yang terikat menjadi terlepas atau bebas, walaupun perkara
tersebut belum tentu haram.

c. Pendekatan Al-Qur’an
Pendekatan dalam segi Al-Qur’an, Di dalam al-Qur’an sendiri, kata halal
dapat ditemukan sebanyak 6 ayat yang terliput dalam 5 surah. 8 Dua di antaranya
dirangkaikan dengan kata haram dan dikemukakan dalam konteks kecaman
(bersifat negatif).9 Sedangkan keempat sisanya selalu dirangkaikan dengan kata
kulu (makanlah) dan kata thayyibah (yang baik).10 Seperti dalam surat An-Nahl
ayat 116, artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-
sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan haram” untuk mengadakan
kebohongan kepada Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan

7
Isma’il bin Hammad al-Jauhari, al-Shihah Taj al-Lughah wa Shihah al-‘Arabiyah, ed.
Ahmad
‘Abdul Ghafur ‘Aththar, (Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1979), Cet. II, hlm. 1672-1674.
8
Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fazi al-Qur’an al-Karim,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 216.
9
Lihat QS. al-Nahl (16): 116-117 dan QS. Yunus (10): 59.
10
Lihat QS. al-Baqarah (2): 168 , QS. Maidah (5): 88, QS. al-Anfal (8): 69 dan QS. al-Nahl
(16): 114.
12
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Q.S. An-Nahl: 116). Selanjutnya
dalam surat Yunus ayat 59 juga digandengkan, sebagai berikut : Katakanlah :
“terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu
kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah
“apakah Allah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-ada
saja terhadap Allah?”(Yunus: 59).
Dan sisannya selalu dirangkaikan dengan kata kuluu artinya makanlah
dan kata thayyibah artinya yang baik. Hal ini dapat dilihat dalam surat al-Baqarah
: 168, surat al-Anfal : 69, surat al-Maidah: 88 dan surat an-Nahl : 116. Salah satu
ayat penting tentang halal adalah dalam surat al-Baqarah : 168 artinya Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah: 168).
Pada ayat ini, dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk mengkonsumsi makanan yang
baik atas rezeki yang Allah berikan agar mereka senantiasa dianggap bersyukur
atas rezeki Allah yang diberikan kepadanya Mengkonsumsi perkara halal adalah
sarana terkabulnya doa dan diterimanya amal ibadah sebagaimana mengkonsumsi
perkara haram menghalangi doa dan tertolaknya amal ibadah.11
Dijelaskan juga dalam surat al-Anfal ayat 69, artinya : Maka makanlah
dari sebagian rampasan perang yang telah engkau ambil itu, sebagi makanan
yang halal lagi baik, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (al-Anfaal: 69). Surat Al-Maidah ayat 88,
artinya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rizkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-
Nya (al-maidah: 88). Terakhir dalam surat an-Nahl ayat 166 artinya : Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (an-
Nahl: 116).

11
Abu al-Fida’ Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1998), hal. 347.
13
Sedangakan makna thayyib pada ayat tersebut adalah lawan dari khabits
yang berarti jelek atau menjijikkan. Makna thayyib adalah perkara yang secara
akal dan fitrah dianggap suci dan baik12

E. Perkembangan Tradisi Halal bihalal pada Masa Modern


Di Masa Modern ini, Tradisi Halal bihalal lebih banyak disebut sebagai Open
House meskipun lebih banyak digunakan bagi Tokoh Masyarakat yang berpengaruh
dalam pelaksanaannya. Sedangkan bagi masyarakat umum masih lebih banyak disebut
sebagai Halal bihalal. Di masa ini Tradisi Halal bihalal dilakukan bukan hanya di
lingkungan antar keluarga dan tetangga saja. Terkadang halalbihalal tidak hanya
dilakukan agama Islam saja, misalnya dari sebuah perusahan yang karyawanya berasal
dari berbagai agama, maka ketika acara halalbihalal setelah idul fitri seluruh karyawan
yang berbeda agama turut menghadiri. dari sini terlihat bahwa halalbihalal memiliki
dampak positif terhadap masyarakat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam acara halalbihalal yang semarak pada hari raya Idul Fitri dalam sebuah
pertemuan yang dihadiri oleh banyak undangan, dengan agenda khusus untuk saling
bermaaf-maafan di antara sesama yang di hadiri oleh sebagian kalangan. Hal ini
dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari hari raya Idul Fitri, sehingga sudah
menjadi tradisi yang terus dilestarikan. Asal muasal dari acara tersebut bersumber
mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I yang terkenal dengan sebutan
Pangeran Sambernyawa. Dan tradisi ini dikenalkan kembali pada masa-masa
kemerdekaan demi mempererat persaudaraan bangsa Indonesia. Dan apa yang
diperbuat oleh Mangkunegara I tersebut selanjutnya diikuti oleh banyak orang.

12
Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ay al-Qur’an, ed. ‘Abdul
Muhsin al-Turki, Juz III, (Kairo: Dar Hijr, 2001), hlm. 38.
14
Sebagai bentuk kecintaan dan kepedulian terhadap budaya asli Indonesia,
tradisi halal bihalal yang sudah mengakar di kehidupan masyarakat harus tetap
dipertahankan dan dilestarikan. Salah satu cara pelestarian tersebut ialah dengan
meningkatkan kualitas acara halal bihalal itu sendiri, tidak hanya sebatas dijadikan
acara seremonial semata namun harus ada penghayatan dan pengamalan terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam halal bihalal. Bersilaturahim dan sikap saling maaf
memaafkan tidak hanya sebatas ikut-ikutan, namun harus benar-benar tulus dari hati
nurani untuk meminta maaf dan memaafkan. Sehingga diharapkan nilai filosofis dari
halal bihalal tidak hanya terpraktik pada hari raya ‘Idul fitri, tetapi juga pada setiap
waktu selalu terjalin silaturahim dan saling maaf memaafkan tatkala melakukan
kesalahan.

15
DAFTAR PUSTAKA
• Sumber Buku
Abdurrahman, Khalid bin Husain bin, 2009. Silaturahim, Keutamaan dan Anjuran
Melaksanakannya, terj. Muhammad Iqbal al-Ghazali. t.tp: Islam House.
Departemen Agama RI, 1989. al-Qur’an Terjemahan. Semarang: CV. Toha Putra.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Shihab, M. Quraish, 2007. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan
Ummat, Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish, 2009. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish, 2008. Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:
Mizan.

• Sumber Jurnal
Hakam, Saiful. 2015. Halal Bi Halal a Festival of Idul Fitri and It's Relation with the
History of Islamization in Java. Jurnal Epistemé, 10 (2): 386 – 486.
Husna, Maisarotil. 2019. Halal Bihalal dalam Perspektif Adat dan Syariat. Perada: Jurnal
Studi Islam Kawasan Melayu. 2 (1): 45-56.
Zulfikar, Eko. 2018. Tradisi Halal Bihalal dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis. Jurnal
Studi Al-Qur’an. 14 (2): 29 – 52.

• Sumber Internet
https://islam.nu.or.id/post/read/92012/halal-bi-halal-tinjauan-hukum-bahasa-dan-quran.
https://tirto.id/sejarah-halalbihalal-tradisi-unik-dan-otentik-lebaran-di-indonesia-d7GZ.
https://m.mediaindonesia.com/read/detail/166807-sejarah-dan-makna-halalbihal.

16

Anda mungkin juga menyukai