Anda di halaman 1dari 6

Keberagaman dalam Perspektif Al Qur’an

Pergeseran paradigma yang melanda umat beragama ( masyarakat ) hari


ini , sebagai akibat dari efek negatif poros globalisasi dan modernitas  yang
merambah tidak hanya pada jalan kehidupan duniawi tetapi juga jalan
kehidupan ukhrawi, dimana dimensi kehidupan manusia tengah
mengalami tirani modernisasi. Kondisi seperti ini sangat
dimungkinkan  agar aspek pemahaman agama ( spiritualitas ) harus
mampu menjadi filter terhadap bahaya modernisasi secara fungsional dan
profesional. Tela’ah rasional ilmiyah  dan penghayatan ruhaniyah akan
peran agama penting dilakukan, terutama  berkaitan dengan bagaimana
para pemeluk agama itu mampu beraktualisasi dengan pekembangan
kehidupan yang terus melaju dengan cepat. Modernisasi kehidupan adalah
keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Peran dan fungsi
agama ( Iman ) secara substansial mutlak ditantang
kearah spiritualitas  dan religiusitas yang  akan  memberi makna bagi
kehidupan modern. Untuk itu sangat tepat apa yang telah disepakati oleh
Ulama kita dalam  kaedah usul fiqih ,”al-muhafazhah ‘alaal-qadim al-salih
wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah “ ( Memelihara nilai yang baik dan
merumuskan nilai yang baru yang lebih baik ), layak dipertimbangkan
sebagai solusi bagi desakan modernisasi global tersebut.

Kehidupan manusia dengan asfek sosial yang berbeda perlu di kaji ulang.
Untuk kembali di revitalisasi dan reorientasi sesuai petunjuk Al-Quran.
Manusia mutlak memerlukan bimbingan dan petunjuk,  dan petunjuk itu
telah turun berada di tengah-tengah kita saat ini, yaitu Al-Quranul
karim. Al-Quran adalah kitab suci yang sarat  nilai dan merupakan
petunjuk ( hudan ) bagi kehidupan manusia. Al-Quran bukan karya
manusia seperti kitab lainnya. Sampai hari ini dan bahkan sampai
kapanpun Al-Quran  tidak akan bisa di tiru , diubah ataupun bahkan
dihilangkan di permukaan bumi karena dipelihara oleh Sang Maha Pencipta
yaitu Allah swt sebagaimana Firman-Nya :
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya  ( Qs. Al-Hijr 9).

Sebagai petunjuk , Al-Quran memberikan pedoman


tentang maslahat kehidupan manusia secara menyeluruh, baik yang
menyangkut dengan kehidupan peribadi, keluarga dan bahkan sampai
kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Al-Quran berbicara
dalam seluruh kontek kehidupan manusia, baik kehidupan sebelum
manusia lahir, setelah dan bahkan sampai pada  kehidupan mendatang di
alam baqa atau di  akhirat kelak. Karena pesan moral Al-Quran menyentuh
seluruh asfek kehidupan manusia , tentu tidak diragukan lagi sudah barang
tentu saatnya kita harus merujuk kembali kepada petunjuk Al-Quran
tentang kehidupan ini.

Dalam kontek kehidupan modern saat ini dimana masyarakat dengan basis
tehnologi dan ilmu pengetahuan yang sering disebut sebagai masyarakat
milenial telah mengalami pergeseran nilai baik nilai-nilai sosial ataupun
budaya. Umpamanya saja nilai kebersamaan yang selama ini menjadi ciri
khas pergaulan sosial kita sedikit demi sedikit sudah mulai hilang
digantikan dengan sikap individualistik dan egoistik. Pergeseran nilai
tersebut telah merambah masuk mulai dari kehidupan keluarga sampai
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kontek
kehidupan bernegara , umpamanya Indonesia ( khususnya ) secara masif
menuju kepada perubahan struktur dan pola yang tidak seimbang . Banyak
kesenjangan yang kita lihat dan saksikan Baik kesenjangan dalam 
berpolitik dan berekonomi, maupun kehidupan beragama . Akibat dari itu
telah memicu timbulnya gejolak dan gejala ketidak puasan masyarakat
sehingga muncul berbagai aksi-aksi  sosial seperti apa yang disebut
dengan people power ( kita tidak mengulas apa itu people power ). Hal
tersebut tentu saja akibat dari hilangnya pola keseimbangan  akibat
benturan  kepentingan  yang pada akhirnya memporak porandakan nilai
kebersamaan dalam masyarakat. Ini tentu pula  tidak lepas dari akibat lain
yang takterhindarkan dari akibat  pergaulan dalam percaturan dunia global
saat ini.

Secara struktur kemasyarakatan Indonesia adalah masyarakat plural dan


beragam , namun tataran nilai kebersamaan dalam keragaman itu sudah
mulai mengalami penyusutan dan bahkan bisa hilang.Oleh sebab itu tentu
sangat tepat pada momen Nuzul Quran tahun ini ( 1440 H/2019 M ) untuk
kita jadikan sebagai semangat memulai langkah baru dalam
mengembalikan nilai kebersamaan ditengah hiruk pikuk arus politisasi
yang meresahkan kita saat ini.

Dilihat  dari berbagai asfek , masyarakat Indonesia adalah masyarakat


majemuk ( plural ). Dari segi etnis, misalnya ada suku Melayu suku batak 
dan suku yang lainnya sehingga menjadi suku yang besar di tanah air
ini. Pluralitas  / masyarakat majemuk merupakan Rahmad Allah swt, dan
merupakan sunntatullah atau ketetapan Allah ( Allah berfirman ):

Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
-bangsa  dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.( Al-Hujurat 13 ).

Tidak kurang dari 1.072 suku-suku derivative besar dan kecil yang


berkembang di persada Nusantara kita ini ( Leo Suryadinata ; 2003 ). Dari
segi bahasa , terdapat ratusan bahasa yang digunakan diseluruh wilyah
Indonesia , yang tersebar kedalam beribu-ribu pulau yang dihuni oleh
masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke.  Begitupun dari segi
agama terdapat sejumlah agama besar dunia dan sejumlah sistem
kepercayaan lokal yang tersebar di seluruh pelosok tanah air
dengan networking nya masing-masing  baik di dalam maupun di luar
negeri. Kesemua itu memerlukan adanya suatu sistem yang dapat
menjamin koeksistensi  atau kerjasama dalam kemajemukan.

Dalam kontek seperti ini, 14 abat yang lalu Islam telah memberikan
petunjuk kepada kita seperti yang dapat kita baca dalam Al-Quran surat Al-
Hujurat ayat 13 diatas. Untuk mewujudkan kebersamaan dalam
keragaman khususnya dalam kontek kehidupan berbangsa dan bernegara
sekurang-kurangnya terdapat dua perfektif  besar petunjuk Al-Quran yang
mesti kita amalkan dalam mewarnai  kehidupan bersama dalam keragaman
yaitu ; Pertama; mengamalkan prinsif as-syu’ub,  yaitu menerima
eksistensi dan perbedaan suku  bangsa lain sebagai anugerah rahmad dari
Allah swt. Kedua; nahdhariyah al-nahdha, yaitu menerima eksistensi
kemanusiaan . Bahwa manusia merupakan ciptaan Allah swt  yang memiliki
kesamaan hak satu sama lain .

Dalam prinsip pertama Al-Quran menghendaki umat manusia menerima


perbedaan sebagai eksistensi kehidupan. Perbedaan adalah ciptaan Allah
swt, dan semua ciptaan Allah adalah anugerah terindah untuk manusia dan
makhluk lainnya. Ini menunjukkan bahwa kehidupan ini menjadi indah
dengan perbedaan dan menjadi nyaman dengan kebersamaan.Kemudian
dalam prinsip kedua Al-Quran menghendaki bahwa  keberadaan manusia
adalah sebagai bukti kekuasaan Allah swt. Manusia di ciptakan memiliki
hak-hak azazi yang harus diakui oleh siapapun juga. Melanggar hak azazi
atau mengingkari hak azazi manusia itu sama artinya dengan mngingkari
penciptaan. Dengan demikian eksistensi penciptaan harus dipandang
sebagai hukum yang tak boleh dilanggar apalagi didzalimi.

Dari dua prinsif yang di ajarkan Al-Quran sangat jelas bagi kita bahwa
keragaman ( plural ) merupakan sunnatullah dan anugerah Yang Maha
Kuasa. Pluralisme masyarakat adalah salah satu ciri utama dari masyarakat
multikultural  seperti Indonesia.  Dalam kajian para ahli sosiologi Indonesia
disebut sebagai negara yang masyarakatnya pluralistik. Kata ini sering
diartikan dengan masyarakat majemuk / plural society. ( Nasikun;
1998 ).  Berdasarkan petunjuk Al-Quran  pluralisme  ( keragaman ) sangat
penting artinya terutama dalam semangat persatuan dan kesatuan
bangsa. Keragaman merupakan potensi strategis untuk mewujudkan
pembangunan dan sekaligus sebagai rahmad Allah swt. Keragaman
merupakan kekuatan atau energi untuk membangun kebersamaan . 

Dengan adanya kebersamaan tercipta peluang


atau kesempatan untuk  mengekspresikan diri , hidup berdampingan , dan
bekerjasama antar berbagai kelompok masyarakat. Hal ini tentunya sejalan
pula dengan petunjuk Al-Quran untuk ber-taawwun  (  tolong menolong )
saling bekerja sama dalam membangun kebaikan. ( Firman Allah swt ):

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-


syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.( Qs.Al-
Maidah : 2 ).

Dari ayat tersebut , terdapat pelajaran bahwa  substansi kehidupan  ini


adalah untuk kebersamaan yang akan kita persembahkan secara peribadi
kepada Allah swt. Substansi itu tidak lain adalah pola hidup Qur’ani yang
dibangun atas dasar keragaman. Inilah ciri masyarakat Qurani , yaitu
masyarakat yang mampu mengendalikan diri untuk kebersamaan dalam
membentuk budaya dan peradaban yang berazaskan demokrasi.
Masyarakat yang dibangun diatas prinsif gotong royong untuk kebajikan,
sehingga sikap menghargai Hak Azasi Manusia akan tumbuh dan
berkembang dengan baik. Disamping itu energi keragaman akan
melahirkan  tegaknya keadilan dan hukum, terwujudnya nilai budaya dan
etos , kebersamaan, kesedrajatan, penghargaan atas keyakinan,
kesempatan berprestasi, penghindaran tindak kekerasan fisik dan
keyakinan, rasa aman dengan identitas dan sebagainya .
 
Akhirnya perlu kita  sadari bahwa tujuan penciptaan , baik dalam tatanan
kehidupan pribadi ataupun kelompok dalam pandangan Al-Quran
merupakan tujuan mulya  yang akan mengangkat derajat kemanusiaan ,
tetapi jika kita mengingkari tujuan penciptaan itu maka kita akan jatuh
hina dan bahkan lebih hina dari binatang sekalipun  .Untuk menuju kearah
itu tentu membutuhkan tekat kuat mulai dari pribadi sampai kepada tekat
bersama . Dimulai dari kesadaran diri sampai pada kesadaran kolektif .
Untuk itu kita sangat membutuhkan daya dorong  dan semangat, yang
muncul dari diri masing-masing umat atau masyarakat. Kita mesti
memperkuat sendi – sendi kekuatan  iman atau aqidah secara
menyeluruh ( kaaffah  ), dan terpadu dalam setiap diri berupa ilmu dan
amal . Disamping itu juga menghendaki usaha secara sungguh-sungguh
dengan mensinergikan bebagai aspek sosial kemasyarakatan dengan
meletakan keragaman sebagai peluang bukan sebagai ancaman. Hanya
dengan demikian keragaman dalam kebersamaan dapat terwujud
di  tengah masyarakat yang multi kultur seperti Indonesia yang kita cintai
ini. 

Anda mungkin juga menyukai