DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 9
DOSEN PENGAMPU:
RAHMAWATI HUNAWA, MA
2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb…
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang
melimpahkan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan Makalah tentang “Pendidikan Masyarakat Dalam Al-
Qur’an.”
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam pengertian sosiologi, masyarakat tidak di pandang sebagai suatu
kumpulan individu-individu semata. Masyarakat merupakan suatu pergaulan
hidup, oleh karena manusia hidup bersama. Masyarakat merupakan suatu
sistem yang terbentuk karena hubungan anggota-anggotanya. Dengan kata lain
masyarakat adalah suatu sistem yang terwujud dari kehidupan bersama
manusia, yang lazim disebut dengan sistem kemasyrakatan.
Semua makhluk hidup di dunia ini sudah pasti hidup bermasyarakat,
manuisa juga tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan dari orang-orang yang
berada di sekitarnya, misalnya ketika pertama kali kita dilahirkan di dunia ini
sudah pasti memerlukan bantuan orang-orang sekitar kita, dari lahir hingga
meninggal pastinya manusia memerlukan orang-orang disekitarnya, itulah
gunanya hidup bermasyarakat yakni untuk saling tolong-menolong dan lain
sebagainnya.
Oleh karena pendidikan Islam berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah, maka
perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang pendidikan dalam masyarakat
dalam pandangan Al-Qur’an. Dengan memahami konsep masyarakat dalam
kitab tersebut, akan dikaji bagaimana peran pendidikan yang ideal dalam
mewujudkan masyarakat sebagaimana yang di kehendakinya.
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Masyarakat ?
2. Bagaimana pendidikan Masyarakat dalam Al-Qur’an ?
3. Bagaimana Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an ?
3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Masyarakat
2. Mengetahui pendidikan Masyarakat dalam Al-Qur’an
3. Mengetahui Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Masyarakat
Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang
terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama. Demikian
satu dari sekian banyak definisinya. Ada beberapa kata yang digunakan Al-
Qur’an untuk menunjukan kepada masyarakat atau kumpulan manusia. Antara
lain : qawm, ummah, syu’ub, qabail. Disamping itu, Al-qur’an juga
memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu, seperti al-mala’, al-
mustakbirun, al- mustadh”afun, dan lain-lain.
Manusia adalah “ makhluk sosial”. Ayat kedua dari wahyu pertama yang
diterima Nabi Muhammad saw. Dapat dipahami sebagai salah satu ayat yang
menjelaskan hal tersebut. khalaqal insan min ‘alaq bukan saja diartikan
sebagai “menciptakan manusia dari segumpal darah” atau “sesuatu yang
berdempet di dinding rahim”, tetapi juga dapat dipahami sebagai “ diciptakan
dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat
hidup sendiri”. Ayat lain dalam konteks ini adalah surat Al-Hujrat ayat 13.1
Dalam ayat tersebut secara tegas dinyatakan bahwa manusia diciptakan terdiri
1
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Penerbit Mizan, Bandung 2003, hal 319-320
3
dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka
saling mengenal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Al-
Qur’an, manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat
merupakan satu keniscayaan bagi mereka.
Sebagai makhluk social, manusia mau tidak mau harus berinteraksi dengan
manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan dimana ia berada. Ia
menginginkan adanya lingkungan social yang ramah, peduli, santun, saling
menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan, tertib, disiplin,
menghargai hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Lingkungan yang demikian
itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktivitasnya dengan
tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya.
2
DR.H. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta hal
231-232
4
QS.An-Nur ayat 11, QS.Al-Baqarah ayat 62, QS.Asy-Syura ayat 15. Tetapi
disini kelompok hanya akan membahas mengenai Pendidikan Masyarakat
dalam QS. Al-Hujurat ayat 11-13.
5
Ammar, Shuhaib, Bilal, Khabbab, Ibnu Fuhairah, Salman Al-Farisi dan Salim
bekas budak Abu Huzaifah dihadapan orang-orang lain. Sebab mereka melihat
orang-orang itu keadaannya compang-camping.
Dan adapula yang meriwayatkan bahwa ayat ini turun mengenai Shafiyah
bin Huyai bin Akhtab ra. Dia datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata,
“Sesungguhnya kaum wanita itu berkata kepadaku, “Hai wanita Yahudi, anak
perempuan orang-orang yahudi.” Maka Rasulullah saw. pun berkata
kepadanya, “Tidaklah kamu katakan ayahku Harun, pamanku Musa, dan
suamiku Muhammad”.3
Menurut Tafsir Ibnu Katsir untuk ayat kesebelas yaitu,: Allah SWT
melarang kita mengejek dan menghina orang lain, sebagaimana telah
ditetapkan didalam hadits shahih bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
“kesimbongan itu adalah mencampakkan kebenaran dan menghinakan
manusia”. Kesombongan ini haram hukumnya. Boleh jadi, orang yang dihina
itu kedudukannya lebih mulia di sisi Allah. Itulah sebabnya Allah SWT
berfirman “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengolok-olokan
atau lebih baik dari mereka yang mengolok-olokan itu. Dan jangan pula wanita
mengolok-olokan itu wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita yang
diperolok-olokan itu lebih baik dari wanita yang memperolok-olokan”. Ayat ini
merupakan larangan bagi laki-lai dan wanita.
Firman Allah SWT selanjutnya“ Dan janganlah kamu mencela diri kamu
sendiri”. Al-hamz adalah mencela dengan perbuatan. Sedangkan Al-lamz adalah
mencela dengan perkataan. Hal itu dilakukan dengan menghina orang lain dan
berbuat sewenang-wenang terhadap mereka. Dan, mengadu domba manusia
termasuk mencela lewat perkataan.
3
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al- Maraghi 26, CV. Toha Putra Semarang,
Semarang 1993, hal 221
6
Firman Allah SWT selanjutnya,”Dan janganlah kamu panggil-memanggil
dengan gelar yang buruk”. Yaitu, jangan kalian memanggil sebagian kalian
dengan sebutan yang buruk yang tidak enak bila didengar oleh seseorang.
Menurut Tafsir Al- Maraghi untuk ayat kedua belas yaitu : Allah swt.
Mendidik hamba-hambanya yang mukmin dengan kesopanan-kesopanan, yang
jika mereka berpegang teguh, maka akan langgenglah rasa cinta dan persatuan
sesama mereka. Diantaranya adalah kesopanan yang tersebut sebelum ayat ini,
4
Muhammad Nasib AR-Rifa’i, Ringkasan Tafsir IBNU KATSIR Jilid 4, GEMA INSANI,
Jakarta 2004, hal 430-431
7
dan diantaranya lagi yang Allah sebutkan disini, yaitu perkara-perkara besar
yang menambah semakin kuatnya hubungan dalam masyarakat islam. Yaitu :
Menurut Al-Bukhari dan Muslim dal Ashahih dari Abu Hurairah, bahwa
Nabi SAW, bersabda, “Hindarilah olehmu purbasangka karena purbasangka
itu berita yang paling dusta. Dan janganlah kamu memata-matai orang lain,
jangan mencari-cari berita mengenainnya, jangan saling mengungguli dalam
jual beli, jangan saling membenci dan jangan saling mendiamkan. Tidak
5
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al- Maraghi 26, CV. Toha Putra Semarang,
Semarang 1993, hal 227
8
jadikah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang
muslim untuk mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari . 6
Sebab ayat ini turun berkaitan dengan salah seorang sahabat yang bernama
Abu Ayyub r.a bersama dengan istrinya di rumah sambil bercerita tentang
peristiwa keluarga Rasulullah bersama dengan istrinya yang dituduh
melakukan perbuatan keji bersama dengan sahabat yang bernama Shofwan Ibn
Muattal. Abu Ayyyub r.a bertanya kepada istrinya : “ andaikan engkau berada
pada posisi aisyah apakah engkau akan melakukan itu”, istrinya berkata : “
andaikan saya berada pada posisi Aisyah tidak mungkin saya melakukan
perbuatan itu dan andaikan pun saya berada pada posisi Showfan tidak
mungkin saya melakukan perbuatan itu”, Abu Ayyub r.a berkata : “ engkau
wahai istriku tidaklah lebih baik dari pada Aisyah dan aku tidaklah lebih baik
dari pada Shofwan”, Allah kemudian menurunkan pujian untuk mereka dengan
ayat tersebut karena berprasangka baik kepada saudara-saudaranya .
Menurut Tafsir Ibnu Katsir untuk ayat kedua belas yaitu : yaitu Allah
SWT melarang hamba-hambanya yang beriman banyak berprasangka, yaitu
melakukan tuduhan dan sangkaan buruk terhadap keluarga, kerabat, dan orang
lain tidak pada tempatnya, sebab bagian dari prasangka itu adalah murni
perbuatan dosa. Maka jauhilah banyak berprasangka itu sebagai suatu
kewaspadaan.
6
Ibid, hal 229
9
sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud bahwa Abu Hurairah r.a berkata, 7“ wahai Rasulullah! Apa yang
dimaksud dengan ghibah itu?”Rasulullah menjawab, “Kamu menceritakan
perihal saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan lagi “Bagaimanakah
bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Rasulullah
saw.menjawab, “ Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan kamu katakan,
maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan,
maka kamu telah berbohong.
Firman Allah SWT, “ Dan bertakwalah kepada Allah”. Yaitu, pada perkara
yang telah Dia perintahkan dan dia larang kepada kamu. Dan jadikanlah dia
sebagai pengawas kamu dalam hal itu takutlah kepada-nya. “sesungguhnya
Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”. Yatitu, Allah itu maha
penerima tobat kepada siapa saja yang bertobat Kepada-nya dan Maha
Pengasih kepada siapa saja yang kembali dan bersandar Kepadanya. 8
Menurut Tafsir Al- Maraghi untuk ayat ketiga belas yaitu : Setelah
Allah swt. melarang pada ayat-ayat yang lalu mengolok-olok sesama manusia
7
Muhammad Nasib AR-Rifa’i, Ringkasan Tafsir IBNU KATSIR Jilid 4, GEMA INSANI,
Jakarta 2004, hal 432
8
Ibid, hal 436
10
mengejek serta menghina dan panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang
buruk, maka disini Allah menyebutkan ayat yang lebih menegaskan lagi
larangan tersebut dan memperkuat cegahan tersebut. Allah menerangkan
bahwa manusia seluruhnya berasal dari seorang ayah dan seorang ibu. Maka
kenapakah saling mengolok-olok sesama saudara. Hanya saja Allah Ta’ala
menjadikan mereka bersuku-suku dan berkabilah-kabilah yang berbeda-beda,
agar diantara mereka terjadi saling kenal dan tolong-menolong dalam
kemaslahatan-kemaslahatan mereka yang bermacam-macam.
Namun tetap tidak ada kelebihan bagi seseorang pun atas yang lain,
kecuali dengan takwa dan kesalehan, disamping kesempurnaan jiwa bukan
dengan hal-hal yang bersifat keduniaan yang tiada abadi.
Abu daud menyebutkan bahwa ayat ini turun mengenai abu hindin, ia
adalah seorang pembekam Nabi SAW katanya, bahwa Rasulullah SAW
menyuruh bani Biyadah agar mengawinkan Abu Hindin dengan seorang wanita
dari mereka. Maka mereka berkata kepada Rasulullah SAW. Apakah kami
harus mengawinkan anak-anak perempuan kami dengan bekas-bekas bdak
kami. 9 Maka Allah Azza wa Jalla pun menurunkan ayat ini sebagai penjelasan
bahwa dalam islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dengan orang-
orang meredeka.
Menurut Tafsir Ibnu Katsir untuk ayat ketiga belas yaitu: Allah
memberitahukan kepada umat manusia bahwa Dia telah menciptakan dari satu
jiwa dan telah menjadikan dari jiwa itu pasangannya. Itulah Adam dan Hawa.
Dan Allah juga telah menciptakan mereka Berbangsa-bangsa dan Bersuku-
suku. Maka kemuliaan manusia dipandang dari kaitan ketanahannya dengan
Adam dan Hawa a.s. adalah sama. Hanya saja kemuliaan mereka itu
bertingkat-tingkat bila dilihat dari sudut keagamaan, seperti dalam ketaatan
kepada Allah SWT dan kepatuhan Kepada-Nya. Karena itu, setelah Allah
9
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al- Maraghi 26, CV. Toha Putra Semarang,
Semarang 1993, hal 235-236
11
melarang manusia berbuat ghibah dan menghina satu sama lain, maka Dia
mengingatkan bahwa mereka itu sama dalam segi kemanusiaannya. “ Hai
manusia. Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersusku-
suku supaya kamu saling mengenal”. Yaitu, agar tercapailah ta’ruf ‘saling
kenal’ di antara mereka. Masing-masing berpulang ke kabilahnya sendiri.
Makna Ijmali
10
Muhammad Nasib AR-Rifa’i, Ringkasan Tafsir IBNU KATSIR Jilid 4, GEMA INSANI,
Jakarta 2004, hal 438
11
Ibid hal 440
12
prasangka adalah dosa yang harus dijauhi. Kemudian pada ayat 13 menegaskan
kepada semua manusia bahwa ia diciptakan Allah SWT dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan. Allah SWT maha kuasa dan pencipta yang baik.
13
memadukan aspek rohani dan jasmani, material dan spritual dalam segala
aktivitas kehdupannya.
c. Khairu Ummah
Istilah Khairuh Ummah yang berarti Ummat Terbaik atau Ummat
Unggul hanya sekali saja diantara 64 kata Ummat yanterdapat dalam Al-
Qur’an, yakni dalam QS. Al-Imran :110.
Dalam ayat ini Muhammad Ali, sebagaimana para Ahli Tafsir pada
umumnya, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Ummat pilihan itu
adalah kaum muslimin.
Al-Qur’an sebenarnya telah memberi penjelasan tentang Khairu
Ummah yang dimaksud, yaitu orang yang memiliki kesamaan budaya.
Budaya itu ialah orientasi kepada Al-Khair, memiliki mekanisme amar
makhruf nahi munkar, aturan main, tatanan hidup atau pemerintahan yang
adil dan beriman kepada Allah.
Jadi Kairu Ummah dalam pengertian tersebut adalah bentuk ideal
msyarakat islam yang identitasnya adalah integritas keimanan, komitmen
dan kontribusi positif kepada kemanusiaan secara Universal, serta
memiliki loyalitas pada kebenaran melalui aksi amar makruf nahi munkar.
Hal ini dijelaskan oleh Alah SWT dalam QS. Al-Imran ayat 104 dan 210.12
12
Sulaiman Kurdi, Masyarakat Ideal Dalam Al-Qur’an, Jurnal Khazanah Vol.14.No.1,
Junni 2017, hal 45-47
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
15
DAFTAR PUSTAKA
16