Anda di halaman 1dari 30

No.

Kode: DAR2/Profesional/810/5/2019

PENDALAMAN MATERI BIMBINGAN DAN KONSELING

MODUL 5 STRATEGI LAYANAN RESPONSIF

KEGIATAN BELAJAR 3
PENDEKATAN KONSELING POSMODERN DAN INTEGRATIF

Penulis
Edwindha Prafitra Nugraheni, S.Pd., M.Pd., Kons.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


2019
A. Pendahuluan
Konseling merupakan suatu hubungan yang bersifat membantu yaitu adanya interaksi antara
konselor dan konseli dalam suatu kondisi yang membuat konseli terbantu dalam mencapai
perubahan dan belajar membuat keputusan sendiri serta bertanggung jawab atas keputusan yang
ia ambil. Seperti halnya profesi lainnya konseling sebagai cabang ilmu dan praktik pemberian
bantuan kepada individu pada dasarnya memiliki pengertian spesifik sejalan dengan konsep yang
dikembangkan dalam lingkup ilmu dan profesinya. Di antara berbagai ilmu yang memiliki
kedekatan hubungan dengan konseling adalah psikologi, bahkan secara khusus dapat dikatakan
konseling merupakan aplikasi dari psikologi. Hal ini dapat dilihat terutama pada tujuan, teori yang
digunakan dan proses penyelenggaraannya.
Konseling profesional merupakan layanan terhadap konselor yang dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dan dapat dipertanggung-jawabkan dasar keilmuan dan teknologinya.
Penyelenggaraan konseling profesional bertitik tolak dari pendekatan-pendekatan yang dijadikan
sebagai dasar acuannya (Corey, 2013). Secara umum, pendekatan konseling hakikatnya merupakan
sistem konseling yang dirancang dan didesain berdasarkan teori-teori dan terapan- terapannya
sehingga mewujudkan suatu struktur performansi konseling. Bagi konselor, penggunaan
pendekatan konseling merupakan pertanggung jawaban ilmiah dan teknologi dalam
menyelenggaraan konseling.
Sekurang-kurangnya ada lima kriteria pendekatan yang baik, yaitu: (1) jelas, artinya dapat
dipahami dan tidak mengandung pertentangan di dalamnya, (2) komprehensif, yaitu dapat
menjelaskan fenomena secara menyeluruh, (3) eksplisit, artinya setiap penjelasan didukung oleh
bukti-bukti yang dapat diuji, (4) parsimonius, artinya menjelaskan data secara sederhana dan jelas,
dan (5) dapat menurunkan penelitian yang bermanfaat.
Modul strategi layanan responsif disusun mendasarkan pada beberapa kriteria yang telah
disebutkan sebelumnya. Tujuannya adalah memberikan kompetensi profesional bagi guru
bimbingan dan konseling ataupun konselor baik secara teoritik maupun praksis terutama pada
penguasaan pendekatan-pendekatan konseling individu maupun layanan responsive lainnya yang
bersifat aplikatif.
Modul strategi layanan responsif disusun dengan memfokuskan pada enam orientasi
pendekatan konseling yaitu Pendekatan Konseling Berorientasi Psikodinamik dan Humanistik,
Pendekatan Konseling Berorientasi Kognitif dan Perilaku, Pendekatan Konseling Berorientasi
Postmodern dan Integratif serta Layanan Referal, Konsultasi dan Advokasi. Berdasarkan enam
orientasi pendekatan tersebut maka pendekatan konseling yang dipelajari meliputi (1) konseling
psikoanalisis, (2) konseling person centered, (3) konseling gestalt, (4) konseling rational emotive
behavior dan cognitive behavior, (5) konseling behavior (6) konseling realita, (7) konseling
singkat berfokus solusi, (8) konseling kreatif, (9) konseling naratif.
Modul strategi layanan responsif dirancang secara komprehensif sehingga memiliki
kesesuaian dengan capaian pembelajaran lulusan khususnya pada program pendidikan profesi guru
bimbingan dan konseling atau konselor yaitu penguasaan pengetahuan dan keterampilan
pendekatan konseling individu serta layanan responsif lainnya.
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami, menguasai,
dan mengelola prosedur dan teknik (1) konseling psikoanalisis, (2) konseling person centered, (3)
konseling gestalt, (4) konseling rational emotive behavior dan cognitive behavior, (5) konseling
behavior (6) konseling realita, (7) konseling singkat berfokus solusi, (8) konseling kreatif, (9)
konseling naratif. Pada modul ini, mahasiswa ditekankan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan konseling individu terutama Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi,
Pendekatan Konseling Naratif, dan Pendekatan Konseling Kreatif.

B. Inti
1. Capaian Pembelajaran
Capaian pembelajaran yang diharapkan dikuasai peserta PPG dari modul ini adalah “mampu
melaksanakan layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, melalui aktivitas layanan
individual, kelompok, klasikal dan kelas besar/lintas kelas dengan menerapkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk membangun sikap (karakter Indonesia), pengetahuan, dan
keterampilan peserta didik dalam mengembangkan potensi, mencegah, dan memecahkan masalah
serta pemeliharan dan pengembangan potensi diri secara humanis, kritis, kreatif, inovatif,
kolaboratif, dan komunikatif, dengan menggunakan model, sumber, dan media layanan bimbingan
dan konseling yang didukung hasil penelitian”. Setelah mempelajari modul ini, peserta/mahasiswa
diharapkan mampu:
a. mampu memilih dan menerapkan strategi, metode, dan teknik konseling individual dan
kelompok pendekatan konseling Singkat Berfokus Solusi
b. mampu memilih dan menerapkan strategi, metode, dan teknik konseling individual dan
kelompok pendekatan Konseling Naratif.
c. mampu memilih dan menerapkan strategi, metode, dan teknik konseling individual dan
kelompok pendekatan konseling Kreatif.

2. Pokok Materi
Dalam Modul 5 Kegiatan Belajar 3 ini akan dibahas materi terkait latar belakang, konsep
dasar, tujuan dan proses pendekatan konseling meliputi:
a. Pendekatan konseling Singkat Berfokus Solusi
b. Pendekatan konseling Naratif
c. Pendekatan konseling Kreatif

3. Uraian Materi
a.Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi
1) Latar Belakang
Konseling singkat berfokus solusi (SFBC), dipelopori oleh Insoo Kim Berg dan Steve
DeShazer. Keduanya adalah direktur eksekutif dan peneliti senior di lembaga nirlaba yang disebut
Brief Family Therapy Center (BFTC) di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat pada akhir tahun
1980-an. SFBC berbeda dengan terapi-terapi konvensional dengan menjauhkan diri dari masa lalu
menuju baik masa sekarang maupun masa depan. SFBC merupakan salah satu pendekatan
konseling Posmodern dengan mengedepankan keberdayaan konseli untuk mencari jalan keluar
atau solusi sehingga konseli akan memilih sendiri tujuan yang hendak ia capai (Corey, 2013;
Capuzzi dan Gross, 2011).
Secara umum ada perbedaan yang mendasar antara pendekatan beriorientasi pemecahan
masalah (solusi) dan pendekatan konvensional (psikoanalisis, gestalt, REBT, dan sebagainya).
Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah pendekatan ini lebih memfokuskan pembahasan
solusi dibanding membicarakan perihal penyebab masalah tersebut. Hal lain adalah hubungan
antara konselor dan konseli bersifat kolaboratif. Dengan kata lain konseli lebih dipandang sebagai
partner dan ahli atas hidupnya daripada melihat konseli sebagai orang yang “terpuruk” dan
konselor sebagai ahli yang akan memecahkan masalah konseli (Corey, 2016; Gutterman, 2014).
Sebagai kunci pembeda dari pendekatan ini dengan pendekatan-pendekatan konvensional adalah
pendekatan konseling singkat berfokus solusi melihat bahwa selalu ada pengecualian (exception)
atau kondisi dimana masalah pada individu tidak selalu datang dan terdapat peluang positif untuk
menterjadikan solusi atas masalah yang dihadapi tersebut (de Shazer, Dolan, Korman, Trepper,
McCollum, & Berg, 2007; Sklare, 2014; Gutterman, 2014).
Seperti halnya pendekatan atau teori konseling yang lain, keberadaan pendekatan SFBC juga
didasarkan pada landasan-landasan filosofis tertentu yang pada akhirnya menjadi paradigma dalam
mengembangkan model dan teori SFBC yang ada pada saat ini. Secara filosofis, pendekatan SFBC
didasari oleh suatu pandangan bahwa sejatinya kebenaran dan realitas bukanlah sesuatu yang
bersifat absolut namun realitas dan kebenaran itu dapat dikonstruksikan. Pada dasarnya semua
pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori
yang kita terapkan kepada suatu fenomena tertentu. Dengan demikian, realitas dan kebenaran yang
kita bangun (realitas yang kita konstruksikan) adalah hasil dari budaya dan bahasa kita. Apa yang
dikemukakan tersebut merupakan beberapa pandangan yang dilontarkan oleh para penganut
konstruktivisme sosial yang mengembangkan paradigmanya berdasarkan pandangan filosofis
posmodern. Dalam perspektif terapeutik, konstruktivisme sosial merupakan sebuah perspektif
terapeutik dengan suatu pandangan postmodern yang menekankan pada realitas konseli tanpa
memperdebatkan apakah hal tersebut akurat atau rasional (Weishaar, 1993 dalam Corey, 2016).

2) Konsep Dasar
a) Hakikat Manusia
Pada dasarnya, Konseling Singkat Berfokus Solusi (SFBC) didasarkan pada pandangan
yang positif dan optimistik tentang hakikat manusia (Corey, 2016; Gladding, 2009). Manusia
adalah makhluk yang sehat dan kompeten. SFBC merupakan model konseling yang
nonpatologis yang menekankan pentingnya kompetensi manusia daripada kekurangmampuan,
dan kekuatan daripada kelemahannya. Disamping itu, Manusia mampu membangun solusi yang
dapat meningkatkan kehidupannya. Manusia memiliki kemampuan menyelesaikan tantangan
dalam hidupnya. Bagaimanapun pengaruh lingkungan terhadap manusia, konselor meyakini
bahwa saat dalam layanan konseling, konseli mampu mengonstruksi (membangun) solusi
terhadap masalah yang dihadapinya. Karena itu, konseli juga mampu mengonstruksi solusi
terhadap masalah-masalah yang dihadapinya.
Menurut deShazer (dalam Corey, 2016) bahwa mengumpulkan informasi terkait masalah
konseli bukanlah sesuatu yang penting, namun yang lebih utama adalah segera berkolaborasi
bersama konseli untuk memfokuskan pada pencarian solusi-solusi yang sesuai dengan
kemampuan diri konseli. Dalam SFBC, konseli memilih tujuan-tujuan yang mereka ingin capai
dalam terapi, dan diberikan sedikit perhatian terhadap diagnosis, pembicaraan tentang sejarah,
atau eksplorasi masalah (Bertolino & O’Hanlon, 2002; Gingerich & Elisengart, 2000;
O’Hanlon & Weiner-Davis, 1989 dalam Corey, 2016).

b) Struktur Kepribadian
Dalam pelaksanaan bantuan terhadap konseli, SFBC tidak menggunakan teori kepribadian
dan psikopatologi yang berkembang saat ini. Konselor SFBC berkeyakinan bahwa kita tidak bisa
memahami secara pasti tentang penyebab masalah individu. Oleh karena itu, konselor perlu tahu
apa yang membuat orang memasuki masa depan yang lebih baik dan lebih sehat, yaitu tujuan
yang lebih baik dan lebih sehat. Individu tidak bisa mengubah masa lalu tetapi ia dapat mengubah
tujuannya. Sebagai ganti teori kepribadian dan psikopatologi, masalah dan masa lalu, SFBC
berfokus pada saat sekarang yang dipandu oleh tujuan positif yang spesifik yang dibangun
berdasarkan bahasa konseli yang berada di bawah kendalinya (Prochaska & Norcross, 2007).

c) Asumsi Tingkah Laku Bermasalah


Secara teoritik SFBC memandang masalah konseli bisa dilihat bahwa individu menjadi
bermasalah karena ketidakmampuannya untuk mencari dan mengefektifkan dalam melakukan
pemecahan yang telah dilakukannya. Dengan kata lain SFBC tidak ada memberikan konsep
khusus tentang masalah yang dialami oleh konseli dan sejatinya konselor tidak bisa memahami
secara pasti tentang penyebab masalah individu. Menurut Flanagan & Flanagan (2015) dalam
pandangan posmodern masalah psikis dideskripsikan sebagai berikut.
(1)Bahwa tidak ada diagnosis khusus atau kriteria khusus seperti pada penggunaan panduan
diagnostik misalnya dengan DSM (Diagnostic and Statistic Manual for Mental Disorder)
terhadap masalah psikis yang diderita oleh konseli khusus.
(2)“Mendiagnosis konseli” dianggap sebagai prosedur yang tidak membantu (unhelpful
procedure). Hal ini disebabakan karena terapis akan sibuk dan membuang banyak waktu
dengan mencari masalah konseli serta akan memandang bahwa masalah konseli yang
begitu luasnya diberikan kategori-kategori seakan-akan individu memang telah menderita
masalah psikis yang berat. Misalnya individu (konseli) yang datang pada konselor
menceritakan masalahnya, selanjutnya dengan hasil diagnosis konselor (misalnya dengan
menggunakan DSM IV TR) mengkategorikannya sebagai orang yang depresi. Dengan
demikian konseli telah “diberikan label” bahwa dirinya adalah penderita depresi, karena
apa yang konseli ungkapkan, sikapkan, perilakukan sesuai dengan apa yang tercantum
dalam DSM. Dalam kondisi ini konselor/terapis lebih banyak mendiagnosis masalah
konseli daripada memfokuskan pada solusi apa yang segera dikonstruk oleh konseli
(3)Simptom-simptom masalah (misalnya: kecemasan, depresi) bukan wujud yang terpisah
dari diri individu melainkan sebagai bagian dari pengalaman individu dalam menjalani
keseluruhan kisah hidupnya. Dengan kata lain bahwa ketika individu memiliki gejala-
gejala masalah yang terkait dengan psikisnya, maka masalah-masalah tersebut hakikatnya
adalah bagian dari hidupnya yang memang memiliki peluang untuk muncul pada diri
individu ketika ia menjalani kehidupannya. Hal ini menandakan bahwa sejatinya setiap
individu mempunyai masalah-masalah tersebut (kecemasan, depresi, dsb) walaupun
intensitas dan frekuensinya berbeda-beda. Dengan demikian individu tidak secara tiba-
tiba atau mendadak memiliki masalah (misalnya kecemasan, depresi), namun justru
individu dalam menjalani hidupnya “berdampingan” dengan masalah dan merupakan
suatu kewajaran bahwa setiap manusia yang hidup memiliki masalah

3) Tujuan dan Proses Konseling


a)Tujuan Konseling
Pendekatan SFBC mencerminkan beberapa ide dasar tentang perubahan, interaksi, dan
pencapaian tujuan-tujuan. Konselor SFBC yakin bahwa setiap orang memiliki kemampuan
untuk menentukan tujuan-tujuan pribadi yang bermakna dan bahwa tiap orang memiliki
kekuatan yang dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan mereka. Tujuan tersebut bersifat
unik bagi masing-masing konseli dan tujuan tersebut dibuat oleh konseli sendiri untuk
menciptakan masa depan yang lebih bermakna (Prochaska & Norcross, 2007). Kurangnya
kejelasan menganai preferensi, tujuan, dan hasil yang diinginkan konseli dapat mengakibatkan
kerenggangan antara konselor dan konseli. Oleh karena itu, sangat penting bahwa tahap awal
terapi ditujukan untuk menggali apa saja yang diinginkan konseli dan permasalahan apa saja
yang konseli bersedia untuk dipelajari (Bertolino & O’Hanlon, 2002). Dalam SFBT, terdapat
beberapa bentuk tujuan: mengubah pandangan terhadap situasi atau suatu frame of reference
(kerangka berpikir); merubah tindakan konseli dalam menangani situasi problematis; dan
mengarahkan kekuatan dan daya/tenaga yang dimiliki oleh konseli (O’Hanlon & Weiner-Davis,
1989 dalam Corey 2016). Tujuan utama dari pendekatan singkat berfokus solusi meliputi
membantu konseli untuk mengadopsi pergeseran sikap dan bahasa konseli dari berbicara
mengenai permasalahan menjadi berbicara tentang berbagai solusi. Konseli didorong untuk
melakukan pembicaraan tentang perubahan atau solusi ketimbang berbicara mengenai masalah.
Ini disadarkan asumsi bahwa apa yang kita bicarakan akan cenderung menjadi sesuatu yang
kita hasilkan. Berbicara mengenai permasalahan akan menghasilkan permasalahan yang
berkelanjutan. Berbicara mengenau perubahan akan menghasilkan perubahan. Saat individu
belajar untuk berbicara, dalam artian apa yang mampu mereka lakukan dan kekuatan-kekuatan
apa saja yang mereka miliki, dan tindakan apa saja yang telah mereka lakukan yang bekerja
bagi dirinya, maka ini berarti bahwa mereka telah mencapai tujuan utama dari proses terapi

b) Peran dan Fungsi Konselor


(1) Peran dan Fungsi Konselor dalam Seting Konseling Individu
Pada pendekatan ini konselor memiliki peran lebih memfokuskan pada memfasilitasi konseli untuk
melakukan perubahan-perubahan yang kecil, realistik, dan dapat dicapai oleh konseli akhirnya
dapat mengarahkan konseli pada hasil positif lainnya. Hal tersebut dikarenakan kesuksesan
cenderung dibangun dari keberhasilan kecil, tujuan-tujuan yang sederhana dipandang sebagai awal
perubahan. Selain itu, konselor perlu mengetahui karakteristik tujuan konseling yang baik dan
produktif: positif, proses, saat sekarang, praktis, spesifik, kendali konseli, bahasa konseli.

(2) Peran dan Fungsi Konselor dalam seting Konseling Kelompok


Pada pendekatan ini, seorang konselor kelompok yang berfokus solusi mengadopsi posisi
tidak tahu (not-knowing) sebagai cara untuk menempatkan anggota kelompok sebagai ahli
atas kehidupan mereka. Dalam hal ini posisi terapis/konselor/ahli digantikan oleh konseli
(angota kelompok) yang mengerti apa yang terbaik bagi dirinya (Corey, 2016). Peran sebagai
kolaborator dan sikap konsultatif membuat konseli dapat menciptakan sendiri peluang solusi
yang terbaik sesuai kemampuan atau potensi konseli.
c) Pengalaman Konseli
Dalam pendekatan ini konseli didorong untuk melakukan pembicaraan tentang perubahan
atau solusi ketimbang berbicara mengenai masalah. Asumsinya adalah ketika konseli berbicara
mengenai permasalahan akan menghasilkan permasalahan yang berkelanjutan. Sebaliknya
ketika konseli diajak berbicara mengenai perubahan akan menghasilkan kondisi-kondisi yang
dapat menciptakan harapan untuk pemecahan masalah. Selain itu, konseli memiliki pengalaman
untuk diajak mengidentifikasi apa yang mampu mereka lakukan dan kekuatan-kekuatan apa
saja yang mereka miliki, dan tindakan apa saja yang telah mereka lakukan dan efektif bagi
tercapainya tujuan perubahan yang ia kehendaki. Mendasarkan pada konsep bahwa pendekatan
ini berorientasi pada tindakan konkrit saat ini dan mencoba berimajinasi terhadap perubahan-
perubahan apa yang terjadi dimasa mendatang. Dengan demikian konseli memiliki pengalaman
dalam menguatkan rasa percaya diri atas kemampuannya untuk membuat solusi terbaik
berdasarkan potensi-potensi maupun pengalaman sukses yang selama ini ia miliki dan
dimungkinkan untuk dilakukan kembali di saat sekarang.

d) Tahapan Konseling
Pada penerapan konseling singkat berfokus solusi, de Shazer & Yolan (2007)
mengemukakan bahwa ada beberapa prinsip-prinsip utama yang mendasari pengaplikasian
pendekatan ini dalam proses konseling. Hal tersebut meliputi seperti pada kotak 1.

Prinsip-Prinsip Dasar dalam Penerapan SFBC


1. Jika upaya (apa yg dilakukan konseli) tidak efektif, maka jangan
sekali-sekali untuk tetap dipaksakan utk dilakukan.
2. Jika upaya (apa yang dilakukan konseli) efektif atau berhasil tetaplah
menjaga konsistensinya (jika perlu dapat dilakukan berulang-ulang)
3. Jika upaya (apa yang dilakukan konseli) tidak bekerja semestinya atau
tidak efektif, maka berhenti untuk melakukannya lagi.
4. Menjaga proses konseling agar sesederhana mungkin

Gambar 3.1 Prinsip-prinsip dasar dalam penerapan SFBC


Secara umum prosedur atau tahapan pelaksanaan SFBC menurut Corey (2016) sebagai
berikut:
(1)Pada tahap ini konselor melakukan aktivitas sebagai berikut: (a) penciptaan kondisi
fasilitatif dan kolaboratif, (b) pembicaraan topik netral, dan (c) penjelasan proses
konseling
(2)Konseli diberikan kesempatan untuk memaparkan masalah-masalah mereka yang
dimungkinkan adanya solusi. Konselor mendengarkan dengan penuh perhatian dan
cermat jawaban-jawaban konseli terhadap pertanyaan dari terapis, ”Bagaimana saya
dapat membantu Anda?”
(3)Konselor berkolaborasi dengan konseli dalam membangun tujuan-tujuan yang dibentuk
secara spesifik dengan baik secepat mungkin. Pertanyaannya adalah, ”apa yang akan
menjadi berbeda dalam hidupmu ketika masalah-masalahmu terselesaikan?”
(4)Konselor menanyakan konseli tentang saat di mana masalah sudah tidak ada atau saat
masalah terasa agak ringan. Konseli dibantu untuk mengeksplor pengecualian ini,
dengan penekanan yang khusus pada apa yang mereka lakukan untuk membuat keadaan/
peristiwa-peristiwa tersebut terjadi.
(5)Di akhir setiap percakapan membangun-solusi (solution-building), konselor
memberikan konseli umpan balik simpulan, memberikan dorongan-dorongan, dan
menyarankan apa yang konseli dapat amati atau lakukan sebelum sesi berikutnya yang
lebih jauh untuk menyelesaikan masalah mereka.
e) Teknik Konseling
Dalam aplikasinya, pendekatan SFBC memiliki beberapa teknik intervensi khusus. Teknik
ini dirancang dan dikembang dalam rangka membantu konseli untuk secara sadar membuat
solusi atas permasalahan yang ia hadapi. Beberapa teknik dari SFBC (Corey, 2016; Capuzzi
dan Gross, 2011) adalah:
(1)Pertanyaan Pengecualian (Exception Question)
Konselor SFBC menanyakan pertanyaan-pertanyaan exception untuk mengarahkan
konseli pada waktu masalah tersebut tidak ada. Exceptions merupakan pengalaman-
pengalaman masa lalu dalam hidup konseli ketika konseli pantas untuk mempunyai
harapan masalah tersebut terjadi, tetapi bagaimanapun juga tetap tidak terjadi (de Shazer,
1985 dalam Corey 2016). Eksplorasi pertanyaan pengecualian membantu konseli
mengingat bahwa masalah tidak selamanya ada dan terus dipikirkan. Hal ini memberikan
kesempatan konseli untuk menimbulkan sumber daya, menggunakan kekuatan-kekuatan,
dan menempatkan solusi-solusi yang mungkin dilakukan konseli.

Contoh Pertanyaan Pengecualian:


Konseli: “..Pak saya terus-menerus merasa sedih dan tidak nyaman semenjak saya
berkonflik dengan sahabat dekat saya..”
Konselor : Baik, dari apa yang kamu sampaikan tadi bisakah kamu sampaikan saat-
saat di mana kamu merasa bahagia dengan sahabatmu atau kapan terakhir
kamu merasa damai tanpa konflik ketika bersama sahabatmu?..”(konselor
ingin melihat kemungkinan solusi ketika konseli sedang dalam kondisi
yang berlawanan dengan apa yang disampaikan)
Konseli: “..Iya pak waktu kami mendiskusikan hobi, karena saya dan dia sama
hobinya maka pasti asyik jika mengobrolkan hal ini..”.
Konselor: “..Wah bagus..nampaknya hal ini menjadikan kalian menjalin keakraban
ya..ehmm bisakah kamu gambarkan secara detail bagaimana kondisinya
pada waktu itu? (konselor bersama konseli berupaya mencari solusi
berdasarkan pengalaman yang menyenangkan pada kondisi yang lain,
sehingga dapat dijadikan kemungkinan alternatif solusi efektif)

Gambar 3.2 Contoh Pertanyaan Pengecualian

(2) Pertanyaan Keajaiban (Miracle Question)


Meminta konseli untuk mempertimbangkan bahwa suatu keajaiban membuka suatu
tempat untuk kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Konseli didorong untuk
membiarkan dirinya sendiri bermimpi tentang suatu cara/ jalan untuk mengidentifikasi
jenis-jenis perubahan yang paling mereka inginkan. Pertanyaan ini memiliki fokus masa
depan di mana konseli dapat mulai untuk mempertimbangkan kehidupan yang berbeda
yang tidak didominasi oleh masalah-masalah masa lalu dan sekarang ke arah pemuasan
hidup yang lebih di masa mendatang.

Contoh Pertanyaan Keajaiban:


”Jika suatu keajaiban terjadi dan masalah Anda terpecahkan semalam,
bagaimana Anda tahu bahwa hal tersebut telah terpecahkan, dan apa
yang menjadi berbeda?” Konseli kemudian didorong untuk
melakukan ”apa yang menjadi berbeda” kendati permasalahan
dirasakan.
Gambar 3.3 Contoh Pertanyaan Keajaiban
(3) Pertanyaan berskala (Scaling Question)
Scaling questions memungkinkan konseli untuk lebih memperhatikan apa yang mereka
telah lakukan dan bagaimana mereka dapat mengambil langkah yang akan mengarahkan
pada perubahan-perubahan yang mereka inginkan. Konselor selalu menggunakan scaling
questions ketika perubahan dalam pengalaman seseorang tidak dapat diamati dengan
mudah, seperti perasaan, suasana hati (mood), atau komunikasi.

Contoh Pertanyaan Berskala:


Seorang konseli yang mengemukakan perasaan-perasaan panik atau
kegelisahan kepada konselor dapat dilihat tingkat kegelisahannya
dengan mengaplikasikan teknik ini misalnya:
“Pada skala nol sampai 10, dimana nol adalah bagaimana perasaan
Anda ketika pertama kali datang ke terapi dan 10 adalah perasaan
Anda ketika terjadi keajaiban dan masalah Anda hilang, bagaimana
Anda menilai kegelisahan Anda saat ini?”
Gambar 3.4 Contoh Pertanyaan Berskala

(4) Rumusan Tugas Sesi Pertama (Formula First Session Task/FFST)


Rumusan Tugas Sesi Pertama adalah suatu format tugas yang diberikan oleh konselor
kepada konseli untuk diselesaikan antara sesi pertama dan sesi kedua. Konselor dapat
berkata: ”Di antara saat ini dan pertemuan kita selanjutnya, saya berharap Anda dapat
mengamati, sehingga Anda dapat menjelaskan pada saya pada pertemuan yang akan
datang, tentang apa yang terjadi pada (keluarga, hidup, pernikahan, hubungan) Anda yang
harapkan terus terjadi” (de Shazeer, 1985, dalam Corey, 2016).
(5) Umpan balik (Feedback)
Para konselor SFBC pada umumnya mengambil waktu 5 sampai 10 menit pada akhir
setiap sesi untuk menyusun suatu ringkasan pesan untuk konseli. Selama waktu ini
konselor memformulasikan umpan balik yang akan diberikan pada konseli. Dalam
pemberian umpan balik ini memiliki tiga bagian dasar yaitu sebagai pujian, jembatan
penghubung dan pemberian tugas.
(6) Presession change question (Pertanyaan perubahan prapertemuan)
Pertanyaan perubahan prapertemuan dimaksudkan untuk menemukan
pengecualian/mengeksplorasi solusi yang telah diupayakan konseli sebelum pertemuan
konseling. Tujuannya menciptakan harapan terhadap perubahan, menekankan peran
aktif dan tanggung jawab konseli dan menunjukkan bahwa perubahan bisa terjadi di luar
ruang konseling.
.

b. Pendekatan Konseling Naratif


1) Latar Belakang
Terapi narasi dikembangkan pada tahun 1980-an oleh Michael White, seorang pekerja sosial
dan terapis keluarga dari Australia serta David Epston seorang psikolog dan terapis keluarga yang
berasal dari Selandia Baru. Dasar pengembangan pendekatan konseling naratif ini adalah
paradigma epistemologi konstruksionisme sosial. Berdasarkan paradigma tersebut maka
pengembang pendekatan naratif mewujudkannya dalam bentuk metafora naratif. Individu
membangun makna hidup dalam cerita interpretatif (naratif), yang kemudian diyakini oleh
individu tersebut sebagai sebuah kebenaran. Hal ini tentunya mengandung makna bahwa setiap
narasi (cerita) dipersepsikan subjektif oleh individu (Corey, 2016). Konseling naratif adalah
pendekatan berbasis kekuatan (Strength based approach) yang menekankan kolaborasi antara
konseli dan konselor untuk membantu konseli melihat diri mereka berdaya dan hidup seperti yang
mereka inginkan.

2) Konsep Dasar
a) Hakikat Manusia
Dalam pandangan konseling pendekatan naratif, manusia dipandang memiliki kemampuan
berpikir kreatif dan imajinatif. Setiap manusia adalah ahli atas hidup dan kisah hidup yang
mereka alami. Individu adalah makhluk yang memiliki daya interpretatif terkait pengalaman
hidupnya. Selain itu, individu sebagai agen aktif yang mampu memperoleh makna keluar dari
dunia pengalaman mereka. Dengan demikian, proses perubahan dapat difasilitasi, tetapi tidak
diarahkan oleh terapis atau konselor (Corey, 2016).

b) Struktur Kepribadian
Struktur kepribadian menurut pendekatan ini didasarkan pada empat keyakinan dasar yaitu
antara lain sebagai berikut:
(1) Konseli sering mengidentifikasi dirinya penuh dengan masalah dan menganggap dirinya
menjadi orang yang benr-benar tersakiti. Namun sebaliknya, ketika individu mulai
menerima masalah mereka sebagai bagian yang terintegrasi dalam diri mereka, maka hal
ini bukan karakteristik yang melekat. Sebagai contoh, konseli yang menderita depresi
mengalami keadaan temporal bukanlah karakteristik kepribadian mereka. Membuat
perbedaan antara diri dan masalahnya adalah penting jika konseli harus diberdayakan untuk
reauthor narasi kehidupan mereka.
(2) Konseli adalah pakar pada kehidupan mereka, sehingga konselor atau terapis harus
bijaksana mencari keahlian mereka. Aspek humanistik konseling dan psikoterapi adalah
keyakinan bahwa konseli memiliki jawaban mereka. Konseli telah menghabiskan waktu
yang paling baik dengan diri mereka sendiri, telah mengalami totalitas kehidupan mereka,
dan merupakan sumber terbaik tentang bagaimana mereka harus datang ke tempat mereka
dalam kehidupan. Setiap intervensi yang efektif dengan konseli harus memperhitungkan
keakraban besar yang mereka miliki dengan diri dan dilema mereka.
(3) Konseli memiliki banyak keterampilan, kompetensi, dan sumber daya internal yang
menarik. Semua konseli, bahkan anak muda, memiliki keterampilan hidup tertentu yang
mereka menarik dari dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kompetensi-kompetensi yang
konseli telah digunakan untuk tiba pada titik ini dalam perjalanan hidup mereka harus
digunakan sebagai sumber bagi mereka dalam pekerjaan terapi mereka dan seterusnya.
Praktisi harus memperhatikan dan mengeksplorasi kekuatan yang jelas dalam narasi
kehidupan konseli.
(4) Terapi perubahan terjadi ketika konseli menerima peran mereka sebagai penulis hidup
mereka dan mulai untuk menciptakan sebuah narasi kehidupan yang kongruen dengan
harapan mereka, impian, dan aspirasi. Konseli memiliki banyak pilihan dalam cara mereka,
pengalaman dan melihat perjalanan hidup mereka. Memberdayakan konseli untuk
menerima tanggung jawab atas penulisan hidup mereka adalah peran konselor atau terapis.
Setelah konseli melihat pola tematik dan karakter dalam cerita kehidupan mereka, mereka
bisa membuat struktur cerita mereka terhadap tujuan yang lebih positif dan sehat.
c) Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam konsep pendekatan naratif, individu memiliki masalah ketika individu tersebut tidak
dapat mengeksplorasi ke dalam diri mereka sendiri. Individu yang selalu di bayang-bayangi
oleh keinginan atau harapan, aspirasi ketakutan dan luka emosional. Individu yang tinggal
sebagai akibat narasi pribadi penderitaan, ketakutan, atau tidak berharga. Konseling naratif
memandang masalah adalah hal yang terpisah dari orang yang mengalami masalah. Artinya
apabila seseorang memiliki masalah maka orang itu bukan orang yang bermasalah tapi orang
yang memiliki masalah. Orang yang bermasalah mengacu pada makna label bahwa orang
tersebut adalah masalah dan orang tersebut pembuat masalah.

3) Tujuan dan Proses Konseling


a) Tujuan Konseling
Tujuan dari konseling naratif adalah membantu konseli memahami kisah atau cerita yang
telah membentuk kehidupannya dan konseli diberikan keterampilan untuk menentang atau
mengeksplanasi cerita tersebut. Konseling naratif mengeksplorasi peristiwa dari pengalaman
hidup seseorang, titik balik kehidupan, dan kenangan-kenangan dalam rentang waktu
kehidupan. Fokus konseling ini pada tujuan, impian dan nilai yang menjadi acuan hidup
seseorang. Selain itu, konseling naratif bertujuan untuk mengajak individu agar menjelaskan
pengalaman mereka dalam kisah dan bahasa yang penuh dengan harapan dan lebih optimis
dalam menjalani hidup (Corey, 2016).

b) Peran dan Fungsi Konselor


(1) Peran dan Fungsi Konselor dalam Seting Konseling Individu
Konselor naratif adalah fasilitator aktif. Konsep kepedulian, minat, keingintahuan penuh
hormat, keterbukaan, empati, kontak, dan bahkan daya tarik dipandang sebagai kebutuhan
relasional. Posisi tidak tahu (not-knowing), yang memungkinkan konselor untuk mengikuti,
menegaskan, dan dibimbing oleh kisah konseli mereka, menciptakan peran partisipan pengamat
dan fasilitator proses untuk konselor dan mengintegrasikan konselor dengan pandangan
postmodern dari penyelidikan manusia. Tugas utama konselor adalah membantu konseli
membangun alur cerita yang disukai. Konselor naratif mengadopsi sikap yang ditandai oleh
rasa ingin tahu yang hormat dan bekerja dengan konseli untuk mengeksplorasi dampak masalah
pada mereka dan apa yang mereka lakukan untuk mengurangi efek dari masalah (Winslade &
Monk, 2007). Salah satu fungsi utama konselor adalah untuk mengajukan pertanyaan kepada
konseli dan, berdasarkan jawaban, untuk menghasilkan pertanyaan lebih lanjut. Konselor
naratif cenderung menghindari penggunaan bahasa yang membentuk diagnosis, penilaian, dan
intervensi. Pendekatan naratif memberikan penekanan terhadap pemahaman pengalaman hidup
dan tidak menekankan kepada usaha untuk memprediksi, menginterpretasikan dan
mendiagnosis penyakit mental.

(2) Peran dan Fungsi Konselor dalam seting Konseling Kelompok


Pendekatan naratif memandang konselor kelompok sebagai kolaborator dan ahli dalam
memberikan pertanyaan (Walsh & Keenan 1997 dalam Gladding 2012). Konselor kelompok
berorientasi naratif membangun hubungan dengan anggota kelompok menggunakan keahlian
dasar dalam menjalin hubungan seperti bertemu, klarifikasi, menyimpulkan dan memastikan
bahwa konselor mendengarkan cerita atau permasalahan anggota kelompok dengan benar.
Peran konselor kelompok berupaya untuk mengatasi dan menghapus permasalahan anggota
kelompok secepat mungkin. Dengan demikian, konselor menggunakan alasan naratif, yang
dikarakterisasikan oleh kisah-kisah, keberartian, dan kehidupan untuk membantu anggota
kelompok mendefinisikan kembali kehidupan dan hubungannya melalui naratif baru.

c) Pengalaman Konseli
Konseli diajak untuk berperan aktif dalam menceritakan kisah-kisahnya sendiri. Konseli
juga diajak untuk mengimajinasikan peluang-peluang yang dapat muncul dari kisah yang ia
sampaikan agar memperkaya solusi terkait masalah tersebut. Selain itu, konseli diajak oleh
konselor untuk menciptakan makna-makna baru atau perspektif lain dalam hidup mereka
sehingga menjadi pribadi yang lebih efektif

d) Tahapan Konseling
Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh konselor naratif dalam melaksanakan konseling
adalah sebagai berikut (Corey, 2016):
(1) Membangun hubungan baik.
(2) Berkolaborasi dengan konseli dengan membuat kesepakatan secara bersama untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
(3) Memunculkan masalah yang menjadi keluhan konseli sekaligus mengeksplorasi strategi
penyelesaiannya.
(4) Melakukan asesmen dan mengidentifikasi bagaimana masalah tersebut mengganggu
konseli.
(5) Menetapkan tujuan dan menemukan saat-saat ketika konseli tidak didominasi atau
berkecil hati oleh masalah dengan mencari pengecualian untuk masalah ini.
(6) Menemukan bukti historis untuk mendukung pandangan baru dari konseli sebagai orang
yang cukup kompeten untuk menantang, mengalahkan, atau keluar dari dominasi atau
tekanan masalah. Pada tahap ini identitas orang tersebut dan kehidupan cerita mulai
mendapatkan ditulis ulang.
(7) Meminta konseli untuk berspekulasi mengenai masa depan bagaimana yang bisa
diharapkan dari kekuatan dan kompetensi seseorang. Dengan demikian, konseli menjadi
terbebas dari cerita-cerita masalah yang menjenuhkan dari masa lalu, dan ia dapat
membayangkan dan merencanakan untuk masa depan yang kurang bermasalah.
(8) Menemukan atau menciptakan dukungan untuk memahami dan mendukung cerita baru.
(9) Evaluasi terkait dengan perubahan-perubahan pada diri konseli.
(10) Pengakhiran.

e) Teknik Konseling
Konselor naratif sama dengan posisi Carl Rogers yang menekankan cara konselor yang tidak
mengikuti atau diarahkan dengan teknik-teknik. Pendekatan naratif ke dalam konseling lebih
dari penerapan keahlian; pendekatan ini berdasarkan pada karakteristik personal konselor yang
menciptakan iklim yang mendorong konseli untuk melihat kisahnya dari perspektif yang
berbeda.
(1)Pertanyaan dan Pertanyaan Lagi. Pertanyaan yang diberikan oleh konselor naratif mungkin
terkesan unik, bagian dari dialog tentang dialog sebelumnya, penemuan kejadian unik atau
eksplorasi proses kultur yang dominan dan memberikan perintah. Apapun tujuannya,
pertanyaan seringkali memiliki hubungan dengan masalah meskipun kadang tidak
berujung pangkal dan ditujukan untuk memberikan dorongan kepada konseli dalam cara
yang baru. Menurut Bateson (1972), pertanyaan itu adalah pertanyaan yang mencari
perbedaan yang akan membuat perbedaan. Bateson berpendapat bahwa kita belajar dengan
membandingkan satu fenomena dengan fenomena lainnya dan menemukan apa yang dia
sebut dengan “hal baru yang berbeda. Konselor naratif menggunakan pertanyaan sebagai
upaya untuk memunculkan pengalaman dan bukanlah mengumpulkan informasi. Tujuan
bertanya di sini adalah untuk terus menemukan atau membentuk pengalaman konseli
sehingga konselor memahami arah mana yang harus ditempuh. Pertanyaan selalu disertai
dengan perasaan menghargai, keingintahuan dan keterbukaan. Konselor bertanya dari
posisi tidak tahu yang berarti mereka tidak memberikan pertanyaan yang kiranya mereka
sudah mengetahui jawabannya.
(2)Eksternalisasi dan Dekonstruksi. Konselor naratif percaya bukan orang yang menjadi
masalah, tetapi masalah yang menjadi masalah (White, 1989). Masalah-masalah ini
seringkali merupakan produk dari dunia budaya atau hubungan kekuasaan di mana dunia
ini berada. Menjalani hidup berarti berhubungan dengan masalah, tidak menyatu dengan
mereka. Konselor naratif membantu konseli mendekonstruksi cerita-cerita bermasalah ini
dengan membongkar asumsi-asumsi yang dibuat tentang peristiwa, yang kemudian
membuka kemungkinan alternatif untuk hidup.
(3)Mencari Hasil Unik. Dalam Pendekatan Naratif, pertanyaan eksternalisasi diikuti oleh
pertanyaan yang mencari hasil unik. Konselor berbicara kepada konseli tentang saat-saat
pilihan atau kesuksesan mengenai masalah tersebut. Hal ini dilakukan dengan memilih
untuk memperhatikan setiap pengalaman yang berbeda dari kisah masalah, terlepas dari
seberapa tidak signifikannya hal itu bagi konselor
(4)Cerita Alternatif dan Penulisan Ulang. Membentuk cerita yang terjadi berulang-ulang
dalam dekonstruksi, dan konselor naratif mendengarkan bukan untuk melawan cerita.
Orang-orang dapat secara terus menerus dan aktif me-reautorisasi kehidupan mereka, dan
konselor narasi mengundang konseli untuk menulis cerita alternatif melalui "hasil unik";
peristiwa-peristiwa ini tidak dapat diprediksi dari mendengarkan cerita jenuh yang
dominan dan tidak termasuk dalam narasi tentang orang tersebut. Konselor narasi meminta
pembukaan: "Apakah Anda pernah dapat melarikan diri dari pengaruh masalah?" Terapis
mendengarkan petunjuk untuk kompetensi di tengah-tengah cerita yang bermasalah dan
membangun cerita tentang kompetensi di sekitarnya. Madigan (2011) mengemukakan
bahwa kisah hidup seseorang mungkin jauh lebih menarik daripada kisah yang diceritakan.
Dia mempertahankan tugas utama seorang konselor adalah "untuk membantu orang-orang
mengingat, mendapatkan kembali, dan menciptakan kembali kisah alternatif yang lebih
kaya, lebih tebal, dan lebih bermakna
(5)Mendokumentasikan Bukti. Konselor naratif percaya bahwa cerita baru hanya bertahan
ketika ada penonton yang menghargai dan mendukungnya. Salah satu teknik untuk
mengkonsolidasikan keuntungan konseli melibatkan konselor menulis surat kepada orang
tersebut. Konselor naratif telah mempelopori pengembangan penulisan surat terapi. Surat
yang ditulis oleh konselor memberikan catatan sesi dan dapat mencakup deskripsi
eksternalisasi masalah dan pengaruhnya terhadap konseli, serta akun tentang kekuatan dan
kemampuan konseli yang diidentifikasi dalam suatu sesi. Surat dapat dibaca lagi pada
waktu yang berbeda, dan cerita yang menjadi bagiannya dapat diinspirasikan kembali.
Surat itu menyoroti perjuangan konseli dengan masalah dan menarik perbedaan antara
cerita jenuh-masalah dan mengembangkan cerita baru dan lebih disukai (McKenzie &
Monk, 1997).
c. Pendekatan Konseling Kreatif
1) Latar Belakang
Terminologi impact counseling merujuk pada sebuah pendekatan kreatif dalam konseling
yang diperkenalkan oleh Dr. Ed Jacobs, pakar konseling kreatif dari West Virginia University.
Impact counseling sangat menekankan pada penggunaan teori-teori konseling secara kreatif.
Terdapat empat teori konseling yang umum digunakan untuk menerapkan impact counseling yaitu:
Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Transactional Analysis (TA), Reality Therapy, dan
Gestalt Therapy (Jacobs, 1992, 1994). Konselor atau terapis menggabungkan REBT dengan alat
peraga kreatif, gambar, analogi, demikianpun dalam terapi Gestalt bisa dengan cara yang sangat
berbeda dari cara teori ini diajarkan secara tradisional. Terapis dampak menggunakan status ego
dari TA dengan kursi, gambar, gerakan, dan dalam kombinasi dengan REBT dengan cara yang
jelas, konkret, dan efektif. Terapis yang sering menggunakan teori Sistem, konseling Adlerian,
terapi realitas, dan sebagian besar teori lainnya akan menemukan bahwa impact therapy
kompatibel untuk dipergunakan. Impact therapy berfungsi sebagai jembatan yang kuat antara teori
dan teknik dan memberikan cara yang jelas untuk memahami proses dan kemajuan sesi terapi.
Impact therapy meminta konseli untuk aktif, berpikir, melihat, dan mengalami selama sesi. Terapis
mencoba membantu konseli membantu diri mereka sendiri dengan membuat konseli berpikir
secara rasional tentang masalah mereka. Konseli yang menantang berbicara sendiri dan
menggunakan analogi, alat peraga, gerakan, dan kursi tambahan membantu membuat sesi menjadi
menarik dan bermanfaat. Hubungan dependen jarang terjadi dalam terapi ini karena konselor
selalu melibatkan konseli dalam berbagai cara.
Impact therapy adalah pendekatan multi-indera yang mengakui bahwa perubahan atau
dampak tidak hanya berasal dari pertukaran verbal, tetapi juga visual dan kinestetik. Ini adalah
jenis terapi singkat meskipun berbeda dari karya Watzlawick, Weakland, dan Fisch yang telah
mengembangkan sekolah terapi yang disebut "Terapi Singkat." Impact therapy adalah bentuk
terapi yang menggabungkan teknik konseling kreatif dan teori konseling tertentu. Ini memberi
konselor cara untuk membingkai proses konseling serta cara menilai kemajuan suatu sesi.
Pendekatan ini berorientasi pada tindakan dan wawasan dan seringkali berorientasi pada resolusi.
Disebut Impact therapy karena menekankan membantu konseli sebanyak mungkin dalam setiap
sesi. Penekanannya adalah membuat konseling menjadi jelas, konkret dan merangsang pemikiran,
daripada konseling yang kabur, abstrak, dan emosional.

2) Konsep Dasar
Dalam proses konseling diperlukan sebuah kreativitas yang mampu membuat konseli merasa
nyaman dengan tahapan pelaksanaan konseling, karena konseling kreatif dapat meningkatkan
efektivitas konseling (Glading, 2008). Konseling kreatif merupakan suatu pendekatan konseling
yang unik. Pendekatan kreatif dalam konseling menawarkan sebuah energi baru pada konseli
untuk dapat meningkatkan sensitivitas pada dirinya dan orang lain.
Menurut Jacobs (dalam Rahmadian, 2011) terdapat 7 kesalahan yang umum dilakukan
konselor sehingga menyebabkan sesi konseling menjadi membosankan dan tidak efektif.
Kesalahan yang dimaksud yaitu: (1) Melakukan terlalu banyak refleksi; (2) Mendengarkan terlalu
banyak cerita konseli; (3) Jarang menginterupsi konseli; (4) Tidak fokus dalam sesi konseling; (5)
Menunggu terlalu lama untuk melakukan fokus; (6) Tidak menggunakan teori konseling,
menggunakan “hope method” dalam konseling; dan (7) Jarang menggunakan alat bantu yang
kreatif serta tidak bersifat multisensori.
Kreativitas merupakan hal yang esensial dalam proses konseling, namun proses kreatif tidak
terjadi secara otomatis, konselor perlu memfasilitasi terciptanya suasana yang aman dan
mendukung sehingga konseli mampu secara kreatif mengkaji maslah, membangun perspektif
alternatif terhadap masalah, serta menghasilkan dan mengevaluasi beragam pilihan solusi masalah
(Rahmadian, 2011). Pada akhirnya konseling kreatif memberikan peluang kepada konseli untuk
membawa pemikiran dan perasaan kepada kesadaran melalui pengekspresian diri di berbagai jalan
(Saputra, 2013). Menurut Glading (dalam Rahmadian, 2011) terdapat tiga faktor yang mendorong
berkembanganya kreativitas dalam konseling, yaitu: faktor kepribadian konselor dan konseli,
faktor proses konseling, dan faktor hasil konseling. Faktor kepribadian merujuk pada kapasitas
konselor untuk bersikap terbuka dan kesediaan bermain dengan ide dan pendekatan baru, kerja
keras, serta keberanian konselor mengambil resiko yang terukur.
Jacobs (1992) menjelaskan bahwa konseling kreatif memenuhi kebutuhan konselor untuk
menggunakan pendekatan multi-aspek dalam membantu konseli. Pendekatan konseling kreatif dan
khususnya penggunaan teknik kreatif memungkinkan konselor untuk mendekati masalah dari
sudut pandang multi-indera. Konselor dapat memanfaatkan gaya belajar visual, auditori, dan
pengalaman konseli. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nickerson dan O'Laughlin (1982),
menggunakan satu pendekatan untuk konseling yang hanya melibatkan kemampuan verbal tidak
akan mencapai hasil yang optimal. Selain itu, Beaulieu (2003) memberlakukan gagasan bahwa
terapis perlu untuk melampaui kata-kata dan meminta lebih banyak indera konseli agar terlibat
dalam proses konseling. Teknik-teknik konseling kreatif membantu konseli membuat konsep lebih
konkret, membantu memfokuskan sesi pada saat ketika konseli mulai keluar jalur, dan membantu
mempercepat proses konseling bagi konselor yang memiliki waktu terbatas (Jacobs, 1992).
Contoh ilustrasi keterkaitan antara kreativitas dan konseling yang dikembangkan oleh Carl
Rogers (Rogers, 1951). Rogers adalah seorang terapis yang relatif tidak dikenal di Rochester, New
York, sampai dia mendengarkan suara di dalam dirinya dan kata-kata konselinya sehingga
membuatnya sadar bahwa meskipun psikoanalisis mungkin bekerja untuk beberapa orang, itu tidak
berhasil untuknya atau sebagian besar dari konseli yang dia coba bantu. Oleh karena itu, dari
pengalamannya dan interaksinya dengan konseli, ia mengembangkan terapi yang berpusat pada
pribadi (Sharf, 2008). Dengan demikian datang Revolusi Rogerian dalam konseling dan istilah-
istilah seperti penerimaan tanpa syarat, keselarasan, empati, dan keaslian (Gladding, 2009). Esensi
dari apa yang dilakukan Rogers adalah kreatif. Dia menyadari bahwa ketika seorang konselor
mendengarkan, merefleksikan, dan sepenuhnya menerima orang apa adanya, orang-orang ini
diberdayakan untuk menjadi diri sendiri secara lebih penuh. Karyanya, terutama penekanannya
pada hubungan, adalah fondasi di mana banyak pendekatan konseling sekarang dibangun.
Pendekatannya ketika digunakan membutuhkan keterlibatan dan respons baru dan praktis-kreatif-
kepada konseli.
Di ranah kognitif-perilaku, ada Albert Ellis. Ellis kreatif dalam menyadari bahwa bagaimana
orang berpikir membuat perbedaan yang signifikan terhadap perasaan dan perilaku mereka. Oleh
karena itu, Ellis mengembangkan proses terapeutik di mana orang dapat belajar berpikir dan
bertindak secara berbeda. Dia menciptakan serangan rasa malu, latihan debat, dan bahkan lagu
humor yang rasional serta alat lain untuk membantu individu berpikir lebih rasional dan
berperilaku lebih baik (Ellis, 2004). Kecerdikan dan semangat kreatifnya membuat teori Ellis tetap
berada di garis terdepan dalam intervensi terapeutik, bahkan ketika ia merupakan seseorang yang
kadang-kadang dihindari karena sifatnya yang keras dan rewel.
Implementasi konseling impact mengandung empat karakteristik yaitu: (1) multisensori, (2)
motivasional, (3) marketing, dan (4) maps. Adapun penjelasan lebih lanjut dari keempat
karakteristik yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Karakteristik multisensori merujuk pada pemanfaatan dimensi verbal, visual, dan kinestetik
dalam proses konseling. Multisensori berkaitan dengan upaya mengkonkretkan ide-ide
abstrak secara visual, penggunaan konseling eksperiensial, serta penerapan aspek kinestetik
dalam konseling.
b) Karakteristik motivasional merujuk pada kemampuan konselor memotivasi konseli untuk
berubah melewati tahap-tahap perubahan yang mencakup tahap prekontemplasi,
kontemplasi, persiapan (preparation), tindakan (action), pemeliharaan (maintenance), dan
terminasi (termination).
c) Karakteristik marketing berkaitan dengan upaya konselor untuk membuat sesi konseling
menjadi lebih menarik dan efektif sehingga konseli merasakan manfaat nyata selama sesi
konseling serta bersedia melakukan perubahan yang perlu dilakukan.
d) Karakteristik maps merujuk pada tahap atau peta jalan yang perlu dilalui konselor selama
sesi konseling, yaitu: Rapport (R), Contract (C), Focus (F), Funnel (F), dan Closing (C)
yang disingkat dan lebih dikenal sebagai konsep RCFF-C.
3) Tujuan dan Proses Konseling
a) Tujuan Konseling
Impact therapy bertujuan membuat konseli berpikir untuk diri mereka sendiri sehingga
meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian alih-alih ketergantungan yang kadang-kadang
ditemukan dalam jenis terapi lain. Impact therapy bertujuan untuk membuat konseli
menjadi aktif, berpikir, dan melihat pengalaman selama sesi berlangsung.

b) Peran dan Fungsi Konselor


(1) Peran dan Fungsi Konselor dalam Seting Konseling Individu
Impact therapy merupakan pendekatan directive, di mana konselor menjadi lebih aktif dalam
proses konseling. Dalam terapi ini, terapis selalu berusaha untuk mencapai inti masalah dengan
memotong detail yang tidak perlu, cerita yang tidak relevan, dan diskusi yang tidak fokus.
Terapis melihat tujuan dari setiap sesi terapi sebagai menciptakan perubahan atau
menggerakkan proses untuk perubahan. Dalam terapi ini membebaskan konselor untuk menjadi
kreatif selama sesi dan dapat mencapai lebih banyak sesi dalam satu waktu karena tipe
konseling yang singkat. Konselor melibatkan konseli dalam setiap kemungkinan dan dengan
berbagai cara di setiap sesi dengan menggunakan dan mengkombinasikan teknik konseling
yang ada. Konselor harus benar-benar membuat konseling menjadi jelas dan konkrit. Konselor
bertanggung jawab terutama untuk proses konseling tetapi tidak bertanggung jawab untuk
hasilnya. Konselor harus mampu membuat suasana konseling menjadi menyenangkan dan tidak
membosankan.

(2) Peran dan Fungsi Konselor dalam seting Konseling Kelompok


Dalam situasi kelompok, konselor dapat menggunakan berbagai model impact therapy dan
diperbolehkan untuk menggunakan kepribadian dan kreativitas diri untuk membuat kelompok
menyenangkan dan bermanfaat.

c) Tahapan Konseling
Proses terapeutik dalam konseling impact berupaya membuat sesi konseling menjadi lebih
efektif, aktif, dan singkat. Terdapat empat tahap yang perlu dilewati dalam proses konseling
impact berdasarkan karakteristik map, yaknik konsep RCFF-C. Empat tahap berdasarkan
konsep RCFF-C yang dimaksud dijelaskan sebagai berikut.
1) Fase Rapport (R) menunjukkan fase membangun hubungan yang genuine dan saling percaya
antara konselor dan konseli.
2) Fase Contract (C) merujuk pada persetujuan baik secara implisit ataupun eksplisit antara
konselor dan konseli dalam menetapkan tujuan sesi konseling.
3) Fase Focus (F) merujuk pada tahapan yang bertujuan membantu konseli untuk fokus pada
suatu topik atau isu tertentu selama sesi konseling. Saat masuk sesi konseling, terkadang
konseli menceritakan berbagai permasalahan yang dialaminya. Sesi konseling akan tidak
efektif apabila terlalu banyak permasalahan yang berusaha dipecahkan dalam satu waktu.
Oleh karena itu konselor perlu membantu konseli untuk memutuskan permasalahan apa yang
hendak ia selesaikan terlebih dahulu.
4) Fase Funnel (F) merujuk pada tahap mendiskusikan sebuah isu dengan cara tertentu sampai
tercapai tingkat pemahaman (insight) baru yang lebih dalam.
5) Fase Closing (C) merupakan fase di mana konseli merangkum apa yang telah dipelajari dan
membicarakan bagaimana konseli akan menggunakan informasi yang diperolehnya setelah
sesi konseling berakhir.

Proses perkembangan dan kemajuan pemahaman konseli selama sesi konseling merupakan
hal yang penting dalam konseling impact. Cara yang konkret untuk mengukur kemajuan dalam
proses konseling yaitu dengan menggunakan Depth Chart (Jacobs, 1994). Depth Chart
merupakan sebuah skala 10-1 yang berfungsi sebagai alat untuk mengevaluasi kedalaman sesi
konseling. Skala 10 menggambarkan isu yang diangkat oleh konseli berada pada tingkat
permukaan yang tidak menunjukkan masalah yang sesungguhnya. Sesi konseling dianggap
berhasil apabila konselor dapat melakukan funneling sehinga konseli dapat mencapai tingkat
kedalaman 7 atau kurang yang semakin menunjukkan masalah yang sesungguhnya dan dapat
membawa kepada pemahaman/wawasan (insight) baru.

d) Teknik Konseling
Teknik konseling kreatif diterapkan dalam pendekatan konseling seperti Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT), Transactional Analysis (TA), Reality Therapy, dan Gestalt
Therapy. Beberapa jenis teknik konseling kreatif yang dapat digunakan dalam tahap focus dan
funnel (Jacobs, 1992) seperti:
(1) Menggunakan props/ perangkat kreatif. Contoh props yang dapat digunakan dalam
konseling seperti suara/rekaman, kartu, mata uang, piala, sumbu, membalik koin, kursi,
pita karet, gelas stereoform, botol, kaset tape yang sudah tidak terpakai, kartu remi, perisai,
dan saringan tungku). Contoh pengaplikasian props dalam pendekatan konseling rational
emotive behavior pada tahap mendebat (disputing) terhadap keyakinan irasional melalui
alat-alat (Jacobs, 1992, 1994), seperti:
(a) Suara/rekaman
Tujuan dari kegiatan ini adalah membangkitkan pikiran dan perasaan rasional dan
irasional yang tersembunyi di dalam diri masing-masing konseli. Dengan
mendengarkan suara atau rekaman verbalisasi diri baik yang negatif dan positif, maka
konseli akan belajar mengidentifikasi dan menyadari pikiran dan perasaan yang
mereka miliki terkait respon terhadap sebuah peristiwa. Adapun prosedur
pelaksanaannya adalah:
1. Pada sesi pertama konseling, konselor meminta konseli untuk menyampaikan respon
dirinya dengan cara mengungkapkan pernyataan diri atau verbalisasi diri negatif
terkait peristiwa problematik yang dihadapinya.
2. Tahap kedua, konseli mulai mengidentifikasi setiap verbalisasi diri negatif dengan
cara menuliskan di kertas dan mengucapkan serta direkam dalam alat perekam (tape
recorder).
3. Tahap ketiga, konselor meminta konseli untuk mendengarkan hasil rekaman
verbalisasi diri tersebut sambil menghayati masing-masing verbalisasi atau
pernyataan tersebut.
4. Tahap keempat, konselor dan konseli bersama-sama belajar mencermati kembali
mana verbalisasi diri negatif yang rasional dan irasional. Selain itu, konselor
mengajarkan corak-corak keyakinan irasional apa yang melatar-belakangi verbalisasi
diri yang ada pada diri konseli.
5. Tahap kelima, konselor mengajak konseli untuk membuat rekaman verbalisasi diri
yang lebih rasional dan mengajak mereka untuk mendengarkannya kembali. Dengan
demikian konseli mulai menyadari dan memunculkan perasaan-perasaan yang lebih
adaptif
(b) Kartu
Jangan menangani sendiri. Engkau bisa mendapatkan bantuan yang lebih baik
dengan bantuan konselor. (Kalimat Irasional: Saya tidak bisa berubah...ini adalah cara
saya. Orang tua saya membuatku begini, aku tidak bisa berubah).
(c) Mata uang
Tidakkah engkau melihat sisi keberhargaanmu? (Kalimat irrasional: Karena dia
melakukan “ini” padaku, maka aku tidak berharga).
(d) Mangkuk sterofoam
Digunakan untuk membantu merepresentasikan harga diri seseorang. Mangkuk
sterofoam yang diisi dengan handphone, I-pad, atau kunci mobil dapat
merepresentasikan keadaan konseli yang membangun harga dirinya hanya berdasarkan
kepemilikan benda-benda.
(2) Menggunakan kursi, memiliki beberapa tujuan yaitu:
(a) Membantu konseli melakukan refleksi terhadap keadaanya saat ini, menghayati ego-
state (biasanya keadaan NOT OK child atau Critical Parent), menghayati dan membawa
pengalaman di masa lalu atau ekspektasi terhadap masa depan ke keadaan sekarang
(here and now experience), memberikan saluran bagi konseli untuk mengatakan luapan
emosi yang terpendam, atau menjadi wahana untuk berlatih mengungkapkan pikiran dan
perasaan kepada orang lain.
(b)Merepresentasikan dua atau lebih pilihan yang harus dipilih konseli. Konseli diajak
untuk menimbang sisi positif dan negatif dari beberapa pilihan keputusan sambil
menduduki setiap kursi dan merasakan pengalaman dari dampak keputusan yang ia
pilih.
(c) Merepresentasikan tujuan realisitis yang ingin dicapai konseli. Konselor kemudian
meletakkan lembaran kertas yang merepresentasikan rencana dan langkah-langkah
tindakan yang perlu dilakukan konseli untuk mencapai tujuan. Lembaran-lembaran
kertas tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator yang membantu konseli untuk
mengevaluasi secara akurat apakah ia semakin dekat, semakin jauh, atau tidak beranjak
dalam mencapai tujuannya.
(d)Menggunakan gambar, kursi besar, dan kursi kecil/anak dalam sesi konseling dengan
memanfaatkan teori Transactional Analysis (TA). Melalui pendekatan ini konselor
membantu konseli untuk memahami konflik dengan orang lain.
(3) Menggunakan gerakan (movement)
Teknik konseling kreatif yang menggunakan gerakan mensyaratkan konseli untuk
melakukan suatu hal yang bersifat fisikal, karena konseli diminta bergerak. Gerakan yang
dapat dilakukan seperti berdiri dan menggerakkan anggota tubuh untuk peregangan
ataupun kegiatan yang kompleks. Dengan bergerak, konseli memiliki kesempatan untuk
lebih mengalami sesuatu daripada hanya mendiskusikan kepada konselor.
(4) Menggunakan tulisan dan gambar
Konselor perlu mengkombinasikan berbagai macam cara untuk membantu konseli
menyelesaikan masalahnya. Konselor dapat memberi ruang kepada konseli yang sukar
menceritakan masalahnya melalui tulisan maupun gambar. Contoh aktivitas menulis dalam
konseling misalnya menulis pengalaman hidup, menulis pertanyaan, menulis esai, menulis
reaksi konseli, atau menandai dengan tanda cek hal-hal seputar permasalahan yang dibahas.
Selain itu, konseling yang menggunakan gambar dapat memberikan kesempatan katarsis,
membantu konseli memahami emosi yang dialami, menghasilkan ide atau respon-respon
baru dan meningkatkan konsentrasi/ fokus guna menyelesaikan masalahnya.
(5) Menggunakan analogi dan fantasi
Konselor kreatif menggunakan analogi dan fantasi untuk mengembangkan pikiran
konseli, memberdayakan imajinasi dan memberikan gambaran visual bagi konseli. Fantasi
membantu konseli menjadi lebih sadar tentang perasaan, harapan, keraguan dan
kekhawatiran konseli.

C. Penutup
1. Rangkuman
Pendekatan konseling singkat berfokus pada solusi (Solution-Focused Brief Counseling)
merupakan suatu pendekatan konseling yang dikembangkan oleh dipelopori oleh Insoo Kim
Berg dan Steve DeShazer. Konseling singkat berfokus pada solusi (Solution-Focused Brief
Counseling) mempunyai asumsi bahwa manusia itu sehat, mampu (kompeten), memiliki
kapasitas untuk membangun, merancang ataupun mengkonstruksikan solusi-solusi, sehingga
individu tersebut tidak terus-menerus berkutat dalam problem-problema yang sedang ia hadapi.
Tahapan konseling SFBC dimulai dari (1) pembinaan hubungan kolaboratif antara konselor dan
konseli, (2) mengidentifikasi masalah yang memungkinkan adanya solusi, (3) menetapkan
tujuan konseling secara spesifik, (4) menyusun alternatif solusi dengan melihat kondisi
pengecualian dan tindakan masa depan, dan (5) evaluasi, tindak lanjut serta pemberian motivasi
(compliment). Teknik SFBC yang dilakukan konselor dalam mengajak konseli melihat solusi
antara lain menggunakan pertanyaan pengecualian (exception question), pertanyaan keajaiban
(miracle question), pertanyaan berskala (scalling question), pertanyaan pra perubahan sebelum
pertemuan (Pre-session change question).
Konseling naratif berawal dari paradigma epistemologi konstruksionisme social yang
dikembangkan tahun 1980-an oleh Michael White dan David Epston. Individu dianggap mampu
membangun makna hidup dalam cerita interpretatif (naratif), yang kemudian diyakini oleh
individu tersebut sebagai sebuah kebenaran. Dalam konseling naratif, manusia dipandang
memiliki kemampuan berpikir kreatif dan imajinatif. Setiap manusia adalah ahli atas hidup dan
kisah hidup yang mereka alami. Individu diasumsikan memiliki masalah ketika individu tersebut
tidak dapat mengeksplorasi ke dalam diri mereka sendiri. Individu yang selalu di bayang-
bayangi oleh keinginan atau harapan, aspirasi ketakutan dan luka emosional. Tujuan dari
konseling naratif adalah membantu konseli memahami kisah atau cerita yang telah membentuk
kehidupannya dan konseli diberikan keterampilan untuk menentang atau mengeksplanasi cerita
tersebut. Tahapan konseling naratif meliputi (1) membangun hubungan baik; (2) berkolaborasi
dengan konseli membuat kesepakatan bersama untuk menyelesaikan permasalahan; (3)
mengeksplorasi masalah dan strategi penyelesaiannya; (4) melakukan asesmen dan
mengidentifikasi bagaimana masalah tersebut mengganggu konseli; (5) menetapkan tujuan dan
menemukan saat-saat ketika konseli tidak didominasi atau berkecil hati oleh masalah dengan
mencari pengecualian untuk masalah ini; (6) menemukan bukti historis untuk mendukung
pandangan baru konseli sebagai orang yang cukup kompeten untuk menantang, mengalahkan,
atau keluar dari dominasi atau tekanan masalah; (7) meminta konseli berspekulasi mengenai
harapan masa depan berdasarkan kekuatannya serta membebaskan konseli menceritakan
masalah masa lalunya yang menjenuhkan agar dapat membayangkan dan merencanakan untuk
masa depan; (8) menciptakan dukungan untuk memahami dan mendukung cerita baru; (9)
mengevaluasi perubahan pada diri konseli; (10) mengakhiri kegiatan konseling. Teknik
konseling naratif antara lain (1) pertanyaan dan pertanyaan lagi; (2) eksternalisasi dan
dekonstruksi; (3) mencari hasil unik; (4) cerita alternatif dan penulisan ulang; serta (5)
mendokumentasikan bukti.
Pendekatan konseling kreatif atau dikenal juga dengan impact counseling. Pendekatan
ini memiliki empat teori konseling umum yang merujuk pada teori Rational Emotive Behavior
Therapy (REBT), Transactional Analysis (TA), Reality Therapy, dan Gestalt Therapy. Konselor
menggabungkan REBT dengan alat peraga kreatif, gambar, analogi, demikianpun dalam terapi
Gestalt bisa dengan cara yang sangat berbeda dari cara teori ini diajarkan secara tradisional.
Impact therapy adalah pendekatan multi-indera yang mengakui bahwa perubahan atau dampak
tidak hanya berasal dari pertukaran verbal, tetapi juga visual dan kinestetik. Konseling kreatif
(impact counseling) bertujuan mengajak konseli berpikir guna meningkatkan kepercayaan diri
dan kemandirian serta membuat konseli menjadi aktif, berpikir, dan melihat pengalaman selama
sesi konseling berlangsung. Dalam konseling ini, konselor selalu berusaha untuk mencapai inti
masalah dengan memotong detail yang tidak perlu, cerita yang tidak relevan, dan diskusi yang
tidak fokus. Secara umum tahapan konseling meliputi lima tahap yaitu diakronimkan dengan
RCFF-C yaitu Rapport, Contract, Focus, Funnel and Closing. Kelima tahapan tersebut secara
sistematik memberikan harapan agar proses konseling lebih efektif, efektif dan ringkas.

Daftar Pustaka
Beaulieu, D. (2003). Beyond just words: Multisensory interventions can heighten therapy's impact.
Psychotherapy Networker Journal, 27(4), 69-77.
Bertolino, Bob., & O’ Hanlon, Bill. (2002). Collaborative, Competency-Based: Counseling and
Psychotherapy. Boston. Allyn and Bacon
Capuzzi, D., & Gross, D.R. (2011). Counseling and Psychotherapy: Theories and Interventions
(3rd edition). New Jersey: Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2013). Theory and Practice Counseling and Psychotherapy. Belmont: Brooks/Cole-
Thomson Learning.
De Shazer, S., & Dolan, Y. (2007). More Than Miracles: The State of the Art of Solution-Focused
Brief Therapy. New York: Routledge, Taylor & Francis Group
Ellis, A. (2004). Rational Emotive Behavior Therapy: It Works For Me – It Can Work For You.
Amherst, NY: Prometheus Books.
Flanagan, J.S., & Flanagan, R.S. (2004). Counseling and Psychotherapy Theories in Context and
Practice: Skills, Strategies and Techniques. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Gingerich, Wallace J and Eisengart, Sheri. (2000). Solution-Focused Brief Therapy: A Review of
Outcome Research. Family Process. 34 (4), 477-498
Gladding, S.T. (2008). The Impact of Creativity in Counseling. Journal of Creativity in Mental
Health. 3, (2).
Gladding, Samuel, T. (2009). Counseling A Comprehensive Profession: Sixth edition. New Jersey:
Pearson Education, Inc
Jacobs, E. E. (1992). Creative Counseling Techniques: An Illustrated Guide. Odessa, FL:
Psychological Assessment Resources.
Jacobs, E. E. (1994). Impact Therapy. Odessa, FL: Psychological Assessment Resources.
Nickerson, E. T., & O’Laughlin, K. S. (1982). Helping Through Action: Action Oriented
Therapies. Amherst, MA: Human Resource Development Press.
Rahmadian, A. A. (2011). Kreativitas dalam konseling. Makalah Disajikan pada Seminar
Internasional Impact Counseling. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Rogers, C. R. (1951). Client-Centered Therapy. Boston: Houghton Mifflin.
Saputra, A. (2013). Membangun Aplikasi Bioskop dan SMS untuk Panduan Skripsi. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
Selligman, Linda. (2006). Theories of Counseling and Psychotherapy (9th edition). New Jersey:
Merril Prentice Hall.
Sharf, R. S. 2008. Theories of Psychotherapy and Counseling: Concepts and Cases (4th Ed).
Belmont, CA: Wadsworth.

Sklare, Gerald, B. (2014) Brief Counseling That Works: A Solution-Focused Approach for School
Counselors and Administrators. California: Corwin Press
Prochaska, J.O., & Norcross, J.C. (2007). System of Psychotherapy: A Transtheoritical Analysis
(6th ed). CA: Brooks/Cole.
Walter, J.L., & Peller, J.E. (1992). Becoming Solution-Focused in Brief Therapy. New York:
Routledge, Taylor & Francis Inc.

Anda mungkin juga menyukai