Kode: DAR2/Profesional/810/5/2019
KEGIATAN BELAJAR 3
PENDEKATAN KONSELING POSMODERN DAN INTEGRATIF
Penulis
Edwindha Prafitra Nugraheni, S.Pd., M.Pd., Kons.
B. Inti
1. Capaian Pembelajaran
Capaian pembelajaran yang diharapkan dikuasai peserta PPG dari modul ini adalah “mampu
melaksanakan layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, melalui aktivitas layanan
individual, kelompok, klasikal dan kelas besar/lintas kelas dengan menerapkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk membangun sikap (karakter Indonesia), pengetahuan, dan
keterampilan peserta didik dalam mengembangkan potensi, mencegah, dan memecahkan masalah
serta pemeliharan dan pengembangan potensi diri secara humanis, kritis, kreatif, inovatif,
kolaboratif, dan komunikatif, dengan menggunakan model, sumber, dan media layanan bimbingan
dan konseling yang didukung hasil penelitian”. Setelah mempelajari modul ini, peserta/mahasiswa
diharapkan mampu:
a. mampu memilih dan menerapkan strategi, metode, dan teknik konseling individual dan
kelompok pendekatan konseling Singkat Berfokus Solusi
b. mampu memilih dan menerapkan strategi, metode, dan teknik konseling individual dan
kelompok pendekatan Konseling Naratif.
c. mampu memilih dan menerapkan strategi, metode, dan teknik konseling individual dan
kelompok pendekatan konseling Kreatif.
2. Pokok Materi
Dalam Modul 5 Kegiatan Belajar 3 ini akan dibahas materi terkait latar belakang, konsep
dasar, tujuan dan proses pendekatan konseling meliputi:
a. Pendekatan konseling Singkat Berfokus Solusi
b. Pendekatan konseling Naratif
c. Pendekatan konseling Kreatif
3. Uraian Materi
a.Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi
1) Latar Belakang
Konseling singkat berfokus solusi (SFBC), dipelopori oleh Insoo Kim Berg dan Steve
DeShazer. Keduanya adalah direktur eksekutif dan peneliti senior di lembaga nirlaba yang disebut
Brief Family Therapy Center (BFTC) di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat pada akhir tahun
1980-an. SFBC berbeda dengan terapi-terapi konvensional dengan menjauhkan diri dari masa lalu
menuju baik masa sekarang maupun masa depan. SFBC merupakan salah satu pendekatan
konseling Posmodern dengan mengedepankan keberdayaan konseli untuk mencari jalan keluar
atau solusi sehingga konseli akan memilih sendiri tujuan yang hendak ia capai (Corey, 2013;
Capuzzi dan Gross, 2011).
Secara umum ada perbedaan yang mendasar antara pendekatan beriorientasi pemecahan
masalah (solusi) dan pendekatan konvensional (psikoanalisis, gestalt, REBT, dan sebagainya).
Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah pendekatan ini lebih memfokuskan pembahasan
solusi dibanding membicarakan perihal penyebab masalah tersebut. Hal lain adalah hubungan
antara konselor dan konseli bersifat kolaboratif. Dengan kata lain konseli lebih dipandang sebagai
partner dan ahli atas hidupnya daripada melihat konseli sebagai orang yang “terpuruk” dan
konselor sebagai ahli yang akan memecahkan masalah konseli (Corey, 2016; Gutterman, 2014).
Sebagai kunci pembeda dari pendekatan ini dengan pendekatan-pendekatan konvensional adalah
pendekatan konseling singkat berfokus solusi melihat bahwa selalu ada pengecualian (exception)
atau kondisi dimana masalah pada individu tidak selalu datang dan terdapat peluang positif untuk
menterjadikan solusi atas masalah yang dihadapi tersebut (de Shazer, Dolan, Korman, Trepper,
McCollum, & Berg, 2007; Sklare, 2014; Gutterman, 2014).
Seperti halnya pendekatan atau teori konseling yang lain, keberadaan pendekatan SFBC juga
didasarkan pada landasan-landasan filosofis tertentu yang pada akhirnya menjadi paradigma dalam
mengembangkan model dan teori SFBC yang ada pada saat ini. Secara filosofis, pendekatan SFBC
didasari oleh suatu pandangan bahwa sejatinya kebenaran dan realitas bukanlah sesuatu yang
bersifat absolut namun realitas dan kebenaran itu dapat dikonstruksikan. Pada dasarnya semua
pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori
yang kita terapkan kepada suatu fenomena tertentu. Dengan demikian, realitas dan kebenaran yang
kita bangun (realitas yang kita konstruksikan) adalah hasil dari budaya dan bahasa kita. Apa yang
dikemukakan tersebut merupakan beberapa pandangan yang dilontarkan oleh para penganut
konstruktivisme sosial yang mengembangkan paradigmanya berdasarkan pandangan filosofis
posmodern. Dalam perspektif terapeutik, konstruktivisme sosial merupakan sebuah perspektif
terapeutik dengan suatu pandangan postmodern yang menekankan pada realitas konseli tanpa
memperdebatkan apakah hal tersebut akurat atau rasional (Weishaar, 1993 dalam Corey, 2016).
2) Konsep Dasar
a) Hakikat Manusia
Pada dasarnya, Konseling Singkat Berfokus Solusi (SFBC) didasarkan pada pandangan
yang positif dan optimistik tentang hakikat manusia (Corey, 2016; Gladding, 2009). Manusia
adalah makhluk yang sehat dan kompeten. SFBC merupakan model konseling yang
nonpatologis yang menekankan pentingnya kompetensi manusia daripada kekurangmampuan,
dan kekuatan daripada kelemahannya. Disamping itu, Manusia mampu membangun solusi yang
dapat meningkatkan kehidupannya. Manusia memiliki kemampuan menyelesaikan tantangan
dalam hidupnya. Bagaimanapun pengaruh lingkungan terhadap manusia, konselor meyakini
bahwa saat dalam layanan konseling, konseli mampu mengonstruksi (membangun) solusi
terhadap masalah yang dihadapinya. Karena itu, konseli juga mampu mengonstruksi solusi
terhadap masalah-masalah yang dihadapinya.
Menurut deShazer (dalam Corey, 2016) bahwa mengumpulkan informasi terkait masalah
konseli bukanlah sesuatu yang penting, namun yang lebih utama adalah segera berkolaborasi
bersama konseli untuk memfokuskan pada pencarian solusi-solusi yang sesuai dengan
kemampuan diri konseli. Dalam SFBC, konseli memilih tujuan-tujuan yang mereka ingin capai
dalam terapi, dan diberikan sedikit perhatian terhadap diagnosis, pembicaraan tentang sejarah,
atau eksplorasi masalah (Bertolino & O’Hanlon, 2002; Gingerich & Elisengart, 2000;
O’Hanlon & Weiner-Davis, 1989 dalam Corey, 2016).
b) Struktur Kepribadian
Dalam pelaksanaan bantuan terhadap konseli, SFBC tidak menggunakan teori kepribadian
dan psikopatologi yang berkembang saat ini. Konselor SFBC berkeyakinan bahwa kita tidak bisa
memahami secara pasti tentang penyebab masalah individu. Oleh karena itu, konselor perlu tahu
apa yang membuat orang memasuki masa depan yang lebih baik dan lebih sehat, yaitu tujuan
yang lebih baik dan lebih sehat. Individu tidak bisa mengubah masa lalu tetapi ia dapat mengubah
tujuannya. Sebagai ganti teori kepribadian dan psikopatologi, masalah dan masa lalu, SFBC
berfokus pada saat sekarang yang dipandu oleh tujuan positif yang spesifik yang dibangun
berdasarkan bahasa konseli yang berada di bawah kendalinya (Prochaska & Norcross, 2007).
d) Tahapan Konseling
Pada penerapan konseling singkat berfokus solusi, de Shazer & Yolan (2007)
mengemukakan bahwa ada beberapa prinsip-prinsip utama yang mendasari pengaplikasian
pendekatan ini dalam proses konseling. Hal tersebut meliputi seperti pada kotak 1.
2) Konsep Dasar
a) Hakikat Manusia
Dalam pandangan konseling pendekatan naratif, manusia dipandang memiliki kemampuan
berpikir kreatif dan imajinatif. Setiap manusia adalah ahli atas hidup dan kisah hidup yang
mereka alami. Individu adalah makhluk yang memiliki daya interpretatif terkait pengalaman
hidupnya. Selain itu, individu sebagai agen aktif yang mampu memperoleh makna keluar dari
dunia pengalaman mereka. Dengan demikian, proses perubahan dapat difasilitasi, tetapi tidak
diarahkan oleh terapis atau konselor (Corey, 2016).
b) Struktur Kepribadian
Struktur kepribadian menurut pendekatan ini didasarkan pada empat keyakinan dasar yaitu
antara lain sebagai berikut:
(1) Konseli sering mengidentifikasi dirinya penuh dengan masalah dan menganggap dirinya
menjadi orang yang benr-benar tersakiti. Namun sebaliknya, ketika individu mulai
menerima masalah mereka sebagai bagian yang terintegrasi dalam diri mereka, maka hal
ini bukan karakteristik yang melekat. Sebagai contoh, konseli yang menderita depresi
mengalami keadaan temporal bukanlah karakteristik kepribadian mereka. Membuat
perbedaan antara diri dan masalahnya adalah penting jika konseli harus diberdayakan untuk
reauthor narasi kehidupan mereka.
(2) Konseli adalah pakar pada kehidupan mereka, sehingga konselor atau terapis harus
bijaksana mencari keahlian mereka. Aspek humanistik konseling dan psikoterapi adalah
keyakinan bahwa konseli memiliki jawaban mereka. Konseli telah menghabiskan waktu
yang paling baik dengan diri mereka sendiri, telah mengalami totalitas kehidupan mereka,
dan merupakan sumber terbaik tentang bagaimana mereka harus datang ke tempat mereka
dalam kehidupan. Setiap intervensi yang efektif dengan konseli harus memperhitungkan
keakraban besar yang mereka miliki dengan diri dan dilema mereka.
(3) Konseli memiliki banyak keterampilan, kompetensi, dan sumber daya internal yang
menarik. Semua konseli, bahkan anak muda, memiliki keterampilan hidup tertentu yang
mereka menarik dari dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kompetensi-kompetensi yang
konseli telah digunakan untuk tiba pada titik ini dalam perjalanan hidup mereka harus
digunakan sebagai sumber bagi mereka dalam pekerjaan terapi mereka dan seterusnya.
Praktisi harus memperhatikan dan mengeksplorasi kekuatan yang jelas dalam narasi
kehidupan konseli.
(4) Terapi perubahan terjadi ketika konseli menerima peran mereka sebagai penulis hidup
mereka dan mulai untuk menciptakan sebuah narasi kehidupan yang kongruen dengan
harapan mereka, impian, dan aspirasi. Konseli memiliki banyak pilihan dalam cara mereka,
pengalaman dan melihat perjalanan hidup mereka. Memberdayakan konseli untuk
menerima tanggung jawab atas penulisan hidup mereka adalah peran konselor atau terapis.
Setelah konseli melihat pola tematik dan karakter dalam cerita kehidupan mereka, mereka
bisa membuat struktur cerita mereka terhadap tujuan yang lebih positif dan sehat.
c) Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam konsep pendekatan naratif, individu memiliki masalah ketika individu tersebut tidak
dapat mengeksplorasi ke dalam diri mereka sendiri. Individu yang selalu di bayang-bayangi
oleh keinginan atau harapan, aspirasi ketakutan dan luka emosional. Individu yang tinggal
sebagai akibat narasi pribadi penderitaan, ketakutan, atau tidak berharga. Konseling naratif
memandang masalah adalah hal yang terpisah dari orang yang mengalami masalah. Artinya
apabila seseorang memiliki masalah maka orang itu bukan orang yang bermasalah tapi orang
yang memiliki masalah. Orang yang bermasalah mengacu pada makna label bahwa orang
tersebut adalah masalah dan orang tersebut pembuat masalah.
c) Pengalaman Konseli
Konseli diajak untuk berperan aktif dalam menceritakan kisah-kisahnya sendiri. Konseli
juga diajak untuk mengimajinasikan peluang-peluang yang dapat muncul dari kisah yang ia
sampaikan agar memperkaya solusi terkait masalah tersebut. Selain itu, konseli diajak oleh
konselor untuk menciptakan makna-makna baru atau perspektif lain dalam hidup mereka
sehingga menjadi pribadi yang lebih efektif
d) Tahapan Konseling
Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh konselor naratif dalam melaksanakan konseling
adalah sebagai berikut (Corey, 2016):
(1) Membangun hubungan baik.
(2) Berkolaborasi dengan konseli dengan membuat kesepakatan secara bersama untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
(3) Memunculkan masalah yang menjadi keluhan konseli sekaligus mengeksplorasi strategi
penyelesaiannya.
(4) Melakukan asesmen dan mengidentifikasi bagaimana masalah tersebut mengganggu
konseli.
(5) Menetapkan tujuan dan menemukan saat-saat ketika konseli tidak didominasi atau
berkecil hati oleh masalah dengan mencari pengecualian untuk masalah ini.
(6) Menemukan bukti historis untuk mendukung pandangan baru dari konseli sebagai orang
yang cukup kompeten untuk menantang, mengalahkan, atau keluar dari dominasi atau
tekanan masalah. Pada tahap ini identitas orang tersebut dan kehidupan cerita mulai
mendapatkan ditulis ulang.
(7) Meminta konseli untuk berspekulasi mengenai masa depan bagaimana yang bisa
diharapkan dari kekuatan dan kompetensi seseorang. Dengan demikian, konseli menjadi
terbebas dari cerita-cerita masalah yang menjenuhkan dari masa lalu, dan ia dapat
membayangkan dan merencanakan untuk masa depan yang kurang bermasalah.
(8) Menemukan atau menciptakan dukungan untuk memahami dan mendukung cerita baru.
(9) Evaluasi terkait dengan perubahan-perubahan pada diri konseli.
(10) Pengakhiran.
e) Teknik Konseling
Konselor naratif sama dengan posisi Carl Rogers yang menekankan cara konselor yang tidak
mengikuti atau diarahkan dengan teknik-teknik. Pendekatan naratif ke dalam konseling lebih
dari penerapan keahlian; pendekatan ini berdasarkan pada karakteristik personal konselor yang
menciptakan iklim yang mendorong konseli untuk melihat kisahnya dari perspektif yang
berbeda.
(1)Pertanyaan dan Pertanyaan Lagi. Pertanyaan yang diberikan oleh konselor naratif mungkin
terkesan unik, bagian dari dialog tentang dialog sebelumnya, penemuan kejadian unik atau
eksplorasi proses kultur yang dominan dan memberikan perintah. Apapun tujuannya,
pertanyaan seringkali memiliki hubungan dengan masalah meskipun kadang tidak
berujung pangkal dan ditujukan untuk memberikan dorongan kepada konseli dalam cara
yang baru. Menurut Bateson (1972), pertanyaan itu adalah pertanyaan yang mencari
perbedaan yang akan membuat perbedaan. Bateson berpendapat bahwa kita belajar dengan
membandingkan satu fenomena dengan fenomena lainnya dan menemukan apa yang dia
sebut dengan “hal baru yang berbeda. Konselor naratif menggunakan pertanyaan sebagai
upaya untuk memunculkan pengalaman dan bukanlah mengumpulkan informasi. Tujuan
bertanya di sini adalah untuk terus menemukan atau membentuk pengalaman konseli
sehingga konselor memahami arah mana yang harus ditempuh. Pertanyaan selalu disertai
dengan perasaan menghargai, keingintahuan dan keterbukaan. Konselor bertanya dari
posisi tidak tahu yang berarti mereka tidak memberikan pertanyaan yang kiranya mereka
sudah mengetahui jawabannya.
(2)Eksternalisasi dan Dekonstruksi. Konselor naratif percaya bukan orang yang menjadi
masalah, tetapi masalah yang menjadi masalah (White, 1989). Masalah-masalah ini
seringkali merupakan produk dari dunia budaya atau hubungan kekuasaan di mana dunia
ini berada. Menjalani hidup berarti berhubungan dengan masalah, tidak menyatu dengan
mereka. Konselor naratif membantu konseli mendekonstruksi cerita-cerita bermasalah ini
dengan membongkar asumsi-asumsi yang dibuat tentang peristiwa, yang kemudian
membuka kemungkinan alternatif untuk hidup.
(3)Mencari Hasil Unik. Dalam Pendekatan Naratif, pertanyaan eksternalisasi diikuti oleh
pertanyaan yang mencari hasil unik. Konselor berbicara kepada konseli tentang saat-saat
pilihan atau kesuksesan mengenai masalah tersebut. Hal ini dilakukan dengan memilih
untuk memperhatikan setiap pengalaman yang berbeda dari kisah masalah, terlepas dari
seberapa tidak signifikannya hal itu bagi konselor
(4)Cerita Alternatif dan Penulisan Ulang. Membentuk cerita yang terjadi berulang-ulang
dalam dekonstruksi, dan konselor naratif mendengarkan bukan untuk melawan cerita.
Orang-orang dapat secara terus menerus dan aktif me-reautorisasi kehidupan mereka, dan
konselor narasi mengundang konseli untuk menulis cerita alternatif melalui "hasil unik";
peristiwa-peristiwa ini tidak dapat diprediksi dari mendengarkan cerita jenuh yang
dominan dan tidak termasuk dalam narasi tentang orang tersebut. Konselor narasi meminta
pembukaan: "Apakah Anda pernah dapat melarikan diri dari pengaruh masalah?" Terapis
mendengarkan petunjuk untuk kompetensi di tengah-tengah cerita yang bermasalah dan
membangun cerita tentang kompetensi di sekitarnya. Madigan (2011) mengemukakan
bahwa kisah hidup seseorang mungkin jauh lebih menarik daripada kisah yang diceritakan.
Dia mempertahankan tugas utama seorang konselor adalah "untuk membantu orang-orang
mengingat, mendapatkan kembali, dan menciptakan kembali kisah alternatif yang lebih
kaya, lebih tebal, dan lebih bermakna
(5)Mendokumentasikan Bukti. Konselor naratif percaya bahwa cerita baru hanya bertahan
ketika ada penonton yang menghargai dan mendukungnya. Salah satu teknik untuk
mengkonsolidasikan keuntungan konseli melibatkan konselor menulis surat kepada orang
tersebut. Konselor naratif telah mempelopori pengembangan penulisan surat terapi. Surat
yang ditulis oleh konselor memberikan catatan sesi dan dapat mencakup deskripsi
eksternalisasi masalah dan pengaruhnya terhadap konseli, serta akun tentang kekuatan dan
kemampuan konseli yang diidentifikasi dalam suatu sesi. Surat dapat dibaca lagi pada
waktu yang berbeda, dan cerita yang menjadi bagiannya dapat diinspirasikan kembali.
Surat itu menyoroti perjuangan konseli dengan masalah dan menarik perbedaan antara
cerita jenuh-masalah dan mengembangkan cerita baru dan lebih disukai (McKenzie &
Monk, 1997).
c. Pendekatan Konseling Kreatif
1) Latar Belakang
Terminologi impact counseling merujuk pada sebuah pendekatan kreatif dalam konseling
yang diperkenalkan oleh Dr. Ed Jacobs, pakar konseling kreatif dari West Virginia University.
Impact counseling sangat menekankan pada penggunaan teori-teori konseling secara kreatif.
Terdapat empat teori konseling yang umum digunakan untuk menerapkan impact counseling yaitu:
Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Transactional Analysis (TA), Reality Therapy, dan
Gestalt Therapy (Jacobs, 1992, 1994). Konselor atau terapis menggabungkan REBT dengan alat
peraga kreatif, gambar, analogi, demikianpun dalam terapi Gestalt bisa dengan cara yang sangat
berbeda dari cara teori ini diajarkan secara tradisional. Terapis dampak menggunakan status ego
dari TA dengan kursi, gambar, gerakan, dan dalam kombinasi dengan REBT dengan cara yang
jelas, konkret, dan efektif. Terapis yang sering menggunakan teori Sistem, konseling Adlerian,
terapi realitas, dan sebagian besar teori lainnya akan menemukan bahwa impact therapy
kompatibel untuk dipergunakan. Impact therapy berfungsi sebagai jembatan yang kuat antara teori
dan teknik dan memberikan cara yang jelas untuk memahami proses dan kemajuan sesi terapi.
Impact therapy meminta konseli untuk aktif, berpikir, melihat, dan mengalami selama sesi. Terapis
mencoba membantu konseli membantu diri mereka sendiri dengan membuat konseli berpikir
secara rasional tentang masalah mereka. Konseli yang menantang berbicara sendiri dan
menggunakan analogi, alat peraga, gerakan, dan kursi tambahan membantu membuat sesi menjadi
menarik dan bermanfaat. Hubungan dependen jarang terjadi dalam terapi ini karena konselor
selalu melibatkan konseli dalam berbagai cara.
Impact therapy adalah pendekatan multi-indera yang mengakui bahwa perubahan atau
dampak tidak hanya berasal dari pertukaran verbal, tetapi juga visual dan kinestetik. Ini adalah
jenis terapi singkat meskipun berbeda dari karya Watzlawick, Weakland, dan Fisch yang telah
mengembangkan sekolah terapi yang disebut "Terapi Singkat." Impact therapy adalah bentuk
terapi yang menggabungkan teknik konseling kreatif dan teori konseling tertentu. Ini memberi
konselor cara untuk membingkai proses konseling serta cara menilai kemajuan suatu sesi.
Pendekatan ini berorientasi pada tindakan dan wawasan dan seringkali berorientasi pada resolusi.
Disebut Impact therapy karena menekankan membantu konseli sebanyak mungkin dalam setiap
sesi. Penekanannya adalah membuat konseling menjadi jelas, konkret dan merangsang pemikiran,
daripada konseling yang kabur, abstrak, dan emosional.
2) Konsep Dasar
Dalam proses konseling diperlukan sebuah kreativitas yang mampu membuat konseli merasa
nyaman dengan tahapan pelaksanaan konseling, karena konseling kreatif dapat meningkatkan
efektivitas konseling (Glading, 2008). Konseling kreatif merupakan suatu pendekatan konseling
yang unik. Pendekatan kreatif dalam konseling menawarkan sebuah energi baru pada konseli
untuk dapat meningkatkan sensitivitas pada dirinya dan orang lain.
Menurut Jacobs (dalam Rahmadian, 2011) terdapat 7 kesalahan yang umum dilakukan
konselor sehingga menyebabkan sesi konseling menjadi membosankan dan tidak efektif.
Kesalahan yang dimaksud yaitu: (1) Melakukan terlalu banyak refleksi; (2) Mendengarkan terlalu
banyak cerita konseli; (3) Jarang menginterupsi konseli; (4) Tidak fokus dalam sesi konseling; (5)
Menunggu terlalu lama untuk melakukan fokus; (6) Tidak menggunakan teori konseling,
menggunakan “hope method” dalam konseling; dan (7) Jarang menggunakan alat bantu yang
kreatif serta tidak bersifat multisensori.
Kreativitas merupakan hal yang esensial dalam proses konseling, namun proses kreatif tidak
terjadi secara otomatis, konselor perlu memfasilitasi terciptanya suasana yang aman dan
mendukung sehingga konseli mampu secara kreatif mengkaji maslah, membangun perspektif
alternatif terhadap masalah, serta menghasilkan dan mengevaluasi beragam pilihan solusi masalah
(Rahmadian, 2011). Pada akhirnya konseling kreatif memberikan peluang kepada konseli untuk
membawa pemikiran dan perasaan kepada kesadaran melalui pengekspresian diri di berbagai jalan
(Saputra, 2013). Menurut Glading (dalam Rahmadian, 2011) terdapat tiga faktor yang mendorong
berkembanganya kreativitas dalam konseling, yaitu: faktor kepribadian konselor dan konseli,
faktor proses konseling, dan faktor hasil konseling. Faktor kepribadian merujuk pada kapasitas
konselor untuk bersikap terbuka dan kesediaan bermain dengan ide dan pendekatan baru, kerja
keras, serta keberanian konselor mengambil resiko yang terukur.
Jacobs (1992) menjelaskan bahwa konseling kreatif memenuhi kebutuhan konselor untuk
menggunakan pendekatan multi-aspek dalam membantu konseli. Pendekatan konseling kreatif dan
khususnya penggunaan teknik kreatif memungkinkan konselor untuk mendekati masalah dari
sudut pandang multi-indera. Konselor dapat memanfaatkan gaya belajar visual, auditori, dan
pengalaman konseli. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nickerson dan O'Laughlin (1982),
menggunakan satu pendekatan untuk konseling yang hanya melibatkan kemampuan verbal tidak
akan mencapai hasil yang optimal. Selain itu, Beaulieu (2003) memberlakukan gagasan bahwa
terapis perlu untuk melampaui kata-kata dan meminta lebih banyak indera konseli agar terlibat
dalam proses konseling. Teknik-teknik konseling kreatif membantu konseli membuat konsep lebih
konkret, membantu memfokuskan sesi pada saat ketika konseli mulai keluar jalur, dan membantu
mempercepat proses konseling bagi konselor yang memiliki waktu terbatas (Jacobs, 1992).
Contoh ilustrasi keterkaitan antara kreativitas dan konseling yang dikembangkan oleh Carl
Rogers (Rogers, 1951). Rogers adalah seorang terapis yang relatif tidak dikenal di Rochester, New
York, sampai dia mendengarkan suara di dalam dirinya dan kata-kata konselinya sehingga
membuatnya sadar bahwa meskipun psikoanalisis mungkin bekerja untuk beberapa orang, itu tidak
berhasil untuknya atau sebagian besar dari konseli yang dia coba bantu. Oleh karena itu, dari
pengalamannya dan interaksinya dengan konseli, ia mengembangkan terapi yang berpusat pada
pribadi (Sharf, 2008). Dengan demikian datang Revolusi Rogerian dalam konseling dan istilah-
istilah seperti penerimaan tanpa syarat, keselarasan, empati, dan keaslian (Gladding, 2009). Esensi
dari apa yang dilakukan Rogers adalah kreatif. Dia menyadari bahwa ketika seorang konselor
mendengarkan, merefleksikan, dan sepenuhnya menerima orang apa adanya, orang-orang ini
diberdayakan untuk menjadi diri sendiri secara lebih penuh. Karyanya, terutama penekanannya
pada hubungan, adalah fondasi di mana banyak pendekatan konseling sekarang dibangun.
Pendekatannya ketika digunakan membutuhkan keterlibatan dan respons baru dan praktis-kreatif-
kepada konseli.
Di ranah kognitif-perilaku, ada Albert Ellis. Ellis kreatif dalam menyadari bahwa bagaimana
orang berpikir membuat perbedaan yang signifikan terhadap perasaan dan perilaku mereka. Oleh
karena itu, Ellis mengembangkan proses terapeutik di mana orang dapat belajar berpikir dan
bertindak secara berbeda. Dia menciptakan serangan rasa malu, latihan debat, dan bahkan lagu
humor yang rasional serta alat lain untuk membantu individu berpikir lebih rasional dan
berperilaku lebih baik (Ellis, 2004). Kecerdikan dan semangat kreatifnya membuat teori Ellis tetap
berada di garis terdepan dalam intervensi terapeutik, bahkan ketika ia merupakan seseorang yang
kadang-kadang dihindari karena sifatnya yang keras dan rewel.
Implementasi konseling impact mengandung empat karakteristik yaitu: (1) multisensori, (2)
motivasional, (3) marketing, dan (4) maps. Adapun penjelasan lebih lanjut dari keempat
karakteristik yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Karakteristik multisensori merujuk pada pemanfaatan dimensi verbal, visual, dan kinestetik
dalam proses konseling. Multisensori berkaitan dengan upaya mengkonkretkan ide-ide
abstrak secara visual, penggunaan konseling eksperiensial, serta penerapan aspek kinestetik
dalam konseling.
b) Karakteristik motivasional merujuk pada kemampuan konselor memotivasi konseli untuk
berubah melewati tahap-tahap perubahan yang mencakup tahap prekontemplasi,
kontemplasi, persiapan (preparation), tindakan (action), pemeliharaan (maintenance), dan
terminasi (termination).
c) Karakteristik marketing berkaitan dengan upaya konselor untuk membuat sesi konseling
menjadi lebih menarik dan efektif sehingga konseli merasakan manfaat nyata selama sesi
konseling serta bersedia melakukan perubahan yang perlu dilakukan.
d) Karakteristik maps merujuk pada tahap atau peta jalan yang perlu dilalui konselor selama
sesi konseling, yaitu: Rapport (R), Contract (C), Focus (F), Funnel (F), dan Closing (C)
yang disingkat dan lebih dikenal sebagai konsep RCFF-C.
3) Tujuan dan Proses Konseling
a) Tujuan Konseling
Impact therapy bertujuan membuat konseli berpikir untuk diri mereka sendiri sehingga
meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian alih-alih ketergantungan yang kadang-kadang
ditemukan dalam jenis terapi lain. Impact therapy bertujuan untuk membuat konseli
menjadi aktif, berpikir, dan melihat pengalaman selama sesi berlangsung.
c) Tahapan Konseling
Proses terapeutik dalam konseling impact berupaya membuat sesi konseling menjadi lebih
efektif, aktif, dan singkat. Terdapat empat tahap yang perlu dilewati dalam proses konseling
impact berdasarkan karakteristik map, yaknik konsep RCFF-C. Empat tahap berdasarkan
konsep RCFF-C yang dimaksud dijelaskan sebagai berikut.
1) Fase Rapport (R) menunjukkan fase membangun hubungan yang genuine dan saling percaya
antara konselor dan konseli.
2) Fase Contract (C) merujuk pada persetujuan baik secara implisit ataupun eksplisit antara
konselor dan konseli dalam menetapkan tujuan sesi konseling.
3) Fase Focus (F) merujuk pada tahapan yang bertujuan membantu konseli untuk fokus pada
suatu topik atau isu tertentu selama sesi konseling. Saat masuk sesi konseling, terkadang
konseli menceritakan berbagai permasalahan yang dialaminya. Sesi konseling akan tidak
efektif apabila terlalu banyak permasalahan yang berusaha dipecahkan dalam satu waktu.
Oleh karena itu konselor perlu membantu konseli untuk memutuskan permasalahan apa yang
hendak ia selesaikan terlebih dahulu.
4) Fase Funnel (F) merujuk pada tahap mendiskusikan sebuah isu dengan cara tertentu sampai
tercapai tingkat pemahaman (insight) baru yang lebih dalam.
5) Fase Closing (C) merupakan fase di mana konseli merangkum apa yang telah dipelajari dan
membicarakan bagaimana konseli akan menggunakan informasi yang diperolehnya setelah
sesi konseling berakhir.
Proses perkembangan dan kemajuan pemahaman konseli selama sesi konseling merupakan
hal yang penting dalam konseling impact. Cara yang konkret untuk mengukur kemajuan dalam
proses konseling yaitu dengan menggunakan Depth Chart (Jacobs, 1994). Depth Chart
merupakan sebuah skala 10-1 yang berfungsi sebagai alat untuk mengevaluasi kedalaman sesi
konseling. Skala 10 menggambarkan isu yang diangkat oleh konseli berada pada tingkat
permukaan yang tidak menunjukkan masalah yang sesungguhnya. Sesi konseling dianggap
berhasil apabila konselor dapat melakukan funneling sehinga konseli dapat mencapai tingkat
kedalaman 7 atau kurang yang semakin menunjukkan masalah yang sesungguhnya dan dapat
membawa kepada pemahaman/wawasan (insight) baru.
d) Teknik Konseling
Teknik konseling kreatif diterapkan dalam pendekatan konseling seperti Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT), Transactional Analysis (TA), Reality Therapy, dan Gestalt
Therapy. Beberapa jenis teknik konseling kreatif yang dapat digunakan dalam tahap focus dan
funnel (Jacobs, 1992) seperti:
(1) Menggunakan props/ perangkat kreatif. Contoh props yang dapat digunakan dalam
konseling seperti suara/rekaman, kartu, mata uang, piala, sumbu, membalik koin, kursi,
pita karet, gelas stereoform, botol, kaset tape yang sudah tidak terpakai, kartu remi, perisai,
dan saringan tungku). Contoh pengaplikasian props dalam pendekatan konseling rational
emotive behavior pada tahap mendebat (disputing) terhadap keyakinan irasional melalui
alat-alat (Jacobs, 1992, 1994), seperti:
(a) Suara/rekaman
Tujuan dari kegiatan ini adalah membangkitkan pikiran dan perasaan rasional dan
irasional yang tersembunyi di dalam diri masing-masing konseli. Dengan
mendengarkan suara atau rekaman verbalisasi diri baik yang negatif dan positif, maka
konseli akan belajar mengidentifikasi dan menyadari pikiran dan perasaan yang
mereka miliki terkait respon terhadap sebuah peristiwa. Adapun prosedur
pelaksanaannya adalah:
1. Pada sesi pertama konseling, konselor meminta konseli untuk menyampaikan respon
dirinya dengan cara mengungkapkan pernyataan diri atau verbalisasi diri negatif
terkait peristiwa problematik yang dihadapinya.
2. Tahap kedua, konseli mulai mengidentifikasi setiap verbalisasi diri negatif dengan
cara menuliskan di kertas dan mengucapkan serta direkam dalam alat perekam (tape
recorder).
3. Tahap ketiga, konselor meminta konseli untuk mendengarkan hasil rekaman
verbalisasi diri tersebut sambil menghayati masing-masing verbalisasi atau
pernyataan tersebut.
4. Tahap keempat, konselor dan konseli bersama-sama belajar mencermati kembali
mana verbalisasi diri negatif yang rasional dan irasional. Selain itu, konselor
mengajarkan corak-corak keyakinan irasional apa yang melatar-belakangi verbalisasi
diri yang ada pada diri konseli.
5. Tahap kelima, konselor mengajak konseli untuk membuat rekaman verbalisasi diri
yang lebih rasional dan mengajak mereka untuk mendengarkannya kembali. Dengan
demikian konseli mulai menyadari dan memunculkan perasaan-perasaan yang lebih
adaptif
(b) Kartu
Jangan menangani sendiri. Engkau bisa mendapatkan bantuan yang lebih baik
dengan bantuan konselor. (Kalimat Irasional: Saya tidak bisa berubah...ini adalah cara
saya. Orang tua saya membuatku begini, aku tidak bisa berubah).
(c) Mata uang
Tidakkah engkau melihat sisi keberhargaanmu? (Kalimat irrasional: Karena dia
melakukan “ini” padaku, maka aku tidak berharga).
(d) Mangkuk sterofoam
Digunakan untuk membantu merepresentasikan harga diri seseorang. Mangkuk
sterofoam yang diisi dengan handphone, I-pad, atau kunci mobil dapat
merepresentasikan keadaan konseli yang membangun harga dirinya hanya berdasarkan
kepemilikan benda-benda.
(2) Menggunakan kursi, memiliki beberapa tujuan yaitu:
(a) Membantu konseli melakukan refleksi terhadap keadaanya saat ini, menghayati ego-
state (biasanya keadaan NOT OK child atau Critical Parent), menghayati dan membawa
pengalaman di masa lalu atau ekspektasi terhadap masa depan ke keadaan sekarang
(here and now experience), memberikan saluran bagi konseli untuk mengatakan luapan
emosi yang terpendam, atau menjadi wahana untuk berlatih mengungkapkan pikiran dan
perasaan kepada orang lain.
(b)Merepresentasikan dua atau lebih pilihan yang harus dipilih konseli. Konseli diajak
untuk menimbang sisi positif dan negatif dari beberapa pilihan keputusan sambil
menduduki setiap kursi dan merasakan pengalaman dari dampak keputusan yang ia
pilih.
(c) Merepresentasikan tujuan realisitis yang ingin dicapai konseli. Konselor kemudian
meletakkan lembaran kertas yang merepresentasikan rencana dan langkah-langkah
tindakan yang perlu dilakukan konseli untuk mencapai tujuan. Lembaran-lembaran
kertas tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator yang membantu konseli untuk
mengevaluasi secara akurat apakah ia semakin dekat, semakin jauh, atau tidak beranjak
dalam mencapai tujuannya.
(d)Menggunakan gambar, kursi besar, dan kursi kecil/anak dalam sesi konseling dengan
memanfaatkan teori Transactional Analysis (TA). Melalui pendekatan ini konselor
membantu konseli untuk memahami konflik dengan orang lain.
(3) Menggunakan gerakan (movement)
Teknik konseling kreatif yang menggunakan gerakan mensyaratkan konseli untuk
melakukan suatu hal yang bersifat fisikal, karena konseli diminta bergerak. Gerakan yang
dapat dilakukan seperti berdiri dan menggerakkan anggota tubuh untuk peregangan
ataupun kegiatan yang kompleks. Dengan bergerak, konseli memiliki kesempatan untuk
lebih mengalami sesuatu daripada hanya mendiskusikan kepada konselor.
(4) Menggunakan tulisan dan gambar
Konselor perlu mengkombinasikan berbagai macam cara untuk membantu konseli
menyelesaikan masalahnya. Konselor dapat memberi ruang kepada konseli yang sukar
menceritakan masalahnya melalui tulisan maupun gambar. Contoh aktivitas menulis dalam
konseling misalnya menulis pengalaman hidup, menulis pertanyaan, menulis esai, menulis
reaksi konseli, atau menandai dengan tanda cek hal-hal seputar permasalahan yang dibahas.
Selain itu, konseling yang menggunakan gambar dapat memberikan kesempatan katarsis,
membantu konseli memahami emosi yang dialami, menghasilkan ide atau respon-respon
baru dan meningkatkan konsentrasi/ fokus guna menyelesaikan masalahnya.
(5) Menggunakan analogi dan fantasi
Konselor kreatif menggunakan analogi dan fantasi untuk mengembangkan pikiran
konseli, memberdayakan imajinasi dan memberikan gambaran visual bagi konseli. Fantasi
membantu konseli menjadi lebih sadar tentang perasaan, harapan, keraguan dan
kekhawatiran konseli.
C. Penutup
1. Rangkuman
Pendekatan konseling singkat berfokus pada solusi (Solution-Focused Brief Counseling)
merupakan suatu pendekatan konseling yang dikembangkan oleh dipelopori oleh Insoo Kim
Berg dan Steve DeShazer. Konseling singkat berfokus pada solusi (Solution-Focused Brief
Counseling) mempunyai asumsi bahwa manusia itu sehat, mampu (kompeten), memiliki
kapasitas untuk membangun, merancang ataupun mengkonstruksikan solusi-solusi, sehingga
individu tersebut tidak terus-menerus berkutat dalam problem-problema yang sedang ia hadapi.
Tahapan konseling SFBC dimulai dari (1) pembinaan hubungan kolaboratif antara konselor dan
konseli, (2) mengidentifikasi masalah yang memungkinkan adanya solusi, (3) menetapkan
tujuan konseling secara spesifik, (4) menyusun alternatif solusi dengan melihat kondisi
pengecualian dan tindakan masa depan, dan (5) evaluasi, tindak lanjut serta pemberian motivasi
(compliment). Teknik SFBC yang dilakukan konselor dalam mengajak konseli melihat solusi
antara lain menggunakan pertanyaan pengecualian (exception question), pertanyaan keajaiban
(miracle question), pertanyaan berskala (scalling question), pertanyaan pra perubahan sebelum
pertemuan (Pre-session change question).
Konseling naratif berawal dari paradigma epistemologi konstruksionisme social yang
dikembangkan tahun 1980-an oleh Michael White dan David Epston. Individu dianggap mampu
membangun makna hidup dalam cerita interpretatif (naratif), yang kemudian diyakini oleh
individu tersebut sebagai sebuah kebenaran. Dalam konseling naratif, manusia dipandang
memiliki kemampuan berpikir kreatif dan imajinatif. Setiap manusia adalah ahli atas hidup dan
kisah hidup yang mereka alami. Individu diasumsikan memiliki masalah ketika individu tersebut
tidak dapat mengeksplorasi ke dalam diri mereka sendiri. Individu yang selalu di bayang-
bayangi oleh keinginan atau harapan, aspirasi ketakutan dan luka emosional. Tujuan dari
konseling naratif adalah membantu konseli memahami kisah atau cerita yang telah membentuk
kehidupannya dan konseli diberikan keterampilan untuk menentang atau mengeksplanasi cerita
tersebut. Tahapan konseling naratif meliputi (1) membangun hubungan baik; (2) berkolaborasi
dengan konseli membuat kesepakatan bersama untuk menyelesaikan permasalahan; (3)
mengeksplorasi masalah dan strategi penyelesaiannya; (4) melakukan asesmen dan
mengidentifikasi bagaimana masalah tersebut mengganggu konseli; (5) menetapkan tujuan dan
menemukan saat-saat ketika konseli tidak didominasi atau berkecil hati oleh masalah dengan
mencari pengecualian untuk masalah ini; (6) menemukan bukti historis untuk mendukung
pandangan baru konseli sebagai orang yang cukup kompeten untuk menantang, mengalahkan,
atau keluar dari dominasi atau tekanan masalah; (7) meminta konseli berspekulasi mengenai
harapan masa depan berdasarkan kekuatannya serta membebaskan konseli menceritakan
masalah masa lalunya yang menjenuhkan agar dapat membayangkan dan merencanakan untuk
masa depan; (8) menciptakan dukungan untuk memahami dan mendukung cerita baru; (9)
mengevaluasi perubahan pada diri konseli; (10) mengakhiri kegiatan konseling. Teknik
konseling naratif antara lain (1) pertanyaan dan pertanyaan lagi; (2) eksternalisasi dan
dekonstruksi; (3) mencari hasil unik; (4) cerita alternatif dan penulisan ulang; serta (5)
mendokumentasikan bukti.
Pendekatan konseling kreatif atau dikenal juga dengan impact counseling. Pendekatan
ini memiliki empat teori konseling umum yang merujuk pada teori Rational Emotive Behavior
Therapy (REBT), Transactional Analysis (TA), Reality Therapy, dan Gestalt Therapy. Konselor
menggabungkan REBT dengan alat peraga kreatif, gambar, analogi, demikianpun dalam terapi
Gestalt bisa dengan cara yang sangat berbeda dari cara teori ini diajarkan secara tradisional.
Impact therapy adalah pendekatan multi-indera yang mengakui bahwa perubahan atau dampak
tidak hanya berasal dari pertukaran verbal, tetapi juga visual dan kinestetik. Konseling kreatif
(impact counseling) bertujuan mengajak konseli berpikir guna meningkatkan kepercayaan diri
dan kemandirian serta membuat konseli menjadi aktif, berpikir, dan melihat pengalaman selama
sesi konseling berlangsung. Dalam konseling ini, konselor selalu berusaha untuk mencapai inti
masalah dengan memotong detail yang tidak perlu, cerita yang tidak relevan, dan diskusi yang
tidak fokus. Secara umum tahapan konseling meliputi lima tahap yaitu diakronimkan dengan
RCFF-C yaitu Rapport, Contract, Focus, Funnel and Closing. Kelima tahapan tersebut secara
sistematik memberikan harapan agar proses konseling lebih efektif, efektif dan ringkas.
Daftar Pustaka
Beaulieu, D. (2003). Beyond just words: Multisensory interventions can heighten therapy's impact.
Psychotherapy Networker Journal, 27(4), 69-77.
Bertolino, Bob., & O’ Hanlon, Bill. (2002). Collaborative, Competency-Based: Counseling and
Psychotherapy. Boston. Allyn and Bacon
Capuzzi, D., & Gross, D.R. (2011). Counseling and Psychotherapy: Theories and Interventions
(3rd edition). New Jersey: Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2013). Theory and Practice Counseling and Psychotherapy. Belmont: Brooks/Cole-
Thomson Learning.
De Shazer, S., & Dolan, Y. (2007). More Than Miracles: The State of the Art of Solution-Focused
Brief Therapy. New York: Routledge, Taylor & Francis Group
Ellis, A. (2004). Rational Emotive Behavior Therapy: It Works For Me – It Can Work For You.
Amherst, NY: Prometheus Books.
Flanagan, J.S., & Flanagan, R.S. (2004). Counseling and Psychotherapy Theories in Context and
Practice: Skills, Strategies and Techniques. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Gingerich, Wallace J and Eisengart, Sheri. (2000). Solution-Focused Brief Therapy: A Review of
Outcome Research. Family Process. 34 (4), 477-498
Gladding, S.T. (2008). The Impact of Creativity in Counseling. Journal of Creativity in Mental
Health. 3, (2).
Gladding, Samuel, T. (2009). Counseling A Comprehensive Profession: Sixth edition. New Jersey:
Pearson Education, Inc
Jacobs, E. E. (1992). Creative Counseling Techniques: An Illustrated Guide. Odessa, FL:
Psychological Assessment Resources.
Jacobs, E. E. (1994). Impact Therapy. Odessa, FL: Psychological Assessment Resources.
Nickerson, E. T., & O’Laughlin, K. S. (1982). Helping Through Action: Action Oriented
Therapies. Amherst, MA: Human Resource Development Press.
Rahmadian, A. A. (2011). Kreativitas dalam konseling. Makalah Disajikan pada Seminar
Internasional Impact Counseling. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Rogers, C. R. (1951). Client-Centered Therapy. Boston: Houghton Mifflin.
Saputra, A. (2013). Membangun Aplikasi Bioskop dan SMS untuk Panduan Skripsi. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
Selligman, Linda. (2006). Theories of Counseling and Psychotherapy (9th edition). New Jersey:
Merril Prentice Hall.
Sharf, R. S. 2008. Theories of Psychotherapy and Counseling: Concepts and Cases (4th Ed).
Belmont, CA: Wadsworth.
Sklare, Gerald, B. (2014) Brief Counseling That Works: A Solution-Focused Approach for School
Counselors and Administrators. California: Corwin Press
Prochaska, J.O., & Norcross, J.C. (2007). System of Psychotherapy: A Transtheoritical Analysis
(6th ed). CA: Brooks/Cole.
Walter, J.L., & Peller, J.E. (1992). Becoming Solution-Focused in Brief Therapy. New York:
Routledge, Taylor & Francis Inc.