Anda di halaman 1dari 97

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

Kajian teori berfungsi menjelaskan keterkaitan antara satu gejala dengan

gejala-gejala lain yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

Berdasarkan pembatasan masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, dan tujuan

penelitian yang telah dipaparkan pada bagian pendahuluan, selanjutnya dijelaskan

gambaran umum dan kedudukan tentang konsep yang digunakan dalam konseling

person centered dalam keragaman budaya di SMA Negeri 3 Surakarta.

Pada bab II ini akan dikemukakan kajian teoretik untuk memperoleh

pengetahuan berkenaan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan konseling person

centered dalam keragaman budaya konseli, serta gambaran kebaragaman budaya

SMA Negeri 3 Surakarta. Sedangkan pengetahuan berkenaan dengan pelaksanaan

layanan konseling person centered dalam keragaman budaya dan pola

kecenderungan pelaksanaan layanan konseling person centered dalam keragaman

budaya di SMA Negeri 3 Surakarta akan dikemukakan pada bab IV setelah

diperoleh data empiris.

Pembahasan dalam Bab II ini meliputi penyajian konsep teori konseling

person centered, model konseling person centered dalam keragaman budaya, dan

prinsip-prinsip konseling person centered dalam keragaman budaya konseli.

17
1. Teori Konseling Person Centered

a. Pengertian dan Sejarah Perkembangan

Konseling person centered- untuk pembahasan selanjutnya akan

disingkat KPC- adalah suatu model konseling yang dikembangkan oleh

Carl Ransom Rogers - sering disebut Carl Rogers - dan para pengikutnya

(disebut Rogerian) (Cormier, 2008) dan oleh karena itu model ini juga

sering disebut sebagai Konseling Rogerian. Dalam literatur konseling dan

psikoterapi (Corey, 2009; Sharf, 2012) KPC dikelompokkan ke dalam

pendekatan afektif-humanistik karena menekankan pada aspek

afektif/emosi individu memiliki pandangan positif tentang sifat dasar

manusia (Darminto,E.2007; Jones,R.N.2011). Tujuan dari pendekatan

konseling ini adalah membantu individu atau kelompok untuk

mengembangkan atau meningkatkan perasaan berharga atau menjadi

lebih menghargai dirinya (feelings of self-worth), menurunkan

ketidakselarasan atau ketidaksesuaian (incongruence) antara diri yang

dicita-citakan (self ideal) dengan diri yang dialami (real self), dan

membantu individu agar menjadi orang yang lebih dapat memberdayakan

seluruh potensi dirinya secara optimal (become more fully functioning)

(Rogers & Rogers, 2012).

KPC pada dasarnya merupakan model konseling generasi ketiga

yang dikembangkan oleh Rogers dan para pengikutnya (Cormier, Nurius,

& Osborn, 2009; Sharf, 2012). Model konseling generasi pertama yang

dikembangan Rogers dikenal dengan nama “Konseling Tidak

18
Mengarahkan” (nondirective counseling) yang dikembangkan pada

sekitar tahun 1942. Model konseling ini mengarahkan peran konselor

yang cenderung pasif, dalam arti bahwa konselor hanya mendorong

konseli untuk membuka dirinya (menceriterakan kesulitan yang

dialaminya), mendengarkan dengan aktif, dan kemudian merefleksikan

apa yang dikomunikasikan oleh konseli. Model konseling generasi kedua

adalah ‘Konseling Berpusat pada Konseli (client-centered counseling)

yang merupakan perbaikan dari model konseling generasi pertama.

Dalam model ini konselor tidak hanya merefleksikan pesan-pesan yang

dikomunikasikan oleh konseli tetapi juga emosi atau perasaan-perasaan

implisit yang menyertai pesan konseli agar konseli menjadi lebih

mengaktualisasikan dirinya dan menjadi pribadi yang berfungsi penuh

(fully functioning person). Konselor juga mendorong konseli untuk

mengambil tanggung jawab yang lebih besar – bahkan sepenuhnya –

pada konseli untuk memecahkan kesulitannya atau mengarahkan dirinya

sendiri (Corey, 2009). Model inilah yang kemudian mendasari

munculnya konsep keterampilan empati (Cormier, Nurius, & Osborn,

2009).

Dalam KPC konseling ditafsirkan (construed) sebagai suatu

hubungan kemitraan (partnership) aktif antara dua pribadi, yakni pribadi

konselor dan pribadi konseli (Cormier, Nurius, & Osborn, 2009). Model

ini menekankan pada perkembangan - Rogers menyebut perkembangan

dengan istilah pertumbuhan (growth) - pribadi konseli dengan cara

19
mengalami dirinya sendiri dan mengalami orang lain dalam hubungan.

Model ini juga menekankan perlunya konselor harus bekerja keras

memahami aspek-aspek pribadi konseli dan kemudian menerima dan

menghargainya sebagai pribadi yang unik, di samping menampilkan

pribadi konselor sendiri secara utuh dan otentik (Corey, 2009). Konselor

perlu melibatkan aspek-aspek pribadinya sendiri dalam proses hubungan

mengimplikasikan bahwa konselor tidak hanya menerima dan

menghargai tindakan-tindakan konseli yang tidak sesuai dengan

harapannya, tetapi juga harus mengakui jika dalam proses konseling

konseli mengalami emosi-emosi negatif, seperti kecewa, marah, tidak

sabar, dan secara fisik merasa kecapekan. Namun demikian, meskipun

konselor mengakui bahwa konselor mengalami emosi negatif, itu tidak

berarti bahwa konselor boleh meninggalkan konselinya. Kesediaannya

untuk menolong konseli harus tulus dan sungguh-sungguh (otentik)

sepanjang konseli masih menginginkannya.

Ketika Rogers megembangkan model konseling generasi pertama,

konseling tidak mengarahkan (non directive counseling), praktik

konseling pada saat itu didominasi oleh pendekatan psikoanalisa dan

perilaku. Rogers merasa tidak puas dengan model konseling yang sudah

ada terebut karena menurutnya kurang memadai (Corey, 2009; Sharf,

2012; Thorne, 2003). Rogers (Sharf, 2012) memandang model konseling

psikoanalisa dan perilaku merupakan sistem perlakuan yang kurang

ilmiah karena terlalu memposisikan konselor sebagai seorang pakar,

20
yakni menempatkan konselor sebagai ahli, dalam arti bahwa konselor

menjadi orang yang paling tahu tentang masalah konseli dan dapat

mengarahkan konseli pada apa yang seharusnya dilakukan oleh konseli.

Selain itu Rogers juga tidak setuju dengan paradigma psikoanalisa yang

sangat menekankan pada metode diagnostik dan interpretasi. Rogers

memandang metode-metode psikoanalisa dan perilaku tidak dapat

mendorong pertumbuhan yang optimal pada konseli.

Meskipun model konseling yang dikembangkan oleh Rogers telah

mengalami evolusi dan perubahan, secara fundamental ketiganya tetap

didasarkan pada asumsi yang sama, yakni bahwa setiap individu

memiliki dorongan yang inheren untuk mengaktualisasi diri (Cormier,

Nurius, & Osborn, 2009). Kecenderungan ini dapat direalisasikan bila

individu memperoleh kondisi-kondisi – baik di dalam maupun diluar

konteks konseling – yang dapat memfasilitasi kecenderungan tersebut.

Dalam konteks KCP, pertumbuhan konseli berkaitan dengan tiga kondisi

inti atau kondisi fasilitatif hubungan dalam derajad yang tinggi, yakni:

empati (pemahaman yang akurat), kesungguhan (genuinenenss) atau

kongruensi (congruence), dan penghargaan positif tanpa syarat

(unconditional positive regard) atau respek (respect). Dalam tulisannya,

Rogers (Cormier, Nurius, & Osborn, 2009) menegaskan bahwa empati,

ketulusan, dan penghargaan positif merupakan seperangkat keterampilan

di samping sikap konselor. Jika kondisi-kondisi tersebut absen atau

tidak dialami oleh konseli di dalam hubungan konseling atau dalam

21
situasi kehidupan sehari-hari, maka konseli dapat gagal mencapai

pertumbuhan dan bahkan menjadi lebih memburuk. Kondisi-kondisi

tersebut tidak hanya menuntut dikomunikasikan oleh konselor kepada

konseli tetapi juga harus dipersepsi oleh konseli dengan cara yang sama.

Cormier, Nurius, & Osborn (2009) mengemukakan hasil penelitian dari

Paulson, Truscott, & Stuart (1999) yang membutikan bahwa banyak

konseli melaporkan bahwa kondisi-kondisi tersebut merupakan

pengalaman yang sangat membantu bagi diri mereka dalam proses

konseling secara keseluruhan. Ketiga kondisi tersebut tidak dialami oleh

konseli secara terpisah namun saling berkaitan satu sama lain.

Keyakinaan Rogers yang begitu kuat terhadap entitas manusia yang

memiliki sifat sifat positif dan konstruktif didasarkan pada pengalaman

parakteknya dalam bidang klinis (psikoterapi) selama beberapa tahun.

Menurut Rogers, semua konseli (individu yang dibantu), tanpa

memperhatikan masalah yang sedang dialaminya, dapat berkembang

secara baik tanpa diajar keterampilan khusus oleh konselor, jika mereka

mampu menerima dan menghargai diri mereka sendiri (Rogers & Rogers,

2012). Seperti dikemukakan oleh Rogers (1986; dalam Rogers & Rogers,

2012), bahwa di dalam diri individu terdapat sumber-sumber (potensi)

untuk memahami diri, mengubah konsep diri, sikap, dan perilakunya –

dan bahwa potensi tersebut dapat diberdayakan hanya jika individu

memperoleh sikap atau iklim psikologis yang fasilitatif dari

lingkungannya.

22
Menurut Cormier, Nurius, & Osborn (2009) banyak ahli yang

belakangan ini mengusulkan suatu model konseling yang

mengintegrasikan KPC dengan strategi kognitif perilaku atau model-

model lain yang telah memperoleh dukungan empirik. Dalam model ini

konselor mengkomunikasikan tiga kondisi fasilitatif sambil menerapkan

berbagai macam teknik atau strategi konseling. Seperti dikemukakan oleh

Tursi & Cohran (2006) bahwa tugas-tugas kognitif-perilaku dapat terjadi

secara alami (natural) di dalam KPC dan pengetahuan tentang teori dan

strategi konseling-perilaku dapat meningkatkan empati konselor. Model

integrasi yang diusulkan pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan

respek terhadap pandangan konvergensi untuk mendukung keefektifan

penerapan kondisi inti untuk mencapai hasil (tujuan) konseling, di

samping memberikan kebebasan pada konselor untuk melakukan banyak

tindakan guna memenuhi keragaman kebutuhan atau keinginan konseli.

Pada prinsipnya, para ahli yang mengusulkan pendekatan integrasi ini

memiliki pandangan bahwa penggabungan antara hubungan/penerapan

kondisi inti konseling dan strategi/teknik konseling akan lebih

mengefektian pencapaian tujuan konseling.

b. Konsep Teoretik

Teori KPC dikembangan oleh Rogers berdasarkan pada pada teori

kepribadian yang Rogers kembangkan sebelumnya ditambah dengan

pengalamannya dalam praktik klinis. Berikut adalah beberapa konsep

psikologis yang dikemukakan oleh Rogers dalam teori kepribadian

23
dikembangkan dan kemudian digunakan sebagai kerangka kerja

konseptual dalam merumuskan teori konseling.

1) Aktualisasi Diri

Rogers memiliki pandangan yang lebih humanis (manusiawi)

dibandingkan para ahli dari teori psikoanalisa dan perilaku. Menurut

Rogers (Corey, 2012) individu bukanlah ciptaan yang telah tertentukan

oleh bawaan (deterministik) seperti yang diyakini oleh para psikoanalis,

ataupun sebagai makhluk yang patuh pada pengaruh lingkungan seperti

diyakini oleh para ahli perilaku (behavioris). Sebaliknya, Rogers

memiliki keyakinan bahwa setiap individu memiliki potensi positif dan

kecakapan yang bersifat inheren untuk mengarahkan dirinya sendiri

untuk bertindak secara positif dan konstruktif (Corey, 2009; Cormier,

Nurius, & Osborn, 2009; Sharf, 2012). Namun potensi ini seringkali

tidak dapat direalisasikan (diwujudkan) karena individu berada pada

suatu lingkungan yang tidak mendukung atau memfasiltasi realisasi

potensi tersebut.

Secara lebih rinci, Rogers (Corey, 2009; Sharf, 2012) menegaskan

bahwa setiap individu pada dasarnya bisa dipercaya (trustworthy),

memiliki banyak potensi (resourceful), mampu memahami diri (capable

of self-understanding) dan mengarahkan diri (self-direction). Individu

juga mampu membuat perubahan yang konstruktif dan memiliki

kesanggupan untuk menjadi individu yang efektif dan produktif dalam

hidup. Lalu apa yang menyebabkan individu menampilkan perilaku

24
menyimpang dan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan

dengan tuntutan masyarakat? Menurut Rogers (Corey, 2009) berbagai

bentuk tindakan negatif dan destruktif, seperti agresif, bukan berakar

pada sifat inheren dalam diri individu, melainkan suatu bentuk dari

sikap pembelaan diri (mekanisme pertahanan diri) yang mendorong

(mengeluarkan) individu dari sifat inherennya. Jika sikap pembelaan ini

dikurangi, maka individu akan menjadi lebih terbuka terhadap semua

pengalamannya, dapat dipercaya, dan dapat bertindak secara adaptif

(konstruktif) sesuai dengan tuntutan lingkungannya.

Rogers juga memiliki keyakinan bahwa sejak kelahirannya

individu membawa kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri

(actualizing tendency), yakni suatu kecenderungan untuk untuk

mengembangkan semua potensi atau kemampuan yang dimiliki guna

memelihara dan meningkatkan kualitas diri (Corey, 2009; Sharf, 2012).

Kecenderungan ini merupakan kemampuan yang inheren di dalam diri

individu dan menjadi sumber (kekuatan) bagi individu untuk menangani

setiap kesulitan dan mencapai pertumbuhan yang positif, dan

memungkinkan individu untuk membentuk perilaku yang lebih adaptif

(menjauhkan diri dari perilaku yang tidak sesuai dengan harapan

lingkungan). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sejak lahir individu

telah membawa potensi untuk menjadi manusia sehat karena ia

memiliki kesanggupan untuk menangani berbagai bentuk kesulitan

dalam kehidupannya. Secara kasar kecenderungan ini dapat digambarkan

25
sebagai upaya yang inheren di dalam diri setiap manusia untuk mencapai

pertumbuhan, kesehatan, penyesuaian, sosialisasi, realisasi diri, dan

otonomi secara optimal. Kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri

ini diyakini sebagai motif tunggal yang bersifat bawaan dan inheren

dalam diri setiap individu dan menggerakkan individu untuk berjuang

merawat diri dan merealisasikan semua potensi yang dimiliki individu

secara konstruktif. Rogers (Corey, 2009) menggunakan istilah fully

functioning person untuk menggambarkan individu yang dapat

mengaktualisasikan diri, yakni individu yang dapat menggunakan semua

potensi yang dimilikinya secara optimal.

Kecenderungan mengaktualisasikan diri memiliki dua aspek,

biologis dan psikologis (Rykman, 2008). Aspek biologis berisikan

dorongan-dorongan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup yang

mendasar yakni kebutuhan akan air, udara, dan makanan. Sedangkan

aspek psikologis meliputi perkembangan potensi yang membuat individu

menjadi individu yang lebih bernilai.

Pandangan positif tentang sifat dasar manusia ini perlu diterapkan

oleh konselor dalam hubungan konseling. Dalam hal ini Rogers

menekankan bahwa hubungan konseling menjadi esensial dalam

mempengaruhi keberhasilan konseling. Seperti dikemukakannya

(Corey, 2009), dalam hubungan konseling konselor harus menampilkan

perilaku humanis, sebab hubungan konseling seharusnya merupakan

suatu proses bantuan yang bersifat humanis atau menekankan prinsip-

26
prinsip humanisme. Humanisme adalah suatu sikap atau cara berpikir

yang menempatkan individu lain sebagai makhluk yang memiliki

potensi positif dan perlu dihargai. Corey (2009) mengutip konsep

humanisme dari Barton (1992). yang menyatakan bahwa humanisme

adalah “... a style of thought or attitude which make human central,

important, valuable, crucial, pivotal, wonderful, powerful – even

miraculous”. Jadi konselor yang humanis adalah mereka yang memiliki

gaya berpikir dan bertindak yang menempatkan konseli sebagai individu

yang perlu dijadikan pusat perhatian (didengarkan) , berharga, sangat

penting, hebat, berkemampuan – bahkan ajaib. Dalam proses konseling

konselor harus menerima dan menghargai hak-hak pribadi konseli serta

aset yang dibawa konseli ke dalam proses konseling. Konseli akan

mungkin membuat perubahan positif jika konselor mampu untuk

mengalami dan mengkomunikasikan realitas (realness), dukungan

(support), kasih sayang/perawatan (caring), dan pengertian yang tulus.

Berbagai bentuk karakteristik humanis tersebut dirangkumkan

Rogers ke dalam tiga atribut sikap konselor yang dapat membentuk

iklim hubungan yang dapat mendorong pertumbuhan konseli, yakni: (1)

pemahaman yang empatik dan akurat (acurate emphatic understanding)

yang mengimplikasikan bahwa konselor mampu untuk menangkap

secara akurat dunia subyektif konseli; (2) kongruen (congruence) yang

di dalamnya mengimplikasikan atau mengandung kesungguhan atau

ketulusan untuk menolong/membantu (genuinenness); dan (3)

27
penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard), yang

mengimplikasikan bahwa konselor harus menerima dan menghargai

keunikan konseli tanpa menerapakan suatu penilaian terhadap perilaku

konseli (Corey, 2009; Cormier, Nurius, & Osborn, 2009; Rogers &

Rogers, 2012; Sharf, 2012).

2) Persepsi Subyektif

Pendekatan humanistik yang digunakan oleh Rogers didasarkan

pada teori fenomenologis, yakni menekankan pada persepsi subyektif

individu terhadap realitas atau peristiwa yang dialaminya. Menurut

pandangan fenomenologis, realitas bukanlah perwujudannya secara

obyektif tentang sesuatu atau peristiwa tetapi apa yang dipersepsi oleh

individu secara subyektif. Dengan kata lain realitas itu ada di dalam

dunia pengalaman subyektif atau pengalaman pribadi individu (Corey,

2009; Cormier, Nurius, & Osborn, 2009; Sharf, 2012). Pandangan

fenomenologis juga menekankan bahwa setiap individu akan bertindak

sesuai dengan persepsinya. Pandangan ini menegaskan bahwa apa yang

dilakukan oleh individu ketika merespon suatu situasi lingkungan

sekitarnya selalu konsisten dengan persepsinya terhadap situasi yang

sedang dihadapi. Persepsi ini bersifat subyektif dalam arti bahwa apa

yang dipersepsi oleh individu sesuai dengan kerangka acuan (keranga

berpikir) yang dipegangnya sendiri dan tidak didasarkan pada realitas

obyektif. Oleh karena sifatnya yang subyektif tersebut maka cara

individu merespon suatu situasi mungkin bisa berbeda dengan orang

28
lain. Jadi, dua individu yang menghadapi peristiwa yang sama dapat

membentuk persepsi yang berbeda dan kemudian mengalaminya secara

berbeda pula. Apakah suatu peristiwa itu dialami sebagai suatu yang

menyenangkan atau menyakitkan tergantung pada cara bagaimana

individu mempersepsi.

Implikasi dari pandangan fenomenologis dalam praktik konseling

adalah bahwa konselor perlu memahami permasalahan konseli sesuai

dengan persepsi subyektif konseli atau kerangka acuan internal konseli.

Konselor tidak menerapkan suatu penilaian tertentu berkenaan dengan

apa yang dialami oleh konseli. Konselor harus mengembangkan suatu

hubungan yang bersifat humanis dengan cara menerima dan menghargai

apapun bentuk persepsi konseli terhadap suatu peristiwa dan bagaimana

konseli mengalaminya, bahkan meskipun persepsi tersebut bias atau

tidak sesuai dengan realitas obyektifnya dan konseli mengalaminya

dengan cara yang berlebihan. Untuk memahami apa sejatinya realitas

subyektif dalam kerangka fenomenologis dapat disimak pada apa yang

dikemukakan oleh Schultz & Schultz (2002) berikut,

The notion that perception is subjective is an old one and not


unique to Rogers. This idea, called phenomenology, argues that the
only reality of which we can be sure is our own subjective world of
experience, our inner perception of reality. The phenomenological
approach within philosophy refers to an unbiased description of
our conscious perception of the world, just as it occurs, without
any attempt on our part at interpretation or analysis. In Rogers’s
view, the most important point about our world of experience is
that it is private and thus can only be known completely to each of
us.

29
Pandangan fenomenologis Rogers berakar pada keyakinannya

bahwa individu memaknai realitas tidak secara obyektif namun

berdasarkan pengalaman-pengalaman dan persepsinya sendiri (disebut

persepsi subyektif). Jadi, realitas suatu peristiwa atau pengalaman

bersifat subyektif (sesuai dengan persepsi individu) dan bukan obyektif.

Rogers (Sharf, 2012; Thorne, 2003) memiliki keyakinan bahwa realitas

subyektif lebih penting daripada realitas obyektif dalam mempengaruhi

perilaku. Oleh karena itu, cara paling baik memahami perilaku individu

adalah dengan mengetahui persepsi subyektif individu terhadap dirinya,

peristiwa yang dialaminya, dan lingkungan tempat individu tumbuh dan

berkembang. Implikasinya adalah, bila konselor ingin berhasil dalam

membantu konseli, konselor dapat memahami dunia subyektif konseli

atau cara bagaimana konseli mempersepsi situasi atau peristiwa-

peristiwa yang dialaminya. Konselor berhasil membantu konseli bila

konselor bisa membuat konseli menjadi orang yang lebih terbuka

terhadap pengalaman (open to the xperiences) tanpa mendistorsi atau

mengingkarinya. Meskipun Rogers meyakini pentingnya dunia subyektif

konseli dalam mempengaruhi perilaku, Rogers mengakui adanya

keterbatasan untuk memeriksa pengalaman subjektif individu (Cornelius

et al., 2013). Oleh karena itu Rogers menginginkan formulasi

teoretiknya bisa diverifikasi melalui penelitian ilmiah. Pandangan

fenomenologis Rogers berisikan beberapa konsep atau konstruk

psikologis yang digunakan untuk menggambarkan perkembangan

30
perilaku individu, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan aplikasinya

dalam teori konseling atau psikoterapi.

3) Penghargaan Positif dan Harga Diri

Meskipun setiap individu memiliki kecenderungan untuk

mengaktualisasikan dirinya, tidak semua individu dapat mewujudkannya

secara berhasil. Keberhasilan individu dalam mengaktualisasikan

dirinya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang mendukung realisasi

kecenderungan tersebut yang berupa penghargaan positif tanpa syarat

(unconditional positive regard) dari orang-orang di sekitarnya (Corey,

2009; Sharf, 2012). Kebutuhan akan penghargaan positif ini meningkat

mengikuti perkembangan usia. Pemenuhan kebutuhan ini dipengaruhi

oleh interaksi individu dengan orang-orang baik di sekitar individu.

Artinya, individu dapat memperoleh penghargaan positif jika individu

sering berinteraksi dengan orang lain yang dapat memberikan

penghargaan positif.

Pemenuhan terhadap kebutuhan akan penghargaan diri seringkali

tidak obyektif namun lebih didasarkan pada persepsi subyektif individu

terhadap realitas internal maupun eksternal (Sharf, 2012). Oleh karena

itu, penting orang-orang di sekitar kehidupan individu untuk

memperlihatkan perlakuan yang sedemikian rupa kepada individu agar

mereka mempersepsi bahwa orang-orang di sekitarnya dapat menerima

dan menghargainya tanpa menerapkan penilaian tertentu. Jika individu

mempersepsi bahwa individu tidak diterima atau dihargai (ditolak) maka

31
individu mengalami hambatan untuk mengaktualisasikan dirinya. Agar

dapat mengaktualisasikan diri, individu harus mempersepsi bahwa

orang-orang di sekitarnya dapat menerima kehadiran/keberadaannya,

memperhatikannya, menghargai pendapatnya, mencintai dan

menyayanginya, merawatnya. Oleh karena itu, jika individu (konseli)

tidak menerima atau mengalami penghargaan positif dari orang tuanya di

rumah atau dari teman-temannya, sangat penting bagi konselor di

sekolah untuk memuaskan kebutuhan tersebut.

Menurut Rogers (Sharf, 2012) persepsi individu terhadap

penghargaan positif yang diterimanya dari orang lain memiliki dampak

langsung pada perkebangan harga dirinya (self regard). Jika individu

mempersepsi bahwa orang-orang di sekitarnya (orang tua, guru, teman)

menerima dan menghargai dirinya, maka individu akan mengembangkan

suatu perasaan positif/berharga tentang dirinya (a sense of self-worth)

atau harga diri positif (self-regrad). Demikian pula individu yang

mempersepsi bahwa dirinya diakui, diterima, atau dihargai oleh orang-

orang di sekitarnya akan mengalami suatu derajad fungsi psikologis

secara optimal dan kondisi ini menyebabkan individu lebih mungkin

mengembangkan keprbadian yang sehat, menampilkan perilaku yang

adaptif, dapat mengaktualisasikan diri secara optimal.

4) Kondisi Pertumbuhan

Meskipun penghargaan positif dari lingkungan merupakan kondisi

penting dan mencukupi untuk mendorong pertumbuhan (perkembangan)

32
individu dan memfasilitasi perjuangan untuk mencapai aktualisasi diri,

hal itu tidak dapat diperoleh oleh setiap individu dengan mudah.

Menurut Rogers (Corey, 2009; Sharf, 2012) beberapa individu berada

dalam suatu lingkungan yang memberikan penghargaan bersyarat, yang

dikonseptualisasikannya sebagai suatu bentuk kondisi pertumbuhan

(condition of growth). Kondisi pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu

proses mengevaluasi pengalaman pribadi berdasarkan pada keyakinan

atau penilaian orang lain. Kondisi ini dapat membatasi atau

menghambat perkembangan individu, meyebabkan individu mengalami

ketidaselarasan (incongruence) antara pengalaman pribadi tentang diri

dan interaksinya dengan orang lain. Ketidakselarasan ini berpotensi

merusak konsep diri dan menyebabkan gangguan prilaku. Dalam

perspektif fenomenologis Rogers, konsep diri merupakan aspek penting

yang mempengaruhi perkembangan kepribadian.

Kondisi penghargaan mengimplikasikan bahwa untuk memperoleh

penghargaan positif, individu harus memenuhi persyaratan atau kondisi-

kondisi tertentu. Untuk memperoleh penghargaan positif kondisional

tersebut, individu harus memenuhi apa yang diinginkan oleh orang lain

dan mengabaikan kepentingan atau pengalaman pribadinya (Corey,

2009). Jadi, individu mungkin terpaksa harus mengabaikan nilai atau

keyakinannya sendiri dan melakukan apa yang diperintahkan oleh orang

lain agar individu mendapatkan perhatian atau cinta kasih dari orang

tuanya. Ketika individu mengalami beberapa kondisi penghargaan, maka

33
individu dapat kehilangan sentuhan terhadap dirinya sendiri, bahkan bisa

merasa asing dengan diri sendiri. Dengan kata lain individu mengalami

ketidakselarasan dalam dirinya. Munculnya perasaan cemas dapat

menjadi salah satu indikator bahwa individu mengalami

ketidakselarasan.

Untuk menangani beberapa kondisi penghargaan yang diterapkan

oleh lingkungan, individu mengembangkan suatu mekanisme pertahanan

diri dalam bentuk pembiasan/distorsi (distortion) dan pengingkaran

(denial) (Corey, 2009; Sharf, 2012). Individu dapat mendistorsikan atau

mengingkari realitas atau pengalamannya. Individu yang menggunakan

mekanisme pertahaan diri mengimplikasikan bahwa individu tidak

terbuka atau tidak mau menerima pengalamannya. Individu membiaskan

atau mengingkarinya. Mekanisme pertahanan diri ini digunakan untuk

melindungi ego atau konsep diri. Sebagai contoh, konseli yang

mendapatkan nilai rendah dalam suatu ujian, menyatakan bahwa konseli

memang tidak baik dalam mengerjakan soal ujian karena kebetulan

konseli telah mempelajari bahan yang salah (pembiasan), atau

mengatakan karena gurunya tidak adil atau jahat (menyangkal).

Penggunaan mekanisme pertahanan diri, di samping menyebabkan

individu menjadi kurang atau tidak akurat dalam mempersepsi

lingkungan, juga menyebabkannya individu mengalami gangguan

psikologis. Sebab, dalam konsep fenomenologis, orang yang sehat

adalah orang yang terbuka atau mau menerima semua pengalamannya.

34
Rogers (Sharf, 2012) juga mengemukakan beberapa bentuk lain dari

mekanisme pertahanan diri, yakni: rasionalisasi, fantasi, proyeksi, dan

pemikiran paranoid. Rasionalisasi merupakan mekanisme yang paling

umum. Misalnya konselor sekolah yang memandang dirinya sebagai

“pembimbing yang kompeten” namun yang konseli alami adalah bahwa

“banyak konseli menghindar ketika konselor mau memberikan

bimbingan.” Kemudian ia membuat rasionalisasi, “Anak-anak yang

menghindari saya adalah mereka yang merasa dirinya tidak memiliki

masalah.” Dalam kasus ini terdapat konflik antara pandangan diri dan

pengalaman.

5) Pribadi yang sehat

Rogers (Corey, 2009; Sharf, 2012) menggambarkan individu yang

sehat atau individu yang memiliki pribadi sehat adalah mereka yang

dapat mengaktualisasikan dirinya. Rogers (Corey, 2009; Rykman; 2008;

Sharf, 2012) menyebut individu yang dapat mengaktualisasikan diri

adalah mereka yang dapat memberdayakan atau mewujudkan semua

potensinya secara optimal, dan menjadi pribadi yang berfungsi penuh

(fully functioning person). Individu yang dapat mengaktualisasikan diri

dan menjadi pribadi sepenuhnya inilah yang menjadi gambaran orang

sehat. Rogers (Corey, 2009; Rykman, 2008; Sharf, 2012)

menggambarkan beberapa ciri individu yang mengaktualisasikan diri,

diantaranya adalah:

35
Terbuka terhadap pengalaman. Individu yang mengaktualisasikan

diri adalah mereka yang tidak defensif - menggunakan mekanisme

pertahanan diri untuk membiaskan atau mengingkari pengalaman.

Individu dapat menerima (terbuka) terhadap semua bentuk perasaan

yang dialaminya – takut, benci, marah, kecewa, gelisah, bergairah – dan

dapat menyadari dan menerima semua pengalamannya, baik yang

menyenangkan maupun tidak menyenangkan.

Menampilkan hidup eksistensial. Individu yang

mengaktualisasikan diri dapat mengalami semua pengalaman dalam

situasi sekarang, memiliki makna dan tujuan hidup, yakni memiliki

arahan yang jelas dalam kehidupannya dan selalu berusaha untuk

melakuan hal-hal yang bermakna baik bagi dirinya sendiri maupun orang

lain.

Mampu mempercayai dirinya. Individu yanng mengaktualisasikan

diri dapat mempercai kemampuan dirinya, yakni memiliki keyakinan

bahwa dirinya memiliki kecakapan dan hal-hal positif yang

dikomunikasikan oleh orang lain.

Rogers (Sharf, 2012) juga mencirikan individu yang terbuka

terhadap pengalaman. Menurutnya, individu yang terbuka terhadap

pengalaman cenderung kreatif dan bertanggung jawab. Keterbukaan

terhadap pengalaman memungkinkan individu dapat menangani situasi-

situasi pada masa lampau dan situasi pada saat ini (situasi baru) secara

kreatif. Melalui kemampuan adaptif ini, individu akan mengalami suatu

36
kebebasan untuk membuat keputusan dan menjadi orang yang

bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri. Sebagai bagian dari

pribadi yang berfungsi penuh, individu mampu menyadari dan

memenuhi tanggung jawab sosial dan kebutuhan akan hubungan yang

benar-benar kongruen (otentik) dengan orang lain. Individu yang terbuka

terhadap pengalaman tidak hanya menyadari kebutuhannya sendiri tetapi

juga peka terhadap kebutuhan orang lain.

Dari apa yang dikemukakan tersebut dapat dipahami bahwa

individu yang tidak dapat mengaktualisasikan dirinya, atau tak dapat

menangani hambatan-hambatan untuk mengaktualisasikan dirinya, dan

menjadi individu yang tak terbuka terhadap pengalaman, berpotensi

menjadi individu atau mengembangkan kepribadian yang tidak sehat.

Sebagaimana dikemukakan Rogers (Corey, 2009; Sharf, 2012) individu

akan mengembangkan pribadi tidak sehat jika individu mendapatkan

hambatan dalam perjuangannya untuk mengaktualisasikan dirinya, atau

jika individu tidak terbuka terhadap pengalaman ketika terjadi

kesenjangan yang lebar antara pengalaman pribadi dan pandangan diri.

Dalam ajaran tentang konsep diri atau self, Rogers menyebut

pengalaman pribadi sebagai diri nyata (actual self) dan pandangan diri

sebagai diri ideal (self-ideal) (Corey, 2009; Sharf, 2012). Semakin besar

atau lebar ketidak selarasan antara pengalaman individu dengan konsep

dirinya, menyebabkan individu semakin tidak bisa mengontrol

perilakunya. Adanya konflik yang terjadi secara terus-menerus antara

37
pengalaman dan pandangan terhadap diri dapat menyebabkan individu

mengalami gangguan psikologis, dan semakin lebar jarak antara

pengalaman dan pandangan diri menyebabkan individu mengalami

psikosa. Dalam hal ini Rogers mengklasifikasikan gangguan perilaku

dalam suatu kontinum tingkat keakutannya (severity) sesuai kekuatan

distorsi.

c. Praktik Konseling Person Centered

Meskipun konseling dapat dipraktekkan oleh konselor secara

berbeda sesuai dengan orientasi teoretik yang digunakan, terdapat

elemen-elemen yang sama dari semua teori, yakni: asesmen, tujuan,

proses, dan teknik. Berikut ini akan dikemukakan asesmen, tujuan,

proses, dan teknik dalam KPC.

1) Asesmen

Kegiatan asesmen dalam konseling dilakukan untuk

mengumpulkan informasi yang komprehensif dan akurat berkenaan

dengan permasalahan konseli, untuk menentapkan konfigurasi dan

hipotesis permaslaahan konseli, dan mengembangkan rencana bantuan.

Asesmen pada dasarnya identik dengan kegiatan diagnosa dalam bidang

klinis. Meskipun terdapat ketidaksetujuan di kalangan para konselor

KPC terhadap penggunaan psikodiagnosis dalam konseling, banyak

penulis KPC yang meyakini bahwa psikodiagnosis tidak diperlukan

(Bohart, 2003; dalam Sharf, 2012). Psikodiagnosis dipandang sebagai

hal yang tidak konsisten dengan spirit memahami konseli secara

38
mendalam dan humanis. Namun, psikodiagnosis dipandang perlu jika

terdapat suatu kebutuhan untuk mengases kemungkinan adanya

gangguan fungsi fisiologis yang berpengaruh pada fungsi psikologis.

Bagi kebanyakan konselor KPC, asesmen dipandang sebagai bagian dari

pemahaman empatik konselor terhadap pengalaman dan kebutuhan

konseli. Meskipun asesmen untuk tujuan diagnostik kurang atau tidak

memiliki peran dalam KPC, dalam beberapa kasus penggunaan tes

dalam konseling dipandang tepat, khususnya ketika konseli memintanya

dalam kasus konseling karier (Bohart, 2003; dalam Sharf, 2012).

2) Tujuan Konseling

Berdasarkan teori yang dikembangkannya Rogers memiliki

keyakinan bahwa tujuan umum dari proses konseling adalah membantu

individu menjadi orang yang kongruen dan mau menerima dirinya

(bersedia menerima semua pengalamannya). Tujuan umum dari KPC

adalah membantu konseli agar dapat mengaktualisasikan dirinya secara

optimal dan menjadi pribadi yang berfungsi penuh. Tujuan umum ini

dapat dielaborasi ke dalam beberapa domain yang menggambarkan

karakteristik orang yang dapat mengaktualisasikan diri sebagaimana

telah dikemukakan, yakni membantu konseli agar: (1) menjadi orang

yang lebih terbuka terhadap semua realitas yang dialaminya tanpa ada

upaya untuk membelokkan atau mengingkarinya, (2) menjadi orang

yang otonom dan lebih percaya pada dirinya sendiri, (3) memiliki

sumber-sumber evaluasi internal untuk menilai realitas, dan (4) bersedia

39
membuat perubahan diri secara terus-menerus untuk mencapai

perkembangan yang optimal.

Sedangkan tujuan khusus dapat berupa pemecahan masalah

yang dihadapi oleh konseli sehingga konseli mampu mencapai

aktualisasi diri dan membantu konseli mencapai apa yang diinginkan.

Tujuan ini ditetapkan sendiri oleh konseli dan bukan oleh konselor. Jika

konseli tak mampu merumuskan tujuannya sendiri, konselor perlu

membantunya sehingga konseli mampu membuat pilihan sendiri (self-

directed) dan tidak membiarkan konseli untuk meminta atau

mempersilahkan konselor untuk menetapakan tujuan tersebut. Dengan

menjadi orang yang lebih mampu mengarahkan dirinya sendiri, konseli

menjadi lebih realistis dalam mempersepsi pengalaman, lebih baik dalam

memecahkan masalah, dan berkembang menjadi orang yang kurang

defensif. Jadi, konselor tidak dibenarkan bila konselor memilihkan

tujuan konseling untuk konselinya. Tujuan khusus ini bisa dikaitan

dengan permasalahan khusus apa yang sedang dihadapi oleh konseli dan

menyebabkannya mengalami hambatan dalam mengaktualisasikan diri

atau merealisikan potensinya. Misalnya menangani rasa malu,

meningkatkan harga diri, mengembangkan konsep diri positif.

3) Proses Konseling

Secara umum, proses konseling di sekolah perlu diawali oleh

kegiatan identifikasi kasus, yakni mengenali konseli yang

mengindikasikan mengalami hambatan dan membutuhkan bantuan.

40
Setelah kegiatan identikasi adalah asesmen, yakni kegiatan

mengumpulkan informasi secara komprehensif dan mendalam guna

menetapkan konfigurasi dan hipotesis permasalahan konseli. Setelah

hipotesis dikembangkan, langkah selanjutnya adalah menetapkan tujuan

konseling yang kemudian diikuti dengan pemilihan dan implementasikan

pendekatan dan teknik bantuan. Langkah terakhir adalah evaluasi.

Disamping mengikuti langkah-langkah umum tersebut, para konelor

KPC perlu memperhatikan hal-hal krusial dalam proses KPC berkenaan

dengan kondisi konseli dan bagaiamana konseli harus diperlakukan.

Proses konseling KPC didasarkan pada empat kondisi yang

harus ada dalam suatu proses konseling KPC, yakni: (1) konselor

membentuk kontak psikologis dengan konseli; (2) konseli berada dalam

kondisi mengalami masalah; (3) konselor harus mengkomunikasikan

empati, kongruensi, dan penghargaan positif tanpa syarat; dan (4)

konseli mempersepsi perilaku konselor (Corey, 2009; Sharf, 2012.)

Keempat dimensi kondisi pertumbuhan tersebut merupakan kondisi-

kondisi yang penting dan mencukupi bagi terjadinya perubahan perilaku

konseli.

Kontak psikologis. Antara konselor dan konseli harus terlibat

dalam suatu kontak psikologis. Kondisi ini mengimplikasikan bahwa

antara konseli dan konselor harus ada dalam suatu hubungan psikologis.

Lebih spesifik, kontak psikologis diidentifikasi sebagai suatu bentuk

present atau attending konselor. Artinya, dalam hubungan tersebut

41
konselor tidak hanya ada dalam satu ruangan bersama konseli tetapi

konselor melibatkan dirinya secara penuh untuk konseli kapanpun

konseli membutuhkan dan menggunakan semua kemampuannya secara

otentik (sungguh-sungguh) untuk membantu konseli.

Tidak kongruen. Konseli harus mengalami suatu permasalahan

atau terganggu secara psikologis yang digambarkan sebagai mengalami

keadaan tidak kongruen (Corey, 2009) atau distres. Ketika konseli

memasuki ruang konseling yang pertama kali, konseli harus mengalami

tekanan psikologis seperti: cemas, takut, merasa tak berdaya, bimbang,

rasa bersalah, tidak percaya diri, atau ketakutan. Keadaan tidak kongruen

muncul sebagai akibat adanya konflik antara persepsi individu dan

pengalaman aktualnya. Namun demikian, seringkali individu tidak

menyadari adanya ketidakselarasan ini. Keadaan tidak kongruen ini juga

dapat diamati pada sikap individu yang tidak terbuka terhadap

pengalaman dan sering menggunakan mekanisme pertahanan diri.

Melalui hubungan konseling konselor menawarkan kepada konseli suatu

kesempatan untuk menyatakan (menceriterakan) semua tekanan perasaan

yang dialaminya yang tak sanggup untuk ditanggungnya.

Kondisi fasilitatif. Aspek penting dalam teori Rogers (Sharf,

2012) adalah sifat hubungan antara pribadi dalam proses konseling.

Dalam hubungan konseling, konselor harus memperlihatkan sikap dan

perilaku yang dapat mendorong pertumbuhan konseli. Rogers (Corey,

2009; Cormier, Nurius, & Osborn, 2009; Sharf, 2012) mengemukakan

42
tiga kondisi fasilitatif – juga disebut dengan kondisi inti (core condition)

yang diakui sebagai penting dan mencukupi bagi terjadinya perubahan

perilaku konseli (pertumbuhan), yakni: empati, kesungguhan/ketulusan,

dan penghargaan positif tanpa syarat. Ketiga sikap tersebut diakui oleh

Rogers sebagai kualitas konselor yang penting dan mencukupi

(neccessary and sufficient) untuk mendorong konseli mengalami

pertumbuhan. Berikut adalah penjelasan dari ketiga kondisi inti tersebut.

Empati. Empati menunjuk pada kemampuan memasuki dunia

orang lain tanpa dipengaruhi oleh nilai dan pandangan pribadi (Rogers,

1975; dalam Sharf, 2012). Untuk dapat menguasai kemampuan ini

konselor harus mampu memahami dunia perseptual pribadi (persepsi

subyektif) konseli. Konselor yang empatik harus peka terhadap semua

pesan konseli baik verbal maupun non verbal, terutama perubahan-

perubahan yang ekspresi non verbal yang menyertai pesan verbal selama

interaksi. Dapat dikatakan bahwa empati mengimplikasikan suatu

pengertian konselor terhadap kerangka acuan internal konseli atau

mampu untuk merasa dan berpikir seperti konseli.

Kesungguhan. Kesungguhan (genuine) adalah sikap konselor

yang sungguh-sungguh ingin membantu konseli tanpa pamrih.

Kesungguhan mengandung ketulusan, kongruensi (konsistensi) dan

otentik (tidak palsu). Kondisi ini mencakup beberapa bentuk perilaku

seperti menyadari sepenuhnya keadaan atau reaksi tubuhnya ketika

berkomunikasi, spontan, dan terbuka. Kongruen juga menyatakan

43
kemampuan konselor untuk menampilkan sikap empatik dan

kemampuan memenuhi kebutuhan akan penghargaan positif tanpa

syarat. Dalam kasus ini Rogers mengingatkan bahwa otentik/asli tidak

berarti bahwa konselor mengakui dan mengkomunikasikan semua

perasaannya pada konseli. Namun, konselor memiliki akses untuk

menyadari semua perasaannya dan bersedia menyatakannya kepada

konseli jika itu dipandang tepat dan membantu. Sikap otentik juga

mengimplikasikan bahwa konselor mampu menjaga identitas dirinya dan

juga mampu menyatakan identitasnya tersebut kepada konseli. Dengan

kata lain, konselor tidak menampilkan dirinya secara palsu (dibuat-buat)

atau tidak sedang bermain peran ketika menangani konseli.

Penghargaan positif tanpa syarat. Dalam hubungan konseling

konselor tidak menerapakan kondisi-kondisi untuk menerima dan

menghargai konseli. Perasaan-perasaan negatif seperti sedih, kecewa,

marah, jengkel, jengah, tak sabar, atau perasaan-pereasaan positif

semuanya harus diterima oleh konselor tanpa kondisi. Bahkan ketika

konseli berbohong pun konselor harus menerimanya. Namun demikian,

menerima tidak berarti setuju dengan konseli tetapi lebih menunjuk pada

sikap merawat konselor terhadap konseli sebagai pribadi yang unik.

Dengan menerima, mengakui, dan menghargai konseli sebagai pribadi

yang unik, konselor tidak menerapkan penilaian positif atau negatif

terhadap perilaku konseli. Ketika konseli mempersepsi adanya

penghargaan tanpa syarat dari konselor, akan terjadi peningkatan

44
penghargaan diri positif pada diri konseli. Penghargaan positif tanpa

syarat dipandang sebagai kondisi utama untuk mendorong pertumbuhan

konseli. Penghargaan positif tanpa syarat mengimplikasikan bahwa

konselor menerima konseli sebagai individu yang memiliki potensi

untuk menjadi baik, rasional, dan bebas. Karena orang memiliki harga

diri, martabat, dan sifat-sifat unik sebagai individu, maka konseli

membutuhkan pendekatan konseling yang terindividualisasikan. Pada

umumnya konselor KPC menolak untuk memberikan nasehat atau

solusi, penggunaan moral, dan membuat pertimbangan nilai. Diagnosa

dan interpretasi dipandang dapat merusak proses konseling.

Pemahaman yang empatik terhadap kerangka berpikir konseli,

kesungguhan dan ketulusan untuk membantu, dan penghargaan positif

tanpa syarat perlu dikomunikasikan oleh konselor dalam hubungan

konseling untuk mengembangkan iklim hubungan yang kondusif atau

fasilitatif guna mendorong kepercayaan pada diri konseli, motivasi untuk

membuka diri, menemukan jalan untuk memecahkan kesulitannya, dan

akhirnya mencapai pertumbuhan yang optimal (mengaktualisasikan diri).

Persepsi konseli. Penampilan tiga kondisi fasilitatif oleh

konselor tidak mencukupi kecuali hal itu diperspesi oleh konseli dengan

cara yang sama. Artinya, konseli juga harus mempersepsi bahwa

konselor berusaha memahami dirinya (empati), menghargai perasaan,

pikiran, dan perilakunya (penghargaan positif), dan memperlihatkan

perilaku otentik dan sungguh-sungguh untuk menolong konseli. Dapat

45
dikatakan, dalam suatu proses konseling yang efektif, konseli harus

mempersepsi bahwa konseli diperhatikan, didengarkan, dimengerti, dan

diterima. Jika ketiga kondisi inti dapat dipenuhi oleh konselor, maka

konseli akan mampu untuk menerima diri dan orang lain, serta

mengekspresikan diri mereka secara kreatif. Dalam proses konseling

konseli akan mengalami diri mereka secara berbeda (baru) dengan cara

mengambil tanggung jawab pribadi untuk membuka diri dan membuat

perubahan yang positif dalam diri konseli.

Hubungan konseling akan semakin kuat jika konseli merasa

didengarkan dan dipahami secara empatik, dan bukan dinilai. Konseli

akan merasakan adanya penghargaan positif tanpa syarat dan merasa

didengarkan oleh konselor. Hubungan ini dapat disebut kongruen karena

konselor mampu menempatkan dirinya sebagai pendengar yang baik,

mampu memahami dan mengkomunikasikan pengalaman psikologis

konseli. Seringkali konseli mengalami ketidakselarasan dalam dirinya,

misalnya tampak ketika ekspresi wajah dan suaranya tak sesuai dengan

apa yang dikatakannya. Konselor yang mempersepsi adanya

ketidakselarasan tersebut dapat mengkomunikasikan persepsinya

tersebut dengan menyatakan, “Anda menyatakan bahwa Anda baik-baik

saja ketika Anda memperoleh nilai ujian tak seperti yang Anda

harapakan, namun nada suaranya Anda tampak menyatakan

kekecewaan.” Dapat dikatakan bahwa hubungan akan meningkat ketika

46
konselor mempersepsi dan mengkomunikasikan pengalaman orang lain

pada situasi saat interaksi berlangsung.

Konselor menggunakan hubungan konseling juga untuk

mendorong konseli mengambil tanggung jawab pribadi (Sharf, 2012).

Artinya, dalam proses konseling konseli memperoleh pengalaman untuk

belajar bahwa mereka memiliki tanggung jawab bagi diri mereka sendiri

baik dalam hubungan hubungan konseling maupun dalam konteks

hubungan yang lebih luas di luar konseling. Meskipun konseli pada

awalnya merasa bingung dan frustrasi oleh upaya konselor tersebut, para

konselor KPC yakin bahwa pada akhirnya konseli dapat menerima

tanggung jawabnya. Menurut Sharf (2012) tanpa memperhatikan bentuk

gangguan konseli, jika konselor mengkomunikasikan empati,

kesungguhan, dan penghargaan positif kepada konseli, maka konseli

akan mengalami kemajuan dalam arti gangguan psikologis konseli akan

tereduksikan.

Sharf (2012) juga mengemukakan beberapa elemen penting

dalam proses konseling KPC sebagaimana digambarkan oleh Rogers.

Dari pengalaman klinisnya ketika bekerja dengan konseli melalui teknik

mendengarkan, Rogers dapat menggambarkan tujuh tahapan kemajuan

terapeutik yang merentang dari posisi sikap tertutup (tidak terbuka

terhadap pengalaman) dan tidak menyadari diri menuju posisi yang

berlawanan – yakni terbuka terhadap pengalaman, menyadari diri, dan

penghargaan diri positif. Namun demikian, menurut Sharf, tahapan-

47
tahapan tersebut agak sulit untuk dipisahan dan menggabungkan

beberapa aspek pertumbuhan terapeutik dalam suatu kualitas hubungan,

maka tahapan-tahapan tersebut tak dapat digambarkan secara berurutan

dalam bentuk daftar. Menurut Rogers, sebagaiamana dikemukakan oleh

Sharf (2012) aspek penting dalam proses terapeutik meliputi perubahan-

perubahan dalam perasaan, kesediaan untuk mengkomunkasikan dirinya,

terbuka terhadap pengalaman, dan mengembangkan intimasi dalam

berhubungan dengan orang lain. Pada awal proses konseling, konseli

umumnya tidak senang untuk mengekspreikan perasaan dan/atau

mengambil tanggung jawab pribadi. Secara berangsur-angsur ketika

hubungan konseling semakin kondusif, konseli mulai mengurangi rasa

cemasnya dan bersedia mengekspresikan perasaannya. Pada tahap yang

paling tinggi, konseli mampu untuk mengalami dan mengkomuniksikan

perasaannya kepada konselor.

Sharf (2012) juga mengemukakan bahwa sepanjang proses

konseling, ketika iklim terapeutik semakin kondusif, konseli menjadi

semakin kongruen secara internal, yakni lebih menyadari perasaan-

perasaannya. Bagaimanapun beberapa individu mungkin mengalam

hambatan dalam mencapai pertumbuhan. Beberapa individu mungkin

memiliki pandangan yang kaku tentang dirinya dan itu menyebabkan

mereka tidak bisa berhungan dengan orang lain secara intim, termasuk

dengan konselor. Konseli yang telah mengalami kemajuan akan

menyadari bagaimana diri konseli sendiri menyebabkan mereka

48
mengalami kesulitan. Perubahan ini bisa terjadi jika individu mengalami

(mempersepsi) adanya empati, kesungguhan, dan penghargaan positif

dari konselor. Pada akhirnya secara psikologis konseli akan menjadi

semakin nyaman (rileks) dan bersedia menyatakan perasaan cemas,

bimbang, dan ketakutannya meskipun tiada lagi empati, kesungguhan,

dan penghargaan dari konselor, serta dapat mengalami sepenuhnya

semua pengalamannya.

4) Teknik Konseling

Berbeda dengan pendekatan dan teori konseling yang lain yang

menyatakan teknik konseling secara eksplisit, KPC tidak memiliki

teknik pengubahan perilaku. KPC tidak menggunakan teknik khusus

seperti halnya dalam pendekatan psikodinamika atau perilaku, tetapi

hanya menekankan pada kemampuan konselor untuk

mengkomunikasikan sikap-sikap guna menciptakan kondisi fasilitatif

atau kondisi pertumbuhan (Corey, 2009). Corey juga mengemukakan

penelitian Rogers pada tahun 1961 yang menyatakan bahwa sikap

konselor - bukan pengetahuan, teori, atau teknik - yang dapat

memfasilitasi perubahan kepribadian konseli. Pada dasarnya, dalam KPC

konselor menggunakan dirinya sebagai instrumen perubahan. Konselor

harus memperlakukan konseli pada tingkat antar pribadi (person to

person level). Sikap konselor dan kepercayaan konselor terhadap

kemampuan konseli menjadi faktor yang dapat menciptakan iklim

terapeutik dan mengantarkan pada perubahan konseli. Dalam artian yang

49
lebih khusus, konselor KPC tidak melakukan diagnosa, mengembangkan

rencana perlakuan, menggunakan strategi atau teknik perlakuan,

mengambil tanggung jawab pribadi bagi konseling dalam beberapa

kepentingan, menghindari penggunaan pertanyaan, interpretasi, evaluasi

terhadap perilaku konseli, bahkan tidak memutuskan berepa sering dan

berapa lama konseli harus melakukan pertemuan konseling (Broadley,

1997; dalam Corey, 2009). Teori humanistik menekankan pada potensi

bawaan individu untuk mengarahkan dirinya sendiri mencapai

pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Psikopatologi terjadi ketika

potensi individu untuk mencapai perkembangan yang sehat dihambat

oleh gaya pengasuhan orang tua yang tidak tepat atau oleh faktor

lingkungan yang merusak. Gejala umum yang tampak antara lain seperti

ketidakmampuan untuk menyadari apa yang sesungguhnya diinginkan

dan menikmati kehidupan yang bermakna.

Teknik yang direkomendasikan oleh Rogers adalah teknik

untuk mengkomunikasikan tiga kondisi fasilitatif konselor kepada

konseli. Dalam proses konseling seperti telah dikemukakan, konselor

dapat mendorong terjadinya perubahan (pertumbuhan) pada diri konseli

dengan membentuk sikap fasilitatif: yakni empati terhadap kondisi

psikologis konseli, kesungguhan dan ketulusan untuk menolong, dan

kesediaan untuk menerima dan menghargai konseli sebagai pribadi yang

unik. Sikap-sikap tersebut harus dipersepsi secara sama oleh konseli.

50
Oleh karena itu sikap-sikap tersebut perlu diekspresikan atau

dikomunikasikan secara konkrit agar dapat dipersepsi oleh konseli.

Beberapa ahli (Corey, 2009; Cormier, Nurius, & Osborn, 2009;

Sharf, 2012) mengemukakan beberapa teknik yang dapat digunakan

oleh konselor untuk mengkomunikasikan sikap-sikap fasilitatif

hubungan konseling, yakni: mendengarkan scara aktif (active listening).

Mendengarkan dengan aktif ini berisikan empat komponen perilaku

komunikasi, yakni: klarifikasi (meminta penjelasan pernyataan konseli

yang ambigu); parafrase (menyatakan kembali pernyataan konseli

dengan kata-kata sendiri); refleksi (memantulkan perasaan konseli yang

menyertai pernyataan yang disampaikannya); dan merangkum

(merangkum semua ceritera yang disampaikan konseli). Barangkali

perlu ditambahkan satu teknik lagi untuk menunjukkan bahwa konselor

sungguh-sungguh ingin memahami konseli, yakni probe. Probe adalah

suatu pertanyaan eksploratif yang digunakan oleh konselor untuk

memperolah informasi dari konseli. Pertanyaan ini bisa diajukan secara

terbuka (mengundang pertanyaan terbuka) atau tertutup (mengundang

jawaban singkat atau hanya memilih jawaban yang disediakan).

Penerapan empat teknik tersebut memungkinkan konseli untuk

mengetahui bahwa konselor sungguh-sungguh ingin memahami

permasalahan dan kondisi psikologis yang dirasakannya dan

membantunya.

51
Di samping teknik, KPC juga menekankan konselor untuk

memusatkan perhatian pada pada keberadaan di sini dan sekarang, baik

di dalam atau di luar situasi konseling (Corey, 2009). Artinya, konselor

tidak perlu mengetahui sifat dan sejarah kesulitan konseli. Apa yang

telah terjadi di masa lalu dan menyebabkan konseli mengalami kesulitan

pada saat ini tidaklah penting. Konselor mengarahkan konseli untuk

menghayati atau mengalami perasaannya pada saat sekarang ketika

sedang berhadapan dengan konselor dalam situasi konseling (di sini dan

sekarang). Contoh yang sederhana, anggaplah konselor menghadapi

konseli yang merasa benci terhadap saudaranya. Jika konselor ingin

membawa konseli pada situasi di sini dan sekarang, konselor harus

memandang perasaan benci tersebut sebagai hasil dari suatu situasi

khusus. Alih-alih membahas riwayat perasaan benci tersebut, konselor

sebaiknya lebih memusatkan perhatian pada perasaan konseli sekarang

terhadap saudaranya dan pada bagaimana perasaan tersebut

mempengaruhi pola-pola perilakunya secara umum. Jadi, apa yang

penting bagi konselor KPC adalah membantu konseli untuk memusatkan

perhatian pada perasaannya sekarang dan kemudian

mengekspresikannya secara verbal. Ini tampak tidak berbeda dengan apa

yang dilakukan oleh konselor gestalt.

Penekanan lain dalam KPC adalah perlunya konselor untuk

lebih memusatkan perhatian pada aspek emosional (perasaan) konseli

alih-alih pada aspek intelektualnya (pikiran) (Corey, 2009; Cormier,

52
Nurius, & Osborn, 2009; Sharf, 2012) . Secara intelektual konseli

mungkin mengetahui situasi riil yang dihadapinya, namun karena

konselor lebih senang merespon situasi secara emosional, pengetahuan

ini tidak membantunya untuk mengubah perilakunya. Meskipun konseli

mulai berbicara tentang situasi-situasi khusus dan menegaskan isi faktual

dari situasi-situasi tersebut, konselor sebaiknya membantu konseli untuk

memusatkan perhatian pada perasaan tentang dirinya dan orang lain, dan

peristiwa-peristiwa yang berlangsung di lingkungannya. Konselor

kemudian merefleksikan perasaan-perasaan tersebut kepada konseli

dengan cara yang seakurat mungkin agar konseli dapat mempersepsinya

secara obyektif.

5) Kontribusi dan Kritik

KPC telah memberikan kontribusi yang luas dalam bidang teori

dan praktik konseling dan psikoterapi di berbagai negara. Menurut

Corey (2009), salah satu kelebihan yang menonjol dari KPC terletak

pada pandangannya yang optimistik terhadap individu. Telah

dikemukakan bahwa KPC memandang individu sebagai ciptaan yang

mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri secara konstruktif dan

positif dan memiliki kecenderungan bawaan untuk mengaktualisasikan

dirinya. Pandangan ini menawarkan hal yang baru dalam lapangan

psikologi pada saat KPC dikembangkan oleh Rogers. Setidaknya

pandangan ini konsisten dengan budaya Barat yang menghargai

kebebasan (independensi), pengarahan diri, dan individualitas. Meskipun

53
pemikiran Rogers tampak merefleksikan idealisme Barat, banyak aspek

teorinya relevan dengan keragaman individu dan masyarakat dari

berbagai latar belakang budaya yang berbeda atau beragam (multi

kultural). Teori konseling Rogers juga telah memberikan pengaruh yang

besar pada teori-teori lain, khususnya pengakuan terhadap pandangan

Rogers tentang dimensi-dimensi kondisi pertumbuhan.

Selain memiliki kelebihan, KPC juga tak luput dari kelemahan

dan kritik. Beberapa kritik tersebut sebagaimana disebutkan oleh Corey

(2009) antara lain adalah: teori KPC dipandang terlalu sederhana;

beberapa ahli memandang bahwa teknik-teknik yang dikemukakan

dalam KPC (teknik komunikasi) tidak mencukupi untuk membawa

perubahan perilaku konseli; KPC dinilai kurang dapat meningkatkan

pemahaman tentang individu; KPC dinilai tidak tepat untuk menolong

individu-individu yang tidak termotivasi untuk membuat perubahan,

individu-individu yang patologis, serta individu yang aktif dan

menyenangi struktur; penekanannya pada individu, evaluasi internal, dan

kondisi pertumbuhan menyebabkan KPC kurang cocok untuk individu

yang memiliki latar belakang budaya yang menekankan pada evaluasi

eksternal dan masyarakat dan tidak menilai hubungan atas dasar kondisi

pertumbuhan; meskipun KPC mengakui keunikan individu, tetapi tidak

memiliki gambaran yang jelas tentang konsep fully functioning person;

penelitian-penelitian untuk memvalidasi keefektifan pendekatan ini

masih terbatas.

54
d. Penerapan Layanan Konseling Person Centered dalam

Keragaman Budaya Konseli

1) Pengertian

Penerapan KPC dalam keragaman budaya konseli yang

dimaksud dalam konteks ini adalah pengunaan KPC untuk

membantu pertumbuhan konseli yang memiliki latar belakang

budaya jamak atau beragam. Banyak ahli psikologi – khususnya

psikologi budaya - yang telah mengakui peran budaya dalam

membentuk perilaku. Demikian pula para ahli konseling

kontemporer mengakui bahwa permasalahan individu bisa

diatribusikan dengan berbagai macam budaya yang menjadi konteks

kehidupannya. Perilaku dan gangguan perilaku bersifat kompleks

dan menjadi fungsi dari berbagai macam budaya dalam konteks

perkembangan individu. Oleh karena itu, praktik konseling

seharusnya memeriksa permasalahan individu dengan cara

mengatribusikannya dengan latar belakang budayanya yang berifat

jamak. Dalam literatur konseling dan psikoterapi, pendekatan

konseling yang diterapkan dengan memperhatikan keragaman

budaya konseli dikonseptualisasikan sebagai konseling multikultural.

Budaya (cultural) sering didefinisikan dari perspektif variabel

demografi, status, dan etnografi (kesukuan/kebangsaan, etnis,

bahasa, agama) di samping afiliasi (Dzeng, 1996; Pedersen, 1991;

dalam,Wang,C.C. 2003). Wang,C.C.(2003) juga mengemukkan

55
pendapat Dzeng, yang menyatakan bahwa budaya adalah

seperangkat gaya hidup yang telah diikuti oleh sekelompok

masyarakat tertentu, yang di dalamnya mengandung sistem nilai,

cara berpikir dan bertindak. Budaya juga didefinisikan sebagai suatu

sistem keyakinan dan orientasi nilai yang mempengaruhi perilaku,

norma, praktik, dan lembaga sosial, termasuk di dalamnya proses-

proses psikologis, dan organisasi (American Psychological

Association [APA], 2002) atau totalitas menjadi individu yang

diwariskan dari generasi ke generasi (National Association of Social

Workers, 2007).

Keragaman (diversity) budaya atau multikulturalisme

umumnya dipahami sebagai suatu istilah atau konsep untuk

menunjuk pada keragaman dan toleransi terhadap berbagai macam

budaya. Keragaman juga digunakan untuk menunjuk campuran

antara persamaan dan perbedaan latar belakang budaya antara

individu dan kelompok, seperti ras, gender, etnis, usia, dan orientasi

seksual yang mendukung identitas sosial yang berbeda (Thomas,

1996; dalam Cilliers, 2004). Dalam arti perilaku organisasi,

keragaman menunjuk pada variabel setiap individu yang

mempengaruhi tugas atau hubungan (Thomas, 1996; dalam Cilliers,

2004). Ini berarti bahwa keragaman memiliki dampak pada produk

dan aktivitas pelayanan yang diberikan oleh anggota organisasi

(Abdelsamad & Sauser, 1992; dalam Cilliers, 2004).

56
Reece dan Brand (1993; dalam Cilliers, 2004) mengemukakan

dua dimensi keragaman, yakni dimensi primer dan dimensi

sekunder. Dimensi keragaman primer merupakan atribut inti

individu yang tak dapat diubah dengan mudah seperti usia, gender,

ras, penampian fisik, dan orientasi seksual. Atribut-atribut ini

membentuk citra diri (self-image) dan digunakan oleh individu untuk

mempersepsi lingkungan. Semakin besar atau semakin banyak

jumlah perbedaan atribut primer antara individu, semakin besar

kemungkinan terjadi bentrokan budaya dan akan dapat merusak

hubungan interpersonal dan mematikan organisasi. Sedangkan

dimensi keragaman sekunder adalah atribut-atribut individu yang

dapat dimodifikasi atau diubah seperti gaya komunikasi, pendidikan,

status perkawinan, agama atau keyakinan religius, pengalaman kerja,

dan penghasilan. Atribut-atribut ini dapat menambah kompleksitas

citra diri individu. Interaksi antara dimensi primer dan sekunder akan

membentuk persepsi, prioritas, dan nilai individu. Hubungan antara

anggota dari suatu organisasi akan efektif apabila semua perbedaan

dapat diterima dan dihargai.

Pandangan Shiraev & Levy (2010) dalam Sarwono, S.W

(2015). Budaya adalah suatu set dari sikap, perilaku, dan simbol-

simbol yang dimiliki bersama oleh manusia dan biasanya

dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sedangkan menurut Nitza Hidalgo dalam Molan, B (2015) ada

57
beberapa kategori yaitu ada tiga level budaya yaitu: (a) Level

Konkret. Level ini adalah level paling visibel dan paling berwujud

(tangible) dari budaya, dan mencakup dimensi pada level yang

paling berada di permukaan, misalnya pakaian, musik, makanan,

permainan, bangunan, peralatan, dan lain-lain. Aspek-aspek kultur

ini sering ditampilkan untuk festifal atau selebrasi multikultural.

Betapa seringnya kita menonton wayang yang biasa dipentaskan

untuk memeriahkan perayaan-perayaan seperti pernikahan atau

khitanan. Festifal Barongsai pun selalu ditampilkan pada perayaan-

perayaan bernuansa budaya Tionghoa. Ketupat menjadi makanan

khas lebaran. Pohon Natal menjadi ornamen yang kita temukan

dimasa Natal. (b) Perilaku. Level budaya ini mengklarifikasi

bagaimana kita mendefinisikan peran sosial kita, antara lain bahasa

yang kita pakai dan pendekatan kita terhadap komunikasi nonverbal.

Level perilaku sesungguhnya merefleksikan nilai-nilai kita. Aspek-

aspek yang tercakup dalam daftar pada kategori ini adalah bahasa,

peran gender, struktur keluarga, afiliasi politik, dan lain-lain yang

mensituasikan kita secara organisasi dalam masyarakat. Sedangkan

(c) Simbolik. Level budaya ini mencakup nilai-nilai dan keyakinan

kita yang bisa saja abstrak. Tetapi, level inilah yang paling sering

menjadi kunci bagi individu untuk mendefinisikan atau menyatakan

dirinya sendiri. Level ini mencakup sistem nilai, adat kebiasaan

58
(custom), spirtualitas, agama, pandangan dunia, keyanikan, adat

istiadat (mores), dan lain-lain.

Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan,

serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan

bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar

(Koentjaraningrat, 2011). Dengan demikian hampir semua tindakan

manusia adalah kebudayaan, karena jumlah tindakan yang

dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak

dibiasakannya dengan belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau

tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologi,

maupun berbagai tindakan yang membabi buta), sangat terbatas.

Bahkan berbagai tindakan yang merupakan nalurinya (misalkan

makan, minum, dan berjalan) juga telah banyak dirombak oleh

manusia sendiri sehingga menjadi tindakan berkebudayaan, karena

kebudayaan yang berujud gagasan kebudayaan tetap berakar di

dalam sistem organiknya. Kecuali itu, kebudayaan tidak bisa

dilepaskan dari kepribadian individu, yang terbentuk melalui proses

belajar yang panjang, sehingga menjadi bagian dari warga

masyarakat yang bersangkutan. Dalam proses itu kepribadian atau

watak individu berpengaruh pada perkembangan kebudayaannya.

Dalam proses belajar sebagai pewarisan budaya, suatu

kelompok budaya dapat mewariskan ciri-ciri prilaku kepada generasi

selanjutnya melalui mekanisme mengajar dan belajar. Pewarisan

59
budaya dari satu generasi ke generasi ini diistilahkan oleh Cavalli

dan Feldman (dalam Berry: 1999), sebagai pewarisan tegak (vertical

transmission) karena melibatkan penurunan ciri-ciri budaya orang

tua ke anak cucu, walau pewarisan tegak merupakan satu-satunya

bentuk pewarisan biologis, pewarisan memiliki dua bentuk yaitu

mendatar dan miring. Dalam pewarisan tegak, orang tua mewariskan

nilai, ketrampilan, keyakinan, motif budaya dan sebagainya kepada

anak cucu. Dalam pewarisan budaya mendatar, seseorang belajar

dari sebayanya (dalam kelompok primair atau skundair) semasa

perkembangannya, sejak lahir sampai dewasa. Sedang kasus

pewarisan miring, sesorang belajar dari orang dewasa dan lembaga-

lembaga (contoh, dalam pendidikan formal) tanpa memandang hal

itu terjadi dalam budaya sendiri atau budaya lain. Jika proses dalam

budaya sendiri, istilah enkulturasi dan sosialisasi lebih sesuai. Jika

proses diperoleh melalui kontak dengan budaya lain, istilah

akulturasi dan rasionalisasi yang digunakan, istilah akulturasi dan

rasionalisasi lebih menunjuk ke bentuk pewarisan budaya yang

dialami individu melalui kontak dengan, dan pengaruh dari orang

dan lembaga budaya lain daripada budaya sendiri.

Proses enkulturasi, Herskovits, 1948 dalam Berry,et al.(1999)

merupakan “encompassing or surrounding” budaya terhadap

individu; individu memerlukan melalui belajar, memeroleh hal-hal

penting menurut pandangan budaya. Kenyatannya dalam proses ini

60
tidak selalu diberikan secara didaktik atau terencana, bahkan sering

dijumpai pembelajaran tanpa melibatkan pembelajaran khusus atau

disebut akulturasi, sebagai perubahan budaya dan psikologis karna

perjumpaan dengan orang berbudaya lain yang juga memperlihatkan

perilaku berbeda. Proses enkulturasi melibatkan orangtua, orang

dewasa lain, dan teman sebaya dalam suatu jalinan pengaruh tehadap

individu, dan pengaruh ini bisa membatasi, membentuk dan

mengarahkan individu yang sedang berkembang.

Dengan demikian pola-pola gagasan dan tindakan-tindakan

manusia ditata, dikendalikan, dan dimantapkan oleh berbagai sistem

nilai dan norma yang seakan-akan berada di atasnya, sehingga

membentuk budaya yang beragam, dengan berbagai karakteristik

individu yang beragam pula.

Keragaman (diversity) budaya atau multikulturalisme

umumnya dipahami sebagai suatu istilah atau konsep untuk

menunjuk pada keragaman dan toleransi terhadap berbagai macam

budaya. Keragaman juga digunakan untuk menunjuk campuran

antara persamaan dan perbedaan latar belakang budaya antara

individu dan kelompok, seperti ras, gender, etnis, usia, dan orientasi

seksual yang mendukung identitas sosial yang berbeda (Thomas,

1996; dalam Cilliers, 2004). Dalam arti perilaku organisasi,

keragaman menunjuk pada variabel setiap individu yang

mempengaruhi tugas atau hubungan (Thomas, 1996; dalam Cilliers,

61
2004). Ini berarti bahwa keragaman memiliki dampak pada produk

dan aktivitas pelayanan yang diberikan oleh anggota organisasi

(Abdelsamad & Sauser, 1992; dalam Cilliers, 2004).

Reece dan Brand (1993; dalam Cilliers, 2004) mengemukakan

dua dimensi keragaman, yakni dimensi primer dan dimensi

sekunder. Dimensi keragaman primer merupakan atribut inti

individu yang tak dapat diubah dengan mudah seperti usia, gender,

ras, penampilan fisik, dan orientasi seksual. Atribut-atribut ini

membentuk citra diri (self-image) dan digunakan oleh individu untuk

mempersepsi lingkungan. Semakin besar atau semakin banyak

jumlah perbedaan atribut primer antara individu, semakin besar

kemungkinan terjadi bentrokan budaya dan akan dapat merusak

hubungan interpersonal dan mematikan organisasi. Sedangkan

dimensi keragaman sekunder adalah atribut-atribut individu yang

dapat dimodifikasi atau diubah seperti gaya komunikasi, pendidikan,

status perkawinan, agama atau keyakinan religius, pengalaman kerja,

dan penghasilan. Atribut-atribut ini dapat menambah kompleksitas

citra diri individu. Interaksi antara dimensi primer dan sekunder akan

membentuk persepsi, prioritas, dan nilai individu. Hubungan antara

anggota dari suatu organisasi akan efektif apabila semua perbedaan

dapat diterima dan dihargai.

Awalnya konsep multikultarisme muncul dan berkembang

terutama di negara-negara yang warga negaranya memiliki

62
keragaman yang luas berkenaan dengan ras, etnis, budaya seperti

Amerika, Australia, dan Indonesia. Keragaman budaya ini sering

memicu konflik yang berakar pada ketidaksediaan untuk menerima

keragaman tersebut. Indonesia termasuk salah satu negara yang

memiliki banyak keragaman budaya, etnis, agama, politik sehingga

potensi konflik yang bersumber dari keragaman tersebut sangat

besar. Di Australia, keragaman budaya telah memainkan peran yang

sangat besar dalam mensifati identitas Australia. Karena identitas

merupakan suatu konsep yang sangat bersifat hipotetis, penanganan

terhadap identitas telah mengalami perubahan selama beberapa tahun

belakangan ini, mulai dari konseptualisasi identitas sebagai suatu

konstruk dari kaum esensialis yang mengendalikan interaksi sosial,

menuju penggunaan konstruk postmodern yang lebih menekankan

pada faktor diskursus sebagai pembentuk identitas (Benwell and

Elizabeth, 2007). Meskipun multikulturalisme kurang mendapatkan

perhatian dari perspektif modern dan postmodern, beberapa korelasi

dapat dibuat.

Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa konseling

multikultural atau konseling dalam keragaman budaya adalah suatu

peristiwa konseling yang terjadi ketika antara konselor dan konseli

memiliki latar belakang budaya antara konselor dan konseli.

Perbedaan latar belakang budaya ini dapat mempengaruhi hubungan

konseling dan oleh karena itu konselor dituntut untuk menangani

63
perbedaan budaya tersebut secara efektif dengan cara menerima dan

menghargai adanya perbedaan budaya. Penerimaan dan penghargaan

ini dinyatakan antara lain dalam bentuk kesediaan konseleor untuk

tidak memaksakan nilai-nilai yang dipegangnya kepada konseli.

Konselor dituntut untuk menerima dan menghargai aspek-aspek

budaya konseli dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan

untuk membantu konseli mencapai perubahan/perkembangan diri.

Keragaman budaya konselor dan konseli dapat dilihat dari dua

diensi, yakni dimensi primer dan dimesi sekunder. Dimensi primer

menunjuk pada atribut-atribut budaya konselor dan konseli yang tak

dapat diubah seperti usia, gender, ras, penampilan fisik, dan orientasi

seksual. Sedangkan dimensi keragaman sekunder adalah atribut-

atribut individu yang dapat dimodifikasi atau diubah. Dalam konteks

hubungan konseling di sekolah, atribut ssekunder ini dapat meliputi

sikap, minat, gaya komunikasi, cara pandang, gaya berpikir, reaksi

emosional, etos kerja, agama atau keyakinan religius, komitmen,

penampilan diri, dsb. Atribut-atribut dalam dimensi primer dapat

membentuk citra diri konselor atau konseli, sedangkan atribut dalam

dimensi sekunder dapat menambah kompleksitas citra diri. Dalam

proses konseling dalam keragaman budaya konseli, konselor perlu

memahami atribut-atribut dimensi keragaman budayanya sendiri

dampaknya pada hubungan konseling, di samping mengeksplorasi,

memahami, dan menghargai atribut-atribut dimensi keragaman

64
budaya konseli. Pengubahan perilaku perlu memusatkan perhatian

pada dimensi sekunder, sedangkan untuk tujuan pengembangan

hubungan konselor perlu mempertimbangkan kedua dimensi

keragaman. Pada awal konseling, konselor harus mengeksplorasi

adanya keragaman tersebut.

Pandangan Parekh Bhiku, 2000 (dalam Molan, Benyamin.

2015) membedakan antara multikultural dan multikulturalisme.

Menurutnya, istilah multikultural mengacu pada kenyataan adanya

keanekaragaman kultural, sedangkan istilah multikulturalisme

mengacu pada sebuah tanggapan normatif atas fakta itu. Artinya,

ketika berbicara tentang multikulturalisme, kita berbicara tentang

aspek keragaman budaya dan bagaimana fakta keragaman itu

ditanggapi dan disikapi secara normatif. Dengan kata lain,

multikulturalisme berbicara tentang aspek diskreptif keanekaragam

(multikultural) yang disikapi secara normatif (multikulturalisme).

Multikulturalisme secara sederhana diartikan sebagai

“keragaman budaya”. Ada tiga istilah yang biasa digunakan untuk

melukiskan keragaman baik yang berbasis pada agama, ras, etnisitas,

bahasa, maupun budaya, yaitu pluralitas (plurality), keragaman

(diversity) dan multikultural. Namun semuanya tidak mempunyai

konotasi yang sama. Multikulturalisme dipahami sebagai “sebuah

sistem keyakinan dan perilaku yang mengenali dan menghormati

keberadaan semua kelompok yang berbeda dalam sebuah organisasi

65
atau masyarakat sebagai mahluk sosial, mengakui dan menghargai

perbedaan-perbedaan sosial budaya, dan mendorong dan

memungkinkan kontribusi mereka yang berkesinambungan dalam

sebuah konteks budaya yang inklusif yang memberdayakan semua

dalam sebuah organisasi atau masyarakat itu.

Individu memiliki dimensi-dimensi, diataranya adalah dimensi

sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak pernah dapat hidup

sendiri dan selalu memerlukan orang lain dan individu cenderung

membentuk kelompok-kelompok guna menjamin baik keselamatan,

perkembangan maupun keturunan. Prayitno dan Erman Amti (2008)

mengemukakan tentang dimensi sosial individu dan kecenderungan

individu dalam mencapai keselamatan dan kesejahteraan dengan

membentuk kelompok-kelompok yang mematuhi norma atau aturan

dan nilai-nilai yang disepakati bersama. Dalam kehiduan

berkelompok tersebut, individu mengembangkan ketentuan yang

mengatur hak dan kewajiban masing-masing individu sebagai

anggota demi ketertiban pergaulan sosial.

Prayitno dan Amti (2008) menambahkan bahwa setiap

individu, sejak lahir tidak hanya memerlukan tuntutan kebutuhan

biologisnya, tetapi juga tuntutan budaya dimana individu lahir,

tumbuh, dan berkembang. Tuntutan budaya tersebut menghendaki

agar individu mengembangkan tingkah lakunya sehingga sesuai

dengan pola-pola yang dapat diterima dalam budaya tersebut.

66
Individu hidup berkelompok-kelompok, bersuku-suku, dan

berbangsa-bangsa, masing-masing memiliki lingkungan sosial

budayanya sendiri, yang satu berbeda dengan lainnya. Dibalik

perbedaan kelompok-kelompok, suku-suku, dan bangsa-bangsa

tersebut, Prayitno dan Amti (2008) menjelaskan bahwa orang-orang

yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda cenderung

memiliki caranya sendiri-sendiri dalam menyikapi berbagai hal yang

dihadapinya. Apabila perbedaan-perbedaan budaya tersebut tidak

dijembatani akan menimbulkan pertentangan dan saling tidak

menyukai, sebaliknya apabila perbedaan-perbedaan tersebut

terakomodasi akan mereduksi ketegangan-ketegangan antar

kelompok-kelompok budaya yang bermuara terciptanya

keharmonisan hidup.

Pandangan senada dikemukakan oleh Berry et.al (1999) yang

mengemukakan bahwa kebanyakan masyarakat tidak hanya terdiri

satu tradisi budaya tunggal, tetapi terdiri dari sekelompok budaya

yang berinteraksi dengan berbagai cara. Keragaman budaya tersebut

dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu

pilar yang terkait dengan keragaman tersebut adalah Bhinneka

Tunggal Ika, yaitu kesamaan di atas keragaman (Adhiputra, 2013).

Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa konseling

multikultural atau konseling dalam keragaman budaya adalah suatu

peristiwa konseling yang terjadi ketika antara konselor dan konseli

67
memiliki latar belakang budaya antara konselor dan konseli.

Perbedaan latar belakang budaya ini dapat mempengaruhi hubungan

konseling dan oleh karena itu konselor dituntut untuk menangani

perbedaan budaya tersebut secara efektif dengan cara menerima dan

menghargai adanya perbedaan budaya. Penerimaan dan penghargaan

ini dinyatakan antara lain dalam bentuk kesediaan konseleor untuk

tidak memaksakan nilai-nilai yang dipegangnya kepada konseli.

Malahan konselor harus menerima dan menghargai aspek-aspek

budaya konseli dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan

untuk membantu konseli mencapai perubahan/perkembangan diri.

Keragaman budaya konselor dan konseli dapat dilihat dari dua

dimensi, yakni dimensi primer dan dimesi sekunder. Dimensi primer

menunjuk pada atribut-atribut budaya konselor dan konseli yang tak

dapat diubah seperti usia, gender, ras, penampilan fisik, dan orientasi

seksual. Sedangkan dimensi keragaman sekunder adalah atribut-

atribut individu yang dapat dimodifikasi atau diubah. Dalam konteks

hubungan konseling di sekolah, atribut sekunder ini dapat meliputi

sikap, minat, gaya komunikasi, cara pandang, gaya berpikir, reaksi

emosional, etos kerja, agama atau keyakinan religius, komitmen,

penampilan diri. Atribut-atribut dalam dimensi primer dapat

membentuk citra diri konselor atau konseli, sedangkan atribut dalam

dimensi sekunder dapat menambah kompleksitas citra diri. Dalam

proses konseling dalam keragaman budaya konseli, konselor perlu

68
memahami atribut-atribut dimensi keragaman budayanya sendiri

dampaknya pada hubungan konseling, di samping mengeksplorasi,

memahami, dan menghargai atribut-atribut dimensi keragaman

budaya konseli. Pengubahan perilaku perlu memusatkan perhatian

pada dimensi sekunder, sedangkan untuk tujuan pengembangan

hubungan konselor perlu mempertimbangkan kedua dimensi

keragaman. Pada awal konseling, konselor harus mengeksplorasi

adanya keragaman tersebut.

2) Kebutuhan akan konseling yang memperhatikan keragaman

budaya konseli

Tujuan dari setiap aktivitas konseling adalah membantu

konseli memecahkan masalah, memenuhi kebutuhan, atau mencapai

apa yang diinginkannya. Individu itu sendiri meruapakan makhluk

yang unik yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan-

perbedaan ini seringkali ini dimaknai sebagai suatu bentuk

keragaman. Istilah keragaman itu sendiri dapat disinonimkan dengan

kejamakan budaya atau multikulturalisme (Knight, 2008).

Keragaman budaya konseli ini seringkali menyebabkan keragaman

dalam permasalahan konseli. Permasalahan, kebutuhan, dan tujuan

konseli seringkali bervariasi sangat luas dan variasi ini dipengaruhi

oleh latar belakang sosial budaya mereka. Demikian pula, konseli

tidak hidup dan berinteraksi dengan orang lain dalam kelompok

budayanya sendiri tetapi juga dengan banyak orang yang memiliki

69
latar belakang budaya berbeda. Perbedaan latar belakang budaya ini

dapat mempengaruhi cara pandang dan cara bereaksi konseli tentang

atau terhadap sesuatu. Cara bagaimana individu menilai, merasakan,

dan merespon suatu peristiwa bisa berbeda antar individu dari

budaya yang berbada. Dengan kata lain, individu dari budaya yang

berbeda, atau individu yang tinggal dalam suatu masyarakat dengan

budaya yang komplek, akan membentuk perspektif dan sikap yang

berbeda terhadap situasi yang sama. Demikian pula, permasalahan

individu bisa bersumber dari keragaman dan kompleksitas budaya

yang telah membentuk atau mempengaruhi pikiran, emosi, dan

tindakannya. Permasalahan individu boleh jadi sangat kompleks dan

itu bersumber pada nilai, keyakinan, dan pengaruh yang berkaitan

dengan orientasi budaya dan keragaman budaya.

Dari fakta yang dikemukakan tersebut, dapat disadari bahwa

keragaman budaya tidak bisa dihindari dalam praktik konseling.

Seperti dikemukakan oleh Sue dan Sue (2008; dalam Corey, 2009),

keragaman budaya tak dapat dihindarkan oleh para konselor jika

mereka menginginkan dapat membantu memenuhi kebutuhan

konseli dari latar belakang budaya yang semakin beragam.

Kebutuhan untuk memperhatikan pengaruh budaya pada perilaku

konseli juga didasarkan pada fakta keterbatasan teori-teori konseling

tradisional dalam menjelaskan gangguan perilaku. Sebagaimana

dikemukakan oleh Corey (2009) teori-teori konseling tradisional

70
memiliki keterbatasan dan banyak dikritisi menyangkut

penerapannya pada konseli-konseli yang memiliki latar belakang

budaya berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan suatu teori konseling

kontemporer yang lebih terbuka atau dapat mengakomodasi

pengaruh berbagai macam budaya pada parmasalahan konseli. Dan

ini merupakan upaya yang sangat mungkin bisa dilakukan. Seperti

dikemukakan oleh Ivey, D’Andrea & Smeck-Morgan (dalam Corey,

2009) bahwa banyak konsep-konsep kunci dari teori-teori tradisional

dapat diadaptasikan ke dalam kerangka kerja budaya yang memiliki

makna bagi konseli yang memiliki keragaman budaya. Teori

konseling konseling yang mengakomodasi pengaruh berbagai

macam budaya yang membentuk perilaku konseli (teori konseling

multikultural) didasarkan pada premis bahwa asesmen dan perlakuan

(treatment) harus menjelaskan pengalaman budaya dan konteks yang

membentuk identitas konseli. Konseling multikultural menggunakan

teknik-teknik yang diambil dari berbagai macam pendekatan

konseling namun mengadaptasikannya ke dalam harapan dan nilai

budaya konseli (Ivey & Brooks-Haris, dalam Corey, 2009). Secara

khusus, KPC sangat tepat untuk diterapkan sebagai model konseling

multibudaya mengingat bahwa konselor menggunakan teori

fenomenologis yang menekankan pada dunia/persepsi subyektif

konseli.

71
Pentingnya konseling multibudaya telah ditegaskan dengan

sangat ekstrem oleh Ivey & Harris (2005, dalam Corey, 2009).

Dalam tulisannya tentang konseling integratif dan konseli yang

memiliki budaya beragam, Ivey & Harris menyatakan bahwa semua

konseling (dan psikoterapi) bersifat multibudaya dan oleh karena itu

penting bagi konselor untuk memberikan perhatian terhadap

banyaknya faktor konteks dan sosial budaya konseli. Mereka juga

berpendapat bahwa membawa dimensi-dimensi ras/etnis, gender,

orientasi seksual, dan kecacatan kemampuan (disability) ke dalam

situasi konseling akan memperkaya keunikan individu. Mereka

mengemukakan lebih lanjut bahwa membuang konsep tentang diri

yang sudah kuno dan menggantinya dengan “diri dalam konteks,”

“dalam hubungan,” “pribadi dalam masyarakat” akan

memungkinkan konselor dapat memandang manusia dalam cara

yang berbeda (cara baru) dan memperoleh pemahaman yang lebih

memadai tentang konsep menjadi manusia sejati atau menjadi

manusia yang sesungguhnya (to be human), dan konseling

multibudaya dapat membawa konselor kepada cara pandang baru ini.

Corey (2009) mengemukakan suatu tantangan bagi konselor yang

bekerja dengan konseling multi budaya. Menurut Corey, tantangan

sentral yang dihadapi oleh konselor yang berusaha membantu

konseli yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan

dirinya adalah dengan menemukan suatu cara untuk memberikan

72
perhatian terhadap apa yang tampak penting bagi konseli dan

memahami dunia subyektif mereka. Tujuan ini dapat dicapai oleh

konselor dengan mendengarkan secara aktif apa yang diceriterakan

oleh konseli dan kemudian menghargai atau merespek apa yang

didengarnya.

Teori konseling multibudaya pada hakikatnya adalah suatu

teori konseling berusaha memberikan suatu kerangka kerja

konseptual yang mengakui keragaman yang kompleks dari

masyarakat plural dan menjembatani masalah-masalah dalam

hubungan antar manusia tanpa memperhatikan perbedaan yang ada.

Perspektif ini berusaha melihat dimensi-dimensi unik individu dan

bagaimana individu berbagi pengalaman dengan orang lain yang

berbeda. Hanya mengetahui kelompok budaya tertentu tidaklah

mencukupi, namun harus pula dipahami variabilitas/keragaman di

dalam kelompok. Setiap individu harus dilihat berdasarkan latar

belakang kelompok budayanya, bagaimana individu menjadi

terakulturasi, dan derajad perkembangan identitas etnisnya. Teori ini

menekankan pada petingnya konselor untuk memahami perbedaan

individual dan perbedaan kelompok agar dapat membuat interpretasi

scara akurat tentang perilaku individu. Dikemukakan lebih lanjut

bahwa apakah konselor akan mengabaikan atau meperhatikan

variabel-variabel budaya, budaya akan terus mempengaruhi perilaku

konseli dan konselor, di samping proses konseling. Namun, konselor

73
yang tidak mengakui pengaruh budaya akan memberikan pelayanan

yang cenderung kurang efektif. Oleh karena itu memberikan

perhatian terhadap keragaman budaya dalam mempengaruhi perilaku

konseli dalam suatu proses konseling adalah esensial dalam

mempengaruhi keberhasilan konseling. Dengan kata lain, konseling

yang berhasil menuntut konselor untuk memahami konteks budaya

konseli dan membawanya ke dalam proses terapeutik.

Menurut Corey (2009), agar dapat menjadi konselor yang

kompeten dalam menerapakan konseling multibudaya merupakan

suatu proses yang terus-menerus, bukan tujuan yang dapat dicapai

dalam sekali tempuh. Menjadi konselor efektif perlu sering membuat

refleksi tentang bagaimana budayanya sendiri mempengaruhi cara

bagaimana konselor memberikan intervensi dalam pratek konseling.

Kesadaran ini akan menjadi faktor yang sangat penting (kritis) agar

bisa menjadi lebih peka terhadap latar belakang budaya konseli.

Corey (2009) juga mengemukakan suatu rangkuman pendapat dari

sejumlah ahli berkenaan dengan cara bagaimana agar konselor dapat

memahami keragaman budaya konseli yang dibantunya. Pertama,

konselor perlu menyadari asumsi, bias, dan nilai-nilainya sendiri

tentang perilaku manusia, di samping tentang pandangan-

pandangannya sendiri. kedua, konselor perlu menjadi semakin

menyadari tentang nilai, bias, dan asumsi budaya dari berbagai

kelompok masyarakat yang beragam, serta memahami sudut

74
pandang dari konseli yang dibantunya yang memiliki latar belakang

yang berbeda dalam cara yang tidak menilai. Ketiga, konselor harus

mulai mengembangkan suatu strategi pendekatan yang sensitif,

relevan, dan sesuai dengan budaya konseli.

Menurut Quinn (2013), dalam pengertiannya yang luas

kompetensi konseling multikultural menunjuk pada keterampilan

yang tinggi untuk membantu individu, keluarga, kelompok, atau

masyarakat yang mengalami tekanan akibat tindakan diskriminasi

atau praktik penindasan yang dilakukan oleh anggota atau kelompok

masyarakat yang dominan dalam suatu budaya tertentu (Quinn,

2013). Dalam tradisi Amerika, individu dipandang memiliki

keanggotaan dalam semua domain kelompok dominan jika individu

berkulit putih, warga kelas menengah ke atas, pria, heteroseksual,

nasrani, muda, dan pandai berbahasa Inggris. Akibatnya, kompetensi

multikultural berpusat pada kemampuan konselor untuk mengakui

keanggotaannya dalam satu atau lebih kelompok budaya dominan

dan mengakui dampak lanjutan dari keanggotannya tersebut pada

hubungan intra dan ektra konseling dengan konseli, keluarga, dan

masyarakat multikultural. Dalam hal ini Quinn mengemukakan

beberapa elemen komptensi konseling multikultural yang perlu

dimiliki oleh konselor multikultural yang tampak tidak berbeda

dengan apa yang dikemukakan oleh Corey. Elemen yang pertama

adalah pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan. Konselor

75
multikultural harus mengembangkan: (a) suatu pemahaman atau

pengetahuan tentang pengalaman konseli sebagai individu yang

memiliki budaya berbeda, (b) suatu kesadaran terhadap asumsi yang

dipegangnya berkenaan individu memiliki latar belakang budaya

yang berbeda, dan (c) keterampilan dan intervensi terapeutik yang

tepat sesuai dengan karakteristik budaya tertentu.

Elemen kedua adalah pengetahuan tentang pandangan konseli

atau cara konseli memandang dunia. Ketika konselor memahami

sudut pandang konselinya, konselor dapat menggali keyakinan dan

sikap-sikap konseli. Untuk memperoleh pengetahuan tentang sudut

pandang konseli ini konselor perlu memperoleh pengetahuan awal

tentang kelompok budaya konseli, termasuk sikap-sikap khusus

masyarakat dalam kelompok budaya konseli terhadap isu-isu

kesehatan mental, perilaku mencari bantuan profesional, dan

pendekatan konseling yang paling tepat untuk digunakan. Elemen

kedua tampak tegas berkaitan dengan konsep fenomenologis Rogers.

Dengan kata lain KPC sangat cocok untuk diterapkan sebagai model

konseling multi budaya.

Elemen ketiga adalah kesadaran tentang asumsi sendiri. Jika

konselor mengembangkan suatu pengetahuan budaya, ia akan

menjadi lebih sadar tentang sifat relatif dari asumsi budaya yang

dipegangnya. Sikap konselor terhadap budayanya sendiri, di samping

keyakinanya tentang budaya lain, beralih dari keadaan kaku menuju

76
pandangan yang lebih dinamis. Konselor juga menjadi lebih sadar

tentang keterbatasannya dan membutuhkan suatu pelatihan dan

pendidikan lebih lanjut guna mengembangkan keterampilan klinis

berbasis budaya dan untuk memahami dirinya sebagai makhluk ras

atau budaya.

Elemen ke empat adalah intervensi yang teradaptasikan secara

budaya. Konselor perlu membuka dirinya untuk memperluas

pendekatan intervensinya agar tidak hanya terbatasi oleh aliran

utama (pendekatan konseling ala Barat). Ia harus memahami dan

memberikan respek terhadap nilai-nilai spiritual/relegius yang

berkaitan dengan fungsi fisik dan mental, di samping karakteristik

perilaku warga pribumi, praktik konseling berbasis budaya, termasuk

pentingnya sumber-sumber keluarga dan masyarakat. Jika konselor

telah memiliki perpsktif budaya dalam praktik klinisnya, maka ia

akan menyadari bahwa bias budaya dapat mempengaruhi praktik

konseling mainstream, termasuk prosedur asesmen diagnostik

monokultural yang dapat mengabadikan hambatan dalam pelayanan

kesehatan mental.

3) Aplikabilitas Konseling Person Centered sebagai Konseling

dalam Keragaman Budaya

Sejak berubah dari konseling berpusat pada konseli menjadi

konseling berpusat pada pribadi (KPC) pada sekitar tahun 1980 an,

penerapan teori konseling Rogers semakin berkembang luas.

77
Perkembangan juga berkenaan dengan teknik. Seperti dikemukakan

Corey (2009), para konselor KPC saat ini menggunakan banyak

strategi intervensi melebihi dari yang direkomendasikan oleh

Rogers. Mereka tidak hanya memusatkan perhatian pada isu-isu

perkembangan dan aktualisasi diri, tetapi juga membantu individu

menangani masalah-masalah praktis seperti kekerasan seksual atau

kekerasan fisik, kecanduan alkohol dan obat, kecemasan, dan

depresi. Para konselor juga tidak segan untuk menggunakan teknik-

teknik kognitif dan perilaku (Seligman, 2001). Meskipun banyak

konselor KPC saat ini juga telah mengintegrasikan beberapa

pendekatan dan jumlah konselor KPC cenderung menurun,

pandangan Rogers tentang sifat dasar manusia dan pendekatannya

masih tetap hidup. Kombinasi KPC dengan pendekatan lain dapat

lebih meningkatkan keefektifannya. Di samping itu, tanpa

memperhatikan apakah KPC merupakan suatu model yang paling

baik atau tidak untuk menangani kesulitan individu, konsep respek,

keautentikan, dan empati telah banyak diintegrasikan ke dalam

hampir semua pendekatan. Atas dasar ini, penerapan perlakuan KPC

dapat dikatakan sangat luas.

Suatu versi lain tentang KPC menyatakan bahwa pendekatan

ini sangat cocok untuk menangani masalah-masalah pertumbuhan

dan perkembangan, untuk membantu individu-individu yang tidak

menggunakan potensinya dengan baik dan individu-individu yang

78
merasa hidupnya hampa. Pendekatan ini juga efektif untuk

membantu individu yang memiliki self-esteem rendah, kurang

percaya diri, dan memiliki pandangan dunia yang negatif dan bias.

Meskipun terdapat kritik bahwa KPC dipandang kurang cocok

untuk membantu individu yang memiliki latar belakang budaya yang

menekankan pada evaluasi eksternal dan masyarakat dan tidak

menilai hubungan atas dasar kondisi pertumbuhan karena

penekanannya pada evaluasi internal individu, banyak ahli yang

memandang bahwa KPC dapat digunakan sebagai model konseling

multi budaya. Demikian pula telah banyak konselor yang

menggunakan KPC sebagai model konseling multi budaya. Seperti

juga telah dikemukakan, meskipun pemikiran Rogers tampak

merefleksikan idealisme Barat, banyak aspek teorinya relevan

dengan keragaman manusia dan masyarakat dari berbagai latar

belakang budaya yang berbeda atau beragam (multi kultural).

Bahwa KPC sangat cocok untuk diterapkan sebagai model

konseling dalam keragaman (multibudaya) ditegaskan oleh Corey.

Menurut Corey (2009) KPC telah memberikan dampak global sangat

cocok untuk diterapkan pada konseli dari berbagai macam negara.

KPC telah diterapkan dan dipraktekkan untuk mendorong

pertumbuhan individu dari berbagai macam latar belakang budya,

ras, dan negara. Corey (2009) juga mengemukakan bahwa KPC

telah dipraktekkan di lebih dari 30 negara yang tersebar di Eropa,

79
Amerika, dan Asia. Di beberapa negara Eropa konsep KPC telah

memberikan dampak yang signifikan pada praktik konseling di

samping pendidikan, komunikasi multikultural, dan penurunan

tekanan ras dan politik.

Rogers sendiri telah menegaskan bahwa KCP dapat diterapkan

sebagai konseling multibudaya. Sebagamana dikemukakan oleh

Sharf (2012), pada akhir kehidupannya yakni pada tahun 1977,

Rogers termotivasi untuk menerapkan KPC untuk semua budaya.

Untuk ini Rogers banyak melakukan berbagai kegiatan workshop

guna mendorong penggunaan KPC untuk mmebantu individu-

individu dari berbagai latar belakang budaya. Workshop ini antara

lain dilaksanakan di Irlandia, polandia, Perancis, Meksiko, Pilipina,

Jepang, Uni Soviet, dan beberapa negara lain. Tentang kegiatan

workshop ini juga dikemukakan oleh Corey. Corey (2009)

mengemukakan bahwa pada tahun 1970 an Rogers dan kawan-

kawan menggiatkan bengkel kerja (workshop) untuk mendorong

komunikasi multi kultural. Para partisipan dalam kegiatan ini

diberikan pengalaman-pengalaman multikultural. Jepang, Australia,

Amerika Selatan, dan Meksiko, serta Inggris juga telah

mengadaptasikan pendekatan KPC dengan budaya setempat ke

dalam praktik konseling. Beberapa saat sebelum kematiannya,

Rogers melakukan suatu bengkel kerja secara intensif dengan para

profesional di Uni Soviet.

80
Ahli lain, Quinn (2013) juga mengemukakan bahwa KPC

dapat menjadi pendekatan yang potensial untuk membantu individu-

individu dari berbagai macam latar belakang budaya, sebab kondisi

terapeutik yang ada dalam KPC adalah bersifat universal. Lebih

lanjut Bohart (dalam Corey 2009) juga menegaskan bahwa filosofi

yang melandasi kerja KPC membuat pendekatan ini sangat tepat

untuk membantu individu-individu dari berbagai macam populasi

karena konselor tidak mengambil peran sebagai ahli yang dapat

menasehati konseli untuk melakukan sesuatu yang menurutnya

benar. Alih-alih, konselor adalah seorang penjelajah (fellow

explorer) yang harus bekerja keras untuk memahami dunia

fenomenologis (subyektif) konseli secara tulus dan sungguh-

sungguh.

Galuser dan Bozart (dalam Corey, 2009) dalam tulisannya

tentang konseling multibudaya meminta konselor untuk memberikan

perhatian pada identitas budaya yang melekat dalam diri konseli.

Menurut Galuser dan Bozart, konseling dalam konteks keragaman

harus mewujudkan kondisi inti yang berkaitan dengan semua

konseling efektif: KPC dapat merangkumkan apa saja yang penting

untuk mendorong keberhasilan terapeutik. Hubungan konselor-

konseli dan penggunaan sumber-sumber konseli adalah sangat

penting (sentral) dalam konseling dalam keragaman budaya.

81
Quinn (2013) melakukan pemeriksaan terhadap kecenderungan

dalam praktik dan penelitian-penelitian dalam konseling dan

psikoterapi. Dalam narasinya Quinn (2003) mengemukakan bahwa

dalam dekade akhir abad ke 20 konseling multikultural muncul

sebagai topik utama dan mendapat status sebagai “kekuatan ke

empat” dalam psikologi dan konseling. Demikian pula,

pengembangan kerangka kerja kompetensi konseling multikultural

telah memberikan dampak substansial pada teori, penelitian, dan

kebijakan. Akibatnya, kontribusi terhadap pelatihan dan praktik

dalam konseling multikultural menjadi semakin berkembang luas,

termasuk di dalamnya adaptasi multikultural dalam penelitian dan

praktik KPC.

Menurut Quinn (2013), selama tahun-tahun fomatif

pengembangan KPC, dari tahun 1954-1874, belum ditemukan bukti-

bukti empirik tentang keefektifan KPC dalam literatur penelitian.

Meskipun demikian, pada awal tahun 1970 an muncul suatu

penelitian dalam tradisi KPC untuk menjawab pertanyaan berkenaan

dengan keefektifan KPC untuk para konseli dari kelompok

masyarakat minoritas. Penelitian-penelitian yang lebih belakangan,

sejak tahun 1990 an- telah memberikan dukungan empirik bahwa

KPC menjadi suatu model perlakuan yang dapat diterima dan efektif

untuk para konseli dari latar belakang budaya yang berorientasi

kolektivisme. Meskipun demikian, menurut Quinn, keefektifan KPC

82
yang diadaptasikan berdasarkan budaya tergantung pada

konselor/terapis dan kesediaan untuk menjadi pribadi yang otentik

yang sungguh-sungguh tulus membantu konseli.

e. Prinsip-Prinsip KPC dalam Keragaman Budaya Konseli/KPC

Multibudaya

Dari apa yang dikemukakan tentang dasar teoretik KPC dan

penerapan KPC dalam keragaman budaya konseli - untuk pembahasan

selanjutnya istilah KPC dalam keragaman konseli diganti dengan KPC

multikultural dan disingkat KPCM, tidak disebutkan secara eksplisit

prinsip-prinsip KPC dalam keragaman budaya konseli. Namun dari

konsep-konsep dan proses KPC sebagaimana dikemukakan oleh Rogers

(dalam Corey, 2009; Quin, 2012; Rogers & Rogers, 2012; Sharf, 2012)

serta cara bagaimana KPC diterapkan sebagai konseling multibudaya

seperti dikemukakan oleh beberapa ahli seperti Cain (2008), Corey

(2009), Galuser dan Bozart (Corey, 2009), dan Quinn (2012), dapat

ditemukan prinsip-prinsip KPC dalam keragaman konseli. Berikut adalah

prinsip-prinsip yang dapat ditarik dari ajaran Rogers tentang KPCM yang

perlu dijadikan landasan bagi para konselor KPCM.

1) KMPCM diterapkan bila konselor dan konseli memiliki latar

belakang budaya yang berbeda. KPCM dilakukan jika antara

konselor dan konseli memiliki latar belakang budaya yang berbeda

atau beragam, baik dilihat dari demensi keragaman primer maupun

sekunder. Dimensi keragaman primer meliputi atribut-atribut inti

83
individu yang tak dapat diubah dengan mudah seperti usia, gender,

ras, penampian fisik, dan orientasi seksual. Dimensi keragaman

sekunder meliputi atribut-atribut yang relatif dapat diubah seperti

sikap, kebiasaan, minat, gaya komunikasi, cara pandang, gaya

berpikir, reaksi emosional, etos kerja, agama atau keyakinan

religius, komitmen, penampilan diri.

2) KPCM didasarkan pada asumsi bahwa setiap individu (konseli)

memiliki potensi bawaan yang bersifat positif. Konselor KPCM

haru memegang keyakinan bahwa setiap individu memiliki suatu

kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya. Kecenderungan

ini merupakan potensi bawaan yang inheren di dalam diri setiap

individu dan yang mendorongnya untuk mencapai pertumbuhan,

kesehatan, penyesuaian, sosialisasi, realisasi diri, dan otonomi

secara optimal. Kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri ini

memungkinkan setiap individu memiliki kemampuan untuk

merealisasikan semua potensi yang dimilikinya secara konstruktif.

Secara konstruktif di sini mengandung pengertian bahwa dalam

upayanya untuk mengaktualisasikan dirinya, setiap individu dapat

menghindari tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab yang

dapat merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya.

Rogers menggunakan istilah fully functioning person untuk

menggambarkan individu yang dapat mengaktualisasikan dirinya.

Berdasarkan pada prinsip ini maka setiap konselor KPCM harus

84
memiliki pandangan yang positif terhadap semua konseli yang akan

dibantunya, bahwa konseli adalah individu yang memiliki

kemampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri secara konstruktif

dan positif dan bahwa proses konseling diarahkan untuk

membangkitkan potensi tersebut.

3) KPCM diterapkan kepada individu yang memperlihatkan gangguan

psikologis dengan mempertimbangkan latar belakang budayanya.

Konseling diberikan kepada individu-individu yang memperlihatkan

atau mengalami suatu permasalahan atau terganggu secara

psikologis, yakni yang tidak bisa menerima dirinya atau mengalami

keadaan tidak selaran (tidak kongruenan) antara diri yang

diidealkan) dan diri yang dialami. Beberapa indikator bahwa

individu tidak kongruen atau distres dapat berupa beberapa bentuk

gangguan emosional (afektif) seperti: mengalami rasa cemas, takut,

merasa tak berdaya, bimbang, rasa bersalah, tidak percaya diri, dan

beberapa bentuk tekanan psikologis lainnya. Keadaan tidak

kongruen tersebut muncul sebagai akibat adanya konflik antara

persepsi individu dan pengalaman aktualnya. Keadaan tidak

kongruen ini juga dapat diamati pada sikap individu yang tidak

terbuka terhadap pengalaman dan sering menggunakan mekanisme

pertahanan diri seperti membiaskan atau mengingkari pengalaman.

4) Tujuan umum dari KPCM adalam membantu individu dapat

mengaktualisasikan diri atau memberdayakan semua potensinya

85
secara optimal. Konselor KPCM berusaha membantu

individu/konseli agar dapat mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi

diri ini dapat disamakan dengan individu yang dapat

memberdayakan semua potensi yang dimilikinya, atau individu

yang terbuka terhadap pengalaman. Sedangkan tujuan khusus

adalah membantu konseli menangani berbagai bentuk gangguan

emosional atau tekanan psikologis (distres) seperti: perasaan cemas,

takut, malu, marah, dendam, tak berdaya, gelisah, bimbang, tak

percaya diri, harga diri rendah, konsep diri negatif. Tujuan ini

ditetapkan sendiri oleh konseli dan bukan oleh konselor. Jika

konseli tak mampu merumuskan tujuannya sendiri, menjadi tugas

konselor perlu membantunya.

5) Dalam mempraktekkan KPCM, konselor perlu mengkomunikasikan

sikap-sikap fasilitatif. Untuk mendorong terjadinya pertumbuhan

diri atau perubahan perilaku pada konseli, konselor perlu

mengembangkan iklim hubungan yang fasilitatif dengan

mengkomunikasikan tiga bentuk sikap atau kondisi inti hubungan:

empati, kesungguhan, dan penghargaan positif. Sikap empati

mengimplikasikan bahwa konselor berusaha memperoleh

pemahaman secara akurat tetantang permasalahan konseli.

Kesungguhan mengimplikasikan bahwa konselor memperlihatkan

sikap yang sungguh-sungguh dan tulus untuk membantu konseli

memecahkan masalah/kesulitannya. Penghargaan positif

86
mengimplikasikan bahwa konselor dapat menerima dan menghargai

tanpa syarat keunikan pribadi konselor tanpa menerapkan penilaian

tertentu terhadap perasaan, pikiran, dan tindakannya. Tanpa

memperhatikan permasalahan konseli, ketiga kondisi inti tersebut

dapat menggantikan teknik dan merupakan kondisi yang perlu dan

mencukupi (neccessary and sufficient) bagi terjadi pertumbuhan

atau perubahan perilaku konseli.

6) Mendengarkan dengan aktif merupakan teknik utama dalam KPCM.

Ketiga bentuk sikap fasilitatif konselor: empati, ketulusan, dan

penghargaan dikomunikasikan melalui teknik mendengarkan.

Teknik ini mencakup beberapa keterampilan berikut: meminta

penjelasan pesan yang ambigu (klarifikasi), menyatakan kembali

pesan-pesan konslei untuk memeriksa persepsi (parafrase),

memantulkan perasaan konseli (refleksi), merangkum pesan-pesan

konseli ke dalam kesatuan yang bermakna (rangkuman), dan

mengajukan pertanyaan eksploratif (probe).

7) Konselor KPCM boleh menggunakan teknik-teknik dari pendekatan

lain. Meskupun KCP lebih menakankan pada pengembangan

hubungan dengan cara mengkomunikasikan kondisi fasilitatif,

dalam KPCM konselor dapat menggunakan teknik-teknik konseling

dari berbagai macam pendekatan dan mengintegrasikannya ke

dalam hubungan konseling jika itu dipandang dapat lebih

mengefektifkan pencapaian tujuan-tujuan konseling.

87
8) Konselor KPCM perlu membantu konseli untuk mengambil

tanggung jawab pribadi bagi perubahan perilaku yang

diinginkannya. Dalam proses konseling konselor harus

mengarahkan konseli untuk mengambil tanggung jawab pribadi

bagi permasalahan yang dialami dan perubahan perilaku yang

diinginkan. Artinya, dalam proses konseling konseli memperoleh

pengalaman untuk belajar bahwa mereka memiliki tanggung jawab

bagi diri mereka sendiri baik dalam hubungan hubungan konseling

maupun dalam konteks hubungan yang lebih luas di luar konseling.

Meskipun konseli pada awalnya merasa bingung dan frustrasi oleh

upaya konselor tersebut.

9) Konselor KPCM harus memiliki pengetahuan yang luas tentang

budaya masyarakat. Konselor KCPM harus berusaha memperoleh

pengetahuan tentang berbagai budaya yang melatar belakangi

kehidupannya dan kemungkinan menyebabkan kesulitannya, dan

kemudian menggunakan pengetahuan tersebut untuk merancang

suatu program bantuan yang berbasis budaya konseli.

10) Konselor KPCM perlu mennagani hambatan budaya. Dalam

menerapkan KCPM, konselor juga perlu menangani hambatan

budaya, yakni perbedaan antara nilai-nilai budayanya sendiri dan

nilai-nilai budaya yang dipegang oleh konseli dan mempengaruhi

perilakunya. Konselor juga perlu memberikan perhatian terhadap

identitas budaya yang melekat dalam diri konseli.

88
11) Konselor KPC tidak bertindak sebagai ahli. Konselor tidak

bertindak sebagai ahli yang menasehati konseli tentang apa yang

seharsnya ia lakukan, melainkan bertindak sebagai penjelajah

(fellow explorer) yang harus bekerja keras untuk memahami dunia

fenomenologis (subyektif) konseli secara tulus dan sungguh-

sungguh.

12) Konselor KPCM harus memahami dunia subyektif konseli. Konselor

KCPM perlu memahami dunia atau persepsi subyektif konseli agar

dapat berpikir dan merasa seperti konseli dalam mengalami suatu

peristiwa dan kemudian mengusulkan cara-cara baru dalam

mempersepsi pengalaman sehingga lebih mendorong pertumbuhan.

13) Meskipun proses konseling KPCM tak dapat digambarkan secara

eksplisit, ada beberapa elemen atau fase yang harus ada, yakni:

a) Menyadari adanya masalah/identifikasi masalah. Tahap ini

menggambarkan kesadaran pada diri konseli bahwa konseli

memiliki kesulitan (mengalami ketidak kongruenan) dan

datang kepada konselor untuk meminta bantuan. Konselor juga

dapat melakukan pengamatan guna menemukan adanya

individu yang memiliki kesulitan dan membutuhkan bantuan.

Adanya permasalahan juga dapat diketahui berdasarkan laporan

dari pihak-pihak terkait yang memiliki hubungan dekat dengan

individu.

89
b) Pembinaan hubungan. Pada tahap ini konselor membangun

kontak psikologis dengan konseli. Konselor mula-mula

mengundang konseli untuk melakukan pertemuan, mendorong

konseli untuk berbicara, mendengarkan apa yang diceriterakan

konseli. Dengan kata lain, konselor mengomunikasikan

perilaku yang dapat dipersepsi oleh konseli sebagai sikap

memperhatikan dan kesediaan membantu konselinya

(attending). Kontaks psikologis tak hanya dibangun di ruangan

konseling tetapi juga di luar ruang konseling. Kapanpun

konseli membutuhkan kehadiran konselor maka konselor

menyediakan dirinya dan menggunakan semua

kemampuannya secara otentik (sungguh-sungguh) untuk

membantu konseli.

c) Pengumpulan informasi/pemahaman masalah konseli. Pada

tahap ini konselor mendorong konseli membuka dirinya, dalam

arti menceriterakan semua perasaan dan pengalaman yang

dipersepsinya secara jujur. Untuk mendorong keterbukaan diri

konseli, konselor mengkomunikasikan kondisi fasilitatif, yakni:

pemahaman yang empati, kesungguhan untuk menolong, dan

penghargaan positif dengan menggunakan berbagai bentuk

keterampilan mendengarkan. Konselor juga menggunakan

pertanyaan-pertanyaan eksploratif untuk mengungkap

informasi-informasi berkaitan dengan latar belakang budaya

90
konseli beserta dengan kompleksitasnya. Selanjutnya konselor

merangkumkan semua informasi yang diberikan oleh konseli

dan menggunakannya sebagai dasar untuk menetapkan

konfigurasi permasalahan konseli. Dalam hal ini konselor perlu

memperhatikan berbagai variabel budaya yang menjadi latar

belakang kehidupan konseli dan kemungkinan menjadi

penyebab kesulitannya. Konselor juga perlu memeriksa

identitas etnis/ras/budaya konseli untuk memastikan ada

tidaknya hubungan antara gangguan perilaku dengan identitas

budayanya.

d) Penetapan tujuan konseling. Pada tahap ini konselor meminta

konseli untuk menyatakan secara eksplit tentang harapannya,

yakni apa yang diinginkannya, atau perubahan seperti apa (mau

menjadi orang seperti apa) yang dikehendakinya. Bila konseli

tidak mampu memilih atau menyatakan tujuannya, menjadi

tugas konselor untuk membantnya. Tujuan ini harus realistis,

dalam arti bahwa tujuan harus didasarkan pada batas-batas

kemampuan konseli untuk mencapainya dan batas-batas

sumber lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk

memfasilitasi pencapaiannya. Secara umum, tujuan KPCM

adalah membantu konseli dapat menerima semua

pengalamannya dan kemudian mengaktualisasikan dirinya

dalam konteks budaya yang beragam. Secara khusus, tujuan

91
KPCM adalah membantu konseli menangani berbagai

permasalahan khusus yang menghambatnya

mengaktualisasikan dirinya dan dengan memperhatikan

pengaruh dari berbagai variabel-variabel budaya yang

melatarbelakangi kehidupannya.

e) Perencanaan bantuan. Setelah memperoleh pemahaman

tentang permasalahan konseli dan cara bagaimana budaya

mempengaruhi perilakunya. Konselor merancang suatu

program bantuan konseling berbasis multibudaya. Dalam hal

ini konselor dapat memilih sejumlah teknik dari pendekatan

lain yang diintegrasikan dengan penerapan tiga kondisi inti

hubungan konseling. Perencanaan tidak hanya menyatakan

strategi atau teknik dan integrasinya dengan kondisi inti, terapi

juga panjang pertemuan (berapa kali sesi-sesi konseling akan

dilaksanakan) dan durasi waktu setiap sesi, serta tempat

berlangsungnya konseling.

f) Implementasi. Pada tahap ini konselor melaksanakan rencana

yang telah ditetapkan secara konsisten, tidak kurang dan tidak

lebih.

g) Evaluasi. Pada tahap ini konselor merefleksikan hasil-hasil

yang dicapai dan menilai apakah bantuan yang diberikan dapat

atau tidak membatu konseli mencapai tujuan yang diinginkan.

Hasil evaluasi akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan

92
untuk membuat keputusan berkenaan dengan apakah konseling

bisa diakhiri atau ditindak lanjuti.

2. Keragaman Budaya Konseli di SMAN 3 Surakarta

Keragaman (diversity) budaya atau multikulturalisme umumnya

dipahami sebagai suatu istilah atau konsep untuk menunjuk pada keragaman

dan toleransi terhadap berbagai macam budaya. Keragaman juga digunakan

untuk menunjuk campuran antara persamaan dan perbedaan latar belakang

budaya antara individu dan kelompok, seperti ras, gender, etnis, usia, dan

orientasi seksual yang mendukung identitas sosial yang berbeda.

Definisi keberagaman budaya mengandung dua dimensi, dimensi

keragaman primer dan sekunder. Dimensi keragaman primer merupakan

atribut inti individu yang tak dapat diubah dengan mudah seperti usia, gender,

ras, penampian fisik, dan orientasi seksual. Atribut-atribut ini membentuk

citra diri (self-image) dan digunakan oleh individu untuk mempersepsi

lingkungan. Semakin besar atau semakin banyak jumlah perbedaan atribut

primer antara individu, semakin besar kemungkinan terjadi bentrokan budaya

dan akan dapat merusak hubungan interpersonal dan mematikan organisasi.

Sedangkan dimensi keragaman sekunder adalah atribut-atribut individu yang

dapat dimodifikasi atau diubah seperti gaya komunikasi, pendidikan, status

perkawinan, agama atau keyakinan religius, pengalaman kerja, dan

penghasilan. Atribut-atribut ini dapat menambah kompleksitas citra diri

individu. Interaksi antara dimensi primer dan sekunder akan membentuk

93
persepsi, prioritas, dan nilai individu. Hubungan antara anggota dari suatu

organisasi akan efektif apabila semua perbedaan dapat diterima dan dihargai.

Bentuk keragaman budaya juga dapat ditemukan di SMA Negeri 3

Surakarta. SMAN 3 Surakarta merupakan sekolah yang memiliki tingkat

keragaman budaya yang cukup majemuk dengan berbagai etnis yang ada

seperti etnis Cina, etnis Jawa dan Etnis Arab dan juga agama yang beragam,

seperti agama Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Hindu. Penelitian ini akan

berfokus pada dimensi keragaman sekunder yang ada di SMA Negeri 3

Surakarta, meliputi keragaman etnis dan agama yang dianut oleh peserta

didik.

Dalam keragaman budaya yang ada di SMAN Negeri 3 Surakarta,

ada beberapa kebiasaan yang dilakukan di SMAN Negeri 3 Surakarta bahkan

dianggap sebagai budaya sekolah SMAN Negeri 3 Surakarta sebagai upaya

untuk meningkatkan kebersamaan dalam keragaman budaya dan peningkatan

karakter konseli, seperti: 1. Budaya Adi Wiyata atau arah sekolah yang

“Green School” kebersihan, kenyamanan, kerindangan, keindahan, keasrian

SMAN Negeri 3 Surakarta dari kita, oleh kita, untuk kita selamanya (ada

sampah dipungut, bawa tanaman untuk penghijauan, merawat tanaman biar

hidup) ada juga pokja hutan sekolah; 2. Budaya ramah, senyum, tegur salam

sapa, sopan santun; 3. Budaya Literasi, ditiap pojokan kelas ada buku bacaan

dan tiap jumat ada kegiatan baca bersama untuk motivasi belajar; 4. Ibadah

pagi, setiap hari jam 06.50 WIB konseli yang muslim ibadah pagi di kelas

dengan membaca AlQuran/Tausiah selama 10 menit, sementara yang non

94
muslim ibadah di ruang agama masing-masing; 5. Jumat manfaat dengan

ibadah seperti Imtag dimasjid yang non muslim di ruang agama atau diisi

dengan bersih-bersih lingkungan dan jumat sehat untuk olah raga bersama

ada juga jumat seni untuk menyanyi berekspresif yang dilakukan rutin setiap

hari jumat.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

1. Frankel, Johnson, & Polak. (2019) dalam penelitiannya yang berjudul

Inter-personal congruence: the social contracts of client-centered and

person-centered therapies. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa orang

yang memiliki kongruen interpersonal adalah mereka yang konsisten

dengan kontrak sosial dengan orang lain. Pandangan ini bertentangan

dengan pandangan intra-personal Rogers tentang kongruensi yaitu bahwa

seseorang dikatakan kongruen sejauh tidak ada perbedaan diri yang

dipersepsikan dan pengalaman aktualnya. Perbedaan dalam kontrak

sosial dari kedua perspektif ini dijabarkan dengan sangat rinci dalam

konteks client-centered, person-centered dan terapi relasional yang

mendalam. Penelitian ini menyajikan transkrip percakapan klien yang

memiliki gagasan berbeda antar klien (ayah dan anak) tentang kontrak

sosial.

2. Benjamin. (2018) dalam penelitiannya yang berjudul “The creative

artists support group: a therapeutic environment to promote creativity

and mental health through person-centered facilitation”. Dalam

penelitian ini dijelaskan tentang berbagai grup pendukung artis yang

95
berbeda-beda dengan berbagai indikator antara lain tentang perbedaan

kontrak, fasilitas yang diberikan. Kelompok yang diteliti dikelompokkan

menjadi kelompok yang dipimpin seorang psikoterapis dan kelompok

yang tanpa pemimpin. Memanfaatkan penelitian autoethnographic,

termasuk deskripsi dari motivasi penulis dalam menulis artikel ini,

ilustrasi diberikan dari beberapa interaksi terapeutik dari kelompok

pendukung seniman kreatif sendiri untuk menunjukkan fleksibilitas

semacam ini dalam memfasilitasi kelompok pendukung seniman kreatif

yang berpusat pada orang. Dapat disimpulkan bahwa bahan dasar yang

umum dalam semua kelompok pendukung seniman kreatif yang

dijelaskan dalam artikel ini adalah fokus ganda pada kreativitas dan

kesehatan mental.

3. Wikarta. (2016) dalam penelitian Pelaksanaan Konseling Kelompok

dengan Pendekatan Person-Centered Therapy dalam Menangani

Regulasi Diri Rendah Empat Mahasiswa Angkatan 2014 Prodi

Bimbingan dan Konseling Fakultas Pendidikan dan Bahasa Unika Atma

Jaya. Penelitian ini adalah penelitian tindakan bimbingan dan konseling

yang bertujuan untuk mengetahui mengenai penanganan mahasiswa yang

mempunyai regulasi diri rendah melalui konseling kelompok dengan

pendekatan Person-Centered Therapy. Pengukuran tingkat regulasi diri

diukur dengan menggunakan skala penilaian yang diberikan sebelum dan

sesudah tindakan berupa konseling kelompok. Pendekatan Person-

Centered Therapy dalam konseling kelompok dapat membantu

96
menangani masalah (1) pencegahan, pengembangan pribadi dan

pengentasan masalah, (2) ajang latihan untuk mengubah perilaku yang

kurang memuaskan menjadi lebih memuaskan, (3) tempat para anggota

kelompok belajar keterampilan sosial, (4) tempat anggota akan menjalin

hubungan pribadi lebih dalam, dan (5) meningkatkan motif individu

untuk berkarya melalui interaksi yang intensif dan dinamis dalam

kelompok. Dalam masalah regulasi diri, pendekatan Person Centered

Therapy dalam konseling kelompok berhasil meningkatkan motif para

anggota kelompok untuk memperbaiki prestasi belajar dan kinerja dalam

proses belajar, tetapi pendekatan ini kurang berhasil mengubah perilaku

subjek penelitian untuk melakukan regulasi diri dalam waktu yang

singkat. Dibutuhkan dua siklus untuk dilakukan tindakan lebih lanjut

yaitu siklus pertama untuk menyembuhkan luka batin dan siklus yang

kedua untuk membantu subyek memperbaiki.

4. Aga Mohd Jaladin. (2017). dalam penelitiannya yang berjudul

Perceived Multicultural Counseling Competence of Malaysian

Counselors: An Exploratory Study. Penelitian ini bertujuan untuk

menyelidiki sifat dan tingkat persepsi kompetensi konseling multikultural

terhadap 508 konselor profesional di negara Malaysia. Penelitian ini

menggunakan pendekatan survei nasional. Perbedaan persepsi konselor

ini berkaitan dengan gender, etnis, tingkat pendidikan dan pelatihan

multikultural konseling. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan terhadap faktor-faktor yang

97
memengaruhi persepsi konselor dalam konseling multikultur. Dalam

penelitian ini ditemukan bahwa untuk mendidik dan melatih konselor

sebagai praktisi yang berkompeten secara multikultural, program

pendidikan dan pelatihan konselor dapat menekankan pada komponen

praktis konseling di dalam kurikulum

5. Bowers dan Lemberger. (2016), dalam penelitiannya yang berjudul A

Person-Centered Humanistic Approach To Performing Evidence-Based

School Counseling Research menemukan bahwa hubungan antara

konselor sekolah dengan konseli sangat memengaruhi perubahan konseli.

Program yang disusun oleh konselor sekolah harus memberikan hasil

yang maksimal apabila seorang konselor ingin menjangkau seluruh siswa

yang berada di sekolah. Dalam menerapkan pendekatan person-centered

humanistic pada penelitian konseling sekolah, seorang peneliti harus

meningkatkan keingintahuan, memperhatikan subjektivitas dari

pengalaman mereka dan selalu berusaha jujur dalam setiap fase

penelitian.

6. Mulyadi. (2016) dalam penelitian berjudul Penerapan Client Centered

Therapy Terhadap Klien "KK" yang Mengalami Grieving di Sekolah

Luar Biasa Negeri A Kota Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk

mendapatkan gambaran empirik dan analisis terhadap tehnik client

centered therapy untuk memberikan menyelesaian masalah grieving yang

dialami oleh klien di SLBN A Kota Bandung. Metode penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode Single Subject Design

98
(SSD) N = 1. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Sumber data

yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder.

Uji validitas menggunakan test statistik dengan formula dari Parson’s dan

uji relialibilitas menggunakan Chronbach Alpha technique. Hasil dari

penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif

menggunakan rumus 2 standar deviasi. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa penerapan teknik client centered therapy dapat digunakan untuk

mengurangi dan menghilangkan grieving yang dialami oleh responden,

yang mencakup kemampuan dalam aspek psikologi, fisik, dan sosial.

Intervensi yang digunakan merupakan pendekatan individual.

7. Rosada. (2016). melakukan penelitian dengan judul Model Pendekatan

Konseling Client Centered dan Penerapannnya dalam Praktik. Penelitian

ini menggunakan teknik client centered. Hasil penelitian ini antara lain:

1) peningkatan dalam penyesuaian psikologis, 2) kurangnya ketegangan

fisik dan pemikiran kapasistas yang lebih besar untuk merespons rasa

frustasi, 3) menurunnya sikap defensive, 4) tingkat hubungan yang lebih

besar antara self picture dengan self ideal, 5) secara emosional lebih

matang, 6) peningkatan dalam keseluruhan penyesuaian dalam latihan-

latihan vokasional dan 7) lebih kreatif.

8. Firdaus, Yasin, dan Anggreta. (2015). menjelaskan dalam

penelitiannya yang berjudul Penanaman Nilai-Nilai Multikulturalisme

Melalui Pendidikan untuk Menyiasati Masalah Multikultur di Indonesia

99
& Malaysia. Penelitian ini membahas tentang penanaman nilai-nilai

multikulturalisme melalui pendidikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa

pengelolaan keragaman di Indonesia dan Malaysia menunjukkan adanya

masalah karena tidak dikelola dengan baik. Secara vertikal, masalah

tersebut lahir karena kebijakan politik penyelenggara negara. Secara

horizontal, masalah muncul karena sikap dan perilaku pemangku

kebudayaan tidak dapat menghormati dan menghargai kebudayaan lain.

Untuk menyelesaikan dua sumber masalah ini, penenanaman nilai-nilai

multikultiural melalui pendidikan adalah salah satu pendekatan yang bisa

digunakan terutama masalah horizontal. Untuk masalah yang muncul dari

pemerintah, hal ini adalah dalam jangka panjang. Artinya, individu yang

dalam diri mereka sudah tertanam nilai-nilai multikultiralisme akan

berkesempatan pada masa yang akan datang dalam struktur

pemerintahan. Oleh karenanya, penanaman nilai dianggap penting dan

jalannya adalah melalui pendidikan.

9. Lestari. (2015), dalam penelitian yang berjudul Bhinnekha Tunggal Ika:

Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan Sara. Tingkat

keragaman bangsa Indonesia yang tinggi merupakan sumbu yang mudah

tersulut oleh konfrontasi- konfrontasi SARA. Oleh karena itu, butuh

sebuah penelaan konfrehensif berkaitan dengan ciri kebhinekaan

Indonesia. Suatu kajian tentang keanekaragaman budaya bukan hanya

memberikan gambaran komprehensif namun lebih dari itu,dapat

menumbuhkan dialog persepsi kerukunan SARA ditengah kehidupan

100
berbangsa. Multikulturalisme merupakan given dari Tuhan, namun

Bhineka Tunggal Ika merupakan titipan dari nenek moyang kita yang

harus di jaga dan dilestarikan. Keragaman dalam masyarakat majemuk

merupakan sesuatu yang alami yang harus dipandang sebagai suatu fitrah.

Hal tersebut dapat dianalogikan seperti halnya jari tangan manusia yang

terdiri atas lima jari yang berbeda, akan tetapi kesemuanya memiliki

fungsi dan maksud tersendiri, sehingga jika semuanya disatukan akan

mampu mengerjakan tugas seberat apapun. Untuk menyadari hal tersebut,

Bhinneka Tunggal Ika memiliki peran yang sangat penting. Pengem-

bangan multikulturalisme mutlak harus dibentuk dan ditanamkan dalam

suatu kehidupan masyarakat yang majemuk. Jika hal tersebut tidak

ditanamkan dalam suatu masyarakat yang majemuk, agar kemajemukan

tidak membawa pada perpecahan dan konflik. Indonesia sebagai bangsa

yang multikultural harus mengembangkan wawasan multikultural tersebut

dalam semua tatanan kehidupan yang bernafaskan nilai- nilaikebhinekaan.

Membangun masyarakat multikultur Indonesia harus diawali dengan

keyakinan bahwa dengan bersatu kita memiliki kekuatan yang lebih besar.

10. Collins. (2014) dalam penelitian berjudul Keragaman Bahasa dan

Kesepakatan Masyarakat: Pluralitas dan Komunikasi. Artikel ini akan

melihat keragaman bahasa Indonesia berdasarkan pola migrasi manusia

purba di Nusantara. Selain itu, juga akan ditinjau tentang peranan satu-

satunya bahasa yang sudah berhasil menyatukan keragaman budaya

etnisitas, dan bahasa-bahasa di Indonesia. Adanya satu bahasa nasional di

101
Indonesia hanya munkin karena sudah terjalin kesepakatan penduduk

Indonesia tentang ikatan social mereka. Kesepakatan tersebut terjadi

secara kumulatif. Banyak faktor yang mempengaruhi keragaman bahasa

yang ada di Indonesia. Di antara faktor yang menghasilkan keragaman

bahasa tersebut adalah faktor dua migrasi manusia purba, yakni migrasi

Austronesia dan Australo-Melanesia. Dua arus distribusi manusia

prasejarah tersebut tetap berpengaruh pada pembentukan budaya dan

bahasa di Nusantara sampai sekarang. Semua bahasa pribumi di Indonesia

diturunkan daru dua kelompok bahasa kuno, yakni keluarga bahasa

Austronesia dan keluarga bahasa Papua. Keluarga Bahasa Austronesia

berpindah di Nusantara sekitar 4.000 tahun lalu. Sementara itu, keluarga

bahasa Papua berpindah di Nusantara sejak 40.000 tahun lalu. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa keragaman bahasa di Indonesia

kontemporer harus dikaitkan dengan faktor migrasi tersebut dan beberapa

faktor lain. Faktor-faktor lain tersebut antara lain seperti perpindahan

penduduk, geografi Nusantara dengan banyak pulau dan pegunungan, dan

faktor social dan komunikasi. Melihat hal-hal tersebut. Dapat disampaikan

bahwa Indonesia memiliki bahasa yang sangat beragam.

11. Mardiana Mohamad, Halimatun Halaliah Mokhtar. (2011).

Asnarulkhadi Abu Samah. Person-centered counseling with Malay

clients: spirituality as an indicator of personal growth. Dijelaskan

bahwa, Sebuah studi kualitatif dilakukan untuk mengeksplorasi

pengalaman batin dan pertumbuhan pribadi dari satu laki-laki dan tiga

102
perempuan Melayu konseli mahakonseli menjalani dua belas sesi

konseling yang berpusat pada personal (Non Directive Counsellng-

Rogers). Analisis data didasarkan pada catatan verbatim sesi konseling,

Mengingat Kembali Process Interpersonal (IPR) wawancara, jurnal

konseli dan ekspresi di seluruh sesi mereka secara non-verbal. Temuan

nyata bahwa dalam konseling non-direktif, egaliter dan hubungan yang

berpusat pada personal, perubahan konstruktif yang dialami oleh konseli

Melayu dalam penelitian ini, termasuk yang berkaitan dengan mereka

dalam konteks realisasi agama.

Hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa pendekatan konseling Rogers

dengan teknik person centered counseling yang notabene pendekatan

Humanistik, dengan pendekatan personal centered counseling

/pendekatan humanistik dari Rogers ada hubungan yang signifikan yang

ditunjukan dengan perubahan konstruktif yang dialami oleh konseli

Melayu dalam penelitian ini, termasuk yang berkaitan dengan konteks

realisasi agama mereka.

12. Carol Macdougall (2002) dalam penelitian yg berjudul: Rogers’s

Person-Centered Approach (Pendekatan berpusat pada personal):

Consideration for Use in Multicultural Counseling. Pendekatan yang

berpusat pada personal dari Rogers memiliki banyak karakteristik yang

dapat berguna dalam situasi konseling multikultural. Rogers

memfokuskan pada individualistis yang sesuai untuk menghindari

ketergantungan informasi nomotetis dan merumuskan idiographic fokus

103
ketika bekerja dalam konteks lintas budaya. Fokus pada konselor,

mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan bias,peran terapis

nonevaluative, dan belajar tentang nilai-nilai konseli dan bias sesuai

dengan kompetensi konseling multikultural yang sekarang sedang

dipromosikan dan penting.

Ironisnya, keterbatasan Pendekatan ini sangat banyak esensinya :

penekanan kuat pada diri dan pengalaman subyektif, kemandirian, dan

penggunaannya abstraksi D.W. Sue dan Sue (1990) tiga multikultural

konseling: kompetensi, pendekatan, pertimbangan budaya. Sebagai

profesi konseling itu sendiri menjadi upaya lebih beragam , dan

selanjutnya dibuat untuk fokus pada kebutuhan dari basis konseli yang

semakin beragam, mungkin modifikasi untuk Pendekatan Rogers harus

dipertimbangkan meskipun kompetensi konseling multikultural

merupakan tantangan besar, konselor dengan kesetiaan kepada

pendekatan berpusat pada personal mungkin sangat-sangat cocok untuk

memperluas repertoar keterampilan mereka dan bergerak menuju-

Pendekatan berpusat pada personal. Lebih alami dan fleksibel untuk

pengembangan kompetensi multikultural tidak hanya akan menyebabkan

meningkatkan layanan bagi konseli minoritas; konseling keragaman

budaya kompetensinya akan mengarah ke layanan ditingkatkan untuk

semua.

Berdasarkan hasil penelitian Carol Macdougall, dijelaskan bahwa

pendekatan konseling dari Rogers yang humanis berorientasi pada

104
Person-Centered Approach memiliki banyak karakteristik yang dapat

berguna dalam situasi konseling multicultural, peran terapis

nonevaluative, lebih alami dan fleksibel untuk pengembangan

kompetensi multikultural tidak hanya akan menyebabkan meningkatkan

layanan bagi konseli minoritas; konseling multikultural kompetensinya

akan mengarah ke layanan ditingkatkan untuk semua.

13. Cooper et al, (2010). Dengan topic: Randomised controlled trial of

school-based humanistic counselling for emotional distress in young

people: Feasibility study and preliminary indications of efficacy.

Penelitian ini untuk menguji kelayakan uji coba terkontrol secara acak

dengan membandingkan enam minggu dengan konseling humanistik

berbasis sekolah dibandingkan daftar tunggu dalam pengurangan tekanan

emosional pada orang muda, dan mendapatkan indikasi awal

keberhasilan.

Hasilnya, prosedur Rekrutmen berhasil, dengan 32 orang muda setuju

untuk berpartisipasi dalam persidangan dan 27 menyelesaikan langkah-

langkah endpoint. Prosedur persidangan yang diterima oleh semuayang

terlibat dalam penelitian. Tidak signifikan perbedaan yang ditemukan

antara konseling dan daftar tunggu kelompok dalam penurunan tingkat

gejala emosional (Hedges ' g = 0,03), tetapi konseli dialokasikan untuk

konseling humanistik menunjukkan peningkatan signifikan lebih besar

pada prososial perilaku (g = 0,89) dengan efek ukuran rata-rata (g) di

sembilan ukuran hasil dari 0,25. Peserta dengan tinggi tingkat gejala

105
depresi menunjukkan perubahan signifikan lebih besar.Kesimpulannya

penelitian ini menunjukkan bahwa uji coba terkontrol secara acak

konseling humanis di sekolah dapat diterima dan layak, meskipun

indikasi awal dari keberhasilan dicampur.

14. John McCarthy and Ebony L. Holliday (2004) dengan

topickpenelitian: Help-Seeking and Counseling Within a Traditional

Male Gender Role: An Examination From a Multicultural

Perspective.Profesi konselor berkomitmen untuk memahami bagaimana

konselor, berpersepsi terhadap berbagai budaya yang mempengaruhi

konseptualisasi harus terampil membiasakan diri dengan penelitian yang

relevan dan penemuan serta menyajikan masalah dan terapi selanjutnya

dari konseli.

Meskipun Kompetensi mengklaim bahwa "Konselor budaya baru

mengenai kesehatan mental dan gangguan mental yang mempengaruhi

berbagai kelompok etnis dan ras” (Arredondo et al., 1996) akan

menjadikan konselor untuk melakukan hal yang sama pada budaya lain,

termasuk jenis kelamin maskulinitas. Sebagai konselor menjadi semakin

sensitif terhadap pertimbangan keragaman budaya, budaya jenis kelamin

harus disertakan untuk segmen laki-laki dari populasi yang akan dilayani

lebih baik. Dengan pria tradisional yang disosialisasikan untuk menjadi

independen, tidak mengejutkan bahwa mereka telah mencari layanan

kesehatan mental profesional lebih sering daripada wanita.

106
Dalam merawat pria, baru-baru ini penulis telah menekankan perlunya

fleksibilitas konselor, keluwesan dan kepekaan gender (Nahon & Lander,

1992) (Brooks& Good, 2001) serta pentingnya belajar dari konseli laki-

laki dalam proses konseling. Akhirnya, dengan menggunakan berbagai

teknik yang sesuai dengan budaya tradisional pria juga harus

dipertimbangkan. Dengan memahami pria tradisional serta sosialisasi

laki-laki dan dampaknya pada perilaku dan sikap mencari bantuan laki-

laki, profesi kita dapat lebih memenuhi kebutuhan pria tradisional.

Peningkatan minat yang relatif baru dimasalah laki-laki telah terjadi

sebagian karena menggunakan" lensa baru untuk memeriksa hidup

manusia" (Skovholt, 1993). Diakui, studi tentang laki-laki dan

maskulinitas dalam tahap awal, sebagai Pollack dan Levant (1998)

lapangan berkembang lebih jauh, sistem kesehatan mental tidak

diragukan lagi akan mendapatkan keuntungan dari melihat pada

pemahamannya laki-laki pencarian bantuan dan pengobatan dari

perspektif lintas budaya dan multikultural serta dari pengaruhnya dalam

transformasi pria tradisional. Dari sisi multikultural, Sebagai konselor

menjadi semakin sensitif terhadap pertimbangan multikultural, budaya

jenis kelamin dan perlunya fleksibilitas konselor, keluwesan dan

kepekaan gender.

15. Yueh-Ting Lee, (2003) dengan penelitiannya yang berjudul: Daoistic

Humanism In Ancient Cina: Broadening Personality And Counseling

Theories In The 21st century. Singkatnya, analisis Cina kuno Taoisme

107
menunjukkan ada humanisme tidak hanya di Barat tetapi juga di

Timur.Meskipun humanisme bersifat umum dan mungkin yang universal

(yaitu, budaya etik), cara Cina mengungkapkan humanisme mungkin

berbeda dari cara Westerners mengungkapkannya (yaitu, budaya emic).

Sebagai bagian dari Budaya Cina, humanisme Daoistic dapat diringkas

sebagai berikut: (a) prinsip wei wu-wei, atau spontanitas dan cara alami

(mengikuti noninterference, nonaction), (b) keterbukaan dan toleransi,

(c) kepribadian air, (d) menjunjung tinggi wanita danibu, (e) moderasi

dan menghindari ekstremitas, (f) kontingen diripada minat dalam

kesejahteraan orang lain dan dunia, dan (g) oposisi terhadap perang dan

cinta damai. Hal ini juga dibahas bahwapsikolog humanistik awal

dipengaruhi oleh CinaTaoisme.

Pelajaran apa yang bisa kita pelajari dari pembahasan di atas? dengan

kata lain, apa implikasi dari penelitian ini ke dalam bahasa Cina

Humanisme Daoistic?

Pertama, psikolog saat ini, terutama psikolog humanistik, mungkin akan

lebih baik jika mereka melanjutkan Tradisi Daoistic dianjurkan oleh

Maslow dan rekan-rekannya. Pendekatan ini dapat membantu kita untuk

lebih memahami dan memperkuat yang modern atau teori humanistik dan

eksistensial saat ini. Jika penelitidan praktisi membatasi diri humanistik

Barat dan pemikiran eksistensial, itu mungkin sangat rabun. Pendekatan

Eurocentric tidak boleh terlalu ditekankan. Setelah warisan Jung,

Maslow, dan Fromm, memahami dan menghargai baik Budaya Western

108
danTimur, kita perlu untuk mengeksplorasi humanistik baru ide-ide dan

teori-teori tidak hanya dari Barat, tetapi juga dari Timur (Coward,

1985/1999, Jung, 1939, Maslow, 1971).

Kedua, meskipun kuno, ide-ide humanistik bahwa Laozi menganjurkan

lebih dari 2.500 tahun yang lalu masih berharga bagi kami hari ini.

Mungkin bisa berubah, tapi sifat manusia dapat tetap tidak berubah.

Daoistic humanisme lebih seperti filsafat daripada agama. Sebagai

contoh, Laozi Dao dan De dapat membuat dunia yang lebih harmonis,

dan interpersonal dan antar kelompok (misalnya, etnis dan budaya)

konflik mungkin dikurangi secara signifikan. Mungkin berbeda dari

agama Kristen ,Islam, atau agama-agama lain, Laozi Taoisme dan

agama-agama Timur lainnya tidak pernah bertentangan satu sama lain.

Mereka hidup berdampingan dengan baik. Secara historis, Cina tidak

pernah memiliki perang karena agama.

Ketiga, sebagai filosofi humanistik di Cina kuno, Taoisme mungkin

menjadi lebih dan lebih dipahami dan cukup dalam desa global. Jika di

hari ini dan usia dunia adalah seperti sebuah desa kecil, di planet ini

masalah manusia (misalnya, interpersonal dan antar kelompok hubungan

budaya, konflik etnis atau pembersihan etnis, kebencian kejahatan,

diskriminasi terhadap perempuan atau minoritas, kekerasan terhadap

perempuan), serta masalah ekologi dan lingkungan di seluruh dunia

(misalnya, pencemaran, perusakan lingkungan alam), menjadi

kekhawatiran utama bagi semua warga negara global. Laozi mendorong

109
kita untuk mengikuti Dao dan De untuk tujuan yang harmonis dengan Ibu

Alam dan dengan manusia lain.

Humanisme Daoistic dan/atau filosofi dapat memberikan kita solusi

untuk mereka utama masalah-masalah dunia, dan mungkin berguna,

membantu, dan berharga untuk hampir semua warga dunia yang

mengikuti Laozi Dao dan De. Sekitar setengah abad yang lalu, Blakney

(1955) membuat beberapa komentar tajam pada Laozi dan Dao De Jing.

Mari saya menutup artikel dengan Blakney ini dengan quote, sebagai

berikut :Yueh - Ting Lee 81. Bagaimanapun, Tao Te Ching adalah bukti

bahwa mistisisme adalah penting di Cina sekali, dan minat terus dalam

Kitab Suci yang menunjukkan bahwa hal itu bisa begitu lagi. Pesan dari

buku ini masih minat umum, dan yang penting dalam satu hari ketika tua

kompartementalisasi dunia begitu terguncang oleh gagasan "One World”

.Dalam "One World" Tao Te Ching akan cukup di rumah (Blakney,

1955).

Dalam penelitian Yueh-Ting Lee seorang doctor amerika, ia menunjukan

bahwa di dunia timur juga ada pendekatan humanis yang disebutnya

Daoistic Humanism, tidak barat oriented saja bahkan dengan pendekatan

Daoistic Humanism mampu melakukan:(a) prinsip wei wu- wei, atau

spontanitas dan cara alami (mengikuti noninterference, nonaction ), (b)

keterbukaan dan toleransi, (c) kepribadian air, (d) menjunjung tinggi

wanita dan ibu, (e) moderasi dan menghindari ekstremitas, (f) kontingen

110
diripada minat dalam kesejahteraan orang lain dan dunia, dan(g) oposisi

terhadap perang dan cinta damai.

Dari beberapa penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa pendekatan

konseling person centered pada prinsipnya masih mampu mengkover

pesertadidik yang beragam budaya dengan berbagai karakteristiknya

yang unik. Penelitian yang dilakukan tentang implementasi konseling

person centered dalam keragaman budaya konseli di SMA Negeri 3

Surakarta memiliki karakteristik yang berbeda dengan beberapa

penelitian yang relevan di atas. Hal itu dapat dijelaskan bahwa: 1)

penelitian yang dilakukan adalah untuk menemukan pola-pola konseling

person centered yang efektif dalam mengakomodasi keragaman budaya

konseli, 2) temuan penelitian diupayakan lebih maksimal hingga dapat

menemukan sebuah kecenderungan pola tentang konseling person

centered dalam keragaman budaya konseli di SMAN 3 Surakarta.

C. Alur Pikir dan Pertanyaan Penelitian

1. Alur Pikir

Berdasarkan paparan kajian teori dan kajian penelitian yang relevan,

dapat dikemukakan kerangka pikir dalam kaitannya dengan konseling person

centered dalam keragaman budaya di SMA Negeri 3 Surakarta bahwa

kerangka pikir dalam penelitian mengacu pada berbagai fenomena dan

permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan yang menggambarkan

bahwa pelaksanaan konseling belum dilakukan secara optimal dan belum

111
menggunakan pendekatan person centered dalam mengakomodasi keragaman

budaya konseli di SMA Negeri 3 Surakarta.

Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan upaya pengoptimalan

pelaksanaan konseling yang didasarkan pada prinsip-prinsip atau pola-pola

konseling person centered, sehingga dapat mewujudkan konseling yang lebih

humanis dalam keragaman budaya konseli. Prinsip-prinsip atau pola-pola

efektif yang dilakukan menjadi salah satu upaya dalam menemukan pola

kecenderungan konseling person centered yang mengakomodasi keragaman

budaya konseli.

Secara sederhana kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada

gambar di bawah ini:

Konseling

Kondisi fasilitatif

1. Empaty
Person Centered 2. Congruence Keragaman
3. Uncontional Budaya
Positive
Regard

Konselor/Konseli

Pelaksanaan layanan konseling Pola Kecenderungan Layanan


person centered dalam keragaman Konseling Person Centered dalam
budaya di SMA Negeri 3 Keragaman Budaya di SMA Negeri 3
Surakarta. Surakarta

Gambar 1. Alur Pikir

2. Pertanyaan Penelitian

112
Berdasarkan kajian teori, kajian penelitian yang relevan, dan alur pikir,

dikemukakan beberapa pertanyaan untuk memandu penelitian tentang

konseling person centered dalam keragaman budaya konseli di SMA Negeri

3 Surakarta, sebagai berikut:

a. Bagaimana gambaran layanan konseling person centered dalam

keragaman budaya di SMA Negeri 3 Surakarta.

b. Kompetensi apa yang perlu dimiliki seorang konselor sekolah dalam

melaksanakan layanan konseling person centered dalam keragaman

budaya di SMA Negeri 3 Surakarta?

c. Apa saja prinsip-prinsip layanan konseling person centered dalam

keragaman budaya di SMA Negeri 3 Surakarta?

d. Bagaimana pelaksanaan layanan konseling person centered dalam

keragaman budaya di SMA Negeri 3 Surakarta?

e. Bagaimana konselor sekolah menerapkan prinsip-prinsip konseling

person centered dalam keragaman budaya di SMA Negeri 3

Surakarta?

f. Bagaimana pola kecenderungan layanan konseling person centered

dalam keragaman budaya di SMA Negeri 3 Surakarta.

113

Anda mungkin juga menyukai