Anda di halaman 1dari 8

KAJIAN CARL R.

ROGERS TENTANG “A WAY OF BEING”

Oleh:
Dinar Sari Ekadewi*

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengenal pemikiran seorang tokoh Grand Theory yaitu
Carl. R. Rogers, dengan metode analisis literer untuk penerapannya di Indonesia. Penulisan
ini dilatarbelakangi oleh realita masih langkanya psikolog yang benar-benar profesional
sebagai psikolog dalam konseling dan psikoterapi. Pemikiran Carl.R. Rogers tentang Client
Centered Therapy ini dapat memberikan wawasan yang komprehensif dalam proses kemajuan
ilmu maupun praktek psikologi di Indonesia. Rogers memperkenalkan sebuah pendekatan
yang berpusat pada diri dan masalah klien yang disebut Client Centered Therapy. Pendekatan
ini dilatarbelakangi oleh keyakinan Rogers bahwa pengalaman individual yang sesungguhnya
hanya dapat diketahui secara lengkap oleh individu itu sendiri. Proses terapinya adalah klien
menjadi agen perubahan pada dirinya sendiri. Teknik utamanya adalah dengan menjadi
pendengar yang baik, teknik ini tidak mudah karena terapis dituntut dapat memberi kebebasan
pada klien untuk mengekspresikan diri dan emosinya yang akan dapat mengurangi
ketegangan. Akhimya klien akan berproses menjadi pribadi yang berfungsi secara penuh.

Kata kunci : pendekatan psikoterapi, proses terapi, teknik terapi.

PENDAHULUAN
Kompetisi global membutuhkan psikolog ataupun psikoterapis yang betul-betul
profesional. Jumlah psikolog yang benar-benar profesional sebagai psikolog dalam konseling
dan psikoterapi masih sangat langka, sementara kebutuhan untuk kemajuan ilmu maupun
praktisi dan untuk memiliki tenaga ahli profesional di bidang konseling dan psikoterapi
semakin nyata.
Berangkat dari realitas yang ada tersebut, penulis ingin membuka pemikiran Carl R.
Rogers dari bukunya yang berjudul A Way of Being. Kita ketahui teori Carl R. Rogers yang
sederhana ini merupakan dasar dari setiap pendekatan-pendekatan psikoterapi lainnya.

MENGENAL PEMIKIRAN ROGERS


Rogers memperkenalkan sebuah pendekatan yang berpusat pada diri dan masalah klien
yang disebut dengan Client Centered Therapy. Terapi ini merupakan sebuah pendekatan yang
dapat digunakan untuk membantu individu maupun kelompok. Rogers sangat yakin bahwa
pengalaman individual yang sesungguhnya hanya dapat diketahui secara lengkap, oleh

*
Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto
individu itu sendiri. Psikolog ataupun psikoterapis hanya dapat mengukur dan menyelidiki
sebagian saja dari apa yang ada dalam dunia pengalaman seseorang, dan tidak dapat
mengetahui selengkap yang diketahui oleh orang yang bersangkutan (klien). Keyakinan
Rogers akan hal ini dituangkan dalam prinsip pendekatannya bahwa seseorang merupakan
sumber informasi yang terbaik mengenai dirinya sendiri.
Ciri khas terapi ini adalah sikap terapis menentukan kondisi terapeutik, dan fokus terapi
terletak pada dunia fenomenologis klien. Dalam terapi ini yang terpenting yaitu sebuah
hubungan interpersonal yang konstruktif, sehingga dalam prosesnya akan membangun teori
dari pengalaman. Keberhasilan dalam memecahkan masalah ditentukan oleh suasana, kondisi,
dan hubungan yang tepat yang diciptakan oleh terapis selama proses terapi berlangsung.
Dalam proses terapi, klien diberi kebebasan untuk mengekspresikan diri dan emosinya serta
dipercaya untuk (sertanggung jawab) menyelesaikan masalah.
Teknik utama yang digunakan adalah menjadi pendengarnya yang baik. Rogers
mengalami kepuasan tersendiri dalam hal mendengarkan. Pada saat mendengarkan seakan-
akan ia meletakkan dirinya pada diri klien dan menyentuh klien. Hal ini dianggapnya dapat
memperkaya hidupnya karena ia dapat mempelajari dan memahami individu, kepribadian
individu, serta hubungan interpersonal. Rogers menganggap seni mendengarkan seseorang
seperti mendengarkan alunan musik, karena menurutnya di luar pesan yang disampaikan klien
ada hal-hal yang bersifat universal. Teknik ini tidak mudah karena terapis dituntut untuk dapat
memberikan kebebasan pada klien untuk mengekspresikan diri dan emosinya, supaya dapat
mengurangi ketegangan psikologis yang sedang dirasakan. Pada akhimya klien akan berhasil
mengekspresikan diri dan emosinya secara, baik dan tepat sehingga ia akan menjadi pribadi
yang berfungsi secara, penuh yaitu pribadi yang terbuka terhadap pengalaman, memiliki
perasaan yang berarti dalam kehidupannya, percaya sepenuhnya pada diri sendiri, memiliki
kebebasan dalam mengalami sesuatu dan memiliki kreatifitas yang cukup baik.
Metode yang digunakan dalam pendekatan Rogers adalah non-directive yang
mendasarkan pada hubungan sikap dan orientasi terapis, antara lain adanya keterbukaan dan
ketulusan dalam perasaan dan sikap, sehingga klien dapat mengeksprosikan semua yang
dirasakan dan dapat mengkomunikasikannya.
Dinamika perkembangan kepribadian menurut Rogers yaitu kecenderungan untuk
mengembangkan diri, aktualisasi diri, dan mempertahankan diri, semua itu merupakan
kebutuhan dasar dalam sistim kepribadian individu. Kecenderungan ini bersifat bawaan yang
melibatkan perkembangan fisiologis dan psikologis individu. Perkembangan tersebut awalnya
lebih mengarah pada perkembangan fisiologis daripada psikologis. Peralihan kedua fase
tersebut dimulai pada mass anak hingga mass remaja berakhir. Perkembangan fase fisiologis
ditandai dengan adanya kebutuhan primer (makan, minum, untuk mempertahankan kehidupan
individu) meningkat pada fase psikologis seiring dengan pertambahan usia individu, individu
membutuhkan aspek lain sebagai dasar bagi pertumbuhan, perkembangan, dan
kematangannya. Kebutuhan fisiologis yang semakin kompleks akan menyebabkan terjadinya
diferensiasi seiring dengan fungsi individu yang menyesuaikan dengan kebutuhannya.
Kebutuhan aktualisasi semakin besar, dalam mengupayakannya tentu tidak terlepas dari
ketegangan-ketegangan. Ketabalan yang timbul dalam perjuangan untuk mengatasi
ketegangan itulah yang akan menjadi dasar bagi individu untuk mengembangkan diri ke arah
fungsi utnuk menjadi dirinya sendiri.

WORKSHOP SEBAGAI SALAH SATU KEGIATAN ROGERS


Pelaksanaan workshop ini tidak ada ikatan formal dengan institusi Pemerintah,
Universitas, maupun penyandang dana, dan bukan kegiatan yang berorientasi profit, jadi
berdiri sendiri dan layak untuk dicermati dan diteliti. Titik beratnya adalah pada
perseorangan.
Kegiatan workshop Rogers dimulai tahun 1974, lokasi penyelenggaraannya di enam
wilayah yang berbeda, yaitu California, Origon, Adirondoks, Notingham, dan Inggris.
Hubungan yang dibentuk di dalam kelompok dalam kegiatan workshop adalah
membiarkan orang lain menjadi dirinya sendiri, tidak ada penilaian, menghukum atau
mendatangi gagasan / sikap orang lain, ketika seseorang di dekati dengan cara ini, diterima
apa adanya, individu menjadi orang yang mempunyai kreativitas dan, kecerdikan akal yang
tinggi dalam menghadapi cobaan dan perubahan dalam hidup, mampu berbuat sesuatu,
terbuka, dan dapat berbagi.
Proses yang dirasakan oleh para peserta Workshop antara lain bisa mencurahkan
permasalahan, kesulitan dan perasaannya, bisa mengeluh, merintih, susah tanpa harapan, bisa
merasa santai, nyaman, dan tumbuh rasa percaya diri, serta keberanian, bisa mengkritik orang
dalam kelompok, bisa akrab dan mencintai, dan bisa merasa peduli sedalam yang kita mampu.
Menurut Rogers proses-proses ini menyegarkan dan merupakan terapeutik yang akan
menghasilkan rasa aman yang luar biasa.
Sebagai hasil, semua peserta Workshop menyatakan bahwa kegiatan ini tidak hanya
sebagai bertemunya kebutuhan-kebutuhan pribadi tetapi mereka menemukan cara baru untuk
memecahkan masalah sulit, menemukan pengertian yang mendalam, meningkatkan
ketrampilan dalam hubungan interpersonal, menemukan makna baru dari artistik, estetika, dan
spiritual, bergerak lebih aktif terhadap perubahan sosial, menemukan kebebasan menjadi
individu, bisa bekerja sesaai tujuan dalam perbedaan yang harmonis.

BEBERAPA PENELITIAN YANG MENDUKUNG TEORI ROGERS


1. Penelitian Wickman & Campbell (2003)
Menganalisis sesi percakapan Rogers dengan Gloria dalam film Three Approaches
of Psychotherapy untuk menentukan apakah model percakapan Rogers bisa menciptakan
kondisi empati, kesejatian dan hal yang mutlak positif. Dari hasil penelitian ini bisa
disimpulkan bahwa model percakapan Rogers kongruen dengan dukungan teorinya yang
mengatakan terapis sebagai katalisator dalam konseling yang titik pusatnya ada pada
perseorangan. Penelitian ini mendukung Rogers menjadi “Rogerian” melalui elemen-
elemen model percakapan yang mencipatakan kondisi pokok dari perubahan terapeutik.
Masalah-masalah inti yang didapatkan dari film ini adalah :
a. Statemen terakhir Gloria mengatakan bahwa Rogers membantuku mengenali
potensiku dan nilaiku sebagai manusia.
b. Empati Rogers, kesejatian dan hal yang mutlak positif membantu Gloria mengenali
dan mempresentasikan problem-problemnya. Kondisi ini dibuat melalui susunan
interaksi dan percakapan Rogers agar Gloria mampu menjadi agen perubahan bagi
dirinya sendiri. Rogers menurjukkan hal yang mutlak positif dengan tidak memberi
respon pada Gloria ketika ia meminta nasihat, dengan tujuan menghormati
kemampuan Gloria dalam membuat keputusan. Keterlibatan aktif Rogers ditandai
dengan anggukan kepala.
Dapat disimpulkan, potensi intervensi ini dihasilkan melalui penampakan kesejatian
dan empati secara bersamaan, sekalipun Rogers piawai dalan proses tetapi ia membiarkan
Gloria tahu bahwa ia tidak punya jawaban untuknya. Kita temukan fakta bahwa Rogers
menjadikan konseling dengan titik pusat pada klien dan menjadi “Rogerian” dalam sesi
ini.

2. Penelitian lain yang cukun mcaarik untuk dikaji dengan teori Rogers adalah kasus bunuh
diri, dari Paulson dan Worth (2002).Partisipan merasa keinginan dan gagasan untuk
bunuh diri yang mereka alami dapat berkurang karena adanya pei-kembangan
keberhasilan personal melalui kemudahan hubungan interpersonal dalam konseling dan
psikoterapi.
Deskripsi partisipan tentang kekuatan hubungan terapeutik yang suportif
memberikan Yontek perubahan yang jelas, sedangkan kekeliruan perawatan digambarkan
oleh mereka ketika pars psikoterapis diarggap seba-gai orang yang tidak menerima / tidak
percaya pada orang yang berpikir tentang bunuh diri. Dan hubungan emosional dengan
terapis akan meningkatkan pemahaman tentang dirinya dan mempengaruhi tindakan dan
fungsi mental, menggerakkan emosi dan bisa membawa perubahan perilaku, ini
merupakan perubahan yang diperlukan untuk menanggulangi kesulitan yang bersifat
psikologis, kasus tersebut menegaskan teori Rogers bahwa diperlukan konseling dengan
terapis yang empati dan dapat menerima klien.
3. Dalam penelitian mediasi kognitif,pada terapi yang berpusat pada individu oleh Martin
dan Slemon (1987), dikatakan bahwa basil konseling dan terapi, tergantung juga pada
persepsi klien terhadap psikoterapis dan penilaian partisipasi terhadap keefektifan
konseling dan psikoterapis. Hal ini mendukung pemikiran Rogers tentang sifat terapis
dan proses konseling / kondisi selama berlangsungnya konseling / terapi yang sesuai
dengan teori Rogers.
4. Dalam penelitian Glauser dan Bozarth (2001), dikatakan sikap hormat terhadap, klien,
kesejatian, pemahaman, empati merupakan hasil konteks kultural itu sendiri dan perlu
diinterpretasikan secara langsung dalam setiap kultur yang dinamis dan kompleks. Lebih
jauh, pendapat ini bisa diinterpretasikan dalam kewenangan situasi individual itu sendiri.
Setiap individu sifatnya kompleks, dinamis dan unik, menghendaki manifestasi
individual sebagaimana yang telah dimunculkan Rogers.
5. Hasil penelitian Spangenberg (2003) yang menggambarkan secara singkat tindakan
kelompok Voss kultural Rogers selama kunjungan ke Afrika Selatan, beberapa paparan
para tokoh adalah sebagai berikut :
a. Jenkins dan Williams mengatakan bahwa aktifitas empati psikolog adalah salah satu
dari aspek fundamental dari proses menemukan keunikan sesorang dalam identitas
kelompoknya yang khusus.
b. Maslow menyatakan kepercayaan bahwa psikolog yang mampu berempati kepada
klien karena kemanusiaannya daripada tingkat kulturalnya akan mampu
mengidentifikasi dan peduli terhadap pengalaman-pengalaman yang ada sekalipun
berbeda latar belakang kultur dan rasnya.
c. Mery berpendapat bahwa perbedaan diantara orang-orang itu lebih banyak oleh
keserupaan, sedangkan memahami, empati, dan menerima dukungan adalah aktivitas
kualitas yang lebih penting daripada perbedaan sosial dan kultural. Hal tersebut
mempertegas teori Rogers bahwa empati merupakan kualitas yang sangat penting
dalam menghadapi klien.
6. De Carvalho (1999) menyampaikan, bahwa Rogers menekankan pada keadaan disini dan
sekarang. Rogers mengembangkan ide-ide psikoterapi yang dititik beratkan pada
pentingnya penghargaan pada keunikan dan potensi pribadi klien, dan memfokuskan pada
kualitas manusia bukan intelektualnya.
Dalam praktek, terapis tidak belch menyalahkan / menyudutkan (menyerang), tetapi
hanya berusaha mendengarkan hal-hal yang dirasa klien, sehingga terapis dapat merefleksikan
kembali pada klien. Perkembangan psikologis yang sehat dapat terjadi ketika terapis dapat
menciptakan suasana yang memberikan kesempatan pada klien untuk mengekspresikan secara
bebas perasaan-perasaannya. Terapis harus dapat menghindari penilaian terhadap perasaan
klien, hal ini akan membuat klien merasa bebas dari segala tekanan dan paksaan. Dimensi
realistis pada hubungan dua arah yang saling melegakan yaitu: penerimaan, pengertian /
pemahaman, ini akan membawa selangkah lebih maju pada pribadi menjadi lebih sehat. Hal
ini menegaskan teori Rogers yang penekanannya terpusat pada klien.

KOMENTAR PENULIS
Teori Rogers yang berpusat pada klien merupakan sebuah pendekatan yang sangat
manusiawi dan merupakan dasar dari setiap pendekatan psikoterapi atau sangat penting
sebagai landasan pendekatan-pendekatan psikoterapi lainnya.
Teori yang sangat menarik dan obyektifitasnya tidak diragukan, terbukti dengan
“dukungan” penguat dari beberapa peneliti, diantaranya Scott. A. Wickman dan Cyntia
Campbell (2003), dalam sebuah analisa tentang bagaimana Carl Rogers menciptakan
percakapan dengan klien (Gloria) sebagai titik pusat dengan. Barbara L. Paulson dan
Michelle Worth (2002) dalam penelitiannya mengenai konseling untuk masalah bunuh diri
perspektif klien. Ann Shank Glauser dan Jerold D. Bozart dalam tulisannya tentang konseling
yang titik pusatnya pada perseorangan, dalam sebuah kultur, dan beberapa penelitian lainnya.
Teori Rogers ini perlu ditindaklanjuti dengan penelitian atau eksperimen-eksperimen
sehingga sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia. Jika dicermati, teori Rogers dengan
teori dan konsepnya yang sederhana ini dapat diterapkan oleh semua orang, akan tetapi
dengan kesederhanaannya justru menjadi tidak mudah bagi pemula untuk menterjemahkan ke
dalam tindakan nyata dalam pendekatannya pada klien, ada kendala maupun strategi-strategi
yang diperlukan, untuk bisa menerapkan teori Rogers ini diperlukan kualifikasi seorang
psikoterapis yang trampil /mahir dalam mempraktekkannya, matang dalam berpribadi,
sehingga memiliki ketrampilan (mahir) berempati, mendengarkan dengan baik, dan dapat
menghargai keunikan dan potensi pribadi klien. Hal ini, seorang psikolog dapat mengasah
diri dengan selalu belajar, mengikuti berbagai pelatihan diri untuk trampil bahkan mahir
dalam praktek, menguasai teknik-tekniknya dan mengasah kemampuan serta kematangan
pribadinya, termasuk juga misalnya pelatihan pengenalan dan pengelolaan emosi bagi dirinya
sendiri.
Bagi senior yang berkompeten dalam bidang psikoterapi diharapkan berkenan
meluangkan waktu untuk memberikan pelatihan-pelatihan untuk proses kemajuan ilmu dan
praktek konseling dan psikoterapi di negeri ini.
Demikian pula workshop yang merupakan kegiatan Rogers, dapat dipraktekan di
Indonesia, tentu perlu persiapan yang matang khususnya bagi psikolog atau psikoterapisnya
untuk menguasai teknik-tekniknya dan mengasah kemampuan dan kematangan diri. Masih
disayangkan dalam buku A Way of Being tidak dipaparkan jalannya workshop tersebut.

KESIMPUILAN
Teori Rogers yang sangat manusiawi ini, akan sangat membantu para ilmuwan
psikologi dan para psikolog untuk mengembangkan ilmu secara ilmiah demi perkembangan
ilmu psikologi di Indonesia maupun untuk diterapkan di lapangan dalam “menyelesaikan”
persoalan para klien

DAFTAR PUSTAKA

de Carvalho. R.J. 1999. “Otto Rank, The Rankian Circle in Philadelphia, and the Origin of
Carl Rogers Person Centered Therapy”. History of Psychology. USA: Educational
Publising Foundation. Vol 2. Number 2. Page 132 – 148.

Glauser, A. S. dan Bozarth, J. D. 2001. “Person-Centered Counselling : The Culture Within”.


Journal of Conselling and Developmet. Spring Volume 79. Page 142 –147.

Martin. W. dan Slemon, A. G. 1987. “Cognitive Mediation in Person-Centered and Rational-


Emotive Therapy”. Journal of Conseling Psychology. Vol. 34 Number3. Page 251-
260.

Paulson, dan Worth, M. 2002. “Counseling for Suicide : Client Perspective”. Journal of
Counseling and Development. Winter. Vol 80. Page 86 – 92.

Poore, A. G dan Taylor, D. M. 2002. “Contact and the Personal / Group Discrimination
Discrepancy in an Inuit Community”. The Journal of Psychology. 136(4), 371 –382.

Rogers, C. R. 1980. A Way of Being. Boston : Houghton Mifflin Company.


Spangenberg, J. J. 2003. “The Cross-Cultural Relevance of Person Centered Counseling in
Postapartheid South Africa”. Journal of Counseling and Development. Winter. Vol
81. Page 178 - 184.

Wickman, S. A. and Campbell, C. 2003. “An Analysis of How Carl Rogers Enacted Client-
Centered Conversation With Gloria”. Journal of Counseling and Development,
Spring. Vol 81. Page 178 - 184.

Anda mungkin juga menyukai