Anda di halaman 1dari 29

TUGAS PSIKOTERAPI

Person Centered Therapy dan Psychotherapy with Suicidal People

Oleh:
Ni Komang Karmini Dwijayani 1702531004
Cokorde Istri Ayu Laksmi Dewi 1702531006
Kadek Wahyu Pujhana 1702531022
Ni Made Sukma Anggreni 1702531026
Ni Putu Wulandari Prastiti Esa Dewi 1702531028
Agus Mahendra Saputra 1702531029
Gede Adi Wisnawa 1702531034
Ni Wayan Putri Cempaka Karisma F 1702531054

PROGRAM STUDI SARJANA PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
1 PERSON CENTERED THERAPY
A. Sejarah dan Evolusi Person Centered
Praktik dan prinsip dari Person Centered Therapy yang
dikembangkan oleh Carl Rogers dibagi menjadi empat periode
perkembangan. Pertama pada tahun 1940-an Carl Rogers mengembangkan
nondirective counseling sebagai bentuk penolakan dari metode terapi
tradisional dengan pendekatan psikoanalisis yang cenderung
directive/mengarahkan sehingga tidak memberikan kebebasan kepada
konseli untuk mengungkapkan perasaannya. Perkembangan periode kedua
yaitu pada tahun 1950-an Rogers mengubah nama pendekatannya menjadi
Client-Centered Therapy yakni fokus terapi dari yang awalnya berusaha
untuk tidak mengarahkan klien, berubah menjadi fokus terhadap upaya
untuk menghormati kemampuan klien untuk memimpin jalannya proses
terapi sehingga memberikan kebebasan kepada konseli untuk
mengungkapan perasaannya lebih jauh lagi. Selama tahun 1960-an Rogers
mulai lebih fokus terhadap perkembangan diri klien (becoming a person)
dimana Rogers berusaha untuk melihat pergerakan-pergerakan potensial
dari manusia. Pada tahun 1970an dan 1980an, Rogers menjadi lebih
konsen pada isu-isu yang terjadi di seluruh dunia (worldwide issues). Ia
mendirikan Center for the Study of the Person di La Jolla, California pada
tahun 1968, dan mulai berdedikasi untuk meningkatkan hubungan
interrasial dan membawa perdamaian dunia. Selama periode ini juga,
Rogers mempublikasikan Carl Rogers on Personal Power (1997) dan A
Way of Being (1980).
Dari evolosi Person Centered Therapy yang dipaparkan diatas
dapat dikatakan bahwa dengan teorinya yang popular, prinsip person
centered telah berubah melebihi dari fokus pada kehidupan dan
pencapaian. Rogers telah bekerja dengan banyak siswa dan terinspirasi.
B. Prinsip Teoritikal Person Centered Therapy
1. Theory of Personality
Secara ringkas, teori kepribadian Rogers menekankan beberapa konsep.
Teori ini berfokus pada diri, pengalaman, perjuangan untuk pemeliharaan
dan peningkatan diri, serta kebutuhan yang dipelajari untuk hal positif. Ini
juga merupakan teori perbedaan, karena perbedaan antara diri dan
pengalaman organisme pada akhinrya akan menentukan psikopatologi.
Dalam person centered, teori kepribadian seringkali kurang diperhatikan.
Terdapat 19 proposisi yang rumit untuk diartikulasikan sehingga Rogers
sendiri pun mengatakan bahwa dari semua teori yang pernah ditulisnya,
teori ini yang paling diabaikan. Selanjutnya 19 proposisi yang ada
diringkas ke dalam 4 fitur inti yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Self-Theory. Self-Theory merupakan dasar dari teori kepribadian
William James, Mary Calkins, dan Gordon Allport dalam person
centered theory (Bankart, 1997 dalam Flanagan 2004). Rogers
mengemukakan bahwa seorang individu merupakan pusat dalam dunia
ini, dimana setiap individu tersebut eksis di dunia yang selalu berubah.
Organisme merupakan istilah yang digunakan Rogers untuk merujuk
pada lokus dari seluruh pengalaman psikologis seseorang sedangkan
self digunakan untuk merujuk pada bagian “saya” dari suatu organisme.
Rogers juga meyakini bahwa self merupakan struktur yang tidak tetap
karena selalu berproses, sehingga memiliki kemampuan untuk stabil
dan juga berubah. Self menurut Rogers memiliki komponen sadar dan
tidak sadar. Ketika self seorang individu tidak konsisten dengan
keseluruhan pengalaman psikologis (organisme), kondisi ini disebut
sebagai keadaan incongruence. Sebaliknya, ketika self’s experience dan
persepsi diri konsisten dengan keseluruhan pengalaman organisme,
kondisi ini disebut sebagai keadaan congruence. Kondisi congruence
tentunya merupakaan yang diharapkan karena mengarah pada
penyesuaian, kedewasaan, dan individu yang dapat berfungsi secara
optimal.
b) Phenomenology and the Valuing of Experience. Rogers merangkum
teori kepribadiannya dengan statement, "Teori ini pada dasarnya
bersifat fenomenologis dan sangat bergantung pada konsep diri sebagai
konsep penjelasan" (Rogers, 1951 dalam Flanagan 2004). Person
centered theory menempatkan direct personal experience. Meskipun
intelektual/pikiran rasional dan perasaan/emosi memiliki value dan
merupakan sumber informasi yang penting, experiencing dianggap
sebagai cara langsung untuk mengetahui diri sendiri dan dunia secara
akurat. Bohart dalam Flanagan 2004 menyatakan experiencing adalah
penginderaan langsung dan penilaian nonverbal terhadap pola dan
hubungan di dunia, antara self dan word, dan within the self. Sebagian
person centered therapy dirancang untuk membantu klien menjadi lebih
terbuka terhadap beragam pengalaman pribadi atau organismic
experiences mereka.
c) Learning and Growth Potential. Rogers sangat meyakini inherent
actualizing atau kecenderungan formatif pada manusia. Beberapa sudut
pandang ini berasal dari childhood farming dan outdoor experiences
ketika ia menyadari alam memiliki banyak hal yang berpotensi untuk
tumbuh dan berkembang. Selain itu, ia menghubungkan sudut pandang
ini dengan beberapa penulis dan filsuf, termasuk Kurt Goldstein, Harry
Stack Sullivan, dan Karen Horney. Rogers percaya orang memiliki
kapasitas untuk terus belajar dari waktu ke waktu dan memiliki
kecenderungan formatif untuk "bergerak ke arah keteraturan,
kompleksitas, dan keterkaitan yang lebih besar" (Bohart, 1995, dalam
Flanagan 2004). Ada satu sumber energi utama dalam organisme
manusia yakni fungsi dari keseluruhan sistem dan dikonseptualisasikan
lebih sederhana lagi sebagai kecenderungan fulfillment menuju
aktualisasi, tidak hanya melibatkan pemeliharaan tetapi juga
peningkatan organisme. (Rogers, 1980 dalam Flanagan 2004).
d) Conditions of Worth. Selain kebutuhan organisme untuk
mempertahankan dan meningkatkan dirinya sendiri, terdapat pula
kebutuhan yang dipelajari. Dua kebutuhan utama yang dipelajari adalah
kebutuhan untuk penghargaan positif dan kebutuhan untuk penghargaan
diri yang mulai terjadi ketika bayi dan balita tumbuh dalam hubungan
dengan pengasuh. Pertama, bayi mulai mengembangkan kesadaran diri
yang semakin besar. Sebagian besar orangtua melihat perilaku ini
dengan jelas pada anak-anak mereka sekitar usia dua tahun, pada saat
tersebut anak mereka cenderung menyukai kata-kata "mine!" dan "no."
Kedua, anak yang sedang tumbuh mengembangkan kebutuhan yang
kuat akan penghargaan atau persetujuan yang positif, untuk dihargai
dan dicintai yang menjadi begitu kuat sehingga anak hampir selalu
mencari pengasuh dan orang lain yang signifikan untuk penerimaan dan
persetujuan.
Rogers menggambarkan situasi yang ideal, yakni jika seorang
individu hanya mengalami unconditional positive regard, maka tidak
ada kondisi berharga yang akan berkembang, penghormatan terhadap
diri sendiri akan menjadi unconditional, needs for positive regard dan
penghormatan terhadap diri sendiri tidak akan berbeda dengan evaluasi
organisme, sehingga individu akan terus disesuaikan secara psikologis
dan befungsi secara optimal (Rogers, dalam Flanagan 2004). Akan
tetapi kenyataannya tidak ada kehidupan rumah anak yang ideal, jadi
meskipun anak-anak secara konsisten melihat dan mendengarkan
persetujuan, hal tersebut tidak selalu hadir dan terjadi demikian.
Akibatnya, anak-anak mulai membedakan antara perasaan dan tindakan
yang disetujui dan tidak disetujui. Penilaian ini tidak sepenuhnya
konsisten dengan keseluruhan organismic experiences mereka.
Misalnya, jika seorang gadis muda yang suka bermain kasar dan
agresif dengan anak laki-laki dan perempuan lain secara konsisten
mengalami ketidaksetujuan dari orangtuanya ketika dia melakukannya,
maka kesimpulan yang terpaksa terbentuk sebagai berikut: 1) ketika
saya bermain kasar saya buruk (harga diri negatif); 2) orangtua saya
tidak menyukai saya karena saya bermain kasar (menganggap negatif
orang lain); atau 3) saya tidak suka bermain kasar (menyangkal
pengalaman organisme yang diinginkan). Seiring waktu, jika anak-anak
terus-menerus mengalami kondisi nilai yang tidak sesuai dengan
organismic values mereka, sebuah konflik atau ketidaksesuaian dapat
berkembang antara conscious, introjected values dan unconscious
genuine values mereka.
Hall dan Lindzey (1970) dalam Flanagan, 2004 menggambarkan
benih psikopatologi dengan statemen berikut. Jika semakin banyak
nilai-nilai sejati seseorang digantikan oleh nilai-nilai yang diambil alih
atau dipinjam dari orang lain, namun yang dianggap sebagai miliknya
sendiri, dirinya akan menjadi rumah yang terbagi terhadap dirinya
sendiri. Orang seperti itu akan merasa tegang, tidak nyaman, dan tidak
nyaman. Dia akan merasa seolah-olah dia tidak benar-benar tahu apa
dia dan apa yang dia inginkan. Ketika gadis kecil yang dinilai negatif
karena memiliki dorongan agresif tumbuh dan memiliki kesempatan
untuk berekspresi agresif. Ia dapat memproyeksikan keinginannya
untuk mengekspresikan kemarahan kepada orang lain dan mungkin
menjadi agresif hingga mengutuk dirinya sendiri, atau bahkan bisa
melepaskan diri dengan agresi tetapi kemudian menyangkal bahwa dia
mengalami kemarahan atau kepuasan. Rogers juga percaya bahwa
individu dapat mengalami subception yakni ketika seseorang secara
tidak sadar merasakan objek atau situasi yang mengancam yang
mewakili konflik batin antara keinginan nyata dan keinginan introyek.
Selanjutnya, subception cenderung menghasilkan reaksi visceral (mis.,
peningkatan denyut jantung, tekanan darah tinggi, pernapasan cepat,
dan sensasi kecemasan lainnya).
2. Theory of Psychopathology
Bohart, 1955 dalam Flanagan, 2004 menyatakan secara ringkas teori
psikopatologis Rogers sebagai berikut. Masalah psikologis bukanlah
keyakinan atau persepsi yang salah maupun perilaku yang tidak memadai.
Ketika manusia menghadapi tantangan dalam hidup, mereka cenderung
akan mengalami mispersepsi secara periodik, bertindak berdasarkan
kepercayaan yang salah, dan berperilaku tidak memadai. Disfungsionalitas
terjadi ketika manusia gagal belajar dari umpan balik dan karena itu tetap
terjebak dalam kesalahan persepsi atau perilaku yang tidak memadai. Jadi
dapat disimpukan, disfungsionalitas adalah kegagalan untuk belajar dan
berubah yang kemudian menjadi ciri utama psikopatologi pada pendekatan
person centered. Inilah sebabnya mengapa terapis person centered bekerja
sangat keras untuk membantu klien menjadi lebih terbuka untuk belajar
dari pengalaman, serta dalam pendekatan ini kekakuan dianggap
bertentangan dengan kesehatan psikologis karena merusak pembelajaran.
Greenberg dan rekannya (Greenberg, Rice, & Elliot, 1993; Paivio &
Greenberg, 1995 dalam Flanagan, 2004) berfokus pada pentingnya
keterbukaan terhadap proses emosional dalam fungsi manusia normal
dalam pendekatan proses pengalaman psikoterapi mereka. Ketika klien
tidak menyadari atau tidak dapat mengakses informasi emosional,
terjadilah perilaku disfungsional.
3. Theory of Psychotherapy
Secara keseluruhan, keberhasilan terapi person centerd bergantung
pada dua faktor mendasar yakni kepercayaan terapis pada klien dan
hubungan yang dibangun oleh terapis dengan klien. Untuk mencapai
terjadinya perubahan kepribadian yang konstruktif, diperlukan adanya
kondisi sebagai berikut yang berlanjut dalam periode waktu tertentu
(Rogers dalam Flanagan, 2004):
1. Dua orang berada dalam kontak psikologis.
2. Orang pertama (yang akan kita sebut sebagai klien) dalam kondisi
tidak selaras, rentan atau cemas.
3. Orang kedua (yang akan kita sebut sebagai terapis) adalah kongruen
atau terintegrasi dalam hubungan.
4. Terapis memiliki unconditional positive regard untuk klien.
5. Terapis memiliki empathic understanding tentang referensi internal
klien dan upaya untuk mengkomunikasikan pengalaman ini kepada
klien.
6. Komunikasi kepada klien dari empathic understanding and
unconditional positive regard yang dimiliki terapis sampai pada
tingkat minimal yang dicapai.
Rogers meyakini bahwa pada terapi person centered terapis
mengomunikasikan congruence, unconditional positive regard, dan
empathic understanding kepada klien yang dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Congruence
Congruence didefinisikan sebagai keaslian atau disebut juga
transparansi yang ditunjukkan dengan sikap terbuka dan jujur dari terapis.
Congruence menyiratkan bahwa terapis harus mengakui dan
mengungkapkan perasaan positif maupun negatif dalam konteks hubungan
terapi. Rogers menyatakan, "Semakin saya bisa tulus dalam hubungan,
semakin bermanfaat. Hanya dengan memberikan realitas asli yang ada
pada saya, orang lain dapat berhasil mencari kenyataan di dalam dirinya”.
2. Unconditional Positive Regard
Unconditional positive regard disebut juga sebagai penerimaan, sikap
respek, dan penghormatan. Hal ini menekankan pada penilaian klien
sebagai individu atau organisme yang terpisah, yang pikiran, perasaan,
kepercayaan, dan keseluruhannya diterima secara terbuka, tanpa
persyaratan apa pun. Teori person centered menyatakan bahwa jika terapis
dapat menerima klien sepenuhnya, maka klien dapat mulai mengeksplorasi
siapa mereka sebenarnya dan apa yang sebenarnya mereka inginkan.
Dengan menerima semua klien, terapis memimpin klien untuk mulai
menerima diri mereka sendiri dan dapat memunculkan keinginan untuk
mengeksplorasi perasaan yang sangat pribadi dan kesadaran diri yang
lebih besar.
Rogers selanjutnya mengatakan bahwa penerimaan ini harus
mencakup perubahan dari waktu ke waktu dan ketidakkonsistenan yang
dimanifestasikan oleh klien selama sesi. Rogers menentang intervensi
langsung seperti konfrontasi dan interpretas karena menurutnya tidak
masalah jika klien mengklaim memiliki perubahan hati (a change of heart
halfway) di tengah sesi. Bagi terapis person centered, cinta dan amarah
sama pentingnya untuk diperhatikan. Dengan hanya mendengarkan dan
merefleksikan kembali kedalaman dari kedua perasaan, terapis
memungkinkan klien untuk menerima atau memodifikasi apa yang telah
diungkapkan. Rogers percaya bahwa penerimaan yang dikombinasikan
dengan empati yang akurat dapat mengarahkan klien pada kesadaran atau
wawasan yang berkembang ke bagian-bagian diri yang sebelumnya tidak
dikenali. Ketika diberi unconditional positive regard klien dapat
menemukan dirinya yang sebenarnya.
3. Accurate Empathy or Empathic Understanding
Berdasarkan apa yang awalnya dipelajari dari Elizabeth Davis, Rogers
menjadi semakin mampu memperhatikan dan mencerminkan perasaan
kliennya. Pada saat-saat tertentu, ketika mendengarkan rekaman audio dari
karyanya, ia tampaknya menyelinap sepenuhnya ke dunia klien, melihat
dan mengalami persis apa yang dilihat dan dialami klien. Banyak ahli teori
dari berbagai orientasi teoretis mengakui pentingnya empati terhadap
psikoterapi, ada yang mengatakan itu adalah dasar untuk membentuk
ikatan antara klien dan terapis (Kohut, 1959), yang lain mengklaim karena
dapat menghilangkan ketakutan dan penolakan klien (Barrett-Lennard,
1981), serta dapat memberikan rasa aman kepada klien (Jenkins, 1997
dalam Flanagan, 2004). Meskipun empati adalah faktor kuat dalam
psikoterapi, pada pendekatan person centered empathic understanding
bukanlah variabel tunggal yang mengarah kepada hasil tertentu, sehingga
tetap harus digunakan bersamaan dengan dua kondisi terapeutik lainnya
yakni congruency dan unconditional positive regard.
Terdapat tiga komponen empati yang biasanya dibahas pada beberapa
literatur (Buie, 1981; Sommers-Flanagan & Sommers-Flanagan, 2003
dalam Flanagan, 2004):
1. Intellectual empathy, melibatkan dunia dari perspektif klien dengan
cara yang jauh atau intelektual.
2. Emotional empathy, terjadi ketika terapis secara alami atau spontan
mulai merasakan emosi sebagai respons terhadap kata-kata klien atau
keadaan emosi
3. Imaginative empathy, mellibatkan pertanyaan empati yang dilontarkan
pada diri sendiri seperti: "Bagaimana perasaan saya jika saya berada dalam
situasi klien saya?"

C. Praktik Person Centered Therapy


Tahap-Tahap Person Centered Therapy
Secara garis besar person centered therapy terbagi menjadi 3 tahap
yang dapat dijelaskan sebagai berikut (Adi, 2013):
1. Tahap Penciptaan Hubungan Baik
Dengan suasana yang hangat, empati, permisif, tanpa memberikan
penilaian diharapkan tercipta hubungan yang akrab antara terapis dengan
klien, dan selanjutnya klien mampu bersikap terbuka, mengekspresikan
segala masalahnya. Terapis bereaksi terhadap perasaan yang diekspresikan
klien, mengenal dan memberi respons verbalisasi terhadap perasaan itu.
Dalam proses terapi ini, terapis harus mampu menangkap dan
merefleksikan perasaan- perasaan yang diekspresikan klien. Seringkali
klien mengekspresikan perasaan-perasaan yang sifatnya: 
a. Perasaan negatif. Perasaan benci, yang mana hal ini dapat ditarik
keluar ke tingkat kesadaran dengan menolong klien untuk melahirkan
segala perasaan negatif tersebut.
b. Perasaan yang ambivalent. Yakni perasaan yang terombang-ambing
antara dua perasaan yang bertentangan. Misalnya antara perasaan cinta
dan benci. Perasaan ini harus dapat dibicarakan secara terbuka.
Pengenalan terhadap perasaan yang ambivalent ini merupakan satu
langkah kemajuan dalam proses terapi. Perasaan ambivalent ini, baik
yang positif maupun yang negatif keduanya perlu dibuka agar klien
mendapatkan kemungkinan untuk memperoleh penyesuaian bagi
perasaan-perasaan tersebut.
c. Perasaan-perasaan yang tertuju kepada terapis. Setiap terapi
dengan menggunakan pendekatan person centered therapy hampir
selalu menunjukan suatu cara ekspresi klien terhadap terapis, baik itu
perasaan positif maupun negatif (transference). Terapis harus
mengenal perasaan-perasaan tersebut, menerima (accept), memahami
bahwa perasaan- perasaan itu sebenarnya tidak ditujukan pada terapis
sebagai person (pribadi), tetapi lebih kepada pengalaman-pengalaman
klien dalam proses terapi, baik yang menyakitkan (painful) ataupun
bersifat menyenangkan (satisfaction) bagi klien.
2. Tahap Pencapaian Pengertian yang Mendalam
Terapi dikatakan berhasil apabila insight (pengertian) berhasil
dicapai. Untuk mencapai tahapan insight harus melalui tahapan/fase
menampakan diri dan mengekspresikan hati nurani, yang biasa disebut
dengan "release of expression". Meskipun untuk mencapai insight ini
sangat lambat, dan sifat-sifatnya yang samar-samar, namun insight ini
dalam proses terapi sangat penting untuk dicapai. Secara global
pengertian insight untuk klien dapat diuraikan melalui beberapa fase:
1) Kesanggupan untuk melihat pengalaman- pengalaman lama (yang
selalu terjadi) dalam hubungannya dengan yang baru; 2) Kesanggupan
memperoleh pemahaman yang diri akunya (self lebih baik tentang
understanding; 3) Kesanggupan mengenal dan menerima diri akunya
(recognition and acceptance). Dalam proses terapi, klien diberikan
keleluasaan untuk berperilaku apa saja. Jadi klien harus mengikuti
tuntutan yang ada diluar dirinya, tetapi setelah terapi ia tidak akan
melihat eksternal melainkan internal control, karena terapi ini harus
mengalami fully functioning person sehingga dapat menghargai diri
sendiri.
3. Tahap Penutupan (Clossing Phases)
Sesudah klien mencapai insight, maka situasi terapi akan berubah,
ketegangan dan kesan adanya ketegangan banyak berkurang. Klien
mulai percaya pada dirinya sendiri, terutama dalam menghadapi
masalahnya. Situasi terapi sekarang menjadi suatu persoalan genuine
cooperative, dimana terapis dan klien membahas rencana-rencana
lebih lanjut dengan tujuan mencapai kebebasan lebih besar pada klien.
Dalam tahap ini klien lebih mampu mengadakan evaluasi yang lebih
tepat dan sudah sanggup melaksanakan self acceptance, sehingga dapat
menuju ke tahapan proses menyelesaikannya dalam terapi. Pada
tahapan yang demikian sering terjadi sikap ambivalent pada diri klien
antara terus tergantung pada terapis dan keinginan untuk mampu
berdiri sendiri. Saat hal itu terjadi, terapis hendaknya tenang, sabar dan
memberi ketegasan tentang duduk perkara yang sebenarnya, yaitu ada
kemungkinan klien masih mempunyai anggapan bahwa persoalan itu
masih terlalu berat untuk ditanggung tanpa bantuan terapis. Dalam hal
yang demikian terapis harus pandai mengatur pembicaraan, sehingga
klien mempunyai anggapan bahwa kepuasan yang dependent dengan
bantuan terapis tidak dapat mengimbangi kepuasan yang didapatnya
apabila dia memperoleh dengan mandiri dalam menentukan sikap dan
tindakannya. Pada akhirnya diharapkan klien akan lebih bersedia untuk
menerima berakhirnya hubungan terapi.

D. Teknik Spesifik dari Person Centered Therapy


a) Experiencing and Expressing Congruence
Kesesuaian terapis memiliki implikasi khusus untuk terapi dan
terapis (Sommers-Flanagan & Sommers-Flanagan, 2003 dalam
Flanagan, 2004). Terapis pemula dan berpengalaman sering kesulitan
untuk berkomunikasi yang sesuai dengan klien. Terapis tidak harus
mengungkapkan segala pikiran dan perasaannya tetapi juga tidak perlu
terlalu menghambat atau berhati-hati dalam mengungkapkan diri
kepada klien. Terlepas dari keterbukaan dan transparansi terapis
person-centered, tujuan utama keterbukaan ini adalah
mengkomunikasikan informasi yang berpotensi bermanfaat kepada
klien. Menurut Rogers (1958) dalam Flanagan, 2004, hal ini tujuannya
bukan untuk terapis mengungkapkan atau berbicara tentang
perasaannya sendiri, kadang-kadang ia mungkin perlu berbicara
tentang perasaannya sendiri (baik kepada klien, atau kepada kolega
atau atasannya) jika perasaan itu menghalangi.
Cara terbaik untuk melihat seberapa banyak pengungkapan diri
sesuai dari perspektif person centered adalah dengan mendengarkan
Rogers melakukan terapi atau untuk mendapatkan pelatihan khusus
dalam terapi person centered. Dalam sesi terapi audio dan video
tapenya, Rogers jarang mengungkapkannya sendiri untuk
meningkatkan kerja terapi klien dan bukan untuk melayani kebutuhan
egonya sendiri. Menurutnya, terkadang perasaan muncul dalam
dirinya yang tampaknya tidak memiliki hubungan khusus dengan apa
yang sedang terjadi. Namun Rogers telah belajar untuk menerima dan
memercayai perasaan ini dalam kesadarannya dan mencoba untuk
mengomunikasikannya kepada klien.
Sebagai contoh, seorang klien berbicara kepada Rogers dan tiba-
tiba ia merasakan gambar dirinya sebagai anak kecil yang memohon,
melipat tangannya dalam permohonan, berkata, “Tolong biarkan saya
memiliki ini, tolong biarkan saya memilikinya.” Rogers telah belajar
bahwa jika ia bisa menjadi nyata dalam hubungan dengan kliennya
dan mengungkapkan perasaan yang telah terjadi dalam dirinya, sangat
mungkin untuk membuat beberapa catatan dalam dirinya dan untuk
memajukan hubungannya dengan kliennya. Ketika ditanya apakah
pernah tepat bagi terapis untuk menggunakan teknik dalam terapi,
Carl Rogers mengatakan ya, tetapi hanya ketika teknik muncul secara
spontan bukan ketika mereka direncanakan sebelumnya.
b) Experiencing and Expressing Unconditional Positive Regard
Menerima klien apa adanya adalah salah satu kondisi terapi inti
Rogers namun ada tantangnannya yakni bagaimana cara terbaik untuk
mengungkapkan hal positif. Sebagian besar terapis akhirnya
mendapatkan masalah jika mereka secara langsung mengungkapkan
hal positif tanpa syarat kepada klien karena dua alasan. Pertama,
mengungkapkan terlalu banyak hal positif bisa membuat klien
kewalahan. Klien dapat bereaksi dengan ingin memecah batas terapi.
Setelah mendengar pernyataan positif dan penuh kasih seperti itu,
mereka secara alami mencari lebih banyak kedekatan, mungkin
persahabatan atau hubungan romantis. Alternatifnya, beberapa klien
mungkin bereaksi terhadap ekspresi langsung kasih sayang dengan
rasa takut. Klien-klien ini mungkin mencoba untuk memperluas batas
antara mereka dan terapis, bergerak cepat menjauh dari keintiman
yang secara terang-terangan ditawarkan oleh terapis. Kedua,
mengatakan "Aku peduli padamu" atau "Aku tidak akan menghakimi
kamu" dapat dipandang palsu atau tidak realistis, terutama jika terapis
tidak menghabiskan banyak waktu dengan klien dan karenanya tidak
benar-benar mengenalnya dengan baik. Pernyataan palsu atau tidak
realistis ini sering menjadi bumerang karena pada akhirnya klien
mulai memperhatikan cara-cara di mana terapis tidak peduli atau
menghakimi.
Terdapat beberapa cara yang dapat secara tidak langsung
menunjukkan terapis dapat berkomunikasi dengan positif tanpa syarat
kepada klien. Pertama, dengan menepati janji, dengan menanyakan
bagaimana klien ingin disapa dan kemudian mengingat untuk
mengatasinya seperti itu, dan dengan mendengarkan secara sensitif
dan penuh kasih, terapis telah membangun hubungan yang ditandai
oleh afeksi dan rasa hormat. Kedua, dengan memberikan kebebasan
kepada klien untuk membahas diri mereka sendiri dengan cara yang
berbeda, terapis mengomunikasikan rasa hormat dan penerimaan.
Ketiga, dengan menunjukkan bahwa terapis mendengar dan
mengingat bagian-bagian tertentu dari cerita klien, terapis
menyampaikan rasa hormat. Biasanya ini melibatkan penggunaan
parafrase, ringkasan, dan terkadang interpretasi. Keempat, dengan
menanggapi dengan kasih sayang atau empati terhadap rasa sakit
emosional dan konflik intelektual klien, terapis menyatakan
keprihatinan dan penerimaan. Kelima, pengalaman klinis dan
penelitian menunjukkan bahwa klien sensitif terhadap niat
pewawancara. Dengan demikian, dengan secara jelas berupaya
menerima dan menghormati klien, terapis mengkomunikasikan pesan
yang mungkin lebih kuat daripada teknik terapi apa pun. (Sommers-
Flanagan & Sommers-Flanagan, dalam Flanagan 2004).
c) Experiencing and Expressing Empathic Understanding
Konsisten dengan tradisi humanistik-eksistensial, terapis person-
centered tidak percaya bahwa terapis dapat secara langsung
mengetahui dan mengalami perasaan individu lain (Rogers, 1959
dalam Flanagan, 2004). Seperti halnya unconditional positive regards,
yang tampaknya penting mengenai empati bukanlah bahwa terapis
mengalami dengan sempurna dan mengekspresikan empati, tetapi
mereka berusaha sebaik mungkin untuk melakukannya. Rogers
menggambarkan cara hidup empatik pada tahun 1975 yaitu cara
bersama orang lain yang disebut empatik memiliki beberapa sisi. Ini
berarti memasuki dunia perseptual pribadi yang lain dan menjadi
betah di dalamnya. Ini melibatkan kepekaan dari waktu ke waktu
terhadap makna yang dirasakan yang mengalir dalam diri orang lain
ini, pada rasa takut akan kemarahan atau kelembutan atau
kebingungan atau apa pun yang ia alami. Itu berarti hidup sementara
dalam hidupnya, bergerak di dalamnya dengan hati-hati tanpa
membuat penilaian, merasakan makna yang hampir tidak disadarinya,
tetapi tidak berusaha mengungkap perasaan yang sama sekali tidak
disadari oleh orang itu, karena ini akan terlalu mengancam . (Rogers,
1975 dalam Flanagan, 2004)
d) Entering and Becoming at Home in the Client’s Private Perceptual
World
Memasuki dunia pribadi klien membutuhkan persiapan. Terapis
perlu menunjukkan bahwa terapis sangat menghargai pemahaman
tentang perspektif klien. Terapis juga harus terbuka untuk merasakan
apa yang dirasakan dan diinginkan klien untuk mengajukan
pertanyaan empati “Bagaimana perasaan saya jika saya _____ dan
mengatakan hal-hal ini?” (Carkuff, 1987, dalam Flanagan, 2004).
Secara teknis, prosedur yang digunakan untuk memasuki dunia klien
meliputi refleksi perasaan, eksplorasi empatik, dan klarifikasi.
e) Being Sensitive from Moment to Moment with the Client’s
Changing Meanings and Emotions
Sensitivitas momen ke momen membutuhkan perhatian yang
terfokus pada cara klien yang terus berubah. Dalam pendekatan
pengobatan person-centered yang berpusat pada emosi atau
pengalaman-pengalaman, Greenberg dan rekan-rekannya
merekomendasikan fokus pada makna dan kepedihan yang terkait
dengan verbalisasi klien (Goldman & Greenberg, 1997 dalam
Flanagan, 2004). Sebagai contoh, mereka merekomendasikan bahwa
ketika klien menawarkan narasi, terapis menjaga perhatiannya
terfokus dengan terus-menerus mengajukan pertanyaan internal seperti
"Apa makna inti atau pesan yang dia komunikasikan?" atau "Apa yang
paling hidup ?" atau "Apa yang dirasakan? ". Hindari terjebak fokus
pada apa yang dikatakan klien sebelumnya, karena fokus terapis
adalah pada informasi baru atau emosi baru yang terjadi di masa
sekarang.
f) Temporarily Living, and Moving About Delicately, in the Client’s
Life
Menyelam terlalu dalam ke dunia orang lain adalahh hal yang
membahayakan. Pada tahun 1967, Rogers menulis tentang
pengalaman dimana ia menjadi terlalu terlibat dengan klien dan
tersesat. Ia menceritakan dirinya dengan keras kepala merasa bahwa ia
harus dapat menolongnya dan membiarkan kontak-kontak itu
berlanjut lama setelah mereka tidak lagi menjadi terapi, dan hanya
melibatkan penderitaan untuk terapis. Rogers menyadari bahwa
banyak dari wawasan kliennya lebih baik daripada wawasan ia sendiri,
dan ini menghancurkan kepercayaan dirinya, dan entah bagaimana ia
melepaskan diri dari hubungan itu. (Rogers, 1967a, dalam Flanagan,
2004)
Idealnya, tujuan terapis adalah memiliki satu kaki di dalam dunia
klien dan satu kaki tertanam kuat di dunia terapis sendiri, membiarkan
diri mengalir ke dalam keberadaan klien selama beberapa waktu tanpa
kehilangan perspektif yang lebih objektif tentang apa yang terjadi
dalam sesi terapi. Martin Buber, ahli teologi Yahudi, menyebut
pengalaman hubungan semacam ini sebagai hubungan Aku-Engkau,
dan ia menekankan bahwa mustahil untuk terus-menerus
mempertahankan hubungan seperti itu.
g) Sensing Deep Meanings, but not Uncovering Feelings That Are Too
Far out of Awareness
Rogers kadang-kadang berbicara tentang bekerja di tepi kesadaran
kliennya. Dalam hal ini pendekatannya konsisten dengan praktik
psikoanalitik. Terapis yang berorientasi psikoanalitik menekankan
untuk membuat interpretasi materi yang tidak disadari pada waktu
yang tepat ketika wawasan akan segera ditembus. Demikian pula,
Rogers menekankan pentingnya menghormati kecepatan dan
kenyamanan klien. Sebagai seorang terapis person-centered bergerak
dengan lembut dalam dunia klien, jika terapis memiliki dorongan
untuk memberi tahu klien tentang sesuatu yang sepenuhnya di luar
kesadarannya, mungkin yang terbaik adalah menahan lidah. Meskipun
ada ruang untuk input intuitif, tugas utama terapis adalah mengikuti
petunjuk klien, bukan untuk menempa jalan terapis sendiri.

E. Teknik Tambahan dari Person Centered Therapy


Teknik person centered therapy merupakan suatu cara yang
penekanan masalahnya dalam hal filosofis dan sikap konselor, serta
mengutamakan hubungan konseling. Implemtasi teknik terapi tambahan
didasari oleh paham filsafat dan sikap konselor tersebut. Beberapa aspek
dalam penerapan teknik tambahan person centered therapy sebagai
berikut: (Nadhirotul, 2018)
1. Acceptance. Pada teknik tambahan person centered therapy
menekankan bahwa konselor menerima klien sebagaimana adanya
dengan segala masalah klien. Aspek acceptance secara mendasar
dimaksudkan bahwa sikap konselor adalah menerima klien dengan
netral.
2. Congruence. Menekankan bahwa karakteristik konselor adalah
terpadu, sesuai kata dengan perbuatan dan berskiap konsisten
3. Understanding. Menekankan bahwa konselor harus dapat secara
akurat dan memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat
dari dalam diri klien itu.
4. Non-judgemental. Menekankan bahwa terapi ini tidak memberi
penilaian terhadap klien, akan tetapi konselor selalu objektif.
Rogers mengemukakan, untuk terlaksananya proses terapi/konseling, maka
teknik atau kondisi yang diperlukan adalah : (Ulfa, 2016)
a) Kontak psikologis. Kontak psikologis secara minimum harus ada,
wujud dari kontak psikologis adalah konselor menerima dam berempati
pada klien.
b) Minimum state of anxiety. Maksudnya adalah klien perlu memiliki
kecemasan akan dirinya yang bermasalah pada taraf minimum, apabila
klien merasa tidak enak dengan keadaan sekarang, maka ia cenderung
berkehendak untuk mengubah dirinya.
c) Counselor genuiness. Sikap konselor adalah asli dan tidak dibuat-buat,
dengan ciri jujur, tulus, dan tanpa pamrih.
d) Unconditione positive regard and respect. Menekankan bahwa pada
teknik ini konselor memberikan penghargaan atau reward yang tulus
pada klien.
e) Emphatic understanding.Konselor benar-benar memahami kondisi
internal klien, merasakan jika seandainya konselor sendiri yang menjadi
klien.
f) Concreatness, immediacy and confrontation.Merupakan teknik khusus
dalam proses konseling
F. Contoh Kasus Person Centered Therapy
“Seorang wanita usia setengah baya datang ke tempat praktik
seorang psikolog karena memiliki permasalahan dengan kehidupan
rumah tangganya. Penampilan wanita ini cukup unik dengan rambut
berwarna kuning nan nyentrik, mengisap rokok dan menggunakan
pakaian yang serba transparan dan minim. Ia mengeluhkan bahwa dia
sangat susah merasa bahagia dan mengaku bahwa banyak tekanan dan
beban hidup yang datang bertubi-tubi tanpa henti. Mulai dari
permasalahan rumah tangga (bersama suami dan biaya hidup keluarga),
stress menghadapi anak-anak yang mulai tumbuh, hingga menyebabkan
emosi marah hampir setiap hari.”
Berdasarkan contoh cuplikan kasus diatas, mengacu pada 3
tahapan terapi, maka langkah pertama adalah dengan penciptaan
hubungan yang baik antara terapis dan klien. Melihat perawakan klien
seperti itu, tentu saja terapis tidak boleh berprasangka terlebih dahulu
seperti berpikir yang tidak-tidak mengenai klien ini, hal ini merupakan
aplikasi dari salah satu formulasi penting menurut Roger yaitu
unconditional positive regards, dimana terapis harus menerima
keberadaan klien apa adanya tanpa pembedaan baik/buruk dan tanpa
bersyarat. Kemudian jika hal ini sudah dilakukan, maka proses wawancara
sebagai instrumen utama akan dapat dilakukan, dimana klien dipersilakan
menceritakan masalah apa yang dihadapinya. 
Klien ini bercerita bahwa dirinya kurang dapat menikmati
kebahagiaan hidupnya lagi akibat tekanan dan beban hidup. Selama
mendengarkan keluh kesah klien ini, terapis mulai beralih pada tahapan
kedua yakni pencapaian pengertian yang mendalam. Penting dalam hal
ini peran terapis untuk memfasilitasi klien untuk dapat mengekspresikan
hati nuraninya, guna mendapatkan insight akan masalah yang dihadapinya.
Pertama, terapis haruslah melakukan kongruensi, menyamakan pola
pikirnya dengan pola pikir klien walau mungkin tidak sesuai, dengan
anggapan bahwa klien adalah orang paling ahli dalam kehidupan dan
masalahnya. Selain itu empati juga perlu dilakukan, dimana terapis
mencoba ikut masuk dan merasakan apa yang dirasakan klien melalui
keluh kesahnya itu. Terapis menggunakan perasaannya dalam menghadapi
klien, dan terapis menjadi observer menggunakan seluruh
inderanya. Proses ini harus berjalan dengan formal tetapi nyaman, dengan
tetap memegang teguh etika.
Berikutnya setelah terapis membantu klien untuk mendapat insight,
maka terapis dapat mengerucutkan proses terapi dengan melakukan
penutupan/closing. Dalam hal ini, terapis mulai merancang program
intervensi, yang tentu saja dengan persetujuan dan disesuaikan dengan
keadaan klien, mengingat tugas terapis adalah sebagai fasilitator pasif
yang mendorong klien untuk bertanggung jawab dalam menentukan arah
atau tindakannya sendiri dengan menciptakan iklim terapeutik. Program
terapi dapat dirancang sebagaimana yang nanti dituangkan dalam informed
consent terkait frekuensi dan durasi terapi, biaya, penjadwalan, dan
sebagainya. Semisal untuk intervensi kasus ini, terapis dapat memilih
metode terapi relaksasi sehingga klien dapat memandang berbagai
permasalahan dan beban hidupnya secara lebih positif dan dapat
menjalaninya dengan lebih optimis. Setelah itu terapis memberikan kata-
kata penutup yang baik dan memotivasi sehingga klien dapat pulang
dengan suasana hati yang lebih nyaman dan tenang.

2 PSYCHOTERAPY WITH SUICIDAL PERSON (PENDEKATAN


PERSON CENTERED)
A. Definisi, Fakta, dan Mitos Bunuh Diri serta Teori dalam Bunuh Diri
Menurut Shneidman, dalam (Leenaars, 2004) bunuh diri
didefinisikan sebagai tindakan seseorang kepada diri sendiri atau niat
mengakhiri diri. Bunuh diri bukanlah suatu penyakit (meskipun banyak
yang berpikir demikian), bunuh diri bukanlah kelainan biologis (meskipun
faktor biologis juga mengambil peran dalam beberapa kasus bunuh diri),
bunuh diri bukanlah tindakan tidak bermoral (meskipun orang yang
melakukan itu sering diperlakukan demikian), dan bunuh diri juga
bukanlah suatu tindak kriminal di banyak negara di dunia (meskipun itu
terjadi berabad-abad). Bunuh diri dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti faktor biologis, disfungsi otak dan ketidakmampuan belajar,
keterbatasan fisik dan penyakit, depresi, kejadian spesifik yang terjadi
secara tiba-tiba pada lingkungan, serta latar belakang keluarga.
Orang-orang seringkali bingung oleh perilaku yang merusak diri
sendiri dan konsepsi bunuh diri yang beragam. Berbagai mitos dan fakta
umum tentang bunuh diri. Shneidman & Mandelkorn, dalam Leenaars
(2004) merumuskan beberapa mitos dan fakta tentang bunuh diri.
diantaranya:
1. Mitosnya, seseorang yang berbicara tentang bunuh diri tidak akan
melakukan bunuh diri. Padahal faktanya, dari sepuluh orang yang
melakukan bunuh diri, delapan diantaranya memberikan memberikan
peringatan yang nyata dari niatnya untuk melakukan bunuh diri.
2. Mitosnya, bunuh diri dilakukan tanpa adanya peringatan dari orang
yang berniat melakukannya. Tapi faktanya, banyak studi yang
mengungkapkan bahwa orang yang melakukan bunuh diri memberikan
banyak pertanda dan peringatan berkaitan dengan niat bunuh diri.
3. Mitosnya, orang yang bunuh diri sepenuhnya ingin untuk mati.
Faktanya, sebagian besar orang yang bunuh diri tidak memutuskan
tentang hidup dan mati, dan mereka berspekulasi dengan kematian,
meninggalkan tanda-tanda kepada orang lain agar orang lain dapat
menyelamatkan mereka. Hampir tidak ada orang yang melakukan
bunuh diri tanpa membiarkan orang lain tau bagaimana perasaan
mereka.
4. Mitosnya, ketika sesorang melakukan bunuh diri, maka dia akan
selamanya untuk mencoba melakukan bunuh diri. Padahal faktanya,
individu yang ingin membunuh dirinya hanya melakukan bunuh diri
hanya pada periode waktu yang terbatas.
5. Mitosnya, perbaikan setelah krisis bunuh diri berarti bahwa risiko
bunuh diri sudah berakhir. Faktanya, Sebagian besar bunuh diri terjadi
dalam waktu sekitar tiga bulan setelah dimulainya perbaikan (terapi),
ketika individu memiliki kesempatan untuk menerapkan pikiran dan
perasaannya yang tidak wajar.
6. Mitosnya, bunuh diri lebih sering terjadi di kalangan orang kaya atau,
sebaliknya terjadi paling sering di kalangan orang miskin. Faktanya,
bunuh diri bukanlah penyakit orang kaya atau kutukan bagi orang
miskin. Bunuh diri sangat "demokratis" dan bisa jadi terjadi di antara
semua lapisan masyarakat.
7. Mitosnya, tendensi untuk melakukan bunuh diri itu diwarisi. Namun
faktanya, bunuh diri tidaklah diwariskan, tetapi merupakan suatu pola
dari individu.
8. Mitosnya, semua orang yang melakukan bunuh diri merupakan orang
yang sakit mental, dan bunuh diri selalu dilakukan oleh orang yang
psikotik. Namun faktanya, studi terhadap orang yang bunuh diri
mengungkapkan bahwa meskipun orang yang melakukan bunuh diri
sangatlah tidak bahagia, dia tidak semuanya mengalami sakit mental
atau psikotik.
Berikut ini merupakan beberapa teori dalam bunuh diri :
1. Psikoanalisis. Teori ini memandang bahwa bunuh diri dimotivasi oleh
niat yang timbul secara tidak sadar.
2. Perilaku-Kognitif. Teori ini memandang bahwa bunuh diri
diasosiasikan dengan depresi. Krisis antara depresi dan niatan bunuh
diri yaitu keputusasaan. Dimana orang yang melakukan bunuh diri
memandang bunuh diri sebagai solusi yang paling memungkinkan
untuk mengatasi keputusasaannya terhadap suatu masalah. Orang yang
melakukan bunuh diri juga selalu memandang bahwa diri mereka
negatif, dan terkadang berpikir tidak realistis tentang dirinya.
3. Teori Belajar Sosial. Teori ini memandang bunuh diri sebagai sesuatu
yang dipelajari. Pengalaman masa kecil dan tekanan dalam lingkungan
membentuk suicidal person dan mempercepat aksi bunuh diri. Bunuh
diri dapat diperkuat oleh faktor lingkungan, misalnya norma
subkultural, sugesti dari televisi, prefensi gender terhadap metode
spesifik terkait bunuh diri, modeling, jaringan keluarga dan pertemanan,
serta pola budaya.
4. Multidimensional. Teori multidimensional memandang bahwa orang
yang melakukan bunuh diri merasakan kepedihan psikologis yang tak
tertahankan. Orang tersebut hampir sepenuhnya berfokus pada emosi
atau rasa sakitnya. Pada teori ini, orang yang bunuh diri juga karena
mengalami situasi yang traumatis, misalnya kondisi kesehatan yang
buruk, penolakan oleh pasangannya, menikah dengan orang yang tidak
mendukungnya. Sikap internal orang yang bunuh diri adalah ambivalen.
Menurut Leenaars, bunuh diri dapat secara klinis dipahami dengan
pola-pola sebagai berikut:
1. Intrapsychic
a) Unbearable Psychological Pain (Sakit Psikologis yang Tak
Tertahankan)
Stimulus umum dalam bunuh diri adalah rasa sakit psikologis yang
tidak dapat dihilangkan atau disembuhkan. Orang yang ingin bunuh
diri berada dalam kondisi terganggu yang tinggi, penderitaan mental
yang hebat. Sesuatu yang ditakutkan orang yang melakukan bunuh
diri adalah trauma, krisis, tidak berdasar, dan penderitaan abadi.
Bunuh diri, seperti yang dicatat oleh Murray (1967), berfungsi untuk
menghilangkan ketegangan yang menyakitkan bagi individu,
sehingga ini seringkali menjadi jalan keluar dari penderitaan yang
tak tertahankan.
b) Cognitive Constriction (Penyempitan Kognitif)
Keadaan kognitif yang umumnya dialami orang yang ingin bunuh
diri adalah penyempitan mental. Dalam menghadapi trauma yang
menyakitkan, solusi yang memungkinkan bisa jadi benar-benar
menjadi solusi. Penyempitan kognitif ini merupakan salah satu aspek
yang paling berbahaya dari pikiran bunuh diri.
c) Indirect Expressions (Ekspresi Tidak Langsung)
Orang yang ingin bunuh diri itu bersifat ambivalen, ada komplikasi,
perasaan kontradiktif yang bersamaan, sikap dan / atau dorongan,
yang sering terjadi pada seseorang dan bahkan terhadap
kehidupannya. Tidak hanya cinta dan benci, tetapi juga konflik
antara kelangsungan hidup dan rasa sakit yang tak tertahankan.
d) Inability to Adjust (Ketidakmampuan untuk Menyesuaikan Diri)
Orang-orang yang bunuh diri melihat diri mereka sebagai orang yang
menderita rasa sakit yang tak tertahankan dan tidak mampu
menyesuaikan diri. Namun, kondisi pikiran mereka tidak sesuai
dengan pemahaman tentang apa yang sedang terjadi. Mereka
memiliki keyakinan bahwa mereka terlalu lemah untuk mengatasi
kesulitan, dan menolak segalanya kecuali kematian karena mereka
tidak dapat bertahan dari kesulitan hidup.
e) Ego
Ego yang dimiliki seseorang kemungkinan telah dilemahkan oleh
peristiwa-peristiwa kehidupan traumatis yang dialami terus-menerus.
Ini menggambarkan bahwa riwayat gangguan traumatis
menempatkan seseorang pada risiko bunuh diri dan kerentanan atau
kurangnya ketahanan ego. Ego yang melemah berkorelasi positif
dengan risiko bunuh diri.
2. Interpersonal
a) Hubungan Interpersonal
Orang dengan tendensi bunuh diri memiliki masalah dalam
membangun atau mempertahankan hubungan. Hal tersebut
terkait dengan basic human needs yang tidak terpenuhi atau
frustrasi, misalnya, cinta, pencapaian, otonomi, dominasi,
kehormatan.
b) Penolakan dan Agresi
Penolakan merupakan pusat dari bunuh diri, yang mana pada
kenyataannya, seringkali penolakan yang dialami dianggap
sebagai pengabaian.
c) Identifikasi Jalan Keluar
Identifikasi jalan keluar didefinisikan sebagai keterikatan atau
ikatan berdasarkan ikatan emosional yang penting dengan orang
lain atau sesuatu yang ideal. Jika kebutuhan emosional ini tidak
terpenuhi, orang dengan kecenderungan bunuh diri mengalami
rasa sakit yang mendalam. Sesuatu harus dilakukan untuk
menghentikan kesedihan yang dialami. Orang yang ingin bunuh
diri ingin mencuri, keluar, pergi ke tempat lain, ingin mati.
Sehingga bunuh diri akhirnya menjadi satu-satunya solusi.

B. Tanda-Tanda Tindakan Bunuh diri


1 Previous Attempts (Usaha Sebelumnya)
Upaya bunuh diri sebelumnya merupakan petunjuk yang baik untuk
prediksi upaya bunuh diri lagi di masa depan, terutama jika tidak ada
bantuan yang diperoleh setelah upaya pertama. Namun, tidak semua
upaya sebelumnya membuat upaya lain (atau bunuh diri).
2 Verbal Statements (Pernyataan Verbal)
Seperti halnya perilaku, ancaman verbal negatif yang terlalu sering
diucapkan seringkali dianggap hanya untuk mencari perhatian. Hal ini
mengakibatkan terjadinya pengabaian terhadap perilaku seseorang
yang benar-benar terganggu dan berpotensi bunuh diri. Pernyataan
verbal misalnya "Aku akan bunuh diri" atau "Aku ingin mati", atau
yang tidak langsung seperti "Saya ingin bertemu almarhum istri saya"
atau "Saya tahu bahwa saya akan mati pada usia dini".
3 Cognitive Clues (Petunjuk Kognitif)
Pada petunjuk kognitif, seringkali orang tersebut menggunakan kata-
kata seperti "hanya", "selalu", "tidak pernah", dan "selamanya".
Petunjuk-petunjuk kognitif misalnya: "Tidak ada yang akan pernah
mencintaiku. Hanya ibu yang mencintaiku", "Bosku akan selalu seperti
itu", dan "Entah aku akan membunuh suamiku atau diriku sendiri".
4 Emotional Clues (Petunjuk Emosional)
Petunjuk emosional misalnya timbulnya rasa sangat terganggu, cemas,
gelisah, merasa ditolak, dilecehkan, tidak berhasil, merasakan
kemarahan, kekosongan, kesepian, kehilangan, dan kesedihan.
5 Sudden Behavioural Changes (Perubahan Perilaku Secara
Mendadak)
Perubahan mendadak menjadi perhatian khusus ketika peristiwa
menyakitkan dialami seseorang. Perubahan perilaku yang mendadak
dapat berupa menurunnya kinerja yang di sekolah atau tempat kerja,
dan kegagalan yang mendadak.
6 Life-Threatening Behaviour (Perilaku Mengancam Kehidupan)
Perilaku yang mengancam kehidupan misalnya merusak diri sendiri
dengan mengonsumsi alkohol, kecanduan obat-obatan, manajemen
kesehatan yang buruk, kecelakaan mobil, dll.
7 Suicide Notes (Catatan Bunuh Diri)
Catatan bunuh diri adalah petunjuk penting. Orang yang memiliki niat
untuk melakukan bunuh diri biasanya membuat sebuah catatan bunuh
diri beberapa menit sebelumnya kematian atau melakukan bunuh diri.
Namun, catatan tersebut seringkali tidak dipedulikan oleh pembaca.

C. Beberapa Pendekatan Psikoterapi yang Digunakan untuk Bunuh Diri


Selain farmakoterapi dan ECT, psikoterapi memainkan peran
penting dalam pengelolaan perilaku bunuh diri dalam praktik klinis.
Meskipun beberapa penelitian yang ketat telah secara langsung memeriksa
apakah intervensi ini mengurangi morbiditas atau mortalitas bunuh diri,
konsensus klinis menunjukkan bahwa intervensi psikososial dan
pendekatan psikoterapi tertentu bermanfaat bagi pasien yang ingin bunuh
diri. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, penelitian tentang
psikoterapi telah menunjukkan kemanjurannya dalam mengobati gangguan
seperti depresi dan gangguan kepribadian ambang yang berhubungan
dengan peningkatan risiko bunuh diri.
Keunggulan nyata dari terapi kombinasi dengan psikoterapi dan
farmakoterapi pada individu dengan depresi juga menunjukkan perlunya
studi lebih lanjut tentang pengobatan kombinasi tersebut pada individu
dengan perilaku bunuh diri. Intervensi psikososial lainnya mungkin juga
bermanfaat dalam mengobati pasien bunuh diri, terutama mengingat
kegunaannya dalam meminimalkan gejala dan risiko kekambuhan pada
pasien dengan gangguan bipolar dan pasien dengan skizofrenia. Beberapa
pendekatan psikoterapi yang dapat digunakan untuk bunuh diri adalah
psikoterapi psikoanalisa dan psikodinamika, terapi perilaku kognitif, terapi
perilaku dialektikal, intervensi psikososial lainnya, person centered
therapy.

D. Contoh Kasus Psychoterapy with Suicidal Person


Rick adalah seorang pria berusia 23 tahun yang datang kepada
terapis dengan perasaan cukup bingung. Rick melaporkan bahwa ia
dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap wanita yang tidak dikenal.
Dia selama ini mencoba untuk tidak mendengarkannya, serta takut akan
hukuman dan penjara. Dia melaporkan bahwa tuduhan itu membuatnya
kesal dan tertekan. Penyelidikan terapis mengungkapkan bahwa dia pernah
mengalami penolakan oleh seorang pacar, Sally, sekitar dua tahun
sebelumnya. Mereka berkencan selama dua tahun dan berencana menikah.
Suatu malam, ketika dia pergi dengan beberapa teman, Sally merasa
keberatan, saat itulah dia mengetahui bahwa Sally memiliki hubungan
seksual dengan salah satu dari beberapa temannya. Kemudian Sally
memutuskan hubungannya dengan Rick, dan Rick belum berkencan sejak
putus. Suasana hati Rick tertekan, menunjukkan minat yang sangat
berkurang. Tidak ada penurunan berat badan tetapi dia mengalami
insomnia. Dia gelisah dan menunjukkan masalah ringan yang tidak
menyenangkan. Ketika ditanya tentang ide bunuh diri atau berbagai upaya
melukai diri, dia menyangkalnya. Rick mengidentifikasi orangtuanya
sebagai masalah baginya, menunjukkan sejarah yang penuh tekanan di
rumah. Dia mengaku menggunakan steroid. Rick tidak memiliki riwayat
kesehatan mental sebelumnya dan menyangkal gangguan atau perawatan.
Dia melaporkan bahwa ibunya terlalu terlibat dalam kehidupannya.
PENANGANAN:
Terapis Rick terlebih dahulu mengidentifikasi gejala-gejala yang
mengarah pada niatan bunuh diri. Terapisnya mengidentifikasi gejala yang
muncul dan memasukkannya kedalam pola-pola menurut Leenars yaitu
Intrapsychic (Unbearable Psychological Pain, Cognitive Constriction,
Indirect Expressions, Inability to Adjust, dan Ego) dan Interpersonal
(Interpersonal Relationship, Rejection–Aggression, dan Identification–
Egression). Setelah ditemukan pola-pola tersebut, terapis memberikan
intervensi kepada Rick dengan berdasarkan pada pola-pola yang telah
didapatkan. Pada kasus ini, intervensi yang digunakan yaitu menggunakan
tahapan-tahapan dari person centered therapy.
REFERENSI

Corey, G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.


Belmont, CA: Brooks/Cole.
Corey, G. (2010). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
Redaksi Rafika Aditama.
Fauza, N. (2018). Penerapan Teori Client Centered dalam Pelayanan Konseling
Individual di Mts. S Darussalam Simpang Limun Kec. Torgamba Labusel.
[Skripsi]. Terdapat di: http://repository.uinsu.ac.id/6380/ . Diakses pada:
17 November 2019.

Flanagan, J.S., & Flanagan, R.S. (2004). Counselingand Psychotherapy Theories


in Contextand Practice: Skills, Strategies, and Techniques. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.
Komalasari, G., Wahyuni, E., Karsih. (2011). Teori dan Teknik Konseling.
Jakarta: PT indeks.
Kukuh, J.A. (2013). Esensial Konseling: Pendekatan Trait and Factor dan Client
Centered. Yogyakarta: Garudhawaca.

Leenaars, A.A. (2004). Psychotherapy With Suicidal People: A Person-Centred


Approach. New Jersey: John Wiley & Sons, Ltd.
Muthi’ah, A., &.Fadhilah, N.U. (2013). Makalah Pendekatan Person Centered
Therapy. Malang.
Rosada, U.D. (2016). Modal Pendekatan Konseling Client Centered dan
Penerapannya dalam Praktik. Jurnal Bimbingan dan Konseling. Vol 6 (1).

Anda mungkin juga menyukai