GANGGUAN TIDUR
Oleh
PENGERTIAN TIDUR
Tidur merupakan suatu hal yang biasanya digunakan oleh seseorang dalam
melepaskan lelah baik fisik maupun mental. Menurut Peter (1985) dalam Diani (2014)
mengatakan bahwa tidur merupakan suatu keadaan sederhana dimana hampir semua sistem
dalam tubuh individu memiliki kesempatan untuk dapat beristirahat dan tidak melakukan
aktivitasnya seperti normal dalam waktu tertentu. Pengurangan aktivitas ini sampai batas
paling dasar hingga akhirnya seseorang dapat bangun kembali. Tidur dapat diartikan sebagai
suatu keadaan tidak sadar dimana keadaan persepsi dan reaksi individu akan menurun
terhadap rangsangan lingkungan dan dapat bangun kembali dengan rangsangan yang cukup
(Asmadi dalam Widhiyanti, 2017). Tidur dapat dikarakteristikan dengan aktivitas fisik yang
minimal, terjadinya prubahan proses fisiologis tubuh, tingkat kesadaran yang bervariasi dan
terjadinya penurunan respon fisiologis terhadap stimulus eksternal. Selain itu, tidur juga
berarti sebuah mekanisme fisiologi tubuh seseorang yang diatur oleh dua hal penting, yakni
sleep homeostasis dan irama sirkardian (Jannah, 2017). Sleep homeostasis merupakan suatu
keadaan dimana tubuh akan mempertahankan kondisi keseimbangan tertentu seperti tekanan
darah, suhu dalam tubuh hingga keseimbangan akan asam-basa tubuh. Ketika seseorang
bangun, maka pengaturan keseimbangan tidur akan terakumulasikan sampai sore hari. Hal ini
berkaitan dengan sebuah sistem yakni adenosin. Kadar adenosin pada darah akan meningkat
ketika dalam kondisi terjaga, dan akan menurun ketika seseorang tertidur (National Sleep
Foundation, 2017).
Maka, dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa tidur merupakan suatu
keadaan dimana hampir semua sistem dalam tubuh individu dapat beristirahat dalam
ketidaksadaran yang bervariasi, dimana didalamnya akan terjadi penurunan proses fisiologis
terhadap stimulus eksternal yang dipengaruhi oleh sleep homeostasis dan irama sirkardian
dan dapat bangun kembali dari tidurnya dengan adanya rangsangan yang cukup.
TAHAPAN TIDUR
Tidur dapat diklasifikasikan menjadi dua tahapan penting yakni diawali dengan tidur
dengan gerakan bola mata lambat (Non-Rapid Eye Movement-NREM) atau tidur dengan
gelombang lambat dan juga tidur dengan gerakan bola mata (Rapid Eye Movement-REM)
atau juga disebut tidur paradoks.
1. Tidur NREM (Non-Rapid Eye Movement-NREM)
Tidur NREM merupakan keadaan tidur yang dalam dan sangat nyaman. Ketika
individu dalam kondisi ini, maka gelombang otak akan lebih lambat dibandingkan
pada orang yang sadar atau orang yang tidak tidur. Tidur NREM ditandai dengan
tekanan darah yang turun, metabolism tubuh menurun, pernapasan menurun, mimpi
berkurang dan gerakan bola mata yang lambat (Widhiyanti, 2017). Dalam siklus tidur,
NREM ini akan terjadi selama 75% dalam siklus tidur secara keseluruhan. Ketika
individu mulai tertidur, maka individu tersebut memasuki tidur NREM yang terdiri
dari 4 tahapan, yakni sebagai berikut :
a. Tahapan I
Tahap I NREM merupakan tahapan transisi tidur dimana terjadinya peralihan
antara kondisi sadar (terjaga) dan kondisi tertidur (National Sleep Foundation,
2017). Tahapan ini ditandai dengan keadaaan individu yang rileks namun masih
sadar dengan kondisi lingkungannya, sehingga dapat dibangunkan dengan
mudah. Tahapan ini akan terjadi 5% dalam 75% tidur NREM.
b. Tahapan II
Tahapan II NREM merupakan tahapan tidur dimana individu akan mulai
tertidur, mulai terlepas dari lingkungannya, namun masih dapat dibangunkan
dengan mudah (Widhiyanti, 2017). Tahapan ini ditandai dengan pernapasan dan
detak jantung mulai lebih rileks dan teratur, suhu tubuh mulai turun dan otot-otot
mulai relaksasi. Tahapan ini terjadi selama 10-20 menit dan hampir terjadi 50%
dalam 75% tidur NREM.
c. Tahapan III
Tahapan II NREM merupakan awal dari tahapan tidur yang paling dalam.
Tahapan ini ditandai dengan tekanan darah turun, pernapasan menjadi lebih
lambat, suplai darah mulai meningkat, terjadinya relaksasi otot secara
menyeluruh dan akan sulit dibangunkan dalam tahapan ini (Widhiyanti, 2017).
Selain itu, dalam tahapan ini pula, pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh
akan terjadi, energi mulai dipulihkan dan hormon-hormon pertumbuhan akan
dilepaskan. Tahapan ini akan berlangsung 15-30 menit dan hampir terjadi 10%
dalam 75% tidur NREM.
d. Tahapan IV
Tahapan IV NREM merupakan tahapan tidur yang paling dalam atau delta
sleep. Pada kondisi ini, maka individu tersebut akan sulit untuk dibangunkan
sehingga memerlukan stimulus untuk membangunkannya (sentuhan). Selain itu,
akan terjadinya perubahan fisiologis seperti melemahnya gelombang EEG, nadi
dan pernapasan menurun, metabolism dan suhu tubuh pun juga akan turun. Tahap
ini terjadi 10% dalam 75% tidur NREM (Widhiyanti, 2017).
2. Tidur REM (Rapid Eye Movement-REM)
Tidur REM merupakan tahapan tidur setelah individu melalui tahapan tidur
NREM. Pada tahapan ini individu akan tidur secara aktif atau paradoksial. Tahapan
ini ditandai dengan mimpi secara aktif, gelombang melambat, frekuensi jantung dan
napas menjadi tidak teratur, mata akan cepat tertutup dan terbuka, tekanan darah dan
metabolism pun meningkat. Tidur REM ini menjadi sebuah tahapan yang sangat
penting dalam tidur, karena disinilah tubuh akan diberikan energi ke otak dan otot-
otot tubuh sehingga tubuh menjadi sehat dan bersemangat ketika bangun dan
mendukung kinerja individu di siang hari. Tahapan ini akan terjadi 25% dalam
tahapan tidur secara keseluruhan (National Sleep Foundation, 2017).
MANFAAT TIDUR
Tidur dapat dikatakan sebagai tahapan beristirahatnya tubuh. Penggunaan energi
dalam tubuh tidak akan dapat optimal jika tidak diberikan waktu untuk beristirahat dan
mengisi ulang energi tersebut. Tidur tentunya memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Tidur
menjadi bagian penting dari proses perbaikan pertahanan fungsi fisiologis tubuh. Ketika
individu tidur, maka tubuh akan memperbaiki sel-sel dan otot-otot tubuh menjadi lebih
optimal dan menyiapkan energi yang akan digunakan setelah terbangun nanti. Selain itu,
kadar hormon kortisol turun pada waktu tidur dan meningkat sepanjang malam untuk
meningkatkan kewaspadaan di pagi hari. Tidur membantu individu berkembang dengan
berkontribusi pada sistem kekebalan tubuh yang sehat. “Sepertiga dari hidup ini akan kita
habiskan untuk tidur, sehingga hal inilah yang akan menentukan seberapa produktif,
energik dan suksesnya dua pertiga hidup kita dimasa depan”.
GANGGUAN TIDUR
Etiologi Gangguan
Insomnia bisa disebabkan berbagai faktor, di antaranya karena hormonal dan
kejiwaan. Bisa juga karena faktor luar misalnya tekanan batin, suasana kamar tidur
yang tidak nyaman, ribut atau perubahan waktu karena harus bekerja di malam hari.
Banyak ahli menyatakan, gangguan tidur tidak langsung berhubungan dengan
menurunnya hormon. Namun, kondisi psikologis dan meningkatnya kecemasan,
gelisah, dan emosi yang sering tidak terkontrol akibat menurunnya hormon estrogen,
bisa menjadi salah satu sebab meningkatnya risiko gangguan tidur. Morin
menyebutkan penyebab insomnia yang utama adalah adanya permasalahan emosional,
kognitif, dan fisiologis. Ketiganya berperanan terhadap terjadinya disfungsi kognitif,
kebiasaan yang tidak sehat, dan akibat-akibat insomnia (Purwanto, 2008).
Pada tahun 2011 Lianne Kurina dari University Of Chicago melakukan
penelitian dengan mewawancarai 95 warga negara Amerika Serikat bagian selatan
yang rata- rata berusia 30 sampai 40 tahun. Penelitian ini menghasilkan bahwa
kecemasan, stres, dan depresi merupaka faktor utama penyebab mereka mengalami
insomnia, sehingga mereka sering terbangun di malam hari secara tiba-tiba
dikarenakan perasaan cemas dan gelisah akibat stres karena beban kerja yang berat,
kesepian karena tinggal di lingkungan yang asing, dan mengalami ketegangan otot
akibat kelelahan. Selain di Amerika Serikat, di negara berkembang seperti Taiwan
ditemukan 21,8% dari 4.005 penduduknya memiliki insomnia akut. Insomnia akut
tersebut disebabkan karena krisis ekonomi, depresi, stres, dan gaya hidup tidak sehat,
serta penyakit tertentu (misalnya seperti tekanan darah tinggi, dan diabetes yang dapat
menurunkan derajat kesehatan) sebagai pemicu insomnia (Sari, 2014).
Penanganan Insomnia
Penanganan yang disarankan adalah melalui kursus relaksasi (menggunakan
meditasi). Dimana seseorang harus menyelesaikan dua sesi terapi kognitif untuk
mengatasi keyakinannya yang disfungsional tentang tidur, yang meliputi, “Saya harus
menyerahkan segalanya yang menyenangkan untuk mendapatkan tidur yang lebih
baik”. Individu dengan insomnia disarankan untuk menggunakan waktu yang
diperoleh untuk memenuhi kebutuhan pribadinya untuk olahraga, kegiatan sosial, dan
hobi. Hipnotis sesuai kebutuhan diresepkan untuk digunakan jika tidur buruk selama
dua malam atau lebih berturut-turut, atau jika ia mengantisipasi tekanan yang sangat
besar pada hari berikutnya. Alternatif lainnya yakni dengan Sleep hygiene yang
mengacu pada sekumpulan daftar hal-hal yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi
mulainya tidur dan mempertahankannya. Daftar ini berisi beberapa komponen yang
meningkatkan kecenderungan alami untuk tidur dan mengurangi hal yang
mengganggu tidur (Ahsan dkk., 2015)
2. Hypersomnolence Disorder
Hypersomnolence atau hipersomnia adalah sebuah gejala gangguan tidur yang
membuat penderitanya mengalami rasa kantuk berlebihan meskipun sudah tidur
cukup. Hipersomnia juga membahayakan jiwa, terutama jika mengendara atau
mengoperasikan alat-alat berat. Rasa kantuk yang selalu datang, jelas akan
mengganggu aktivitas, dan berdampak pada produktivitas (Triamiyono, 2014). Dalam
DSM-V hipersomnolen atau hipersomnia dijelaskan dengan kriteria diagnostik
sebagai berikut:
a. Keluhan mengantuk yang berlebihan meskipun memiliki waktu tidur
setidaknya selama 7 jam, dengan setidaknya memiliki satu dari gejala
berikut:
1. Periode tidur berulang atau tidur dalam hari yang sama.
2. Waktu tidur utama yang berkepanjangan lebih dari 9 jam
sehari tapi tidak restoratif (misalnya tidak menyegarkan).
b. Kesulitan untuk terjaga sepenuhnya setelah terbangun tiba-tiba.
c. Hipersomnolen terjadi setidaknya tiga kali dalam seminggu,
setidaknya selama 3 bulan.
d. Episode hipersomnolen disertai dengan distress yang signifikan atau
gangguan kognitif, sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi penting
lainnya
e. Hipersomnolen tidak dapat dijelaskan dengan baik dan tidak terjadi
secara eksklusif selama episode gangguan tidur lainnya (misalnya
narkolepsi, gangguan tidur terkait pernafasan, gangguan tidur-bangun
ritme sirkadian, atau parasomnia).
f. Hipersomnolen yang terjadi tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu
zat (misalnya narkoba, obat-obatan).
g. Gangguan mental dan kondisi medis yang ada tidak cukup
menjelaskan keluhan insomnia.
Berdasarkan durasi munculnya gejala, tingkat keparahan hipersomnolen dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu:
- Akut: durasi kurang dari 1 bulan.
- Sub-akut: durasi 1-3 bulan.
- Persisten: durasi lebih dari 3 bulan.
Etiologi Gangguan
Terdapat beberapa kondisi yang bisa memicu timbulnya hipersomnolen, di
antaranya adalah:
- Gangguan tidur lain, seperti narkolepsi dan apnea tidur.
- Kelebihan berat badan.
- Cedera kepala / adanya gangguan pada saraf, seperti multiple sclerosis / Parkinson.
- Memiliki keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.
- Depresi.
Pada beberapa literatur, penyebab hipersomnia dibagi menjadi primer dan sekunder.
Penyebab primer disebabkan oleh gangguan otak yang mengatur pola tidur dan
bangun, sedangkan penyebab sekunder dikarenakan kualitas tidur yang buruk
misalnya gangguan pernapasan saat tidur yang menyebabkan terbangun pada malam
hari dan mengganggu jam tidur (Hidayat, 2012).
3. Narcolepsy
Narcolepsy berasal dari Bahasa Yunani narke yang artinya tidak sadar atau
pingsan (stupor) dan lepsis artinya serangan, sehingga narcolepsy berarti serangan
tidak sadar. Narkolepsi adalah gangguan sistem saraf yang memengaruhi kendali
terhadap aktivitas tidur. Dalam DSM-V gangguan tidur narkolepsi didefinisikan
memiliki kriteria diagnostik sebagai berikut :
a. Periode tidak tertahankan untuk tidur, ketiduran, atau tidur siang yang terjadi
pada hari yang sama. Hal ini terjadi setidaknya 3 kali dalam seminggu selama
setidaknya 3 bulan
b. Disertai oleh setidaknya satu dari beberapa hal berikut:
1. Episode katapleksi yang terjadi setidaknya beberapa kali dalam sebulan,
episode katapleksi didefinisikan sebagai:
- Pada individu dengan penyakit jangka panjang, episode singkat (detik
hingga menit) kehilangan tonus otot yang tiba-tiba, dengan masih masih
mempertahankan kesadaran, yang dipicu oleh tertawa atau bercanda.
- Pada individua tau anak-anak dalam 6 bulan onset, spontan menyeringai
atau episode membuka mulut atau rahang dengan lidah keluar atau
hypotonia global, tanpa ada pemicu emosional yang jelas.
2. Kekurangan hipokretin dalam cairan serebrospinal, yang diukur dengan
menggunakan nilai imunoreaktivitas cairan serebrospinal (CSF)
hypocretin-1 (kurang dari atau sama dengan sepertiga dari nilai yang
diperoleh pada subyek sehat yang diuji menggunakan pengujian yang
sama, atau kurang dari atau sama dengan 110 pg / mL). Tingkat CSF
rendah hypocretin-1 tidak boleh diamati dalam konteks cedera otak akut,
peradangan, atau infeksi.
3. Hasil pemeriksaan polisomnografi malam hari menunjukkan latensi tidur
rapid eye movement (REM) kurang dari sama dengan 15 menit, atau tes
latensi tidur ganda menunjukkan rata-rata latensi tidur kurang dari sama
dengan 8 menit dan 2 atau lebih periode REM onset tidur REM. Tingkat
keparahan gangguan narkolepsi dapat ditentukan dan terbagi menjadi
sebagai berikut :
• Ringan: katapleksi yang jarang (kurang dari sekali per minggu), perlu
tidur siang hanya sekali atau dua kali sehari, dan kurang tidur malam
yang terganggu.
• Sedang: katapleksi sekali setiap hari atau setiap beberapa hari,
mengganggu tidur malam, dan perlu tidur siang dua kali setiap hari.
• Parah: katapleksi yang resistan terhadap obat dengan berbagai
serangan setiap hari, rasa kantuk yang hampir konstan, dan gangguan
tidur nokturnal (misalnya gerakan, insomnia, dan vivid dreamming).
Etiologi Gangguan
Sebagian besar penderita narkolepsi memiliki kadar hipokretin rendah yang
diduga menjadi penyebab munculnya gangguan narkolepsi ini. Hipokretin adalah zat
kimia dalam otak yang membantu mengendalikan waktu tidur. Penyebab rendahnya
hipokretin diduga akibat sistem imun yang menyerang sel-sel sehat (autoimun).
Berikut ini kondisi yang dapat memicu timbulnya proses autoimun tersebut, hingga
akhirnya mengarah pada narkolepsi.
- Perubahan hormon, terutama pada masa pubertas atau menopause.
- Stres.
- Perubahan pola tidur secara tiba-tiba.
- Infeksi, seperti infeksi bakteri streptokokus atau infeksi flu babi.
- Kelainan genetik.
Narkolepsi juga dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada bagian otak yang
menghasilkan hipokretin akibat dari adanya penyakit lain, seperti:
- Tumor otak.
- Cedera kepala.
- Ensefalitis atau peradangan otak.
- Multiple sclerosis.
Penanganan Narcolepsy
Perawatan dan tindak lanjut yang dapat diberikan yaitu dengan modafinil
dititrasi hingga 400 mg qAM dengan sedikit efek. Beralih ke methylphenidate, dan
dosisnya secara bertahap ditingkatkan menjadi 20 mg TID dengan peningkatan
kesadaran yang berlangsung sekitar 2,5 jam setelah pemberian dosis, diikuti oleh rasa
kantuk yang lebih dalam sebelum dia bisa minum dosis berikutnya. Percobaan
pelepasan methylphenidate dimulai, dan dosis secara bertahap ditingkatkan menjadi
40 mg qAM. Setelah stabil pada dosis ini, seseorang akan memiliki kewaspadaan
yang memadai tetapi tidak sepanjang hari. Selain itu juga bisa menggunakan strategi
perilaku, termasuk tidur siang secara teratur tetapi tanpa obat.
Etiologi Gangguan
Obstructive Sleep Apnea (OSA) terjadi saat otot dibelakang tenggorokkan rileks
dan memblokir saluran napas. Saat terjadi pemblokiran udara sebagian atau
sepenuhnya, kadar oksigen dalam darah dapat menurun dikarenakan penghentian
pernafasan (10-20 detik). Kurangnya oksigen menyebabkan otak menjadi panik dan
membangunkan tubuh untuk bernapas kembali (Cahyono, Arie., 2011)
Penanganan Gangguan
Penanganan OSA terdiri dari terapi non-bedah dan terapi bedah. Penggunaan
continuous positive pressure (CPAP) adalah terapi non-bedah OSA yang dianggap
paling efektif untuk menurunkan gejala mendengkur, apnea-hipopnea dan daytime
hypersomnolence. The American College of Chest Physicians merekomendasikan CPAP
pada pasien dengan AHI >30 dan juga pasien dengan AHI 5–30 yang disertai gejala.
Kelemahan CPAP adalah adanya rasa tidak nyaman pada saat penggunaannya, adanya
rasa claustrophobia, sakit kepala, rinitis, iritasi wajah dan hidung serta aerofagia.
Dengan menurunkan berat badan, penderita OSA dengan obesitas dapat
meningkatkan volume dan fungsi saluran napas atas. Menghindari konsumsi minuman
beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam hari dapat memperbaiki tonus
otot saluran napas atas dan mekanisme pernapasan sentral. Preparat efedrin, walaupun
tidak memberikan efek jangka panjang, dilaporkan membantu memperbaiki aliran udara
pada saluran napas atas (Gordberg AN, 2009)
Etiologi Gangguan
Otak mengatur otot yang digunakan dalam pernapasan. Ketika kita menghirup
napas, otak mengirim sinyal kepada otot pernapasan untuk memaksa udara memasuki
paru-paru. Pada kasus CSA, otak gagal mengirim sinyal tersebut. Oleh sebab itu, otot
pernapasan tidak bekerja. Untungnya, ketika otak mengetahui tubuh kekurangan oksigen,
otak memaksa tubuh untuk bangun, dan hal ini efektif untuk mengulang kembali irama
pernapasan. Tetapi, ketika orang tersebut kembali tertidur, hal yang sama akan terjadi
kembali hingga 5 kali dalam satu jam. Akibatnya, penderita CSA dan OSA sangat
merasakan kelelahan karena kekurangan tidur. Ada 6 Jenis Central Sleep Apnea:
1. CSA akibat Pengaruh Obat – Dipicu oleh obat-obatan seperti Morfin, Oksikodon, dan
Kodein.
2. CSA dengan Pernapasan Cheyne-Stokes – CSA jenis ini adalah akibat dari masalah
kesehatan lain, seperti stroke dan gagal jantung kongestif.
3. CSA tanpa Pernapasan Cheyne-Stokes -- CSA yang diakibatkan dari masalah
kesehatan selain gagal jantung atau stroke.
4. CSA Ketinggian – Orang yang berada di ketinggian di atas 15.000 kaki (4,5 km)
dapat mengalami CSA.
5. CSA Primer – Penyebab pasti dari kondisi ini tidak diketahui.
6. CSA Kompleks – CSA yang terbentuk saat dalam masa pengobatan OSA.
Penanganan Gangguan
Diagnosa utama yang dilakukan prosesnya melibatkan analisa kinerja jantung,
paru-paru, dan otak selama sedang tidur. Pengujian ini bisa berlangsung semalaman. Bila
klien didiagnosa menderita OSA selama separuh malam awal, maka klien harus
menghabiskan separuh malam selanjutnya menggunakan alat CPAP. Ketika mengobati
CSA yang disebabkan kelainan, kelainan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Ada
kesempatan bahwa mengobati kelainan tersebut, juga akan mengobati CSA. Apabila
CSA disebabkan oleh obat-obatan, mengurangi penggunaan obat atau menggantinya
dengan obat yang lain, akan menyembuhkan CSA. Selain mengobati penyakit dan
mengurangi obat-obatan, klien juga harus menggunakan alat CPAP untuk mengurangi
gejala CSA. Pada beberapa kasus, alat CPAP sendiri dapat mengobati CSA. Selain
CPAP, kemungkinan dokter menyarankan penggunaan alat Adaptive servo-ventilation
(ASV) atau Bi-level positive airway pressure (BPAP), terutama bila CPAP tidak dapat
memberikan hasil yang diharapkan. ASV mirip dengan CPAP, tetapi mampu membantu
klien yang tidak dapat bernapas selama beberapa detik yang telah ditentukan. BPAP juga
bekerja dengan cara yang sama, namun tekanan yang diberikan dapat diatur sesuai
dengan kebutuhan pasien. Penanganan lainnya termasuk mengirimkan oksigen tambahan
ketika pasien sedang tidur, dan meresepkan obat-obatan tertentu seperti asetazolamid dan
teofilin. (Aurora RN, et al., 2012).
Etiologi Gangguan
Gangguan ini terjadi ketika sistem saraf otonom, yang mengontrol proses tak sadar
seperti bernapas sudah tak berfungsi dengan baik. Gangguan ini dapat disebabkan oleh
obstruksi jalan napas yang lebih rendah, kondisi paru-paru atau jantung, dan kelainan otot
dan saraf. Berbagai faktor dapat menyebabkan gangguan ini termasuk kondisi medis,
lingkungan, dan genetik yang mendasarinya. Pernapasan dapat melambat setelah
penggunaan obat-obatan atau zat-zat lain yang menekan sistem saraf pusat, seperti
benzodiazepin, opiat, dan alkohol (Boing, S., Randerath, W.J., 2015)
Penanganan Gangguan
Penanganan untuk gangguan ini melibatkan perawatan dari faktor-faktor yang
mendasarinya seperti obesitas, masalah tiroid, atau penghalang jalannya napas. Obat-
obatan yang dikenal sebagai stimulan pernapasan dapat membantu memperbaiki saluran
udara yang terlalu sempit sehingga dapat menyebabkan hipoventilasi. Dalam beberapa
kasus, gangguan ini dapat diatasi dengan alat tekanan jalan napas positif seperti CPAP
atau BPAP. (Boing, S., Randerath, W.J., 2015).
7. Circadian Rhythm Sleep Wake Disorder
Gangguan Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorder merupakan keadaan
dimana seseorang tidak dapat tidur dan bangun secara alami pada waktu yang
diperlukan untuk pekerjaan normal, sekolah, atau kebutuhan sosial lainnya akibat dari
ritme sirkadian yang berpatokan pada siklus 24 jam yang mempengaruhi sistem
fungsional tubuh manusia. Mereka umumnya dapat tidur cukup jika dibiarkan tidur
dan bangun pada waktu yang ditentukan oleh jam tubuh mereka. Gangguan tidur-
bangun ritme sirkadian yang tercantum dalam DSM-5 termasuk tipe fase tidur yang
tertunda, tipe fase tidur lanjut, tipe bangun-tidur yang tidak teratur, tipe tidur-non-24
jam. tipe bangun, dan tipe shift-work. Adapun kriteria diagnosis Circadian Rhythm
Sleep-Wake Disorder dalam DSM V yakni sebagai berikut :
a. Sebuah gangguan pola tidur yang tetap dan berulang itu disebabkan terutama oleh
perubahan sirkadian atau tidak selarasnya ritme sirkadian endogen dan jadwal
tidur-bangun yang dibutuhkan oleh lingkungan fisik individu atau jadwal sosial
atau jadwal professional.
b. Gangguan tidur mengarah ke kantuk yang berlebih atau insomnia, atau keduanya.
c. Gangguan tidur menyebabkan tekanan signifikan secara klinis atau gangguan
sosial, pekerjaan, dan bidang fungsi penting lainnya.
Etiologi Gangguan
Gangguan Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorder semua menyebabkan kantuk
yang berlebihan atau insomnia, atau keduanya. Gejala-gejala berikut berhubungan
dengan masing-masing subtipe Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorder. Gangguan
irama sirkadian dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk pergeseran jam kerja,
kehamilan pada wanita, perubahan zona waktu, perubahan jam kerja, paparan cahaya
dimana hipersensitivitas terhadap cahaya dapat mempengaruhi seseorang mengalami
Delayed Sleep Phase Type.
Penanganan Gangguan
Fototerapi bertujuan menormalkan jam tidur, pada pasien yang tidur terlalu cepat
di malam hari, dan bangun terlalu dini di pagi hari. Dalam fototerapi, pasien akan
disinari dengan sinar UV selama 30-40 menit setelah bangun tidur bertujuan untuk
mengembalikan irama sirkardian anda ke tempat yang seharusnya. Kronoterapi
merupakan suatu terapi perilaku di mana waktu tidur secara bertahap disesuaikan
dengan waktu yang diinginkan. Terapi ini memiliki angka keberhasilan yang cukup
tinggi dalam mengatasi berbagai gangguan tidur.
Etiologi Gangguan
Gangguan ini dikaitkan dengan komponen genetik, dimana beberapa orang
yang memiliki gangguan di atas memiliki keluarga dengan riwayat mengalami
sleepwalking maupun sleep terrors. Kemudian faktor penyebab lainnya yang
meningkatkan terjadinya episode tersebut yaitu kurang tidur, jadwal tidur yang
terganggu, kelelahan, mengalami stress baik fisik maupun emosional, penggunaan
obat-obatan penenang, alcohol. Mereka yang mengalami episode sleepwalking
maupun sleep terrors mungkin cenderung mengalami depresi atau kecemasan.
Penanganan Gangguan
Gangguan ini akan dapat dicegah dengan menciptakan kebiasaan baik sebelum
memulai tidur seperti halnya tidur yang cukup setiap malam, mengatur waktu tidur
yang baik, memperhatikan kegiatan yang dilakukan sebelum tidur, menghindari
alcohol dan obat-obatan penenang lainnya untuk mengurangi atau bahkan
menghilangkan frekuensi terjadinya episode tersebut. Kemudian perlu dilakukan
peningkatan keamanan di sekitar lingkungan tidur dari invidiu dengan gangguan Non
Rapid Eye Movement Sleep Arousal Disoder ini seperti menghilangkan benda-benda
berbahaya yang dapat melukai individu tersebut. Untuk individu yang sudah sampai
pada tahap menyusahkan dirinya sendiri maupun orang lain, diperlukan penanganan
seperti psikoterapi, relaksasi progresif, hipnosis, farmakoterapi dengan
benzodiazepine, antidepresan trisiklik, dapat memberikan bantuan sementara bagi
mereka yang mengalami gangguan ini.
9. Nightmare Disorder
Nightmare Disorder merupakan gangguan yang ditandai dengan terjadinya
mimpi buruk secara berulang-ulang. Mimpi buruk memang hal yang biasa terjadi dan
terkait dengan perasaan negatif seperti ketakutan dan kecemasan. Namun, pada
individu dengan gangguan ini seringkali mengalami mimpi buruk yang dapat
menyebabkan rasa tertekan, mengganggu tidur, dan membuat takut untuk tidur.
Mimpi buruk biasanya terjadi selama tahap tidur yang dikenal sebagai gerakan mata
cepat (REM). Adapun kriteria diagnosis nightmare disorder dalam DSM V sebagai
berikut :
a. Kejadian terjadi berulang, mimpi yang sangat disforis atau keadaan yang
terasa tidak nyaman, dapat diingat dengan baik dan biasanya melibatkan upaya
seseorang untuk menghindari ancaman terhadap kelangsungan hidup,
keamanan, integritas fisik, dan umumnya terjadi selama paruh kedua episode
tidur utama.
b. Saat terbangun dari mimpi yang disforis, individu dengan cepat akan menjadi
waspada.
c. Episode tersebut menyebabkan rasa tertekan secara klinis, gangguan sosial,
pekerjaan, dan bidang fungsi yang penting lainnya.
d. Gejala dari gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari
penggunaan zat-zat lain seperti narkoba, obat-obatan.
e. Gangguan psikologis dan medis yang bersamaan tidak dapat menjelaskan
keluhan utama dari terjadinya mimpi yang disforis.
Etiologi Gangguan
Mimpi buruk biasanya dipicu oleh beberapa faktor seperti adanya tekanan dari
kehidupan sehari-hari yang menyebabkan rasa stres dan cemas, memiliki trauma
akibat peristiwa tertentu, perubahan jadwal yang membuat waktu tidur menjadi tidak
teratur atau kurang tidur, mengonsumsi obat tertentu seperti antidepresan,
penyalahgunaan zat, dan gangguan kesehatan mental lainnya yang mungkin terkait
dengan mimpi buruk, serta penyebab sederhana seperti setelah membaca buku atau
menonton film yang menakutkan. Mimpi buruk lebih umum terjadi ketika anggota
keluarga memiliki riwayat mimpi buruk atau parasomnia tidur lainnya.
Penanganan Gangguan
Ada beberapa penanganan yang dapat kita mulai dari rumah untuk dapat
membantu mengatasi nightmare disorder misalnya dengan mencoba berbicara dengan
orang lain tentang mimpi, mengontrol stress, menyediakan kenyamanan dan kemanan
pada lingkungan tempat tidur. Kemudian untuk penanganan lainnya yang lebih lanjut
lagi yakni dengan konseling dimana terapis akan membantu klien untuk
mengutarakan perasaan mereka untuk mengatasi terjadinya mimpi buruk. Selain itu,
teknik konseling behavioral yang dapat digunakan dalam membantu penanganan
gangguan ini yaitu desensitiasi sistematis.
Desensitiasi sistematis merupakan suatu teknik yang berguna untuk
mengurangi respon emosional menakutkan serta mencemaskan melalui aktivitas yang
bertentangan dengan respon negative tersebut. Klien dilatih untuk santai dan
mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit
kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasi. Pertama-tama subyek dilatih untuk
relaksasi dalam, salah satu caranya misalnya secara progresif merelaksasi berbagai
otot, mulai dari otot kaki, pergelangan kaki, kemudian keseluruhan tubuh, leher dan
wajah. Pada tahap selanjutnya terapis akan membentuk hirarki situasi yang
menimbulkan kecemasan pada subyek dari situasi yang menghasilkan kecemasan
paling kecil sampai situasi yang paling menakutkan. Setelah itu subyek diminta relaks
sambil mengalami atau membayangkan tiap situasi dalam hirarki yang dimulai dari
situasi yang paling kecil menimbulkan kecemasan. Tingkatan stimulus penghasil
kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus penghasil keadaan
santai sampai kaitan antara stimulus penghasil kecemasan dan respon kecemasan itu
akan terhapus.
10. Rapid Eye Movement Sleep Behavior Disorder
Diagnosis menurut DSM-5 :
a. Episode gairah berulang selama tidur terkait dengan vokalisasi
dan/atau perilaku motorik kompleks.
b. Perilaku-perilaku ini timbul selama tidur rapid eye movement (REM)
dan oleh karena itu biasanya terjadi lebih dari 90 menit setelah onset
tidur, lebih sering terjadi pada bagian-bagian selanjutnya dari periode
tidur, dan jarang terjadi pada siang hari
c. Setelah terbangun dari episode-episode ini, individu benar-benar
terjaga, waspada, dan tidak bingung atau bingung.
d. Salah satu dari berikut ini:
1. REM tidur tanpa atonia pada rekaman polisomnografis.
2. Riwayat yang menunjukkan gangguan perilaku tidur REM
dan sinuklein-diagnosis opathy (mis., penyakit Parkinson,
multiple system atrophy).
e. Perilaku tersebut menyebabkan distres atau gangguan signifikan secara
sosial dalam bidang sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi penting
lainnya (yang mungkin termasuk cedera pada diri sendiri atau
pasangan tidur).
f. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (mis.,
Penyalahgunaan obat-obatan, obat-obatan) atau kondisi medis lainnya.
g. Gangguan mental dan medis yang berdampingan tidak menjelaskan
episode.
Ciri penting dari gangguan perilaku tidur rapid eye movement (REM) adalah
episode berulang dari gairah, yang sering dikaitkan dengan vokalisasi dan / atau
perilaku motorik kompleks yang timbul dari tidur REM (Kriteria A). Perilaku-
perilaku ini sering mencerminkan respons motorik terhadap isi mimpi penuh aksi atau
kekerasan yang diserang atau berusaha melarikan diri dari situasi yang mengancam,
yang dapat disebut mimpi yang memberlakukan perilaku. Vokalisasi seringkali keras,
penuh emosi, dan tidak senonoh. Perilaku ini mungkin sangat mengganggu individu
dan mitra ranjang dan dapat mengakibatkan cedera yang signifikan (mis. Jatuh,
melompat, atau terbang dari tempat tidur; berlari, meninju, menyodorkan, memukul,
atau menendang). Setelah bangun, individu tersebut segera bangun, waspada, dan
berorientasi (Kriteria C) dan sering dapat mengingat kembali bimbingan mimpi, yang
berkorelasi erat dengan perilaku yang diamati. Mata biasanya tetap tertutup selama
acara ini. Diagnosis gangguan perilaku tidur REM membutuhkan tekanan atau
gangguan klinis yang signifikan (Kriteria E); penentuan ini akan tergantung pada
sejumlah faktor, termasuk frekuensi kejadian, potensi kekerasan atau perilaku yang
merugikan, rasa malu, dan kesusahan pada anggota rumah tangga lainnya.
Etiologi Gangguan
Selama tidur REM khas, otot-otot akan lumpuh sementara saat otak secara
aktif bermimpi. Dalam beberapa kasus, bahan kimia yang menyebabkan tubuh untuk
tetap diam dan otak untuk tetap aktif tidak berfungsi dengan baik, akibatnya anda
dapat mengembangkan gangguan seperti sleepwalking, narkolepsi, atau RBD.
Dalam REM Sleep Behavior Disorder, otot-otot tubuh tidak lumpuh sementara
seperti seharusnya. Hal ini memungkinkan tubuh untuk bereaksi terhadap mimpi.
Respon dimulai dengan tindakan kecil, seperti berbicara atau berkedut, dan kemajuan
untuk gerakan yang lebih besar, seperti melompat atau menendang.
Selama REM Sleep Behavior Disorder, gerakan yang dapat dilakukan adalah
berbicara, berteriak, memukul, mengambil, meninju, menendang, dan melompat.
RBD adalah kelainan yang bisa bertambah buruk seiring waktu. Ini bisa
membahayakan Anda atau pasangan Anda. RBD juga cenderung dikaitkan dengan
masalah medis lainnya. RBD juga dapat disebabkan oleh ketergantungan narkoba,
alcohol, dan obat. Selain itu RBD juga dapat disebabkan oleh gangguan tidur lainnya.
Penanganan Gangguan
Ini tergantung pada penyebabnya. Jika tampaknya disebabkan oleh efek
samping obat, obat yang bertanggung jawab harus berhenti jika memungkinkan. Jika
tidak ditemukan penyebab spesifik obat-obatan yang dapat membantu, seperti
clonazepam yang umumnya efektif dalam dosis rendah. Jika Anda telah didiagnosis
menderita apnea tidur obstruktif atau gangguan tidur lainnya pengobatan ini dapat
membantu RBD.
RBD cenderung merespons pengobatan dengan obat-obatan. Clonazepam
sering digunakan. Namun, perawatan juga memerlukan yang berikut:
• Tindakan pencegahan keamanan kamar tidur
1. Jauhkan benda-benda dari samping tempat tidur pasien. Ini termasuk
dudukan malam, lampu, atau benda lain yang dapat menyebabkan
cedera.
2. Pindahkan tempat tidur dari jendela.
3. Tempatkan benda besar seperti lemari di depan jendela.
• Pertahankan waktu tidur total yang normal. Kurang tidur akan meningkatkan
RBD. Pantau adanya kantuk.
• Hindari obat-obatan dan alkohol tertentu. Mereka dapat menyebabkan atau
meningkatkan RBD.
• Obati setiap dan semua gangguan tidur lainnya yang akan mengganggu tidur
Anda dan meningkatkan RBD.
• Menjalani pemantauan rutin untuk semua gejala neurologis. Ini termasuk tremor
atau gejala Parkinson lainnya.
Etiologi Gangguan
Apa yang menyebabkan restless legs syndrome bervariasi dari orang ke orang.
Dalam beberapa kasus penyebabnya tidak diketahui, atau dapat disebabkan oleh atau
diperburuk oleh masalah kesehatan atau pengobatan lainnya. Ini mungkin termasuk:
• Tingkat zat besi rendah
Ini dapat menyebabkan masalah dengan komunikasi sel otak yang dapat
menyebabkan restless legs syndrome . Jika Anda merasa memiliki restless
legs syndrome yang disebabkan oleh zat besi rendah, bicarakan dengan dokter
Anda dan jangan mencoba untuk mengambil suplemen sendiri.
• Diabetes
Kondisi seumur hidup ini dapat merusak pembuluh darah dan saraf yang
memengaruhi otot-otot kaki yang menyebabkan restless legs syndrome .
Dengan mengelola diabetes dengan benar, Anda dapat membantu mencegah
atau meningkatkan restless legs syndrome .
• Kehamilan
Banyak wanita mengalami restless legs syndrome ketika mereka hamil.
Biasanya hilang dalam waktu satu bulan setelah melahirkan.
• Obat-obatan
Beberapa obat dapat menyebabkan restless legs syndrome atau membuatnya
lebih buruk antara lain adalah obat alergi, banyak antidepresan, antihistamin
dan alat bantu tidur tanpa resep. Hampir semua antagonis reseptor dopamin
aktif terpusat, termasuk obat anti mual
Penanganan Gangguan
1. Olahraga
Olahraga teratur seperti berjalan atau naik sepeda olahraga dapat menghilangkan
gejala restless legs syndrome. Berolahraga terlalu banyak atau terlalu banyak
intensitas sebenarnya dapat meningkatkan gejala.
2. Teknik Pengurangan Stres
Stres dapat memperburuk restless legs syndrome . Kegiatan yang mempromosikan
relaksasi seperti yoga, meditasi, atau teknik lain dapat mengurangi gejalanya.
Pendekatan ini sangat membantu sebelum tidur.
3. Berhentilah merokok dan kurangi minum kafein dan alkohol
Masing-masing dapat memperburuk gejala restless legs syndrome. Dengan
menghindari zat-zat ini, Anda mungkin dapat membantu restless legs syndrome
Anda.
4. Pijat kaki atau berendam dalam air panas
Kedua hal ini dapat membantu mengendurkan otot Anda dan meringankan gejala
restless legs syndrome .
Ada berbagai obat yang tersedia untuk mengobati restless legs syndrome antara lain:
1. Obat penyakit Parkinson
Obat-obatan ini menggantikan bahan kimia di otak Anda yang disebut dopamin.
Jika Anda menderita restless legs syndrome , Anda tidak berisiko tinggi terhadap
penyakit Parkinson. Namun, obat yang sama digunakan untuk mengobati penyakit
Parkinson sering membantu dalam mengobati restless legs syndrome .
2. Obat tidur
Pil tidur hipnosis dapat membantu Anda lebih mudah tertidur.
3. Obat anti-kejang tertentu
Obat yang digunakan untuk pengobatan epilepsi dapat membantu mengobati
restless legs syndrome .
4. Obat nyeri narkotika
Opoid seperti kodein atau oksikodon dapat meringankan gejala restless legs
syndrome
5. Pengobatan besi
Jika tes menunjukkan individu mengalami kekurangan zat besi, dokter mungkin
menyarankan untuk mengonsumsi suplemen. Jangan minum zat besi tanpa nasihat
dokter. Terlalu banyak zat besi bisa berbahaya bagi hati.
Catatan pengkodean: Kode ICD-9-CM dan ICD-10-CM untuk gangguan tidur yang
diinduksi [zat / obat-obatan] ditunjukkan dalam tabel di bawah ini. Perhatikan bahwa
kode ICD-10-CM tergantung pada ada atau tidaknya gangguan penggunaan zat
penyerta untuk kelas zat yang sama. Jika gangguan penggunaan zat ringan adalah
komorbiditas dengan gangguan tidur yang diinduksi sikap, karakter posisi 4 adalah "1
dan dokter harus mencatat" gangguan penggunaan zat [ringan] "sebelum gangguan
tidur yang disebabkan oleh zat (misalnya," kokain ringan " gunakan kelainan dengan
gangguan tidur yang diinduksi kokain ”). Jika gangguan penggunaan zat sedang atau
parah komorbiditas dengan gangguan tidur yang diinduksi zat, karakter posisi 4
adalah "2," dan dokter harus mencatat "gangguan penggunaan zat [sedang] sedang"
atau "gangguan penggunaan zat [parah], ”Tergantung pada tingkat keparahan
gangguan penggunaan zat komorbiditas. Jika tidak ada gangguan penggunaan zat
komorbiditas (mis., Setelah penggunaan substansi yang berat sekali saja), maka
karakter posisi ke-4 adalah "9," dan dokter harus mencatat hanya gangguan tidur yang
disebabkan oleh zat. Gangguan penggunaan tembakau sedang atau berat diperlukan
untuk mengkode gangguan tidur yang disebabkan oleh tembakau; itu tidak diizinkan
untuk mengkode gangguan penggunaan tembakau ringan komorbiditas atau gangguan
penggunaan tembakau dengan gangguan tidur yang disebabkan oleh tembakau.
Identifikasi jenis :
• Jenis insomnia: Ditandai oleh kesulitan tidur saat tidur, mempertahankan tidur,
sering terbangun di malam hari, atau tidur tidak restoratif.
• Jenis kantuk di siang hari: Ditandai dengan keluhan utama kantuk yang
berlebihan / kelelahan selama jam bangun atau, lebih jarang, periode tidur
yang panjang.
• Jenis Parasomnia: Ditandai dengan kejadian perilaku abnormal selama tidur.
• Jenis yang digigit: Ditandai dengan masalah tidur yang disebabkan oleh zat /
obat yang ditandai dengan berbagai jenis gejala tidur, tetapi tidak ada gejala
yang jelas mendominasi.
Etiologi Gangguan
Masalah tidur harus jelas berasal dari penggunaan narkoba: mereka harus
terjadi selama periode keracunan atau dalam waktu 30 hari dari periode penggunaan
narkoba. Penyebab untuk kondisi ini adalah menggunakan zat seperti tembakau,
kafein, atau obat pelecehan. Penyebab kedua adalah mengalami gangguan tidur lain
yang termasuk kesulitan tidur atau tertidur (insomnia) karena orang tersebut dapat
menggunakan obat untuk mencoba membantu dengan masalah-masalah tersebut dan
kemudian berakhir dengan ini juga.
Penanganan Gangguan
1. Nonpharmacological Treatments
Perawatan nonfarmakologis lebih disukai karena banyak perawatan
farmakologis untuk insomnia memiliki potensi untuk penyalahgunaan dan dapat
mengganggu pemulihan SUD. Penelitian tentang terapi perilaku-kognitif (CBT)
untuk mengobati insomnia telah menunjukkan hasil positif, secara umum dan juga
pada pasien yang ketergantungan alkohol. Tampilan 1 daftar beberapa intervensi
nonfarmakologis yang telah menunjukkan beberapa tingkat efektivitas.
Menggabungkan pendekatan mungkin lebih efektif daripada menggunakan satu
pendekatan. Penyedia layanan kesehatan dapat mendidik pasien tentang teknik
nonfarmakologis sederhana yang dapat meningkatkan kualitas tidur. Pendidikan
tidur meliputi pengajaran tentang tidur, efek pemulihan dari penggunaan narkoba
pada tidur, dan praktik kesehatan dan faktor lingkungan yang memengaruhi tidur.
Tidur dapat ditingkatkan dengan membatasi aktivitas kamar tidur hingga tidur
(mis., Menahan diri dari kegiatan seperti membaca koran, membayar tagihan, atau
mengerjakan perangkat elektronik) dan tidur hanya ketika mengantuk dan pada
waktu yang sama setiap hari. Kegiatan-kegiatan ini membantu menghubungkan
kembali tempat tidur dan kamar tidur dengan tidur. Membangun rutinitas tidur
yang menenangkan, yang dapat mencakup relaksasi otot progresif, pencitraan,
atau mandi air hangat, juga meningkatkan kualitas tidur. Beberapa pasien
mungkin mendapat manfaat dari rujukan ke spesialis obat tidur.(SAMHSA. 2014).
• Meditasi mindfulness. Pasien bergerak dalam keadaan sadar, kewaspadaan
saat ini, yang mengurangi stres dan meningkatkan kontrol diri.
• Relaksasi otot progresif. Pasien berkonsentrasi pada kelompok otot yang
tegang dan rileks.
• Biofeedback. Pasien menjadi sadar akan respons stres fisiologis dan cara
mengendalikannya.
• CBT untuk insomnia. Keyakinan dan perilaku disfungsional pasien
dimodifikasi untuk meningkatkan keadaan emosinya.
• Kontrol rangsangan. Pasien menghubungkan kembali kamar tidur dengan
onset tidur yang cepat.
• Olahraga. Aktivitas fisik yang teratur mengurangi stres dan melelahkan
pasien.
• Terapi pembatasan tidur. Pasien membatasi tidur hingga beberapa jam dan
semakin meningkatkannya sampai jumlah waktu tidur yang diinginkan
tercapai.
• Terapi cahaya terang. Paparan cahaya terang alami saat bangun membantu
mempromosikan pola tidur normal.
• Perangkat gigi dan mesin tekanan saluran napas positif terus menerus.
Perangkat ini membantu pasien dengan apnea tidur obstruktif bernafas lebih
mudah saat tidur.
2. Pharmacological Treatments
Beberapa orang yang sulit tidur mencoba obat-obatan tidur atau suplemen
makanan yang dijual bebas untuk membantu mereka tidur. Pasien mungkin
bertanya tentang ini, dan perawatan harus diambil untuk menjelaskan keamanan
dan kemanjuran mereka. Banyak obat tidur yang dijual bebas mengandung
antihistamin yang menyebabkan sedasi. Mereka tidak direkomendasikan sebagai
pengobatan jangka panjang untuk insomnia karena mereka secara negatif
mempengaruhi siklus tidur alami dan memiliki efek samping seperti kesibukan di
pagi hari, kantuk di siang hari, dan gangguan kewaspadaan dan penilaian. Lebih
lanjut, bukti yang mendukung efektivitas jangka panjangnya tidak memadai.
Suplemen makanan populer yang diambil dengan maksud untuk meningkatkan
tidur termasuk valerian dan melatonin. Valerian, ramuan, dianggap memiliki efek
sedatif. Namun, penelitian valerian menawarkan hasil yang beragam, dan bukti
yang mendukung kemanjuran suplemen tidak cukup untuk menjamin
penggunaannya. Selain itu, valerian bisa merusak hati. Melatonin adalah hormon
otak yang membantu mengatur pola tidur. Bukti terbatas menunjukkan bahwa itu
dapat mengobati insomnia kronis pada beberapa orang dan, sampai saat ini, tidak
ada bukti bahwa itu berbahaya.
Obat-obatan tanpa potensi penyalahgunaan yang diketahui harus menjadi
pilihan pengobatan pertama ketika farmakoterapi diperlukan untuk mengobati
insomnia selama pemulihan. Ramelteon mengurangi jumlah waktu yang
diperlukan untuk tertidur. Doxepin, awalnya disetujui FDA sebagai antidepresan,
telah disetujui untuk mengobati insomnia yang ditandai dengan masalah tetap
tertidur. Obat-obatan ini mungkin cocok untuk mengobati insomnia pada pasien
dalam pemulihan, karena mereka tampaknya tidak berpotensi untuk
disalahgunakan.
PENANGANAN GANGGUAN TIDUR SECARA UMUM
AASM. 2019. Restless Legs Syndrome-Treatment. Diakses pada 17 September 2019, dari
http://sleepeducation.org/essentials-in-sleep/restless-legs-syndrome/treatment
Ahsan dkk. 2015. PENGARUH TERAPI SLEEP HYGIENE TERHADAP GANGGUAN
TIDUR PADA ANAK USIA SEKOLAH YANG MENJALANI HOSPITALISASI.
Jurnal Keperawatan. Vol. 6, No.1. Diakses dari
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/article/view/2846 pada tanggal 17
September 2019.
Allhealth.pro. 2012. REM Sleep Behavior Disorder. Diakses pada 17 September 2019, dari
https://allhealth. pro/id/ kesehatan/tidur/rem-sleep-disorder/
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental
Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric Publishing.
Washinton DC.
Anonym. 2014. TREATING SLEEP PROBLEMS OF PEOPLE IN RECOVERY FROM
SUBSTANCE USE DISORDERS. SAMHSA. Vol 8. Issue 2.
Aurora, Nisha. Zak, Rochelle S. Maganti, Rama K. 2010. Best Practice Guide for the
Treatment of REM Sleep Behavior Disorder (RBD). Journal of Clinical Sleep Medicine
(JCSM). Vol 6. No 1.
Cline, John. 2018. Treating Nightmare Disorder. Diakses dari
https://www.psychologytoday.com/intl/blog/sleepless-in-america/201812/treating-
nightmare-disorder pada tanggal 17 September 2019.
Darien. 2019. REM Sleep Behavior Disorder Diagnosis & Treatment. Diakses pada 17
september 2019, dari http://sleepeducation.org/sleep-disorders-by-
category/parasomnias/rem-sleep-behavior-disorder/diagnosis-treatment
Devnani, Preeti. Fernandes Racheal. 2015. Management of REM sleep behavior disorder: An
evidence based review. Ann Indian Acad Neurol. Vol 18.
Diani, AW. 2014. Konsep Tidur. Surabaya : Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Haryono, Adelina., Almitra Rindiarti dkk. 2009. Prevalensi Gangguan Tidur pada Remaja
Usia 12-15 Tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sari Pediatri : Departemen
Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hidayat, BUA. 2012. Bungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Insomnia Pada Mahasiswa
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro. [Undergraduate thesis].
Semarang: Diponegoro University.
Jannah, J. 2017. Fisiologi Tidur. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang
Kamaliah, Aisyah. 2018. Saran Dokter Tidur Soal Kebiasaan ‘Main Kaki’ Saat Tidur.
Diakses pada 17 September 2019, dari https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-
4365149/saran-dokter-tidur-soal-kebiasaan-main-kaki-saat-
tidur?_ga=2.231851671.920802758.1568729716-1505557533.1556814674
Medic, Goran., Wille Micheline & Hemels. 2017. Short- And Long-Term Health
Consequences Of Sleep Disruption. US National Library of Medicine; 9: 151-161
Mustika, Desfi Dian., dkk. 2014. Penggunaan Teknik Desensitisasi Sistematis Untuk
Mengurangi Kecemasan Calon Mahasiswa Dalam Menghadapi SBMPTN. Jurnal
Bimbingan Konseling. Diakses dari
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/ALIB/article/view/7512 pada tanggal 15
September 2019.
National Sleep Foundation. 2017. What Happens When You Sleep. NSF sites : Sleep Health
Journal
National Sleep Foundation. A Case Study in Insomnia (diakses melalui
http://sleepdisorders.sleepfoundation.org/chapter-2-insomnia/a-case-study-in-insomnia/)
National Sleep Foundation. EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS DISORDERS: Extreme
Sleepiness (diakses melalui https://www.sleepfoundation.org/articles/extreme-sleepiness)
National Sleep Foundation. Case Study in Excessive Daytime Sleepiness (EDS) Disorder
(diakses melalui sleepdisorders.sleepfoundation.org/chapter-4-hypersomnias/case-study-
of-hypersomnias/)
Prasadja, Dr. Andreas (Kompas.com). 2014 Maret 20. Serangan Tidur Bernama Narkolepsi
(diakses pada 17 September 2019 melalui
https://lifestyle.kompas.com/read/2014/03/20/1110544/Serangan.Tidur.Bernama.Narkole
psi?page=all)
Patricelli, Kathryn. Non-Rapid Eye Movement Sleep Arousal Disorders. Diakses dari
https://www.gulfbend.org/poc/view_doc.php?type=doc&id=588 pada tanggal 17
September 2019.
Purwanto, S. 2008. MENGATASI INSOMNIA DENGAN TERAPI RELAKSASI. Jurnal
Kesehatan. Vol. I (2); 141-148
Samiadi, Lika Aprilia. 2017. Nighmare Disorder. Diakses dari
https://hellosehat.com/penyakit/nightmare-disorder/ pada tanggal 17 September 2019.
Sari, AS, dan Nugroho, S. 2014. PERSEPSI PASIEN PUTERI PHYSICAL THERAPY
CLINIC TERHADAP EFEKTIVITAS SPORT MASSAGE DALAM MENGATASI
PENYEBAB KESULITAN TIDUR. Jurnal MEDIKORA. Vol. XIII (1)
Sukmasari, Radian Nyi. 2017. Seseorang Bicara Padahal Sedang Tidur, Kok Bisa Ya?.
Diakses pada 17 September 2019, dari https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-
3386391/seseorang-bicara-padahal-sedang-tidur-kok-bisa-
ya?_ga=2.231851671.920802758.1568729716-1505557533.1556814674
Triamiyono, H. 2014. UPAYA MENGATASI RASA KANTUK DI KELAS DALAM
PROSES BELAJAR MAHASISWA TARUNA AKADEMI MARITIM DJADAJAT.
Jurnal Ilmiah WIDYA. Vol. 2 (2)Sateia MJ, Buysse DJ, Krystal AD, Neubauer DN,
Heald JL. 2017. Clinical practice guideline for the pharmacologic treatment of chronic
insomnia in adults: an American Academy of Sleep Medicine clinical practice guideline.
Journal of Clinical Sleep Medicine (JCSM). Vol 4. No 5.
Widhiyanti, K.A.Tri, Ariawati dkk. 2017. Pemberian Back Massage Durasi 60 Menit dan 30
Menit Meningkatkan Kualitas Tidur Pada Mahasiswa VI A Penjaskesrek FPOK IKIP
PGRI Bali Semester Genap Tahun 2016/2017. Jurnal Pendidikan Kesehatan Rekreasi :
Vol. 3, No.1, Hal. 9-18
Zikra, Zikra. 2019. Chronotherapy for Women Victims of Domestic Violence. Jurnal
Penelitian Pendidikan Indonesia. Vol. 5, No.1. Diakses dari
http://jurnal.iicet.org/index.php/jppi/article/view/204 pada tanggal 16 September 2019.
Cahyono, Arie., Hermani, Bambang., Mangunkusumo, Endang., Perdana, Riski Satria. 2011.
Hubungan Obstruktive Sleep Apnea dengan Penyakit Sistem Kardiovaskuler. Diakses
dari http://www.perhati-kl.or.id/v1/wp-content/uploads/2011/11/Final-edit-nadya-
Hubungan-obstructive-sleep-apnea-_2_.pdf pada 16 September 2019.
Goldberg AN. 2009. Obstructive sleep apnea: decision making and treatment algorithm. In:
Friedman M, editor. Sleep apnea and snoring, surgical and non surgical therapy. China:
Elsevier. p.45-50.
Aurora RN, Chowdhuri S, Ramar K, et al. 2012. The treatment of central sleep apnea
syndromes in adults: practice parameters with an evidence-based literature review and
meta-analyses.2012;35:17-40.
Pien GW, Pack AI. 2010. Sleep disordered breathing. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin
TR, et al, eds. Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. 5th ed.
Philadelphia, Pa: Elsevier Saunders; 2010:chap 79.
Boing, S., & Randerath W. J. 2015. Chronic hypoventilation syndromes and sleep-related
hypoventilation. Journal of thoracic disease, 7(8), 1273.